7 Mitos Soal Game dan Esports: Fact-Checking

Semakin tinggi pohon, semakin kencang angin yang menerpanya. Seiring dengan naiknya popularitas game dan esports, semakin banyak juga asumsi yang muncul di tengah masyarakat. Seperti game menyebabkan kecanduan atau semua pemain profesional dibayar dengan gaji tinggi. Karena itu, kali ini, Hybrid.co.id akan membahas tentang tujuh mitos yang masih dipercaya oleh banyak orang.

1. Tidak Banyak Perempuan yang Bermain Game

Sampai sekarang, salah satu mitos yang dipercaya oleh banyak orang adalah tidak banyak perempuan yang bermain game. Memang, jumlah gamers laki-laki lebih banyak dari gamers perempuan. Jadi, secara teknis, laki-laki memang kelompok mayoritas. Meskipun begitu, ada banyak perempuan yang juga senang bermain game. Menurut data dari Niko Partners, jumlah gamers perempuan di Asia pada 2017 mencapai 346 juta orang, sekitar 32% dari total popoulasi gamers di Asia. Dua tahun kemudian, pada 2019, jumlah gamers perempuan naik menjadi 500 juta orang, berkontribusi 38% dari total populasi gamers di Asia.

Menariknya, Niko Partners menyebutkan, pertumbuhan jumlah gamers perempuan di Asia lebih tinggi dari angka pertumbuhan gamers secara umum. Pada 2020, pertumbuhan jumlah gamers secara umum hanya mencapai 7,8%. Sementara pertumbuhan jumlah gamers perempuan mencapai 14,8%. Di Indonesia sendiri, jumlah gamers perempuan mencapai 49% dari total gamers di Tanah Air. Sementara di Tiongkok, angka itu sedikit turun menjadi 45%.

Dari 500 juta gamers perempuan di Asia, sebanyak 483 juta (95%) bermain di platform mobile, 201 juta orang (40%) bermain di PC, dan hanya 8,5 juta orang (2%) bermain menggunakan konsol. Seiring dengan naiknya jumlah gamers perempuan, kontribusi mereka pada industri game pun terus naik. Pada 2019, gamers perempuan berkontribusi 35% pada total pemasukan industri game. Diperkirakan, angka itu naik menjadi 39% pada 2020. Sementara data dari Statista menunjukkan, pada 2017, 46% dari keseluruhan gamers merupakan perempuan.

Pembagian gamers berdasarkan umur dan gender. | Sumber: Statista

Belum lama ini, Sony juga merilis laporan tentang game. Dalam laporan tersebut, diketahui bahwa jumlah gamer perempuan yang membeli PlayStation 4/5 jauh lebih banyak dari era PlayStation 1. Pada era PS1, persentase gamers perempuan yang membeli konsol itu hanyalah 18%. Sementara di era PS4/5, jumlah gamers perempuan yang memiliki kedua konsol itu mencapai 41%.

Dari semua data di atas, bisa disimpulkan bahwa gamers perempuan sebenarnya tidak selangka unicorn. Lalu, kenapa gamers perempuan jarang ditemui? Berdasarkan riset terbaru yang dilakukan oleh Reach3 Insights dan Lenovo, sebanyak 59% gamers perempuan menyembunyikan gender mereka ketika bermain game online. Menurut laporan GamesIndustry, alasan gamers perempuan menyembunyikan gendernya adalah untuk menghindari gangguan alias harassment. Salah seorang responden mengaku, demi menyembunyikan gendernya, dia sering memainkan karakter laki-laki di game MMORPG. Dia menjelaskan, dia melakukan hal itu untuk menghindari pemain lain merayunya serta mengirimkan item atau pesan yang tidak diinginkan.

2. Gamers Adalah Orang-Orang Anti-Sosial

Gamers sering digambarkan sebagai seorang penyendiri yang sibuk bermain game tanpa memedulikan orang lain. Padahal, sejak kemunculan game online, gamers juga sering bersosialisasi dengan satu sama lain. Berdasarkan studi berjudul Motivations for Play in Online Games yang dirilis pada 2006, ada tiga alasan mengapa seseorang bermain game. Salah satunya adalah untuk menjalin hubungan dengan pemain lain.

Mengingat manusia adalah makhluk sosial, tidak aneh jika kita selalu berusaha untuk terhubung dengan orang lain dan menjadi bagian dari sebuah kelompok. Karena itulah, game-game online — baik game kooperatif maupun kompetitif — bisa populer. Faktanya, di Korea Selatan dan Tiongkok, bermain game masuk dalam kategori kegiatan sosial. Sebelum pandemi, Hybrid juga mengadakan  acara kumpul para gamers bertajuk Hybrid Dojo setiap dua minggu sekali. Tak hanya itu, teman sekantor saya — yang bukan bagian dari Hybrid — juga sering mengajak satu sama lain mabar PUBG Mobile. Hal ini menunjukkan, walau game bisa dinikmati sendiri, tapi sebagian gamers lebih suka untuk bermain game bersama orang lain.

In-game chat adalah salah satu media komunikasi di game. | Sumber: Medium

Sementara itu, studi The Journal of Computer-Mediated Communication, yang dirilis pada 2014, menemukan bahwa para gamres online tidak hanya fokus untuk melawan musuh dan menaikkan level, tapi juga berinteraksi dengan satu sama lain.

Gamers bukanlah orang-orang anti-sosial yang selalu mengurung diri di kamar, yang merupakan stereotipe yang sering kita lihat di berbagai media pop-culture,” kata Nick Taylor, Lead Author dari studi The Journal of Computer-Mediated Communication, seperti dikutip dari CNET. “Hal ini memang bukan sesuatu yang mengejutkan bagi komunitas gamers. Namun, temuan ini pantas untuk disebarluaskan ke masyarakat awam. Tidak banyak gamers yang merupakan penyendiri.”

3. Bermain Game Lama = Kecanduan Game

Selain beredarnya meme tersebut, film Joker juga membuat banyak orang — khususnya generasi muda — yang mendadak mengaku mengalami penyakit mental, mulai dari depresi sampai Bipolar Disorder (BPD). Padahal, sebagian dari mereka mungkin hanya melakukan self-diagnose dan tidak pergi ke ahli kejiwaan. Tren ini menunjukkan bagaimana sekarang, sebagian orang mulai meromantisasi atau bahkan mengglorifikasi penyakit mental. Dan hal ini membuat sebagian orang mengaku bahwa mereka memiliki gangguan mental tertentu. Terkadang, orang mengklaim bahwa dirinya mengalami depresi, padahal dia hanya merasa sedih.

Begitu juga dengan kecanduan game. Banyak orang dengan mudahnya mengklaim bahwa dirinya atau orang lain mengidap “gaming disorder“. Padahal, senang bermain dalam waktu lama bukan berarti seseorang mengalami kecanduan game. Memang, pada 2019, World Health Organization (WHO) menyatakan gaming disorder sebagai penyakit kejiwaaan. Meskipun begitu, mereka juga menjelaskan beberapa karakteristik dari orang-orang yang memang mengidap masalah gaming disorder.

WHO mengklaim gaming disorder sebagai penyakit mental pada 2019. | Sumber: TechCrunch

Dalam situs resminya, WHO menjelaskan, salah satu karakteristik pecandu game adalah kehilangan kendali akan kebiasaan bermain game. Jadi, seseorang yang mengalami gangguan gaming disorder akan kesulitan untuk membatasi waktu bermainnya. Gejala kedua, pengidap gaming disorder akan memprioritaskan bermain game di atas kegiatan lain, termasuk kegiatan yang merupakan kewajibannya, seperti belajar dan bekerja. Tak tertutup kemungkinan, pengidap gaming disorder juga akan lebih mengutamakan bermain game daripada memenuhi kebutuhan dasar mereka, seperti makan atau mandi.

Karakteristik terakhir dari pengidap gaming disorder adalah mereka tetap bermain walau mereka telah merasakan dampak buruk dari keputusan mereka untuk terus bermain. Misalnya, seorang pelajar yang nilainya merosot karena kebanyakan bermain game tetap memilih untuk bermain game daripada belajar. Jika seseorang memiliki tiga karakteristik di atas dan ketiga gejala tersebut bertahan selama setidaknya 12 bulan, maka dia bisa dinyatakan sebagai pengidap gaming disorder.

4. Game Sama dengan Esports

Esports merupakan bagian dari game. Namun, tidak semua game memiliki esports. Pada dasarnya, definisi dari esports adalah kompetisi dengan video game sebagai alat. Sementara menurut Red Bull, esports adalah ketika para pemain terbaik di sebuah game saling beradu untuk memperebutkan hadiah.  Dengan begitu, bisa disimpulkan, salah satu karakteristik utama esports adalah kompetitif. Namun, tidak semua game fokus untuk menawarkan elemen kompetitif. Sebagian menonjolkan sisi naratif, sebagian yang lain justru menawarkan fitur kooperatif.

Hal lain yang membedakan esports dengan game adalah tujuan dari para pelaku. Dalam esports, tujuan utama para pemain profesional adalah untuk menang dan meraih gelar juara, tidak peduli game esports apa yang mereka tekuni. Lain halnya dengan game. Karena cakupan game jauh lebih luas, maka tujuan seseorang untuk bermain game pun lebih beragam. Ada orang yang bermain game demi gameplay yang menarik, ada yang lebih tertarik dengan lore atau worldbuilding yang immersive, dan ada pula orang-orang yang bermain game demi bisa bersosialisasi dengan gamers lain. Satu hal yang pasti, tujuan utama dari game adalah sebagai media hiburan.

5. Semua Pemain Profesional Punya Gaji Besar

Gaji pemain bintang yang berlaga di Premier League tentunya berbeda dengan gaji pemain dari klub yang berlaga di English Football League Two. Begitu juga dengan pemain esports. Memang, gaji pemain profesional kini menjadi terus naik seiring dengan meningkatnya popularitas esports. Sayangnya, tidak semua pemain esports bisa meniktmati gaji memadai. Besar gaji yang diterima seorang atlet esports akan tergantung pada kemampuannya. Selain itu, hal lain yang memengaruhi gaji yang pemain profesional terima adalah game yang dia tekuni. Semakin populer sebuah game, semakin besar pula potensi gaji yang seseorang bisa terima.

Gaji minimal dari pemain Overwatch League (OWL) adalah US$50 ribu per tahun. Sementara gaji rata-rata dari pemain liga League of Legends Amerika Utara (LCS) bisa mencapai US$300 ribu per tahun. Di Indonesia, gaji pemain Mobile Legends Professional League (MPL) bisa mencapai Rp7 juta. Satu hal yang harus diingat, OWL, LCS, dan MPL merupakan liga esports dengan dukungan dari publisher. Jadi, publisher bisa menentukan gaji minimal yang diterima oleh pemain profesional. Tujuannya, untuk memastikan para pemain profesional memang memberikan performa yang terbaik.

Gaji minimal pemain OWL adalah US$50 ribu. | Sumber: Upcomer

Hanya saja, tidak semua publisher mendukung skena esports dari game mereka. Bagi para pemain esports yang menekuni game-game yang kurang populer, gaji yang mereka terima pasti tidak sebesar gaji pemain dari game-game dengan skena esports yang mumpuni. Mari jadikan pemain Valorant sebagai contoh. Menurut narasumber Hybrid.co.id, gaji pemain Valorant beragam. Ada yang menerima gaji di atas Upah Minimum Regional (UMR) Jakarta, ada yang menerima sekitar UMR Jakarta, dan ada juga yang menerima gaji di bawah UMR Jakarta. Sementara bagi pemain profesional dari game yang popularitasnya sudah memudar, gaji yang mereka terima bisa hanya mencapai ratusan ribu rupiah.

6. Pekerjaan Pemain Profesional Hanya Bermain Game

Pemain profesional bisa disandingkan dengan atlet profesional. Tugas para atlet esports adalah untuk terus mengasah kemampuannya bermain. Jadi, jangan heran jika seorang pemain profesional bisa menghabiskan beberapa jam sehari untuk bermain. Namun, sebenarnya, seorang pemain profesional tidak menghabiskan seluruh waktunya hanya untuk bermain game. Mereka juga harus melakukan kegiatan lain, seperti berolahraga atau meninjau gameplay tim dan permainan musuh.

Liyu “Cody” Sun, pemain League of Legends, mengatakan bahwa tidur yang cukup, pola pikir yang sehat, serta kehidupan sosial yang seimbang juga penting bagi seorang pemain esports. Menurutnya, menghabiskan waktu sepanjang hari hanya untuk bermain bukanlah latihan yang efektif.

“Saya pikir, para pemain profesional yang bisa bermain di level tertinggi adalah mereka yang bisa menemukan jadwal yang sesuai untuk diri mereka sendiri dan membangun gaya hidup yang efisien — berlatih, berolahraga, memastikan asupan gizi cukup, dan memiliki kehidupan sosial yang baik” kata Sun, seperti dikutip dari Intel.

Menurut Spectatorph, dalam sehari, pemain profesional bisa menghabiskan waktu sekitar 1 jam untuk berolahraga dan 1 jam lainnya untuk meninjau permainan tim. Dan waktu yang dihabiskan untuk bermain — berlatih bersama tim maupun sendirian — bisa mencapai 9 jam.

Sementara itu, CEO RRQ, Andrian Pauline alias AP mengatakan, tugas pemain profesional memang tidak hanya bermain game. Mereka juga harus melakukan review dari gaya permainan tim maupun lawan. Soal porsi antara waktu bermain game dengan kegiatan lain non-gaming, AP menjelaskan, hal ini juga tergantung kebutuhan. “Kadang full main, kadang 50-50, kadang 80-20,” ujarnya saat dihubungi oleh Hybrid. Biasanya, para pelatih dari masing-masing tim yang akan menentukan porsi latihan dari anak-anak didiknya.

7. Fans Esports Pasti Adalah Pria

Kebanyakan penonton esports merupakan gamers. Pasalnya, seseorang hanya bisa menikmati konten esports ketika mereka memahami game yang diadu. Jadi, seiring dengan semakin bertambahnya jumlah gamers perempuan, tidak heran jika jumlah penonton esports perempuan juga bertambah.

Menurut data dari Statista, pada 2019, jumlah fans esports perempuan mencapai 22% dari total penggemar esports di dunia. Persentase penonton esports di masing-masing negara berbeda-beda. Di AS, jumlah fans esports perempuan hanya mencapai 17%. Sementara di Inggris, jumlah fans esports perempuan mencapai 25%, Tiongkok 30%, dan Korea Selatan 32%.

Jumlah penonton esports perempaun di masing-masing negara. | Sumber: Statista

Data dari Interpret menunjukkan, jumlah penonton esports perempuan pada Q4 2018 adalah 30,4%, naik dari 23,9% pada Q4 2016. Tia Christianson, Vice President Interpret untuk kawasan Eropa mengatakan, peningkatan sebesar 6,5% dalam 2 tahun adalah pencapaian yang signifikan. Walau dia juga sadar, perubahan dalam komunitas dengan populasi besar akan membutuhkan waktu yang cukup lama. Kabar baiknya, pertumbuhan jumlah penonton esports perempuan menunjukkan bahwa komunitas esports memang tengah berubah ke arah yang benar, yaitu ke kesetaraan gender.

Kesimpulan

Manusia punya kecenderungan untuk mewaspadai sesuatu yang mereka tidak pahami. Karena itu, orang-orang terkadang menjadi takut akan hal-hal baru, termasuk game dan esports. Jadi, wajar jika muncul berbagai asumsi salah akan industri game dan esports. Misalnya, pada sekitar tahun 1988-1992, muncul ketakutan bahwa game-game table-top RPG (TTRPG), seperti Dungeons and Dragons, merupakan cara baru untuk mempromosikan satasnime, pornografi, dan bahkan pembunuhan. Karena itu, penting bagi masyarakat untuk tetap berpikir kritis dan tidak mempercayai informasi yang didapatkan begitu saja. After all, assume makes an ass out of u and me.

Pro dan Kontra Kekuasaan Absolut Publisher Game di Dunia Esports

Jika esports adalah sebuah kerajaan, maka publisher adalah rajanya, pemegang kekuasaan absolut yang bisa menentukan hidup-mati dari ekosistem esports sebuah game. Di satu sisi, kekuasaan publisher memungkinkan mereka untuk mengembangkan ekosistem esports. Di sisi lain, publisher juga punya kuasa untuk mematikan skena esports jika mereka menganggap bisnis esports tidak menguntungkan. Berikut argumen pro dan kontra akan kekuasaan penuh yang dipegang oleh para publisher di skena esports.

Pro #1: Tidak Ada Perebutan Kekuasaan

Di Indonesia, ada empat asosiasi yang menaungi esports, yaitu Indonesia Esports Association (IESPA), Asosiasi Video Game Indonesia (AVGI), Federasi Esports Indonesia (FEI), dan Pengurus Besar Esports Indonesia (PBESI). Masing-masing asosiasi punya afiliasi sendiri-sendiri. Misalnya, IESPA telah menjadi anggota dari International Esports Federation sejak 2013 dan menjadi anggota dari Komite Olimpiade Indonesia (KOI) sejak 2018. Selain itu, mereka juga terafiliasi dengan Federasi Olahraga Rekreasi Masyarakat Indonesia (FORMI). Sementara PBESI punya hubungan erat dengan Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI).

Pada Agustus 2020, KONI mengakui esports sebagai cabang olahraga berprestasi. Dengan begitu, esports tak lagi masuk dalam kategori cabang olahraga rekreasi. Artinya, kuasa IESPA di kancah esports menjadi tidak seluas sebelumnya. Sebaliknya, posisi PBESI justru menjadi setara dengan Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) atau Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia (PBSI). Dengan begitu, di mata hukum dan undang-undang, PBESI menjadi asosiasi dengan kewenangan tertinggi untuk memajukan esports, menurut One Esports. Padahal, sebelum itu, IESPA punya peran yang cukup besar dalam mendorong atlet esports berkompetisi di kompetisi global. Mereka bahkan bertanggung jawab atas pemilihat atlet esports di SEA Games 2019.

Idealnya, asosiasi-asosiasi esports di Indonesia bisa saling bahu membahu untuk mengembangkan ekosistem esports di Tanah Air. Dari tinju — yang punya empat organsiasi di dunia– kita bisa tahu asosiasi-asosiasi dari cabang olahraga yang sama bisa hidup berdampingan. Namun, keberadaan lebih dari satu asosiasi tidak hanya memperbesar kemungkinan terjadinya konflik antar asosiasi, tapi juga tumpang tindih tanggung jawab.

Nah, jika publisher memegang kuasa penuh akan skena esports, maka konflik perebutan kekuasaan bisa dicegah. Publisher bisa memastikan bahwa semua pihak yang terlibat dalam ekosistem esports — mulai dari pemain, tim, sampai penyelenggara turnamen — mematuhi peraturan yang mereka buat. Dengan begitu, proses pengembangan ekosistem esports bisa menjadi lebih kohesif. Tak hanya itu, ketika publisher memegang kuasa penuh, mereka juga bisa membuat skena esports menjadi lebih stabil.

Mari kita bandingkan kuasa absolut publisher di skena esports dengan sistem pemerintahan kediktatoran. Sistem pemerintahan demokrasi selalu disebut lebih baik dari kediktatoran. Namun, dalam demokrasi, pemimpin pemerintahan akan selalu berganti setiap beberapa tahun. Di Indonesia, paling maksimal, seseorang bisa menjabat sebagai presiden selama 10 tahun (alias 2 periode). Jadi, maksimal setiap 10 tahun, presiden Indonesia akan berganti.

Masalahnya, ketika ada pergantian pemimpin, biasanya, kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah juga akan berubah. Apalagi jika pemimpin yang baru berasal dari kelompok oposisi dari presiden yang lama. Hal ini pernah terjadi di DKI Jakarta. Ketika pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno memenangkan Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta pada 2017, mereka langsung mengubah beberapa kebijakan yang dibuat oleh pasangan gubernur dan wakil gubernur sebelumnya.

Pelantikan PBESI. | Sumber: Hybrid.co.id

Dalam kehidupan bernegara, perubahan kepemimpinan mungkin bisa berdampak baik. Namun, dalam skena esports, kontinyuitas adalah komoditas yang sangat penting. Bayangkan jika tahun ini, kuasa akan skena esports ada di tangan asosiasi A. Mereka memutuskan untuk membuat kompetisi esports tingkat SMA dan kuliah karena mereka merasa, regenerasi pemain esports sangat penting. Namun, pada tahun depan, kuasa akan esports beralih ke asosiasi B, yang merasa, membuat kompetisi tingkat amatir tidak ada gunanya. Mereka lalu membubarkan semua kompetisi untuk pelajar dan mahasiswa yang telah diadakan oleh asosiasi A sebelumnya. Hal ini justru akan membuat skena esports menjadi tidak stabil.

Bagi negara yang ada di bawah kepemimpinan seorang diktator, hidup atau matinya negara tersebut memang sepenuhnya tergantung pada karakter dan moral sang diktator. Begitu juga dengan esports. Ketika publisher memegang kuasa penuh, maka sukses atau gagalnya skena esports akan bergantung sepenuhnya pada publisher. Kabar baiknya, hampir semua publisher ingin ekosistem esports dari game mereka sukses. Alasannya sederhana: karena ekosistem esports akan memberikan dampak langsung pada keuangan publisher.

Pro #2: Pubisher akan Perjuangkan Skena Esports Mati-Matian

Valve mendapatkan US$130,8 juta dari penjualan Battle Pass The International 9. 25% dari total penjualan Battle Pass — sekitar US$32,7 juta — disalurkan langsung ke total hadiah TI9. Hal inilah yang membuat TI9 bisa menawarkan total hadiah sebesar US$34,3 juta. Padahal, Valve sendiri hanya menyiapkan US$1,6 juta. Hal itu berarti, Valve bisa mengantongi US$98,1 juta dari penjualan Battle Pass TI9. Padahal, Dota 2 adalah game gratis yang diluncurkan pada Juli 2013. Namun, berkat kesuksesan skena esports dari Dota 2, game itu tetap bisa menjadi tambang emas bagi Valve. Pertanyaannya, jika skena esports yang sukses bisa menghasilkan puluhan juta dollar, publisher mana yang tidak akan berjuang mati-matian untuk mengembangkan ekosistem esports dari game mereka?

Oke, The International mungkin merupakan kasus ekstrim yang tidak bisa ditiru oleh semua publisher. Namun, publisher punya beberapa opsi untuk memonetisasi skena esports dari game mereka. Misalnya, Riot Games membuat dan menjual skin dari tim yang menjadi juara League of Legends World Championship. Model monetisasi lain yang mereka gunakan adalah membuat liga League of Legends dengan model liga franchise. Artinya, jika sebuah tim ingin ikut serta dalam liga, mereka harus membayar sejumlah uang terlebih dulu. Saat ini, Riot telah menerapkan model franchise di tiga liga League of Legends, yaitu Liga Amerika Utara (LEC), Liga Eropa (LEC), dan Liga Korea Selatan (LCK). Di Indonesia, salah satu publisher yang mengadopsi model monetisasi liga franchise adalah Moonton dengan Mobile Legends Professional League (MPL).

Selain itu, esports juga bisa digunakan sebagai alat marketing, yang dapat memperpanjang lifecycle sebuah game. Ubisoft adalah contoh publisher yang sukses menjadikan esports sebagai alat marketing. Mereka meluncurkan Rainbow Six: Siege pada 2015. Satu tahun kemudian, pada 2016, jumlah pemain dari game FPS itu hanya mencapai 10 juta orang. Namun, pada 2020, angka itu meroket menjadi 55 juta pemain. Padahal, biasanya, semakin tua umur sebuah game, semakin sedikit jumlah pemainnya. Dalam kasus Ubisoft, skena esports R6 membuat game itu tetap relevan sehingga para pemain tetap setia dan tidak beralih ke game lain.

Karena sukses atau tidaknya sebuah skena esports punya dampak besar pada publisher, tentunya, mereka juga akan berjuang ekstra keras untuk memastikan skena esports dari game mereka tetap bertahan. Di Indonesia, skena esports Dota 2 dan Counter-Strike: Global Offensive sempat besar. Namun, sekarang, turnamen esports dari kedua game itu sudah jarang ditemui. Alasannya, karena gamers Indonesia lebih suka untuk memainkan mobile game dan juga tak ada publisher yang peduli dengan keberlangsungan ekosistem esports dua game tersebut di sini.

Karena skena esports yang sehat bisa menguntungkan publisher — baik secara langsung maupun tidak langsung — maka mereka pun akan berjuang ekstra keras untuk menumbuhkan dan mempertahankan ekosistem esports dari game mereka. Contohnya, ekosistem esports dari Dota 2 dan Counter-Strike: Global Offensive sempat besar di Tanah Air. Sayangnya, sekarang, tidak banyak pihak yang mengadakan kompetisi esports dari kedua game itu.

ClutchGuild yang lolos ke AOV World Cup 2018. | Sumber: Mineski

Sekarang, mari bandingkan dengan Arena of Valor. Mobile game MOBA itu juga kalah pamor jika dibandingkan dengan game-game mobile lain. Meskipun begitu, skena esports-nya masih hidup. Buktinya, Arena of Valor Premier League masih digelar. Dan total hadiah dari turnamen tersebut tidak kecil, mencapai US$350 ribu. Coba tebak siapa yang menyelenggarakan Arena of Valor Premier League? Tencent dan Garena. Hal ini menunjukkan, walau ekosistem esports tetap bisa bertahan tanpa dukungan publisher, sokongan publisher tetap akan memengaruhi sukses atau tidaknya skena esports.

Pro #3: Peraturan yang Pasti

Soal regulasi, baik penyelenggara turnamen (TO) maupun publisher sebenarnya sama-sama bisa membuat peraturan dalam sebuah skena esports. Hanya saja, publisher punya power yang lebih kuat untuk menegakkan peraturan yang mereka buat karena mereka memang memiliki akses langsung ke game yang diadu. Misalnya, jika ada pemain esports yang berbuat curang dalam kompetisi resmi PUBG Mobile, Tencent punya akses untuk melakukan ban pada ID pemain dari game. Sementara itu, jika hal yang sama terjadi di turnamen dari pihak ketiga, pihak TO hanya akan bisa melarang pemain mengikuti turnamen-turnamen yang mereka buat di masa depan.

Contoh lainnya, salah satu ekosistem esports di Indonesia yang besar tanpa dukungan publisher adalah Pro Evolution Soccer. Skena esports PES bisa tumbuh berkat Liga1PES dan juga Indonesia Football e-League (IFeL). Masing-masing kompetisi punya peraturan masing-masin. Namun, Liga1PES tidak akan bisa ikut campur dalam regulasi yang dibuat oleh IFeL dan begitu juga sebaliknya. Sementara itu, publisher akan bisa membuat regulasi yang harus dipatuhi oleh semua TO yang tertarik untuk membuat turnamen esports dari game mereka.

Head of Indonesia Football e-League, Putra Sutopo. | Sumber: Dokumentasi resmi IFeL

Memang, kekuasaan absolut publisher ini bisa disalahgunakan. Namun, mengacu pada poin pro #2, publisher tidak akan membuat regulasi yang tidak adil. Karena, hal ini bisa membuat tim dan pemain profesional enggan ikut serta atau bahkan membuat para fans marah. Jadi, kemungkinan besar, publisher akan mencoba untuk membuat regulasi yang memang kondusif untuk pertumbuhan ekosistem esports.

Kontra #1: Bisa Mematikan Ekosistem Esports Kapan Pun

Esports memang bisa menjadi sumber pemasukan baru bagi publisher. Hanya saja membuat ekosistem esports yang menguntungkan bukanlah perkara gampang. Terkadang, publisher harus menginvestasikan uang yang tidak sedikit dalam waktu lama demi mengembangkan ekosistem esports dari game buatan mereka. Karena itu, jangan heran jika ada publisher yang memutuskan untuk berhenti menyokong ekosistem esports dari game mereka ketika mereka menganggap, competitive gaming tidak menguntungkan. Blizzard Entertainment adalah salah satu publisher yang melakukan hal ini.

Blizzard merilis Heroes of the Storm pada 2015. Di tahun yang sama, Blizzard menggandeng organisasi esports tingkat universitas, Tespa, untuk menggelar kompetisi HoTS untuk para mahasiswa, Heroes of the Dorm. Blizzard menyediakan hadiah berupa beasiswa senilai US$25 ribu untuk tim yang bisa menjadi juara. Satu tahun kemudian, pada 2016, Blizzard mengadakan kompetisi HoTS untuk profesional. Tidak tanggung-tanggung, mereka membuat turnamen dengan skala global. Turnamen itu dinamai Heroes of the Storm Global Championship (HGC). Skena esports HoTS pun cukup sukses. Buktinya, sejumlah organisasi esports ternama ikut turut serta, seperti Gen.G dari Korea Selatan dan Fnatic dari Inggris.

Namun, pada Desember 2018, Blizzard memutuskan untuk berhenti mendukung skena esports HoTS. Alasannya, karena mereka menganggap, investasi di competitive gaming tidak menguntungkan. Masalahnya, ketika itu, Blizzard tidak menginformasikan rencana mereka untuk berhenti menyokong skena esports HoTS pada para tim atau pemain. Alhasil, pelatih dan pemain profesional HoTS mendadak kehilangan pekerjaan mereka. Organisasi profesional juga mengalami kerugian karena mereka sudah terlanjur membuat tim untuk HoTS. Kabar baiknya, para fans HoTS berhasil mempertahankan skena dari game MOBA tersebut. Walau tentu saja, skala turnamen yang diadakan menjadi jauh lebih kecil.

Keputusan Blizzard untuk menghentikan turnamen HoTS secara sepihak merupakan salah satu dampak negatif yang mungkin muncul karena publisher memegang kekuasaan absolut di dunia esports. Dan hal ini mendorong politikus Korea Selatan untuk membuat regulasi baru. Pada Mei 2021, anggota kongres dari Partai Demokrat Korea, Dong-su Yoo mengajukan regulasi bernama Heroes of the Storm Law. Regulasi tersebut ditujukan untuk memastikan tidak ada pihak penyelengggara turnamen — baik publisher atau TO — yang mendadak membatalkan kompetisi tanpa mengabarkan hal itu pada semua pihak terkait. Melalui HoTS Law, Yoo berharap, jika publisher atau perusahaan distributor game berencana untuk berhenti mengadakan kompetisi esports, mereka akan memberitahukan hal tersebut pada tim dan pemain beberapa sebelum rencana itu direalisasikan, menurut laporan Naver Sports.

“Dalam esports, jika publisher game tak lagi mendukung skena esports, banyak pihak yang akan terkena dampaknya, termasuk organisasi esports, pemain profesional, caster, penonton, dan berbagai pihak lain,” kata Yoo, seperti dikutip dari The Esports Observer. Dia menyebutkan, kebanyakan pemain esports merupakan remaja atau berumur 20-an, yang merupakan masa penting dalam menentukan dan membangun karir profesoinal mereka. Kematian ekosistem esports secara mendadak bisa memengaruhi karir mereka. “Harus ada regulasi yang melindungi mereka,” ujar Yoo.

Kontra #2: Publisher yang Tak Tertarik dengan Esports

Jika Blizzard memutuskan untuk menyetop kompetisi HoTS setelah menyokong ekosistemnya selama sekitar tiga tahun, Nintendo sama sekali tidak menunjukkan ketertarikan untuk membangun ekosistem esports dari Super Smash Bros. Padahal, ekosistem esports dari Super Smash Bros. cukup berkembang. Buktinya, ada kompetisi tahunan dari Super Smash Bros., Smash Summit, yang diadakan sejak 2015. Tak hanya itu, Super Smash Bros. juga masuk dalam EVO, kompetisi esports paling bergengsi untuk fighting game. Meskipun begitu, Nintendo tetap tak tertarik untuk menyokong ekosistem esports Super Smash Bros.

Memang, Nintendo masih memberikan bantuan pada komunitas Super Smash Bros., seperti bantuan logistik, tapi, mereka tidak memberikan bantuan finansial sma sekali. Alhasil, total hadiah dari turnamen-turnamen Super Smash Bros. jauh lebih kecil dari kebanyakan kompetisi esports lainnya. Sebagai perbandingan, Smash Summit 5 — kompetisi Super Smash Bros. dengan total hadiah terbesar — hanya menawarkan hadiah sebesar US$83,7 ribu. Sementara itu, MPL — yang hanya mencakup Indonesia — mempunya total hadiah sebesar US$150 ribu. Dan Riot menyediakan US$2,25 juta untuk League of Legends World Championship.

Keputusan Nintendo ini membuat sejumlah pemain profesional Super Smash Bros. meradang. Karena itu, pada 2020, President Nintendo, Shuntaro Furukawa, memberikan alasan di balik keputusan Nintendo untuk tidak mendukung ekosistem esports Super Smash Bros. Dia menjelaskan, perusahaan lebih ingin agar Super Smash Bros. bisa dinikmati oleh semua orang, baik gamer hardcore maupun kasual. Mereka tidak ingin menonjolkan perbedaan kemampuan antara pemain Super Smash Bros. profesional dengan pemain kasual. Memang, selama ini, Super Smash Bros. lebih dikenal sebagai fighting game yang fun dan bukannya fighting game yang serius.

Esports, yang menyediakan panggung bagi para gamers untuk bertanding dan memperebutkan hadiah di hadapan penonton, memang bisa menunjukkan daya tarik dari video game,” kata Furukawa pada Nikkei, seperti diterjemahkan oleh Kotaku. “Kami bukannya tidak mendukung esports. Kami ingin bisa berpartisipasi dalam berbagai event sehingga game-game kami bisa dinikmati semua orang, terlepas pengalaman, gender, atau umur. Kekuatan kami, apa yang membedakan kami dari perusahaan lain, adalah pandangan ini dan bukannya besar total hadiah turnamen.”

Kontra #3: Turunnya Legitimasi Turnamen Pihak Ketiga

The International adalah Piala Dunia-nya para pemain Dota 2. The be-all and end-all. Hal ini tidak aneh, mengingat TI memang menawarkan hadiah yang paling besar, tidak hanya jika dibandingkan dengan turnamen Dota 2 lainnya, tapi jika dibandingkan dengan semua kompetisi esports dalam satu tahun. Tim yang menjuarai TI sudah pasti akan menjadi tim dengan total hadiah terbesar dalam satu tahun.

Bagi Valve, tingginya hype TI memang kabar baik. Namun, bagi penyelenggara turnamen pihak ketiga, hal ini justru bisa menjadi masalah. Pasalnya, total hadiah TI yang terlalu besar justru membuat kompetisi Dota 2 lainnya terlihat tidak signifikan. Hal ini bisa membuat para tim atau pemain papan atas enggan untuk ikut serta dalam turnamen yang diadakan oleh pihak ketiga. Dan jika tidak ada pemain atau tim elit yang berlaga, pihak penyelenggara akan kesulitan untuk menarik perhatian penonton.

Selain dari segi total hadiah, turnamen dari penyelenggara pihak ketiga juga biasanya kesulitan untuk menyaingi turnamen resmi dari publisher dari segi prestige. Ketika Anda menonton The International atau PUBG Mobile Global Championship, Anda tahu bahwa tim-tim yang bertanding di turnamen itu merupakan tim terbaik. Karena, untuk bisa berlaga di TI atau PMGC, sebuah tim harus melalui “babak penyisihan”, seperti turnamen tingkat nasional atau regional. Hal ini menunjukkan, kompetisi resmi dari publisher biasanya memiliki jenjang yang jelas. Dari kompetisi tingkat nasional, lalu naik ke tingkat regional, sebelum masuk ke level global.

Astralis dan The Liquid yang memenangkan Intel Grand Slam Season 1 dan 2. | Sumber: Dexerto

Sementara itu, tidak semua kompetisi dari TO pihak ketiga bisa sekomprehensif itu. Selain itu, membuat kompetisi esports yang berjenjang, seperti yang dilakukan oleh para publisher, memakan biaya yang tidak sedikit. Tidak banyak perusahaan yang mau untuk menyiapkan dana dan tenaga demi membuat kompetisi esports dengan jenjang panjang. Salah satu perusahaan non-publisher yang bisa melakukan itu adalah Intel, yang mengadakan Intel Grand Slam dengan bantuan dari ESL Gaming. Intel Grand Slam menawarkan hadiah US$1 juta untuk tim CS:GO yang berhasil memenangkan 4 turnamen S-Tier dalam periode 10 kompetisi.

Keberadaan Intel Grand Slam memang membuktikan bahwa pihak ketiga pun bisa membuat kompetisi yang berkelanjutan. Hanya saja, ada berapa banyak perusahaan yang mampu dan mau melakukan hal itu? Intel ada di posisi unik. Mereka tidak hanya punya dana yang memadai, mereka juga merupakan merek endemik esports. Pada 2020, pemasukan Intel mencapai US$77,87 miliar. Sementara itu, pendapatan NVIDIA pada tahun fiskal 2021 adalah US$16,68 miliar, Sony US$10,7 miliar, dan Lenovo Group US$50,7 miliar.

Kesimpulan

Power corrupts, and absolute power corrupts absolutely. Dalam kehidupan bernegara, seseorang yang memegang kekuasaan penuh kemungkinan besar memang akan tergoda untuk mengambil keputusan yang menguntungkan dirinya atau kelompoknya. Dan dalam dunia esports, publisher — sebagai pemegang kuasa absolut — juga punya potensi untuk berbuat semena-mena. Hal ini dibuktikan oleh Blizzard yang secara sepihak menyetop kompetisi Heroes of the Storm. Namun, hal itu bukan berarti semua publisher akan melakukan hal itu.

Pasalnya, sebagai perusahaan, publisher pasti akan mencoba untuk mendapatkan untung sebanyak-banyaknya. Dan esports bisa menjadi sumber pemasukan baru. Hanya saja, untuk bisa mendapatkan untung dari esports, publisher harus terlebih dulu membangun ekosistem yang solid. Dan publisher tidak bisa melakukan hal itu sendiri. Mereka membutuhkan bantuan dari tim, pemain, dan penyelenggara turnamen esports. Jadi, walau publisher bisa membuat keputusan sesukanya, mereka harus mengambil langkah yang menguntungkan semua pihak yang terlibat jika mereka ingin mendapatkan untung dari esports.

Sumber header: Win.gg

Bagaimana Game Mengubah Perilaku Komunikasi dan Interaksi Sosial

Pernahkah Anda mengenal seseorang yang cerewet di dunia maya, tapi mendadak menjadi diam ketika diajak untuk bertemu tatap muka? Atau mungkin, Anda justru orang yang ceriwis di dunia online tapi menjadi pendiam di dunia nyata. Jangan khawatir, Anda tidak sendiri. Internet memang memengaruhi cara seseorang berkomunikasi dengan orang lain.

Dan seiring dengan semakin populernya game online, semakin banyak orang yang menggunakan game sebagai tempat untuk bersosialisasi. Memang, game bisa digunakan untuk mendekatkan diri dengan temah yang sudah Anda kenal atau mencari teman yang sama sekali baru.

Evolusi Alat Komunikasi Manusia

Sejatinya, manusia adalah makhluk sosial. Mereka akan selalu mencari cara untuk bisa berkomunikasi dengan satu sama lain. Yang membedakan cara komunikasi manusia dari masa ke masa adalah teknologi yang ada. Seiring dengan berkembangnya teknologi, alat komunikasi manusia pun menjadi semakin canggih. Menurut Perkembangan Teknologi Komunikasi dan Dampaknya Terhadap Kehidupan, perkembangan alat komunikasi manusia terbagi ke dalam empat era.

Pertama adalah era komunikasi tulisan yang dimulai pada 4000 SM. Kedua adalah era percetakan. Era ini dimulai pada 1456, ketika Gutenberg menemukan alat percetakan. Meskipun begitu, surat kabar baru muncul pada sekitar tahun 1600. Di Eropa, surat kabar yang pertama dicetak berasal dari Jerman, bernama Aviso di Wolfunbuttel. Sementara di Tanah Air, koran nasional yang pertama diterbitkan adalah Medan Prijaji. Koran asal Bandung itu terbit sejak Januari 1907 sampai Januari 1912, menurut laporan Kompas.

Kolom biro jodoh di koran. | Sumber: Hipwee

Sebagai alat komunikasi, koran bersifat satu arah. Jadi, seseorang bisa membuat pengumuman berita suka atau duka — seperti pernikahan atau pemakaman — ke masyarakat luas, tapi, masyarakat tidak bisa membalas kabar tersebut. Tak hanya itu, koran atau majalah juga bisa menjadi alat untuk mencari teman baru. Di koran, terdapat segmen biro jodoh atau cari jodoh, yang berisi daftar orang-orang yang tertarik untuk mencari kekasih. Segmen sahabat pena mungkin lebih jarang ditemukan. Namun, ketika saya masih SD, saya pernah mendapatkan sahabat pena dari majalan anak-anak.

Era ketiga adalah era telekomunikasi. Ada beberapa temuan terkait komunikasi di era ini, seperti film dan radio. Gelombang radio pertama kali diidentifikasi dan dipelajari oleh ahli fisika Jerman, Heinrich Hertz, pada 1887. Namun, transmitter dan receiver pertama radio dibuat oleh pria Italia, Guglielmo Marconi, pada 1895-1896. Empat tahun kemudian, pada 1900, radio mulai digunakan secara komersil.

Di Indonesia, generasi pertama staisun radio muncul pada 1925, di Malabar, Jawa Tengah. Sementara Radio Republik Indonesia (RRI) sendiri didirikan pada 11 September 1945. Hari berdiri RRI kemudian juga diperingati sebagai Hari Radio Nasional, lapor Kompas. Biasanya, radio digunakan sebagai media untuk titip salam, baik untuk keluarga, teman, atau gebetan. Berdasarkan pengalaman pribadi, walau tidak ada jaminan bahwa orang yang dituju akan mendengar salam yang kita kirim, ada rasa kepuasan tersendiri ketika sang penyiar membaca pesan kita.

Selain radio, para era ketiga ini juga ditemukan televisi, yang memungkinkan berbagai layanan komunikasi baru. Hanya saja, sama seperti koran, baik radio maupun TV merupakan alat komunikasi satu arah. Seseorang bisa menggunakan TV dan radio untuk membuat pengumuman pada banyak orang, tapi sang pendengar/penonton tidak bisa berinteraksi dengan pengumuman atau pesan yang disampaikan. Hal ini berubah pada era keempat.

Internet muncul di era komunikasi interaktif. | Sumber: Deposit Photos

Era komunikasi keempat merupakan era komunikasi interaktif. Nama dari era ini merefleksikan kemampuan dari teknologi-teknologi komunikasi yang muncul di era ini, seperti satelit, komputer, dan internet. Semua teknologi komunikasi itu memungkinkan kita untuk berkomunikasi secara dua arah. Pada tahun 1990-an, industri komunikasi mengalami perubahan besar-besaran berkat kemunculan internet, menurut Forbes. Sejak saat itu, internet — serta komputer dan smartphone — memungkinkan terciptanya berbagai alat komunikasi, mulai dari email, instant messaging, Voice Over Internet Protocol (VOIP), forum internet, media sosial, dan juga game online.

Sama seperti alat komunikasi lainnya, media sosial juga mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Friendster, yang dirilis pada 2001, merupakan salah satu situs media sosial pertama di dunia. Sementara LinkedIn didirikan pada 2002 sebagai situs media sosial untuk para pekerja profesional. Pada 2020, LinkedIn telah memiliki lebih dari 675 juta pengguna, menurut Mary Ville. Pada 2004, Mark Zuckerberg mendirikan Facebook, yang penggunanya kini mencapai miliaran orang. Dan dua tahun kemudian, Twitter didirikan dengan konsep situs microblogging.

Instagram muncul pada 2010. Di tahun yang sama, Pinterest berdiri dan satu tahun kemudian, Snapchat resmi diluncurkan. Dengan ini, konten di media sosial pun mulai berubah, dari teks menjadi gambar. TikTok didirikan oleh perusahaan Tiongkok, ByteDance, pada 2016. Berbeda dengan Facebook atau Instagram, fokus TikTok adalah pada video dengan durasi pendek. Keberadaan TikTok juga menjadi bukti bahwa netizen sekarang lebih gemar untuk mengonsumsi video.

Media sosial juga terus berevolusi. | Sumber: Marry Ville

Keberadaan media sosial memberikan sejumlah kemudahan, seperti terhubung dengan teman atau keluarga yang tinggal jauh dari Anda. Selain itu, media sosial juga memudahkan penggunanya untuk mencari orang-orang yang punya ketertarikan yang sama dengannya. Jika Anda suka bermain game atau tertarik dengan animasi, Anda bisa dengan mudah mencari grup gamers atau animators. Hanya saja, media sosial juga memberikan dampak negatif. Media sosial didesain sedemikian rupa sehingga Anda bisa hanya melihat konten-konten yang Anda sukai. Sehingga, media sosial bisa menjadi echo chamber yang memperkuat bias Anda. Masalah lain yang biasa muncul di media sosial adalah cyberbullying, yang masih ada kaitannya dengan anonimitas di internet.

Terlepas dari dampak positif dan negatif dari media sosial, tak bisa dipungkiri, media sosial membuat komunikasi menjadi lebih mudah dan murah. Dulu, Anda harus mempertimbangkan biaya roaming ketika menelpon orang yang ada di provinsi yang berbeda. Sekarang, Anda bisa terhubung dengan mudah ke orang-orang yang hidup di negara atau bahkan benua lain.

Sekarang, game digadang-gadang sebagai media sosial baru. Memang, kemunculan internet juga mengubah industri game. Internet memunculkan berbagai game online, seperti Lineage dan Starcraft pada 1998 dan Counter-Strike: Global Offensive pada 1999. Sama seperti game offline, pada awalnya, game online merupakan media hiburan. Meskipun begitu, sekarang, game online juga bisa berfungsi sebagai tempat hangout, apalagi ketika lockdown ditetapkan pada tahun lalu.

Bagaiman Game Memengaruhi Interaksi Sosial

Apa yang terbayang di pikiran Anda ketika Anda mendengar kata keren? Masing-masing orang punya definisi keren yang berbeda-beda. Bagi siswa SMA, misalnya, label “cool” mungkin pantas disematkan untuk orang-orang yang ikut dalam band, aktif dalam ekstrakurikuler basket atau sepak bola, atau mungkin menjadi ketua OSIS. Dulu, orang-orang yang senang bermain game lebih sering dikategorikan sebagai nerd atau bahkan mungkin loser. Namun, sekarang tren itu sudah berubah. Kini, orang-orang yang jago dalam bermain game punya karisma tersendiri. Memang, menjadi atlet esports merupakan impian bagian sebagian orang, walau kesempatan untuk menjadi pemain profesional kurang dari 1%.

Sementara itu, dengan semakin maraknya game Pay-to-Win (P2W), orang-orang yang menghabiskan banyak uang dalam game juga sering disanjung dan dinobatkan sebagai “sultan” atau “whale“. Sebagian game influencers bahkan membuat konten tentang berapa banyak uang yang mereka habiskan untuk mendapatkan karakter atau item tertentu. Misalnya, YouTuber Indonesia, feraldoto, yang menghabiskan Rp64 juta demi mendapatkan Albedo C6 di Genshin Impact. .

Sayangnya, stigma negatif yang sudah terlanjur melekat di diri gamer tidak bisa hilang begitu saja. Salah satunya adalah asumsi bahwa gamers merupakan penyendiri atau bahkan bersifat anti-sosial. Padahal, banyak orang yang mendapatkan teman baru — atau bahkan kekasih — melalui game online. Tak hanya itu, di beberapa negara — seperti Korea Selatan dan Tiongkokgame merupakan kegiatan sosial. Pada 2003, Mark Griffiths, seorang dosen di Nottingham Trent University, merilis penelitian terkait game online. Untuk membuat jurnal itu, dia melakukan survei pada 11 ribu pemain game online, Everquest. Hasilnya, sebanyak 25% responden mengatakan, bersosialisasi dengan teman merupakan bagian favorit mereka dari Everquest. Hal ini menunjukkan, asumsi bahaw gamers merupakan orang-orang anti-sosial adalah salah.

Pada 2007, Griffiths kembali melakukan studi terkait game online. Dia meneliti data dari 912 pemain game Massively Multiplayer Online (MMO) yang berasal dari 45 negara dan menghabiskan waktu rata-rata 22 jam dalam seminggu untuk bermain game. Dari studi tersebut, dia menyimpulkan, game online merupakan lingkungan sosial yang sangat interaktif.

“Sepuluh persen responden survei bahkan berakhir dengan menjalin hubungan romantis di luar game,” kata Griffiths, seperti dikutip dari BBC. “Sosialisasi dalam game sebenarnya merupakan konsep yang telah ada sejak lama.” Dan pada 2020, ketika lockdown diberlakukan, semakin banyak orang yang menyadari hal itu, bahwa game tidak sekedar media hiburan, tapi juga bisa menjadi wadah untuk bersosialisasi.

Tahun lalu, semakin banyak orang yang menggunakan game sebagai tempat untuk berkumpul. Sebagian dari mereka bahkan merayakan momen penting, seperti ulang tahun dan pernikahan, di dalam game. Tak hanya itu, game bahkan bisa dijadikan alat untuk menunjukkan belasungkawa. Ketika streamer Byron “Reckful” Bernsten meninggal pada Juli 2020, para gamers World of Warcraft berkumpul di beberapa lokasi untuk memberikan penghormatan pada Bernsten.

Pengaruh Anonimitas Pada Interaksi Sosial

Perilaku seseorang di dunia maya tidak selalu sama dengan tingkah lakunya di dunia nyata. Salah satu alasannya adalah karena di jagat internet, seseorang bisa menyembunyikan identitas dirinya. Apalagi dalam sebuah game online, nama yang seseorang gunakan pun belum tentu nama aslinya. Berdasarkan jurnal The positive and negative implications of anonymity in Internet social interactions: “On the Internet, Nobody Knows You’re a Dog”, anonimitas bisa memberikan dampak positif dan negatif.

Menurut teori Social Identity Model of Deinvidiuation Effect (SIDE), salah satu dampak positif anonimitas adalah membuat sebuah grup menjadi lebih efektif. Namun, hal ini hanya berlaku ketika semua anggota grup memang anonim dan tidak bisa mengenali satu sama lain. Jika seseorang bisa mengenali anggota lain, sementara jati dirinya tetap tersembunyi, dia punya kemungkinan lebih besar untuk melakukan tindakan yang akan merugikan kelompoknya. Dalam kerja kelompok, anonimitas juga membuat para anggota grup merasa memiliki kaitan lebih erat dengan jati diri kelompok.

Anonimitas bisa memberikan dampak baik dan buruk. | Sumber: Deposit Photos

Meskipun begitu, fakta bahwa anonimitas membuat grup menjadi lebih efektif juga bisa berdampak buruk. Hal ini terjadi ketika grup minoritas — orang-orang yang rasis, misalnya — berusaha untuk mengacaukan dinamika grup mayoritas. Contohnya, jika ada sekelompok orang yang tidak suka dengan pemerintahan Indonesia yang sah dan ingin menggulingkan Presiden, mereka bisa mengorganisasi pergerakan mereka melalui grup anonim. Hal seperti inilah yang bisa menyebabkan dampak buruk.

Sementara itu, salah satu dampak positif lain dari anonimitas adalah memberdayakan orang-orang dari grup termarjinalkan, seperti perempuan dan penyandang disabilitas. Berdasarkan hipotesa equalization, komunikasi anonim via internet dapat menyeimbangkan “kekuasaan” yang dimiliki oleh grup minoritas dan mayoritas.

Di dunia nyata, kita cenderung memperlakukan seseorang berdasarkan ras, gender, penampilan, dan lain sebagainya. Sementara di dunia maya, ketika kita tidak bisa melihat atau menilai social cues tersebut, maka kita akan memperlakukan orang lain secara adil. Contohnya, seseorang mungkin akan menjadi jaim di hadapan lawan jenis yang dianggap cantik atau tampan. Sementara dalam forum internet anonim, dia akan memperlakukan semua orang dengan sama karena dia tidak bisa melihat penampilan lawan bicaranya.

Terakhir, dampak positif dari anonimitas adalah menjaga privasi seseorang. Secara garis besar, anonimitas punya tiga kaitan dengan privasi, yaitu recovery, catharsis, dan autonomy. Recovery diartikan sebagai rsa tenang yang dirasakan oleh seseorang setelah mempertimbangkan situasinya. Sementara catharsis muncul ketika seseorang bisa mengekspresikan dirinya secara bebas. Dan terakhir, anonimitas bisa memberikan otonomi, yang memungkinkan seseorang untuk melakukan sesuatu tanpa harus khawatir akan penghakiman dari masyarakat atau orang-orang dikenal. Sayangnya, otonomi yang muncul dari anonimitas juga bisa membuat orang bertindak sembrono. Alasannya, karena mereka berpikir, anonimitas mereka akan melindungi mereka, membuat mereka bisa terbebas dari konsekuensi perilakunya.

Kesimpulan

Bermain game tidak lagi menjadi hobi yang harus dilakukan sendirian. Memang, masih ada banyak game-game single-player berkualitas. Meskipun begitu, game-game multiplayer — apalagi yang punya ekosistem esports — juga tidak kalah populer. Dengan begitu, fungsi game pun melebar. Sejatinya, game tetap merupakan media hiburan. Meskipun begitu, sekarang, game juga bisa menjadi sarana komunikasi. Lockdown akibat pandemi pada tahun lalu mempercepat tren tersebut.

Pada tahun lalu, terbukti bahwa game bisa menjadi tempat hangout atau bahkan merayakan momen penting. Hanya saja, perilaku seseorang di dunia game online — atau di internet, secara umum — tidak selalu sama seperti tingkah laku mereka di dunia nyata. Alasannya, karena di dunia game, seseorang dilindungi oleh anonimitas. Dia tidak perlu khawatir akan dihakimi hanya karena penampilan, ras, atau social cues lainnya.

Sebagian orang percaya, persahabatan yang dijalin di dunia online adalah sesuatu yang rapuh dan mudah putus. Namun, sekarang, ada banyak aplikasi yang bisa Anda gunakan untuk tetap terhubung dengan teman-teman online, mulai dari WhatsApp, Facebook, sampai Discord. Saya sendiri masih berhubungan dengan teman yang saya kenal dari Ragnarok Online pada awal tahun 2000-an. Dan berita tentang gamers yang menemukan kekasihnya saat bermain game pun mulai menjadi lumrah. Hal itu berarti, Anda tetap bisa menjalin hubungan yang dekat dan lama dengan orang-orang yang Anda temui di game online.

Are Men Inherently Better at Playing Games Than Women?

Women have the same rights as men and are entitled to equal treatment without discrimination. Even so, it cannot be denied that women are different from men from a biological perspective. Of course, biological differences will affect various aspects of a person’s life, such as natural abilities in sports. Until recently, most sporting events were usually separated by gender.

Female athletes are not competing with male athletes due to the differences in physical abilities between the two genders. What about esports? In competitive gaming, physical fitness is obviously not a determining factor in winning, which means that women can hypothetically compete side by side with men.

 

Why Are Traditional Sports Separated by Gender?

In sports competitions, being the victor is everyone’s sole goal. However, winning isn’t always everything. The way a person wins is equally important. Therefore, in a prestigious sports competition such as the Olympics, fair play is one of the most upheld values.

It takes more than crossing the line first to make a champion. A champion is more than a winner. A champion is someone who respects the rules, rejects doping and competes in the spirit of fair play.” – Jacques Rogge

Jacques Rogge was President of the International Olympic Committee from 2001-2013. From the quote above, it is clear how he upholds the spirit of fair play. Another element that is no less important in sports competitions is the level playing field. According to the BBC, the level playing field ensures that all participants compete by the same rules and have an equal chance of winning. By this definition, a professional NBA athlete will not compete against someone who plays basketball as a hobby.

The importance of fair play and level playing field in sports competitions is, unfortunately, one of the reasons why female athletes cannot compete against male athletes in most sports. Physically, men and women are very different. Men generally have greater muscle mass and bone mass. In addition, the fat content in the female body is usually also higher. The body fat content of female athletes ranges from 14-20%, while it is only 6-14% in the average male athlete. Furthermore, adult men also usually have a larger lung capacity. All of this suggests that male athletes will have an advantage over female athletes in terms of sheer physical strength.

Male and female body composition. | Source: The Body Counselor

According to a study entitled Women and Men in Sport Performance: The Gender Gap has not evolved since 1983, the performance of female athletes is still inferior compared to male athletes. In the study, researchers analyzed world records in various sports. They also observed the performance of Olympic athletes in five sports categories from year to year. They used data from athletes in 82 Olympics.

Data from the study shows that, on average, male athletes generally perform 10% better than female athletes. Depending on the sports, the difference in performance between male and female athletes may differ. The performance of female athletes is closest to that of male athletes in freestyle swimming, which is only 5.5%. Meanwhile, there is a huge difference – around 36.8% – in the abilities of male and female athletes in weight lifting.

“Men and women are physically different. Usually, the difference occurs in raw strength,” said Andy Lane, a sports psychologist at the University of Wolverhampton on How We Get to Next. Indeed, in certain sports – especially those that involve aerobic stamina like long-distance running – female athletes can outperform men. Fortunately, not all sports compete solely with the athletes’ physique. Several sports, such as esports, prioritize other aspects of human capabilities.

 

What Are the Factors That Influence the Performance of Esports Athletes?

Gender or physical conditions do not really matter in scope of esports, and almost anyone can play games. For example, Rocky Stoutenburgh, also known as RockyNoHands, managed to become a streamer on Twitch even though he could only move his head because he was paralyzed from the neck below. Of course, that doesn’t mean everyone can become a world-class esports athlete, like Johan “N0tail” Sundstein from OG or Made Bagas “Zuxxy” Pramudita and Made Bagus “Luxxy” Prabaswara from Bigetron. In fact, the chance of someone being a successful esports athlete is only 0.0001%.

Zuxxy and Luxxy. | Source: GGWP

Indeed, physical fitness is not the primary measure of the ability of an esports athlete. However, there are still some skills that one must master in order to become a well-known professional player, one of them being sensory-motor skills. Sensory ability is related to the ability to transmit information received by the five senses to the brain, while motor ability refers to the ability to quickly send instructions from the brain to other organs, such as the hand. Sensory-motor skills are important because they affect how quickly a person can process what he sees on the screen, make decisions about what to do in response to the stimuli, and execute the decisions he makes by operating a gaming device, such as a mouse, gamepad, keyboard, or smartphone.

Other abilities that an esports athlete must be proficient at are spatial awareness or visual-spatial abilities, which include the skill to read maps and knowing the position of objects (stationary and moving) around them. Spatial abilities also include a person’s skill to predict and anticipate the movement of objects or actions from other players. For example, when you are about to shoot a moving enemy, you need to be able to predict where the enemy will move and subsequently compensate for that movement.

In addition to sensory-motor and spatial abilities, tactical cognitive abilities also affect a person’s ability to play games, according to the study titled The structure of performance and training in esports. Tactical cognitive abilities themselves are influenced by various aspects, such as perception, creativity, and the ability to make decisions. The scope of tactical cognitive abilities is also rather broad. As a result, it is usually divided into sections such as memory and concentration, planning, and coping with complex problems. To become a good esports player, one must master all areas of tactical cognitive skills. A proficient esports athlete must be able to pay attention to his/her surroundings, analyze situations, visualize the steps that need to be taken, make decisions, and execute them efficiently.

The distribution of cognitive abilities.| Source: Journals.plos.org

Concentration is another aspect that is equally important for esports players. For sports athletes, the ability to concentrate for long periods of time is a critical skill to have. In traditional sports, players usually have time to rest (during timeouts or half-time), while esports competitions usually continue for hours with no pauses.

Social skills – such as communication and collaboration skills – also affect an esports athlete’s performance. A professional esports athlete must also control his/her emotions throughout a match. This target is not by any means easy to achieve, given the mental pressure that top esports athletes, just like Olympic athletes, have to face. A person’s failure to control their emotions in a match – such as feeling tilted or angry about making a mistake – can very likely deter their performance.

 

Differences in Cognitive Abilities of Men and Women

Although the esports industry can be much more inclusive than traditional sports, it is still undoubtedly more dominated by men. For example, most professional players are, indeed, males. Some believe that this happens because males are better than females when it comes to playing games. However, is that really the case? To answer this question, I tried to compare the cognitive abilities of men and women based on various studies that have been conducted.

Based on a comparative study titled Cognitive Functions Between Male and Female Medical Students: A Pilot Study, the cognitive abilities of men and women in the follicular phase are relatively equal. However, women who enter the luteal phase of the menstrual cycle will be able to perform executive tasks – tasks that require memory, flexible thinking, and self-control – better than their male counterparts. Unfortunately, women’s concentration in the luteal phase is usually lower than that of men.

Instructions from one of the memory tests. | Source: NCBI

When comparing the abilities of male and female participants, the researchers in this study took into account the menstrual cycles of the female participants as it greatly affects their hormones. There are four phases of menstruation. The follicular phase starts when a woman is menstruating until the ovulation phase begins. On the other hand, the luteal phase is also known as the postovulatory phase or the premenstrual phase. In this phase, the amount of the female hormone progesterone will increase.

The study above is not the only research that looks at the correlation between gender and cognitive abilities. Several other studies also discuss the influence of gender on a person’s cognitive and spatial abilities. A study called Sex/gender differences in cognition, neurophysiology, and neuroanatomy, conducted by Janet S. Hyde, contradicts the results of the previous research. In that study, Hyde tested 124 variables, including mathematical, verbal, perceptual, and motor skills of men and women.

From her research, she found that gender had no significant effect on a person’s performance in 78% of the variables. Gender only has a significant effect on a person’s motor skills, such as throwing speed. The study also found that men scored higher on tests related to 3D object rotation, which is often associated with higher IQ and better STEM (Science, Technology, Engineering, Mathematics)-related abilities. The results of this study reinforce the assumption that men have better mathematical and spatial abilities, while women are considered to have better verbal skills.

However, recent research shows that women’s and men’s spatial skills are not that different. The research was conducted by Dr. Mark Campbell and Dr. Adam Toth from the Lero Esports Science Research Lab using the latest eye-tracking technology. They found that the male participants’ spatial cognition test results were no better than the female participants, especially in the object rotation test.

“So males are better than females? Well no, actually. Our study found that there is no male advantage in mental rotation abilities,” said Toth, as quoted by Technology Networks. “By lengthening the time allowed to complete the test, the male performance advantage diminished entirely suggesting that the so-called sex difference in mental rotation is simply not there or may be explained by other factors.”

 

Conclusion

Researchers have conducted various studies to determine the effects of gender on various aspects of a person’s abilities, such as cognitive skills. Unfortunately, not all studies provide the same results. Some studies mention that males have superior cognitive abilities, which suggests they can play better at games, while others concluded that the mental capabilities of women and men are not that different.

Unfortunately, there is currently no study that directly investigates the correlation between gender and video game skills. After all, the esports industry is still relatively new and young, which may hinder existing research to gather data and arrive at conclusive results. However, one thing is for sure: playing video games is an activity that can be done by anyone, regardless of gender, physical ability, and economic status.

Translated by: Ananto Joyoadikusumo

Various Ways that Brands Can Do to Penetrate the Esports Market

The phenomenon of esports has become mainstream in today’s younger generations. We can see this in the large viewership in most esports events. The large audience for the esports game PUBG Mobile and Mobile Legends Bang Bang are just two examples that display the interest of Indonesian gamers in esports. This recent growth in esports has begged the question of how the industry can be a branding medium for many sponsors.

In this article, I will discuss various methods brands can follow to enter the esports ecosystem and analyze the pros and cons of each method. I will also include related sources to support my points.

 

Official Leagues or Tournaments

I have briefly discussed the methods of getting into the esports ecosystem in the esports ecosystem schema article. From that article, we can observe a couple of factors that induce brand collaboration. In this article, I will try to delve deeper into these topics and expand on them.

The first method that brands can use to enter the esports industry is official leagues or tournaments. I did put this option first because it is the most effective method to follow. Using the analogy of the football industry, sponsoring a major league in esports is like sponsoring the English Premier League or maybe La Liga in Spain.

Esports games usually have a main league that features a lot of competition between top players, which allows them to supersede all other tournaments. Fans and gamers are naturally inclined to watch major leagues more than other competitions because of the interesting competition they bring.

Furthermore, major leagues or tournaments in esports usually involve the game developers themselves. For example, Moonton handles the MLBB Professional League, Tencent handles the PUBG Mobile Professional League, and Garena Indonesia handles the Free Fire Master League. Knowing this, what opportunities are open for brands to cooperate with the major leagues in esports?

Azwin Nugraha PR Manager Esports from Moonton. Image Source – Esports.id

For our discussion on this matter, I use MPL as an example. Azwin Nugraha as PR Manager of Moonton Esports was my source in discussing the opportunities for collaborating with MPL Indonesia. “The MPL League opens several opportunities for cooperation. For example, we offer sponsorship deals on many levels. There is cooperation in the form of partnerships where deals are done through mutual agreements. There is cooperation in the form of barterings, such as bartering of physical goods or promotional media. ” Azwin’s mentioned.

With regards to sponsorship deals, Azwin explained that they have three levels of sponsorship at MPL Indonesia. “The first and highest level of sponsorship is called the Presenting Sponsor, exclusive for only one sponsor. The second level is Official Sponsor, which is available for 4 different sponsors. The third level is Partner in Esports, which can only be given to limited brands with specific conditions. “

Mandiri Lord Cam, match sponsors are displayed when presenting important moments in MPL Indonesia matches. Image Source – MPL Indonesia Official YouTube Channel

“Each of these levels has their own specifications. Of course, the standard price in each of the levels are different, the highest being the Presenting Sponsor level, followed by Official Sponsor, then Partner in Esports. The benefits that each level offers also differ. The last difference comes in the sponsorship value.” Azwin continued.

Based on my observations, MPL Indonesia displays its sponsors in several media assets belonging to the league. For example, sponsors are often displayed in social media posts, official websites, decors in the venue (stage, player desk, caster desk, etc.), in-game elements, important moments of the match (Lord Cam, MVP, highlights player highlights, and so on), and in side-contents outside the match (MPL Quickie for example).

Brands with higher levels of sponsorship are usually displayed more often. Again, according to my observations, Bank Mandiri and the Samsung Galaxy A Series are two sponsors that are frequently displayed in MPL Indonesia. Apart from appearing on the official website, Bank Mandiri also presents Lord Cam moments, as well as Player Highlights on social media content. On the other hand, Samsung presents the MVPs in match broadcasts and social media content.

The Samsung Galaxy A Series appeared during the presentation of the match MVP.. Image Source – MPL Indonesia Official YouTube Channel

Finally, I also asked about the advantages of MPL as a medium for collaboration/cooperation/ sponsorship and other challenges. Azwin then explained, “Being the sponsor of MPL Indonesia brings many benefits because we have a diverse audience of gamers from a wide range of economic levels, gender, and social status. Essentially the target audience for MPL itself is Gen Z and Millennials.”

As I mentioned earlier, major leagues are usually the most anticipated event in the esports ecosystem. Therefore, the viewership numbers of major leagues tend to be higher than most other forms of tournaments. In the case of MLBB, we already see how the MPL Invitational in July 2020 can overtake the view count of Korean LoL league matches.

“MPL tournaments also have a very far reach and exposure. So far, MPL broadcasts conducted through various digital platforms have gathered successful and improving results.” Said Azwin, explaining the advantages of MPL Indonesia as a collaboration medium for brands.

However, major leagues or tournaments are just one of the many options brands can choose to collaborate with the esports industry. There are other collaboration mediums to engage with the gaming audience, such as hosting third-party tournaments.

 

Hosting 3rd-Party Tournaments

There are two ways brands can host third-party tournaments. Brands can either use the assistance of other organizers or fully organize the event under their own brand.

Let’s take Telkomsel as an example. Telkomsel has created its own tournaments in the past and has frequently appeared in the esports world. Through the Dunia Games (DG) brand, we can probably consider that Telkomsel has its own esports ecosystem. Telkomsel its own esports team called DG Esports, the duniagames.co.id website – which is the center of gaming-related activities (news, digital esports tournament platforms, and digital payments for gaming) – and even hosted tournaments such as Indonesia Games Championship, DG League, and DG Indonesia Playing Time.

DG League, an esports tournament created by Telkomsel using the Dunia Games brand. Image Source – DG League Official

To investigate how and why Telkomsel created their own original DG brand instead of being a sponsor in other esports events, I conducted an interview with Rezaly Surya Afhany as Telkomsel’s Esports Manager. Rezaly explained, “Actually, Telkomsel and Dunia Games also conduct sponsorship activities with other esports partners. However, we do admit these activities tend to be less popular than the brand activities that we do independently.”

Furthermore, Rezaly then explained several reasons why Telkomsel prefer creating their own brand instead of doing sponsorship deals. “In my opinion, flexibility is the key reason we build our independent esports ecosystem outside of sponsorship. In the end, Telkomsel’s goal is to market itself in the esports world. To achieve this goal, we will try our best to always be present in sponsorship deals, exhibitions, media, publishing, or even in esports competitions themselves.

Indeed, in the past, Telkomsel had become a popular sponsor across the esports ecosystem. Telkomsel sponsored the team through Elite8, which used to have a strong reputation in the Vainglory game scene. They also sponsored major leagues such as Arena of Valor Star League Season 1. However, after that, Telkomsel switches its strategy and develops the Dunia Games ecosystem.

Besides having tournaments, Dunia Games also has its own esports team called DG Esports. Image Source –  DG Esports’ instagram.

Rezaly then explained another reason behind Telkomsel’s ideology in creating their own esports brand. “By developing our own brand, we can connect the esports ecosystem more deeply. We can observe what aspects of the value chain in esports can grow organically and anticipate challenges from the dynamics of the esports and gaming industry. Besides that, we also try to develop the passion for gaming and esports in our company and our partners. If all parties involved are excited and interested in the esports, we hope we can create better ideas and keep developing the industry or ecosystem in the future.”

As a telecommunications company, Telkomsel is considered an endemic brand in the esports ecosystem. However, telecommunication networks are needed by all gamers to be able to access their games. However, observing the continuous growth of gaming and esports, it’s no wonder that Telkomsel is willing to invest highly in the ecosystem. Hopefully, in the future, we will have a more diverse set of companies providing the needs of the industry other than telecommunication services.

Rezaly then explained further regarding the DuniaGames ecosystem. “As a prominent digital telecommunication company as well as a digital game payment channel in the region, we try to be present in every line of gaming activity. Some examples include providing special data packages for gamers, allowing credit conversion into game vouchers, publishing game titles, and hosting esports events. Our goal is to provide the best and affordable digital and communication experience for the gaming community. “

Rezaly Surya Afhany, Esports Manager at Telkomsel. Source:  Dunia Games Official

Before ending the discussion, I asked about the benefits and challenges of building a separate ecosystem. “When it comes to the advantages of building our own esports ecosystem, I feel that we have more organic business growth and can be much more sustainable in the future. It also allows us to easily adapt to new emerging gaming trends or business models.”

As mentioned by Rezaly earlier, flexibility is one of the aspects that Telkomsel seeks to achieve when developing their own esports brand. However, as I explained earlier, Telkomsel can easily achieve this goal partly because of its position as an endemic esports brand. 

The same thing cannot be said for non-endemic brands whose main line of business does not correlate with the esports ecosystem (fashion, food and beverage, or cosmetics businesses, for example). For non-endemic brands, hosting a tournament with other existing organizers will be the best option. However, imitating Telkomsel’s strategy of developing their own esports ecosystem will require a great deal of investment capital (money, time, and energy) and most likely result in diminishing returns. 

 

Collaborating with the Esports Team

Sponsoring or collaborating with an esports team can be another option for brands if they want to enter the esports industry. However, sponsoring an esports team can be quite confusing for brands inexperienced in the esports market. After all, there is a wide range of selections of teams and games that brands can choose from in the esports ecosystem. Furthermore, some teams only compete in specific esports scenes. For example, a team might only compete in PUBG Mobile esports but not Mobile Legends. On the other hand, there are organizations such as RRQ and EVOS that have divisions in almost every Indonesian esports game.

Let’s take Alter Ego as an example. The Alter Ego team itself is arguably one of the biggest and most successful esports teams in Indonesia. As far as my observation goes, Alter Ego is doing quite well in 3 different esports scenes, namely Mobile Legends Bang Bang, PUBG Mobile, and VALORANT. I also interviewed Indra Hadiyanto as COO of Alter Ego to expand on the discussion.

Indra Hadiyanto, COO

I first asked him regarding the collaboration opportunities that were open with esports teams like Alter Ego. “There can be a lot of collaboration opportunities with our team. You can collaborate with us just for the sake of branding. You can also have a content collaboration, creating tournaments or even product collaborations, which is less interesting in my opinion.” Indra explained.

Apart from being an esports team, Alter Ego also has a sister company, called Supreme League, that acts as an esports organizer. Therefore, it is not surprising that Indra mentioned that creating tournaments can be a collaborating option. But not all esports teams have a business line like Alter Ego. There are also esports teams that focus and diversify towards talent management. To find out the specific forms of collaboration that can be done with an esports team, I also asked about the sponsorships available at Alter Ego.

Indra explained, “Sponsorship in Alter Ego has three levels which are varied in terms of logo placements in the pro jersey. Logos in the chest region is ranked highest, followed by the shoulder logo, then the back logo as the lowest level.” After that, Indra continued explaining the variations in the investment value of each of these sponsorship forms.

“Even though there are levels in logo position on the jersey, the sponsorship cost still depends on the form of collaboration that the brand wants to do with Alter Ego over the next year. Therefore, if two brands want to be displayed in the chest region of the jersey, the sponsorship price could possibly change. One brand might have additional requests in the sponsorship deal, whether it’s conducting community gatherings or players to promote a campaign. ” Indra explained further.

Finally, I also asked about the strengths and challenges of collaborating with esports teams. “Of course, collaborating with esports allows your brand to access the younger market,” Indra replied to open the discussion. “In my opinion, esports is an incredibly unique market and its fans are usually very loyal. For example, if JessNoLimit uses a new brand of keyboard, then his followers will also buy these products. The effect is not limited to gaming gadgets only but also includes other aspects like fashion.” Says Indra.

Alter Ego’s collaboration with BonCabe. Image Source – Alter Ego’s Official Instagram

“When it comes to the challenges, I feel that it mostly occurs in how you want to convey a message to the fans. Apart from that, challenges include how to attract fans and keep their interest. Generally, it also includes how to make brands agree to long-term contracts.” Indra explained from the perspective of Alter Ego.

Like sponsoring a soccer team, one of the advantages of sponsoring an esports team, in my opinion, is the strong identity that you can create with related brands. For example, when sponsoring a team that often wins championships, your product brand might be associated with a good quality that only winners want to use.

On the other hand, working with the esports team also presents a lot of challenges for external brands. One of the challenges may be dealing with the instability of the esports competition climate. In football alone, a team that is doing well can suddenly fall out of shape. This event can occur more dramatically in esports. Teams can be disbanded in a matter of days, and strong players in the roster can spontaneously leave. Fortunately, the three major esports games in Indonesia (Mobile Legends: Bang-Bang, PUBG Mobile, and Free Fire) each already have competitions in a stable league format that have set specific constraints to deal with these situations. However, it still does not rule out the possibility for a strong team to have sudden disappointing performances. 

 

Collaborating with Esports Influencers

Like most of the entertainment industry, collaboration with a Key Opinion Leader (KOL) is also an option. Returning to the football analogy, this collaboration is similar to Nike sponsoring Christiano Ronaldo. In the esports ecosystem, there is a diverse range of KOLs that brands can choose from, which can be both an advantage or disadvantage. Apart from pro players, brands can also collaborate with shoutcasters, streamers, or cosplayers related to the gaming/esports ecosystem.

For this discussion, I interviewed Florian “Wolfy” George, a well-known shoutcaster in the PUBG Mobile Indonesia esports scene. Firstly, I asked about the opportunities and the various forms of cooperation with a Key Opinion Leader figure in esports.

“The main opportunity, of course, is being able to engage with KOL followers directly or indirectly. The engagement aspect here is distinctive to every KOLs. With regards to the levels of cooperation, it also ranges between individuals. The cooperation can just be in the form of a social media post, story, or content, or even reaching long-term projects such as a campaign or a brand ambassador.” Wolfy said.

Collaborating with KOLs in esports has very much the same process as collaborating with KOLs in other fields. The only difference perhaps lies in the segmentation of the audience. Of course, the esports audience is mostly comprised of young people who enjoy gaming as their pastime activities

“In my opinion, the cooperation between a brand and a KOL is always unique. I feel that because each brand and KOL represent their own unique ‘color’. That is why I believe that they can probably work on different forms of collaborations than just social media posts or stories. In my opinion, every collaboration between every KOLs and brand is unique in their own manner. ” Wolfy mentioned.

The collaboration between Wolfy and the JBL audio brand in promoting its newest line of gaming headsets. Image Source – Florian “Wolfy” George’s Instagram.

Before closing the interview, I also asked Wolfy’s opinion about the advantages and disadvantages of working with KOLs in esports. “When it comes to the strengths, I feel that the presence of a brand that supports a KOL can help them (KOLs) to improve the quality of the ideas that were echoed from the start. With regards to the shortcomings and challenges, one of them might be in terms of market segmentation. KOL esports is usually only popular in one specific game, which poses problems if a brand wants to target audiences from multiple games.”

Specificity is definitely a factor that needs to be considered when collaborating with KOLs in esports. The collaboration tends to be more intimate with the specific community that it has set in. But as Wolfy mentioned, brands can only focus on one line of esports game.

Therefore, the KOL medium might be better suited for small collaborations that target specific audiences. For example, Audio products will work well with KOL esports PUBG Mobile. One of the reasons is because playing PUBG Mobile requires good audio quality, which means that the collaboration works very well. If a brand wants to reach a much larger audience, then collaborating with multiple KOLs might be a viable alternative.

 

In-Game Sponsorships

The last and currently the most trendy method that brands can use to enter the esports community is through in-game sponsorship. In-game sponsorship is merely displaying a brand logo in the game elements of esports matches. Instead, games will include the whole brand inside the game itself.

One of the prevalent esports brands in this method of collaboration is Garena.  Last August 2020, I made a list of the collaborations done by Garena.

From that article, you can see that Garena has worked with AOV,  Fruit Tea, Wiro Sableng, and DC Comics. However, not all of the collaborations I listed can be considered as a sponsorship. Although Garena did not state this explicitly, I feel that the aforementioned collaborations are more inclined towards a partnership deal.

However, that does not mean that Garena has never had an in-game sponsor with another brand. One obvious example is the appearance of the KFC fast-food mascot Colonel Sanders as a skin in Arena of Valor in Taiwan. Quoting from Fanbyte.com, this cooperation was a form of promotional cooperation between the two. In this collaboration, players who buy a special food package for around US $ 5 will get a gacha box, containing Colonel Sanders’ skin for the Ormarr character. Apart from skins, there are also other KFC-themed in-game elements that players can obtain, such as a Recall Effect, Kill Effect, or Sprinting Trail Effect.

Garena’s collaboration with KFC is just one example of in-game sponsorships. Along with the development of esports, we can also see other sponsorships like Bathing Ape (a streetwear fashion product) with PUBG Mobile, Tesla with PUBG Mobile in China, or Louis Vuitton with League of Legends, which appears through the Prestige skin of the Qiyana character.

Source: League of Legends Official

Collaboration in this form is perhaps one of the most attractive forms of sponsorship for brands. After all, it provides brands with the opportunity to showcase their products in a game. Therefore, this form of collaboration might be more suitable for brands that sell physical products, such as clothes, foods, or beverages.

However, in the Indonesian ecosystem, one of the shortcomings and challenges in collaborating through this method is the small number of game developers/publishers operating directly in the country. Furthermore, not all game developers want to do this kind of collaboration because it can be considered as “hard-selling”. Developers might worry that these sponsorships will interfere or sabotage the playing experience of their games.

 —

The points I mentioned above are, of course, not complete, but they are primary elements that need to be considered in the esports ecosystem. There are also many other related elements, pertaining to the elements mentioned. Hopefully, this article can shed a light on the esports industry and assist brands in entering the esports market.

The original article is written by Akbar Priono

Polemik Sertifikasi Esports: Pro dan Kontra

Talk is cheap. Semua orang bisa mengklaim bahwa dia jago di sebuah bidang. Namun, membuktikan pernyataan itu adalah soal lain. Di sekolah dan universitas, rapor dan IPK menjadi alat untuk mengukur kemampuan para murid dan mahasiswa. Bagi orang-orang yang sudah bekerja, sertifikat bisa menjadi salah satu cara untuk memvalidasi kemampuan seseorang. Pertanyaannya, apakah dunia esports memerlukan sistem sertifikasi?

 

Esports Certification Institute Ingin Membuat Ujian Bersertifikasi, untuk Apa?

Esports Certification Institute mengumumkan rencana mereka untuk mengadakan ujian sertifikasi di bidang esports pada akhir April 2021. Tujuannya, mereka ingin mendorong terciptanya budaya meritokrasi dan menumbuhkan profesionalisme di dalam diri para pelaku esports. Selain itu, mereka juga berharap, keberadaan ujian bersertifikasi ini akan membuat dunia esports menjadi lebih inklusif.

Lalu, bagaimana cara untuk mendapatkan sertifikasi dari ECI? Sederhana, Anda hanya cukup mengikuti ujian yang mereka berikan. Tes dari ECI mencakup tiga bidang, yaitu pengetahuan tentang esports, kemampuan untuk menyelesaikan masalah, dan statistik. Selain sertifikat, orang yang telah lulus ujian juga akan masuk dalam program keanggotaan ECI. Orang-orang yang menjadi anggota ECI akan dapat melakukan networking dan berdiskusi dengan para penasehat ECI.

ECI didirikan oleh Sebastian Park, mantan VP of Esports dari Houston Rockets, tim NBA dan Ryan Friedman, mantan Chief of Staff dari Dignitas, organisasi esports asal Amerika Serikat. Sementara itu, anggota dewan penasehat ECI terdiri dari eksekutif dari perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam esports, mulai dari perusahaan venture capital BITKRAFT, perusahaan hukum ESG Law, sampai organisasi esports seperti Cloud 9 dan Gen.G.

ECI ingin membuat program sertifikasi untuk pelaku esports.

“Salah satu masalah terbesar di industri esports adalah para pelamar kerja tidak punya bukti konkret bahwa dia punya kemampuan yang diperlukan perusahaan,” kata Park, seperti dikutip dari Yahoo. “Industri esports ingin mempekerjakan seseorang berdasarkan kemampuannya. Hanya saja, tidak banyak cara yang bisa dilakukan untuk merealisasikan hal itu.”

Tentu saja, ujian dari ECI tidak gratis. Anda harus membayar US$400 untuk bisa ikut ujian tersebut. Pihak ECI menjelaskan, sebelum menentukan harga dari ujian bersertifikasi ini, mereka telah melakukan riset pasar. Mereka merasa, biaya tes yang mereka berikan relatif lebih murah jika dibandingkan dengan ujian sertifikasi di bidang lain. Misalnya, untuk bisa mendapatkan sertifikasi Chartered Financial Analyst (CFA), seseorang harus membayar US$1000. Bagi orang-orang yang kurang mampu, ECI telah berdiskusi dengan berbagai institusi pendidikan untuk membuat program ujian gratis.

Alasan ECI untuk membuat ujian bersertifikasi di bidang esports adalah karena mencari pekerja yang mumpuni di dunia esports bukan hal yang mudah. Faktanya, CEO Activision Blizzard, Bobby Kotick bahkan rela mendonasikan US$4 juta ke University of Michigan agar mereka bersedia membuka jurusan esports. Meskipun begitu, keinginan ECI untuk membuat tes bersertifikat justru menuai banyak protes dari para pelaku industri esports. Alhasil, ECI harus memunda rencana mereka untuk mengadakan ujian sertifikasi.

Saat ini, di Indonesia, jumlah program yang menawarkan sertifikat di bidang esports juga tidak banyak. Salah satunya adalah RRQ Academy, yang ditujukan untuk orang-orang yang ingin melatih kemampuan gaming mereka dan menjadi pemain profesional. Saat ini, RRQ Academy menawarkan pelatihan untuk empat game, yaitu Mobile Legends, PUBG Mobile, LoL: Wild Rift, dan Free Fire. Setelah mengikuti kelas selama dua hari, peserta akan mendapatkan sertifikat. Pihak RRQ Academy menjelaskan, sertifikat yang peserta akademi dapatkan tidak dilengkapi dengan penilaian akan kemampuan pemain. Selain itu, sertifikasi tersebut juga tidak punya waktu kedaluwarsa.

Sekarang, saya akan membahas tentang pro-kontra dari pengadaan ujian bersertifikat di dunia esports.

 

Pro dari Adanya Program Sertifikasi di Esports

Sertifikat bisa menjadi bukti bahwa seseorang punya kredibilitas di bidang tertentu. Misalnya, semua orang bisa saja membuat akun Facebook. Namun, tidak semua orang memegang sertifikat Facebook Blueprint. Sertifikat tersebut hanya diberikan pada orang-orang yang memang mengerti cara menggunakan berbagai produk digital marketing yang disediakan oleh Facebook dan anak-anak perusahaannya.

Selain bukti kredibilitas, keuntungan lain dari memiliki sertifikat bagi pekerja adalah memperluas pengetahuan, menurut International Society of Automation. Hal ini akan membantu seseorang untuk menanjak tangga karir. Selain itu, mengikuti ujian bersertifikat juga akan meningkatkan reputasi seseorang sebagai seorang profesional. Sementara itu, bagi perusahaan, keberadaan sertifikasi akan memudahkan mereka untuk mencari pekerja yang sesuai dengan kriteria yang mereka cari.

Gary Ongko, CEO BOOM Esports membandingkan industri esports layaknya “Wild West”. “Banyak pekerja di esports yang merupakan esports enthusiasts, tapi nggak pernah lulus ujian apapun,” katanya saat dihubungi oleh Hybrid.co.id. “Karena sekarang belum ada atau belum banyak jurusan esports, jadi mungkin, sertifikat ini bisa bantu kita untuk hiring orang yang mau kerja/terjun ke esports.”

Sementara itu, menurut Head of Operations, Mineski Indonesia, Herry Wijaya, munculnya sistem sertifikasi di esports merupakan bukti bahwa minat masyarakat untuk bekerja di esports semakin tinggi. Dan hal itu merupakan kabar baik. Karena, semakin banyak orang yang tertarik untuk masuk ke dunia esports, semakin besar pula talent pool yang tersedia. Apalagi karena sekarang, persyaratan untuk bisa bekerja di dunia esports semakin tinggi. Memang, mulai muncul universitas yang membuka jurusan esports. Hanya saja, industri perlu menunggu selama beberapa tahun sebelum mereka bisa mempekerjakan orang-orang yang mengambil jurusan esports saat ini.

Mengikuti program sertifikasi juga bisa menjadi bukti bahwa seseorang serius untuk menekuni sebuah bidang baru. Pasalnya, untuk mendapatkan sebuah sertifikat, seseorang harus siap untuk menginvestasikan uang dan waktunya dalam mempelajari suatu bidang baru. Sebagai contoh, untuk mendapatkan sertifikat dari RRQ Academy, seseorang harus membayar Rp199 ribu untuk ikut kelas online dan meluangkan waktunya selama 2×6 jam.

Terakhir, keberadaan program sertifikasi juga bisa membuat sebuah skill semakin dihargai. Contohnya, dengan adanya sertifikat Facebook Blueprint, orang-orang akan lebih mengerti bahwa membesarkan dan merawat Facebook Page perusahaan tidak semudah mengurus akun pribadi.

 

Kontra dari Munculnya Program Sertifikasi untuk Esports

Salah satu fungsi utama dari program sertifikasi adalah untuk memvalidasi kemampuan seseorang. Hanya saja, lingkup pekerjaan di dunia esports sangat luas. Kualifikasi yang diperlukan untuk menjadi pelatih tim akan sangat berbeda dari kriteria yang dicari dari seorang videographer. Tak hanya itu, esports adalah industri yang masih muda dan sangat dinamis. Dalam dunia esports, masih belum ditemukan “best practice” seperti di industri lain yang sudah lebih matang. Contoh sederhananya, penulisan kata “esports” pun masih belum seragam. Sebagian menulis eSports, sementara sebagian menggunakan e-sports.

Tak bisa dipungkiri, program sertifikasi memang bisa memudahkan perusahaan untuk mencari pegawai yang kredibel. Namun, jika kepemilikan sertifikat dijadikan persyaratan mutlak untuk bisa bekerja di perusahaan esports, hal ini justru akan menciptakan masalah. Karena, tidak semua orang akan bisa mengikuti ujian demi mendapatkan sertifikat. Seperti yang disebutkan oleh Tobiaz M. Scholz dari The Esports Observer, keberadaan ujian bersertifikat justru bisa mempersulit seseorang untuk terjun ke dunia esports.

Sementara itu, ECI mengungkap bahwa salah satu tujuan mereka membuat ujian bersertifikat adalah untuk membuat industri esports menjadi semakin inklusif. Meskipun begitu, studi membuktikan bahwa keberadaan tes terstandarisasi justru akan memperdalam jurang rasisme. Alasannya, tidak semua orang bisa mendapatkan akses ke tingkat pendidikan yang sama. Di Indonesia misalnya, siswa SMA yang tinggal di kota-kota besar pasti akan punya kesempatan lebih besar untuk meraih nilai Ujian Nasional tinggi daripada murid yang tinggal di pelosok.

Satu hal yang harus diingat, hanya karena ada banyak pelaku esports yang menentang keberadaan program sertifikasi, bukan berarti dunia esports tak butuh orang-orang profesional. Justru sebaliknya. Head of Operations, Mineski Indonesia, Herry Wijaya mengatakan, saat ini, industri esports membutuhkan orang-orang yang memang ahli di bidangnya. Namun, dia merasa, keahlian yang diperlukan dalam industri esports bisa dipelajari di industri lain. Dia menjadikan ilmu broadcasting sebagai contoh.

Salah satu daya tarik esports di mata sponsor adalah jumlah penonton yang terus naik dan umur penonton yang relatif muda. Untuk menarik penonton, tentu saja, kompetisi esports harus dikemas sedemikian rupa agar menarik. Jadi, industri esports membutuhkan orang-orang yang mengerti tentang teknik siaran. Untuk memenuhi kebutuhan itu, sebagian pelaku esports memutuskan untuk “membajak” orang-orang yang pernah bekerja di stasiun TV.

“Kita kan sudah punya rencana bisnis, sudah tahu orang-orang seperti apa yang diperlukan, ya kita tinggal cari yang memang profesional. Misalnya, kita perlu orang pajak, ya kita hire orang pajak. Kita perlu orang untuk event management, kita cari orang yang paham soal cost management, yang dipelajari di perkuliahan ekonomi,” ujar Herry ketika dihubungi melalui telpon. “Dan memang hal ini yang terjadi di industri esports 2.0.”

Hal yang sama diungkapkan oleh CEO RRQ, Andrian Pauline alias AP. Dia mengatakan, disiplin ilmu yang digunakan dalam industri esports sebenarnya sudah ada dan digunakan di industri lain, mulai dari videographer, wasit, sampai social media specialist. Pekerjaan-pekerjaan itu bukan sesuatu yang hanya tersedia di dunia esports.

Tim esports dan tim olahraga konvensional punya tatanan yang sama. | Sumber: Hotspawn

“Kalau dibandingkan dengan industri olahraga konvensional, esports pada dasarnya sama. Ada coach, ada manajer, ada analis, ada pemain, ada yang mencari sponsor,” ungkap AP ketika dihubungi melalui pesan singkat. “Ada yang memastikan jadwal latihan tim, ada yang memastikan semua kebutuhan tim terpenuhi, ada yang scout pemain muda berbakat, ada akademi untuk nurture pemain-pemain muda baru.”

Lebih lanjut AP berkata, “Sebenarnya esports sama dengan olahraga. Yang beda hanya produknya. Sepak bola sudah ada 100 tahun lebih, esports baru seumur jagung, karena dasarnya adalah game. Dan nature dari game itu selalu ada masanya… Evolve terus. Tapi, kerangkanya sama. Skill yang dibutuhkan sama. Mungkin, kalau mau ada sertifikasi, tujuannya akan lebih ke pemahaman esports secara garis besar.”

Herry lalu membandingkan industri esports saat ini dengan industri esports pada awal tahun 2010-an. Ketika itu — dia menyebutkan sebagai era esports 1.0 — orang-orang yang bekerja di dunia esports adalah mereka yang memang punya passion akan esports. Namun, belum tentu mereka punya keahlian di bisnis yang mereka tekuni. Alhasil, mereka dituntut untuk bisa mempelajari skill yang diperlukan. Contohnya, Eddy Lim, Presiden dari IeSPA dan pendiri Ligagame.

“Pak Eddy kan bukan orang yang punya latar belakang broadcasting, tapi Ligagame bekerja di bidang broadcast. Jadi, dia belajar otodidak untuk fit in, mempelajari ilmu yang dia perlukan,” ujar Herry. Namun, sekarang, perusahaan esports biasanya mencari orang yang memang ahli di bidangnya. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa penyelenggara turnamen mau mempekerjakan mantan pekerja stasiun televisi.

 

Alternatif dari Sertifikasi

Industri esports memang tidak punya sistem sertifikasi saat ini. Namun, hal itu bukan berarti pelaku esports tak punya cara untuk memastikan para pelamar pekerjaan punya skill yang mereka butuhkan. Organisasi esports punya scout untuk mencari pemain muda berbakat. Sementara itu, Herry bercerita, tournament organizer seperti Mineski juga punya metode tersendiri untuk menyaring pekerjanya.

“Secara umum, yang kita lakukan adalah meneliti portofolio dan riwayat kerja sang pelamar,” ungkap Herry. “Setelah kita tahu apa saja kemampuannya, kita tinggal uji. Saat wawancara, juga ada tes untuk membuktikan apakah seseorang memang kompeten di bidangnya. Misalnya, seorang pelamar mengaku paham tentang event. Kita akan uji pengetahuan dasar soal event, seperti tools yang dia pakai, apakah benar atau tidak, seberapa efektif dan efisien dia menggunakan tools.”

Fathimah Prajna Iswari, People Team Lead, Garena Indonesia juga mengatakan, sertifikasi bukan kriteria utama ketika mereka hendak merekrut karyawan. Meskipun begitu, jika seseorang memiliki sertifikat, hal itu memang akan menjadi nilai tambah. Sementara itu, Garena akan menggunakan pendidikan formal untuk menyaring kandidat di tahap awal.

“Namun, yang terpenting adalah perekrut dapat melihat kualitas dari setiap kandidat, seperti bagaimana kandidat menyelesaikan masalah, bagaimana kandidat termotivasi untuk menyelesaikan tugas-tugas dengan baik, seberapa rasa ingin tahunya untuk belajar mengenai hal-hal baru, bagaimana kandidat bekerja sendiri atau dengan orang lain, dan lain sebaganya,” kata Fathimah saat dihubungi melalui email.

Ilmu broadcasting jadi salah satu bagian penting dari dunia esports. | Sumber: Twitter

Secara garis besar, ada tiga tahap dalam proses perekrutan di Garena. Pertama, mereka akan meninjau semua surat lamaran yang masuk dan menentukan kandidat yang akan masuk dalam tahap berikutnya. Di tahap ini, pendidikan formal jadi salah satu pertimbangan tim Garena. Di tahap kedua, para kandidat yang lolos akan diundang untuk ikut dalam wawancara dengan hiring manager. Jika lolos tahap kedua, kandidat akan diundang ke wawancara terakhir dengan Country Head Garena Indonesia.

“Khusus untuk esports, Garena mencari orang-orang yang memiliki project management yang baik, mampu berkomunikasi dan bernegosiasi dengan baik dan juga team player yang baik,” ungkap Fathimah. “Jika kandidat punya pengalaman yang relevan, seperti pernah magang atau pengalaman bekerja di event atau broadcasting, hal itu akan menjadi nilai tambah.”

 

Kesimpulan

Passion tak lagi cukup untuk bekerja di dunia esports. Sekarang, orang-orang yang ingin terjun ke industri esports juga harus punya keahlian yang mumpuni. Kabar baiknya, ilmu yang Anda dapatkan dari industri lain bisa diaplikasikan di industri esports. Sebelum bekerja di Hybrid.co.id, saya lebih sering berkutat dengan teknologi. Namun, setelah beralih profesi sebagai jurnalis esports, toh ilmu penulisan dan jurnalisme yang saya pelajari di pekerjaan saya sebelumnya tetap saya gunakan.

Popularitas esports membuat semakin banyak orang tertarik untuk melamar pekerjaan di perusahaan-perusahaan esports. Apalagi karena esports bisa bertahan melalui pandemi virus corona. Hanya saja, orang-orang yang sama sekali awam akan esports mungkin harus mencoba mengejar ketertinggalannya. Pelatihan dan tes bersertifikasi bisa menjadi salah satu cara untuk belajar akan pengetahuan dasar soal esports.

Walau sertifikat bisa membantu pekerja untuk membuktikan kemampuannya dan memudahkan perusahaan mencari pegawai yang punya skill, kepemilikan sertifikat tidak bisa menjadi persyaratan absolut untuk masuk ke dunia esports. Salah satu alasannya karena dunia esports yang sangat dinamis. Alasan lainnya adalah karena luasnya cakupan keahlian yang diperlukan di dunia esports.

Pada akhirnya, tidak salah jika sebuah badan ingin membuat program sertifikasi esports demi memuluskan jalan orang-orang yang memang ingin menekuni bidang competitive gaming. Namun, jika tidak dieksekusi dengan hati-hati, hal itu justru bisa menyebabkan masalah sendiri di dunia esports. After all, the road to hell is paved with good intentions.

Feat Image credit: ESL

Mampukah Esports Berkembang Tanpa Dukungan Langsung dari Sang Publisher?

Perkembangan esports sedang begitu digembar-gemborkan belakangan ini, terutama ketika pandemi menyerang. Banyak publikasi ataupun lembaga riset yang memproyeksikan masa depan esports. Newzoo misalnya, memproyeksikan angka pemasukan esports akan mencapai US$1,084 miliar pada tahun 2021 ini dengan perkiraan jumlah penonton mencapai 474 juta orang.

Memang benar esports sedang berkembang pesat. Tetapi ada satu pola dalam perkembangan esports yang mungkin bisa jadi masalah. Hal tersebut adalah bentuk ketergantungan dengan pihak pertama alias developer atau publisher game esports terkait.

Bermula dari hal tersebut, muncul tanda tanya tersendiri. Apakah esports bisa berkembang tanpa dukungan developer ataupun publisher game? Dalam artikel ini tim redaksi Hybrid mencoba mengupasnya dari sudut pandang global yang lalu dikerucutkan ke sudut pandang lokal.

 

Alkisah Sebuah Game Bernama Heroes of The Storm

Video milik Akshon Esports menjadi pengantar saya dalam membahas topik ini. Pada salah satu videonya, Akshon Esports membahas Heroes of the Storm, sebuah game MOBA yang di-develop dan di-publish oleh Blizzard Entertainment.

Kisah Heroes of the Storm menarik untuk diulas karena beberapa hal. Pertama, Heroes of the Storm sendiri yang memang punya konsep baru nan segar di ranah MOBA dengan menghilangkan sistem item dan sistem level individual.

Kedua, Heroes of the Storm sempat jaya sebagai esports sampai akhirnya Blizzard melepas dukungannya sehingga skena esports game tersebut jadi hampir hancur luluh lantah.

Sekarang, mari saya ceritakan bagaimana Heroes of the Storm hadir ke pasaran. Walaupun Warcraft III (besutan Blizzard) bisa dibilang moyangnya game MOBA seperti Dota 2 dan League of Legends, namun uniknya Blizzard malah ketinggalan masuk ke pasar MOBA.

League of Legends rilis di tahun 2009. Dota 2 rilis di tahun 2013. Heroes of the Storm baru dirilis Blizzard tahun 2015 ketika sudah ada banyak iterasi genre MOBA yang datang dan pergi. Walau terlambat muncul, Heroes of the Storm membawa konsep yang segar.

Seperti yang saya sebut sebelumnya, Heroes of the Storm tidak memiliki item. Sebagai gantinya, Blizzard membuat sistem Talent yang bisa diambil pada level tertentu dan bersifat memperkuat atau menambah skill tertentu. Sistem talent menjadi inovasi yang besar bagi genre MOBA, bahkan sampai ditiru oleh Dota 2.

Heroes of the Storm juga tidak memiliki level individual. Pada MOBA, masing-masing pemain biasanya punya level karakter masing-masing saat bertanding. HoTS tidak, level karakter dikumpulkan secara kolektif oleh tim. Semakin sering sebuah tim memenangkan peperangan, maka semakin cepat juga naik levelnya.

Keunikan terakhir yang ditawarkan oleh HoTS adalah variasi map dengan objektif memenangkan pertandingan yang juga beragam. Dalam MOBA umumnya, objektif permainan cuma satu: mendesak musuh, menghancurkan tower demi tower sampai salah satu tim bisa menghancurkan bangunan inti milik musuh. HoTS berbeda.

Tujuan utamanya tetap menghancurkan bangunan inti. Namun, cara untuk mencapainya berbeda-beda. Pada satu map Anda harus merebut area tertentu agar bisa berubah menjadi naga; yang bisa membantu menghancurkan bangunan inti.

Pada map lain, Anda harus mengumpulkan biji tanaman untuk berubah menjadi monster; yang juga akan membantu Anda menghancurkan bangunan inti. Bahkan, Anda bisa juga tidak perlu menghancurkan tower demi tower untuk bisa hancurkan bangunan inti.

Berkat keunikan yang ditawarkan, Heroes of the Storm muncul menjadi MOBA yang punya penggemarnya tersendiri. Terlebih, Heroes of the Storm juga menawarkan karakter-karakter dari semesta Blizzard yang memang sudah banyak dikenal pemain, seperti Arthas dari World of Warcraft, Sarah Kerrigan dari StarCraft, Tyrael dari Diablo, Genji dari Overwatch, bahkan trio viking dari game jadul The Lost Vikings.

Perkembangan tersebut disambut positif juga oleh Blizzard dengan menghadirkan skena esports profesional yang menjanjikan karir. Pada masanya, esports Heroes of the Storm juga menjadi salah satu pionir.

Kala itu tepatnya tahun 2015, Blizzard menghadirkan turnamen bertajuk Heroes of the Dorm. Turnamen tersebut merupakan turnamen antar universitas yang berhadiah beasiswa bagi para pemenangnya. Heroes of the Dorm juga terbilang menjadi salah satu tayangan esports pertama yang hadir di saluran televisi ESPN pada masa itu.

Setelah Heroes of the Dorm hadir dan cukup sukses, Blizzard pun mencoba meningkatkan skala kompetisi game Heroes of the Storm dengan menghadirkan Heroes Global Championship (HGC). HGC merupakan sebuah sirkuit turnamen yang hadir di beberapa negara seperti Australia/New Zealand, China, Europe, Korea, Latin America, North America, dan Southeast Asia.

Kehadiran HGC memberikan menjadi angin segar bagi para pemain kompetitif karena memberi janji karir di masa depan. Kehadiran HGC juga berhasil menarik minat tim-tim esports profesional seperti Dignitas, Fnatic, Tempo Storm, dan Gen.G.

HGC berjalan secara rutin setiap tahun sejak tahun 2016, membuat tim dan para pemain merasa cukup percaya diri untuk terus melanjutkan perjuangannya di skena Heroes of the Storm. Namun pada 2018, satu berita mengejutkan datang dari Blizzard.

Melalui sebuah blog post yang terbit tanggal 13 Desember 2018, Blizzard mengumumkan penarikan mundur semua dukungan terhadap esports Heroes of the Storm. Blizzard tidak akan melanjutkan seri kompetisi HoTS yang artinya tidak akan ada Heroes of the Dorm dan Heroes Global Championship di tahun 2019.

Walaupun Blizzard tak lagi mendukung esports HoTS, mereka masih terus mengembangkan, memberikan update, perbaikan, serta konten baru untuk Heroes of the Storm.

Tanpa dukungan investasi dari Blizzard, esports Heroes of the Storm menjadi penuh ketidakpastian. Para pemain bisa saja ikut turnamen-turnamen pihak ketiga. Namun, turnamen pihak ketiga cenderung terbatas jumlah hadiahnya. Tanpa hadiah ataupun jaminan finansial yang pasti, pemain jadi tak punya alasan lagi untuk terus berkompetisi di Heroes of the Storm.

Beberapa pemain mulai pindah game agar dapat menyambung hidup. Rich, pemain tim Gen.G divisi Heroes of the Storm contohnya. Ia pindah ke League of Legends pasca kejadian tersebut. Ada juga Psalm, mantan pemain Tempo Storm yang sempat transisi ke skena Fortnite dan mendapat posisi runner-up di Fortnite World Cup 2019.

Lalu bagaimana kabar pemain yang tidak memutuskan untuk pindah? Dalam keadaan mati suri, inisiatif komunitas ternyata menjadi fenomena yang patut diacungi jempol dalam skena Heroes of the Storm, terutama di Amerika Serikat. Pihak ketiga bernama HeroesHearth muncul menjadi “pahlawan” bagi skena kompetitif HoTS di Amerika Serikat.

HeroesHearth mengawali perjuangannya menjaga esports HoTS terus berdenyut lewat turnamen invitational berhadiah US$5000. Setelahnya mereka juga menghadirkan turnamen bertajuk Fight Night, pertandingan kecil-kecilan dengan hadiah ratusan US$ saja. Skena bentukan komunitas tersebut terus berkembang sampai akhirnya kini menjadi Community Clash League (CCL).

Community Clash League tergolong berjalan cukup rapih dan terstruktur, walaupun sebenarnya hanya dijalankan oleh komunitas. Hadiah yang ditawarkan pun juga cukup menarik.

Lewat donasi dari komunitas, CCL Season 2 tahun 2020 kemarin berhasil menyajikan US$33.600 sebagai prize pool. Angka tersebut adalah angka yang cukup besar, apalagi mengingat CCL adalah turnamen tingkat komunitas.

Kisah hubungan Blizzard, Heroes of the Storm, dan komunitasnya menunjukkan bagaimana perkembangan esports bisa hancur dalam satu jentikkan jari. Pesta esports yang dinikmati oleh pemain-pemainnya habis begitu saja setelah Blizzard Entertainment memutuskan menarik dukungannya.

Esports Heroes of the Storm mungkin masih bertahan untuk sementara waktu berkat dukungan dari komunitas. Namun, apakah mereka masih bisa terus berjalan sampai beberapa tahun ke depan?

Setelah melihat kasus relasi esports dan publisher di ranah Heroes of the Storm luar negeri, sekarang mari kita mencoba melihat kasus seperti demikian di ranah lokal.

 

Kisah Serupa Dari Ranah League of Legends Indonesia

Dari ranah lokal, satu game yang punya cerita mirip sekali dengan kisah Heroes of the Storm di atas mungkin adalah League of Legends di Indonesia. Riot Games boleh bangga dengan esports League of Legends yang ditonton jutaan orang dan mencatatkan puluhan juta jam total watch hours di seluruh dunia. Terlepas jutaan orang penonton yang dicatatkan, League of Legends sendiri terbilang kurang punya nama di Indonesia

Esports League of Legends sempat mekar merona ketika Garena Indonesia masih menjalankan tugasnya sebagai publisher lokal. Tahun 2013 silam, League of Legends baru saja rilis di Indonesia lewat Garena. Pada masa awal perilisan tersebut, komunitas mendapat perhatian yang istimewa lewat bebagai inisiatif yang dilakukan.

Ada liga komunitas bertajuk Teemo Cup, inisiatif kompetisi tingkat kampus, sampai liga tingkat profesional bertajuk Leauge of Legends Garuda Series (LGS). Cerita lebih lengkapnya bisa Anda baca pada artikel saya yang membahas potensi Wild Rift yang juga sedikit menyenggol cerita perkembangan League of Legends di Indonesia.

Sumber: Flickr LoL Esports Indonesia

Lewat inisiatif yang dilakukan Garena, League of Legends sempat mendapat status pionir dalam beberapa hal di esports Indonesia. LGS bisa dibilang sebagai salah satu kompetisi esports pertama yang berformat liga di Indonesia. Tak hanya berformat liga, LGS juga berjalan secara profesional dan dikabarkan memberi kompensasi mingguan bagi tim dan pemain. Selain itu saya juga ingat betul betapa megahnya LGS 2016 yang diselenggarakan di Balai Sarbini, yang merupakan salah satu event esports offline pertama yang saya liput kala itu.

Tetapi layaknya apa yang terjadi pada Heroes of the Storm, pesta esports League of Legends di Indonesia langsung usai saat Garena Indonesia mengumumkan pengunduran dirinya di tahun 2019. Sudah inisiatif esports-nya hilang, server lokal Indonesia game League of Legends pun hilang. Walaupun begitu, server dan esports League of Legends kini sebetulnya masih ada, walau lingkupnya jadi melebar ke tingkat Asia Tenggara.

Pasca kehilangan Garena, League of Legends di Indonesia menolak untuk tergeletak dengan segala dukungan dari komunitas. Puncak kegetolan komunitas terlihat di tahun 2019 lalu, ketika komunitas berhasil mengadakan acara nobar Worlds secara mandiri dengan sedikit/minim bantuan dari pihak Garena.

Kini esports League of Legends terbilang mati suri. Apalagi game penggantinya juga sudah hadir, yaitu Wild Rift yang tersaji di mobile device. Namun Edi Kusuma atau Edel selaku founder Hasagi, media yang mengayomi komunitas League of Legends di Indonesia, merasa bahwa esports sebenarnya tetap bisa berkembang walau tanpa bantuan dari publisher.

“Kalau ditanya bisa berkembang atau tidak, jawabannya bisa saja. Bagaimanapun esports sendiri tumbuh dari komunitas. Tapi lebih baik jika ada publisher yang ikut campur tangan dalam hal ini. Bantuan publisher, terutama dari sisi finansial, akan membantu memperkenalkan esports secara lebih luas serta menjangkau lebih banyak orang. Karenanya menurut saya publisher dan komunitas adalah dua aspek terpenting dalam pertumbuhan esports sebuah game.”

Setelahnya Edel juga menjelaskan kenapa publisher memang teramat penting bagi pertumbuhan esports sebuah game. Menurutnya peran terbesar publisher adalah mendukung dari segi finansial. “Ada banyak dukungan yang bisa diberikan publisher tapi yang pertama dan paling utama tentu adalah dalam hal finansial.” Ucapnya.

“Kita bisa lihat Overwatch sebagai contoh. Sebelum AKG Games ada, semua aktivitas seputar Overwatch itu digagas oleh komunitas. Inisiatif tersebut bagus, tapi masih jauh dari kata sempurna. Komunitas terbatas dari banyak hal, terutama dalam hal menyediakan panggung kompetitif bergengsi.” Lanjut Edel menjelaskan.

Menutup obrolan, saya juga menanyakan pendapat Edel soal pihak yang berperan menjaga kehidupan sebuah game tanpa kehadiran publisher dan pendapatnya soal bisnis esports yang berisiko apabila semuanya digantungkan kepada publisher.

Dalam soal pihak yang berperan, Edel berpendapat bahwa satu-satunya yang berperan adalah pemainnya sendiri.

“Dota 2 adalah contoh nyata yang bisa kita ambil. Dulu sempat ramai turnamen, tapi sekarang sudah nyaris tidak ada. Tetapi apakah esports Dota 2 berarti mati? Jelas tidak. Dota 2 masih hidup sampai sekarang walau jarang ada turnamen. Pemain Dota 2 di Indonesia juga masih getol menjadi pendukung sebagai fans. Namun saya yakin kalau ada yang bisa mengadakan turnamen Dota 2 pasti akan banyak yang ikut serta.” Tuturnya.

Sumber: HASAGI

Terkait pertanyaan kedua, Edel pun menjawab.

“Bagi kita, game/esports itu mungkin adalah passion. Tapi sejujurnya, esports tetaplah bisnis. Kalau ditanya berisiko atau tidak, menurut saya memang bisnis di esports masih sangat berisiko. Seperti yang kita lihat, kebanyakan investor atau sponsor di esports sekarang berasal dari perusahaan besar. Perusahaan kecil yang dananya terbatas tentu harus berpikir dua kali ketika ingin berinvestasi di esports. Bagaimanapun, esports adalah bisnis yang mahal menurut saya.” Ucap Edel.

Saat ini, sudah banyak pemain profesional League of Legends memilh pindah ke ranah Wild Rift karena adanya dukungan dari Riot Games yang mengadakan kompetisi resmi bertajuk Wild Rift Icon Series.

Bagiamana dengan esports League of Legends di PC? Entahlah. Indonesia sebenarnya masih punya kesempatan bersaing di laga Pacific Championship Series (PCS) apabila ingin menembus tingkat dunia. Tetapi saya sendiri setuju dengan apa yang dikatakan Edel, modal untuk berjuang di esports itu tidak murah.

Sebagai pemain, Anda mungkin harus rela tidak digaji sampai beberapa tahun, setidaknya sampai bisa tembus PCS. Ditambah, persaingannya juga amatlah ketat, bahkan pada level Asia Tenggara dan Asia Pasifik saja.

 

Serupa Tapi Tak Sama, Kisah Rainbow Six Siege di Indonesia

Rainbow Six Siege mungkin memang tidak pernah mendapatkan dukungan penuh yang bersifat langsung dari sang publisher yaitu Ubisoft sendiri. Namun perubahan sistem kompetisi Rainbow Six Siege secara internasional bisa dibilang sebagai bentuk perubahan dukungan Ubisoft terhadap komunitas.

Pada awalnya, esports Rainbow Six Siege dibuat menggunakan sistem terbuka. Siapapun bisa berkompetisi untuk mendaki hingga ke puncak kejayaan di esports Rainbow Six Siege lewat gelaran Rainbow Six Pro League yang diadakan oleh ESL.

Berkat sistem terbuka tersebut, Indonesia juga sempat kebagian sorotan bertanding di tingkat Rainbow Six Pro League. Pada masanya, Team Scrypt adalah tim Indonesia yang berhasil mencapai ke tingkat yang cukup tinggi di skena kompetisi Rainbow Six Siege. Team Scrypt sempat menembus ke main event dari ESL Pro League Season 7 APAC yang diadakan di Sydney, Australia.

Tetapi semua kesempatan tersebut hilang setelah Ubisoft memutuskan untuk mengubah sistem kompetisi Rainbow Six pada bulan Mei 2020 lalu. Liga kasta utama Rainbow Six yang dahulu ramah bagi tim komunitas, kini menjadi lebih tertutup. Pro League yang dahulu menjadi wadah berlatih dan berkompetisi bagi tim untuk dapat naik tingkat pun hilang dan digantikan dengan kualifikasi yang hanya terlaksana sesekali saja.

Lebih lanjut, Bobby Rachmadi Putra selaku founder dari komunitas R6 resmi di Indonesia pun menceritakan.

“Kalau bicara dukungan publisher bagi Rainbow Six di Indonesia, sejauh ini gue melihat memang Ubisoft tetap menjalin hubungan yang baik kepada komunitas. Contohnya dari komunitas R6 IDN terhadap aktivitas R6 di regional APAC. Ubisoft menunjuk beberapa key opinion leader dari negara dengan peminat game R6S terbesar di kawasan APAC untuk memberi feedback atas planning mereka untuk menjalankan event di asia.” Jawab Bobby membuka pembahasan.

“Selain itu, Ubisoft juga memberikan beberapa freebies seperti in-game codes dan special merch atau bahkan cash reward kepada leader/influencer di negara tersebut. Sebagai timbal baliknya, sosok-sosok penting tersebut akan dimintai data, opini, kritik, keluah, serta situasi dan kondisi perkembangan esports serta komunitas game R6 di negara-negara terkait.” Tambah Bobby.

Selain dari sisi komunitas secara umum, saya juga bertanya kepada Bobby soal dukungan Ubisoft terhadap esports R6 di Indonesia atau di Asia Tenggara. Walaupun ada R6 APAC League, namun liga tersebut tetap tergolong liga kawasan besar yang biasanya menjadi tingkat lanjutan bagi beberapa skena esports lain.

“Memang kalau dari segi esports, saat ini Ubisoft belum memberi dukungan secara langsung. Sebagai gantinya Ubisoft menghadirkan liga Rainbow Six Siege regional atau di negara tertentu yang memang sudah terlihat potensi besarnya, misalnya seperti di Korea Selatan dan Jepang. Untuk negara seperti Indonesia yang belum terlihat jelas potensinya masih akan melalui komunitas seperti R6 IDN terlebih dahulu.” Tutur Bobby.

Sumber: Ubisoft

“Namun ada alasan tersendiri kenapa Ubisoft melakukan hal tersebut. Salah satunya adalah karena Ubisoft mengembangkan esports R6S di seluruh dunia. Maka dari itu sejauh ini gue melihat Ubisoft memang mengembangkan secara perlahan agar terkelola dengan baik dan berkembang dengan jelas.” Bobby menambahkan.

Sampai saat ini, komunitas R6S di Indonesia sendiri sebenarnya masih cukup aktif, terutama di dalam server chat Discord. Komunitas masih secara aktif berinteraksi dan bermain bersama pada beberapa waktu. Namun turnamen esports R6S di lokal Indonesia terbilang mati suri, walau masih ada turnamen-turnamen tingkat regional.

 

Hearthstone Indonesia yang Kini diasuh Publisher Pihak Ketiga

Game berikutnya yang menarik untuk dibahas adalah Hearthstone. Secara umum, esports Hearthstone sebenarnya berjalan cukup aktif terutama di negara-negara barat.

Di Indonesia, walau pemainnya mungkin tidak banyak, tetapi pemain profesional dari Indonesia bisa bersaing di tingkat nternasional. Salah satunya ada Hendry “Jothree” Handisurya. Pemain tersebut merupakan salah satu atlet Hearthstone andalan Indonesia. Ia bahkan sempat mendapat medali perak pada esports sebagai cabang eksibisi di Asian Games 2018.

Hearthstone pada awalnya tidak mendapatkan dukungan apapun dari sang publisher di Indonesia. Namun pada tahun 2019, AKG Games hadir menjadi rekan Blizzard untuk pasar Indonesia.

Saat Jothree memenangkan medali perak di Asian Games | Sumber: Facebook

Jothree pun sedikit menjelaskan bagaimana AKG Games sejauh ini ternyata sudah cukup mendukung perkembangan esports Hearthstone di Indonesia.

“Sejauh ini mereka cukup berusaha dengan baik. Beberapa contohnya terlihat dari turnamen AKG Elite Series, Fireside Gathering, SEA Showmatch, yang sebetulnya secara konsep sudah lebih bagus ketimbang sebelumnya. Namun karena mereka statusnya adalah third party, maka mereka jadi enggak punya kuasa untuk menyediakan apa yang betul-betul dibutuhin oleh komunitas. Misal contohnya adalah menyediaan in-game tournament, platform bahasa Indonesia, kemudahan pembayaran untuk Battle Net Balance, ataupun membuat game-nya jadi lebih low-spec untuk mobile.” Jawab Jothree secara lengkap.

Selain itu, Jothree juga bercerita soal perjuangan komunitas Hearthstone sebelum kehadiran AKG Games di Indonesia.

“Kalau ditanya siapa yang menjaga keberlangsungan esports tanpa kehadiran publisher, jelas jawabannya adalah pemain game tersebut yang benar-benar suka dengan game-nya. Dalam kasus Hearthstone, gue merasakan komunitas kami sangat solid sebelum AKG Games ada. Kami juga mati-matian menjaga kehidupan komunitas bahkan kadang sampai keluar uang dari kantong sendiri.” Tuturnya.

Setelah kisah perkembangan esports Hearthstone, mari kita berlanjut ke kasus berikutnya yaitu cerita perkembangan esports game fighting di Indonesia.

 

Nasib Fighting Game Community di Indonesia dari Sudut Pandang Tekken 7

League of Legends dan Rainbow Six Siege tergolong cukup beruntung karena masih sempat mengecap dukungan dari publisher terhadap komunitas dan esports, walau sifatnya sementara atau sedikit saja dampaknya.

Tetapi di luar dari itu, ada beberapa game kompetitif di Indonesia yang justru lebih nahas lagi. Salah satunya adalah komunitas game fighting. Komunitas tersebut sebenarnya punya cukup banyak penggemar, namun posisi mereka hampir tidak tersentuh oleh sang developer/publisher. Tekken 7 adalah salah satu bagian dari game fighting.

Pada tahun 2018 lalu, Yabes Elia selaku Chief Editor Hybrid.co.id sempat ngobrol banyak dengan Bram Arman membahas soal perkembangan game fighting di Indonesia.

Bram Arman (kiri). Source: Advance Guard
Bram Arman (kiri). Source: Advance Guard

Dalam pembahasan tersebut Bram menjelaskan keunikkan komunitas game fighting. Pada game genre lain, kita bisa melihat bagaimaan esports game tersebut berkembang berkat peran aktif dari sang developer atau publisher. Namun perkembangan esports game fighting justru berbeda, komunitas justru lebih berperan aktif di sini.

Salah satu contoh nyata atas hal tersebut adalah Evolution Championship Series. EVO yang merupakan turnamen game fighting tingkat dunia tersebut sebenarnya merupakan turnamen yang digagas oleh komunitas.

Publisher justru cenderung tidak mengambil peran yang begitu besar dalam mengembangkan esports game fighting. Walaupun memang, Capcom punya Capcom Pro Tour (CPT) sebagai turnamen resmi. Bandai Namco juga punya Tekken World Tour (TWT) sebagai turnamen resmi.

Namun tetap saja komunitas cenderung lebih mengakui legitimasi EVO ketimbang turnamen lainnya. Ibaratnya, pro player fighting game belum bisa dianggap juara dunia kalau belum menang EVO walaupun dia memenangkan CPT atau TWT.

Lebih lanjut saya juga mencoba berbicang dengan Ronald Rivaldo untuk mengetahui soal perkembangan skena Tekken 7. Ronald Rivaldo sendiri merupakan ketua dari tim Tekken 7 bernama DRivals. Selain sebagai tim, DRivals belakangan juga tergolong cukup aktif dalam menjaga denyut komunitas game fighting lewat berbagai aktivitas yang mereka lakukan.

Dalam hal dukungan publisher terhadap komunitas, Aldo pun menceritakan.

“Dukungan publisher Tekken yaitu Bandai Namco di skena lokal hampir enggak ada, apalagi semenjak pandemi seperti sekarang. Dulu kala pada tahun 2017 dan 2018 masih sempat ada turnamen bagian dari Tekken World Tour di Indonesia. Pada tahun 2020 ini, turnamen bagian dari TWT juga seharusnya hadir kembali di Indonesia. Tetapi berhubung ada pandemi maka event pun terpaksa dibatalkan.”

DRivals - ESL Indonesia Championship
DRivals di ESL Indonesia Championship | Sumber: Dokumentasi DRivals

Dari sisi Tekken, Bandai Namco selaku developer dan publisher memang memberi lisensi kepada turnamen lokal sebagai bagian dari TWT. Pada tahun 2020 lalu, turnamen IFGC MAX yang rencananya diselenggarakan di Indonesia seharusnya menjadi bagian dari rangkaian TWT sebagai Challenger Event.

Tapi apa mau dikata. Pandemi COVID-19 menyeruak, larangan berkumpul pun diberlakukan sehingga membuat turnamen offline dibatalkan.

Walaupun Bandai Namco memberi lisensi untuk turnamen-turnamen lokal, namun seperti yang dikatakan oleh Rivaldo, Bandai Namco terbilang tidak pernah memberi dukungan secara langsung ke skena lokal dalam hal esports.

Menariknya, terlepas dari adanya dukungan publisher atau tidak, esports fighting game tetap hadir di skena lokal walaupun tingkat penyelenggaraannya masih tingkat komunitas. Seperti yang ditulis oleh Yabes Elia, Fighting Game bisa dibilang terkucilkan namun menolak untuk tergeletak.

Hybrid.co.id juga termasuk menjadi salah satu yang berusaha untuk mendorong komunitas fighting game agar tetap hidup bara api semangat kompetisinya. Hybrid Cup Series: Play on PC Fighting Game yang terselenggara awal tahun 2020 lalu jadi salah satu bukti bahwa bara semangat kompetisi di antara pemain fighting game masih tetap ada walau tanpa dukungan publisher sekalipun.

Sumber: Hybrid – Akbar Priono

Saya juga mempertanyakan soal posisi esports sebagai bisnis yang berisiko karena terlalu tergantung dengan satu pihak. Menjawab soal hal tersebut, Rivaldo juga sedikit menceritakan apa yang jadi tujuannya bersama Drivals.

“Kalau bicaranya bisnis, jujur kami belum memikirkan hal tersebut karena sadar bahwa market fighting game masih sangat kecil di Indonesia. Saat ini yang kami lakukan adalah mencoba meningkatkan pamor fighting games, terutama Tekken, agar lebih dikenal masyarakat awam di Indonesia. Untuk mencapai hal tersebut, kami menccoba mengadakan turnamen-turnamen baik offline atau online, melakukan streaming di YouTube ataupun melakukan pertandingan persahabatan antar daerah atau antar negara. Harapannya adalah suatu hari nanti komunitas fighting game terutama Tekken bisa menjadi daya tarik bagi sponsor.” Tutur Rivaldo.

Perjuangan komunitas game fighting memang menjadi keunikan tersendiri karena kegigihan dari para anggotanya. Dalam kasus Drivals, kita bisa melihat sendiri bagaimana mereka bahkan tetap gigih menyiarkan keseruan fighting game ke khalayak luas walaupun Bandai Namco hampir tak sedikitpun meliriknya.

 

Pro Evolution Soccer yang Berkembang Lewat Dukungan Asosiasi Sepak Bola

Pada saat membahas alasan kenapa suatu game tidak selalu sukses berkembang sebagai esports, saya juga menggunakan fighting game dan Pro Evolution Soccer sebagai contoh. Kala itu dua narasumber saya yaitu Bram Arman dan Valentinus Sanusi setuju, bahwa alasan kurang berkembangnya esports game mereka adalah karena publisher Jepang yang cenderung lambat geraknya dalam mengembangkan esports.

Menariknya, kedua game tersebut juga sama-sama punya penggemar yang gigih di ranah lokal. Dalam Pro Evolution Soccer, contoh kasus kegigihan yang berbuah manis bagi perkembangan esports-nya mungkin adalah kisah Indonesia Football e-League.

Sumber: Dokumentasi resmi IFeL

Posisi PES dan IFel sendiri memang cukup unik. Liga IFel bukan sekadar turnamen game PES biasa. Pertandingan di dalam liga IFel menggunakan jersey, pemain-pemain, bahkan stadion dari tim Liga 1 Indonesia di dalam game Pro Evolution Soccer yang dipertandingkan.

Tapi bagaimana bisa IFeL menyediakan semua aset digital tersebut ketika Konami sendiri sebenarnya belum menyediakan player pack/stadion pack dari tim Liga1 Indonesia? Jawabannya adalah modifikasi. Dalam artikel saya yang menggali lebih dalam seputar IFeL pada saat peluncurannya, Putra Sutopo selaku Head of IFeL mengatakan bahwa Konami selaku developer/publisher game PES tidak memberlakukan larangan terhadap penggunaan custom mod.

Sumber: Instagram @ifel.id

Tetapi sebagai gantinya, IFeL menggandeng tim Liga 1 Indonesia untuk mendapatkan izin penggunaan kekayaan intelektual milik tim (logo, jersey, serta stadion) ke dalam custom mod pada pertandingan game PES di liga IFeL.

Maka dari itu Putra menjelaskan berdasarkan pandangannya, bahwa campur tangan developer/publisher tidak selamanya selalu bisa membawa skena esports suatu game maju.

“Tergantung kebijakan dan peraturan dari publisher. Dalam kasus IFeL, memang kami belum dapat dukungan official dari Konami, tetapi Konami tidak memiliki peraturan mengenai hak cipta yang rumit dalam hal penggunaan unofficial patch. Berbeda dengan EA dalam mengurus FIFA. Mereka cenderung punya peraturan yang lebih ketat perihal hak cipta.” Tutur Putra.

Dalam kasus IFeL, kebebasan mengotak atik aset game Pro Evolution Soccer memang bisa dibilang jadi faktor yang membuat skena esports-nya jadi maju. Dalam kata lain, Konami yang tidak secara aktif memberi dukungan serta mengurusi game-nya di berbagai wilayah di dunia justru membuka peluang tersendiri.

Lebih lanjut, Putra Sutopo pun menceritakan bagaimana Liga 1 Indonesia dan PSSI menjadi motor penggerak terbesar bagi perkembangan esports PES dari sisi IFeL.

“Kalau dalam kasus IFeL, sosok yang berperan untuk membuat liga tetap berjalan tentunya adalah PSSI. Bagaimanapun, kami juga menggunakan identitas klub Liga 1 dan Liga 2 Indonesia yang penggunaannya diatur oleh PSSI. Tetapi di luar itu, tentunya juga adalah investor eksternal yang memungkinkan kami menjalankan semua rangkaian acara IFeL, tim IT yang telah membuat patch Liga 1 dan Liga 2, juga pastinya dukungan dari manajemen klub serta fans sepak bola di Indonesia.”

IFeL yang merupakan liga esports pihak ketiga terbilang sudah berkembang dengan cukup pesat sejak dari pertama kali diluncurkan tahun 2020 lalu. Musim 2020 lalu IFeL hanya mempertandingkan 10 tim yang berasal dari klub sepak bola Liga 1 Indonesia. Musim ini, IFeL menambahkan 12 tim lagi untuk turut bertanding di IFeL Liga 2.

Kisah perkembangan skena esports PES lewat liga IFeL sebagai contoh memberi cerita yang berbeda lagi. IFeL menunjukkan bagaimana skena esports suatu game masih bisa tetap berkembang walau tanpa dukungan publisher sekalipun. Dalam kasus IFeL, Putra Sutopo dan bagian komunitas bergerak aktif untuk terus memajukan esports PES.

Tetapi pada sisi lain, IFeL juga jadi menarik karena di belakangnya ada juga dukungan dari asosiasi sepak bola Indonesia yang memungkinkan kehadiran liga sepak bola virtual di Indonesia.

 

Dota 2 yang Tetap Penuh Dengan Para Penggemar Esports

Dalam kasus perkembangan esports tanpa dukungan publisher, kisah Dota 2 di Indonesia juga cukup unik untuk dibahas. Secara dukungan, sang developer/publisher yaitu Valve sebenarnya tidak pernah sedikitpun memberi dukungan dari segi esports untuk ranah lokal. Valve hanya memberikan dukungan esports secara internasional lewat gelaran The International ataupun rangkaian turnamen Major yang diadakan.

Walaupun demikian, Dota 2 tetap tumbuh subur secara organik di tanah air Indonesia. Pada masanya, mungkin sekitar 2016 – 2018, Dota 2 adalah game pilihan bagi para pelaku esports di Indonesia.

Jumlah pemain bejibun, banyak pemain terinspirasi kisah Dendi yang membuatnya juga jadi ingin menjadi pemain profesional Dota 2. Turnamen pun banyak jumlahnya. Tim esports profesional pun hampir semuanya punya divisi Dota 2.

Pada masanya, salah satu yang juga mendorong perkembangan esports Dota 2 di Indonesia adalah investasi pihak ketiga. Salah satu investasi pihak ketiga terbesar terhadap esports Dota 2 mungkin adalah Telkomsel lewat turnamen Indonesia Games Championship di tahun 2017. Pada zaman itu, mungkin hanya IGC 2017 yang bisa mengumpulkan semua talenta esports Dota 2 terbaik ke dalam satu panggung.

BOOM Esports Dota 2 di IGC 2017. Sumber: IGC

Namun semua dukungan pihak ketiga terhadap perkembangan Dota 2 berubah ketika game mobile menyerbu pasar. Tahun 2017 mungkin bisa dibilang adalah titik baliknya, ketika Mobile Legends Bang-Bang pertama kali menghadirkan esports di Indonesia lewat gelaran MSC.

Setelah Mobile Legends bersinar, pihak ketiga yang tadinya mencoba berinvestasi di Dota 2 pun mulai pindah ke MOBA di mobile tersebut. Alasannya sederhana, karena MLBB kala itu berhasil memukau khalayak Indonesia dengan banyaknya jumlah penonton dan pengunjung turnamennya.

Perubahan dukungan pihak ketiga terhadap perkembangan Dota 2 cukup terasa dari tahun 2017 ke tahun 2018. Dari sisi IGC sebagai contohnya, jumlah hadiah untuk turnamen Dota 2 menurun dari Rp500 juta di tahun 2017 menjadi Rp150 juta di tahun 2018, bahkan sampai akhirnya IGC tak lagi mempertandingkan Dota 2 di tahun 2020. Seiringan dengan hal tersebut, turnamen Dota 2 juga berangsur menurun jumlahnya sampai akhirnya kini menjadi hampir mati suri.

Namun patut dicatat bahwa Dota 2 sebenarnya tidak bisa dibilang sepenuhnya mati total di Indonesia. Komunitasnya sebenarnya masih cukup hidup membincangkan soal esports ataupun seputar gamenya itu sendiri.

Penikmat esports-nya juga masih ada dan terbilang tetap setia mengikuti perkembangannya. Salah satu bukti atas hal tersebut mungkin bisa kita lihat dari channel YouTube WxC Indonesia yang secara rutin menayangkan pertandingan Dota 2 yang berjalan secara internasional dengan komentar bahasa Indonesia.

Hingga saat ini, channel WxC Indonesia sendiri bahkan sudah mencatatkan 70 ribu lebih subscriber. Jumlah penikmat pertandingan esports Dota 2 bahkan tergolong masih cukup bayak orangnya. Dalam satu kesempatan, pertandingan DPC Europe yang mempertandingkan OG bahkan mencatatkan 153 ribu lebih total views. Sebuah angka yang sebenarnya cukup lumayan walaupun keadaan komunitasnya seperti demikian.

Kisah perkembangan Dota 2 di Indonesia memang teramat unik. Kisahnya menjadi unik karena Dota 2 bisa tumbuh menjadi cukup besar walau sebenarnya berkembang secara organik.

Posisi Dota 2 yang dianggap sebagai pionir MOBA oleh gamer Indonesia mungkin jadi salah satu alasannya. Karena bagaimanapun, pada masa itu kehadiran Dota 2 tergolong lebih duluan kalau kita bandingkan dengan kehadiran League of Legends di Indonesia.

Posisi Dota 2 di zaman sekarang juga jadi tambah unik lagi. Pada satu sisi, esports game-nya di kancah lokal terbilang sudah mati suri. Tapi pada sisi lain, para penggemar esports serta komunitasnya tergolong masih hidup dan masih cukup keras menggemari esports Dota 2.

Jadi dalam kasus ini, Valve sebenarnya punya andil juga atas hidupnya komunitas dan penggemar esports Dota 2 di Indonesia. Hal tersebut saya katakan karena Valve sebenarnya masih menyokong perkembangan esports Dota, walau skalanya hanya regional (SEA dan sebagainya) dan internasional saja.

 

CS:GO yang Tak Sempat Berkembang Karena Game Berbayar

Counter-Strike merupakan game lain yang di-develop serta dirilis oleh Valve. Karena sama-sama game besutan Valve, maka perlakuannya pun kurang lebih serupa dengan Dota 2. Sepanjang perkembangannya, Counter Strike juga berkembang seperti Dota 2, berkembang secara organik tanpa ada bantuan Valve di ranah lokal.

Popularitas Counter-Strike di Indonesia malah terjadi jauh sebelum Counter-Strike: Global Offensive ada. Masa kejayaan bisa dibilang terjadi di awal tahun 2000an. Pada masa itu, CS berkembang lewat warnet-warnet. Dari warnet, CS berkembang ke berbagai lini di esports yang bahkan masih langgeng sampai sekarang di Indonesia.

NXL contohnya, yang bermula dari tim warnet menurut cerita Richard Permana sang CEO. Lalu ada juga Liga Jakarta, salah satu kompetisi perdana yang membuat tercetusnya kehadirann WCG yang merupakan salah satu event esports terbesar di zaman itu menurut kisah dari Eddy Lim selaku CEO dari Liga Game.

Sumber: Dokumentasi Eddy Lim

Pada masa keemasannya, tim-tim asal Indonesia juga tercatat mencetakkan prestasi yang luar biasa di tingkat Internasional. Pada tahun 2003 misalnya, ada tim XCN yang berhasil mencapai babak utama WCG 2003 yang diadakan di Seoul, Korea Selatan. Pada tahun setelahnya baru NXL yang mencuat, menjadi wakil Indonesia untuk gelaran WCG tahun 2008. Pembahasan lebih lengkap atas hal tersebut sudah sempat saya bahas dalam artikel seputar sejarah esports Counter-Strike di Indonesia.

Tetapi menariknya, perkembangan esports CS:GO justru terbilang melambat ketika CS:GO rilis di pasaran. Namun memang ada satu perbedaan fundamental antara CS 1.6 dengan CS:GO. Perbedaannya adalah CS 1.6 yang bersifat free to play sementara CS:GO yang mengharuskan pemainnya untuk membayar sejumlah uang untuk bisa main. Soal kausalitas antara game gratis dengan kesuksesannya sebagai esports juga sudah sempat saya bahas dalam kesempatan yang berbeda.

Karena game-nya berbayar, banyak gamer yang tidak terlalu tahu dengan CS:GO sehingga membuat game CS:GO sendiri cenderung kurang berkembang di pasar Indonesia. Richard Permana yang sudah kurang lebih 15 tahun menekuni CS 1.6 dan CS:GO juga mengakui, bahwa memang esports suatu game akan sulit berkembang apabila tanpa dukungan dari sang publihser.

“Dari sudut pandang sebagai pemain, game esports yang tak ada dukungan publisher akan sulit sekali berkembang. Saya sebagai pemain juga jadi harus usaha ekstra keras untuk bisa mencapai prestasi yang jauh sekali.” Tuturnnya.

Sumber: NXL

Richard lalu menjelaskan maksud dukungan publisher yang ia maksud. “Dukungan publisher itu penting sekali menurut saya. Seperti yang kita saksikan pada game seperti PUBG Mobile, MLBB, dan Free Fire yang berkembang begitu masif. Banyak perkembangan terjadi di ekosistem esports game tersebut berkat dari apa yang dikerjakan oleh publiher-nya di Indonesia. Selain itu, menurut saya beberapa bentuk dukungan publisher yang diperlukan dari sisi player sendiri adalah sirkuit nasional yang terstruktur, serta jalur ke tingkat internasional yang juga jelas.”

Apa yang dikatakan Richard ada benarnya juga. Tanpa sirkuit kompetisi lokal yang jelas, pemain akan kesulitan mencari lawan bertandingnya. Tanpa lawan tanding, pemain akan jadi sulit berkembang untuk bisa bertanding ke tingkat yang lebih tinggi lagi.

Bukti dukungan publisher ke skena lokal yang berbuah prestasi bisa kita lihat sendiri pada tiga game yang disebut Richard tadi. Pada MLBB, Indonesia menjadi kekuatan yang dominan di tingkat Asia Tenggara bahkan sampai jadi juara dunia pada M1 2019. Pada PUBG Mobile, juga ada Bigetron RA yang berkembang pesat berkat turnamen rutin yang diadakan oleh Tencent selaku sang publisher. Begitu juga dengan Free Fire lewat liga esports yang mereka adakan demi mengembangkan talenta esports Indonesia.

Sementara itu bagaimana dengan CS:GO sendiri? Turnamennya saja sangat minim sekali di Indonesia. Ditambah lagi, kesempatan untuk bisa tembus ke tingkat internasional juga sangat kecil sekali karena jumlah seeding yang sangat sedikit dari di tingkat internasional.

Sumber: Dokumentasi Eddy Lim

Jadi tanpa wadah tanding di kancah lokal, kesempatan yang kecil sekali bagi tim asal Asia, jadi beberapa faktor alasan kenapa esports CS:GO tidak berkembang di skena lokal. Belum lagi lawannya di tingkat internasional nanti adalah tim-tim asal Eropa, Amerika, CIS, dan Amerika Latin yang nafasnya adalah game CS:GO itu sendiri.

Kisah CS:GO di Indonesia mungkin bisa dibilang sebagai kisah paling nahas dari perkembangan esports yang tidak didukung oleh sang publisher. Walaupun sempat berjaya pada CS 1.6 karena free-to-play, tetapi CS:GO yang terlambat mengubahnya jadi game gratis kehilangan momentumnya untuk para pemain di Indonesia.

 

Penutup

Setelah melihat cerita berbagai game esports di Indonesia yang bergulir tanpa dukungan langsung sang publisher, memang komunitas yang gigih bisa dibilang jadi salah satu alasan kenapa suatu game masih bisa bertahan di Indonesia ataupun negara lainnya.

Hal tersebut bisa kita lihat di hampir semua cerita. Cuma memang, tidak semua kegigihan komunitas tersalurkan ke dalam bentuk turnamen mandiri.

Pada Dota 2, bentuk dukungan komunitas terhadap esports Dota 2 bisa terlihat dari bagaimana mereka lebih memilih menonton pertandingan di channel berbahasa Indonesia ketimbang channel internasional. Dalam kasus R6 misalnya, bentuk kegigihan mereka terlihat dengan usaha Bobby menjaga R6 IDN untuk tetap aktif.

Lalu pada sisi lain, investasi pihak ketiga dan dukungan badan pemerintahan ternyata jadi faktor yang diluar dugaan melihat dari perkembangan esports PES dan hadirnya liga IFeL di Indonesia.

Menutup pembahasan ini, jadi mampukah esports berkembang tanpa dukungan langsung dari sang publisher di ranah lokal?

Jawabannya bisa jadi selalu iya.

Tapi kalau ditanya lagi sampai mana perkembangannya? jawabannya akan selalu terbatas dengan jumlah massa-nya, kegigihan, serta modal yang mau dikeluarkan untuk terus menjaga agar komunitas suatu game tetap aktif terutama dari sisi esports.

Game Sebagai Alat Propaganda, Memang Bisa?

Game sering menjadi kambing hitam setiap ada penembakan massal di Amerika Serikat. Tidak sedikit kaum konservatif yang juga masih sangat antipati dengan kegiatan bermain game — baik di luar sana ataupun di sekitar kita. Bahkan, dalam laporan threat assessment milik FBI terkait pelaku penembakan di sekolah, disebutkan bahwa salah satu karakteristik murid yang berisiko melakukan penembakan adalah ketertarikan dengan media hiburan bertema kekerasan, mulai dari seri TV, musik, sampai game. Namun, sejauh ini, studi ilmiah juga menunjukkan bahwa game tidak menyebabkan seseorang melakukan kekerasan, seperti penembakan. Lalu, kenapa game bisa digunakan sebagai media propaganda, alat untuk memengaruhi pemikiran seseorang?

 

Apa Itu Propaganda?

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti harfiah dari propaganda adalah penerangan (paham, pendapat, dan sebagainya) yang benar atau salah yang dikembangkan dengan tujuan meyakinkan orang agar menganut suatu aliran, sikap, atau arah tindakan tertentu. Sekarang, propaganda punya konotasi negatif. Padahal, pada awalnya, kata propaganda bersifat netral.

Pada dasarnya, tujuan propaganda adalah untuk memengaruhi pendapat atau pandangan seseorang. Ada banyak media yang bisa digunakan sebagai alat propaganda, mulai dari poster, pamflet, kartun, siaran, radio, dan film. Seiring dengan semakin berkembangnya teknologi, situs dan bot pun bisa menjadi alat untuk menyebarkan propaganda. Di media sosial, Anda pasti sering melihat bot menyebarkan pesan yang sama berulang kali.

Salah satu alat paling efektif untuk menyebarkan propaganda adalah film. Alasannya, karena film bisa menjangkau banyak orang. Film propaganda sendiri bisa muncul dalam berbagai format, mulai dari dokumenter, non-fiksi, sampai berita. Selain film, game kini juga bisa menjadi alat propaganda yang efektif. Pasalnya, game telah menjadi industri raksasa yang menjangkau banyak orang, khususnya generasi muda.

Industri game pada 2020. | Sumber: Newzoo

Pada 2020, nilai industri game mencapai US$159 miliar. Sementara menurut Statista, nilai industri film pada 2020 mencapai US$42 miliar. Hal itu berarti, nilai industri game mencapai lebih dari tiga kali lipat dari industri film. Tak hanya itu, keberadaan mobile game yang punya entry barrier rendah membuat jumlah gamer meningkat pesat. Pada 2021, jumlah gamer diperkirakan akan mencapai 3 miliar orang. Melihat banyaknya orang yang bisa dijangkau melalui game, tentu saja ada pihak yang sadar bahwa game bisa menjadi alat yang efektif untuk propaganda.

 

Contoh Film dan Game Propaganda

Retorika merupakan bagian penting dalam membuat propaganda. Dalam film propaganda, biasanya, audiens akan dibuat untuk bersimpati dengan sang tokoh utama, menimbulkan perasaan bahwa mereka dan sang tokoh utama ada di kubu yang sama. Sebaliknya, sang penjahat akan digambarkan sedemikian rupa sehingga penonton akan merasa antipati pada mereka.

Menurut sejarawan Hilmar Farid, film Pengkhianatan G30S/PKI merupakan contoh film propaganda. Memang, proses pembuatan film itu ditangani langsung oleh Perusahaan Produksi Film Negara (PPFN) dengan restu Soeharto. Dalam kasus film Pengkhiatan G30S/PKI, film itu bercerita tentang kejadian pada 30 September 1965 dari sudut padang Orde Baru, menurut laporan Tempo.co. Tujuan dari film itu adalah untuk membuat masyarakat membenci PKI. Caranya, dengan menggambarkan anggota PKI sebagai orang-orang biadab. Dalam film, diperlihatkan anggota PKI menari-nari di Lubang Buaya saat para jenderal di bawa ke sana. Padahal, hal itu tidak terjadi, menurut Sularmi, mantan anggota Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), partai cabang PKI.

Contoh film propaganda lainnya adalah Rambo: First Blood Part II. Dalam laporan berjudul “Propaganda Amerika Atas Kekalahan Perang Vietnam Dalam Film ‘Rambo II: First Blood Part II’: Analisis Wacana Kritis Model Van Dijk“, penulis M. Syaifuddin S. menjelaskan bagaimana film First Blood Part II mencoba untuk membentuk opini penonton akan peran AS di Perang Vietnam. Alasannya, sentimen negatif masyarakat akan campur tangan AS di Vietnam. Memang, saat Perang Vietnam berlangsung pada 1964-1973, banyak warga AS yang tidak setuju dengan keputusan pemerintah untuk mengirimkan pasukan ke Vietnam.

Dalam Rambo: First Blood Part II, Rambo digambarkan sebagai ahli gerilya. | Sumber: Fiction Machine

Di awal film First Blood Part II, Rambo, seorang veteran Vietnam, ditunjukkan sedang ada di penjara. Namun, tidak dijelaskan mengapa dia dipenjara. Adegan ini merupakan simbol bahwa “tentara AS” yang telah melakukan kejahatan di Vietnam telah dihukum. Dan memang, tentara AS pernah melakukan kejahatan perang di Vietnam. Dalam pembantaian My Lai, sekitar 347-504 warga Vietnam Selatan dibunuh oleh tentara AS. Kebanyakan dari korban merupakan warga sipil. Selain itu, First Blood Part II juga menggambarkan Rambo sebagai seorang tentara yang ahli dalam perang gerilya. Padahal, alasan mengapa pasukan AS terpaksa mundur dari Vietnam adalah karena penggunaan strategi gerilya oleh pasukan Vietnam.

Sementara itu, salah satu contoh game propaganda adalah America’s Army. Game itu bahkan dianggap sebagai game resmi dari Militer AS. Memang, game FPS itu dirilis dan didanai oleh pemerintah AS. Dan walau game itu memakan biaya US$33 juta, game tersebut bisa diunduh dan dimainkan secara gratis. Tujuan game itu dibuat adalah untuk mendorong para pemain untuk bergabung dengan militer AS. Tak hanya itu, game tersebut juga berusaha untuk membuat para pemain menjadi familier dengan keadaan di militer AS, seperti jenis senjata yang digunakan.

Ada banyak game FPS yang mengisahkan peperangan atau pertikaian antara dua pihak yang bertentangan. Lalu, apa yang membuat America’s Army berbeda dari game FPS lain? Dalam laporan Video Game As Propaganda Tool: Representation of the USA, sang penulis Dina Erad membandingkan America’s Army dengan Counter Strike.

Salah satu hal yang membedakan America’s Army dan Counter-Strike adalah, di CS, pemain bisa memilih tim yang mereka mainkan: sebagai teroris atau sebagai pasukan anti-terroris. Namun, di America’s Army, pemain hanya bisa bermain sebagai militer AS. Tak hanya itu, gameplay America’s Army juga berbeda dengan CS, walau keduanya sama-sama game FPS. Ketika memainkan CS, Anda tidak perlu melalui bagian latihan khusus. Namun, lain halnya dengan America’s Army. Di game ini, ada bagian latihan yang wajib semua pemain lewati. Dalam bagian latihan tersebut, para pemain akan belajar tentang alat komunikasi dan mekanik di militer AS.

America’s Army. | Sumber: Army.mil

Setelah itu, pemain juga harus mendapatkan kualifikasi sebagai penembak jitu atau penggunaan senapan. Senjata yang digunakan di America’s Army juga realistis, sesuai dengan senjata yang digunakan oleh tentara AS di dunia nyata. Tak hanya itu, America’s Army juga akan memberikan poin ekstra bagi pemain yang menunjukkan “nilai-nilai militer”, seperti kesetiaan, tanggung jawab, saling menghormati, integritas, keberanian, dan harga diri.

Contoh lainnya adalah Six Days of Fallujah. Walau game itu belum dirilis, ia sudah menuai banyak kontroversi. Alasannya, karena game itu bercerita tentang Second Battle of Fallujah, yang menjadi bagian dari Perang Irak. Pertempuran di kota Fallujah itu merupakan salah satu pertempuran paling berdarah dalam sejarah militer AS. Di pertempuran itu, diperkirakan, lebih dari 100 pasukan AS dan Inggris menjadi korban. Tak hanya itu, mengingat pertempuran itu terjadi di dalam kota, jumlah warga sipil yang menjadi korban juga tidak sedikit. Diperkirakan, jumlah warga sipil Irak yang menjadi korban mencapai sekitar 800 orang atau bahkan lebih.

Kepada Polygon, Peter Tamte, Head of Victura, publisher dari Six Days of Fallujah mengatakan bahwa pihak developer tidak mencoba untuk membuat komentar politik terkait Perang Irak dengan Six Days of Fallujah. Ketika itu, dia berkata, tujuan Six Days of Fallujah dibuat adalah untuk membuat para pemain merasa simpati dengan pasukan AS yang dikirim ke Irak, membuat mereka mengerti betapa kompleksnya pertarungan di dalam kota. Namun, satu bulan setelah wawancara dengan Polygon, akun resmi Twitter dari Six Days of Fallujah mengeluarkan pernyataan bahwa game itu tidak bisa dilepaskan dari unsur politik.

Sebenarnya, Six Days of Fallujah bukan satu-satunya game yang mengambil sudut padang tentara militer. Hanya saja, game itu membuat cerita berdasarkan perang di dunia nyata. Selain itu, legitimasi dari alasan AS untuk ikut dalam Perang Irak juga dipertanyakan. Pada awalnya, pemerintah AS menyebutkan, mereka berperang karena Irak diduga punya senjata pembunuh massal. Padahal, nantinya diketahui bahwa hal itu salah. Selain itu, sama seperti dalam Perang Vietnam, di Perang Irak, tentara AS juga diduga pernah melakukan kejahatan perang, seperti penggunaan fosfor putih (white phosporous) di kawasan perkotaan yang masih ditinggali oleh warga sipil.

Anita Sarkeesian, kritikus media dan executive director dari Feminist Frequency merasa, game Six Days of Fallujah berpotensi memperkuat stereotipe akan orang-orang Timur Tengah di mata masyarakat AS. Padahal di AS, sentimen anti-Muslim dan anti-Timur Tengah telah menjamur sejak peristiwa 9/11.

“Saat ini, jelas bahwa media Amerika sering menggambarkan orang-orang Arab sebagai teroris gila yang benci ‘demokrasi’ dan ‘kebebasan’,” kata Sarkeesian pada IGN. Namun, media hiburan AS, seperti film atau game, tidak berusaha untuk membangun rasa empati pada orang-orang Arab. “Jika developer ingin membuat game yang mendorong empati, mana game yang bercerita tentang orang-orang Arab hidup seperti biasa, berkompetisi dalam olahraga, belajar musik, jatuh cinta, bagaimana agama memberikan dampak positif pada hidup mereka, melawan orangtua, atau memasak dengan kakek-nenek mereka?”

Council on American-Islamic Relations (CAIR) adalah salah satu pihak yang menentang peluncuran Six Days of Fallujah. Mereka bahkan meminta PlayStation, Xbox, dan Valve untuk tidak merilis game shooter itu di platform mereka. CAIR menyebutkan, game seperti Six Days of Fallujah hanya akan menormalkan kekerasan pada Musilim di Amerika atau di dunia. Selain itu, game tersebut juga mengglorifikasi kekerasan yang merenggut ratusan jiwa masyarakat sipil Irak. Ditakutkan, game tersebut juga akan memperkuat sentimen anti-Muslim. Apalagi karena Tamte sendiri pernah terlibat dalam proyek untuk membuat sistem latihan bagi para Marinir AS. Memang, Victura membantah bahwa mereka punya keterlibatan dengan militer. Namun, klaim itu tidak menyurutkan kecurigaan sebagian orang.

 

Bagaimana Game Bisa Menjadi Alat Propaganda?

Film dan media massa merupakan alat efektif untuk propaganda. Alasannya, karena keduanya bisa menjangkau banyak orang. Seiring dengan bertambahnya jumlah gamer, tidak heran jika sebagian pihak mulai melihat potensi game sebagai media propaganda.

Berdasarkan data dari Entertainment and Software Association (ESA) pada 2016, sekitar 40% rumah tangga di AS punya konsol game dan 67% dari anggota keluarga senang bermain game.  Kebanyakan gamer memang ada di rentang umur 18-44 tahun. Meskipun begitu, sebanyak 25% dari orang-orang berumur 70 tahun ke atas mengaku juga suka bermain game. Hal ini menunjukkan betapa luasnya audiens game.

Jumlah gamer bedasarkan kawasan pada 2020. | Sumber: Statista

Sementara itu, berdasarkan riset dari Pew Research Center pada 2008, sebanyak 99% remaja laki-laki dan 94% remaja perempuan di AS bermain game. Para remaja juga bermain game setiap hari. Selain itu, mereka juga menganggap, gaming bukanlah sekadar permainan, tapi juga cara untuk bersosialisasi. Tren ini semakin terlihat ketika pandemi virus corona melanda pada 2020. Jumlah gamer dan durasi bermain yang terus naik, dua hal ini mendorong terciptanya budaya gaming. Sekarang, orang-orang tidak hanya suka bermain game, tapi juga suka menonton orang bermain game. Faktanya, tren inilah yang memungkinkan industri game streaming dan esports berkembang.

Menurut laporan berjudul “Video Games as a Propaganda Tool: Representation of the USA“, juga dibahas bagaimana game bisa menjadi cultural agency, yaitu kegiatan yang punya kontribusi pada masyarakat. Alasannya, game merupakan alat yang efektif untuk menggambarkan sesuatu atau seseorang. Karakter dalam game bahkan bisa digunakan untuk menciptakan reputasi baru bagi sebuah negara, seperti yang Inggris pernah lakukan

Pada tahun 1990-an, Inggris pernah mengadakan kampanye untuk mengubah citra negara di mata masyarakat. Mereka ingin agar Inggris tak hanya dikaitkan pada hal-hal klasik seperti bus tingkat, tapi juga hal-hal yang lebih modern. Karena itu, mereka mencoba untuk melekatkan image negara dengan sesuatu yang lebih baru dan populer, seperti Spice Girls, Oasis, The Verve, dan lain sebagainya. Tak berhenti sampai di situ, Inggris juga menggunakan salah satu karakter game, Lara Croft, dalam kampanye itu.

Lara Croft dianggap sebagai salah satu karakter legendaris dalam dunia gaming. Inggris percaya, Lara Croft bisa menggambarkan tokoh Inggris yang kuat. Memang, sebagian orang menganggap, Lara Croft punya image yang terlalu sensual. Namun, Lara Croft tetap dianggap sebagai karakter feminis yang tangguh karena dia tidak hanya cerdas, tapi juga punya kemampuan fisik yang mumpuni. Pemerintah Inggris bahkan menjadikan Lara Croft sebagai duta dari kecerdasan ilmiah. Semua ini menunjukkan bagaimana game atau karakter dalam game bisa digunakan untuk menciptakan atau mengubah persepsi seseorang akan sesuatu.

Lara Croft dianggap sebagai karakter perempuan Inggris yang cerdas dan tangguh. | Sumber: Steam

Dalam jurnal yang berjudul Gaming History: A Framework for What Video Games Teach About the Past, Scott Alan Metzger dan Richard J. Paxton menjelaskan bahwa game bisa memengaruhi pemikiran para pemainnya layaknya film Disney memengaruhi pemikiran anak-anak. Efek ini serupa dengan “Disney Effect”, yaitu fenomena ketika film animasi Disney mengubah pandangan seseorang akan sesuatu. Sementara menurut Afflerbach and VanSledright, murid-murid SMP cenderung lebih percaya pada sejarah yang ditampilkan dalam film daripada sejarah yang sebenarnya.

 

Kesimpulan

Setiap orang punya idealisme masing-masing. Jadi, wajar jika kita saling berusaha untuk memengaruhi satu sama lain. Dan jika developer ingin memasukkan idealisme ke game buatannya, hal itu sah-sah saja. Karena game bisa menjadi media untuk menyampaikan ide — melalui cerita, gambar, cutscene, dan lain sebagainya — tidak heran jika sebagian orang mulai melirik game sebagai media propaganda. Menurut saya, hal itu bukan masalah. Toh, propaganda sebenarnya tidak melulu harus buruk, tergantung pada ide yang ingin disampaikan oleh developer.

Pasalnya, game bisa digunakan untuk menyampaikan dua ide yang saling bertentangan. Misalnya, Taxlandia mengedukasi pemainnya tentang pajak. Dalam game itu, juga terselip pesan bahwa pajak merupakan hal yang positif, karena semakin besar pajak yang dikumpulkan dalam game, semakin baik. Namun, Tax Evaders justru memberikan pesan yang sama sekali berbeda. Di game Tax Evaders, pajak dianggap sebagai ancaman yang harus dilawan.

Kesimpulannya, game memang bisa dijadikan sebagai propaganda, alat untuk mengubah pemikiran para pemainnya. Namun, satu hal yang perlu dicatat, manusia tidak bisa berubah hanya karena satu hal semata. Faktanya, tidak mungkin ada satu orang yang memang tak memiliki kecenderungan kekerasan sama sekali langsung tiba-tiba berubah jadi beringas hanya karena bermain game. Kami juga pernah membahas berbagai pandangan negatif tentang game yang lemah argumentasinya.

Masalah baru muncul ketika ada banyak media mulai dari lingkungan sekitar, keluarga, game, film, media sosial, berita-berita, tokoh politik, ataupun tokoh masyarakat yang sengaja menghasut dan menyebarkan kebencian.

Should an Esports Organization Care about the Future of Its Pro Players?

Esports has become a big industry, and people today are able to make professional careers out of esports. Make no mistake, the salaries of professional players in top-tier leagues far exceed the DKI Jakarta Regional Minimum Wage. For instance, the minimum salary for Mobile Legends Professional League players is IDR 7.5 million. Players who have the opportunity to compete internationally receive an even larger pay. In Europe, the average salary for a professional League of Legends player is in the realm of billions of rupiahs.

Of course, salary is not the only variable one must take into account when choosing a job. There are several other factors to consider, such as insurance or pension funds. This is the reason why many people chose Civil Servants as their profession. On the other hand, women must also take into account the regulations regarding maternity leave and childbirth.

So, do esports organizations offer other incentives for their players?

 

Incentives Esports Organizations Can Offer: Health Insurance and Financial Education

Becoming an esports player is not as easy as it seems. Some sacrifices must be made to become a professional esports player. One of these sacrifices is health. A pro player will usually spend tons of hours everyday training which can highly impact their well-being.

In an article by TMZ SportsKenny “Kenny” Williams of Los Angeles Thieves and Dillon “Attach” Price of Minnesota ROKKR shed some light on their training schedule. Attach says he and his team can spend about 5-6 hours every day for training. They also train almost every single day of the week. If a tournament is coming, they will barely have any day off. On the other hand, Kenny said that he and his team spent about 35-40 hours a week practicing. Thus, assuming that they train for six days, they spend about 6-7 hours every day for practice.

“We have a fixed training schedule, which is usually from 1 pm to 7 pm,” said Kenny. “However, if we are approaching a tournament, we will usually train for much longer.” Of course, spending a lot of time sitting and playing can cause a variety of health problems, from an increased risk of obesity to muscle weakness. Furthermore, pro players sometimes receive injuries ranging from the wrist, back, or neck.

Apart from being aware of injuries, pros must also pay attention to their nutritional intake as it can highly affect their performance. Therefore, one of the incentives that esports organizations can offer to their players is the guarantee of an adequate nutrition plan. For this reason, some esports organizations are even willing to employ nutritionists to ensure that their athletes get the appropriate nutritional intake. Unfortunately, not every esports organization is willing – or even able – to do this.

Gizi dan nutrisi bisa memengaruhi performa para pemain esports. | Sumber: Deposit Photos
Nutrition can affect the performance of esports players. | Image credit: Deposit Photos

Professional players must not only care about their physical health but also their mental health. If left ignored, mental disorders can single-handedly end a pro player’s career. Unfortunately, this phenomenon occurred to Heo “PawN” Won-Seok, a League of Legends player from South Korea who is claimed by many to be the sole rival of Lee “Faker” Sang-hyeokPawN resigned because he was diagnosed with Obsessive-Compulsive Disorder (OCD).

Furthermore, competing in top-tier tournaments in front of large audiences can put immense mental pressure on esports athletes. The mental burden that esports pros face is even said to be on the same level as that of Olympic athletes. Also, the psychological state of a player has a huge influence on his/her performance. That is why some esports organizations felt that it was necessary to hire psychologists to aid their players. Unfortunately, again, not all esports organizations can or are willing to do this.

Education about financial literacy can be another incentive offered by esports organizations. Of course, financial literacy is a very important knowledge to have as professional players. However, even though there are esports organizations that are willing to educate their players about savings and investment, this practice has not become a standard in the esports industry. Thus, players need to be incredibly introspective on how to handle all the earnings they made throughout their careers.

If the health of esports athletes is of utmost importance, why don’t all esports organizations hire nutritionists or psychologists? If knowledge of financial literacy can greatly impact a player’s future, why are there not many esports organizations willing to educate their players about this topic?

Esports is a young and relatively brand-new industry. Indeed, the value of the esports industry is estimated to reach US $ 1 billion. Even so, most esports organizations have yet to find a definite and sustainable business model. Therefore, it would make sense that they will also try to reduce expenses and pass up on hiring nutritionists or psychologists. Instead, the organization will place the responsibility on the players to take care of themselves.

Psikolog juga punya peran penting dalam tim esports. | Sumber: Esports.id
Pyschologists also have an important role in the esports team | Via: Esports.id

With regards to financial literacy, the exact same reasons apply. Most esports organizations are unwilling to hire a financial specialist to educate their athletes about long-term financial planning, especially because financial literacy does not have a direct impact on a player’s performance.

Indeed, in normal business scenarios, loyal workers are usually more productive and provide a higher quality of service. As a result, customers will be more satisfied, and company revenues will hypothetically increase. In this case, companies have a solid reason for keeping their employees highly motivated in their work. One way to boost employees’ motivation is to make the work environment feel like home and give them lots of opportunities to learn new things. Unfortunately, the conditions in the world of esports – especially regarding professional players – are somewhat different. This difference is mainly caused by the exceptionally short career length of an esports player.

According to Esports Lane, an esports player’s career lasts only about 4-5 years on average. Therefore, an esports organization has no urgency to retain esports athletes for a long time. On the other hand, typical companies can employ an employee for up to a dozen years or even decades. So it is not surprising that esports organizations are not interested in providing benefits or incentives to their players.

 

Short duration of esports leagues and contracts

Esports is often compared to traditional sports. Competitive gaming is even now starting to be considered a legitimate sport and is included in various major sporting events, such as the Asia Games and the SEA Games. Even so, esports still has several differences from traditional sports. For example, the games that are played in esports are, obviously, commercial products. Therefore, the popularity of a particular esports scene can directly impact the game developers’ success. As an illustration, FIFA will not generate extra revenue if the number of amateur football players increases. However, if the number of Rainbow Six: Siege players goes up, Ubisoft’s income will most likely increase.

Another factor that distinguishes esports and traditional sports is that esports games have the risk of becoming irrelevant. Despite the average age of football spectators continuing to rise, no one is saying that “football is going to die!”. However, this notion cannot be applied to esports games. Games that have a growing esports scene, such as Dota 2, can be considered to be dying in certain regions. For instance, the Dota 2 ecosystem in Indonesia is getting irrelevant day by day. These two factors cause handling esports and sports to become very different. Aspects such as frequency and duration of competitions will not be the same in esports and traditional sports.

Within a year, esports competitions are usually held twice; in spring split and fall split or in summer split and winter split. On the other hand, traditional sports competitions, such as football, are usually only held once a year. Moreover, the duration of esports competitions is usually also much shorter. Free Fire Master League Season III lasts for 5 weeks, from January 16, 2021, to February 20-21, 2021, and the regular season of Mobile Legends Professional League lasts for 8 weeks before entering the playoffs, which usually lasts for 3 days. In comparison, the Premier League starts off in August and ends in May the following year, which means the Premier League lasts for about 10 months.

Free Fire Master League Season 3 hanya berlangsung selama 5 minggu.
Free Fire Master League Season 3 only lasts 5 weeks

The short duration of the esports league also influences the duration of the player contracts. According to shout caster Wibi “8ken” Irbawanto, on average, a player contract in esports normally lasts between 3 to 12 months. Indeed, there are some players who can obtain contracts for up to 2 years. However, these types of contracts pose a very high risk for the esports organization. On the flip side, the average contract duration for a football player is 3-5 years.

Short career lifespans and high occurrences of tournaments seem to be the two factors that cause esports players to never be reluctant in moving teams intermittently. Regularly jumping from team to team is by no means a bad thing. Moving between organizations is a clever method to increase a player’s salary. Therefore, it is only natural for a player to decide to move to another team in order to get a bigger income or greater benefits.

In addition, esports organizations are also never hesitant in kicking players or disbanding teams when their performance is deemed unsatisfactory. In this case, the esports organization is not to be blamed either. After all, sponsorship is still the most valuable contributor to the income of an esports organization. Furthermore, gathering a large following or fans is crucial in attracting sponsors, which is why esports organizations like to show off and make these kinds of large moves.

Player regeneration is also equally important. However, if an esports organization continues to shuffle rosters frequently, the team might also suffer some unfortunate problems. For example, the new players must always re-adjust to the rhythm and style of the newly joined team. If an esports organization decides to build a new team from scratch, then the players will need to train to play together from the ground up. For the pro players, changing teams regularly also poses its own risk. It is undeniable that the chemistry between players considerably affects the performance of a team. The case is the same in traditional sports like football. It is not uncommon to see a striker’s performance degrade and is unable to score a goal after joining a new team.

 

Who Is Responsible In Keeping the Esports Ecosystem Healthy?

Developers are usually the ones who are responsible for ensuring the esports ecosystem of their games grows since they hold the most authority and control. For instance, Activision Blizzard can set minimum wages for players competing in the Overwatch League. On the other hand, Riot Games is the one who sets the franchise system model in the League of Legends league.

Activision Blizzard menentukan gaji minimum pemain Overwatch League.
Activision Blizzard determines the minimum salary for Overwatch League players.

Let’s go back to the problem of rapid roster shuffles and short league durations. One of the things that publishers can do to prevent rapid roster shuffles is to, obviously, extend the duration of the league. In this case, both teams and esports athletes can have more time to make plans. However, extending league durations can potentially lead to new problems, such as losing audiences, which would impact the ecosystem’s income. Since most esports audiences are millennials who are often connoted with short attention spans, a longer league duration can be extremely boring.

As part of the esports industry, esports players and organizations also play a key role in ensuring the esports ecosystem’s longevity. One of the obligations of esports organizations is providing adequate resources – salary and benefits – for the players. Of course, esports organizations do not have to blindly support players and their post-retirement future like a charity. However, they can still collaborate with financial institutions and provide some knowledge of financial literacy to their players without spending extra funds.

Currently, more non-endemic brands are interested in entering the world of esports, including banks and insurance. Therefore, esports organizations have the option to partner up with a financial institution and provide insurances to their players. This exact idea was implemented by T1 in July 2020 when they collaborated with Hana Bank. Through this partnership, T1 players were able to receive insurance and financial services from Hana Bank. In exchange, T1 will promote the Hana Bank’s app and help them develop financial products for esports fans.

Kerja sama antara T1 dan Hana Bank.
Cooperation between T1 and Hana Bank.

Esports organizations can also help retired players in other ways than just through education. For example, they can offer some form of a post-retirement job. The CEO of RRQ, Andrian Pauline, once revealed that a retired RRQ player will be able to apply for jobs at subsidiary companies of MidPlaza Holding, which is the parent company of RRQ. EVOS Esports has also followed this concept. At the end of February 2021, EVOS appointed Stefan Chong as the Business Development Lead for the Singapore region. In South Korea, Lee “Faker” Sang-hyeok‘s loyalty to T1 allowed him to obtain a portion of shares in the esports organization.

Compared to publishers and esports organizations, pro players are usually seen as the group with the least bargaining power. However, this does not mean that pros should just accept any of the conditions an organization might put them in. One of the things an esports athlete can do before retirement is to learn a new skill through the aid of the organization. Therefore, he will be able to secure jobs after his/her esports career comes to a close. In addition, an esports player can also conduct business or entrepreneurship, which is why financial literacy is an immensely important knowledge to possess.

However, one thing is for sure: an esports player is the one who fully dictates the future of his/her retirement. Indeed, esports organizations can help in providing financial literacy education or offering several post-retirement jobs. But in the end, it is the players themselves who make the final say on their future.

 

Conclusion

To conclude, we can take the example of a sale-purchase contract. The sale and purchase agreement can happen if only the seller and the buyer agrees on a price set for the goods and services. The same concept occurs in work contracts. A worker will be willing to work and provide labor so long he or she agrees with the company’s offer. I think this analogy can also be applied in the world of esports. But, of course, esports players are usually much younger than typical company employees. Therefore, their experience in the work setting may still be very minimal.

Ideally, an esports organization should not only take care of the health and well-being of its players but also teach them how to be legitimate professionals. Better yet, they can also assist them in preparing them for retirement. However, in the end, the future always rests in the hands of the players themselves.

Translated by: Ananto Joyoadikusumo

Korelasi antara Konten Digital dengan Penjualan Merchandise bagi Organisasi Esports

Uang hadiah turnamen mungkin akan cukup apabila tim esports hanya ingin berkompetisi. Tetapi bagi tim esports yang merupakan sebuah unit bisnis, uang hadiah sulit diandalkan dan cenderung sedikit jumlahnya. Karenanya, komersialisasi dari konten digital dan merchandising memiliki potensi untuk mendatangkan pendapatan yang lebih berkesinambungan.

Dalam artikel ini kita akan membahas relasi konten digital dengan merchandising sebagai sarana komersialisasi tim esports. Untuk melihat fenomena tersebut lebih dekat, kami juga mencoba menggali beberapa insight dari Shawn Liem selaku CEO dari ONIC Esports. Setelahnya, kami juga akan hitung-hitungan seberapa besar sebenarnya konversi fans tim esports yang akhirnya membeli merchandise.

Namun sebelum menuju ke pembahasan utama, mari simak pengantar kenapa konten digital dan merchandise jadi penting bagi komersialisasi tim esports.

 

Peran Konten bagi Perkembangan Bisnis Olahraga

Sebelum menuju ke pembahasan utamanya, saya akan menyajikan sedikit pengantar untuk menjelaskan kenapa relasi konten dengan merchandising menjadi pembahasan saya untuk kali ini. Konten video milik Athletic Interest kembali menjadi inspirasi saya. Dalam salah satu video, Athletic interest membahas peran film dokumenter bagi perkembangan bisnis klub sepak bola.

Melalui video tersebut dijelaskan bahwa pada umumnya, klub sepak bola memiliki 3 sumber pemasukan: Broadcast income, match day revenue, dan commercial income. Broadcast income merupakan pemasukan yang didapat dari mengikuti liga. Match day revenue merupakan pemasukan dari penjualan tiket pertandingan. Terakhir, commercial income datang dari sumber-sumber lainnya seperti penjualan merchandise, sponsorship, ataupun berbagai kegiatan komersil lainnya yang dilakukan tim sepak bola.

Namun dari perspektif bisnis, ada masalah tersendiri dari tiga sumber pemasukan tersebut. Dua dari tiga sumber pemasukan tim sepak bola tidak bisa berkembang. Pemasukan dari penjualan tiket misalnya, jumlahnya terbatas kepada ukuran stadion. Lalu dari sisi broadcast income, pemasukannya bergantung kepada negosiasi operator liga (misalnya pelaksana English Premier League) dengan pemilik saluran televisi.

Maka dari itu, tim sepak bola akan sulit berkembang secara bisnis apabila hanya mengandalkan dua sumber pemasukan tersebut saja. Namun satu pemasukan lainnya membuka peluang yang jauh lebih besar, yaitu commercial income. Kesempatan commercial income yang terbuka dan dapat selalu berkembang membuat tim sepak bola mulai melebarkan sayap menjadi “media company“.

Tim sepak bola menyajikan berbagai macam konten melalui media digital (termasuk film dokumenter), dengan harapan mendapat peluang pemasukan yang lebih besar seperti membuka peluang kedatangan investor, sponsor, atau meningkatkan penjualan merchandise.

Terlepas dari itu, kehadiran konten medial sosial sendiri saja memang tidak selalu berhasil mendongkrak peluang pemasukan dari sumber komersil lainnya. Barcelona sebagai contohnya. Mengutip laporan dari blog resmi Barcelona yang diterbitkan Januari 2021 dikatakan bahwa klub tempat Lionel Messi bernaung tersebut memimpin di hampir segala lini media sosial tahun 2020 lalu.

antara media sosial dan merchandise tim esports
Sumber Gambar – Barcelona Blog

Mereka mencatatkan 1,6 milyar interaksi dari keseluruhan media sosial (Instagram, Facebook, Twitter, TikTok), 200 juta lebih banyak ketimbang Liverpool di peringkat kedua dengan 1,4 milyar interaksi. YouTube Barcelona mencatatkan 230 juta total views. Instagram Barcelona mencatatkan 1,2 milyar interaksi, Twitter 108 juta interaksi, TikTok 45 juta interaksi, dan Facebook 168 juta interaksi. Barcelona memimpin di segala lini media sosial, kecuali Facebook.

Lalu dengan segala kejayaan di media sosial, bagaimana kondisi Barcelona dari segi bisnis? Mengutip tulisan Insider.com yang mengutip dari laporan keuangan milik Barcelona, dikatakan bahwa tim tersebut justru merugi US$117 juta. Namun kerugian tersebut sebenarnya wajar, karena dampak pandemi covid-19 membuat liga sepak bola terhenti. Dijelaskan lebih lanjut bahwa Barcelona mungkin akan mendapat profit sekitar US$2 juta apabila pandemi tidak terjadi.

Barcelona juga menunjukkan pemasukan yang kurang memuaskan dari sisi merchandising. Namun di dalam laporan kembali ditekankan bahwa penurunan tersebut terjadi mengingat kondisi pandemi COVID-19 yang membuat penonton jadi tidak bisa menonton secara langsung sehingga membuat penjualan merchandise jadi menurun.

antara media sosial dan merchandise tim esports
Penjualan merchandise tergolong dalam kategori sales yang kini jumlahnya lebih besar dari sumber pemasukan lain. Sumber Gambar – Barcelona Official

Relasi tersebut mungkin tidak bisa terasa secara langsung apabila kita melihatnya dari perspektif industri olahraga. Apalagi seperti juga yang dijelaskan oleh Barcelona, industri sepak bola bisa dibilang hampir lumpuh karena kondisi pandemi yang membuat pertandingan jadi tidak mungkin dilaksanakan.

Sementara industri olahraga sedang lumpuh, esports di sisi lain justru sedang melejit. Lalu bagaimana relasi antara konten media sosial dengan penjualan merchandise dari sisi esports? Mari kita melaju ke pembahasan berikutnya.

 

Komersialisasi Esports Lewat Konten Digital dan Merchandise

Kondisi pandemi sangat berdampak kepada perkembangan industri olahraga seperti sepak bola. Walaupun masih bisa disiasati melalui konten media sosial, tapi satu yang pasti adalah tim sepak bola kehilangan konten utamanya yaitu keseruan di lapangan sepak bola.

Mengutip dari data perbandingan media sosial tim olahraga dengan esports di tahun 2020 lalu milik Socialbakers, perkembangan konten media sosial tim olahraga pun jadi menurun seperti yang diprediksi. Pada sisi lain, konten media sosial milik tim esports cenderung stabil dengan beberapa peningkatan. Beberapa data lebih jelasnya bisa Anda lihat dari cuplikan pemaparan milik Socialbakers berikut ini.

antara media sosial dan merchandise tim esports
Sumber gambar – Socialbakers
antara media sosial dan merchandise tim esports
Sumber gambar – Socialbakers

Lalu bagaimana relasi antara pengikut media sosial dengan penjualan merchandise bagi tim esports? FaZe Clan mungkin bisa kita jadikan sebagai contoh dari esports luar negeri. FaZe Clan sendiri merupakan organisasi esports yang terkenal tidak hanya di ranah kompetitif saja. FaZe Clan mencoba menyajikan formula baru bagi tim esports dengan menyatukan beberapa elemen seperti gaming, esports, dan gaya hidup glamor ala selebriti lewat konten yang mereka sajikan.

Berkat strategi tersebut, FaZe Clan pun mencuat sebagai salah satu organisasi esports dengan jumlah pengikut media sosial terbanyak. Mengutip dari Shareablee, tercatat bahwa FaZe Clan sudah memiliki total followers mencapai 16 juta lebih, dengan menghitung followers dari Facebook, Twitter, dan Instagram.

Tak hanya memiliki banyak followers, tingkat engagement media sosial FaZe Clan juga tergolong tinggi. Menurut data Shareablee bulan Maret 2021 lalu, FaZe Clan mencatatkan 6,5 juta Actions (termasuk reaction, comment, share, retweet, dan like) dari keseluruhan media sosialnya. Angka tersebut menempatkan FaZe Clan di peringkat ke-2. Sementara di peringkat pertama ada Bigetron Esports yang mencatatkan 7,2 juta lebih Actions. Melihat dari datanya, angka tersebut sepertinya merupakan akumulasi bulanan. Pada puncaknya, FaZe Clan sempat mencatatkan 11,5 juta lebih Actions, tepatnya pada bulan Oktober 2020 lalu.

Followers mereka sendiri didapatkan dari berbagai sumber. Dari segi esports, mereka punya tim-tim yang berprestasi. Atlanta FaZe misalnya, tim Call of Duty League yang bisa digolongkan sebagai top 4 terkuat di skenanya. Terakhir kali Atlanta FaZe berhasil keluar sebagai runner-up Call of Duty League tahun 2020. Tim CS:GO milik FaZe Clan juga tergolong cukup kuat. Divisi CS:GO FaZe Clan sempat memenangkan beberapa gelaran BLAST Pro Series di tahun 2019 walau performanya cenderung menurun belakangan ini. Ditambah lagi, FaZe Clan juga punya bejibun streamers dan influencers yang punya nama yang besar di komunitas gamers.

Bagaimana pengaruh kombinasi antara konten media sosial yang aktif dan prestasi dari divisi-divisi esports FaZe Clan terhadap penjualan merchandise? Pada akhir tahun 2020 lalu, Lee Trink CEO FaZe Clan sempat mengungkap pendapatan FaZe Clan dari sisi merchandising. Lee Trink mengatakan bahwa mereka bisa mendapat pemasukan sebanyak US$2 juta dalam 24 jam atau sekitar US$500 ribu dalam 5 menit dari merchandise.

Apabila Anda adalah pembaca setia Hybrid.co.id, Anda mungkin tahu bagaimana FaZe Clan memang merupakan salah satu organisasi yang getol di bidang merchandising. Salah satu alasannya juga adalah karena FaZe Clan yang memosisikan dirinya sebagai sebuah brand gaya hidup berkaitan dengan gaming.

Karenanya, FaZe terlihat getol berkolaborasi dengan berbagai brand fashion ataupun membuat merchandise miliknya bergaya streetwear yang fashionable agar dapat menarik minat masyarakat umum. Komitmen mereka untuk menuju ke tujuan tersebut juga terlihat salah satunya dengan peluncuran toko apparel yang mereka lakukan seraya mengutarakan keinginannya untuk menjadi layaknya Supreme di dunia fashion.

Tetapi apa yang dilakukan FaZe Clan juga sebenarnya terbilang tidak neko-neko dan malah tergolong masuk akal dari sisi bisnis. Layaknya tim sepak bola, tim esports sebenarnya juga cukup sulit mengumpulkan atau mengembangkan pemasukannya apabila hanya bersandar kepada kompetisi saja.

Hal tersebut sudah sempat saya bahas dalam artikel pembahasan antara prestasi dengan konten bagi tim esports. Walaupun keduanya bersifat simbiosis mutualisme bagi tim esports (prestasi dan konten), namun hal yang tak bisa dipungkiri sebenarnya adalah pemasukan dari menjadi juara yang tidak cukup untuk mengembangkan tim esports sebagai bisnis. Artikel saya tersebut juga sempat membahas perkiraan pemasukan yang didapat tim esports apabila ada divisinya yang memenangkan turnamen, dibandingkan dengan pemasukan dari sisi komersil seperti adsense konten media sosial, sponsorship, ataupun mungkin penjualan merchandise.

Setelah melihat FaZe Clan yang sukses “menjual” gaming sebagai gaya hidup lewat konten media sosial dan merchandising di luar negeri sana, sekarang kita akan beralih ke sub-pembahasan berikutnya. Kira-kira, bagaimana dengan kondisi relasi followers media sosial dengan penjualan merchandise bagi tim esports lokal?

 

Melihat Dari Perspektif Esports Lokal

Apabila bicara soal konten media sosial dan merchandise di ranah esports lokal, saya melihat setidaknya ada tiga tim yang mungkin bisa dimasukkan sebagai contoh kasus. Ketiga tim tersebut adalah EVOS Esports, ONIC Esports, dan Bigetron Esports. Ketiga tim tersebut saya jadikan contoh karena ketiganya sama-sama terlihat getol menciptakan merchandise tim esports yang lebih fashionable.

EVOS Esports mungkin jadi salah satu pionir dan terlihat paling getol mengembangkan branding merchandise mereka ke arah lifestyle. Mereka terlihat gencar melakukan kolaborasi bersama beberapa seniman fashion lokal dalam pembuatan lini merchandise miliknya. Mereka juga membuka EVOS Store pada tahun 2019 lalu sebagai bentuk komitmen tersebut.

EVOS x Thanksinsomnia - Photo 2
Hoodie hasil kolaborasi EVOS Esports dengan Thankinsomnia.

ONIC Esport pun seperti demikian. Mereka terlihat melakukan beberapa kolaborasi dengan brand-brand fashion dan lifestye untuk mengembangkan lini merchandise-nya. Beberapa di antaranya seperti kolaborasi ONIC Esports dengan KITC ataupun kolaborasinya dengan salah satu brand footwear lokal ternama yaitu Brodo.

antara media sosial dan merchandise tim esports
Sepatu hasil kolaborasi ONIC Esports dengan Brodo. Sumber Gambar – ONIC Esports Official.

Bigetron Esports mungkin belum terlihat melakukan kolaborasi-kolaborasi dengan brand fashion. Walupun demikian, lini merchandise milik si robot merah tetap mengikuti tren dengan penampilan ala streetwear. Salah satu contohnya bisa dilihat dari jaket Red Aliens Bomber Jacket 2021 yang ditampilkan dengan rancangan grafis ala cyberpunk yang memang sedang trending. Selain itu, Bigetron Red Aliens juga tercatat sebagai tim esports dengan performa media sosial tertinggi menurut Shareablee, bahkan mengalahkan FaZe Clan.

antara media sosial dan merchandise tim esports
Walau bukan hasil kolaborasi, tapi rancangan Bigetron Red Aliens Bomber Jacket ini tetap ingin menonjolkan kesan fashionable. Sumber Gambar – Bigetron Official.

Setelah melihat bagaimana ketiga tim tersebut memperlakukan lini merchandise miliknya, mari kita melihat jumlah followers media sosial yang dimiliki oleh masing-masing tim. Saya menjadikan Instagram sebagai sampel media sosial dari ketiga tim tersebut karena Instagram adalah media sosial dengan jumlah followers terbesar dari ketiga tim tersebut. EVOS Esports memiliki 5,7 juta followers pada akun official-nya. ONIC Esports memiliki 1,1 juta folllowers, sementara Bigetron Esports memiliki 1,3 juta followers.

Lalu untuk melihat penjualan merchandise dari ketiga tim tersebut, saya menggunakan data official shop mereka di Tokopedia dan Shopee. EVOS Esports sudah mencatatkan sekitar 16 ribu produk terjual di official shop Tokopedia dan sekitar 750 produk terjual di official shop Shopee. ONIC Esports mencatatkan sekitar 1600 produk terjual di official shop Tokopedia dan sekitar 220 produk terjual di official shop Shopee. Terakhir Bigetron Esports sudah mencatatkan sekitar 4800 produk terjual di official shop Tokopedia dan sekitar 360 produk terjual di official shop Shopee.

Setelah ditilik, ternyata memang perbandingan angka jumlah followers media sosial sangat timpang dengan jumlah orang yang membeli merchandise dari tim esports. Untuk mengihitung kisaran angka konversi, saya membagi jumlah pembeli merchandise dengan jumlah followers lalu dikali 100 untuk menghitung persentase. Setelah dihitung, maka saya mendapatkan angka konversi kurang lebih sebesar ini: EVOS Esports mencatatkan angka konversi sebesar 0,29%, ONIC Esports sebesar 0,14%, dan Bigetron Esports sebesar 0,42%.

Angka konversi yang saya dapatkan tersebut tentunya adalah angka yang sangat kasar. Hal tersebut mengingat pembelian merchandise tak terbatas pada official shop saja dan tidak terbatas pada pembelian online saja. Di luar dari official shop, beberapa merchandise tim esports kadang dijual di marketplace online lain. Kolaborasi antara ONIC Esports dengan sepatu Brodo misalnya, yang dijual secara online hanya di official website milik Brodo, tidak di official shop ONIC Esports.

Karena saya menghitung angka total penjualan secara online, maka penjualan offline seperti di EVOS Store atau pada saat gelaran M1 2019 tentu jadi tidak terhitung. Belum lagi kalau misalnya kita juga menghitung penjualan di toko pihak ketiga (yang mungkin dipertanyakan orisinalitas barang jualannya) yang banyak sekali jumlahnya.

Terlepas dari itu, angka konversi yang kecil tersebut sebenarnya tidak selalu berarti buruk. Malah apabila Anda oportunis, angka tersebut adalah bukti masih besarnya peluang komersialisasi merchandise bagi tim esports. Shawn Liem selaku CEO dari ONIC Esports juga sempat memberi pandangannya seputar bisnis merchandising bagi tim esports.

Dirinya mengakui bahwa merchandise adalah salah satu revenue stream bagi ONIC, walau jumlahnya ketinggalan dibanding yang lain. “Kontribusi terbesar untuk saat ini masih dari sponsorship dan talent management.” Ucap Shawn menjelaskan. Namun, seperti yang saya bilang, angka konversi yang kecil tersebut sebenarnya bisa jadi peluang untuk dikembangkan. Karenanya tim seperti ONIC Esports pun berpikir serupa seperti apa yang saya pikirkan.

Sumber Gambar – YouTube Channel BRODO

“Lewat kemitraan dengan JUARA pada tahun ini, ONIC Esports ingin fokus mengembangkan merchandise sebagai salah satu pilar bisnis utama. Kami memandang merchandise sebagai identitas tim yang dapat mencerminkan branding dari tim itu sendiri. Oleh sebab itu, ONIC Esports sangat memmerhatikan produk merchandise yang kami keluarkan agar menjadi kebanggan untuk para SONIC (sebutan fans ONIC Esports) dan penggemar esports.” Tutur Shawn Liem menjelaskan pandangannya.

Dalam hal konversi dari followers menjadi pembeli merchandise, Shawn Liem mengatakan bahwa memang beberapa pembelinya justru bukan followers tim ONIC Esports. “Walaupun begitu, sejauh ini terlihat bahwa antusiasme fans terhadap produk baru yang kami keluarkan terbilang cukup tinggi. Hal tersebut bisa jadi disebabkan karena desain merchandise yang inovatif serta kolaborasi dengan brand lokal terkemuka.”

Selain dari itu, satu hal yang saya juga penasaran adalah pendataan dari tim esports. Bagaimanapun, fans adalah bahan bakar bagi tim esports. Pertanyaannya, apakah tim esports seperti ONIC mendata dan mengukur tingkat fanatisme fans mereka? Secara umum, saya menangkap dari jawaban Shawn Liem bahwa ONIC Esports mungkin memang belum sampai segitunya mendata para penggemarnya.

Namun demikian Shawn Liem menjelaskan. “Kami mencoba memberikan insentif dalam pembelian merchandise dengan menghadirkan sistem loyalty point. Untuk saat ini fokus kami adalah untuk terus meningkatkan kualitas produk dan meningkatkan value dari brand sehingga target market kami dapat meluas dari SONIC, ke fashion entushiast, sampai ke masyarakat di luar dunia esports.” Tuturnya sambil sedikit menjelaskan ONIC Esports di bidang merchandising.

Setelah banyak bicara soal merchandising, Shawn Liem juga sedikit membagikan pandangannya soal poosisi konten digital bagi sebuah tim esports. Shawn Liem pun menjelaskan bahwa memang konten digital kini sudah tidak terpisahkan bagi tim esports. Perannya juga bukan hanya sebagai suplemen saja, tetapi melainkan sebagai platform pemasaran utama baginya.

antara media sosial dan merchandise tim esports
Dokumentasi: ONIC Esports

“Konten digital bukan lagi pelengkap saja, melainkan platform pemasaran utama untuk mendukung pilar-pilar bisnis sebuah tim esports. Secara operasional, tim esports seperti ONIC dapat dikategorikan sebagai perusahaan yang bergerak di bidang media, entertainment, dan creative industry yang secara umum didorong oleh viewership konten dan media engagement. Tapi di luar itu, tentunya kami sebagai perusahaan juga harus terus berkembang dan bisa melihat peluang apa saja yang bisa dapat kami maksimalkan.” Tutur Shawn Liem.

Terakhir dalam hal integrasi antara konten dengan penjualan merchandise, Shawn Liem mengaku bahwa fokus yang ingin ia lakukan bersama ONIC Esports saat ini adalah branding. “Fokus kami saat ini adalah melakukan branding bahwa merchandise ONIC Esports bukan sekadar merchandise, melainkan sebuah brand fesyen Indonesia. Inisiatif kolaborasi dengan brand lokal adalah inifiatif awal kami yang tujuannya untuk memperluas pengaruh dan relevansi ONIC Esports di dunia fesyen, sembari meningkatkan kapabilitas internal kami dari segi rancangan dan kualitas. Harapan masa depannya adalah, merchandise ONIC Esports dapat berkembang menjadi brand fesyen yang ternama dengan kualitas produk yang kompetitif.”

Sementara prestasi tim-tim esports terus melejit, komersialisasi lewat konten digital dan merchandise memang menjanjikan peluang yang lebih besar ketimbang sekadar mengejar hadiah uang turnamen saja. Melalui artikel ini kita semua juga dapat melihat bahwa memang penjualan merchandise tim esports tergolong masih punya ruang yang cukup besar untuk berkembang di masa depan. Semoga pembahasan kali ini dapat memberi perspektif baru bagi Anda ataupun menjadi inspirasi untuk mengembangkan bisnis di bidang esports.