Indofood Mantapkan Langkah Dukung Esports Indonesia

Indofood (PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk) kembali memeriahkan pameran Jakarta Fair Kemayoran (JFK) yang digelar mulai tanggal 22 Mei-30 Juni 2019. Keikutsertaan mereka, yang kali ini bertajuk “Satukan Rasa di Rumah Indofood”, menandai bahwa Indofood tidak pernah absen dalam 10 tahun terakhir untuk memeriahkan pameran terbesar se-Asia Tenggara ini.

Selain menggelar Rumah Indofood, mereka juga menggelar Area Gaming Corner ‘Good Luck Have Fun (GLHF Corner) sebagai wujud manifestasi dukungan Indofood melalui brand Pop Mie terhadap perkembangan esports Indonesia.

Gaming Corner ini tidak hanya bisa digunakan untuk menonton tapi juga bermain bersama dengan para pemain profesional EVOS Esports (16 Juni 2019) dan RRQ (23 Juni 2019).

“Kami melihat saat ini esports semakin digemari oleh masyarakat Indonesia dari berbagai kalangan. Oleh karena itu, Pop Mie menjadikan esports sebuah wadah untuk menyatukan rasa kebersamaan melalui Rumah Indofood di JFK 2019, yang diharapkan mampu menciptakan keseruan saat bermain serta menjadi teman makan andalan yang mudah dikonsumsi serta dikonsumsi.” Ujar Vemri Junaidi, Senior Brand Manager Pop Mie di rilis yang kami terima.

Dokumentasi: Hybrid
Dokumentasi: Hybrid

Saat Meet&Greet dan Mabar bersama RRQ (23 Juni 2019), Vemri juga sempat berbincang seputar Indofood dan esports bersama dengan Andrian Pauline (CEO RRQ) dan Febrianto Genta Prakarsa (Pro Player PUBGM dari RRQ).

Saat berbincang, muncul sebuah pertanyaan, apakah Pop Mie juga akan mendukung atau menjalin kerja sama dengan tim-tim lain selain RRQ dan EVOS? Vemri pun menjawab bahwa mungkin saja akan ada tim-tim lain yang akan didukung, selama hal tersebut dapat mendukung ekosistem esports Indonesia.

Selain itu, mengingat saat ini Pop Mie dan Indofood sudah menjadi sponsor tim dan event (ESL National Championship dan Clash of Nations), saya pun menanyakan apa perbedaannya mendukung 2 aspek esports yang berbeda tadi. Vemri pun menjawab, “mendukung tim adalah soal branding, bagaimana Pop Mie selalu eksis di kalangan anak muda. Sedangkan untuk event, yang mereka cari di sana adalah soal engagement. Jadi, memang berbeda kebutuhannya.”

Dokumentasi: Indofood
Dokumentasi: Indofood

Berbicara soal event, saya pun menggali lebih jauh tentang pemilihan game-nya antara PC atau mobile. Menurut Vemri, pemilihan game-nya memang lebih baik disesuaikan dengan pasar Indonesia yang lebih dominan di platform mobile.

Jadi, kira-kira tim mana lagi yang menyusul RRQ dan EVOS digandeng Pop Mie? Bagaimana dengan event esports dengan dukungan Indofood yang selanjutnya?

Menakar Sentimen Positif dan Negatif dari Google Stadia

Google kembali menjadi pusat perhatian industri game dunia saat mereka mengumumkan Stadia di GDC 2019. Google Stadia adalah layanan game streaming yang mungkin punya tujuan mulia: memberikan akses gaming ke lebih banyak orang, kapan pun dan di mana pun mereka berada.

Sayangnya, ada sejumlah kontroversi tentang Stadia ini yang sudah diutarakan berbagai pemerhati dan pelaku industri game. Kali ini, saya ingin mencoba menjabarkan sejumlah kelebihan dan kekurangan dari Stadia menurut pandangan saya pribadi.

Keunggulan Google Stadia

Satu hal yang jadi ‘jualan’ Google tentang Stadia adalah mengijinkan lebih banyak orang untuk merasakan game berkualitas (AAA) di berbagai perangkat, mulai dari desktop, laptop, tablet, ponsel, ataupun TV (pakai Chromecast dongle).

Selain itu, berhubung game-game yang dijalankan akan menggunakan resource hardware dari data center Google, para penggunanya sudah tak perlu lagi merogoh kocek untuk membeli console ataupun mengalokasikan anggaran beberapa tahun sekali untuk mengupgrade hardware PC nya masing-masing.

Dari dua fitur tadi, sebenarnya ada solusi dari sejumlah masalah yang ditawarkan oleh Stadia.

1. Memungkinkan peningkatan kualitas game pada umumnya 

Pertama, Stadia memungkinkan para gamer mobile untuk merasakan game-game yang benar-benar dibuat untuk memuaskan para pemainnya; tidak seperti kebanyakan game-game mobile saat ini yang dibuat untuk menyedot uang dan perhatian para penggunanya sebanyak mungkin.

Saat dirilis, sudah ada sejumlah game AAA yang akan tersedia untuk Google Stadia. Berikut adalah daftar yang kami temukan dari video Stadia Connect tanggal 6 Juni 2019.

  • Assassin’s Creed: Odyssey
  • Baldur’s Gate 3
  • Borderlands 3
  • The Crew 2
  • Darksiders Genesis
  • Destiny 2
  • The Division 2
  • DOOM Eternal
  • Dragon Ball Xenoverse 2
  • The Elder Scrolls Online
  • Farming Simulator 19
  • Final Fantasy 15
  • Football Manager 2020
  • Get Packed
  • Ghost Recon Breakpoint
  • Grid
  • Gylt (Google Stadia exclusive)
  • Just Dance 2020
  • Metro Exodus
  • Mortal Kombat 11
  • NBA 2K
  • Power Rangers: Battle for the Grid
  • Rage 2
  • Samurai Showdown
  • Thumper
  • Tomb Raider Trilogy
  • Trials Rising
  • Wolfenstein: Youngblood

Dari daftar di atas, ada banyak gamegame berkualitas yang memang kastanya di atas game-game mobile saat ini, seperti Baldur’s Gate 3, Rage 2, Borderlands 3, Destiny 2, Division 2, dan masih banyak lagi (setidaknya menurut saya pribadi).

Kenapa akses lebih luas ke game-game berkualitas ini penting? Karena standar ekspektasi kebanyakan pengguna bisa meningkat, yang akhirnya berimbas pada peningkatan kualitas buat para developer dan publisher (khususnya untuk platform mobile).

Tanpa Stadia, para gamer mobile mungkin masih harus menunggu lama sebelum mereka benar-benar bisa merasakan bagaimana sebuah game seharusnya diciptakan.

2. Menghemat pengeluaran untuk kebutuhan gaming

Selain itu, buat gamer console ataupun PC, mereka bisa menghemat pengeluaran untuk kebutuhan gaming mereka. Gamer console tak perlu lagi mengganti mesin gaming mereka setiap kali generasi baru keluar. Gamer PC pun tak perlu lagi mengganti jeroan setiap beberapa tahun sekali untuk memastikan game-nya tetap mampu berjalan minimal 60 fps.

Sayangnya, penghematan ini akan sangat relatif daya tariknya untuk masing-masing pengguna. Kenapa? Karena, meski kebutuhan atas komponen ataupun mesin gaming menurun, kebutuhan untuk koneksi internet yang sungguh dapat diandalkan (bukan yang hanya sekadar slogan) jadi meningkat drastis. Padahal ketersediaan produk komponen ataupun mesin gaming (console) di Indonesia jauh lebih baik ketimbang jaringan internet yang berkualitas.

Nanti kita akan bahas lebih detail lagi soal koneksi internet di bagian kelemahan dari Google Stadia.

Selain soal 2 hal tadi, berhubung kita tak lagi dapat mengakses file game nya, ada 2 keunggulan lagi yang bisa ditawarkan oleh Stadia. Absennya akses pengguna ke file game nya mungkin memang kedengarannya lebih menguntungkan untuk para publisher ataupun developer karena bisa menurunkan angka pembajakan dan meminimalisir penggunaan cheat.

Sumber: Google
Sumber: Google

3. Menekan angka pembajakan game

Mari kita bahas soal pembajakan lebih dahulu. Hal ini mungkin sekilas hanya menguntungkan para publisher ataupun developer. Namun jika para pembuat game berkualitas mampu meraup keuntungan yang lebih besar lagi, gamers juga yang pada akhirnya berbahagia karena mungkin kisah tragis developer legendaris (seperti BioWare) yang menjual dirinya tak akan lagi terulang untuk yang lainnya.

Plus, para publisher game pun mungkin tak perlu lagi memaksakan untuk menekankan sistem bisnis Game as a Service (GaaS) ke produk-produk mereka. Kenapa sistem bisnis GaaS itu tidak baik untuk konsumen (setidaknya menurut saya pribadi)? Silakan googling sendiri ya sistem bisnis tersebut karena akan terlalu panjang dijelaskan di sini.

4. Memberantas cheat?

Nah, keunggulan ini mungkin akan sangat relatif juga tergantung siapa gamer-nya. Buat saya pribadi, selama itu game singleplayer, Anda bebas menentukan bagaimana cara Anda memainkannya. Namun jika Anda bermain game multiplayer, Anda wajib bermain mengikuti aturan yang telah disepakati bersama.

Kenapa Stadia bisa mengurangi cheat? Karena akses ke game file yang akan jauh lebih terbatas itu tadi. Penjelasan sederhananya, cheating adalah manipulasi sistem permainan demi kemenangan yang biasanya dilakukan dengan memodifikasi file-file yang digunakan (seringnya seperti .exe dan .dll, atau .apk kalau di platform Android) ataupun proses yang sedang berjalan. Sedangkan dengan Stadia, filefile tersebut harusnya tersimpan di data center milik Google; demikian juga dengan proses yang berjalan.

Menurunkan angka cheater mungkin memang tak akan jadi kelebihan yang berarti bagi gamer singleplayer. Namun, buat gamer multiplayer, bermain game yang tidak ada cheat-nya adalah sebuah utopia.

5. Sentimen positif terakhir dari Stadia adalah karena ia produk Google.

Satu aspek penting dari teknologi game streaming adalah lokasi server dan data center tempat memproses game yang dijalankan. Semakin jauh lokasi server dengan pengguna, semakin besar pula latency-nya. Padahal, latency tinggi adalah musuh utama para gamer untuk bermain online.

Jadi, memang hanya raksasa-raksasa teknologi dunia sekelas Google yang punya kapasitas menaruh server-server di berbagai belahan dunia. Meski begitu, Google sendiri juga punya serentetan produk gagal yang sudah tak lagi beroperasi, seperti Google Plus.

Itu tadi adalah salah satu kekurangan yang patut dicatat juga dari Stadia, yang akan kita bahas lebih lengkap di bagian selanjutnya.

Kelemahan Google Stadia

Meski Stadia punya peluang untuk meningkatkan kualitas game secara keseluruhan yang punya nilai positif penting; ada satu rintangan besar yang harus diselesaikan sebelum Stadia bisa meraih kesuksesan di Indonesia atau negara-negara lainnya.

Kebutuhan Google Stadia. Sumber: Google
Kebutuhan Google Stadia. Sumber: Google

1. Kebutuhan kualitas jaringan internet yang tak mudah dipenuhi

Tantangan besar pertama yang harus coba dijawab adalah soal latency dan bandwidth. Menurut Google, Stadia butuh koneksi sebesar 10Mbps untuk streaming game di resolusi 720p dan 20Mbps untuk 1080p. Padahal di Indonesia, kecepatan rata-rata internet kita ada di 10.4Mbps untuk mobile dan 17Mbps untuk broadband (menurut data dari Speedtest.net saat artikel ini ditulis).

Itu tadi masih soal bandwidth belum soal latencyLatency akan menjadi tantangan yang lebih berat juga ketimbang bandwidth karena game-game bertempo cepat semacam FPS dan fighting butuh response time serendah mungkin, bahkan di bawah genre RPG ataupun MOBA.

Dari pengalaman yang dirasakan oleh PC Gamer saat mencoba Stadia di GDC 2019 di San Fransisco, Amerika Serikat, mereka tak mampu bermain DOOM di latency yang optimal sehingga kesulitan bermain dengan nyaman. Itu cerita dari mereka yang menggunakan koneksi internet di sana. Saya sungguh tak berani membayangkan seperti apa ceritanya jika menggunakan koneksi internet di Indonesia.

Menurut pengujian yang dilakukan oleh Digital Foundry (videonya bisa Anda lihat di atas), Stadia punya latency sebesar 166ms; bandingkan dengan bermain di PC sendiri yang hanya menyentuh angka 79ms. Hal ini berarti Stadia punya response time 2x lebih lambat dibanding bermain di PC sendiri. Jangan lupakan juga, Digital Foundry menggunakan koneksi internet di UK (setahu saya), yang kemungkinan besar lebih baik dari koneksi di Indonesia.

Selain soal bandwidth dan latency, persoalan juga datang dari kuota data yang dibutuhkan. Jika requirements yang ditunjukkan oleh Google memang benar adanya, 20Mbps untuk 1080p dan 10Mbps untuk 720p, Anda berarti butuh kuota 9GB per jam untuk streaming game di 1080p dan 4,5GB per jam untuk 720p.

Buat yang tinggal di Jakarta dan punya akses ke provider internet kabel sekelas CBN, Biznet, My Republic, ataupun First Media, Anda memang tak perlu khawatir soal kuota karena memang benar-benar unlimited. Namun jika Anda tinggal di luar Jakarta dan (atau) hanya punya akses ke ISP yang jangkauannya paling luas di Indonesia (yang tak perlu lagi saya sebutkan namanya), istilah unlimited-nya ada tanda bintangnya alias tidak sepenuhnya jujur karena ada aturan FUP (Fair Usage Policy).

Kebutuhan internet ini mungkin sekilas lebih sederhana dan bisa jadi lebih murah ketimbang membeli seperangkat console ataupun PC gaming. Namun faktanya, sebagian besar penduduk Indonesia tak bisa memilih provider internet (khususnya kabel) yang mereka inginkan.

Padahal, varian kartu grafis yang tersedia di Indonesia itu sangat beragam. Anda juga bisa mendapatkan Nintendo Switch ataupun PlayStation 4 dengan mudah di Indonesia. Jadi, kebutuhan atas mesin gaming yang ideal itu lebih mudah didapatkan karena hanya soal seberapa besar anggaran yang Anda miliki. Sedangkan koneksi internet yang ideal? Bisa jadi, berapapun jumlahnya, kekayaan Anda tetap tak bisa membeli koneksi internet yang ideal jika Anda bersikeras tinggal di satu lokasi.

2. Penghematan anggaran yang masih sebatas teori?

Untuk bisa bermain game di Stadia, Anda tetap harus membeli game-nya dan juga membayar biaya berlangganan. Hal ini mungkin sama juga sistemnya dengan console generasi sekarang (PS4, Switch, Xbox One) jika ingin mendapatkan fitur online-nya. Namun setidaknya, di console, Anda tetap bisa memilih untuk tidak menggunakan fitur tersebut.

Di PC, Anda bahkan tak perlu membayar biaya langganan apapun untuk bermain online meski mungkin PC bisa jadi lebih boros juga pengeluarannya dibanding console jika ingin mendapatkan mesin gaming yang ideal.

Selain masih harus membeli game-nya, jangan lupa dengan kecepatan koneksi rata-rata Indonesia yang masih di bawah 20Mpbs. Hal ini berarti Anda hanya bisa mendapatkan kualitas 720p 60fps dengan Google Stadia. Padahal PC gaming generasi sekarang (2019) yang mampu memberikan kualitas gaming 720p 60fps itu sudah sangat terjangkau. Jadi, membeli PC gaming tadi justru jadi solusi yang lebih ideal untuk bermain game di 720p 60fps dibandingkan Stadia yang masih punya problematika soal latency.

Penghematan anggaran memang akan jauh lebih terasa jika Anda ingin mengejar kualitas 4K gaming namun, mengingat kondisi jaringan internet di Indonesia, hal ini berarti Anda harus pindah tempat tinggal yang memiliki akses internet 35Mbps ke atas dengan harga terjangkau dan tanpa kuota sama sekali.

Sumber: Google
Sumber: Google

3. Berkurangnya taman bermain untuk para game modder

Absennya akses pengguna ke file game mungkin memang bisa menekan angka pembajakan dan cheater, namun kekurangannya juga tak bisa dipandang sebelah mata; setidaknya bagi saya pribadi yang memang suka bermain-main dengan game modding.

Dari namanya, game modding adalah modifikasi file game untuk berbagai tujuan. Aspek krusial yang membedakan modding dengan cheating adalah tujuannya karena tujuan modding bisa sangat beragam; sedangkan tujuan cheating hanya satu. Modding ini bisa berarti mengganti texture, model 3D, scripting, ataupun animasi tertentu di sebuah game.

Modding mungkin dipandang tidak penting buat kebanyakan gamer namun, faktanya, modding adalah faktor terbesar yang memungkinkan game-game singleplayer masih terus eksis dan dimainkan selama bertahun-tahun. Salah satu contohnya adalah Skyrim.

Buat yang paham sejarah, modding sendiri juga berperan besar atas perkembangan industri game ataupun esports sampai hari ini. Kenapa? Karena tanpa yang namanya modding, tidak ada yang namanya Counter Strike dan DotA. Cari sendiri soal sejarah Counter Strike dan DotA ya, kalau belum tahu.

4. Sentimen negatif terakhir dari Stadia juga karena ia adalah produk Google

Di satu sisi, mungkin memang hanya segelintir raksasa teknologi sekelas Google yang punya kapasitas untuk membuat layanan game streaming berhasil. Namun di sisi lain, bagi saya, Google pun punya rekam jejak negatif untuk sejumlah produk mereka.

Seperti yang saya tuliskan tadi di atas, Google punya sejumlah produk yang sudah masuk kuburan (seperti Google Plus, Google URL Shortener, dan masih banyak lagi yang bisa Anda temukan daftarnya di tautan ini). Nah berhubung gamegame yang Anda mainkan di Stadia semuanya tersimpan di data center, bukan tidak mungkin juga Anda akan kehilangan semuanya andaikan satu saat layanan ini tidak laku dan masuk peti.

Di sisi lainnya, jika berbicara soal Google, ada satu produk mereka yang mungkin memang populer tapi sangat tidak saya sukai; yaitu Google Play. Kenapa? Karena Google Play lebih mengandalkan mesin untuk memberikan rekomendasi. Padahal, game adalah sebuah karya kreatif yang membutuhkan kemampuan kognitif manusia untuk menilainya.

Google Play lebih mengutamakan jumlah download dan penilaian berbasis kuantitatif sebagai landasan penilaian mereka. Bagi saya pribadi, Anda tidak bisa melakukan hal tersebut atas sebuah hasil kreatifitas. Karena, jumlah download itu mudah dikejar jika punya anggaran iklan yang besar; tanpa memedulikan kualitas.

Popularitas itu juga malah biasanya berbanding terbalik dengan kualitas. Tak sedikit game-game yang populer di Google Play justru rendah nilai originalitasnya; entah soal aset-aset kreatif ataupun gameplay yang terang-terangan meniru yang lain.

Sebenarnya memang ada gamegame di Google Play yang istimewa kualitasnya namun sistem yang digunakan sekarang justru membuat mereka tenggelam, terhimpit oleh yang picisan. Seberapa banyak dari Anda yang tahu Battleheart Legacy, Implosion, Evoland 2, The Room, DEEMO, ataupun game-game underrated yang lainnya?

Tenggelamnya banyak game berkualitas itu juga saya kira disebabkan karena standar penilaian yang mungkin terlalu rendah untuk bisa masuk ke Google Play, sehingga terlalu banyak dan justru menyulitkan pengguna. Menemukan gamegame berkualitas di Google Play bahkan, bagi saya, seperti ibarat menemukan harta karun di antara timbunan sampah… 

Menurut data Statista, ada 3,5 juta aplikasi di Google Play di Desember 2017. Di sisi lain, Google sendiri yang mengumumkan bahwa mereka menemukan 700 ribu aplikasi yang menyalahi aturan main Google Play di 2017 juga. Hitung-hitungannya berarti 1 dari 5 aplikasi yang ada saat itu bermasalah. Memang Google Play juga sudah mencoba memperbaiki semua masalah yang ada di sini, termasuk mencoba memberikan kurasi game dan aplikasi yang berbasis penilaian manusia.

Namun, untuk sebuah produk yang jadi sumber utama sistem operasi mendapatkan aplikasi dan ada di semua produk Android, saya kira usaha Google masih jauh dari maksimal… Itu tadi Google Play yang dipakai oleh semua pengguna Android. Pertanyaannya, bagaimana dengan Stadia yang mungkin akan jauh lebih sulit untuk meraih popularitas? Andaikan nanti Stadia juga akan memiliki marketplace, suram saja membayangkan jika semua permasalahan Google Play juga ada di sana.

Penutup

Akhirnya, mungkin memang Stadia belum akan tersedia untuk kawasan Asia (termasuk Indonesia) saat dirilis nanti. Kita juga belum tahu apakah memang Google punya rencana membawa Stadia ke Indonesia di masa depan. Meski begitu, saya kira artikel ini menjadi penting karena dua hal.

Saya rasa teknologi game streaming memang cukup masuk akal untuk berjalan bersama ataupun malah menggantikan ekosistem dan industri gaming yang ada sekarang (asalkan infrastruktur jaringan internetnya sudah mumpuni) dan Google sendiri pun punya kapasitas untuk mendisrupsi status quo. Ditambah lagi, saya juga jadi bisa menyematkan banyak kritik di artikel ini… Nyahahaha…

Aerowolf Mobile Legends Lepas 3 Jagoan, Kenapa?

Kemarin (13 Juni 2019), Aerowolf mengumumkan lepas 3 pemainnya sekaligus di hari yang sama. Ketiga pemain yang berpisah dengan Aerowolf tadi adalah:

  • Agung “Billy” Tribowo
  • Fadhil “Rave” Abdurrahman
  • Joshua “LJ” Darmansyah

3 pemain ini sebenarnya layak dianggap papan atas karena mereka lah sang juara Mobile Legends: Bang Bang (MPL) Indonesia Season 1, bersama Watt (Supriadi Dwi Putra) dan G (Afrindo Valentino). Kala itu, mereka masih mengusung nama NXL.

Bagi saya pribadi, kemenangan tim tersebut di S1 juga menjadi momen tak terlupakan yang membuat MPL ID memiliki ceritanya sendiri. Pasalnya, kala itu, tak ada yang menjagokan kelima pemain ini. RRQ, EVOS, dan Bigetron PK mungkin adalah yang digadang-gadang jadi jawara di S1.

Sumber: Aerowolf
Sumber: Aerowolf

Perjuangan mereka di Grand Final S1 memang begitu dramatis: sempat turun ke lower bracket saat bertemu EVOS Esports pertama kali, namun berhasil naik kembali ke upper bracket dan membalas dendam dengan memaksa EVOS Esports bertekuk lutut di partai terakhir.

Berkat prestasi gemilang tadi, satu tim ini pun langsung diboyong ke Aerowolf. Kala itu, mereka terlihat seperti tim paling kompak di antara tim-tim lainnya. Sayangnya, kekompakan mereka tak berlangsung lama. Watt pun pindah ke ONIC di Season 2 (kemudian pindah lagi ke Louvre di Season 3). Sedangkan Afrindo berpisah dengan Aerowolf dan masuk ke EVOS Esports sebelum memasuki MPL S3.

Meski ditinggal Watt di S2, tim ini tetap terlihat konsisten performanya walau memang harus rela melepas gelar juara bertahan. Kehilangan Afrindo di S3, Billy, LJ, dan Rave tetap mampu membuat Aerowolf sebagai tim yang tak bisa dipandang sebelah mata. Sayangnya, tim ini kembali gagal mengulang cerita sukses mereka di S1.

Sumber: Aerowolf
Sumber: Aerowolf

Terlepas dari menyurutnya prestasi mereka dari waktu ke waktu, ketiga pemain ini tetap saja masuk kategori kelas kakap dan punya peluang besar untuk kembali memuncaki dunia persilatan MLBB Indonesia.

Lalu kenapa Aerowolf melepas 3 pemain bintang ini sekaligus, mengingat MPL ID S4 seharusnya akan berjalan setelah MSC 2019 (jika masih mengikuti pola kompetisi MLBB di tahun 2018)?

Menurut penjelasan dari Arwanto Tanumiharja (yang mungkin lebih dikenal dengan panggilan WaWa Mania), Manajer Tim Aerowolf untuk divisi Mobile Legends, kontrak ketiga pemain ini memang sudah habis dan mereka tak ingin memperpanjang.

“Karena kontrak emang habis sih dan mereka ga perpanjang karena mungkin mau mencari peruntungan di tempat lain.” Ujar WaWa seraya berseloroh.

Dengan lepasnya tiga pemain ini, Aerowolf berarti sudah tak lagi memiliki pemain dari angkatan pertama mereka. Namun, terbersit pertanyaan juga bagaimana dengan pemain lainnya, dari angkatan yang lebih baru? Sayangnya, sang Manajer pun hanya ingin membahas soal 3 pemain tadi kali ini.

Sumber: Aerowolf
Sumber: Aerowolf

Lalu bagaimana dengan penggantinya? Sayangnya, WaWa juga belum dapat memberikan penjelasan soal ini namun ia memberikan bocoran soal timeline mereka. “Harusnya (akan diumumkan) sebelum IENC.” Jawab sang Manajer. Jadi, buat para fans Aerowolf, Anda juga bisa mengikuti sendiri perkembangan tim ini lewat Facebook Page ataupun Instagram Aerowolf.

Ke mana ketiga pemain ini akan berlabuh nanti? Saya pun menghubungi salah satu shoutcaster MLBB, Mochammad Ryan Batistuta, yang biasa dikenal dengan nama ‘KB’ untuk menanyakan pendapat dan prediksinya.

“Sayangnya, 3 player Aerowolf ini belum ada kabar akan ke mana. Potensi yang mereka miliki memang kelihatan bagus di Season 1 namun memudar setelah sang kapten (G) serta Watt hilang. Sebenarnya, Aerowolf punya nama baru, Trust, yang bisa jadi potensi besar namun 3 pemain tadi sudah terlanjur keluar.” Jelas KB.

“Ada kemungkinan 3 punggawa Aerowolf ini akan menuju RRQ tapi ini masih prediksi aja sih. Memang belum ada informasi valid soal tim selanjutnya.” Tutup kawan saya yang katanya baru punya pacar baru ini… Eh…

Baldur’s Gate 3, cRPG Legendaris: Buah Hati Baru Larian Studios

Buat yang fanatik dengan Dungeons and Dragons (D&D) ataupun gamer PC sejati yang sekarang sudah jadi om-om, Anda seharusnya tahu seri game Baldur’s Gate.

Jika kita berbicara soal Baldur’s Gate, tak ada salahnya juga kita belajar sedikit soal sejarah RPG dan turunannya (termasuk MOBA). Baldur’s Gate (1998) adalah salah satu game yang mendapatkan lisensi resmi D&D karena memang menggunakan lore yang diangkat dari tabletop (board) game legendaris yang menjadi nenek moyang RPG.

D&D bisa dibilang sebagai cikal bakal lahirnya segala jenis game yang memiliki character role/class (macam Warrior, Mage, Rogue, dan varian-varian lainnya) dan formula rock-paper-scissors. Sedangkan Baldur’s Gate adalah salah satu game yang memopulerkan sistem dan formula itu ke kalangan yang lebih luas (di luar penggemar board game).

Baldur’s Gate dan Baldur’s Gate 2 (dengan BioWare sebagai developernya) adalah dua dari RPG klasik (cRPG) yang menjadi pakem bagaimana seharusnya merumuskan cerita (lore, plot, ketokohan, karakteristik, dkk.) dan gameplay dari sebuah game; bersama dengan game-game legendaris lainnya seperti seri Icewind Dale dan Planescape: Torment.

Baldur's Gate Enhanced Edition. Sumber: Steam
Baldur’s Gate Enhanced Edition. Sumber: Steam

Kenapa saya bercerita sedikit soal itu tadi? Karena saya ingin menekankan betapa penting dan istimewanya seri Baldur’s Gate sebagai salah satu tonggak sejarah perkembangan game sampai hari ini.

Menariknya, Baldur’s Gate 3 menjadi proyek garapan dari Larian Studios. Buat yang tidak tahu, Larian Studios adalah yang menggarap seri Divinity, termasuk Divinity: Original Sin (D:OS) dan Divinity: Original Sin 2 (D:OS2). Buat yang lebih senang bermain game picisan, Anda mungkin tak pernah mendengar nama developer ini. Namun mereka berhasil menciptakan sebuah mahakarya lewat 2 game terakhir mereka tadi. Karena itu, Larian Studios memiliki sentimen positif dari mereka-mereka yang cukup idealis dalam menilai sebuah game.

Kombinasi antara Baldur’s Gate 3 dan Larian Studios inilah yang membuat gempar para fanatik RPG sejati saat mendengar pengumumannya.

Menurut cerita CEO Larian Studio, Swen Vincke, kepada PC Gamer, ada cerita menarik di balik mendaratnya proyek Baldur’s Gate 3 ini ke pangkuan mereka. Awalnya, saat Vincke mendekati Wizards of the Coast (pemegang lisensi D&D), Larian Studios dianggap masih ‘bau kencur’ (kala itu Larian masih sedang dalam tahap pengembangan D:OS). Namun demikian justru Wizards yang menghubungi Larian saat mereka sedang menggarap D:OS2.

“Waktu D:OS2, kami harus menyerahkan desain untuk Baldur’s Gate, yang terasa sangat menyebalkan karena kami juga hendak merilis D:OS2,” Vincke bercerita. “Jadi kami duduk di hotel selama akhir pekan, sebulan sebelum rilis (D:OS2), saya bersama beberapa penulis dan designer, untuk membuat dokumen desain awal. Desain awal tadi memang tak terlalu bagus namun punya ide-ide inti dan mereka (Wizards) menyukainya.”

Larian pun membuat versi lainnya, Wizards jatuh hati, dan itulah yang menjadi fondasi dari Baldur’s Gate 3. Sayangnya, Larian belum mau mengungkap lebih banyak soal fondasi tadi. Meski memang ada beberapa hal yang mungkin bisa jadi clue dari obrolan Vincke bersama PC Gamer.

“Ada banyak orang di Larian yang bermain D&D dan ada banyak sesi game yang berjalan terus menerus, jadi hal itu memudahkan kami karena kami punya lore police internal. Saya malah yang biasanya mencoba keluar dari pakem namun mereka menegur saya untuk kembali ke ‘kiblat’. Biasanya hal itu memang cukup karena koreksi internal kami justru lebih kaku ketimbang Wizards. Mereka sangat fleksibel dengan tujuan membuat petualangan jadi lebih menyenangkan. Kami (Larian dan Wizards) punya keselarasan dalam berpikir dan implementasinya, namun punya kami berbentuk video game.” Jelas Vincke.

D:OS2 juga sudah punya mode Game Master dan Co-Op yang mengijinkan Anda bermain tabletop RPG di PC. Karena itu, Baldur’s Gate juga akan memberikan para pemainnya perlengkapan yang serupa untuk dimainkan.

Meski memang Vincke tidak mau memberikan konfirmasinya untuk Baldur’s Gate 3, ia mengaku tertarik untuk meninjau kembali sistem origin di Original Sin 2 yang menyuguhkan karakter premade dengan latar belakang, quests, dan talents yang unik.

“Saya kira latar belakang cerita yang berbeda-beda (di D:OS2) adalah sebuah terobosan untuk genre RPG. Ekspektasi untuk origin stories tadi juga sebenarnya lebih tinggi dari apa yang bisa kita implementasikan di game-nya namun saya kira kami berhasil membuatnya relevan dan saling terkait, namun ada banyak hal lainnya yang bisa dilakukan lagi soal fitur tersebut. Saya sungguh tertarik untuk eksplorasi lebih jauh soal ini.”

Divinity: Original Sin 2. Credits: Larian Studios
Divinity: Original Sin 2. Credits: Larian Studios

Baldur’s Gate 3 juga akan mengizinkan Anda bertualang bersama kawan (multiplayer) namun Larian belum mau bercerita tentang bagaimana implementasi sistem multiplayer-nya nanti.

Akhirnya, saya pribadi, yang memang maniak cRPG dan selalu mendamba game-game dengan cerita mendalam serta gameplay yang kompleks, sungguh tak sabar menanti reinkarnasi seri game legendaris yang jadi buah hati baru antara Larian Studios dan Wizards of the Coast.

Upaya Mengurai Permasalahan Ekosistem Esports Dota 2 Indonesia

Bulan April 2019 kemarin menjadi bulan berkabung buat para pemerhati esports Dota 2 Indonesia. Pasalnya, tanggal 25 April 2019, Rex Regum Qeon (RRQ) menutup divisi Dota 2 mereka. Tak lama berselang, 29 April 2019, The Prime Esports juga turut menutup divisi tertua mereka.

Memang, tim Dota 2 Indonesia yang paling berprestasi sampai sekarang, BOOM ID masih terus bertahan dan malah mengukir prestasi-prestasi baru di tingkat internasional. Selain itu, PG Barracx juga bahkan punya 3 tim Dota 2 (setidaknya sampai artikel ini ditulis, sepengetahuan saya). EVOS Esports juga sepertinya masih punya keyakinan dengan divisi Dota 2 mereka, berhubung belum lama menarik salah satu pemain bintang; Muhammad “inYourdreaM” Rizky.

Sumber: Instagram Team RRQ
Sumber: Instagram Team RRQ

Namun demikian, bubarnya RRQ dan The Prime bisa jadi bukti nyata memang ada masalah yang tak terurai (atau bahkan tak disadari) dengan ekosistem esports Dota 2 Indonesia. Pasalnya, kedua organisasi ini memang bisa dibilang sebagai salah dua tonggak sejarah perkembangan ekosistem esports Dota 2 Indonesia.

RRQ merupakan salah satu pionir esports Dota 2 di sini dan menjadi rumah bagi salah satu legenda Dota Indonesia, Farand “Koala” Kowara. RRQ juga menjadi tempat berkembang besarnya Kenny “Xepher” Deo, yang sempat bermain untuk TNC Tigers dan sekarang membawa nama Geek Fam. Kedua tim tadi adalah tim besar asal Malaysia.

Di sisi lain, The Prime Esports juga tak bisa dipandang sebelah mata atas signifikansinya memantapkan Dota 2 jadi game esports terlaris selama bertahun-tahun di Indonesia; sebelum mobile esports menyerbu. Mereka sempat menguasai dunia persilatan Dota 2 Indonesia beberapa tahun silam. The Prime Esports, yang dulu dikenal dengan nama TP NND, juga menjadi kampung halaman yang membesarkan nama-nama besar di Dota 2; seperti inYourdreaM, KelThuzard, Nafari, Rusman, R7, dan yang lainnya.

Untuk mencoba mengurai masalah ekosistem esports Dota 2 di Indonesia kali ini, saya pun menghubungi berbagai pihak terkait. Saya menghubungi General Manager The Prime Esports, Anton Sarwono, dan CEO Team RRQ, Andrian Pauline. Tidak lupa juga saya menanyakan beberapa pendapat shoutcaster Indonesia yang besar dari scene Dota 2 seperti Gisma “Melon” Priayudha Assyidiq, Riantoro “Pasta” Yogi, dan Dimas “Dejet” Surya Rizki.

Dari obrolan saya bersama kawan-kawan saya tadi, ada sejumlah masalah yang saling terkait yang saya temukan di ekosistem esports Dota 2. Sebelum kita membahas masalah-masalah tadi, saya kira penting saja untuk menyebutkan motivasi saya menuliskan ulasan ini. Saya pribadi sudah berkecimpung di industri game Indonesia dari 2008. Jadi, saya punya kepentingan dan keinginan untuk melihat industri ini terus bertahan (sustainable) sampai nanti di masa mendatang (atau paling tidak sampai saya sudah tak bisa bekerja lagi).

Karena itulah, saya tak bermaksud membuat tulisan ini menjadi ‘drama’ dengan menyudutkan satu pihak tertentu. Motivasi utama saya hanyalah bagaimana Anda dan kawan-kawan sekalian yang peduli dengan industri ini menyadari masalah dan berupaya bersama untuk ekosistem yang lebih baik.

Regenerasi Ekosistem yang Tersendat

Beberapa waktu yang lalu, saya sebenarnya pernah menuliskan perbincangan saya dengan Yohannes Siagian, Vice President EVOS Esports, tentang masalah regenerasi ini (Regenerasi Esports: Sebuah Abstraksi dan Kedewasaan Menjadi Solusi). Namun mungkin memang proses regenerasi sendiri adalah proses panjang yang butuh waktu.

Ketika kita berbicara soal regenerasi, hal ini tidak harus selalu berarti kehabisan pemain karena masalah usia. Saya kira saya harus meluruskan hal ini karena banyak yang masih salah kaprah. Namun permasalahan regenerasi adalah juga soal bagaimana ekosistem mampu mencetak pemain-pemain baru, dengan jenjang yang jelas.

Saya sebenarnya sudah mulai melihat persoalan ini sejak tahun 2018. Pasalnya, di banyak bursa transfer tahun lalu pun, tidak banyak nama-nama pemain yang baru muncul. Hampir semua bursa transfer pemain Dota 2 di 2018 adalah soal pemain lama yang pindah dari tim profesional ke tim lain. Bukan pemain yang benar-benar belum pernah bergabung dengan tim profesional sebelumnya.

Imbas dari impotensi regenerasi ini pun dirasakan oleh The Prime dan RRQ. Menurut pengakuannya masing-masing, baik Anton dari The Prime ataupun AP dari RRQ sebenarnya juga sudah mencoba memasukkan pemain rookie ke dalam divisi Dota 2 mereka. Namun solusi ini tak berhasil karena kendala yang tak jauh berbeda.

AP dari RRQ mengatakan bahwa kendala di para pemain rookie yang ia temukan adalah tingkat permainan mereka yang terlalu jauh di bawah standar. “Standarnya jauh banget (dengan pemain pro).” Kata AP. Standar yang terlalu jauh ini memang jadinya tidak masuk akal untuk kondisi tim Dota 2 RRQ terakhir. Pasalnya, sebelum bubar, tim mereka masih punya pemain-pemain berpengalaman seperti Rusman, R7, Yabyoo, dan Acil.

Sedangkan Anton bercerita bahwa kendalanya ada di para pemain baru yang tidak bisa full time alias bootcamp karena kesibukan mereka sebagai pelajar ataupun mahasiswa. Tanpa bootcamp, jelas perkembangan mereka jadi tak maksimal. Jadwal latihan mereka pun jadi tak bisa optimal seperti layaknya para pemain yang bisa terus tinggal di gaming house.

Masalah regenerasi tadi terjadi karena memang tak ada ruang-ruang kompetitif untuk kelas amatir ataupun pelajar (mahasiswa) sebelumnya. Tahun 2018 dan 2019 ini sebenarnya sudah ada beberapa kompetisi Dota 2 untuk kelas di bawah profesional, seperti JD HSL untuk kelas SMA dan IEL untuk kelas mahasiswa. Namun demikian, sekali lagi, proses regenerasi butuh waktu.

IEL University. Sumber: IESPA
IEL University. Sumber: IESPA

Di sisi lainnya lagi, menurut saya, persoalan regenerasi ini juga terjadi tak hanya untuk suplai pemain namun juga untuk orang-orang di belakang layarnya. Dalam kasus ini, ekosistem esports kita juga masih kekurangan suplai manajer tim yang mumpuni.

Saat saya berbincang dengan Anton dari The Prime, saya pun menanyakan hal ini, “jika punya manajer tim yang hebat, apakah memungkinkan sebuah tim bisa berkembang tanpa bootcamp?” Anton pun menjawab, “mungkin saja.”

“Betul (talent pool manajer yang kurang juga). Makanya ada beberapa divisi (The Prime) yang masih gua pantau dari jauh. Cuma, kalau manajernya qualified, langsung gua lepas.” Cerita Anton.

Berhubung akan terlalu panjang jika dibahas detailnya di sini, mungkin saya akan bahas khusus soal manajer tim esports di lain waktu. Namun singkatnya, meski memang idealnya manajer tim bisa ditempati oleh mantan-mantan pemain seperti Aldean Tegar Gemilang dari EVOS Esports ataupun Brando Oloan dari BOOM ID, jalur tersebut makan waktu terlalu lama untuk mencetak sumber daya manusia baru yang kompeten.

Brando Oloan. Dokumentasi Hybrid - Lukman Azis
Brando Oloan. Dokumentasi Hybrid – Lukman Azis

Meski demikian, persoalan suplai pemain profesional mungkin lebih pelik ketimbang manajer tim. Karena kemampuan mengatur sumber daya manusia bisa dilatih di ruang-ruang lain, di luar ekosistem esports. Sedangkan mencetak para pemain rookie yang siap naik kasta memang hanya bisa dilakukan di dalam ekosistem esports-nya sendiri.

Absennya Dukungan Publisher

Jika berbicara mengenai ruang kompetitif buat kelas rookie, memang ada 2 pihak yang bisa dibilang ideal untuk menangani hal ini: pemerintah dan publisher game tersebut. Sayangnya, untuk Dota 2, mungkin kita tidak akan bisa sampai pada kondisi ideal.

Jika berbicara soal peran pemerintah di esports, jujur saja, saya tak berharap banyak. Kenapa? Karena industri esports Indonesia sendiri belum bisa menjadi sumber devisa untuk negara. Lain halnya jika esports sudah bisa menyumbangkan sebagian keuntungannya untuk negara.

Di sisi lainnya, AP dari RRQ mengutarakan pendapatnya bahwa publisher game-nya lah yang seharusnya memerhatikan masalah ekosistem rookie. “Ini dari developer/publisher game-nya yang harusnya notice. Mereka yang punya power lebih. Tapi ada baiknya juga semua pelaku di industri aware tentang hal ini.” Ujar AP.

Saya sepenuhnya setuju dengan pendapat AP tadi. Sayangnya, dari awal Dota 2 dirilis, saya belum pernah mendengar bisikan-bisikan tentang keseriusan Valve menggarap scene esports game mereka di Indonesia.

Kenapa publisher merupakan pihak yang ideal untuk menggarap scene rookie? Karena hal tersebut adalah bentuk investasi jangka panjang untuk pihak ketiga, tim dan event organizer, dan tidak semua pelakunya punya kapasitas untuk itu.

Namun demikian, ketimbang menanti Valve melirik esports Indonesia yang mungkin tak akan pernah terjadi, para pelaku industri esports kita harus mau bertindak dan berbuat sesuatu.

Sumber: Dota 2 Official Media
Sumber: Dota 2 Official Media

“Harusnya ada roadmap yang jelas, setiap turnamen besar harus dipaketin sama turnamen amatirnya. Bahasa sederhananya… Amatir scene perlu disubsidi. Nyari untung di pro-scene; tapi supaya industrinya sustain, harus ada timbal baliknya dong. Jangan semua mau metik tapi ga mau menabur. Hahaha!” Jelas AP seraya berseloroh.

Hal yang serupa juga diutarakan oleh Gisma A.K.A Melondoto. Para pelaku industri harus mau membagi porsi antara mobile esports (yang mungkin sekarang dianggap lebih menguntungkan) dan PC. Misalnya, 70% resource untuk mobile dan 30% untuk PCMenurut Melon, ajang kompetitif untuk kelas amatir memang bisa jadi solusi untuk regenerasi.

Saya kira memang solusi soal ajang kompetitif untuk amatir ini memang harus segera dijalankan, ataupun digalakkan buat yang sudah berjalan, karena proses pematangan para pemain amatir butuh proses yang tidak sebentar.

Minimnya Pemahaman Exposure sebagai Komoditas Industri

Jika berbicara soal esports mobile, tak jarang hal tersebut juga sering dijadikan kambing hitam atas menurunnya popularitas esports di PC; seperti yang diutarakan oleh Dimas Dejet. Ia berpendapat bahwa esports mobile membuat esports PC kalah dalam hal exposure. Lagipula, Dejet juga menambahkan bahwa esports sekarang adalah soal industri. Jadi, menurutnya, ada ideologi yang harus dikorbankan. “Ada kalanya nyerah sama ideologi daripada memaksakan sesuatu yang tidak menghasilkan.” Ungkap Dejet.

Saya pribadi setuju dengan sebagian pendapatnya. Dari sisi exposure, saya kira saya tak perlu menjelaskan panjang lebar kenapa esports PC memang kalah popularitasnya saat ini. Menurunnya exposure esports PC memang ada kaitannya dengan meningkatnya popularitas esports mobile. Namun, masih banyak orang yang mungkin belum sadar betul soal perhatian dan exposure sebagai komoditas.

Faktanya, jika kita berbicara soal exposure atau perhatian end-user, ada satu batasan absolut yang tak dapat dipungkiri; yaitu waktu kita.

Sumber: ESL
Sumber: ESL

Setiap manusia, siapapun itu, cuma punya waktu sehari 24 jam. Jika ada lebih banyak orang yang menghabiskan waktunya bermain game mobile ataupun menonton esports-nya, hal ini berarti lebih sedikit waktu yang tersisa untuk esports lainnya (dalam hal ini PC). Namun demikian, hitung-hitungan tadi hanya berlaku untuk end-user yang memang bermain game ataupun menonton esports untuk 2 platform, PC dan mobile.

Padahal, saya tahu betul bahwa memang ada orang-orang yang hanya bermain game di satu platform dan orang-orang yang tidak menonton semua pertandingan esports untuk semua game yang ada. Misalnya, ada banyak orang yang memang hanya bermain di console ataupun hanya di PC.

Banyak yang mengatakan bahwa platform mobile lebih populer gara-gara harganya dan mobilitasnya. Hal tersebut memang ada benarnya namun jarang saya yang mendengar argumentasi soal keterbatasan waktu untuk gamer console dan PC. Maksud saya seperti ini, bisa jadi, gamer PC dan console itu memang punya waktu luang yang lebih terbatas. Kembali lagi, kita semua punya keterbatasan waktu yang absolut.

Karena itu, gamer PC dan console mungkin tidak akan punya banyak waktu lebih untuk menonton esports-nya. Apalagi, jika berbicara soal exposure dan perhatian, esports Dota 2 sendiri harus bersaing dengan pertandingan-pertandingan tingkat internasional (Minor ataupun Major). Jadwal turnamen luar dan dalam negeri sendiri sudah tak relevan lagi diperdebatkan jika perspektif waktu tadi masih disadari.

Maksud saya seperti ini, anggaplah di satu hari ada turnamen Minor jam 2 pagi. Fans yang menonton pertandingan itu sampai selesai, mungkin tak akan menonton pertandingan lokal keesokan harinya karena masih mengantuk setelah begadang semalaman. Jadwal pertandingan sudah tak lagi relevan dalam berebut perhatian penonton karena, nyatanya, kita punya kesibukan lainnya setiap hari yang menghabiskan waktu.

Kenapa hal ini jadi masalah yang penting disadari? Karena industri yang baik adalah yang paham betul soal komoditas, satuan, dan alat tukar industri tersebut.

Kurangnya Fokus dan Investasi Jangka Panjang

Mengutip kembali kata AP di atas tadi, yang mengatakan bahwa masalah regenerasi harus disubsidi, saya memang setuju sekali dengan tujuannya. Namun, saya pribadi kurang setuju dengan istilah dan konsep soal ‘subsidi’ untuk regenerasi.

BOOM ID saat berlaga di ajang Minor. Sumber: VP Esports.
BOOM ID saat berlaga di ajang Minor. Sumber: VP Esports.

Di sisi lain, dari obrolan saya bersama Dejet dan Melondoto, pandangan esports mobile yang lebih menggiurkan dan menguntungkan saat ini memang jadi konsensus sebagian besar pelaku bisnis esports di Indonesia. Tak hanya itu, dari pengalaman saya berbincang dengan berbagai pelaku industri esports belakangan ini juga mengemukakan hal yang senada. Maka dari itu, lebih banyak pelaku bisnis esports (mulai dari tim, EO, sponsor, media, bahkan para pekerjanya) saat ini yang fokus menggarap game-game mobile ketimbang PC; termasuk Dota 2.

Lalu apa benang merahnya antara soal istilah ‘subsidi’ tadi dan pergeseran tren ke mobile esports? Menurut saya, benang merahnya ada di kurangnya fokus dan investasi jangka panjang di banyak pelaku bisnisnya.

Itu tadi kenapa saya kurang setuju dengan istilah ‘subsidi’. Subsidi itu seperti sebuah sedekah atau hibah, yang memang tidak mengharap imbalan. Sedangkan menghidupkan ekosistem kompetitif untuk tingkat amatir adalah soal investasi jangka panjang, setidaknya menurut saya pribadi. Pasalnya, memang harus ada imbas alias keuntungan yang diharapkan dan bahkan direncanakan dari soal investasi untuk ekosistem kelas amatir.

Izinkan saya mengambil contoh dari pemain industri-industri besar di luar sana. Jika kita berbicara soal industri teknologi, R&D (research and development) adalah bentuk investasi jangka panjangnya. Menurut laporan dari Recode yang dirilis di VOX tahun 2018, Amazon bahkan menggelontorkan dana sampai mendekati angka US$23 miliar untuk R&D. Alphabet, induk perusahaan Google, merogoh kocek mereka sampai dengan US$16 miliar untuk kebutuhan yang sama. Sedangkan Intel mencapai angka US$13 miliar dan Microsoft mencapai angka US$12 miliar.

Modal untuk R&D yang besarnya amit-amit tadi memang tak bisa langsung diraih keuntungannya dalam waktu dekat namun hal ini harus dilakukan untuk memastikan para pemain tadi (termasuk industrinya) masih bisa sustain untuk jangka waktu yang panjang.

Kurangnya fokus untuk jangka panjang ini jugalah yang saya lihat dari para pelaku industri esports yang beramai-ramai menggelontorkan sebagian besar anggaran ke mobile esports, hanya karena trennya lagi ramai di sana.

Sebelum salah kaprah, saya harus katakan bahwa saya tak ada masalah dengan ramainya esports mobile. Saya pribadi, sebagai salah satu pelaku industri game Indonesia, sungguh bersyukur ada Mobile Legends: Bang Bang (MLBB) dan Moonton di Indonesia. Karena, bagaimanapun juga, mereka punya andil besar membawa industri esports Indonesia sampai ke titik ini.

Sumber: ThePrime official Media
Sumber: ThePrime official Media

Kritik saya bukanlah soal esports mobile-nya namun kepada perilaku gegabah yang mengambil keputusan hanya dari sebatas tren semata tanpa ada pertimbangan konsekuensi jangka panjang. Jika hal ini terus dilakukan, bukan tidak mungkin juga game-game esports mobile yang sedang naik daun sekarang akan mengalami nasib yang sama.

Misalnya saja soal tren yang terjadi di ajang kompetitif di 2018. Tahun lalu, sebagian besar turnamen esports pihak ketiga (jika tidak mau dibilang semua) pasti ada pertandingan Mobile Legends nya. Bagi saya pribadi, hal ini juga sebenarnya tidak baik untuk sustainability dari Mobile Legends karena fans esports nya bisa jadi bosan dan ‘kebal’ dengan hype yang coba ditawarkan.

Anggap saja seperti ini, andaikan ada Piala Dunia dan Liga Champion (sepak bola) 5 kali dalam setahun. Apakah hype-nya masih bisa terjaga? Saya kira tidak.

Hal ini juga sebenarnya terjadi untuk kasus Dota 2. Faktanya, sebelum ada Mobile Legends, Dota 2 menjadi favorit para penyelenggara esports di Indonesia. Namun semuanya memang hanya memilih Dota 2 karena trennya saat itu, tanpa ada pertimbangan lebih lanjut.

Memikirkan solusi mencari keuntungan dari investasi jangka panjang itu memang tidak mudah karena tingkat kompleksitasnya yang tinggi. Namun, buat Anda yang membaca artikel ini, tak ada salahnya juga untuk mulai berpikir ke depan dan mulai membuka diskusi tentang ini.

Faktanya, pengetahuan kolektif (collective wisdom and knowledge) adalah yang membuat kita manusia berkembang sampai hari ini, menguasai dunia, dan berbeda dari binatang lainnya.

Soft Skill Pro Player Dota 2 yang Perlu Digali Lebih Jauh

Sumber: Dota 2 Official Blog
Sumber: Dota 2 Official Blog

Obrolan saya bersama Pasta lah yang membuat saya menyadari memang butuh satu bagian lagi dalam upaya saya kali ini mengurai permasalah ekosistem Dota 2 Indonesia.

“Sama ini paling, player-nya bisa branding diri mereka juga atau engga, supaya penonton bisa lebih antusias buat nontonin mereka live stream atau tanding. Kalau di MLBB kan gitu.” Ujar Pasta.

Di sisi lainnya, saat saya berbincang dengan AP dan Anton, saya juga sebenarnya menanyakan soal memasukkan pemain luar negeri ke divisi Dota 2 mereka. Kendala yang mereka rasakan soal ini juga sama, yaitu soal bahasa.

2 hal tadi adalah soal soft skill yang saya kira punya pengaruh terhadap masalah ekosistem Dota 2 Indonesia.

Mari kita bahas soal bahasa lebih dulu. Tim-tim Dota 2 luar negeri sebenarnya juga terdiri dari pemain-pemain berbagai negara. OG saat menjadi juara The International 2018 berisikan pemain-pemain dari 5 negara. Team Liquid saat jadi juara The International 2017 bahkan berisikan pemain dari 6 negara.

Di CS:GO, ada 2 pemain Indonesia yang juga bermain untuk tim Tiongkok, TYLOO; Hansel “BnTeT” Ferdinand dan Kevin “xccurate” Susanto. Saya yakin mereka tidak pakai bahasa Indonesia saat berkomunikasi dengan rekan satu timnya yang berasal dari Tiongkok.

Selain berguna untuk timnya sendiri yang memungkinkan untuk mengambil pemain luar negeri, penguasaan bahasa selain bahasa Indonesia sebenarnya penting juga untuk para pemain kita jika tidak ingin terjebak dengan scene esports lokal. Soal ini, solusinya mungkin sudah bisa dimulai dari sekarang untuk tim-tim esports lokal yang bermain game esports yang scene-nya besar di luar sana; seperti menerapkan aturan untuk pembelajaran bahasa Inggris untuk semua pemainnya.

Di sisi lain, seperti yang diungkap oleh Pasta tadi, saya pribadi setuju dengan pendapatnya soal para pemain Dota 2 Indonesia yang memang kurang memanfaatkan panggung mereka sebagai figur publik. Selebritas atau popularitas pemain esports, menurut saya, memang berpengaruh terhadap scene-nya secara keseluruhan.

Maksud saya seperti ini, rivalitas antara Messi dan Ronaldo (sebelum pindah ke Juventus) adalah salah satu faktor juga ramainya penonton pertandingan antara Barcelona dan Real Madrid. Hal ini juga terjadi di pertandingan MLBB antara RRQ dan EVOS Esports, karena masing-masing punya Lemon dan JessNoLimit. Ketokohan dua pemain tadi di MLBB, saya kira berpengaruh terhadap jumlah penontonnya.

Dari pengalaman saya sebagai jurnalis, saya sendiri merasakan bahwa para pemain MLBB itu lebih ramah terhadap media. JessNoLimit yang bahkan punya 5,5 juta subscribers di YouTube itu media darling karena memang ia cukup pandai bersikap kepada para awak media. Demikian juga dengan banyak pemain MLBB yang saya kenal seperti Oura, G, Fabiens, Arss, Jeel, dan kawan-kawannya yang akan terlalu banyak jika disebutkan semuanya di sini.

Memang, tak semua pemain MLBB juga terbuka diwawancarai (buat anak-anak media esports dan game pasti tahu siapa saja yang saya maksud, hahahaha…) Namun, setidaknya jumlah para pemain MLBB yang lebih ramah saat dimintai kutipan ataupun komentar itu lebih banyak ketimbang pemain Dota 2 (setidaknya berdasarkan pengalaman saya pribadi).

Soft skill semacam bahasa ataupun kepandaian memanfaatkan panggung sebagai figur publik ini, saya percaya betul sangat berpengaruh terhadap ekosistem esports-nya secara keseluruhan. Harapannya, lebih banyak manajemen tim yang juga mulai menyadari betapa pentingnya hal ini untuk diajarkan.

Wings Gaming saat juara TI6. Sumber: Red Bull
Wings Gaming saat juara TI6. Sumber: Red Bull

Penutup

Sebelum jadi skripsi ratusan halaman, itu tadi 5 masalah yang saya temukan berpengaruh terhadap ekosistem Dota 2 di Indonesia. Saya kira masalah-masalah ini juga sebenarnya terjadi di ekosistem game esports lainnya di Indonesia (CS:GO uhuk…).

Jadi, dari upaya saya mengurai permasalahan ini, semoga saja kita semua bisa belajar lebih jauh dan berdiskusi sehat demi ekosistem esports Dota 2 ataupun game esports lainnya yang lebih dewasa dan berumur panjang.

Jagoan-Jagoan MLBB Asia Tenggara Siap Tarung untuk MSC 2019

Buat yang belum tahu, MSC adalah singkatan dari Mobile Legends: Bang Bang Southeast Asia Cup. MSC ini adalah kompetisi esports resmi dengan kasta tertinggi untuk Mobile Legends: Bang Bang (MLBB) yang digelar setiap tahun.

MSC memang bisa dibilang kasta tertinggi, meski masih meliputi wilayah Asia Tenggara; karena belum ada lagi kejuaraan MLBB yang cakupan wilayahnya di atas MSC.

Dikutip dari EGG Network, JJ Lin, Esports Manager of Moonton memberikan komentarnya, “para fans dapat melihat kompetisi yang sengit selama 3 hari karena tim-tim terbaik se-Asia Tenggara akan saling berhadapan. Kali ini, kami telah memastikan bahwa setiap tim dapat bermain di panggung megah dan fans menikmati aksi spektakuler selama acara. Jadi, pastikan Anda mendapatkan tiketnya dan bergabung bersama kami untuk menjadi saksi lahirnya legenda baru di Smart Araneta Coliseum mulai tanggal 21 Juni 2019.”

Sumber: MSC
Sumber: MSC

MSC 2019 ini adalah MSC yang ketiga karena pertama kali digelar di 2017. Menariknya, jika MSC 2017 dan MSC 2018 digelar di Indonesia, MSC 2019 tak lagi digelar di sini; melainkan di Filipina. Kompetisi bergengsi ini nantinya akan digelar di Smart Araneta Coliseum, di kota Manila, tanggal 21-23 Juni 2019.

Sayangnya, hanya babak Grand Finalnya tadi yang bisa disaksikan secara langsung di tempat. Babak grupnya, tanggal 19-20 Juni 2019, hanya bisa ditonton lewat live streaming di Facebook Fanpage MLBB.

Tiket Menonton Langsung

Buat Anda yang ingin menonton langsung di tempatnya, ada berbagai jenis tiket yang harus ditebus dengan detail sebagai berikut:

Jenis tiket MSC 2019. Sumber: EGG Network
Jenis tiket MSC 2019. Sumber: EGG Network

Harga tiket tertinggi (paket 3 hari tiket Mythic), mungkin memang cukup mahal, yakni ₱1710 (sekitar Rp470 ribu), namun Anda bisa mendapatkan Skin EPIC juga dengan membeli tiket ini. Sedangkan untuk pemegang tiket Legendary (sekitar Rp350 ribu), Anda juga bisa mendapatkan Skin SPECIAL.

Buat pemegang paket tiket 3 hari di bawah dua kelas tadi, Anda juga masih bisa mendapatkan Skin namun dengan rarity Normal.

Skema tempat duduk MSC 2019. Sumber: EGG Network.
Skema tempat duduk MSC 2019. Sumber: EGG Network.

Peserta MSC 2019 dan Pembagian Grupnya

Seperti yang kami tuliskan tadi, berhubung MSC memang merupakan ajang paling bergengsi untuk esports MLBB, peserta MSC 2019 ini juga merupakan tim-tim terbaik dari berbagai penjuru Asia Tenggara. Ada 12 tim peserta yang akan memperebutkan total hadiah US$120 ribu (sekitar Rp 1,7 miliar).

Penentuan tim peserta yang berhak berlaga di sini ditentukan oleh 2 hal. Buat negara-negara yang sudah memiliki MPL (Mobile Legends: Bang Bang Professional League) seperti Indonesia, Malaysia-Singapura, Filipina, dan Myanmar, peserta MSC 2019 adalah Juara 1 dan Juara 2 dari MPL Season 3 di masing-masing negara.

Sedangkan buat negara-negara yang belum ada MPL nya (Thailand, Vietnam, Kamboja, dan Laos), ada kualifikasi khusus untuk MSC 2019 namun negara-negara tersebut hanya berhak mengirimkan satu perwakilan tim saja.

Berikut ini adalah 12 peserta MSC 2019 beserta jalurnya masing-masing:

  • ArkAngel (Juara 1 MPL-PH Season 3)
  • Bren Esports (Juara 2 MPL-PH Season 3)
  • ONIC Esports (Juara 1 MPL-ID Season 3)
  • Louvre Esports (Juara 2 MPL-ID Season 3)
  • Geek Fam (Juara 1 MPL-MY/SG Season 3)
  • EVOS Esports (Juara 2 MPL-MY/SG Season 3)
  • Team Resolution (Juara 1 MPL-MM Season 2)
  • Burmese Ghouls (Juara 2 MPL-MM Season 2)
  • Team IDNS (dari kualifikasi Thailand)
  • Overclockers (dari kualifikasi Vietnam)
  • Diversity Helheim (dari kualifikasi Kamboja)
  • WAWA Gaming (dari kualifikasi Laos)

Dari 12 nama tadi, buat yang belum terlalu tahu soal sejarah peta kekuatan tim MLBB di Asia Tenggara, ada 3 tim peserta yang sebelumnya ikut serta meramaikan MSC 2018.

Pembagian Grup MSC 2019. Sumber: EGG Network.
Pembagian Grup MSC 2019. Sumber: EGG Network

Pertama, IDNS bisa dibilang tim terkuat MLBB dari Thailand dari tahun 2017. Mereka adalah juara pertama MSC saat digelar pertama kali di 2017. IDNS kembali bertarung di MSC 2018 namun sayangnya mereka tak meraih hasil maksimal kala itu.

Kedua, ada Bren Esports. Tim ini sebenarnya begitu mengerikan, baik di Filipina ataupun di Asia Tenggara. Inilah sang juara bertahan di MSC 2018. Saat itu, mereka (yang kala itu masih menggunakan nama Aether Main) tak terkalahkan di MSC 2018. Sayangnya, sepertinya mereka sedikit menurun performanya karena bahkan tak berhasil jadi juara di MPL-PH Season 3.

Tim terakhir yang juga pernah ikut serta di MSC 2018 adalah Burmese Ghouls dari Myanmar. Kala itu, tim Myanmar ini memang tak terlalu mendapatkan sorotan. Namun tahun kemarin memang belum ada MPL-MM. Jadi, bisa saja mereka belum punya banyak jam terbang di kompetisi tingkat profesional. Siapa tahu, tim ini dapat memberikan kejutan yang berarti di MSC 2019 ini nanti.

Satu lagi yang mungkin menarik untuk dibahas adalah nama EVOS Esports yang turut serta di MSC 2019. EVOS Esports yang berhak bertanding di MSC 2019 ini adalah EVOS Esports SG yang menjadi juara 2 di MPL MY-SG. Padahal, sebelumnya, EVOS Esports Indonesia yang beranggotakan JessNoLimit, Oura, dan kawan-kawannya turut meramaikan MSC 2018. Sayangnya, EVOS Esports tadi justru kalah di hari pertama Grand Final MPL-ID Season 3.

Akhirnya, buat para fans esports MLBB yang tidak bisa pergi ke Manila nanti, Anda tetap bisa menonton semua pertandingan MSC 2019 lewat live streaming di Facebook Fanpage Mobile Legends: Bang Bang. Sedangkan untuk informasi lebih lanjut tentang MSC 2019 dan pembelian tiketnya, Anda bisa mengunjungi laman resmi MSC 2019.

Apakah ONIC Esports masih bisa mendominasi ajang kompetitif MLBB jika lawan-lawannya adalah tim-tim terbaik se-Asia Tenggara (mengingat mereka memang begitu dominan di dunia persilatan MLBB Indonesia belakangan ini)?

Semoga Indonesia akhirnya bisa mengklaim sebagai jagoan terbaik untuk MLBB di Asia Tenggara setelah gagal meraih predikat tersebut 2 tahun berturut-turut…

Ferrari Turut Meriahkan New Balance Esports Series di 2019

F1 New Balance Esports Series adalah ajang esports balap simulasi tahunan hasil kerjasama antara Codemasters dan F1. Tahun ini, ajang balap ini punya durasi musim yang lebih panjang dan total hadiah yang lebih besar dari tahun sebelumnya.

Untuk Ferrari sendiri, tahun lalu mereka absen dari ajang ini. Namun sekarang, 10 pembuat mobil F1, semuanya turut berpartisipasi.

F1 New Balance Esports Series 2019 ini sebenarnya sudah menjalankan kualifikasinya sejak tanggal 8 April 2019 untuk 3 platform berbeda: PS4, Xbox One, dan PC. Pembalap-pembalap terbaik di kualifikasi tersebut akan mendapatkan undangan untuk berlaga di babak Pro Draft pada bulan Juli tahun ini sebagai event terakhir untuk menentukan siapa para pembalap yang berhak turut serta.

Sumber: F1 Esports.
Sumber: F1 Esports.

Musim 2019 ini akan terbagi jadi 4 live events (naik dari 3 di 2018). Sedangkan hadiahnya naik 2x lipat lebih dari US$200K jadi US$500K (sekitar Rp7 miliar).

New Balance kembali menjadi sponsor utama ajang ini. Sedangkan Fanatec akan menjadi penyedia hardware dan DHL akan menjadi sponsor untuk Fastest Lap Award.

“Kami sangat bergembira menyambut kesepuluh tim yang berpartisipasi di F1 New Balance Esports Series 2019.” Ujar Julian Tan, Head of Growth untuk F1 Esports yang kami kutip dari laman resmi F1 Esports.

“Tahun lalu, kita melihat pertumbuhan besar untuk seri ini dan, dengan melihat komitmen Ferrari turut berlaga di ajang virtual ini, kami akan terus meningkatkan seri ini ke tingkat yang lebih tinggi sembari terus menyelaraskan olahraga virtual dan real-world; menciptakan suguhan esports paling inovatif yang ada di dunia, baik di ajang balap ataupun di luar itu. Dengan 10 tim yang akan bertarung untuk memperebutkan US$500K, musim ini akan menjadi yang terbesar sepanjang sejarah.” Lanjut Julian.

Buat yang belum terlalu familiar dengan esports balap simulasi, cabang esports inilah yang mungkin memang paling dekat dengan olahraga ‘tradisional’. Pasalnya, esports balap virtual saat ini sudah menjadi ajang pencarian bakat buat tim-tim balap real world untuk mencari bibit-bibit baru.

Di Indonesia sendiri, esports balap virtual juga bahkan telah mendapatkan dukungan dari Ikatan Motor Indonesia (IMI). Mereka mendukung esports balap simulasi dengan tujuan menciptakan pembalap-pembalap simulasi baru agar nantinya mampu menjadi pembalap real world, seperti Rama Maulana.

Suguhan Beasiswa dan Program Esports dari Sekolah PSKD

Sebenarnya, SMA 1 PSKD memang sudah membuat gempar industri gaming Indonesia saat mereka mengenalkan program esports mereka di 2016. SMA ini menjadi institusi pendidikan formal pertama yang justru merangkul esports sebagai bagian dari proses pembelajaran.

Di tahun 2019 ini, mereka semakin memantapkan langkah mereka sebagai institusi pendidikan yang merangkul komunitas gaming; yang biasanya dijauhi oleh kebanyakan institusi pendidikan formal.

Program esports SMA 1 PSKD yang sekarang merupakan lanjutan yang lebih komprehensif dari program sebelumnya. “Kalau dulu, game mobile belum masuk secara full. Tahun ini sudah. Sebelumnya belum ada dukungan juga dari publisher gamenya. Sekarang kita sudah mendapatkan dukungan dari Garena dan Tencent.” Ujar Yohannes Siagian, Kepala Program Pembinaan Esports SMA 1 PSKD.

Kerennya lagi, murid-murid peserta program esports di sekolah ini juga akan mulai ikut turnamen kelas umum (yang bukan khusus untuk pelajar).

Apakah hal ini berarti murid-murid PSKD akan ikut turnamen sekelas PINC, misalnya? Tanya saya ke Joey, sapaan akrab Yohannes; yang sekarang juga menjabat sebagai Vice President EVOS Esports.

“Kalau level anak-anak bisa mencapai tingkat itu, kita akan daftarkan. Realistisnya akan perlu 1-2 tahun minimal sebelum bisa ikut selevel PINC tapi goal-nya mulai ke arah sana. Kemungkinan juga akan pakai nama ‘PSKD Esports’ or yang serupa.” Jelas Yohannes.

Hal tersebut sangat layak diacungi beribu-ribu jempol (andai saya punya tangan sebanyak itu). Pasalnya, memberikan lebih banyak pengalaman esports kepada kaum muda adalah salah satu solusi masalah regenerasi yang sudah mulai terasa imbasnya di ekosistem esports Indonesia.

Buat yang belum tahu banyak soal program esports dari PSKD, Anda bisa membaca sendiri informasi lengkapnya di PSKDEsports.com. Namun, singkatnya, izinkan saya menceritakan sedikit tentang program tersebut.

Program pembinaan esports SMA 1 PSKD adalah program pembinaan intensif yang diintegrasikan dengan program pendidikan formal di tingkatan SMP dan SMA. Saat ini, program pembinaan esports PSKD sudah bisa didapat di 2 sekolah berikut ini:

  1. SMA 1 PSKD. Jl. Diponegoro No.80 Senen, Jakarta Pusat.
  2. SMP 1 PSKD. Jl. Kwini 1 No. 1. Senen, Jakarta Pusat.

Rencananya, akan ada 2 lokasi tentatif untuk tahun ajaran 2019/2020 juga, yaitu:

  1. SMA 4 PSKD. Jl. Panglima Polim II No.51A. Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
  2. SMP 4 PSKD. Jl. Panglima Polim II No.51A. Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Sedangkan untuk program pembinaan esports-nya sendiri, ada 5 game yang sudah tersedia di sini. Kelima game tersebut adalah:

  1. PUBG Mobile
  2. Arena of Valor
  3. Free Fire
  4. Dota 2
  5. Mobile Legends

Selain pembinaan kompetitif yang spesifik untuk game-nya, mereka juga menggelar ‘jurusan’ untuk:

  1. Content Creation and Management
  2. Social Media Management
  3. Game Casting and Broadcasting
  4. General Esports

Sayangnya, sampai artikel ini ditulis, program esports dari PSKD ini hanya tersedia untuk murid-murid sekolah itu. Jadi, Anda harus memindahkan sekolah anak, adik, ataupun keponakan Anda jika ingin mendapatkannya. Namun demikian, Yohannes mengatakan bahwa mereka juga sedang mempersiapkan program pembinaan usia muda yang ditujukan untuk umum.

Beasiswa Esports PSKD

Lalu bagaimana soal beasiswanya? Seperti apakah bentuknya? Dan bagaimana proses seleksinya?

“Beasiswa esportsbasically, kita akan subsidi biaya pendidikan anak yang memang punya talenta dan potensi di esports; selama dia berkomitmen untuk belajar benar, kerja keras, mengikuti program, disiplin, dan mengikuti peraturan. Sedangkan prestasi dan juara tidak masuk pertimbangan untuk mempertahankan beasiswa.”

Di sekolah ini, ternyata juga ada dua macam beasiswa, yaitu beasiswa ekonomi dan prestasi. Beasiswa prestasi bisa diberikan untuk siswa yang mampu ataupun tidak mampu. Namun, jika sudah mendapatkan beasiswa prestasi namun masih kesulitan biaya, sekolah akan menambahkan dengan beasiswa ekonomi.

Lalu bagaimana cara mereka menentukan murid yang layak mendapatkan beasiswa?

Joey pun bercerita ada beberapa hal yang dipertimbangkan sebelum memberikan beasiswa. Sifat-sifat siswa dan nilai akademis mereka akan berpengaruh terhadap keputusan ini.

“Mau bekerja keras, humble, bersedia mengorbankan waktu dan tenaga untuk mencapai cita-citanya dan disiplin.” Jawab Yohannes saat saya tanyakan sifat-sifat yang dicari dari murid penerima beasiswa.

Namun demikian, menurut saya, hal tersebut mungkin masih sedikit ambigu atau mungkin terlalu subjektif karena semua orang bisa mengklaim sifat-sifat itu semua.

Karena itu, Yohannes pun meyakinkan saya bahwa proses wawancara saat seleksinya yang menjadi sangat penting. “Staff penerimaan murid kita pengalamannya sudah banyak. Jadi memang skilled dalam proses seleksi dan wawancara.” Ujarnya.

Maybe yang paling penting bagi saya itu potensi dididik dan berkembang. Nggak apa-apa saat ini nilai jelek atau pengetahuan kurang, asal potensi dikembangkan ada.” Tambah Yohannes.

Hybrid Day saat di SMA 1 PSKD. Dokumentasi Hybrid - Lukman Azis
Hybrid Day saat di SMA 1 PSKD. Dokumentasi Hybrid – Lukman Azis

Bagaimana soal nilai akademis calon penerima beasiswa?

“Nilai (akademis) pengaruh tapi kita lihat per kasus. Misalnya, anak dari Siantar dan anak dari Yogyakarta tidak bisa menggunakan standar yang sama.”

Akhirnya, Yohannes yang juga mantan Kepala Sekolah untuk SMA 1 PSKD ini memberikan penutupnya sebelum mengakhiri perbincangan kami.

“Kalau ada anak usia SMP/SMA yang serius ingin memajukan kemampuan dirinya di bidang esports (sebagai pemain atau peran lain di industri esports) dan siap kerja keras untuk menggapai mimpi itu, jangan ragu untuk daftar. Skill saat ini tidak jadi masalah. Yang paling penting adalah punya passion dan mau kerja keras. Tujuan sekolah itu membuat yang tidak bisa jadi bisa.

Kita memang tidak menjamin bahwa semua peserta program kita menjadi pemain pro. Namun, yang pasti, mereka akan mendapatkan pengalaman penting yang menjadi modal mereka untuk membangun masa depan yang lebih baik.”

Microsoft akan Bawa Lebih Banyak Game ke Steam

Kabar baik datang dari raksasa teknologi dunia, Microsoft. Mereka mengumumkan bahwa Microsoft akan membawa lebih banyak game-game Xbox Game Studios ke Steam.

Keputusan tersebut merupakan bagian dari strategi layanan langganan Xbox Game Pass untuk PC yang diumumkan tanggal 30 Mei 2019.

Mengutip dari PC Gamer; Phill Spencer, Kepala divisi Xbox dari Microsoft, mengatakan, “tujuan kami adalah membuat game-game PC dari Xbox Game Studios tersedia di berbagai toko (digital), termasuk Microsoft Store on Windows milik kami, saat perilisannya. Kami percaya bahwa Anda harusnya punya pilihan di mana Anda ingin membeli game PC.”

Xbox Game Pass untuk PC. Sumber: Microsoft
Xbox Game Pass untuk PC. Sumber: Microsoft

Sebelumnya, sebagian besar dari game mereka memang eksklusif di Microsoft Store yang berarti berbentuk Universal Windows App (UWA). Format UWA sendiri memang punya banyak kekurangan karena tak mendukung moddingoverlays, dan berbagai ekstensi semacam ReShade. Padahal, hal-hal itulah yang sebenarnya membuat PC gaming superior dibandingkan platform gaming lainnya.

Sejumlah game rilisan Microsoft seperti Halo Wars sudah dirilis di Steam. Seri Master Chief Collection juga akan dirilis di Steam tahun ini, yang dimulai dari Halo Reach.

Pada saat pengumumannya, Age of Empires 1-3 Definitive Editions dan Gears 5 akan masuk gelombang pertama yang akan dirilis di Steam. Sayangnya, belum ada kejelasan untuk gamegame yang memang eksklusif untuk Microsoft Store seperti Sea of Thieves ataupun seri Forza Horizon.

Namun demikian, mungkin kita boleh sedikit optimis karena Microsoft juga menambahkan pernyataan berikut ini:

“Memungkinkan para gamers untuk bermain bersama cross-platform dan cross-network di PC Windows 10 dan console adalah hal yang krusial. Membangun komunitas antar pemain, terlepas dari toko ataupun platform yang mereka gunakan (console ataupun PC), juga sama pentingnya karena hal tersebut dapat menyatukan para gamer, memungkinkan game-game nya mendapatkan pasar terbesar, dan membangun kebersamaan sebagai potensi yang sesungguhnya dari kegiatan bermain.”

Steam akan menjadi tujuan pertama sebelum Microsoft membawa game-game mereka ke toko-toko lainnya. “Kami tahu jutaan PC gamers memercayai Steam sebagai tempat untuk mendapatkan game mereka dan kami mendengar masukan bahwa para gamer PC ingin punya opsi. Kami juga tahu bahwa ada toko-toko lain di PC dan kami berupaya untuk memberikan lebih banyak pilihan bagi para gamer untuk menemukan game-game Xbox Game Studios di lebih banyak toko.”

Jadi, apakah nanti kita juga dapat melihat ada game Microsoft di GOG?

State of Decay 2 yang masih belum tersedia untuk Steam. Sumber: Microsoft
State of Decay 2 yang masih belum tersedia di Steam. Sumber: Microsoft

Selain Microsoft akan merilis game-game mereka di Steam, Microsoft Store juga akan memberikan dukungan ke game-game Win32. Hal ini berarti jika para publisher ataupun developer ingin menaruh game mereka di Microsoft Store, mereka tak lagi harus me-repackage game mereka jadi berbentuk UWA.

Akhirnya, Microsoft Store sendiri mungkin memang tidak populer di kalangan gamer PC. Namun Windows adalah sistem operasi terbaik untuk gaming dan DirectX juga sudah sangat berjasa besar dalam perkembangan sejarah gaming sampai hari ini (setidaknya menurut pendapat saya). Jadi, sudah sewajarnya juga jika berbagai komponen lain dari Microsoft turut memberikan dukungan yang terbaik buat para loyalis PC Master Race.

FACEIT Resmi Awali Esports Apex Legends

FACEIT, event organizer yang biasanya dikenal menggelar ajang kompetitif untuk CS:GO, menjadi yang pertama menggelar esports Apex Legends yang berlisensi resmi dari Respawn Entertainment dan EA Games. Turnamen resmi pertama ini bertajuk FACEIT Pro Series: Apex Legends.

Rangkaian turnamen ini akan mempertandingkan 16 tim yang terdiri dari 8 event dengan total hadiah sebesar US$50 ribu. Turnamen pertamanya akan dimulai tanggal 31 Mei 2019.

Dari 16 tim yang bertanding, ada 14 tim undangan (invited) dan 2 tim dari Closed Qualifier. Nama-nama klub esports besar yang sudah dikonfirmasi akan mengikuti kejuaraan ini adalah 100 Thieves, CLG, G2 Esports, Cloud9, compLexity, Dignitas, GenG, Misfits, NRG, dan Fnatic. SKT T1 dan Team Liquid juga sudah mendapatkan undangan menurut laman resmi Pro Series.

Sedangkan dua tim yang lolos dari kualifikasi adalah Alliance dan Fire Beavers. Sayangnya, kejuaraan ini memang masih terbatas untuk regional Amerika Utara.

Menariknya, meski ini turnamen berlisensi resmi, pertandingannya akan ditandingkan menggunakan public matches alias tanpa custom lobby.

Mengutip jawaban dari perwakilan FACEIT yang diwawancarai oleh Dot Esports, “ajang ini tidak akan dimainkan melalui custom lobby karena Apex Legends memang masih baru jadi belum punya fitur itu. Kejuaraannya juga akan menggunakan format ‘pub stomp’ yang artinya setiap tim bertarung satu sama lain untuk mendapatkan jumlah kill dan kemenangan terbanyak.”

Buat yang masih bingung dengan bagaimana sebuah turnamen Apex Legends berjalan (setidaknya di masa awal-awal sekarang ini) dan penasaran dengan esports resmi pertamanya, Anda bisa menonton sendiri pertandingan-pertandingannya yang ditayangkan langsung di kanal Twitch resmi untuk FACEIT.