Berbagai Cara yang Bisa Dilakukan Brand untuk Penetrasi ke Pasar Esports

Fenomena pertandingan esports hampir menjadi fenomena mainstream di kalangan anak muda. Bukti atas hal tersebut mungkin salah satunya bisa kita lihat dari banyaknya jumlah penonton atas tayangan-tayangan esports. Besarnya penonton esports game PUBG Mobile dan Mobile Legends Bang Bang bisa jadi dua contoh yang menunjukkan besarnya minat gamers Indonesia terhadap pertandingan esports. Kondisi tersebut secara tidak langsung membuat ekosistem esports jadi medium branding yang cukup menjanjikan. Namun pertanyaannya adalah, bagaimana caranya?

Dalam artikel ini saya akan mencoba membahas seputar berbagai cara brand bisa masuk ke dalam ekosistem esports serta sedikit analisis soal apa yang jadi kelebihan serta kekurangan dari masing-masing metode. Pembahasan ini juga menyertakan narasumber terkait demi mendapatkan gambaran yang lebih jelas terhadap peluang-peluang terkait. Berikut pembahasannya.

 

Melalui Liga atau Turnamen Official

Saya sudah sempat membahas singkat metode masuk ke ekosistem esports dalam artikel skema ekosistem esports. Dari sana kita juga sudah bisa melihat elemen mana saja yang punya kesempatan berkolaborasi dengan brand. Dalam artikel ini saya akan mencoba membahas lebih dalam kesempatan bagi brand untuk berkolaborasi dengan elemen-elemen terkait.

Metode pertama yang akan saya bahas adalah melalui liga atau turnamen official. Opsi ini memang saya tempatkan paling pertama karena bisa dikatakan sebagai opsi dengan nilai tertinggi. Kalau disamakan dengan industri sepak bola, mensponsori liga utama ibarat seperti mensponsori English Premiere League atau mungkin La Liga di Spanyol.

Sepanjang perkembangan esports, liga utama menjadi kasta yang paling atas di ekosistem esports salah satunya karena hanya menyajikan pertandingan tim dan pemain. Hal tersebut menjadi daya tarik yang membuat kebanyakan penggemar game terkait cenderung lebih tertarik menyaksikan liga utama ketimbang kompetisi lainnya.

Dalam esports, liga dan turnamen kasta utama biasanya melibatkan perusahaan yang mengembangkan game terkait. Sebagai contohnya yaitu Moonton dalam liga MLBB Professional League, Tencent dalam liga PUBG Mobile Professional League, atau Garena Indonesia dalam liga Free Fire Master League. Lalu apa saja bentuk kesempatan kerja sama bagi brand yang terbuka dari liga official?

Azwin Nugraha PR Manager Esports dari Moonton. Sumber Gambar - Esports.id
Azwin Nugraha PR Manager Esports dari Moonton. Sumber Gambar – Esports.id

Untuk membahas hal tersebut, saya menggunakan MPL sebagai salah satu contoh. Azwin Nugraha selaku PR Manager Esports Moonton menjadi narasumber saya dalam membahas kesempatan-kesempatan kolaborasi yang terbuka dengan MPL Indonesia. “Liga MPL membuka beberapa kesempatan kerja sama. Ada sponsorship yang memiliki beberapa tingkatan. Ada kerja sama dalam bentuk partnership dengan value yang ditentukan berdasarkan kesepakatan bersama. Ada kerja sama dalam bentuk barter yang punya ragam pilihan entah itu barter dalam bentuk barang fisik ataupun media promosi.” Tutur Azwin membuka pembahasan.

Dalam hal sponsorship dengan MPL Indonesia, Azwin lalu menjelaskan lebih lanjut. “Kami punya tiga tingkatan sponsorship di MPL Indonesia. Tingkat pertama dan merupakan yang tertinggi adalah Presenting Sponsor yang hanya tersedia untuk satu sponsor saja. Tingkat kedua adalah Official Sponsor yang tersedia untuk 4 sponsor. Tingkat ketiga adalah Partner in Esports yang hanya bisa diberikan kepada beberapa brand dengan kondisi tertentu.”

Sumber Gambar - MPL Indonesia Official YouTube Channel
Mandiri Lord Cam, contoh bentuk penyajian momen penting pertandingan oleh sponsor di MPL Indonesia. Sumber Gambar – MPL Indonesia Official YouTube Channel

“Masing-masing tingkatan tersebut punya tiga aspek perbedaan. Pertama adalah standar harga yang ditawarkan dengan harga tertinggi di level Presenting Sponsor, dilanjut Official Sponsor, dan Partner in Esports. Jumlah dan frekuensi benefit yang diberikan juga berbeda tergantung dari tingkatan tersebut. Perbedaan terakhir adalah value sponsorship yang didapatkan.” Azwin melanjutkan.

Berdasarkan dari apa yang terlihat, MPL Indonesia menampilkan sponsor-sponsornya di beberapa aset media milik liga. Beberapa spot yang bisa kita lihat jelas yaitu seperti postingan media sosial, website resmi, elemen-elemen di dalam venue pertandingan (panggung, player desk, caster desk, dsb), elemen-elemen di dalam game, momen penting pertandingan (Lord Cam, MVP highlight, player highlight, dan sebagainya), serta side-content dari pertandingan itu sendiri (MPL Quickie contohnya).

Semakin tinggi tingkat sponsorship, maka akan semakin sering brand tersebut tampil di dalam pertandingan. Sejauh pengamatan saya, Bank Mandiri dan Samsung Galaxy A Series adalah dua sponsor yang mendapat jatah tersebut. Selain tampil di laman resmi, Bank Mandiri juga mempersembahkan momen Lord Cam, serta Player Highlight di dalam konten media sosial. Sementara pada sisi lain Samsung  menjadi brand yang mempersembahkan sosok MVP di dalam tayangan pertandingan dan konten media sosial.

MVP by Samsung Galaxy
Samsung Galaxy A Series juga terlihat tampil menyajikan momen penting pertandingan, yaitu pada saat menyajikan sosok pemain yang menjadi MVP. Sumber Gambar – MPL Indonesia Official YouTube Channel.

Terakhir saya juga menanyakan kelebihan MPL sebagai salah satu media kolaborasi/kerja sama/sponsorship dan hal-hal yang menjadi tantangan. Azwin lalu menjelaskan kelebihannya, terutama dari sisi segmentasi. “Salah satu bentuk kelebihan MPL Indonesia adalah kami memiliki khalayak gamers yang beragam mulai dari usia, tingkat ekonomi, gender, maupun status sosial. Tapi pada dasarnya, target khalayak MPL sendiri adalah para Gen Z dan Millenial.”

Lalu selain itu seperti yang saya sebut di awal, bahwa liga utama cenderung menjadi pertandingan yang dinanti kebanyakan penggemar game terkait. Karenanya jumlah penonton dari liga utama cenderung lebih banyak ketimbang dari bentuk kompetisi lainnya. Dalam kasus MLBB, contoh keperkasaan liga MPL bisa kita lihat pada bulan Juli 2020 lalu ketika pertandingan MPL Invitational yang penontonnya didominasi tayangan berbahasa Indonesia bisa menyalip pertandingan liga LoL Korea yang penontonnya didominasi tayangan berbahasa Inggris.

“Kalau ditanya kelebihannya, menurut saya adalah dari sisi reach dan exposure pertandingan MPL itu sendiri. Sejauh ini penayangan MPL yang dilakukan melalui berbagai macam platform digital tergolong mendapatkan hasil yang sangat baik dan menunjukkan peningkatan di setiap musim pertandingannya.” Tutur Azwin menjelaskan kelebihan MPL Indonesia sebagai salah satu media kolaborasi bagi para brand.

Namun liga kasta utama baru salah satu opsi dan MPL juga salah satu spektrum dari ragam liga utama game lain yang ada di esports. Game yang berbeda tentunya memberikan kesempatan yang berbeda lagi bagi brand untuk bisa masuk ke dalamnya. Masih ada medium kolaborasi lain sebagai opsi bagi para brand untuk bisa masuk ke dalam khalayak gaming. Berikutnya adalah melalui turnamen pihak ketiga.

 

Membuat Turnamen Sendiri (3rd Party Tournament)

Selain melebur dengan liga utama, brand juga memiliki kesempatan berkolaborasi dengan turnamen pihak ketiga. Brand juga bisa terlibat dengan turnamen pihak ketiga dalam dua bentuk, melebur dengan turnamen pihak ketiga yang diadakan oleh organizer lain atau menyelenggarakan turnamen dengan branding sendiri.

Dalam artikel ini, saya menggunakan Telkomsel sebagai contoh. Telkomsel sebenarnya bukan cuma membuat turnamen sendiri saja, tapi juga tampil dalam berbagai macam bentuk di dalam ekosistem esports. Melalui branding Dunia Games (DG), Telkomsel bisa dibilang sudah hampir punya satu ekosistem penuh di dalam esports. Telkomsel memiliki beberapa elemen sekaligus, mulai dari tim esports sendiri yang bernama DG Esports, website duniagames.co.id yang menjadi pusat aktivitas terkait gaming (berita, platform turnamen esports digital, dan digital payment untuk gaming), sampai turnamen sendiri (Indonesia Games Championship, DG League, DG Waktu Indonesia Bermain).

DG League, turnamen esports buatan Telkomsel dengan menggunakan branding Dunia Games. Sumber Gambar - DG League Official.
DG League, turnamen esports buatan Telkomsel dengan menggunakan branding Dunia Games. Sumber Gambar – DG League Official.

Membahas bagaimana dan kenapa Telkomsel memilih untuk menggaungkan branding DG ketimbang jadi sponsor di medium esports lain, saya pun berbincang dengan Rezaly Surya Afhany selaku Esports Manager Telkomsel. Membuka pembahasan, Rezaly pun menjelaskan. “Sebenarnya Telkomsel dan Dunia Games juga melakukan activity sponsorship ke mitra kerja lain. Tetapi memang kami akui kegiatannya cenderung kurang terlihat ketimbang brand activity yang kami lakukan secara mandiri.”

Lebih lanjut, Rezaly lalu menjelaskan beberapa alasan yang membuat Telkomsel memilih investasi membangun ekosistem esports sendiri ketimbang sekadar menjadi sponsor saja. “Kalau menurut saya, fleksibilitas bisa dibilang menjadi alasan kunci kami membuat ekosistem esports sendiri di luar dari sponsorship. Walaupun memang pada akhirnya, Telkomsel juga berusaha untuk hadir di industri esports dalam berbagai bentuk mulai dari sponsor, ekhibitor, media, publishing, bahkan sebagai tim esports.”

Memang pada awal-awal kemunculannya, Telkomsel juga sempat menjadi sponsor bagi beberapa ekosistem di dalam esports. Telkomsel sempat mensponsori tim lewat Elite8 yang dahulu punya reputasi kuat di kancah game Vainglory. Mereka mensponsori liga kasta utama lewat Arena of Valor Star League Season 1. Namun setelahnya Telkomsel terlihat lebih gencar membangun dan mengembangkan ekosistem Dunia Games ketimbang sekadar menjadi sponsor saja.

Selain memiliki turnamen, Dunia Games juga punya tim esports sendiri dengan nama DG Esports. Sumber Gambar - Instagram resmi DG Esports.
Selain memiliki turnamen, Dunia Games juga punya tim esports sendiri dengan nama DG Esports. Sumber Gambar – Instagram resmi DG Esports.

Rezaly lalu menjelaskan alasan lain Telkomsel membangun ekosistem serta branding Dunia Games. “Postifnya dari membuat ekosistem sendiri adalah kami bisa mengamati ekosistem esports secara lebih nyata dan lebih dalam. Kami dapat mengamati bagian apa dari value chain di esports yang bisa tumbuh secara organik ataupun mengantisipasi tantangan dari dinamika industri esport maupun games.  Di luar dari itu kami juga mencoba untuk terus menghidupkan passion atas  games dan esports di internal perusahaan, group parent company, bahkan mitra kerja. Harapannya adalah apabila semua pihak berkecimpung turut excited dalam membangun ide-idenya di esports, maka ke depannya kita jadi lebih mudah memonetisasi dan membuat ekosistem esports terus bertumbuh.”

Sebagai perusahaan telekomunikasi, Telkomsel memang tergolong sebagai brand endemik ekosistem esports. Bagaimanapun, jaringan telekomunikasi adalah kebutuhan primer para gamers untuk bisa mengakses game esports yang mereka mainkan. Namun melihat gaming dan esports yang terus berkembang, sebenarnya jadi tidak heran apabila Telkomsel berinvestasi lebih dalam di ekosistem ini. Harapan akhirnya tentu saja adalah untuk melakukan diversifikasi produk, dari sekadar menyediakan jasa telekomunikasi menjadi penyedia berbagai hal yang dibutuhkan oleh ekosistem esports.

Rezaly lalu menjelaskan lebih lanjut soal ekosistem DuniaGames. “Sebagai prominent digital telecomunication company juga digital games payment channel in the region, kami berusaha hadir di setiap lini aktivitas gaming. Beberapa contohnya seperti menyediakan paket data khusus gamers, memberi akses konversi pulsa menjadi voucher game, mem-publish beberapa judul game, sampai menyajikan esports event dan media. Setiap aktivitas tersebut sebisa mungkin kami lakukan secara terintegrasi sambil berusaha memberikan pengalaman digital dan pengalaman berkomunikasi yang terbaik serta terjangkau bagi masyarakat.”

Rezaly Surya Afhany, Esports Manager di Telkomsel. Sumber: Official Dunia Games
Rezaly Surya Afhany, Esports Manager di Telkomsel. Sumber: Official Dunia Games

Mengakhiri perbincangan saya lalu menanyakan soal keuntungan serta hal yang menjadi tantangan dengan membangun ekosistem tersendiri. “Kalau soal kelebihan membangun ekosistem sendiri, apa yang saya lihat adalah kami jadi bisa membangun pertumbuhan bisnis yang lebih organik dan diharapkan bisa sustain dalam jangka panjang. Selain itu menurut pandangan saya, membangun ekosistem sendiri juga membuat kami jadi lebih tangguh dan lebih mudah adaptasi ketika saat tren game baru ataupun tren bisnis model baru muncul di esports.”

Seperti yang disebut oleh Rezaly tadi, salah satu keuntungan menciptakan branding esports sendiri seperti apa yang dilakukan oleh Telkomsel adalah fleksibilitas. Namun juga seperti yang saya jelaskan tadi, keuntungan tersebut sebenarnya juga diperkuat oleh posisi Telkomsel yang merupakan brand endemik di ekosistem esports.

Hal tersebut mungkin akan beda cerita apabila Anda adalah brand non-endemik yang lini bisnis utamanya tidak memiliki hubungan langsung dengan ekosistem esports (bisnis fashion, food and beverage, atau kosmetik misalnya). Membuat turnamen esports dengan nama sendiri dengan dibantu oleh esports organizer mungkin masih bisa jadi opsi yang baik. Tetapi meniru seperti apa yang dilakukan Telkomsel dengan Dunia Games sepertinya akan membutuhkan modal investasi (uang, waktu, dan tenaga) yang terlalu besar bagi brand non-endemik.

 

Berkolaborasi Dengan Tim Esports

Setelah membuat atau mensponsori sebuah turnamen, menjadi sponsor tim esports juga bisa menjadi salah satu pilihan bagi brand yang ingin melakukan penetrasi ke pasar esports. Mensponsori tim di esports sebenarnya bisa jadi proses yang membingungkan bagi sebuah brand. Salah satu penyebabnya adalah karena banyaknya jumlah tim di ekosistem esports dan banyaknya pilihan game yang dipertandingkan. Ditambah lagi, sudah timnya banyak, tidak semua tim tersebut juga punya roster di semua lini game esports. Beberapa tim mungkin hanya bertanding di esports PUBG Mobile saja tapi tidak bertanding di Mobile Legends. Tapi ada juga contoh paling ideal seperti RRQ dan EVOS yang punya divisi hampir pada setiap lini game esports Indonesia.

Untuk pembahasan ini saya menggunakan Alter Ego sebagai contoh. Tim Alter Ego sendiri bisa dibilang sebagai salah satu tim esports besar di Indonesia. Sejauh pengamatan saya, Alter Ego saat ini sedang cukup kuat di 3 lini game esports yaitu Mobile Legends Bang Bang, PUBG Mobile, dan VALORANT. Untuk itu saya pun mewawancara Indra Hadiyanto selaku COO dari Alter Ego.

Indra Hadiyanto, COO
Indra Hadiyanto, COO

Membuka pembahasan, saya pun menanyakan kesempatan kolaborasi apa yang terbuka dengan tim esports seperti Alter Ego. “Kalau bicara peluang, jawabannya sebenarnya bisa banyak sekali. Bisa sekadar branding, bisa juga konten, bisa juga buat turnamen ataupun kerja sama lainnya yang tak kalah menarik, kolaborasi membuat produk misalnya.” Indra menjelaskan.

Selain bergerak sebagai tim esports, Alter Ego sendiri memang juga memiliki sister company yang bergerak di bidang esports organizer bernama Supreme Leauge. Karenanya jadi tidak heran bila Indra menjelaskan membuat turnamen juga bisa jadi alternatif kolaborasi lainnya. Tetapi tidak semua tim esports punya lini bisnis seperti Alter Ego. Ada juga tim esports yang fokus dan melakukan diversifikasi ke arah talent management. Penasaran dengan bentuk kolaborasi spesifik yang bisa dikerjakan bersama dengan tim esports, saya pun menanyakan apa saja ragam sponsorship yang tersedia di Alter Ego.

Indra pun menjelaskan. “Sponsorship di Alter Ego punya tiga tingkat. Dalam hal penempatan logo di jersey, tiga tingkat tersebut adalah logo dada sebagai yang paling tinggi, dilanjut dengan logo pundak, lalu logo punggung sebagai tingkat yang paling rendah.” Setelahnya Indra pun melanjutkan soal variasi nilai investasi dari masing-masing bentuk sponsorship tersebut.

“Walaupun ada tingkatan posisi logo, namun biayanya tetap tergantung kepada bentuk kolaborasi yang ingin dilakukan brand bersama Alter Ego selama satu tahun ke depan. Jadi semisal ada dua brand yang sama-sama berposisi sebagai logo dada, harga sponsorship-nya bisa jadi beda. Kenapa jadi beda? Karena misalnya ada permintaan lebih dari sponsor terkait, entah itu melakukan gathering community atau pemakaian talent pemain untuk campaign besar.” Tutur Indra menjelaskan lebih lanjut.

Terakhir saya juga menanyakan soal apa yang jadi kelebihan serta tantangan dari kolaborasi-kolaborasi seperti ini. “Tentunya untuk reach ke generasi muda.” Jawab Indra membuka pembahasan. “Menurut pandangan saya esports punya tren pasar sendiri dan punya market yang cukup loyal. Ditambah market esports itu kadang juga latah. Misalnya seorang JessNoLimit pakai keyboard merk tertentu, maka followersnya juga akan ikut beli produk tersebut. Pengaruhnya pun tidak terbatas hanya kepada gaming gadget saja, tapi juga termasuk pada aspek-aspek lain, dari segi fashion misal.” Tutur Indra.

Sumber Gambar - Alter Ego Official Instagram.
Kerja sama Alter Ego dengan BonCabe. Sumber Gambar – Alter Ego Official Instagram.

“Kalau soal tantangan, menurut pandangan saya dari sisi Alter Ego sih lebih ke arah mencari cara yang tepat agar pesan yang ingin disampaikan client bisa tersampaikan secara tepat kepada fans kami. Selain itu challenge lainnya juga termasuk bagaimana caranya meningkatkan branding tim Alter Ego supaya bisa menarik lebih banyak fans dengan harapan bisa meningkatkan sales, gimana juga cara membuat konten untuk brand jadi lebih berkualitas dengan sponsorship terkait, dan lain sebagainya. Kurang lebihnya sih itu tantangannya. Memang paling banyak adalah dari sisi bagaimana cara agar brand jadi suka sehingga setuju untuk kontrak jangka panjang.” Indra menjelaskan soal tantangan kolaborasi dengan brand dari sisi Alter Ego.

Ibarat mensponsori tim sepak bola, salah satu kelebihan mensponsori tim esports menurut saya adalah bentuk identifikasi yang kuat kepada brand terkait. Misalnya ketika menjadi sponsor tim yang sering menjadi juara, maka kemungkinan brand produk Anda akan dianggap memiliki ciri-ciri sebagai produk terbaik, berkualitas bagus, dan hanya para juara yang mau menggunakannya.

Namun pada sisi lain, bekerja sama dengan tim esports juga memberikan tantangan lain bagi brand. Salah satu tantangannya mungkin adalah ketidakstabilan iklim kompetisi esports. Dalam sepak bola saja, tim yang sedang bagus-bagusnya bisa anjlok kapanpun tanpa diduga. Dalam esports bisa jadi lebih parah. Tidak hanya anjlok, bahkan bisa jadi bubar, dan roster pemain terkuatnya hilang begitu saja. Untungnya tiga game esports besar di Indonesia (Mobile Legends: Bang-Bang, PUBG Mobile, dan Free Fire) masing-masing sudah punya kompetisi dengan format liga yang membuat tim esports kini jadi bisa lebih stabil posisinya. Namun tetap tidak menutup kemungkinan bagi sebuah tim yang sedang di atas angin bisa tiba-tiba menurun performanya.

 

Kerja Sama Dengan Influencer Esports

Seperti kebanyakan industri entertainment, kerja sama dengan Key Opinion Leader (KOL) juga merupakan salah satu pilihan. Kalau disamakan dengan industri olahraga, kerja sama ini ibarat Nike mensponsori Christiano Ronaldo. Dalam ekosistem esports, pilihan KOL yang sangat beragam mungkin bisa dibilang jadi keuntungan (atau justru tantangan?) bagi brand. Selain dengan pemain, Anda juga bisa melakukan kerja sama dengan shoutcasters, game streamers, ataupun cosplayers yang masih memiliki kedekatan dengan ekosistem gaming/esports.

Dalam pembahasan ini saya mewawancarai Florian “Wolfy” George, sosok shoutcaster ternama di dalam skena esports PUBG Mobile Indonesia. Membuka pembahasan, saya menanyakan soal peluang, ragam jenis, serta tingkatan kerja sama yang bisa dilakukan dengan sosok Key Opinion Leader di esports.

Wofly pun menjelaskan. “Peluang utama tentunya adalah bisa engage dengan follower KOL terkait secara langsung ataupun tidak langsung. Engagement yang dibangun bahkan bisa menjadi ciri khas tersendiri apabila dibangun berbarengan dengan berkembangnya KOL terkait. Lalu kalau bicara tingkat kerja sama, tentunya ada beberapa tingkatan mulai dari yang paling rendah adalah sekadar posting, story, atau konten, hingga yang paling tinggi adalah proyek jangka panjang seperti campaign ataupun menjadi brand ambassador.” Tutur Wolfy.

Memang kalau bicara kerja sama dengan KOL, esports punya metode yang tergolong tidak jauh beda dengan bidang KOL lainnya. Mungkin satu-satunya yang membedakan adalah dari sisi segmentasinya yang fokus kepada anak muda, terutama anak muda yang memilih gaming dan esports sebagai salah satu aktivitas pengisi waktu luang favoritnya.

“Kalau menurut saya, memang kerja sama antara satu brand dengan suatu KOL itu selalu unik. Kenapa begitu? Karena saya merasa setiap brand dan KOL memiliki warnanya masing-masing. Karenanya kalau ditanya apakah bisa bekerja sama dalam bentuk lain selain dari posting, story, ataupun campaign, maka jawabannya iya. Karenanya menurut saya bentuk kerja sama yang efektif antara KOL dengan brand yang satu bisa beda dengan yang lain.” Ucap Wolfy.

Sumber Gambar - Instagram Florian "Wolfy"
Kerja sama antara Wolfy dengan brand audio JBL dalam mempromosikan lini headset gaming terbarunya. Sumber Gambar – Instagram Florian “Wolfy” George.

Menutup pembahasan, saya juga menanyakan pendapat Wolfy soal kelebihan dan kekurangan dari bekerja sama dengan KOL esports. “Kalau bicara kelebihan, gue merasa kehadiran brand mendukung seorang KOL bisa membantu mereka (KOL) untuk meningkatkan kualitas dari ide yang memang digaungkan sejak awal. Sementara itu kalau bicara kekurangan serta tantangannya, salah satunya mungkin adalah dari segi segmentasi pasar. KOL esports cenderung besar di satu game saja. Alhasil akan menjadi tantangan tersendiri bagi brand apabila tujuannya adalah ingin mentarget beberapa game sekaligus.”

Seperti yang saya sebut di awal salah satu kelebihan (yang mungkin juga jadi kekurangan) dari KOL esports adalah spesialisasinya. Karena fokus dan spesifik, KOL esports cenderung lebih dekat dengan komunitas yang dibangunnya ketimbang medium lainnya. Tetapi seperti yang disebut Wolfy, rata-rata KOL fokus atau cenderung besar di salah satu jenis game saja.

Karenanya medium KOL mungkin akan lebih baik dilakukan untuk kerja sama kecil yang fokus dan cocok dengan segmentasi dari KOL terkait. Kalau berdasarkan bayangan saya mungkin seperti ini: Produk audio akan cocok bekerja sama dengan KOL esports PUBG Mobile. Salah satu penyebabnya adalah karena bermain PUBG Mobile butuh kualitas audio yang baik, sehingga tercipta keselarasan dari kolaborasi yang dilakukannya. Alternatif lainnya, apabila ingin menjangkau khalayak gamers secara umum, maka mungkin akan lebih tepat sasaran apabila sebuah brand menggandeng beberapa KOL gaming dengan segmentasi yang berbeda-beda sekaligus agar pesan yang diinginkan bisa menjangkau lebih banyak orang.

 

Melalui In-Game Sponsorship

Medium terakhir yang saya sebut sebenarnya bisa dibilang sebagai bentuk kerja sama terbaru yang ada di dalam ranah gaming/esports. Bentuk kerja sama tersebut adalah melalui in-game sponsorship. In-game sponsorship yang saya maksud di sini sebenarnya bukan sekadar meletakkan logo brand di dalam elemen permainan pada pertandingan esports. In-game sponsorship yang saya maksud adalah menyertakan brand ke dalam game-nya itu sendiri.

Salah satu contoh yang paling dekat kehadirannya mungkin adalah beberapa kolaborasi yang dilakukan Garena pada game-game yang mereka terbitkan. Garena menjadi contoh karena publisher game tersebut yang memang begitu aktif melakukan berbagai kolaborasi konten untuk game yang mereka terbitkan. Bulan Agustus 2020 lalu saya sempat membuat daftar kolaborasi apa saja yang pernah dilakukan Garena.

Dari artikel tersebut Anda bisa melihat beberapa contohnya seperti kolaborasi game AOV dengan Fruit Tea, Wiro Sableng, ataupun dengan DC Comics. Namun tidak semua kolaborasi yang saya masukan dalam daftar bisa dikatakan berbentuk sponsorship. Walaupun Garena tidak menjelaskan lebih terperinci, namun saya mengamati bahwa kerja sama tersebut sebenarnya lebih cenderung ke arah partnership.

Tetapi bukan berarti Garena tidak pernah melakukan kerja sama in-game sponsorship dengan satu brand. Salah satu contoh yang terlihat jelas adalah penampilan maskot makanan cepat saji KFC yaitu Colonel Sanders sebagai skin di dalam Arena of Valor di Taiwan. Mengutip dari Fanbyte.com, dikatakan bahwa kerja sama tersebut merupakan salah satu bentuk kerja sama promosional antar keduanya. Dalam kerja sama tersebut, pemain yang membeli paket makanan spesial dengan harga sekitar US$5 akan mendapatkan sebuah gacha box yang salah satu isinya adalah skin Colonel Sanders untuk karakter Ormarr. Selain dari skin karakter, ada juga beberapa elemen game bertema KFC lainnya yang mungkin didapatkan pemain seperti Recall Effect, Kill Effect, atau Sprinting Trail Effect.

Kerja sama Garena dengan KFC hanya salah satu contoh saja. Seiring dengan perkembangan esports, kita juga bisa melihat beberapa bentuk sponsorship ini melalui kerja sama seperti Bathing Ape (produk fashion streetwear) dengan PUBG Mobile, Tesla dengan PUBG Mobile di Tiongkok, ataupun Louis Vuitton dengan League of Legends yang juga tampil lewat skin Prestige karakter Qiyana.

Sumber: League of Legends Official
Sumber: League of Legends Official

Kolaborasi kerja sama dalam bentuk ini mungkin bisa dibilang sebagai salah satu bentuk yang paling menarik bagi brand. Bagaimana tidak, kapan lagi produk Anda bisa mendapat kesempatan tampil secara langsung di dalam game. Karenanya bentuk kolaborasi ini mungkin akan lebih cocok dilakukan bagi brand-brand yang memang memiliki produk fisik untuk dijual seperti fashion, atau mungkin food and beverage.

Namun, dalam konteks Indonesia, salah satu kekurangan dan juga tantangan dalam melakukan kolaborasi seperti ini adalah minimnya jumlah developer/publisher game yang beroperasi langsung di Indonesia. Selain itu, menurut saya belum tentu juga semua developer game mau melakukan bentuk kolaborasi seperti ini. Bagaimanapun, sponsorship seperti ini bisa dibilang sebagai bentuk “hard-selling“. Karenanya beberapa developer bisa jadi tidak ingin melakukan bentuk kerja sama terkait karena khawatir sponsorship seperti ini akan mengganggu pengalaman bermain para pelanggan setianya.

 

Poin-poin yang saya sebut di atas tentunya hanya sebagian contoh saja, namun merupakan beberapa elemen pokok di dalam ekosistem esports. Elemen terkait yang saya ajak menjadi narasumber juga hanya menjadi sebagian contoh dari berbagai spektrum dari elemen terkait yang ada di esports. Semoga artikel ini dapat membantu Anda selaku brand untuk memahami gambaran kasar dalam melakukan penetrasi pasar ke esports.

Antara Cheating di Esports, Badan Arbitrase, dan Perebutan Uang & Kuasa

Jumlah penonton esports terus naik dari tahun ke tahun. Pada 2023, Statista memperkirakan, jumlah audiens esports akan mencapai 646 juta orang, dengan 351 juta orang sebagai occasional viewers dan 295 juta sisanya sebagai esports enthusiasts. Banyaknya orang yang tertarik untuk menonton esports menjadi salah satu alasan mengapa semakin banyak merek — non-endemik sekalipun — yang tertarik untuk mendukung esports, menjadikan industri competitive gaming bernilai hingga hampir US$1 miliar.

Integritas kompetisi punya peran penting dalam memastikan agar pertandingan esports tetap diminati, Sayangnya, seiring dengan naiknya total hadiah yang ditawarkan dalam turnamen esports, semakin menggiurkan pula bagi para peserta untuk berbuat curang. Masalahnya, jika tidak ditangani, perbuatan curang bisa merusak ekosistem esports secara keseluruhan.

 

Definisi Kecurangan Dalam Olahraga

Dalam buku Fair Play in Sport, Sigmund Loland mendefinisikan kecurangan dalam olahraga sebagai “usaha untuk mengungguli lawan dengan melanggar peraturan yang telah disetujui oleh kedua belah pihak”. Sementara itu, di jurnal berjudul Cheating in Contests, Ian Preston dan Stefan Szymanski membagi jenis kecurangan dalam olahraga tradisional ke dalam tiga kategori, yaitu menyabotase musuh, menggunakan doping, dan mengatur jalannya pertandingan alias match fixing.

Esports merupakan kompetisi olahraga dengan game sebagai media pertandingan. Dengan begitu, kita bisa mendefinisikan kecurangan dalam esports sama dengan kecurangan di olahraga tradisional. Dan memang, di dunia esports, menggunakan doping merupakan salah satu bentuk kecurangan yang pernah dilakukan oleh sebagian pemain profesional. Selain itu, juga ada atlet esports yang melakukan match fixing.

Kory "Semphis" Friesen. | Sumber: 90MIN
Kory “Semphis” Friesen. | Sumber: 90MIN

Kory “Semphis” Friesen, mantan pemain Counter-Strike: Global Offensive dari Cloud9 mengaku bahwa dia dan timnya pernah menggunakan adderall ketika bertanding dalam kompetisi pada 2015. Adderall sebenarnya adalah obat yang biasa diminum oleh pengidap Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD). Tujuannya adalah untuk membantu mereka berkonsentrasi. Sayangnya, obat ini terkadang disalahgunakan oleh para pemain profesional. Penggunaan adderall atau doping lain tidak hanya terjadi di skena esports CS:GO, tapi juga Overwatch. Timo “Taimou” Kettunen, mantan pemain Dallas Fuel, mengungkap, ada setidaknya 20 pemain di Overwatch League yang menggunakan adderall.

Maraknya penggunaan doping ini mendorong ESL untuk membuat peraturan terkait penggunaan doping. Mereka menetapkan, pemain yang tertangkap menggunakan doping akan dikenakan ban selama 1-2 tahun. Jika ESL tahu bahwa tim juara menggunakan doping, maka gelar juara dari tim itu akan dicabut. Tak hanya itu, mereka juga tidak akan mendapatkan hadiah uang. Sementara jika seorang pemain atau sebuah tim ketahuan menggunakan doping selama turnamen berlangsung, maka mereka akan didiskualifikasi.

Bentuk kecurangan lain yang bisa terjadi di dunia esports adalah match fixing, yaitu ketika sebuah tim bermain untuk mendapatkan hasil yang sudah ditentukan. Misalnya, sengaja mengalah pada musuh. Salah satu contoh kasus match fixing terjadi di Victoria, Australia. Pada April 2020, polisi berhasil menangkap enam pemain CS:GO yang melakukan match fixing. Mereka sengaja kalah dari musuh dalam setidaknya lima pertandingan di turnamen esports. Mereka melakukan itu karena sudah memasang taruhan bahwa tim mereka akan kalah. Ketika itu, para pelaku dihadapkan pada hukuman hingga 10 tahun penjara.

Esports Integrity Commission (ESIC) bekerja sama dengan Polisi Victoria untuk menangkap para pelaku. Meskipun para pelaku berhasil tertangkap, kepada Bloomberg, Stephen Hanna, Director of Global Strategy and Partnerships, ESIC berkata, “Tidak mungkin untuk menghapuskan judi ilegal dan match fixing sepenuhnya. Tugas kita hanyalah untuk meminimalisir hal itu.”

Kecurangan lain yang bisa dilakukan oleh pemain profesional adalah menggunakan kode cheat. Memang, di industri game, keberadaan kode cheat bukanlah hal yang aneh. Namun, ketika seorang pemain profesional menggunakan kode cheat untuk unggul atau bahkan untuk bisa menang, maka hal ini akan merusak integritas pertandingan esports. Jika dibiarkan, hal itu dapat berujung pada rusaknya kepercayaan fans.

Ada berbagai kode cheat yang bisa digunakan oleh para atlet esports. Misalnya, di game FPS seperti CS:GO, ada aim bot, yang memudahkan pemain untuk membidik musuh. Kode cheat lain yang biasa digunakan adalah wall hack, yang membuat pemain bisa melihat menembus tembok, serta speed hack, yang akan memungkinkan pemain untuk bergerak dengan jauh lebih cepat.

Salah satu atlet esports yang pernah ketahuan menggunakan aim bot adalah Nikhil “forsaken” Kumawat.  Dia merupakan pemain CS:GO yang sempat menjadi anggota OpTic India. Dia tertangkap basah menggunakan aim bot di babak final eXTREMESLAND 2018 Asia. Lucunya, ketika tertangkap, dia tidak langsung mengaku dan justru berusaha untuk menghilangkan bukti dengan menghapus aim bot yang terpasang di PC-nya, yang dia namai Word.exe. Penyelidikan lebih lanjut membuktikan bahwa dia juga menggunakan aim bot saat dia bertanding di ESL India Premiership 2018 Fall, lapor Essentially Sports.

Selain kode cheat, ada cara lain bagi atlet esports untuk berbuat curang di turnamen esports. Kecurangan paling simpel yang bisa pemain profesional lakukan adalah dengan melihat layar yang dihadapkan ke para penonton untuk melihat posisi lawan. Hal ini pernah dilakukan oleh Azubu Frost di League of Legends World Championship 2012. Mereka ketahuan berbuat curang karena mengalihkan pandangan dari monitor PC mereka sendiri — sesuatu yang sangat jarang dilakukan oleh para pemain League of Legends. Pada akhirnya, Azubu Frost mendapatkan denda sebesar US$30 ribu, walau mereka tidak didiskualifikasi dari kompetisi itu.

 

Kecurangan yang Abu-Abu

Di olahraga tradisional, seperti sepak bola misalnya, para atlet tidak akan mendadak mendapatkan kemampuan spesial karena menggunakan peralatan khusus. Pierre-Emerick Aubameyang masuk dalam daftar 10 pesepak bola tercepat karena dia sanggup berlari dengan kecepatan 35,55 km per jam. Tentu saja, jenis sepatu yang dia gunakan dan tempatnya berlari akan memengaruhi kecepatan berlarinya. Namun, Anda tidak akan bisa mendadak berlari sekencang Aubameyang hanya karena mengenakan sepatu yang sama.

Lain halnya dengan esports. Dalam pertandingan esports, kualitas perangkat dan alat yang digunakan sangat memengaruhi performa pemain. Misalnya, jika dalam pertandingan El Clasico Mobile Legends antara RRQ melawan EVOS Esports, salah satu tim memiliki koneksi internet yang lebih baik. Tentunya, tim itu akan diuntungkan. Pasalnya, refleks seorang pemain untuk bereaksi akan menjadi sia-sia jika terjadi lag dalam game.

Pemain bisa mendapatkan field of view yang lebih luas di PUBG Mobile dengan tablet. | Sumber: IDN Times
Pemain bisa mendapatkan field of view yang lebih luas di PUBG Mobile dengan tablet. | Sumber: IDN Times

Contoh lainnya, ketika memainkan game seperti PUBG Mobile, Anda akan mendapatkan field of view yang lebih luas saat menggunakan tablet atau iPad. Hal ini akan memberikan Anda keunggulan jika dibandingkan pemain yang bermain di smartphone. Hal ini memunculkan pertanyaan: pemain yang menggunakan perangkat yang lebih baik, apakah mereka bisa dianggap curang? Di sinilah pentingnya standarisasi.

Dengan memastikan semua peserta kompetisi menggunakan perangkat yang sama, hal ini akan menjamin bahwa pertandingan akan mengadu kemampuan para peserta dan bukannya beradu perangkat siapa yang lebih baik. Karena itulah, dalam beberapa turnamen esports offline, penyelenggara menyediakan perangkat yang digunakan oleh peserta. Selain agar peserta tidak memasang kode cheat, alasan lainnya adalah agar tidak ada peserta yang diuntungkan karena perangkat yang dia gunakan.

Dalam buku peraturan kompetisi resmi PUBG Mobile versi 2019, terdapat peraturan yang mengatur tentang perangkat yang boleh digunakan oleh para pemain. Ketika itu, Proxima — sebagai pemegang hak distribusi game PUBG Mobile di dunia kecuali di Jepang dan Korea Selatan — menentukan bahwa para peserta hanya bisa menggunakan smartphone berbasis Android atau iOS. Penggunaan tablet atau PC dilarang. Aturan ini kemudian dihilangkan pada buku peraturan kompetisi resmi versi 2020.

Meskipun begitu, keputusan Proxima untuk menjadikan smartphone Android atau iPhone sebagai perangkat standar kompetisi menarik untuk dibahas. Alasannya, tablet memungkinkan para pemain untuk melihat sudut pandang yang lebih luas. Dengan begitu, pertandingan bisa menjadi semakin menarik. Pertanyaannya, kenapa justru smartphone yang dijadikan perangkat standar?

Semakin banyak orang yang memainkan sebuah game, semakin besar pula keuntungan yang didapatkan oleh publisher. Jadi, publisher punya kepentingan untuk membuat kompetisi esports tidak hanya menarik untuk ditonton, tapi juga terasa relatable bagi para pemain. Tujuannya adalah agar semakin banyak penonton yang terdorong untuk memainkan game yang diadu. Dan kompetisi esports terbukti efektif  menjual harapan demi meningkatkan jumlah pemain. Hal ini telah dibuktikan oleh Ubisoft.

Jumlah pemain Rainbow Six: Siege naik berkat esports. | Sumber: Red Bull
Jumlah pemain Rainbow Six: Siege naik berkat esports. | Sumber: Red Bull

Lalu, apa hubungannya dengan menjadikan smartphone sebagai perangkat standar dalam kompetisi? Harga smartphone lebih murah dari tablet, apalagi iPad. Jadi, tidak aneh jika jumlah pengguna smartphone jauh lebih banyak dari jumlah pengguna tablet. Dengan menjadikan smartphone sebagai perangkat standar kompetisi, publisher akan bisa merangkul lebih banyak fanbase. Dan pada akhirnya, hal ini akan membuat pemasukan publisher naik.

Saat ini, memang ada publisher yang langsung turun tangan dalam mengembangkan ekosistem esports dari game buatan mereka. Sebut saja Riot Games, Moonton, dan Garena. Namun, juga ada perusahaan yang menjadi penyelenggara turnamen esports walau mereka bukanlah publisher. Contohnya adalah ESL. Biasanya, para penyelenggara turnamen ini punya metode sendiri untuk mengatasi kecurangan. ESL mengaku bahwa mereka punya software khusus. Penyelenggara turnamem esports lainnya, FACEIT, juga mengembangkan software anti-cheat mereka sendiri.

Kepada The Esports Observer, Marcel Menge, SVP Play & Platforms, ESL mengungkap bahwa sekitar seperlima sampai seperempat dari budget teknologi ESL digunakan untuk mengembangkan teknologi anti-cheat. Salah satu program anti-cheat yang ESL gunakan adalah ESL Wire Anti-Cheat, yang mereka mulai gunakan pada 2010. Menge mengakui, software anti-cheat yang digunakan oleh ESL memang lebih intrusif daripada sistem anti-cheat dari publisher, seperti Valve. Alasannya, karena fokus dari ESL dan Valve memang berbeda. Sebagai publisher, fokus Valve adalah untuk mencegah para pemain berbuat curang. Sementara ESL lebih fokus untuk mendeteksi kecurangan yang dilakukan pemain.

ESL sangat serius dalam mengembangkan teknologi anti-cheat mereka. Mereka bahkan mempekerjakan orang secara diam-diam untuk memantau forum cheating online. Tugas mereka adalah untuk mendapatkan informasi tentang software cheat terbaru dan melakukan reverse-engineer dari software cheat tersebut.

“Kami punya cheating lab,” kata Menge pada The Esports Observer. “Laboratorium ini punya jaringan internet sendiri. Jadi, alamat IP di lab itu berbeda dari alamat IP kantor kami. Hal seperti ini diperlukan untuk mengalahkan para developer software cheat, karena pasar ini memang pasar yang besar.” Kode cheat standar biasanya dihargai sekitar US$20 sampai US$35. Sementara kode cheat khusus bisa dihargai hingga ribuan dollar.

 

Selain Publisher, Siapa yang Berhak Menegakkan Hukum di Esports?

Saat ini, ada dua federasi besar yang menaungi esports di dunia, yaitu International eSports Federation (IESF) dan Global Esports Federation (GEF). Bermarkas di Busan, Korea Selatan, IESF merupakan badan nirlaba yang didirikan pada Agustus 2008. Menurut IESF Statutes, salah satu tujuan IESF adalah untuk meningkatkan kualitas industri esports dan mempromosikan nilai-nilai yang terkandung di esports, seperti edukasi, budaya, dan persatuan. Selain itu, mereka juga ingin agar anak muda belajar tentang etika dan semangat fair play dari esports.

IESF World Championship 2020. | Sumber: Revival TV
IESF World Championship 2020. | Sumber: Revival TV

Salah satu bentuk kecurangan yang menjadi perhatian IESF adalah penggunaan doping. Terkait hal ini, IESF mengikuti peraturan yang telah ditetapkan oleh IOC, Sport Accord, WADA, dan badan lain yang relevan. Sementara daftar substansi yang tidak boleh digunakan dalam kompetisi IESF ditentukan oleh Komite Kompetisi, yang ditunjuk oleh para Dewan IESF. Jika terjadi pertikaian, maka Komite Kompetisi dan Dewan IESF akan bertanggung jawab untuk mengatasi masalah tersebut. Namun, jika kedua pihak itu ternyata tidak dapat menyelesaikan masalah yang muncul, maka masalah itu akan dibawa ke Court of Arbitration for Sport (CAS), yang terletak di Switzerland.

Sementara itu, GEF didirikan pada 2019 dengan dukungan Tencent. GEF bermarkas di Singapura. Dalam situs resminya, GEF mengungkap bahwa salah satu tujuan mereka adalah menjaga integritas esports dan GEF. Untuk itu, mereka membuat kode etik dan menegakkan kode etik tersebut. Pihak yang melanggar kode etik dan peraturan yang telah ditetapkan oleh GEF akan dikenakan sangsi. Sangsi yang dikenakan oleh GEF beragam, mulai dari sekedar peringatan tertulis atau verbal, pencabutan gelar atau denda, diskualifikasi, skors, sampai pemecatan.

Untuk menentukan sangsi yang diberikan para pelaku, salah satu hal yang menjadi pertimbangan GEF adalah jenis pelanggaran yang dilakukan. Beberapa faktor lain yang GEF pertimbangkan sebelum menentukan sangsi untuk pelaku adalah apakah pelaku pernah melakukan pelanggaran sebelumnya, apakah pelaku mau bekerja sama saat GEF melakukan penyelidikan, tujuan pelaku, apakah pelaku merasa penyesalan, dan lain sebagainya.

Selain IESF dan GEF, esports juga punya ESIC. Badan yang didirikan pada 2016 itu bertujuan untuk melindungi integritas esports. Mereka melakukan itu dengan menyelidiki kasus kecurangan di dunia esports dan memberikan hukuman pada para pelaku. Beberapa kecurangan yang ditangani oleh ESIC adalah match fixing dan penggunaan doping. Sebelum ini, mereka telah membantu polisi Australia untuk menangkan enam pemain CS:GO yang  melakukan match fixing.

Saat ini, ada 13 penyelenggara turnamen yang menjadi anggota ESIC, termasuk ESL, DreamHack, dan WePlay Esports. Anggota tertua ESIC bergabung sejak tahun 2017, sementara anggota terbaru badan tersebut bergabung pada tahun ini. Dalam situs resminya, ESIC menjelaskan, para anggota punya hak untuk menentukan bagaimana ESIC beroperasi.

Dalam wawancara dengan The Esports Observer, Ian Smith, Integrity Commissioner, ESIC mengungkap bahwa banyak perusahaan esports yang punya sumber daya pas-pasan. Perusahaan-perusahaan itu akan kesulitan untuk menangani kecurangan dilakukan para pemain. Memang, para penyelenggara turnamen esports bisa membuat software anti-cheat sendiri, seperti yang dilakukan oleh ESL. Namun, sebagai pihak ketiga, ESIC mampu membuka komunikasi dengan penyelenggara turnamen esports lain.

Di Indonesia, badan yang menaungi game dan esports juga ada lebih dari satu. Indonesia Esports Association (IESPA) adalah yang tertua, berdiri pada 2013. Sementara Asosiasi olahraga Video Game Indonesia (AVGI) dibentuk pada Juli 2019 dan Federasi Esports Indonesia (FEI) berdiri pada Oktober 2019. Organisasi yang terbaru adalah Pengurus Besar Esports (PB Esports), yang terbentuk pada Januari 2020.

Federasi Esports Indonesia. | Sumber: Esports ID
Sumber: Esports ID

Kemunculan lebih dari satu badan yang menaungi esports menimbulkan masalah tersendiri. Pasalnya, hal ini akan menimbulkan kontroversi dan membuat komunitas dan pelaku esports menjadi bingung: organisasi mana yang harus mereka patuhi? Bagaimana jika peraturan yang dibuat oleh satu organisasi bertentangan dengan peraturan dari organisasi lain? Kabar baiknya, para pelaku esports bisa belajar dari dunia tinju soal ini.

Sama seperti esports, tinju juga punya lebih dari satu badan internasional. Faktanya, ada empat organisasi tinju di dunia. Keempat badan itu antara lain World Boxing Association (WBA), World Boxing Council (WBC), International Boxing Federation (IBF), dan World Boxing Organizaation. Keempat organisasi itu juga punya gelar juara dunia/sabuk masing-masing. Hal itu berarti, ada 4 juara dunia untuk masing-masing 17 kelas tinju.

Menurut laporan MK Boxing, gelar juara dunia WBC merupakan gelar yang paling populer. Alasannya, gelar inilah yang biasanya diincar oleh para petinju. Sejauh ini, ada sejumlah petinju ternama telah memenangkan gelar juara WBC, seperti Muhammad Ali, Floyd Mayweather, dan Joe Calzaghe. Menariknya, walau keempat badan ini sama-sama menaungi olahraga tinju, mereka jarang bekerja sama. Alasannya klasik: uang. Setiap organisasi tinju akan mendapatkan uang ketika pertandingan untuk memperebutkan sabuk dari organisasi itu diperebutkan.

Dari tinju, para pelaku industri esports bisa belajar satu hal: beberapa organisasi yang menaungi olahraga yang sama bisa eksis dalam satu waktu selama memang uangnya masih bisa dibagi-bagi… Pelajaran ekstra yang bisa dipetik dari industri tinju adalah uang merupakan salah satu insentif untuk menciptakan badan yang menaungi olahraga tertentu. Dan karena esports kini tengah naik daun, tidak heran jika ada banyak pihak yang tertarik untuk membuat badan esports.

 

Kesimpulan

Liga Premier merupakan salah satu liga sepak bola domestik paling sukses di dunia. Salah satu alasannya adalah liga itu sangat kompetitif. Hasil pertandingan di Liga Premier tidak selalu bisa ditebak. Misalnya, walau di atas kertas Arsenal lebih unggul dari Aston Villa — Arsenal duduk di peringkat 8 pada musim lalu, sementara Aston Villa di peringkat 17 — tapi Aston villa tetap berhasil mengalahkan Arsenal 1-0 pada 5 Februari 2021 lalu. Hasil yang terkadang tidak terduga inilah yang membuat banyak orang senang menonton Liga Premier.

Selain persaingan yang ketat, integritas juga punya peran penting untuk menjamin sebuah kompetisi olahraga bisa terus hidup. Memang, siapa yang mau menonton pertandingan olahraga yang para pemainnnya berbuat curang? Tidak ada. Dan jika jumlah penonton turun, hal ini juga akan memberikan dampak langsung pada pemasukan para pelaku di dunia olahraga, termasuk tim dan pemain. Tanpa fans, penjualan merchandise dan tiket pertandingan langsung akan turun. Dan jika tidak ada orang yang mau menonton kompetisi olahraga, hanya masalah waktu saja sebelum para sponsor ikut pergi, seperti yang disebutkan oleh Genius Sports.

Saat ini, industri esports tengah berkembang pesat. Hal ini membuat banyak perusahaan — endemik atau non-endemik — tertarik untuk mendukung para pelaku esports. Jumlah penonton esports yang mencapai ratusan juta menjadi salah satu alasan mengapa banyak perusahaan yang mau menjadi sponsor di dunia esports. Masalahnya, jika tidak ada jaminan bahwa pertandingan esports bebas dari kecurangan, para penonton tentunya juga akan berpaling. Dan tanpa penonton, para sponsor juga akan kehilangan minat untuk mendukung industri esports.

Sumber header: Talk Esports

Pentingnya Kesadaran Literasi Bisnis dan Finansial Buat Para Bintang Esports

Industri esports bisa dibilang sedang dalam masa keemasannya kini. Pemain pun menjadi pusat perhatian dari masa kejayaan tersebut. Uang hadiah berjuta-juta dollar, dikenal banyak orang, membuat beragam kesempatan terbuka lebar bagi pemain esports saat ini. Tapi jika Anda tidak cermat, semua bentuk privilege tersebut bisa hilang dalam jentikan jari saja. Karenanya, ada alasan tertentu kenapa ilmu bisnis menjadi salah satu ilmu yang perlu Anda pelajari apabila Anda adalah seorang pemain esports yang sedang sukses ataupun sebagai seseorang yang sedang merintis karir.

Lalu kenapa bisnis dan apa yang dimaksud dengan “ilmu bisnis” dalam pembahasan ini? Mari kita menyelam ke dalam pembahasan lebih lanjutnya.

 

Kenapa Belajar Bisnis Penting Bagi Seorang Pemain Esports

Anda mungkin masih bingung soal maksud ilmu bisnis yang saya bahas dalam pembahasan ini. Kata bisnis sendiri memang bisa diartikan menjadi luas sekali. Apakah belajar bisnis di artikel ini maksudnya adalah membuat startup? Berjualan voucher game? Investasi saham? Atau mungkin membuat  tambak lele? Pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, bisnis diartikan sebagai usaha komersial dalam dunia perdagangan, bidang usaha, atau usaha dagang. Karenanya jenis-jenis kegiatan di atas juga tidak sepenuhnya salah jika disebut bisnis. Namun, bisnis yang saya maksud di sini sebenarnya lebih ke arah berbagai kemampuan yang berhubungan dengan kegiatan bisnis itu sendiri. Karenanya saya menyebutnya sebagai ilmu bisnis.

Lalu pertanyaan berikutnya yang muncul mungkin adalah, kenapa harus bisnis? Padahal seorang pemain esports yang pensiun masih bisa melakukan karir-karir lain yang bersifat depan layar, seperti menjadi shoutcaster, streamer, atau bahkan mungkin YouTuber? Kalau Anda cermat membaca artikel ini sejak awal, Anda mungkin akan sadar kalau jawaban terhadap pertanyaan tersebut sebenarnya sekilas sudah saya tulis di awal paragraf.

Karena pemain esports yang sukses memiliki dua modal yang sangat mumpuni  untuk memulai bisnis, modal uang dan modal popularitas. Selain itu, bisnis juga cenderung punya tingkat keberlangsungan yang lebih panjang ketimbang kembali menjadi orang depan layar. Memang, tidak ada yang pasti di dunia ini. Namun menjadi orang depan layar cenderung terbatas usia produktifnya. Bintang esports baru terus bermunculan dari waktu ke waktu, karenanya popularitas Anda sebagai pemain esports pun bisa jadi luntur seiring waktu.

Dua faktor yang saya sebut sebenarnya sudah jadi rahasia umum, namun bisa jadi belum tersadari oleh sang pemain ataupun calon pemain sendiri. Dalam hal modal secara finansial misalnya. Pemain esports paling sukses di zaman sekarang mungkin bisa dibilang sudah punya pendapatan yang mulai menyaingi pendapatan atlet olahraga. Misalnya saja Johan “n0tail” Sundstein, juara dunia Dota 2 yang menurut catatan esportsearnings.com sudah mengumpulkan pendapatan sebanyak US$6,9 juta lebih dari uang hadiah. Pendapatan tersebut baru dari hadiah turnamen saja. Belum menghitung pendapatan lain yang juga diterima namun mungkin tidak dipublikasikan, seperti nilai kontrak endorsement, mungkin gaji, atau mungkin bagi hasil pendapatan dari tim OG yang ia bentuk sendiri.

Dota2_NotailGamerzClass
N0tail juga bisa jadi contoh lain sebagai sosok yang bukan cuma sukses sebagai pemain saja.

Modal popularitas juga merupakan modal lain yang tak kalah penting dalam membangun bisnis. Membangun relasi bisa jadi hal yang mudah apabila Anda adalah seorang pemain esports yang sedang ada di puncak karir. Dengan popularitas yang dimiliki, Anda bisa mudah berkenalan dengan brand-brand besar, mudah berkenalan dengan orang-orang baru, bahkan mungkin orang-orang tersebut bisa jadi datang sendiri tanpa Anda harus melakukan banyak usaha.

Misalnya saja JessNoLimit. Karirnya sebagai pemain esports mungkin bukanlah yang paling cemerlang. Namun Anda bisa lihat sendiri bagaimana dirinya sangat memanfaatkan masa jayanya terdahulu ke dalam kehidupannya sekarang. Walau mungkin tidak bisa dijadikan contoh sebagai mantan pemain esports yang terjun ke bisnis sepenuhnya, tetapi kita bisa melihat bagaimana kelihaian JessNoLimit melihat peluang untuk menjual namanya sendiri sebagai seorang pemain esports yang sukses.

Berkat kecermatannya melihat peluang, JessNoLimit pun berhasil mencapai kesuksesan tertentu dengan menjual citra dirinya sebagai pemain esports. Beberapa di antaranya seperti mencatatkan 21 juta subscriber di YouTube, menjadi duta Piala Presiden Esports, dan bahkan berkesempatan bertemu dengan presiden Republik Indonesia, Joko Widodo.

Dua faktor tersebut bisa dibilang menjadi salah satu keuntungan terbesar saat Anda sedang berposisi sebagai seorang pemain esports yang sukses. Coba bayangkan apabila Anda hanyalah seorang pegawai swasta? Mendapat modal uang (yang cukup untuk bisnis) dan mencari modal relasi juga mungkin akan butuh usaha yang amat sangat keras. Tapi saya juga tidak memungkiri menjadi sukses sebagai atlet esports juga butuh kerja keras dengan persaingan yang tak kalah berat. Karenanya tanpa maksud menyinggung pihak manapun, intinya adalah menjadi pemain esports bisa memberikan Anda banyak peluang yang bisa dimanfaatkan dengan baik.

 

Belajar Bisnis Sambil Meniti Karir Jadi Pemain Esports, Apa Mungkin?

Kalau ditanya bagaimana caranya, satu-satunya jawaban yang bisa saya berikan mungkin adalah belajar.

Ya, oke, saya tahu bahwa jawaban saya membosankan, terima kasih atas pujiannya. Saya sadar, bisa jadi beberapa dari Anda yang memutuskan menjadi pemain esports adalah karena ingin alternatif dari kehidupan formal, belajar, ataupun cara-cara “kuno” dalam mencapai kemapanan dalam hidup.

Namun demikian, hal yang memang tidak bisa dipungkiri adalah bahwa kegiatan “kuno” tersebut tetap menawarkan solusi paling aman di dalam hidup. Bicara kasarnya, memangnya Anda mau mapan hari ini tapi hidup susah di masa senja? Mau tidak mau, Anda tetap perlu belajar walau sudah sukses jadi bintang esports. Belajar yang saya maksud di sini tentu tidak melulu harus lewat pendidikan formal. Seperti yang saya katakan sebelumnya, pembahasan ini juga sebenarnya lebih ke arah keharusan belajar soft-skill dan belajar bagaimana cara dunia bekerja, terutama dari sisi bisnis. Belajarnya pun bisa dari mana saja, dari lingkungan ataupun dari konten-konten di internet.

Membahas lebih lanjut soal belajar jadi atlet esports sambil belajar soft-skill, saya pun berbincang dengan Yohannes Siagian. Pembaca setia hybrid.co.id tentu kenal betul dengan sosok yang satu ini. Redaksi hybrid.co.id juga sudah beberapa kali membahas relasi esports dan pendidikan melalui perbincangan Chief Editor kami, Yabes Elia, dengan “Mas Joey”.

Salah satu alasan saya mengajak mas Joey untuk berbincang soal berkarir menjadi pemain esports dan belajar bisnis adalah karena program pengembangan baru yang ia lakukan melalui brand Somnium Esports. Organisasi esports tersebut baru-baru saja membuat sebuah program pengembangan pemain yang tergolong beda ketimbang program lainnya.

Program tersebut tidak sekadar mengajarkan pemain supaya jago main game saja tapi juga menawarkan pengembangan kemampuan-kemampuan di luar dari gaming. Bahkan program pengembangan pemain milik Somnium juga menawarkan pendidikan gratis bagi peserta yang masih bersekolah namun ingin tetapi ikut program.

Joey pun menjelaskan bahwa kegiatan tersebut merupakan bagian dari bentuk akuisisi Somnium oleh yayasan Garis Putih. Lebih lanjut Joey pun menjelaskan soal apa itu yayasan Garis Putih. “Pada dasarnya Garis Putih merupakan yayasan yang ada pada bidang youth support dan development. Alasan kami melakukan program seperti demikian adalah karena kami merasa anak muda tidak punya banyak kesempatan untuk mengembangkan minat, bakat, dan potensi mereka di masa kini.”

“Kami juga mengamati bahwa saat ini kurang banyak opsi yang dapat dipilih anak muda dalam melakuan eksplorasi diri, kepribadian, ataupun tempat untuk mencari bantuan serta dukungan apabila diperlukan. Hal yang menjadi dasar pemikiran tersebut adalah dari fenomena yang kami lihat bahwa anak muda zaman sekarang kebanyakan hidupnya hanya berkutat di 3 tempat saja, sekolah, rumah, dan tongkrongan/mall. Masa pandemi seperti sekarang semakin membuat keadaan tadi jadi lebih terasa. Fenomena tersebut pun membuat yayasan Garis Putih tergerak untuk mencoba menawarkan solusi. Esports hanya salah satu saja dari rencana besar Garis Putih yang kami lakukan lewat Somnium. Esports hanya salah satu karena Garis Putih nantinya juga punya rencana untuk melakukan kegiatan youth support di bidang lainnya seperti olahraga, kesenian, dan lain-lain.” Tutur Joey menjelaskan.

“Tapi satu hal lain yang ingin kembali saya tegaskan kembali adalah bahwa Somnium Development Program itu bukan pendidikan untuk direkrut ke dalam tim esports profesional. Seperti namanya dan sejalan dengan visi misi Garis Putih, fokus program tersebut adalah pengembangan. Harapannya program ini bisa memberi bekal kepada mereka yang ingin meniti karir menjadi pemain esports.” Joey kembali menambahkan

Walaupun program milik Somnium terlihat cukup inovatif, namun program coaching di bidang esports sebenarnya tidak sepenuhnya baru. Dalam tulisan saya yang membahas skema ekosistem esports, Anda juga bisa melihat bahwa ada dua elemen yang bersifat “lain-lain” di sana. Menariknya, dua entitas yang saya tulis pada bagian tersebut sama-sama menawarkan jasa yang sama, yaitu coaching. Dalam daftar yang saya buat, saya memasukan Aegis.gg dan RRQ Academy.

Tetapi dari apa yang saya amati, kedua coaching platform tersebut hanya menawarkan cara untuk menjadi jago saja. Padahal di dunia esports, menjadi jago hanya satu aspek profesionalitas pemain esports saja. Seiring dengan karir yang terus berkembang, pemain esports akan lebih dituntut lebih dan dituntunt dari berbagai macam aspek. Mulai dari ketangguhan mental, profesionalitas secara sikap, sampai tuntutan membangun citra diri di muka publik.

Yohannes Siagian. Sumber: Bolasport.com
Yohannes Siagian. Sumber: Bolasport.com

“Kalau ditanya soal apa saja yang diajari, skill main game sudah pasti diajari. Tapi selain itu saya juga menyiapkan pelatihan soft-skill yang arahnya untuk meningkatkan performa permainan, seperti kemampuan analisa game, komunikasi, decision making, dan lain-lain. Di luar dari itu, ilmu-ilmu yang dapat membantu kehidupan mereka pasca pensiun juga diajarkan, termasuk ilmu seperti bisnis ataupun literasi finansial.” Tambah Joey.

Memang menurut saya jago saja tidak cukup membawa karir Anda melejit di dunia esports. Kembali menggunakan Jess No Limit sebagai contoh, Anda pecinta esports MLBB mungkin ingat kalau dia bukan sosok yang paling jago bermain. Namun Jess No Limit punya beberapa kemampuan di luar bermain game yang membuat dirinya berhasil survive pasca pensiun dari pro player. Cerita yang serupa juga sebenarnya bisa dilihat perjalanan dari mantan rekan satu timnya, Jonathan “Emperor” Liandi.

Program player development dari Sominum mungkin bisa jadi salah satu pilhan dalam membangun soft-skill untuk mempersiapkan kehidupan pasca pensiun sebagai pemain esports. Walau memang berpikir “mau jadi apa setelah pensiun sebagai pemain” adalah kewajiban bagi pemainnya sendiri, tapi saya merasa apa yang dilakukan oleh Somnium Esports patut juga dicontoh oleh tim lain.

Mengapa? Saya merasa pemain yang tidak sekadar jago juga memberikan nilai jual lebih bagi tim terkait. Pemain yang jago mungkin bisa memberi kemenangan di lebih banyak turnamen. Tapi pemain yang punya kemampuan menyeluruh (termasuk bisnis atau menjual citra diri) mungkin bisa memberi value yang lebih banyak lagi, entah itu lewat kontrak-kontrak endorsement dan lain sebagainya. Karenanya, saya merasa apa yang dilakuan oleh Somnium Esports itu tidak hanya baru, tetapi juga bisa jadi penting demi masa depan esports yang lebih baik.

Sumber: Overwatch League Official
Setelah juara dunia, lalu apa? Sumber: Overwatch League Official

Membahas soal kepentingan kemampuan-kemampuan di luar skill bermain game dan pentingnya belajar bisnis, Joey juga menambahkan. “Ya saya setuju belajar bisnis itu penting, tapi di luar dari itu sebenarnya yang lebih penting dan mendasar adalah literasi finansial secara umum. Maksudnya literasi finansial adalah sesederhana seperti menabung, investasi, ataupun mengenali cara serta konsep untuk bisa growing money. Kenapa penting? Karena ketika pemain esports sedang dalam masa karirnya, mereka bukan hanya punya penghasilan besar tapi juga memiliki pengeluaran yang sedikit; bahkan hampir tidak ada.”

“Benar bukan? Semua biaya hidup ditanggung tim. Ada gaming house untuk tempat tinggal, kebutuhan makan kadang ditanggung oleh tim, transportasi juga kadang ditanggung oleh tim. Dengan keadaan hampir zero expenses, pemain esports sebenarnya punya kesempatan menumpuk modal untuk menghadapi kehidupan pasca pensiun sebagai pemain esports.” Joey memperjelas kembali soal pelaung yang dimiliki oleh pemain esports untuk menghadapi kehidupan masa depannya.

“Tapi memang sejauh yang saya lihat juga beberapa pemain esports jaman sekarang mulai melek finansial. Tetapi biasanya memang karena suatu kondisi tertentu lebih dahulu. Sudah pernah “kepentok” misalnya atau ketika si pemain berencana untuk menikah. Biasanya kalau sudah begitu mereka mulai berpikir untuk investasi ataupun mencoba membuat usaha.” Joey menambahkan cerita berdasarkan dari pengamatannya sejauh ini.

Di luar dari pembahasan tersebut, saya juga sadar bahwa usia pemain esports yang masih sangat muda jadi salah satu faktor lain yang membuat mereka kurang sadar akan hal-hal seperti ini. Tetapi mengingat era informasi sekarang ini, pemain esports juga punya keuntungan lain dengan mudahnya akses untuk belajar ilmu-ilmu baru. Selain diajari, Anda juga bisa saja belajar secara otodidak, bahkan mungkin belajar melalui pembahasan-pembahasan Hybrid.co.id. Misalnya apabila Anda ingin tetap berada di ranah esports namun sebagai pelaku bisnis, Anda mungkin bisa belajar dimulai dari artikel pembahasan bentuk ekosistem esports Indonesia atau pembahasan soal alasan bagaimana game kompetitif bisa sukses berkembang menjadi esports.

 

Belajar Dari Atlet Olahraga dan Esports Yang Mapan Hingga Kini

Ada alasan tertentu kenapa bisnis yang menjadi sorotan pembahasan saya di dalam artikel ini. Selain dari dua faktor di atas, inspirasi artikel ini juga lagi-lagi datang dari salah satu video milik Athletic Interest. Salah satu video di channel tersebut menceritakan soal kisah sukses dari seorang petenis kelas dunia, Roger Federer.

Apa yang ingin saya soroti dari sosok beliau bukan serta-merta kekayaan atau kesuksesannya saja, tetapi juga karakteristik yang membuatnya jadi salah satu atlet olahraga yang berhasil jadi miliarder. Mengutip dari Forbes, Roger Federer telah mengumpulkan sekitar US$130 juta dari kemenangan-kemenangan yang ia raih. Namun, total kekayaanya lebih dari itu dan bahkan uang hadiah turnamen jadi terlihat kecil ketimbang kontrak endorse senilai US$300 juta dengan Uniqlo.

Tetapi ada cerita tersendiri ketika Roger Federer mengambil kontrak endorsement dengan Uniqlo. Kisah tersebut menuai pertanyaan khalayak karena Roger Federer memilih meninggalkan Nike dan untuk Uniqlo. Bukan cuma gara-gara brand-nya saja, kontrak kerja sama dengan Nike juga menawarkan nilai 3 kali lipat lebih besar ketimbang kerja sama dengan Uniqlo. Salah satu jawaban yang ia berikan adalah. “Kita semua tahu bahwa saya sedang berada di masa senja karir saya, bukan di masa keemasan.” Tutur Roger Federer membuka sesi konfrensi pers membahas soal keputusannya tersebut yang saya kutip dari Forbes.

Mengutip dari SportsPro, Roger Federer juga sempat berkata. “Suatu hari saya akan pensiun dari tenis, tetapi saya tidak akan pensiun dengan kehidupan saya. Kehidupan saya akan terus berjalan (pasca pensiun dari pemain tenis). Dengan demikian, saya percaya bahwa Uniqlo dan Mr Yanai (CEO Uniqlo) akan menganggap saya sebagai sosok penting bagi brand mereka, walaupun saat saya sudah tidak menjadi atlet tenis.”

Pengambilan keputusan yang dilakukan Roger Federer bisa menjadi contoh bagaimana seorang atlet juga harus sadar dan paham cara bisnis bekerja. Nike adalah perusahaan olahraga. Sosok yang akan di-endorse oleh Nike kemungkinan besar adalah atlet-atlet terbaik di bidang olahraganya masing-masing.

Namun Uniqlo bukanlah Nike. Uniqlo adalah brand pakaian untuk sehari-hari. Nike bisa saja memutus kontrak endorse-nya dengan Roger apabila dirinya sudah mulai menurun performanya atau pensiun dari tenis. Di sisi lain, kecil kemungkinan bagi Uniqlo untuk melakukan hal tersebut. Sebagai perusahaan pembuat pakaian kasual, Uniqlo tetap butuh brand ambassador terlepas dari atlet atau bukan. Terlebih, Uniqlo juga tergolong baru mulai membuat pakaian-pakaian untuk kebutuhan olahraga yang hadir dalam branding AIRism. Kontrak kerja sama sepanjang 10 tahun yang termasuk kolaborasi merancang pakaian bersama Uniqlo tentunya akan menjadi investasi masa depan yang baik bagi seorang Roger Federer.

Tindakan yang dilakukan Roger sebenarnya mirip seperti banyak kontrak endorse yang juga dilakukan pemain-pemain esports. Namun dari pembahasan tersebut kita bisa belajar bagaimana Roger Federer tidak hanya tahu soal cara bermain tenis tetapi juga punya kesadaran serta begitu taktis dalam melakukan pergerakan bisnis demi menyambung hidupnya. Bukan hanya di olahraga, esports juga punya beberapa contoh kasus.

Ninja
Salah satu fotonya saat pengumuman kerja sama Ninja sebagai salah satu atlet Red Bull.

Taylor Blevins atau si “Ninja” Fortnite misalnya. Walaupun dirinya bukan pemain esports, namun kita juga bisa melihat bagiamana dia aktif melakukan pergerakan agar tetap relevan dan bertahan pekerjaannya sebagai streamer game. Selain menjadi avatar di Fortnite, Ninja juga melakukan kerja sama dengan beberapa brand seperti Red Bull, Adidas, bahkan dikabarkan akan muncul di film dan serial televisi. Hal-hal tersebut juga bisa dibilang sebagai beberapa bentuk pergerakan bisnis dari Ninja dalam memanfaatkan masa kejayaan yang sedang dijalaninya kini.

Dalam satu kesempatan, Ninja juga sempat membagikan pandangannya terhadap masa depannya saat ia mungkin sudah tak lagi digandrugi. “Hal yang terpenting adalah memahami segmentasi penggemar dan melakukan ekspansi dari sana. Saya sadar kebanyakan penggemar saya adalah anak muda. Saya juga sadar bahwa karir saya di dunia streaming tidaklah abadi. Makanya saya mulai mencoba voice acting untuk kartun atau animasi karena merasa hal tersebut masih dekat dengan segmentasi penggemar saya. Tapi menurut pandangan saya sendiri hal terpenting adalah melakukan sesuatu yang memang saya sukai.” Tutur Ninja kepada New York Times.

Sumber: NXL
Richard “frgd” Permana, setelah sukses menjadi pemain kini fokusnya adalah mengembangkan TeamNXL sebagai bisnis. Sumber: NXL

Masih ada juga beberapa contoh lain dari sosok esports internasional yang bermuara terjun ke bisnis di ketika mencapai masa senjanya. Salah satu contohnya seperti Mathew Haag “Nadeshot”, mantan pemain profesional, juara dunia Call of Duty tahun 2011, dan kini memanfaatkan masa kejayaan terdahulunya sebagai modal untuk membangun timnya 8-nya sendiri yaitu 100 Thieves.

Tidak usah jauh-jauh, Indonesia juga punya sosok sosok yang mirip seperti Nadeshot. Richard “frgd” Permana misalnya, bermula sebagai pemain esports dari TeamNXL dan kini berakhir sebagai CEO TeamNXL itu sendiri. Ada juga sosok seperti Gary Ongko, yang sebelumnya sempat bermain CS:GO secara semi-profesional dan kini menjadi sosok yang menggerakan BOOM Esports.

 

Penutup

Seperti saya katakan di awal artikel ini, bisnis sebenarnya cuma satu dari banyak kemungkinan lain yang bisa Anda lakukan saat tak lagi jadi pemain esports.

Tetap sukses atau malah jadi miliarder pasca pensiun sebagai atlet esports itu sangat mungkin, mengingat modal uang dan relasi yang dimiliki. Tapi tentunya Anda harus paham bagaimana cara melakukan keputusan bisnis yang tepat (seperti yang dilakukan Roger Federer contohnya), menjaga dan menjual citra diri Anda, serta paham ke mana menginvestasikan penghasilan yang dimiliki agar tidak salah langkah.

Pada intinya saya berharap para pembaca, terutama yang ingin meniti karir sebagai pemain esports, sadar bahwa menjadi pemain esports memang tidak sesederhana main game lalu dapat uang. Banyak hal yang harus dilakukan, banyak kewajiban yang harus dipenuhi, namun juga dengan banyak hal yang bisa dipelajari dari kesempatan yang ada.

Saya jadi ingin mengutip perkataan dari Roger Federer, bahwa hidup tidak berhenti setelah masa keemasan Anda selesai. Terlebih usia karir esports juga cenderung pendek, yang bisa jadi ada keuntungannya tersendiri; yaitu bisa merintis impian di bidang lain ketika usia Anda masih relatif muda. Semoga artikel ini bisa membantu membuka pandangan Anda dan memberi inspirasi bagi Anda yang sedang berada di jalan tersebut.

Mengulas 3 Raksasa Industri Game dan Esports: Jepang, Tiongkok, dan Korea Selatan

Tidak ada orang yang suka dibandingkan dengan orang lain. Pada saat yang sama, sudah jadi sifat manusia untuk membandingkan sesuatu atau seseorang. Dan sebenarnya, membandingkan diri sendiri dengan orang lain tidak buruk. Melihat orang lain yang lebih sukses justru bisa mendorong Anda untuk menjadi seperti mereka. Hal yang sama juga berlaku untuk skala yang lebih besar, seperti skala antar negara. Karena itu, dalam artikel kali ini, saya akan membahas tentang industri game dan esports di Jepang, Tiongkok, dan Korea Selatan.

 

Kenapa Membandingkan Jepang, Korea Selatan, dan Tiongkok?

Jepang, Korea Selatan, dan Tiongkok punya beberapa kesamaan. Ketiganya sama-sama negara Asia dan berdekatan lokasi geografisnya. Selain itu, industri game di tiga negara itu juga sama-sama matang. Faktanya, dalam daftar negara dengan industri game terbesar, Tiongkok duduk di peringkat pertama, Jepang ketiga, dan Korea Selatan keempat. Posisi kedua diduduki oleh Amerika Serikat. Hanya saja, saya akan mengecualikan Amerika Serikat dalam artikel ini.

Lima negara dengan pasar game terbesar. | Sumber: Newzoo
Lima negara dengan pasar game terbesar. | Sumber: Newzoo

Kesamaan lain antara Jepang, Korea Selatan, dan Tiongkok adalah mereka punya punya perusahaan raksasa teknologi. Di Jepang, ada Sony dan Nintendo, sementara Tiongkok punya Tencent, dan Korea Selatan memiliki Samsung. Korea Selatan juga menjadi rumah dari berbagai perusahaan game ternama, termasuk Nexon, Netmarble, Krafton, dan Gravity.

Memang, baik Korea Selatan, Jepang, atau Tiongkok bukan negara yang membuat game pertama kali. Namun, ketiga negara itu berhasil menciptakan tren baru di dunia game. Misalnya, Nexon merupakan pencetus model bisnis free-to-play. Nexon merilis QuizQuiz, game free-to-play pertama mereka pada Oktober 1999. Pada awalnya, model bisnis FTP digunakan untuk game-game yang menargetkan anak-anak dan gamer kasual. Namun, sekarang, game FTP bisa meraup untung hingga miliaran dollar. Faktanya, laporan dari Super Data menunjukkan, game FTP menyumbangkan 78% dari total pemasukan industri game digital pada 2020. Secara total, game FTP memberikan kontribusi sebesar US$98,4 miliar dari total pemasukan US$126,5 miliar industri game digital.

Lalu, apa keistimewaan Jepang? Hampir semua konsol terpopuler sepanjang masa merupakan buatan perusahaan Jepang. IGN membuat daftar 15 konsol dengan penjualan terbaik sepanjang masa. Dalam daftar itu, Microsoft hanya bisa mendapatkan posisi 15 dengan Xbox One, yang punya penjualan 41 juta unit, dan posisi 8 dengan Xbox 360, dengan angka penjualan 85 juta unit. Dua belas konsol lainnya merupakan konsol buatan Nintendo dan Sony.

Berikut daftar lima konsol dengan angka penjualan terbaik sepanjang masa.

Lima konsol dengan penjualan terbanyak sepanjang masa. | Sumber: IGN
Lima konsol dengan penjualan terbanyak sepanjang masa. | Sumber: IGN

Selain membuat konsol, Jepang juga berhasil mempopulerkan game gacha pada 2010-an. Pada 2010, Konami merilis Dragon Collection, sebuah game card battle yang menawarkan banyak karakter yang bisa dikumpulkan. Sama seperti game lainnya, para gamer akan bisa menyelesaikan quest untuk mendapatkan hadiah. Hanya saja, hadiah yang para pemain dapatkan acak. Dragon Collection memang bisa dimainkan secara gratis, tapi jika para pemain ingin bisa mengumpulkan hadiah lebih banyak, mereka harus membayar.

Dragon Collection sukses. Konami berhasil mendapatkan banyak uang dari game itu. Tidak lama kemudian, para developer game, baik dari dalam maupun luar Jepang, berbondong-bondong untuk membuat game serupa. Sampai sekarang, ada banyak game gacha yang populer, seperti Azure Lane, Arknights, dan Genshin Impact.

Sementara itu, Tiongkok merupakan pasar game terbesar di dunia. Nilai industri game di negara itu diperkirakan mencapai US$40,85 miliar. Di Tiongkok, game online sangat populer. Karena itu, tidak heran jika pada 2007-2008, game media sosial mulai bermunculan. Happy Farm, game asal Tiongkok yang dirilis pada 2008, masuk dalam daftar 15 game paling berpengaruh versi WIRED. Pasalnya, game itu “menginspirasi” banyak game serupa, termasuk FarmVille dari Zynga.

Pada 2012, mobile game mulai berkembang di Tiongkok. Ketika itu, pengguna smartphone telah mencapai sekitar satu miliar orang. Tencent, yang telah mengakuisisi Riot Games pada 2012, melihat hal ini sebagai kesempatan. Mereka meminta Riot untuk membuat versi mobile dari League of Legends. Namun, Riot menolak. Akhirnya, Tenccent memutuskan untuk membuat mobile game MOBA sendiri, yaitu Honor of Kings alias Arena of Valor. Sampai sekarang, game itu berhasil menjadi salah satu game dengan penghasilan terbesar.

 

Perbedaan Industri Gaming di Jepang, Korea Selatan, dan Tiongkok

Jepang, Korea Selatan, dan Tiongkok memang punya beberapa kesamaan. Namun, pasar game dari ketiga negara itu juga punya keunikan masing-masing. Msialnya, para gamer Jepang senang dengan game buatan lokal. Sulit bagi perusahaan asing untuk menembus pasar game Jepang. Tren ini juga terlihat pada penjualan konsol. Di Jepang, Sony berhasil menjual sekitar 7,5 juta unit PlayStation 4. Sebagai perbandingan, Microsoft Xbox One hanya terjual sekitar 100 ribu unit.

Soal genre, fighting menjadi salah satu genre terpopuler di Jepang. Genre itu mulai populer sejak Capcom meluncurkan Street Fighter II pada 1991. Selain itu, para gamer Jepang juga lebih senang bermain game single-player. Hal ini menjadi salah satu alasan mengapa skena esports tak terlalu berkembang di Jepang.

Di Jepang, fighting game sangat populer. | Sumber: Variety
Di Jepang, fighting game sangat populer. | Sumber: Variety

Game MOBA tidak terlalu populer di Jepang,” kata Paolo Gianti, Business Development Manager di industri gaming Jepang, lapor The Esports Observer. “Faktanya, game yang mengharuskan pemainnya untuk bermain dengan pemain lain tidak terlalu populer di Jepang. Gamer Jepang senang melawan komputer, karena mereka ingin menghindari interaksi dengan pemain lain. Mereka tidak ingin diganggu ketika sedang latihan.”

Sebaliknya, para gamer Tiongkok menganggap bermain game sebagai kegiatan sosial. Salah satu alasan mengapa mobile game sangat populer di Tiongkok karena banyak mobile game yang terhubung dengan WeChat. Hal ini memudahkan para gamer untuk bermain bersama teman-teman mereka. Jiwa kompetitif gamer Tiongkok juga cukup kuat. Buktinya, keinginan untuk bisa menorehkan nama di leaderboard merupakan salah satu motivasi bagi para gamer Tiongkok untuk terus bermain. Motivasi lain mereka adalah untuk mengalahkan teman-teman mereka. Jika gamer Jepang lebih senang untuk melawan AI/bot, gamer Tiongkok justru merasa lebih puas saat mereka berhasil mengalahkan pemain lain, lapor CGTN.

Namun, para gamer Tiongkok tidak melulu haus akan kemenangan dari teman-temannya. Mereka juga senang bermain game multiplayer yang memungkinkan mereka untuk bekerja sama dengan para pemain lain. Hal inilah alasan mengapa di Tiongkok, MMORPG juga cukup populer.

Satu kesamaan antara gamer Jepang dan Tiongkok adalah mereka sama-sama senang bermain mobile game dalam perjalanan. Memang, jaringan internet Jepang sudah begitu mumpuni sehingga para gamer bisa bermain di perjalanan tanpa harus khawatir akan terputus dari jaringan. Sementara di Tiongkok, alasan banyak gamer yang bermain ketika dalam perjalanan adalah karena banyak pekerja yang menghabiskan waktu hingga berjam-jam dalam perjalanan dari rumah ke kantor dan sebaliknya.

Banyak warga Tiongkok yang bermain game saat dalam perjalanan. | Sumber: Pandaily
Banyak warga Tiongkok yang bermain game saat dalam perjalanan. | Sumber: AFP via Pandaily

Berbagai studi menunjukkan, waktu rata-rata yang dihabiskan oleh warga Beijing di perjalanan adalah dua jam. Tren ini juga muncul di kota-kota besar lain di Tiongkok, seperti Shanghai, menurut laporan Pandaily. Sementara di kota-kota yang lebih kecil, seperti Jinan, waktu yang dihabiskan pekerja untuk pulang-pergi justru lebih lama. Para pekerja bisa menghabiskan waktu selama enam jam di bus setiap hari untuk pulang-pergi kantor. Alasannya klasik: macet.

Sama seperti di Tiongkok, di Korea Selatan, bermain game juga dianggap sebagai kegiatan sosial. Faktanya, semua game dalam daftar 10 game terpopuler di Korea Selatan pada 2020 merupakan game online, walau genre dari game-game itu berbeda-beda. Kegemaran gamer Korea Selatan untuk bermain game online menjadi salah satu alasan mengapa ada banyak gamer profesional berasal dari negara itu. Namun, sebenarnya, ada alasan lain mengapa banyak orang Korea Selatan yang berakhir menjadi gamer profesional.

Warga Korea Selatan dikenal dengan edukasinya yang tinggi. Sekitar 70% dari murid SMA di sana memutuskan untuk kuliah. Hanya saja, persaingan untuk masuk ke universitas bergengsi di Korea Selatan juga sangat ketat. Ikut bimbingan belajar atau menyewa tutor privat menjadi hal yang lumrah bagi para murid di Korea Selatan. Sayangnya, tidak semua orang punya uang untuk ikut bimbel atau meyewa tutor privat. Biasanya, orang-orang itu menghabiskan waktunya di PC bang alias warnet. Karena itu, jangan heran jika banyak gamer profesional Korea Selatan yang berasal dari keluarga buruh.

Namun, keuangan keluarga yang kurang memadai bukan satu-satunya alasan banyak remaja Korea Selatan memutuskan untuk menjadi gamer profesional. Tidak sedikit anak dan remaja yang menghabiskan waktunya di PC bang karena ingin menghindari masalah keluarga di rumah. Salah satu contohnya adalah Kim “WizardHyeong” Hyeong-seok, mantan pelatih tim Overwatch Seoul Dynasty. Memang, dia berhasil masuk ke sekolah elit Daewon Foreing Language High School. Namun, dia mengaku, masa kecilnya cukup bermasalah karena ibunya merupakan penyandang disabilitas sementara ayahnya keluar-masuk penjara. Bagi WizardHyeong, bermain game merupakan cara untuk melarikan diri dari masalah di kehidupan nyata, lapor WIRED.

 

Peran Pemerintah

Budaya gaming dari Jepang, Korea Selatan, dan Tiongkok memang tidak selalu sama. Namun, tak bisa dipungkiri bahwa industri gaming di ketiga negara tersebut berkembang pesat. Hal ini bisa terlihat dari banyaknya jumlah gamer di negara-negara itu.

Seperti yang bisa Anda lihat pada tabel di atas, jumlah atlet esports di Jepang jauh lebih sedikit daripada di Tiongkok atau Korea Selatan. Hal ini jadi salah satu bukti bahwa esports di Jepang memang tidak semaju seperti Tiongkok dan Korea Selatan. Selain para gamer Jepang yang memang lebih suka bermain game single-player, ada alasan lain mengapa ekosistem esports di Jepang tak terlalu berkembang, yaitu pemerintah.

Di Jepang, pachinko sangat populer. | Sumber: Wikipedia
Di Jepang, pachinko sangat populer. | Sumber: Wikipedia

Di Jepang, regulasi terkait perjudian telah ada sejak tahun 1500-an. Dan sayangnya, game sering dikaitkan dengan judi. Alasannya, karena Yakuza pernah mendulang uang dengan membuat mesin poker. Karena game sering diidentikkan dengan judi, hal ini menyulitkan para penyelenggara turnamen esports karena mereka jadi tidak bisa menyediakan hadiah berupa uang. Memang, mereka bisa menyatakan bahwa uang hadiah dari turnamen yang mereka selenggarakan merupakan bagian dari dana marketing. Hanya saja, hal itu membatasi besar total hadiah yang bisa diberikan dalam turnamen esports, yaitu 100 ribu yen, lapor ESPN.

Kabar baiknya, pandangan pemerintah Jepang akan esports mulai berubah pada 2018. Alasannya adalah karena ketika itu, muncul wacana untuk memasukkan esports ke dalam Olimpiade 2024. Dan jika pemerintah bersikukuh untuk mengekang perkembangan esports, hal itu akan merugikan Jepang. Mereka lalu mengubah regulasi yang ada. Sejak saat itu, kompetisi esports bisa menawarkan hadiah yang lebih besar. Pada Maret 2020, pemerintah Jepang bahkan mengungumumkan, mereka ingin mengembangkan industri esports.

Berbanding terbalik dengan pemerintah Jepang, pemerintah Korea Selatan justru sudah mendukung industri esports sepenuhnya dari 2 dasawarsa lalu. Mereka telah menyokong industri competitive gaming selama 20 tahun. Pada 1999, Korea Pro Gaming Association (KPGA) didirikan. Satu tahun kemudian, Kementerian Budaya, Olahraga, dan Pariwisata (KBOP) mengubah KPGA menjadi Korea Esports Association (KeSPA). Dengan ini, Korea Selatan menjadi salah satu negara pertama yang punya badan esports yang diakui oleh pemerintah. KeSPA bahkan menjadi anggota dari Komite Olimpiade Nasional di Korea Selatan.

Tahun lalu, pemerintah Korea Selatan masih mendukung industri esports, lapor Niko Partners. Pada Mei 2020, KBOP mengumumkan rencana mereka untuk mempromosikan industri game dalam lima tahun ke depan. Rencana ini terdiri dari empat pilar. Pertama, membuat regulasi yang mendorong pertumbuhan industri game. Kedua, menyokong para startup yang menyasar pasar asing. Ketiga, mengedukasi masyarakat akan keuntungan game dan memperkuat ekosistem esports. Terakhir, memperkuat pondasi dari industri game.

Korea Selatan juga memperkenalkan Esports Fair Trade Committee (Esports FTC) pada Juni 2020. Tujuan dari Esports FTC adalah untuk menyelesaikan pertengkaran yang terjadi di industri esports. Selain menciptakan regulasi dan badan otoritas baru, pemerintah Korea Selatan juga menyetop Esports Promotion Advisory Committee. Harapannya, proses administrasi di dunia esports bisa menjadi lebih efektif.

Pemerintah Tiongkok akui gamer pro sebagai pekerjaan resmi. | Sumber: Sportskeeda
Pemerintah Tiongkok akui gamer pro sebagai pekerjaan resmi. | Sumber: Sportskeeda

Pemerintah Tiongkok cukup mendukung perkembangan industri esports. Misalnya dengan mengakui pemain profesional sebagai pekerjaan resmi. Selain itu, ada beberapa pemerintah kota yang ingin menjadikan kotanya sebagai pusat esports, seperti Shanghai. Namun, di industri game, pemerintah Tiongkok cukup ketat. Perusahaan asing yang ingin meluncurkan game-nya di Tiongkok harus bekerja sama dengan publisher lokal. Karena itulah, perusahaan game besar sekalipun, seperti Activision Blizzard atau PUBG Corp., harus bekerja sama dengan Tencent untuk meluncurkan game mereka di Tiongkok, seperti yang disebutkan oleh Niko Partners.

Pada 2018-2019, pemerintah Tiongkok juga memperketat regulasi terkait game. Selama sembilan bulan pada 2018, peluncuran game baru di sana sempat terhenti. Alasan pemerintah Tiongkok memperketat regulasi terkait game adalah untuk meminimalisir risiko kecanduan bermain game pada anak-anak dan remaja. Memang, salah satu regulasi baru yang pemerintah Tiongkok buat adalah regulasi anti-candu untuk mobile. Regulasi itu sebenarnya bukan barang baru. Pemerintah Tiongkok telah memperkenalkannya untuk game PC pada 2007. Hanya saja, mereka lalu menetapkan regulasi serupa untuk mobile game.

Industri game dan esports tidak berdiri sendiri. Infrastruktur internet punya peran penting dalam perkembangan industri game atau esports di sebuah negara. Di Jepang, salah satu alasan mengapa industri game bisa tumbuh pesat adalah karena keberadaan jaringan internet yang mumpuni. Jaringan internet di Jepang merupakan salah satu jaringan terbaik di dunia. Bahkan jika dibandingkan dengan negara maju seperti Amerika Serikat pun, keccepatan internet Jepang masih lebih tinggi, seperti yang disebutkan oleh Mahana Corp.

Salah satu alasan mengapa Jepang bisa punya jaringan internet yang sangat baik adalah karena pemerintah mengharuskan perusahaan telekomunikasi besar untuk memberikan akses internet ke perusahaan-perusahaan yang lebih kecil. Tujuannya adalah agar para perusahaan penyedia internet akan terus bersaing dengan satu sama lain sehingga kualitas internet naik dan harga tidak melonjak.

Pemerintah Jepang dan Korea Selatan mendorong para ISP untuk saling berkompetisi demi meningkatkan kualitas internet. | Sumber; Deposit Photos
Pemerintah Jepang dan Korea Selatan mendorong para ISP untuk saling berkompetisi demi meningkatkan kualitas internet. | Sumber: Deposit Photos

Soal internet, Korea Selatan juga tidak kalah dari Jepang. Dan sama seperti Jepang, pemerintah punya peran penting dalam mengembangkan internet di sana, menurut laporan IDG Connect. Pemerintah Korea Selatan memutuskan untuk tidak meregulasi sektor internet dengan ketat. Mereka hanya memastikan bahwa syarat untuk menjadi Internet Service Provider (ISP) tidak sulit. Tujuannya adalah untuk mendorong kompetisi. Dan cara yang digunakan pemerintah Korea Selatan bekerja dengan baik. Meskipun para ISP merupakan perusahaan swasta, mereka bisa membangun jaringan internet ke seluruh Korea Selatan. Dengan begitu, internet bisa diadopsi dengan cepat.

Pada 1995, jumlah pengguna internet di Korea Selatan hanya mencapai 1% dari total populasi. Di tahun yang sama, pemerintah memulai proyek Korean Information Infrastruktur, yang akan berjalan selama 10 tahun ke depan. Pada 2000, jumlah pengguna internet Korea Selatan naik menjadi 20 juta orang dari total populasi 45 juta orang.

Berbeda dengan Jepang dan Korea Selatan, Tiongkok membatasi jumlah ISP. Di sana, tiga ISP utama yang beroperasi adalah China Telecom, China Mobile, dan China Unicom. Ketiganya merupakan perusahaan milik negara. Dan masing-masing perusahaan itu punya wilayah masing-masing. Menurut China Briefing, China Telecom menguasai bagian selatan Tiongkok, sementara China Unicom menguasai daerah Utara, dan China Mobile bertanggung jawab atas kawasan pusat/timur.

 

Penutup

Jepang, Tiongkok, dan Korea Selatan memang negara maju. Namun Indonesia adalah negara berkembang. Dari segi kecepatan internet, Korea Selatan merupakan negara dengan kecepatan rata-rata internet nomor dua, berdasarkan Opensignal, per Mei 2020. Kecepatan rata-rata internet Korea Selatan adalah 59 Mbit/s. Sementara Jepang ada di posisi ke-4 dengan kecepatan rata-rata 49,3 Mbit/s. Di Indonesia ada di posisi ke-80 dengan kecepatan rata-rata 9,9 Mbit/s.

Kabar baiknya, pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika, berusaha untuk melakukan pemerataan jaringan internet. Salah satunya adalah dengan membangun kabel serat optik Palapa Ring. Kabar buruknya, pemerintah tampaknya juga lebih peduli dengan internet “bersih” daripada internet cepat.

Anda pasti tahu bahwa beberapa tahun lalu, Menteri Kominfo Indonesia sempat mempertanyakan apa guna internet cepat, yang kemudian menjadi meme. Pada 2017, Kemenkominfo mengeluarkan Rp194 miliar untuk membeli mesin pengais (crawling) konten negatif. Ironisnya, ketika saya mencari “internet bersih Indonesia” di Google, hasil pencarian pertama yang muncul adalah cara untuk memblokir “internet positif”.

Meskipun begitu, pemerintah Indonesia menyatakan bahwa mereka akan mendukung industri game dan esports. Buktinya, di esports menjadi cabang eksibisi di Asian Games 2018. Pada 2020, Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) dan Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) menyatakan esports sebagai cabang olahraga berprestasi. Selain itu, KONI juga mengungkap, mobile game MOBA buatan Indonesia, Lokapala, juga akan menjadi cabang olahraga eksibisi di PON 2021.

Meski begitu, seperti yang sebelumnya kami tuliskan saat membahas soal industri cloud gamingmasih ada banyak PR berat yang harus diselesaikan pemerintah soal infrastruktur dan kebijakan terkait jaringan internet di Indonesia — yang akan jauh lebih relevan dan berpengaruh pada kemajuan esports tanah air ketimbang sekadar gestur atau retorika belaka.

So, the outlook in Indonesia might not look so good, but it could have been worse. 

Kenapa Tidak Semua Game Kompetitif Sukses Berkembang Jadi Esports?

Kenapa League of Legends lebih besar sebagai esports di tingkat internasional ketimbang Dota 2? Kenapa CS:GO bisa menjadi fenomena esports yang besar di Eropa dan Amerika, namun nafasnya kini sekarat di Indonesia ataupun Asia Tenggara? Pertanyaan-pertanyaan tersebut mungkin sempat terbesit di kepala Anda. Apalagi bila Anda adalah pemain atau mungkin penggemar esports dari game-game tersebut.

Lalu apa jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas? Kenapa satu game bisa populer esports, sedangkan game lainnya seperti kalah pamor? Dalam artikel ini saya akan mencoba membahas dan mencari tahu faktor-faktor apa yang bisa membuat sebuah game sukses sebagai esports. Berikut pembahasannya.

 

Berkaca Dari Industri Olahraga

Apabila Anda sempat membaca artikel saya yang lainnya, Anda mungkin sadar kalau saya beberapa kali membandingkan atau menggunakan industri olahraga sebagai referensi dalam menjelaskan fenomena di esports. Salah satu alasannya adalah karena saya merasa esports memiliki sekian banyak kesamaan dengan industri olahraga pada beberapa aspek.

Pembahasan di dalam artikel saya kali ini juga terinspirasi dari pembahasan terkait industri olahraga yang dilakukan di salah satu video milik channel YouTube bernama Atheltic Interest. Video yang menjadi inspirasi saya adalah video yang berjudul “Kenapa olahraga bola basket lebih menjual ketimbang baseball.”

Video Athletic Interest dibuat dengan menggunakan bahasa Inggris berdasarkan dari tulisan milik Steffan Heuer yang ditulis dalam bahasa Jerman. Tulisan milik Steffan Heuer sendiri terbit di sebuah majalah bisnis olahraga bernama Brandeins. Dalam pembahasannya, Steffan mengatakan bahwa ada empat faktor yang secara umum membuat bola basket jadi lebih populer secara internasional ketimbang baseball.

Pertama, permainan baseball tergolong lebih rumit ketimbang bola basket. Kedua, durasi pertandingan baseball terlalu panjang. Ketiga, musim liga juga terlalu panjang. Keempat, negara asal pemain bintang baseball kurang beragam.

Saya akan membahas maksud dari poin-poin yang disebut oleh Steffan secara singkat. Lebih lengkapnya Anda bisa tonton video tersebut atau mungkin menggunakan Google Translate untuk membaca tulisan bahasa Jerman milik Steffan Heuer.

Soal faktor pertama, Steffan Heuer membandingkan tingkat kerumitan kedua olahraga tersebut dengan menggunakan ketebalan rulebook dari kedua olahraga tersebut. Liga utama baseball yaitu MLB memiliki total 188 halaman rulebook sementara liga utama bola basket NBA hanya 68 halaman saja. Banyaknya peraturan membuat olahraga baseball tergolong jadi lebih rumit, walau permainan tersebut sebenarnya terlihat sesederhana satu orang melempar bola dan satu orang memukulnya.

Selanjutnya pada faktor kedua, durasi permainan juga jadi faktor lain kenapa bola basket bisa lebih populer ketimbang Baseball. Durasi bersih dari pertandingan bola basket adalah 48 menit (4 quarter selama 12 menit). Ditambah dengan timeout ataupun gimmick half-time show, maka durasi paling lama dari tayangan pertandingan bola basket menjadi sekitar dua jam. Sementara itu, dua jam adalah durasi paling singkat dari pertandingan Baseball. Bahkan sempat ada pertandingan baseball berjalan selama 8 setengah jam dan berlangsung selama dua hari di tahun 1981.

Lalu soal faktor ketiga. Steffan menjelaskan bahwa ada 162 pertandingan dalam musim liga yang berjalan selama 6 bulan (sekitar 27 pertandingan dalam sebulan). Ditambah lagi, babak final Baseball juga dipertandingkan secara best-of 7. Dengan durasi pertandingannya, pertandingan best-of 7 bisa jadi diselenggarakan dalam satu bulan penuh atau mungkin lebih.

Lalu faktor terakhir adalah karena bintang-bintang olahraga baseball yang kebanyakan berasal dan hanya dikenal di Amerika Serikat saja. Bagaimana dengan bola basket? Kalau Anda mengikuti liga NBA, Anda mungkin tahu bahwa beberapa pemain bintang bola basket datang dari luar Amerika Serikat. Contohnya seperti Dirk Nowitzki yang berasal dari Jerman atau Yao Ming yang berasal dari Tiongkok.

Selain dari empat faktor inti tersebut, ada juga faktor faktor lain yang dijelaskan singkat di video tersebut. Faktor lain termasuk seperti invesasi NBA di Tiongkok dengan cara membangun lapangan-lapangan basket dan bahkan membangun kantor di sana. Investasi tersebut pun cukup berhasil membuat bola basket dikenal di negeri tirai bambu.

Sumber Gambar - Video Athletic Interests
Beberapa bentuk investasi NBA yang dilakuan di Tiongkok. Sumber Gambar – Video Athletic Interests

Faktor lain yang terakhir juga datang dari sisi perlengkapan yang dibutuhkan. Untuk bermain bola baseball, Anda butuh perlengkapan yang macam-macam dan mahal harganya. Lapangannya juga harus luas. Sementara bola basket? Tanpa perlengkapan pun sebenarnya bisa saja, asalkan Anda pakai sepatu, baju dan celana yang leluasa digunakan saat bergerak secara aktif, lapangan kecil dengan dilengkapi tiang basket, dan sebuah bola.

Empat faktor dan beberapa faktor tambahan tersebut adalah beberapa hal yang membuat bola basket jadi lebih menjual ketimbang dari baseball. Berdasarkan dari penjelasan milik Steffan Heuer di atas, saya menangkap bahwa olahraga bola basket jadi lebih menjual karena permainannya yang lebih sederhana, durasinya singkat dan penuh aksi, pertandingan liganya cocok membuat penonton jadi lebih tertarik, dan karena bola basket dianggap sebagai olahraga internasional.

Empat poin tersebut sebenarnya bisa dikelompokkan lagi menjadi dua. Ada faktor internal dan faktor eksternal. Apa maksudnya faktor internal adalah faktor daya tarik dari permainannya itu sendiri. Kalau faktor eksternal? Ialah dorongan dari pihak tertentu untuk membuat sebuah permainan jadi dikenal dan diterima lebih banyak orang.

Berdasarkan penjelasan Steffan, maka faktor pertama dan kedua bisa digolongkan sebagai faktor internal karena menjelaskan apa yang jadi daya tarik dari olahraga permainan bola basket. Faktor ketiga dan keempat bisa digolongkan sebagai faktor eksternal, karena dua faktor tersebut adalah penjelasan soal apa yang dilakukan NBA agar pertandingan bola basket jadi bisa dinikmati orang-orang dan membuatnya jadi lebih dikenal secara internasional.

Sekarang, mari coba kita lihat apakah faktor-faktor tersebut juga berlaku dari sisi esports.

 

Bagaimana Beberapa Game Bisa Populer Menjadi Esports

Menurut saya, empat faktor tersebut sebenarnya masih bisa ditranslasikan ke dalam esports. Faktor pertama dan kedua adalah daya tarik game-nya itu sendiri yang bisa diartikan sebagai aspek gameplay. Faktor ketiga dan keempat adalah bagaimana usaha developer/publisher mempromosikan game-nya dan merancang ekosistem esports game terkait agar jadi dapat dinikmati para penggemarnya dan membuatnya jadi lebih dikenal secara internasional.

Berdasarkan dari apa yang saya tangkap dalam penjelasan Steffan, faktor internal tetaplah menjadi faktor penting alasan kenapa olahraga permainan bisa populer. Karena mungkin saja perkembangan industri olahraga sebenarnya mirip seperti esports kini.

Mirip bagaimana? Berawal dari penciptaan permainannya terlebih dahulu, lalu permainan tersebut mulai dimainkan, dan menarik minat banyak orang. Setelah ada banyak orang tertarik, kompetisi mulai digelar, sampai akhirnya kompetisi tersebut dikomersialisasi sampai akhirnya menjadi sebuah bisnis seperti sekarang. Mungkin dahulu orang-orang yang menonton liga bola basket hanyalah orang-orang yang main basket saja. Tapi karena permainannya tergolong sederhana dan mudah dimengerti, dilengkapi dengan promosi gencar yang dilakukan NBA, lama kelamaan pun orang  yang tidak main basket turut tertarik menonton pertandingan olahraga bola basket.

esports event

Esports sendiri awalnya juga tidak digagas oleh developer atau publisher. Esports pada awalnya digagas oleh komunitas pemainnya yang akhirnya kini didorong menjadi lebih besar oleh sang pihak pertama yaitu developer. Hal tersebut sempat saya bahas dalam artikel pembahasan seputar sejarah esports. Anda bisa membacanya pada tautan yang satu ini. Karenanya, bisa dibilang apabila sebuah game ingin sukses sebagai esports, game-nya itu sendiri harus memang sudah menarik pada awalnya.

Mari kita coba melihat perjalanan League of Legends menjadi game esports global sebagai bentuk studi kasus proses sebuah game bisa sukses menjadi esports global. Dalam prosesnya menjadi seperti sekarang, League of Legends sebenarnya sudah populer sejak dari tahun-tahun awal perilisannya. Data milik statista.com mengatakan ada 15 juta pengguna aktif bulanan League of Legends pada dua tahun pasca game tersebut rilis tahun 2009.

Bagaimana League of Legends bisa muncul jadi lebih populer ketimbang custom game aslinya yaitu Defense of the Ancients (custom map untuk Warcraft III: The Frozen Throne)? Mungkin bisa dibilang karena League of Legends telah memenuhi dua faktor dari penjelasan milik Steffan Hauer di atas, yaitu permainan yang lebih sederhana dan durasi pertandingan yang cenderung lebih singkat.

Apabila dibandingkan dengan DotA, League of Legends tergolong lebih sederhana. Sederhana bagaimana? Pembagian role di League of Legends tergolong lebih jelas. Item di dalam League of Legends juga jarang bisa diaktifkan yang membuat pemain tidak perlu mengingat banyak kombinasi karakter dengan item. Selain itu, League of Legends juga membuat sistem fog of war jadi lebih sederhana dengan menghilangkan mekanik high ground dan low ground, mekanik siang dan malam, serta mengganti pohon-pohon menjadi semak untuk sembunyi. Karena lebih sederhana, League of Legends pun lebih bisa diterima oleh lebih banyak orang ketimbang Dota 2.

Lalu faktor kedua, durasi permainan dan kadar aksinya. League of Legends juga bisa dikatakan menjadi pionir yang berhasil membuat MOBA jadi punya durasi dan akhir permainan yang lebih pasti. Pada zamannya, satu permainan Defense of the Ancient berdurasi paling minimal sekitar 45 menit. Durasi tersebut masih bisa melar lagi apabila pertandingannya sengit. Sementara durasi paling minimal dari satu permainan League of Legends berdurasi sekitar 30 menit.

Soal kadar aksi pertandingan LoL dengan Dota 2 mungkin masih bisa diperdebatkan. Namun satu hal yang pasti adalah sistem ekonomi snowballing yang diterapkan di dalam game League of Legends membuat arah pertarungan menjadi lebih jelas, siapa yang unggul dan siapa yang kalah. Dalam sistem snowballing, tim yang kalah di awal-awal permainan akan punya kesempatan yang lebih kecil untuk membalikkan keadaan.

Sementara Dota menerapkan mekanisme rubber band di dalam permainannya. Sistem tersebut memang membuat tarik ulur permainan jadi lebih menarik, tetapi juga membuat arah pertarungan, dan sulit menebak kapan pertandingannya berakhir. Dalam sistem rubber banding keunggulan sebuah tim bisa dibalik begitu saja sehingga permainan jadi imbang lagi. Karenanya pertandingan Defence of the Ancients dan Dota 2 pada awal masanya punya durasi yang cenderung panjang bahkan kadang tidak jelas kapan akan berakhir.

Sebagai bukti dari opini di atas, saya pun mencoba googling “longest match in League of Legends” dan “longest match in Dota 2”. Hasilnya pun seperti yang saya perkirakan. Pertandingan League of Legends profesional terlama adalah pertandingan antara SKT vs Jin Air di LCK Spring 2018 yang berdurasi 1 jam 34 menit. Dota 2? Pertandingan terlamanya adalah antara Cloud9 vs ScaryFaceZ pada kualifikasi Starladder Season 12 (2015) yang berdurasi 3 jam 20 menit. Anda tidak salah baca, TIGA… Jam. Keduanya mungkin sama-sama menyajikan aksi tanpa henti. Tapi saya sih jadi mabok dan ingin pulang kalau harus menonton Dota 2 selama 3 jam.

Pada faktor ketiga, Steffan Heuer menyoroti soal perbedaan durasi musim kompetisi. Saya mengartikan poin tersebut sebagai format kompetisi yang tepat bagi olahraga permainan. Sejauh ini, apa yang dilakukan Riot Games terhadapi liga esports League of Legends memang tergolong luar biasa kalau dibandingkan dengan game-game lainnya.

Esports League of Legends dikelola dengan sangat serius oleh Riot Games yang membuatnya kini sudah hampir mirip-mirip dengan liga olahraga. Maksud saya mirip-mirip adalah jadwal pertandingan yang rutin, pasti, dan dengan jumlah pertandingan yang pas (tidak terlalu padat tapi tidak terlalu lengang juga). Karenanya tidak heran apabila League of Legends berhasil melanjutkan kesuksesannya, dari game yang banyak dimainkan orang-orang menjadi pertandingan esports banyak ditonton orang-orang dan berhasil mencatatkan 139 juta lebih total watch hours pada tahun 2020 lalu.

Faktor terakhir adalah soal keanekaragaman pemain bintang di dalam suatu liga olahraga. Pada poin tersebut, saya mengartikannya maksud pembahaasan Stefan Heuer sebagai bentuk investasi pihak terkait kepada skena-skena lokal. Dalam konteks bola basket vs bola baseball, video tersebut menjelaskan bagaimana investasi MLB sebagai pihak pertama di industri olahraga baseball Amerika Serikat terlalu fokus di negara itu saja. Sementara di sisi lain, NBA terus menerus mengembangkan pasarnya, salah satu contohnya yang disebut dalam video adalah dengan melakukan investasi ke Tiongkok .

Karenanya, bola basket jadi tergolong lebih populer (dan lebih menjual) secara internasional ketimbang baseball. Lebih banyak negara yang memainkan bola basket bisa diartikan semakin beragam pemain-pemain bintangnya dan semakin banyak penontonnya. Semakin beragam dan semakin populernya permainan tersebut, maka bola basket pun akan memiliki nilai jual yang lebih berharga. Sementara baseball? Heuer menjelaskan bahwa kebanyakan bintang bola baseball hanya berasal dan dikenal di Amerika Serikat saja.

Sumber: Riot Official Release
Bukan cuma di Eropa dan Amerika saja, League of Legends juga punya liga profesional untuk kawasan Asia Pasifik. Sumber: Riot Official Release

League of Legends mungkin menerapkan strategi yang serupa seperti yang dilakukan NBA, walaupun saya sebenarnya tidak tahu betul apakah Riot Games benar terinspirasi oleh NBA atau tidak. Hal tersebut terlihat dari bentuk investasi Riot Games terhadap esports League of Legends di berbagai belahan dunia, bahkan sampai spesifik ke beberapa negara.

Liga esports League of Legends terbesar dunia saat ini ada di empat kawasan, ada LEC di Eropa, LCS di Amerika Serikat, LCK di Korea Selatan, dan LPL di Tiongkok. Riot Games juga berinvestasi terhadap kawasan kecil yang punya potensi seperti PCS di SEA, Taiwan dan sekitarnya, OPL di kawasan Oceania (Australia dan Sekitarnya), LCL di kawasan CIS (Rusia, Ukraina, dan sekitarnya), NLC di Eropa Utara (Britania Raya, negara-negara nordik, dan sekitarnya), dan LLA di Amerika Latin. Selain kawasan kecil, Riot Games bahkan berinvestasi juga untuk negara-negara yang potensial seperti LJL di Jepang, VCS di Vietnam, TCL di Turki, dan CBLoL di Brazil.

Semua yang saya sebut barusan bahkan mungkin belum semuanya. Tetapi dari sana kita bisa melihat bagaimana Riot Games benar-benar serius mengembangkan League of Legends menjadi esports tingkat global. Dari bentuk investasi tersebut, jadi tidak heran kalau esports League of Legends bisa berkembang menjadi besar seperti sekarang.

 

Kenapa Beberapa Game Kurang Sukses Menjadi Esports

Setelah melakukan studi kasus dari League of Legends yang sukses besar dari game menjadi esports kelas dunia, sekarang mari kita juga melihat kenapa beberapa game tergolong kurang berhasil sebagai esports. Game yang saya jadikan contoh di sini adalah Pro Evolution Soccer dan Fighting Games.

Kenapa dua game tersebut saya pilih sebagai contoh? Alasannya adalah karena saya merasa kedua game tersebut sebenarnya sudah berhasil memenuhi dua faktor internal yang kita bahas di atas, namun entah kenapa posisinya sebagai esports justru tertutupi oleh game-game MOBA ataupun FPS.

Fighting game tergolong sederhana, walaupun mekanisme game tersebut tergolong sulit sekali apabila diselami lebih dalam. Tapi, bukankah kebanyakan game esports juga begitu? Mudah pada percobaan awal, namun akan semakin rumit apabila diselami lebih dalam. Tetapi fighting game bisa dibilang mudah kalau kita hanya sekadar main saja. Fighting game juga berdurasi pendek saat dipertandingkan dan punya aksi pertandingan yang seru.

Bagaimana dengan PES? Pada dasarnya PES adalah sepak bola yang dimainkan secara virtual. Gameplay PES adalah permainan sepak bola itu sendiri. Kalau ada 517 juta orang di dunia yang menonton pertandingan sepak bola, masa iya game sepak bola tidak bisa sukses sebagai esports?

Bram Arman (kiri). Sumber: Advance Guard
Bram Arman (kiri). Sumber: Advance Guard

Untuk itu saya pun berbincang dengan Valentinus Sanusi selaku founder Liga1PES dan Bram Arman yang kerap kali dianggap sebagai “sepuh” di komunitas game fighting (FGC) di Indonesia. Dari diskusi yang kami lakukan, saya menyimpulkan bahwa memang salah satu alasan kenapa dua game tersbut kurang sukses sebagai esports dunia adalah karena kurangnya investasi dari developer selaku pihak pertama. Faktor eksternal lainnya juga termasuk karena dua game tersebut dikembangkan oleh perusahaan Jepang, negara yang tergolong kurang tanggap mengadopsi model bisnis game free to play ataupun bisnis ekosistem esports. Selain itu ada juga beberapa faktor internal game-nya itu sendiri terutama dari segi akses.

Dalam hal game fighting, Bram Arman menceritakan bagaimana game fighting yang sangat bersifat community base jadi salah satu alasan FGC kalah besar dibanding game esports lain secara umum. “Sejauh yang saya tahu, esports mainstream berkembang pesat berkat penetrasi langsung dari 1st party (developer/publisher). Karenanya investasi esports yang dilakukan jadi tergolong langsung. Kalau FGC berbeda, justru 1st party muncul belakangan. Investasi 1st party juga hanya di negara maju saja. Karenanya di Indonesia sendiri, perkembangan FGC tergolong organik dengan bantuan yang minim dari 1st party.”

Memang kalau kita melihat perkembangan FGC, Evolution Championship Series yang sebenarnya berawal sebagai turnamen komunitas justru adalah lini terdepan dalam perkembangan esports game fighting ketimbang turnamen-turnamen yang dimulai oleh pihak pertama. Evolution Championship Series yang bahkan jauh lebih dulu ada di tahun 1995 ketimbang Capcom Pro Tour yang digagas pengembang Street Fighter mulai tahun 2013.

Lalu bagaimana dengan Pro Evolution Soccer? Kenapa game sepak bola tidak bisa menjual sebagai esports ketimbang dari olahraga sepak bola itu sendiri? Valen pun menjawab. “Kalau menurut saya salah satu alasannya adalah karena masyarakat esports itu sebenarnya berbeda dengan masyarakat sepak bola secara umum. Jadi dari apa yang saya amati, masyarakat sepak bola mayoritas itu belum tentu beririsan dengan pecinta esports. Jadi bisa dibilang pecinta sepak bola itu bukan tergolong esports enthusiasts.”

Valentinus Sanusi. Dokumentasi: Valentinus
Valentinus Sanusi. Dokumentasi: Valentinus

Lebih lanjut terkait maksud dari esports enthusiasts, Valen lalu menjelaskan. “Maksudnya esports enthusiasts di sini adalah bukan tipe orang yang akan mencari pertandingan esports ketika membuka media sosial ataupun YouTube. Karenanya masih perlu usaha yang cukup keras untuk menularkan antusiasme esports game sepak bola ke kalangan umum. Supaya penonton bola jadi menonton esports sepak bola.”

Mendengar penjelasan dari Valen, saya jadi teringat dengan konsep Social Media Bubble yang mengurung para penggunanya di dalam kelompok tertentu yang disukai. Jadi apabila kita bicara presensi secara digital, tidak heran kalau penggemar sepak bola bisa saja tidak kenal esports sepak bola atau bahkan mungkin tidak tahu menahu soal game sepak bola itu sendiri.

Selain itu saya juga menanyakan pendapat mereka terkait faktor internal atau daya tarik game-nya itu sendiri. Paragraf ketiga dari sub bagian ini adalah pendapat saya sendiri, tapi bagaimana dengan pendapat dari Bram dan Valen?

Dalam hal PES, saya juga sempat melihat video lain yang membahas alasan kenapa esports game sepak bola lainnya (yaitu FIFA) kurang sukses sebagai esports. Video tersebut mengatakan salah satu alasannya adalah karena gameplay FIFA terlalu melibatkan faktor luck di dalamnya. Maksudnya melibatkan faktor luck adalah karena dalam FIFA, orang yang memainkan game-nya hanya mengendalikan satu orang saja sementara 10 sisanya dikendalikan AI. Karenanya video tersebut menganggap outcome yang dihasilkan di dalam pertandingan game sepak bola terlalu banyak melibatkan keberuntungan. Bagaimana dengan PES?

Valen mengatakan. “Saya sangat tidak setuju terhadap pendapat tersebut. FIFA tahun ini baru merilis fitur kompetisi baru yaitu FUT co-op. Lalu sementara itu dari sisi PES sendiri kurang lebih malah lebih sudah sekitar 3 tahun lebih dulu menyajikan pertandingan co-op untuk esports. Bahkan saat ini ada juga pertandingan eFootball Pro dengan format 3 vs 3. Kedua, mungkin aspek luck mungkin memang ada, tapi proporsinya tentu sangat kecil dan hal tersebut adalah aspek-aspek eksternal yang menurut saya justru adalah bumbu dari sepak bola; secara virtual ataupun di dunia nyata sekalipun.”

Lalu bagaimana dengan fighting game? Bram juga mengatakan pendapatnya yang menjelaskan soal masalah akses para gamers terhadap game bergenre fighting secara umum. “Kalau menurut saya, salah satu alasan fighting game ketinggalan dibanding dengan game lain sebagai esports, salah satunya mungkin karena model bisnisnya yang konvensional. Kebanyakan game fighting mengharuskan pemainnya membayar sejumlah uang untuk memainkan game tersebut. Harganya pun bisa dikatakan bukan harga yang cukup terjangkau secara umum. Namun game fighting memang sempat menggratiskan permainannya, namun hanya sebagai free trial saja.” Bram menyoroti masalah akses kepada game fighting yang secara otomatis mempengaruhi jumlah pemain dari game fighting itu sendiri.

“Ditambah lagi learning curve game fighting juga saya rasa cenderung lebih sulit ketimbang game lain. Walau awalnya terasa mudah untuk pemula, tapi tingkat kesulitannya meningkat tajam apabila bermain secara high level play. Contoh paling sederhananya misalnya saja melakukan combo.” Tambah Bram.

Memang fighting game tergolong lebih sulit kalau dibandingkan dengan game-game lain. Sulit seperti apa? Bagaimana input tombol mempengaruhi output gerakan mungkin jadi salah satu contohnya. Game seperti MOBA atau shooter punya input yang sederhana, klik pada mouse dan tombol keyboard QWER untuk skill MOBA atau WASD untuk pergerakan game shooter. Fighting game tidak.

Dalam Tekken saja contohnya, menekan tombol kotak saja punya output berbeda dibandingkan dengan menekan tombol kotak ditambah tombol maju. Belum lagi jenis gerakan juga berbeda antara satu karakter dengan karakter yang lain. Belum lagi karakter yang satu mungkin punya input kotak + tombol maju, tapi karakter lain tidak. Karenanya Anda butuh memori yang kuat, kemampuan penentuan keputusan yang cermat, dan jari jemari yang tangkas apabila ingin sedikit lebih baik di dalam permainan fighting game. Lebih lengkapnya sempat saya bahas juga pada kesempatan sebelumnya soal keunikan fighting game yang membuatnya memiliki daya tarik tersendiri.

Lebih lanjut, pembahasan kami lalu beralih ke soal faktor eksternal. Dua game tersebut memeiliki satu kesamaan, dikembangkan oleh developer asal Jepang. Saya pun jadi bertanya, apakah hal tersebut menjadi faktor juga? Baik Bram dan Valen pun ternyata setuju bahwa salah satu alasan kenapa fighting game dan PES jadi kurang sukses sebagai esports karena faktor developer Jepang.

“Mungkin bisa dikatakan begitu.” Bram membuka pembahasan. “Jepang bahkan sempat punya undang-undang yang melarang hadiah uang untuk turnamen esports, kecuali dilakukan oleh 1st party. Organizer pihak ketiga hanya diperkenankan untuk memberikan hadiah merchandise saja.”

Valen lalu menambahkan. “Saya juga setuju kalau dikatakan developer Jepang tergolong terlambat di dunia esports, tentunya termasuk Konami. Menurut saya developer Jepang itu sudah terlambat bergerak, pergerakannya pun cenderung lambat. Terlalu banyak pertimbangan dari sisi perusahaan dan menurut saya juga kurang agresif soal esports. Contoh nyatanya, Pro Evolution Soccer di konsol dan mobile bahkan masih belum memiliki spectator mode sampai saat ini. Padahal fitur tersebut penting sekali untuk mendukung perkembangan ekosistem esports.”

Memang ada alasan tersendiri kenapa Jepang jadi negara yang terlambat  untuk memahami tren esports. Padahal, negara tersebut bisa dikatakan sebagai salah satu pusat perkembangan industri game. Alasan tersebut adalah karena polemik hubungan yakuza, pemerintah, dan hukum yang melarang perjudian di Jepang.

Artikel milik Imad Khan di ESPN menjabarkan asal usul pandangan negatif dari pemerintah Jepang terhadap tindakan perjudian. Dalam artikelnya Imad menceritakan bahwa salah satu awal mula dari semua hal tersebut adalah Nintendo Koppai (nama perusahaan Nintendo di zaman dulu). Perusahaan tersebut menciptakan mesin judi yang menggunakan teknologi video sekitar tahun 60an. Karenanya, pihak berwajib Jepang jadi mengartikan secara bebas dan melarang pertandingan video game karena dianggap sebagai bentuk lain perjudian. Akhirnya, esports pun jadi sulit sekali berkembang di Jepang dan bahkan kesulitannya bersifat struktural.

Sumber Gambar - JeSU Official
Sumber Gambar – JeSU Official

Turnamen yang mengenakan biaya pendaftaran kepada pesertanya dilarang pemerintah. Ditambah juga seperti apa yang dikatakan oleh Bram, turnamen gratis juga tidak boleh menyertakan uang tunai sebagai hadiah, hanya boleh menyertakan hadiah merchandise saja. Merchandise yang dihadiahkan juga dibatasi nilainya, yaitu sekitar US$1000 berdasarkan dari apa yang ditulis ESPN.

Kehadiran Japan eSports Union (JeSU) di tahun 2018 menjadi secercah harapan untuk menembus kebuntuan pengembangan esports di Jepang yang terjadi selama ini. Sebagai sarana legalisasi, JeSU membuat lisensi atlet esports untuk menentukan siapa-siapa saja yang berhak menerima hadiah uang tunai dari sebuah turnamen esports. Bahkan kehadiran JeSU dan peraturan soal lisensi pemain profesional itu saja masih sempat menjadi polemik, terutama saat Momochi (pro player Street Fighter V) mengutarakan kritiknya soal sistem yang diterapkan.

Menutup perbincangan, saya pun mencoba berandai-andai dengan kedua narasumber saya tersebut. Kalau saja pemerintah Jepang tidak melarang esports dan developer Jepang lebih gencar nan tanggap dengan tren, akankah esports fighting game dan Pro Evolution Soccer mampu menyaingi League of Legends, CS:GO, atau game esports lain yang juga populer?

“Pertanyaan ‘whati if’ yang menarik. Kalau ditarik ke masa lalu, menurut saya tentu saja sangat mungkin bagi game fighting.” Tutur Bram. “Sebagai genre game yang mudah dimengerti oleh masyarakat umum, saya cukup optimis PES atau game bergenre olahraga lainnya bisa bersaing dengan game esports yang populer.” Valen juga menyertakan pendapatnya.

 

Meramal Tren Game Esports Selanjutnya

Setelah membahas dan melihat studi kasus kenapa suatu game sukses besar sebagai esports dan kenapa game lainnya kurang sukses, pertanyaan selanjutnya mungkin adalah “game apa lagi yang akan jadi tren esports berikutnya?”

Jawaban atas pertanyaan tersebut bisa dibilang susah-susah gampang. Gampangnya bisa saja saya jawab bahwa game esports yang sukses berikutnya adalah game-game yang memiliki empat faktor di atas. Punya gameplay sederhana, durasi permainan yang singkat dengan aksi yang intens. Selain itu gamenya juga harus memiliki format kompetisi yang cocok dengan penontonnya dan dilengkapi dengan investasi sang developer terhadap skena-skena lokal.

Tetapi, menentukan game mana yang punya daya tarik sebenarnya juga cukup sulit. Kenapa? Menurut saya, karena video game tergolong sebagai industri kreatif, kita jadi tidak bisa menentukan resep sukses yang pasti. Kenapa tidak bisa? Kalau menurut opini saya, karena selera masyarakat terhadap karya intelektual itu sulit ditebak.

Tidak usah jauh-jauh, siapa yang mengira bahwa genre MOBA dan Battle Royale bisa menjadi sepopuler seperti sekarang? Bahkan kalau kita melihat ke belakang, kita bisa melihat ada beberapa genre game yang dulu menjadi idola namun sudah mulai ditinggal oleh gamers zaman sekarang. Genre RTS dari game seperti StarCraft atau MMORPG dari game seperti Ragnarok Online misalnya.

Jangankan esports, selera masyarakat di ranah olahraga saja juga tidak ada rumus pastinya. Seperti yang disebut di awal video milik Athletic Interest. Walaupun setengah populasi dunia keranjingan sepak bola, tetapi beberapa negara tetap punya olahraga favoritnya tersendiri seperti panahan di Bhutan, ski di Austria, gulat di Mongolia, atau mungkin juga seperti badminton di Indonesia. Contoh lain yang mungkin terasa lebih aneh, Anda bisa lihat video kompetisi orang kuat di bawah ini yang secara mengejutkan punya banyak penonton dan berhasil membuat para penontonnya jadi heboh.

Lalu kalau bicara soal faktor ketiga dan keempat, prediksi trennya mungkin akan jadi lebih rumit lagi. Game-game terbaru Riot Games mungkin saja akan jadi tren esports baru lainnya. Kenapa? Salah satunya adalah dari bagaimana Riot Games memandang esports sudah bukan lagi cuma sekadar sarana marketing tetapi sebagai bentuk model bisnis.

Tetapi hal tersebut saja juga tidak bisa dijadikan patokan. Walaupun Riot Games berkomitmen dengan sungguh-sungguh mengembangkan esports Wild Rift atau VALORANT, apakah mungkin dua game tersebut menggeser game sudah lebih dahulu ada? Banyak pertanyaan muncul, tapi kita baru membahas satu. Bagaimana misalnya ada developer yang mungkin antah berantah tapi punya modal besar untuk mengembangkan esports? Akankah game tersebut bisa mengalahkan pasar yang sudah ada saat ini?

Namun saya berharap pembahasan terhadap empat faktor yang disebut oleh Steffan Heuer setidaknya bisa menjadi referensi atau kerangka bagi Anda yang mungkin ingin berinvestasi di esports, entah sebagai pelaku bisnis ataupun sebagai brand yang ingin mensponsori esports.

Cinta Segitiga antara Game, Anime, dan Esports

Di Jepang, anime biasanya dibuat berdasarkan pada manga yang populer. Dan jika sebuah manga memang sangat populer, tidak tertutup kemungkinan ia akan diangkat ke media lain, seperti game. Misalnya, Dragon Ball. Ada berapa banyak anime dan game yang dibuat berdasarkan seri legendaris buatan Akira Toriyama itu? Sekarang, industri game juga terikat erat dengan industri lain yang sama sekali baru, yaitu esports. Mengingat eratnya hubungan antara industri game dan anime, apakah hal itu berarti sudah pasti ada tempat untuk esports?

 

Antara Game, Anime, dan Esports 

Minggu lalu, Team Liquid mengumumkan bahwa mereka punya koleksi pakaian baru. Berbeda dengan merchandise mereka lainnya, koleksi pakaian terbaru Team Liquid merupakan hasil kolaborasi dengan Naruto Shippuden. Di Twitter, pengumuman kolaborasi Team Liquid dengan Naruto mendapatkan sambutan meriah, terbukti dengan 7 ribu retweets dan 29 ribu likes. Sebagai perbandingan, ketika LA Thieves mengumumkan seragam baru mereka di Twitter, mereka hanya mendapatkan 268 retweets dan 3,2 ribu likes. Hal ini menjadi salah satu bukti bahwa fans esports sangat menyukai anime.

Sayangnya, hubungan antara pelaku industri esports dan anime layaknya cinta bertepuk sebelah tangan. Saat ini, tidak banyak kolaborasi antara industri esports dengan anime. Padahal, esports punya kaitan erat dengan industri game dan kolaborasi antara industri game dan anime telah berlangsung sejak lama. Anime pertama yang diadaptasi dari game adalah Super Mario Bros.: Peach-Hime Kyushutsu Dai Sakusen! Anime berdurasi 1 jam tayang pada 1986.

Sementara itu, pada 1988, game Astro Boy — yang didasarkan pada anime dengan judul yang sama — dirilis untuk platform PC. Game itu merupakan salah satu game yang diadaptasi dari anime pertama. Sejak saat itu, ada banyak game yang diangkat dari anime populer, seperti Dragon Ball, Evangelion, Fullmetal Alchemist, Inuyasha, Initial D, Naruto, One Piece, dan bahkan Doraemon. Jumlah anime yang didasarkan pada game juga tidak kalah banyak, di antaranya adalah Devil May Cry, Fatal Fury, Kingdom Hearts, Street Fighter, Virtua Fighter, dan Final Fantasy XV.

Tak berhenti sampai di situ, jumlah anime yang mengangkat tema game, termasuk trope masuk ke dalam dunia game, juga tidak sedikit. Sebut saja Overlord, Sword Art Online, Log Horizon, No Game No Life, serta .hack. Dan walaupun gamer anime tidak masuk dalam dalam daftar anime paling populer, anime Sword Art Online masih berlanjut hingga sekarang. Padahal, season pertama dari anime Sword Art Online ditayangkan pada 2012. Hal ini menunjukkan, selama 8 tahun, anime Sword Art Online — yang merupakan gamer anime — masih cukup diminati.

Selain game, anime juga sering mengangkat tema olahraga, mulai dari olahraga populer, seperti sepak bola, basket, dan baseball, sampai olahraga yang tak terlalu diminati, seperti voli, balap sepeda, atau bahkan american football. Dan esports sendiri kini semakin diakui sebagai olahraga. Meskipun begitu, hampir tidak ada anime yang mengangkat tema esports. Sejauh ini, satu-satunya anime yang mengambil tema esports adalah High Score Girl. Anime itu dirilis pada 2018. Hanya saja, anime tersebut mengambil setting pada 1991. Jadi, jangan harap Anda akan melihat ekosistem esports yang sudah berkembang seperti sekarang.

Saat ini, satu-satunya animasi yang bercerita tentang pemain esports adalah Quan Zhi Gao Shou atau The King’s Avatar. Hanya saja, The King’s Avatar — yang tersedia dalam bentuk komik, animasi, dan bahkan live action — merupakan produk buatan Tiongkok. Di sisi lain, Netflix juga baru saja mengumumkan seri anime Dota: Dragon’s Blood. Seri yang didasarkan pada Dota 2 itu akan diluncurkan pada 25 Maret 2021. Meskipun diklaim sebagai “anime“, Dragon’s Blood ditangani oleh Studio MIR, studio asal Korea Selatan yang juga pernah membuat The Legend of Korra dan Voltron: Legendary Defender.

Dua contoh di atas menunjukkan, jika dibandingkan dengan Jepang, Tiongkok dan Korea Selatan lebih cepat mengadopsi budaya esports, termasuk dalam membuat komik dan animasi bertema competitive gaming. Tak hanya masyarakatnya, pemerintah Jepang juga terbilang lambat untuk mendukung indsutri esports. Mereka baru mengungkap rencana mereka untuk mengembangkan industri esports pada Mei 2020.

"Kota Esports" yang dibuat oleh pemerintah Hangzhou. | Sumber: Esports Insider
“Kota Esports” yang dibuat oleh pemerintah Hangzhou. | Sumber: Esports Insider

Sebagai perbandingan, Hangzhou — kota di Tiongkok yang dikenal dengan industri pariwisatanya — telah membuka “kota esports pada November 2018. Tidak tanggung-tanggung, pemerintah Hangzhou menghabiskan RMB2 miliar (sekitar Rp4,3 triliun) untuk membuat kota esports seluas 3,94 juta kaki persegi itu. Tak hanya pemerintah kota, pemerintah pusat Tiongkok juga menunjukkan kepedulian pada esports. Pada Februari 2019, Beijing mengakui pemain esports sebagai profesi resmi. Di Indonesia, pada April 2019, Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa pemerintah akan mendukung industri esports dengan membangun infrastruktur digital. Dalam Piala Presiden 2019, esports juga sudah menjadi salah satu cabang yang diadu.

Kenapa Jepang lambat mengadopsi budaya esports padahal jumlah gamer mereka mencapai lebih dari setengah populasi? Salah satu alasannya adalah karena kebanyakan game yang dimainkan oleh gamer Jepang — baik pemain mobile maupun konsol — adalah game single-player. Karena kebanyakan game yang dimainkan oleh pemain Jepang adalah game single-player, maka pertumbuhan ekosistem esports di sana pun tidak sepesat di negara-negara lain yang para gamers-nya hobi bermain game multiplayer kompetitif.

Jumlah gamer profesional bisa menjadi salah satu tolok ukur untuk melihat pertumbuhan ekosistem esports di sebuah negara. Menurut Statista, pada 2019, jumlah gamer profesional di Jepang hanya mencapai 578 orang. Sementara di Tiongkok dan Korea Selatan, jumlah gamer profesional lebih dari seribu orang. Memang, Tiongkok punya populasi yang jauh lebih besar daripada Jepang. Pada 2019, populasi Tiongkok hampir mencapai 1,4 miliar orang sementara jumlah penduduk Jepang hanya mencapai 126 juta orang. Meskipun begitu, populasi Korea Selatan jauh lebih sedikit dari Jepang. Pada 2019, jumlah penduduk Korea Selatan 51,7 juta orang. Hal ini berarti, jumlah gamer profesional di satu negara tidak hanya dipengaruhi oleh besarnya populasi.

Jumlah gamer profesional di setiap negara pada 2019. | Sumber: Statista
Jumlah gamer profesional di setiap negara pada 2019. | Sumber: Statista

Bukti lainnya, Amerika Serikat menjadi negara dengan jumlah gamer profesional terbanyak — mencapai lebih dari 5 ribu orang — walau jumlah penduduk mereka hanyalah 328 juta orang, tidak sampai dari setengah populasi Tiongkok.

 

Keuntungan Kerja Sama Organisasi Esports dan Anime

Jika perkembangan ekosistem esports di Jepang terbilang lambat, kenapa kolaborasi antara Team Liquid dan Naruto menjadi menarik untuk dibicarakan? Alasannya sederhana: karena penonton esports dan anime punya karakteristik yang mirip.

“Saya lebih heran kenapa baru sekarang,” kata Irliansyah Wijanarko Saputra, Chief Growth Officer, RevivalTV, mengungkapkan pendapatnya soal kerja sama Team Liquid dengan Naruto. “Esports sudah bukan cuma pertandingan game atau mainan anak-anak saja, tapi sudah jadi lifestyle untuk generasi milenial dan di bawahnya. Jadi, wajar kalau Naruto atau anime, yang merupakan bentuk hiburan yang sudah ‘dimaklumi’ generasi milenial dan di bawahnya, kerja sama dengan organisasi esports.”

Irli membandingkan kerja sama antara Team Liquid dan Naruto dengan kolaborasi antara perusahaan otomotif dan golf. “Ada stick golf BMW, atau brand Gucci atau LV yang membuat sepeda. Hal in iterjadi karena golf dan sepeda memang hiburan dan bagian dari gaya hidup generasi di atas kita,” ungkapnya.

Sementara itu, Shoutcaster, Wibi “8KEN” Irbawanto mengatakan, walau demografi penonton esports dan anime tidak persis sama, keduanya punya banyak kesamaan. “Melihat effort yang dikeluarkan dari tim dan publisher game untuk membuat cross-content, seperti League of Legends dengan skin Sailor Moon-nya atau CS:GO dengan skin muka karakter anime, tidak bisa dipungkiri bahwa demografi industri esports dan anime memang banyak bersinggungan.”

Bicara soal demografi, rata-rata umur penonton esports di AS adalah 28 tahun, menurut laporan GameScape dari Interpret pada 2017. Sementara 39% dari penonton esports ada di rentang umur 25-34 tahun. Jika dibandingkan dengan demografi penonton esports, target penonton anime jauh lebih luas. Anime menargetkan penonton segala umur, mulai dari anak-anak sampai orang dewasa. Karena itu, anime bahkan dikategorikan berdasarkan gender dan umur. Misalnya, kategori shounen dan shoujo, yang menyasar remaja umur 12-18 tahun, seinen dan josei yang menyasar penonton di umur 18-40 tahun, dan kodomo, yang ditujukan untuk anak-anak di bawah umur 10 tahun. Meskipun begitu, seperti yang disebutkan oleh Irli dan Wibi, ada singgungan antara penonton esports dan anime.

Apa artinya?

Dalam dunia marketing, ada istilah “targeting in marketing“, yang mengacu pada strategi untuk fokus pada segmen konsumen yang spesifik. Salah satu tujuannya adalah untuk meningkatkan angka penjualan. Sebagai ilustrasi, jika Anda menjual cokelat menjelang Hari Valentine, Anda akan mendapatkan untung lebih besar jika Anda menjajakan cokelat pada orang-orang yang sudah punya kekasih daripada jualan di depan para jomlo. Karena, orang yang sudah punya kekasih akan lebih membutuhkan cokelat.

Hal yang sama juga berlaku untuk esports dan anime. Fans esports dan anime punya “bahasa yang sama”, seperti yang disebutkan oleh Irli. Hal itu berarti, fans esports punya kemungkinan lebih besar untuk menonton anime atau membeli merchandise anime. Begitu juga sebaliknya. Fans anime lebih cenderung tertarik untuk menonton konten esports. Menurut Irli, fans anime punya kemungkinan lebih besar untuk suka dengan esports karena konten esports biasanya menampilkan konsep “journey to become a hero“, konsep yang sering diusung oleh kebanyakan anime, khususnya shounen, seperti Naruto.

Bagi organisasi esports, salah satu keuntungan yang didapat dari berkolaborasi dengan anime ternama adalah brand exposure. Dengan membuat pakaian bertema Naruto, Team Liquid dapat mengekspos brand mereka pada fans Naruto dan anime secara umum.

“Kolaborasi Team Liquid dengan salah satu brand terbesar di dunia anime, Naruto, harusnya dapat menarik massa untuk membeli jaket Team Liquid yang baru,” kata Wibi. “Dalam proses tersebut, orang-orang yang mengakses store Team Liquid juga akan terekspos dengan produk-produk Team Liquid lainnya, dan yang terekspos karena berbondong-bondong di-share orang-orang melalui sosial media juga akan terekspos dengan brand Team Liquid.”

 

Potensi Kolaborasi Antara Organisasi Esports Indonesia dengan Anime

Ketika ditanya apakah organisasi esports lokal bisa mengikuti jejak Team Liquid, Irli menjawab, “Tinggal tunggu waktu saja sih, menurutku.” Lebih lanjut, dia membahas tentang tantangan yang harus dihadapi oleh tim esports Indonesia jika mereka memang ingin mengadakan kolaborasi dengan anime. “Penghalangnya adalah kesulitan untuk mendapatkan akses ke pihak yang punya lisensi anime-nya. Dan dari pihak anime, kalau kerja sama dengan agency di Indonesia, biasanya berupa acara komunitas dan nobar gitu,” ungkap Irli.

Irli menyebutkan, jalan yang paling memungkinkan bagi organisasi esports lokal untuk menggandeng franchise anime adalah melalui Dentsu, perusahaan iklan dan PR Jepang yang juga membuka cabang di Indonesia. “Paling mentok, masuk lewat Dentsu. Dan dari Dentsu Indonesia yang milih untuk menghubungkan sama tim esports,” ujarnya.

Jika organisasi esports Indonesia ingin menjalin kerja sama dengan franchise anime, tantangan lain yang harus mereka hadapi adalah mereka harus menyiapkan strategi aktivasi yang baik. Pasalnya, jelas Irli, kerja sama dengan pelaku esports biasanya tidak akan berbuah manis dalam waktu pendek. Jadi, organisasi esports Tanah Air harus bisa meyakinkan pemegang lisensi anime untuk menjalin kerja sama dalam jangka waktu panjang. Sementara saat ini, satu-satunya konsep kerja sama antara tim esports dan anime yang paling masuk akal adalah kolaborasi apparel, seperti yang dilakukan oleh Team Liquid dengan Naruto.

Kaos hasil kolaborasi antara Team Liquid dan Naruto.
Kaos hasil kolaborasi antara Team Liquid dan Naruto.

Sementara jika organisasi esports lokal mencoba untuk bekerja sama dengan franchise komik atau animasi lokal, hal ini justru akan memberatkan pelaku esports itu sendiri. Irli mengatakan, saat ini, esports masih lebih populer dari komik lokal. “Jadi tidak equal kalau mengadakan kerja sama bisnis,” katanya. “Ya, bisa tetap jalan, tapi lebih ke tim esports dukung komik lokal dan bukan sebaliknya.”

Meskipun begitu, Irli menyebutkan, tidak tertutup kemungkinan, tim esports lokal bekerja sama dengan komikus atau animator Indonesia untuk membuat intellectual property yang sama sekali baru. “Misalnya, ada plan untuk membuat komik dan universe-nya sebagai bagian dari bisnis di masa depan,” katanya. “Bisa saja, tim esports kerja sama dengan komikus lokal sebagai bagian dari marketing IP baru tersebut.”

 

Kesimpulan

Game dan anime layaknya pasangan yang sempurna, a match made in heaven. Keduanya saling melengkapi. Kolaborasi keduanya juga sudah berlangsung selama berpuluh-puluh tahun. Mengingat esports merupakan turunan dari industri game, seharusnya, mengadakan kerja sama antara pelaku esports dan anime bukanlah hal yang sulit, kan? Salah.

Sayangnya, sejauh ini, tidak banyak kerja sama antara pelaku industri esports dan anime. Salah satu alasannya adalah karena di Jepang, ekosistem esports memang tidak tumbuh sepesat di negara-negara lain, seperti Tiongkok, Korea Selatan, atau Amerika Serikat. Meskipun begitu, Team Liquid telah membuka jalan dengan kolaborasinya bersama Naruto Shippuden. Di atas kertas, kerja sama itu seharusnya berbuah manis. Karena, penonton esports dan anime punya beberapa kemiripan.

Meskipun begitu, sukses atau tidaknya kolaborasi dari Team Liquid akan terlihat dari seberapa laku koleksi apparel terbaru mereka. Jika kerja sama itu memang terbukti sukses, tentunya akan ada semakin banyak organisasi esports yang mengikut jejak Team Liquid.

Skema Ekosistem Esports Indonesia: Mobile Legends dan PUBG Mobile

Pada kesempatan kali ini saya akan mencoba membahas lebih lanjut seputar apa-apa saja yang ada di dalam ekosistem esports Indonesia dengan menggunakan game PUBG Mobile dan MLBB sebagai contoh. Selain itu saya juga akan mencoba menjelaskan bagaimana cara kerja ekosistem tersebut dengan harapan dapat membantu brand (sponsor), pemain, ataupun Anda yang ingin memulai bisnis esports yang membaca artikel ini.

Ekosistem esports, walau istilah tersebut sering kami gunakan di artikel-artikel Hybrid.co.id, namun kami belum sempat menjelaskannya terperinci. Secara umum, ekosistem esports bisa diartikan sebagai berbagai elemen dengan ragam fungsinya yang membuat roda gigi bisnis esports terus berjalan. Elemen ekosistem yang paling umum dikenal mungkin adalah sang pembuat game, tim esports, sponsor, dan turnamen. Tetapi apakah ekosistem esports hanya empat elemen itu saja?

 

Membedah Ragam Elemen yang Ada di Ekosistem Esports MLBB dan PUBG Mobile Lokal

Ada alasan tertentu dua game tersebut saya pilih sebagai contoh. Salah satunya adalah karena perkembangan ekosistsem dua game tersebut tergolong pesat di Indonesia. Dua game tersebut juga dapat dikatakan sebagai dua game esports terbesar di Indonesia. Sebagai salah salah satu bukti, Anda bisa baca artikel saya sebelumnya. Saya sempat membahas bagaimana penonton MPL ID yang jumlahnya menyalip liga LoL Korea dan bagaimana jumlah penonton tayangan turnamen PUBG Mobile tingkat internasional didominasi oleh penonton tayangan berbahasa Indonesia.

Ada apa saja di dalam ekosistem esports MLBB dan PUBG Mobile Indonesia? Elemen-elemen ekosistem esports MLBB dan PUBG Mobile Indonesia kurang lebih seperti apa yang pada gambar di bawah. Elemen yang saya jajarkan di bawah ini adalah ekosistem inti yang fungsinya hampir tidak tergantikan.

Akbar Priono - Hybrid.co.id
Ekosistem Inti yang berputar di sekitar game PUBG Mobile dan Mobile Legends Bang Bang. Akbar Priono – Hybrid.co.id

Posisi paling kiri adalah elemen terpenting dari ekosistem esports, yaitu sang pembuat game. Moonton memegang peran ganda untuk game Mobile Legends: Bang-Bang. Moonton adalah perusahaan yang membuat (developer) dan memasarkan (publisher) game MLBB.

Sementara itu PUBG Mobile berbeda. Tencent Games di Indonesia hanya mengambil peran sebagai pemasar (publisher) game PUBG Mobile saja. Sementara itu di PUBG Mobile ada Lightspeed & Quantum berperan sebagai pembuat (developer) game PUBG Mobile yang merupakan salah satu anak perusahaan Tencent Games juga.

Bergeser ke kanan kita melihat ada turnamen, elemen terpenting kedua di dalam ekosistem. Sejauh perkembangannya, turnamen esports dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis yaitu turnamen 1st party yang digagas oleh developer/publisher dan turnamen 3rd party yang digagas oleh komunitas ataupun pelaku bisnis esports. Lalu siapa yang tergolong sebagai 2nd Party? Kalau pakai analogi produsen dan konsumen, maka 2nd party adalah para pemain.

Hanya ada dua turnamen yang digagas oleh 1st party di dalam ekosistem MLBB. Turnamen tersebut adalah Mobile Legends Profesional League Indonesia (MPL ID) selaku liga utama dan Mobile Legends Developmental League Indonesia (MDL ID) selaku liga kedua.

Pertandingan Mobile Legends ibarat seperti sepak bola. Dua tim berisikan 5 pemain saling tanding sampai salah satunya berhasil menghancurkan bangunan inti yang ada di dalam game.

MPL ID dan MDL ID memiliki dua babak yang menggunakan format berbeda. Ada babak Regular Season yang dipertandingkan dengan format grup round-robin dan ada babak Playoff yang dipertandingkan dengan format bracket. Kalau dibandingkan dengan olahraga, format liganya kurang lebih mirip seperti liga bola basket NBA.

Selanjutnya adalah PUBG Mobile. Ekosistem PUBG Mobile punya lebih banyak jenis turnamen yang digagas oleh pihak 1st party. Liga utama PUBG Mobile Indonesia adalah PUBG Mobile Professional League (PMPL ID), diikuti liga kasta kedua yaitu PUBG Mobile Indonesia National Championship (PINC), dan liga kasta ketiga dalam bentuk PUBG Mobile Club Open (PMCO) serta PUBG Mobile Community Cup (PCC).

Selain empat kompetisi di atas, ekosistem PUBG Mobile juga punya dua pertandingan lain yang dikhususkan untuk segmentasi tertentu. Para mahasiswa punya turnamen khusus yang bernama PUBG Mobile Campus Championship (PMCC). Para perempuan juga punya turnamen khusus yang biasanya digabungkan ke dalam rangkaian PINC.

Hampir semua pertandingan PUBG Mobile bisa disebut memiliki format liga, karena tidak mungkin menggunakan format bracket dalam pertandingan esports Battle Royale. Berbeda dengan Mobile Legends, PUBG Mobile mempertandingkan 16 tim sekaligus di dalam satu pertandingan. Karena itu, 16 tim tersebut biasanya bertanding dalam beberapa ronde di dalam satu hari pertandingan. Kalau diibaratkan olahraga, format liga Battle Royale mungkin mirip seperti pertandingan olimpiade cabang atletik.

Klasifikasi turnamen kedua adalah turnamen 3rd party atau turnamen yang digagas oleh pihak ketiga. Pihak ketiga bisa jadi siapa saja, bahkan bisa jadi perusahaan yang bisnis utamanya tidak berhubungan dengan esports.

Turnamen esports yang dilakukan sebagai sarana soft-launching coffee shop pun sebenarnya tergolong sebagai turnamen esports pihak ketiga. Namun pihak ketiga yang tidak berhubungan langsung dengan esports biasanya hanya membuat turnamen esports sesekali atau satu kali saja dengan skala yang cenderung kecil. Daftar turnamen pihak ketiga yang saya sertakan pada daftar di atas adalah turnamen pihak ketiga yang tergolong rutin dan punya skala cukup besar.

Turnamen Dunia Games (DG) contohnya. Dunia Games (DG) adalah brand yang digagas oleh Telkomsel demi menarik minat konsumen pada segmentasi gaming. Walaupun bisnis utamanya adalah jasa telekomunikasi, namun esports akhirnya jadi salah satu ujung tombak Telkomsel untuk menarik minat anak muda menggunakan jasanya.

Saat ini DG tergolong cukup rutin mengadakan turnamen atas beberapa game esports dan bisa dikatakan sebagai salah satu bagian ekosistem PUBG Mobile. Beberapa contoh turnamen pihak ketiga yang digagas oleh Telkomsel termasuk DG Waktu Indonesia Bermain (DG WIB), DG League (DGL), dan Indonesia Games Championship (IGC).

Dokumentasi Hybrid - Akbar Priono
Dokumentasi Hybrid – Akbar Priono

Tiga turnamen tersebut adalah turnamen untuk umum yang dapat diikuti oleh siapapun. Ada beberapa pihak ketiga yang mencoba menyasar segmentasi yang spesifik. Seperti Ligagame yang menyelenggarakan IEL University Series untuk mahasiswa ataupun Indonesia Gaming League (IGL) yang menyelenggarakan Women Star League (WSL).

Setelah turnamen, ada event organizer (EO). Mungkin Anda sedikit bingung, “mengapa ada event organizer setelah turnamen?” Jawabannya adalah karena tidak semua pihak yang menggagas turnamen esports punya kemampuan teknis untuk menyelenggarakan sebuah turnamen. Contohnya turnamen milik Dunia Games. Telkomsel adalah perusahaan telekomunikasi. Jadi rasanya sih tidak heran kalau perusahaan tersebut tidak memiliki keahlian dalam menyelenggarakan turnamen esports.

Karenanya bisnis EO (saya menyebutnya esports organizer) menjadi salah satu elemen penting yang cukup menjanjikan. Mineski Indonesia bisa jadi adalah salah satu esports organizer paling terpercaya sejauh ini. Mineski Indonesia adalah sosok di balik layar dari beberapa turnamen esports besar di Indonesia. Termasuk turnamen 1st party seperti MPL ID dan PMPL ID ataupun turnamen 3rd party seperti DG League.

Esports organizer terkadang juga menggelar turnamen mereka sendiri dengan harapan dapat menjadi media bagi sponsor untuk mempromosikan brand mereka. IEL University Series dan WSL adalah contohnya, dua turnamen yang masing-masing diselenggarakan oleh Ligagame dan Indonesia Gaming League (IGL).

Selanjutnya ada talent management. Elemen tersebut tergolong cukup baru ada di ekosistem esports Indonesia sebagai reaksi atas pesatnya perkembangan esports belakangan. Dalam konteks sebuah turnamen esports, talent management biasanya berperan dalam menyalurkan talenta yang dibutuhkan seperti shoutcasters, influencers, atau mungkin cosplayer.

Tiga talent management yang saya tuliskan di atas bisa dibilang sebagai tiga yang paling dominan dan memiliki keterkaitan dengan MLBB dan PUBG Mobile. Revival Talent Management adalah salah satu pemasok talenta shoutcasters di turnamen MPL, sementara Mineski Talent pemasok talenta di turnamen PMPL. Pada sisi lain, WHIM merupakan talent management milik EVOS dengan beberapa influencers ternama di dua ekosistem game tersebut.

Terakhir adalah tim. Sebelum berkembang seperti sekarang, dahulu peserta kompetisi esports biasanya hanya berisi sekolompok gamers yang tidak dikelola secara profesional. Seiring perkembangan, mulai muncul sebuah organisasi yang mengelola tim-tim secara profesional tersebut agar dapat lebih berprestasi dan tentunya harapan mendapatkan keuntungan finansial bagi organisasi terkait. Tim esports yang saya tulis di atas saya kelompokkan menjadi beberapa.

Hal tersebut saya lakukan karena liga MPL yang bersifat tertutup. Seperti yang Anda lihat, ada beberapa nama yang saya sebut dua kali seperti EVOS Esports dengan EVOS Legends. Tim tersebut sebenarnya dikelola oleh satu organisasi yang sama (EVOS), namun diberi tambahan kata yang berbeda sebagai branding untuk membedakan tim divisi game satu dengan lainnya.

Tim yang saya tulis di atas saya kelompokan berdasarkan liga kasta utama yang diikuti. Seperti 8 tim paling atas adalah peserta liga franchise MPL, diikuti oleh 3 tim di luar franchise yang jadi peserta MDL, lalu ada tim-tim peserta PMPL Indonesia, dan terakhir adalah organisasi-organisasi esports lainnya di Indonesia yang masih memiliki hubungan dengan ekosistem esports terkait namun tidak turut bertanding di liga kasta utama.

Akbar Priono - Hybrid.co.id
Ragam ekosistem suplemen yang tetap dibutuhkan di bisnis esports modern, namun bisa jadi tidak dibutuhkan dalam kasus tertentu (turnamen esports komunitas misalnya). Akbar Priono – Hybrid.co.id

Setelah dari ekosistem inti yang saya sebut di atas, ada ekosistem yang tergolong suplemen yang bisa Anda lihat di atas gambarkan di atas. Mereka tergolong ekosistem suplemen karena penyelenggara turnamen bisa saja tidak memanfaatkan elemen terkait untuk turnamen yang akan diselenggarakan.

Fungsinya bisa dibilang sudah cukup jelas berdasarkan dari masing-masing kelompok. Streaming platform berperan untuk menyajikan turnamen kepada para penggemar. Tournament platform biasanya adalah sebuah software yang memudahkan pendaftaran peserta dan pembuatan bracket turnamen. Online media adalah media massa yang kini menggunakan basis teknologi entah itu website ataupun video. Brand adalah para sponsor yang menjadi penyokong dari berjalannya turnamen-turnamen esports. Bagian terakhir adalah kategori lain-lain yang ada di Indonesia namun masih minim pemain. Coaching platform adalah penyedia jasa pelatihan menjadi pemain profesional. Esports facilities adalah penyedia jasa fasilitas yang fokus kepada esports.

Lalu kalau mereka memang tergolong ekosistem suplemen, bagaimana contoh turnamen esports yang tidak memanfaatkan elemen-elemen tersebut? Mari kita kembali berandai-andai apabila coffee shop ingin mengadakan turnamen esports. Misalnya tujuan mereka cuma ingin mempromosikan coffee shop di daerah sekitar saja, maka mereka bisa dan boleh saja mengadakan turnamen esports tanpa menggunakan elemen-elemen yang barusan saya jabarkan.

Turnamen bisa tidak di-stream, tidak menggunakan teknologi platform tertentu, tidak membutuhkan media untuk memberitakan turnamennya, tidak butuh sponsor dari pihak ketiga, apalagi membutuhkan elemen yang lain-lain. Kenapa jadi tidak butuh? Kembali lagi kepada tujuan sang penyelenggara, yang dalam penjelasan ini adalah hanya untuk mempromosikan coffee shop ke daerah sekitar.

Namun demikian mereka akan selalu menggunakan elemen-elemen inti yang dibahas sebelumnya, walau mungkin digantikan dengan menggunakan alternatif-alternatif yang tidak bersifat profesional. Tetap butuh game buatan developer untuk dipertandingkan, tetap butuh turnamen dengan format yang jelas, tetap butuh organizer dan talent walau bisa saja dikerjakan oleh pegawai coffee shop, serta butuh tim peserta yang bertanding.

 

Liga Tertutup dan Liga Terbuka

Seiring dengan perkembangannya, esports pun mulai mencoba mengadopsi sistem liga yang ada di olahraga. Ada sistem terbuka dan sistem tertutup. Sistem terbuka punya model seperti liga sepak bola. Sementara sistem tertutup banyak diadopsi di liga olahraga Amerika Serikat, salah satunya liga bola basket NBA. Pembahasan lebih mendalam seputar liga tertutup atau liga franchise bisa Anda baca pada pembahasan saya di tautan berikut ini.

Liga tertutup dan liga terbuka memberi pengaruh terhadap cara kerja ekosistem esports secara keseluruhan. MLBB dan PUBG Mobile menganut dua sistem yang berbeda. MLBB menganut sistem tertutup sementara PUBG Mobile menganut sistem terbuka.

Bagaimana pengaruh dari perbedaan model terhadap elemen-elemen yang ada di ekosistem. Mari kita bedah dari ekosistem MLBB. Sistem liga tertutup memberi pengaruh yang sangat besar kepada tim dan jenjang turnamen. Sejauh yang saya tahu, tim yang bertanding di liga MPL adalah tim yang memenuhi 2 syarat: lolos seleksi administratif dari pihak pertama (Moonton) dan dapat membayar biaya franchise yang dikabarkan sekitar US$1 milyar.

Bentuk turnamen tertutup dalam ekosistem MLBB. Tim hanya dapat bertanding setelah mendapat izin dari Moonton. Akbar Priono - Hybrid.co.id
Bentuk turnamen tertutup dalam ekosistem MLBB. Tim hanya dapat bertanding setelah mendapat izin dari Moonton. Akbar Priono – Hybrid.co.id

Delapan tim yang bertanding di MPL saat ini adalah tim yang memenuhi 2 syarat tersebut. Mereka akan terus bertanding di liga utama selama durasi yang disepakati oleh pihak pertama (Moonton) dan pihak kedua (tim). Terus bertahan di dalam liga adalah satu perbedaan utama antara liga terbuka dengan liga tertutup.

Lalu apakah tim komunitas bisa masuk ke dalam MPL? Bisa saja. Namun Anda tidak bisa masuk liga utama hanya bermodal jago saja. Anda harus punya kemampuan bisnis dan memiliki modal untuk bisa memenuhi syarat di atas.

PUBG Mobile mengadopsi sistem terbuka. Sebagai tim, sistem terbuka memberi kesempatan yang lebih mudah untuk masuk ke dalam liga PMPL. Modalnya cukup jago saja, tidak terlalu perlu modal finansial yang terlalu banyak ataupun modal kemampuan bisnis. Tencent Games memberi jenjang yang jelas untuk bisa bertanding di PMPL. Anda cukup kumpulkan skuad Anda, menangkan turnamen PINC, maka Anda bisa berlaga di liga kasta utama yaitu PMPL Indonesia.

Bentuk turnamen terbuka dalam ekosistem MLBB. Siapapun punya kesempatan bertanding di liga kasta utama, termasuk tim amatir. Akbar Priono - Hybrid.co.id
Bentuk turnamen terbuka dalam ekosistem MLBB. Siapapun punya kesempatan bertanding di liga kasta utama, termasuk tim amatir. Akbar Priono – Hybrid.co.id

Lalu bagaimana lagi perbedaan kedua sistem mempengaruh ekosistem? Apabila kita hanya membahas dua ekosistem tersebut, maka perbedaannya hanya dari sisi tim saja. Mengapa demikian? Menurut opini saya, ekosistem esports PUBG Mobile sebenarnya tergolong semi-terbuka karena pihak pertama memiliki turnamen untuk semua tingkat, mulai dari kasta utama sampai kasta komunitas.

Pihak ketiga seperti esports organizer yang saya sebut cenderung punya ruang gerak yang lebih sempit di PUBG Mobile karena tidak punya kesempatan untuk menjadi liga utama. IEL University Series yang digagas Ligagame bisa jadi contohnya. Liga tersebut bisa tetap digolongkan sebagai liga kasta kedua karena pemain dan penonton mungkin akan tetap memilih PMCC yang digagas Tencent Games langsung karena cenderung dianggap sebagai turnamen resmi.

Lalu liga esports apa yang tergolong sebagai liga terbuka murni? Ekosistem CS:GO dan Fighting Games Community mungkin bisa jadi contoh. Pembeda terbesar antara dua ekosistem tersebut dengan ekosistem PUBG Mobile adalah kesempatan bagi penyelenggara pihak ketiga untuk mendapat status kompetisi kasta utama.

Sumber Gambar - Nico Besombes from Medium.com
Pada ekosistem esports murni yang saya sebut, pihak ketiga punya kesempatan untuk menjadi turnamen kasta utama seperti di gambar. Sumber Gambar – Nico Besombes from Medium.com

Pada CS:GO, contohnya ada Intel Extreme Masters. Walaupun turnamen tersebut digagas oleh pihak ketiga (ESL) namun Intel Extreme Masters masih dianggap sebagai turnamen internasional terbesar dari CS:GO. Begitu juga dengan Fighting Games. Walaupun ada turnamen seperti Capcom Pro Tour ataupun Tekken World Tour, turnamen EVO tetap dianggap sebagai pertandingan kasta utama bagi ekosistem esports Fighting Games sejauh ini.

 

Bagaimana Ekosistem Esports MLBB dan PUBG Mobile Indonesia Bekerja?

Pada pembahasan di sini saya akan fokus membahas kepada cara kerja dua ekosistem esports di atas dari sudut pandang pemain dan secara bisnis keseluruhan. Mari kita bedah skema ekosistem esports dari sudut pandang pemain terlebih dahulu, mulai dari PUBG Mobile. Sebagai pemain, jalan Anda untuk menuju profesional sebenarnya tergolong tidak rumit. Saya sengaja tidak bilang mudah, karena bagaimanapun perjuangan menjadi bintang esports tentu akan sangat sulit.

Jalur menuju liga kasta utama bagi pemain di skena PUBG Mobile. Akbar Priono - Hybrid.co.id
Jalur menuju liga kasta utama bagi pemain di skena PUBG Mobile. Akbar Priono – Hybrid.co.id

Seperti pada gambar di atas, jalur menuju profesional di musim kompetisi PUBG Mobile pada tahun 2020 sebenarnya sesederhana itu. Sebagai pemain, Anda bisa membuat tim, ikut PINC, dapatkan posisi top 4 maka Anda akan langsung mendarat di turnamen utama yaitu PMPL Indonesia. Namun demikian prosesnya tentu tidak semudah itu.

Untuk bisa masuk ke laga utama PINC Anda harus bersaing dengan 6000 tim lebih. Pada fase kualifikasi, Anda bahkan harus berhadapan dengan 4 dari total 8 tim peringkat terbawah dari PMPL musim sebelumnya. Apabila Anda berhasil mengisi peringkat teratas, maka Anda akan lolos ke babak final PINC.

Tadi itu adalah proses kualifikasi dengan metode Squad. Pada PINC 2020 lalu, Tencent Games juga menyediakan kualifikasi lewat jalur Solo yang dilakukan di 32 provinsi di Indonesia. Setelah beberapa proses, pemain solo tersebut lalu disatukan ke dalam Squad, ditandingkan, dan diberangkatkan ke Grand Final setelah berhasil mencapai peringkat teratas.

Perjuangan masih belum berhenti sampai sana. Persaingan akan menjadi lebih keras lagi saat mencapai babak final. Babak final mempertandingkan 16 tim sebanyak 14 ronde dari 2 hari pertandingan (1 hari 7 ronde). Bukan skill saja yang diuji, daya tahan konsentrasi Anda juga diuji pada turnamen tersebut. Apabila Anda berhasil finish di posisi 8 besar, maka selamat! Anda berhasil mencapai liga utama PUBG Mobile yaitu PMPL ID.

Format tersebut adalah format untuk musim tahun 2020 lalu. Bagaimana dengan tahun 2021 ini? Kabarnya akan ada sedikit perubahan skema. Berdasarkan informasi terakhir, PMCO akan menjadi jalur untuk menuju ke pertandingan PMPL 2021. Mengutip dari Liquidpedia, persaingan malah jadi lebih ketat lagi karena hanya 4 tim teratas di PMCO 2021 saja yang bisa lolos ke PMPL 2021.

Lalu bagaimana dengan turnamen ladies atau PMCC? Sejauh ini dua turnamen tersebut tidak memiliki jenjang untuk menuju ke liga kasta utama. Pemenang turnamen PMCC akan berhenti di turnamen tersebut saja, tidak mendapat kesempatan untuk bertanding di liga profesional. PCC pun demikian, hanya jadi sarana bertanding bagi komunitas dengan tanpa jenjang ke tingkat yang lebih profesionial. Begitu juga dengan para perempuan yang hanya punya turnamen PINC Ladies saja sebagai turnamen kasta utama di tahun 2020 kemarin.

Setelah PUBG Mobile mari kita bedah ekosistem MLBB bagi pemain. Bagaimana cara pemain untuk dapat bertanding di liga kasta utama MPL? Sejujurnya, tidak ada yang tahu cara pastinya — meski umumnya, pedoman ini masih bisa berlaku buat Anda yang tertarik menjadi pemain esports profesional. Maksudnya, Moonton tidak menyediakan turnamen sebagai jalur formal bagi tim amatir untuk menuju liga kasta utama layaknya PINC ke PMPL.

Ekosistem MLBB memang punya MDL. Namun liga MDL juga tidak terbuka bagi umum. Mengutip dari ONE Esports, Lius Andre sempat menjelaskan bahwa kesempatan kualifikasi untuk masuk MDL dibagikan melalui undangan secara privat terhadap beberapa tim esports yang sudah tergolong profesional (memiliki badan hukum PT salah satu syaratnya).

Kalaupun sudah masuk MDL, jangan berharap juga Anda bisa langsung masuk MPL. Seperti yang saya jelaskan di atas, Anda harus memenuhi dua syarat terlebih dahulu untuk masuk ke dalam MPL: lolos seleksi administrasi dan dapat membayar sejumlah uang yang disepakati kedua belah pihak untuk biaya franchise. Biaya franchise tentunya tidak dibebankan kepada pemain, melainkan kepada organisasi profesional tempat para pemain bernaung.

Seleksi terbuka jadi satu-satunya jalur bagi pemain MLBB untuk bisa bermain di MPL Indonesia. Akbar Priono - Hybrid.co.id.
Seleksi terbuka jadi satu-satunya jalur bagi pemain MLBB untuk bisa bermain di MPL Indonesia. Akbar Priono – Hybrid.co.id.

Dari penjelasan di atas, mungkin jadi terkesan bahwa ekosistem MLBB sangatlah tertutup dengan kesempatan yang minim bagi pemain untuk bisa mendapat kesempatan menjadi bintang esports. Meskipun begitu, beberapa tim MPL untungnya sempat membuka kesempatan bagi siapapun yang ingin bertanding di dalam liga kasta utama MLBB tersebut. RRQ contohnya.

Rex Regum Qeon sempat membuka seleksi terbuka untuk divisi MLBB. EVOS pun demikian, sempat membuka seleksi terbuka untuk mengisi beberapa role yang dipublikasi melalui sang pelatih yaitu Bjorn “Zeys” Ong. Apabila berhasil lolos seleksi, Anda kemungkinan akan dimainkan di laga MDL terlebih dahulu baru setelahnya dipindah ke MPL apabila menunjukan potensi yang baik.


View this post on Instagram

A post shared by Team RRQ (@teamrrq)

Setelah membahas dari sudut pandang pemain, sekarang kita beralih ke sudut pandang bisnis. Untuk sudut pandang bisnis, saya merasa ada dua hal yang perlu dibahas di sini. Dari sudut pandang seseorang yang ingin memulai bisnis di ekosistem esports dan sudut pandang brand yang ingin terjun di esports.

Dalam hal memulai bisnis, seperti pada klasifikasi di pembahasan awal, ekosistem inti bisa dibilang sebagai elemen-elemen yang paling dibutuhkan di dalam ekosistem esports. Karena ada kebutuhan alias permintaan, Anda jadi bisa menyuguhkan penawaran layaknya ekosistem bisnis lainnya. Walaupun begitu, satu hal yang patut disadari adalah dan dipertanyakan adalah seberapa besar jumlah permintaan atau kebutuhan ekosistem terhadap elemen-elemen inti esports seperti di atas? Ditambah lagi, persaingan yang ada sekarang juga tergolong cukup berat.

Seperti saya tulis di atas, Mineski Indonesia bisa dikatakan hampir memonopoli permintaan jasa penyelenggaraan event esports karena mereka dipercaya untuk menyelenggarakan berbagai proyek besar seperti MPL dan PMPL. Revival Talent juga tergolong hampir memonopoli permintaan dari sisi talent shoutcasters. Salah satu alasannya adalah karena talenta mereka telah mengisi dua liga kasta utama di kedua game tersebut, MPL (Kornet, RangerEmas, PakPulung) dan PMPL (Sanskuy dan ElDogee).

Akbar Priono - Hybrid.co.id.
Akbar Priono – Hybrid.co.id.
Akbar Priono - Hybrid.co.id.
Akbar Priono – Hybrid.co.id.

Sebagai alternati lain, Anda mungkin bisa membuat brand turnamen Anda sendiri sebagai penyelenggara pihak ketiga. Namun demikian Anda akan butuh kesiapan dana investasi yang besar dalam jangka panjang apabila memilih jalan tersebut karena Anda perlu membangun reputasi serta kesadaran masyarakat terhadap turnamen yang Anda adakan.

Membuat tim mungkin bisa menjadi opsi, tapi lagi-lagi kesempatannya cenderung sangat terbatas dengan persaingan yang ketat. Ekosistem MLBB cenderung terbatas karena sistem tertutup yang diterapkan. Ekosistem PUBG Mobile mungkin punya kesempatan yang lebih luas karena menggunakan sistem terbuka. Di luar dari sistem yang diterapkan, mencari pemain berkualitas juga bukan perkara mudah di dua ekosistem tersebut. Kalaupun ada pemain berbakat, tentu ada kemungkinan Anda harus berebut satu pemain tersebut dengan beberapa tim sekaligus yang akan membuat nilai pemain tersebut bisa jadi sangat mahal.

Terakhir dari sudut pandang brand. Sebagai brand, kesempatan untuk memasuki pasar esports terbilang masih terbuka sangat lebar mengingat ragam kegiatan marketing yang bisa dilakukan di esports. Mensponsori liga kasta utama bisa digolongkan sebagai pilihan utama. Nilai sponsornya mungkin akan sangat besar, tapi timbal balik yang diberikan bisa jadi sepadan mengingat liga kasta utama yang jadi tontonan utama penggemar esports dari kedua ekosistem game tersebut.

Selain mensponsori liga kasta utama, beberapa pilihan aktivitas marketing lain juga bisa menjadi pilihan bagi brand yang ingin memasuki pasar esports. Mensponsori tim misalnya, seperti yang dilakukan oleh Visa kepada EVOS. Mensponsori acara pihak ketiga juga bisa jadi pilihan lain yang bahkan bisa memberi kesempatan kepada brand untuk menjadi title sponsor. Salah satu contohnya adalah IEL University Super Series yang disponsori oleh Super Soccer. Menyelenggarakan turnamen esports sendiri mungkin juga bisa menjadi salah satu pilihan, misalnya seperti Blibli yang mengadakan Blibli Esports Championship.

 

Begitulah kurang dan lebihnya ekosistem esports berdasarkan apa yang saya amati dari perkembangannya sekitar 1 tahun ke belakang. Penjabaran di atas tentu bukan merupakan ilmu pasti yang akan terus bertahan selama bertahun-tahun ke depan. Hal tersebut mengingat industri esports yang terus berkembang dan berevolusi secara cepat.

Pembahasan tersebut juga tergolong hanya gambaran kasar saja berdasarkan apa yang terlihat dari kulit luar. Semoga pembahasan di atas dapat membantu Anda untuk lebih memahami ekosistem esports. Apabila ada kesempatan, saya akan mencoba membahas ekosistem esports game lain ataupun memperbarui penjelasan ekosistem esports di atas berdasarkan dari insight-insight terbaru.

Serba Serbi dan Potensi Cloud Gaming di Indonesia

Jika Anda ingin memainkan game-game terbaru seperti Cyberpunk 2077 atau The Last of Us 2, Anda harus memiliki perangkat yang memadai, baik konsol ataupun PC gaming. Sayangnya, tidak semua orang punya uang untuk membeli konsol atau merakit PC gaming. Cloud gaming menjadi opsi bagi orang-orang tersebut. Namun, meski memang menawarkan kelebihan yang unik, cloud gaming memiliki tantangannya sendiri. Kali ini kita membahas panjang lebar soal cloud gaming, termasuk soal potensinya di Indonesia.

 

Apa Itu Cloud Gaming?

Cara kerja cloud gaming serupa dengan proses streaming ketika Anda menonton video. Saat Anda menonton video di YouTube, Anda tidak perlu mengunduhnya terlebih dulu karena perangkat Anda terus menerima paket data, berupa video dan audio, dari server YouTube.

Dalam cloud gaming, pihak server tidak hanya mengirimkan paket data, tapi juga memproses tugas komputasi — memproses hasil dari input pemain, melakukan render grafik, dan lain sebagainya. Karena proses komputasi dilakukan di server, hal itu berarti, Anda bisa memainkan game AAA di PC/laptop/smartphone kentang sekalipun. Hanya saja, untuk bisa bermain game dengan lancar di cloud gaming, Anda hanya perlu jaringan internet yang tidak hanya cepat, tapi juga berlatensi rendah.

Saat ini, ada beberapa perusahaan yang telah membuat platform cloud gaming, mulai dari perusahaan yang memang berkecimpung di dunia game, seperti Sony, NVIDIA, dan Xbox, sampai perusahaan teknologi yang jarang berkutat dengan game, seperti Google dan Amazon.

“Alasan mengapa game kini masuk ke cloud adalah karena ada banyak orang yang ingin bisa bermain game tapi tak punya perangkat yang memadai,” kata Andrew Fear, Senior Product Manager of GeForce Now, seperti dikutip dari Polygon. Dengan cloud gaming, akan ada semakin banyak orang yang bisa memainkan game-game “berat” seperti Far Cry 5. Pasalnya, mereka tidak lagi harus membeli PC atau laptop gaming seharga belasan juta rupiah.

Konsep akan cloud gaming sebenarnya telah muncul sejak tahun 2000-an. Layanan cloud gaming pertama adalah OnLive, yang diluncurkan pada Juni 2010. Ketika itu, OnLive menawarkan sejumlah game untuk konsol, seperti Borderlands dan Darksiders. Hanya saja, teknologi cloud gaming masih sangat baru. Alhasil, muncul berbagai masalah teknis, seperti masalah latensi ketika memainkan game-game tertentu. Dalam perusahaan OnLive, juga muncul masalah internal yang mengakibatkan tutupnya perusahaan. Pada akhirnya, mereka menjual aset mereka ke Sony.

Dalam 10 tahun, teknologi berkembang pesat, membuat konsep cloud gaming dapat kembali direalisasikan. Memang, cloud gaming belum sempurna, tapi melalui layanan cloud gaming, Anda sudah bisa bermain game layaknya di PC atau konsol, seperti yang disebutkan Digital Trends.

Ukuran Call of Duty: Black Ops - Cold War mencapai 175 GB.
Ukuran Call of Duty: Black Ops – Cold War mencapai 175 GB.

Alasan lain mengapa cloud gaming kembali populer adalah karena ukuran game-game baru yang semakin besar. Misalnya, Call of Duty: Black Ops – Cold War di PC membutuhkan storage sebesar 175GB. Bayangkan jika Anda memiliki tiga game serupa. Berapa banyak kapasitas storage yang harus Anda siapkan? Berapa lama waktu yang Anda butuhkan untuk mengunduh game itu? Cloud gaming menawarkan solusi untuk masalah-masalah itu. Idealnya, dengan cloud gaming, Anda tidak perlu mengunduh game lagi. Anda bisa langsung terhubung ke server cloud gaming dan memainkan game yang Anda inginkan.

 

Siapa Saja yang Punya Cloud Gaming dan Apa Bedanya?

Microsoft adalah salah satu perusahaan yang mengembangkan layanan cloud gaming. Platform mereka dinamai xCloud. Nama platform tersebut diubah menjadi Xbox Game Pass Cloud Gaming ketika Microsoft menggabungkan Game Pass — layanan berlangganan game dari Microsoft — dengan xCloud pada September 2020, mereka menggabungkan Game Pass dengan xCloud.

Vice President of Cloud Gaming, Microsoft, Kareem Choudhry mengungkap bahwa Microsoft mengembangkan cloud gaming agar para gamer bisa memainkan game di perangkat apapun yang mereka mau. “Sebelum ini, Anda perlu PC spesifikasi tinggi untuk bermain game,” kata Choudhry, lapor CNET. “Dengan menggabungkan Game Pass dan cloud, kami memungkinkan orang-orang untuk melakukan streaming game dari cloud ke konsol dan PC mereka, serta smartphone atau tablet mereka.”

Microsoft menggunakan model berlangganan untuk Cloud Gaming. Biaya berlangganan dari Cloud Gaming adalah US$15 per bulan. Biaya berlangganan ini memang lebih mahal dari layanan cloud gaming lain. Namun, dengan berlangganan Cloud Gaming, Anda juga sudah bisa mendapatkan akses ke Xbox Game Pass Ultimate, yang menawarkan lebih dari 100 game populer. Microsoft juga memastikan bahwa game-game buatan studio game mereka — seperti franchise Halo, Hellblade, The Medium, dan game-game yang Bethesda buat di masa depan — akan selalu tersedia di Cloud Gaming. Hanya saja, daftar game-game buatan studio game pihak ketiga akan terus berubah. Microsoft akan mengganti game-game yang sudah berumur tua dengan yang lebih baru.

Saat ini, Xbox Game Pass Cloud Gaming tersedia 26 negara. Sayangnya, Indonesia tidak termasuk dalam daftar itu. Untuk bisa bermain di Cloud Gaming, Microsoft merekomendasikan pengguna memakai jaringan dengan kecepatan setidaknya 10Mbps. Namun, GSM Arena menyebutkan, kecepatan 10Mbps cukup untuk memainkan game pada resolusi 720p. Jika Anda ingin bermain game pada resolusi 1080p, Anda sebaiknya menggunakan internet dengan kecepatan 20-25Mbps. Cloud Gaming juga sudah dilengkapi dengan fitur Save Cloud Sync. Hal itu berarti, Anda bisa melanjutkan game Anda, tak peduli perangkat apa yang digunakan.

Melalui Cloud Gaming dari Microsoft, Anda akan bisa memainkan game di ponsel kentang sekalipun. | Sumber: VG27
Melalui Cloud Gaming dari Microsoft, Anda akan bisa memainkan game di ponsel kentang sekalipun. | Sumber: VG27

Selain Microsoft, NVIDIA juga membuat layanan cloud gaming, yang dinamai GeForce Now. Mekanisme GeForce Now agak berbeda dengan Cloud Gaming dari Microsoft. Jika Anda ingin bermain game melalui GeForce Now, Anda harus membeli game-nya terlebih dulu. Kabar baiknya, NVIDIA bekerja sama dengan beberapa toko game digital populer, seperti Steam, Epic Game Stores, UPLAY, dan GOG. Namun, daftar game yang bisa Anda mainkan melalui GeForce Now terbatas. Anda bisa melihat game apa saja yang tersedia di GeForce Now di sini.

Sama seperti Microsoft, NVIDIA juga menggunakan model berlangganan. Karena Anda masih harus membeli game yang ingin Anda mainkan, biaya berlangganan GeForce Now jauh lebih murah, hanya US$5 per bulan atau US$25 per enam bulan. NVIDIA bahkan menyediakan versi gratis dari GeForce Now. Tapi, Anda hanya bisa bermain selama satu jam per game. Selain itu, Anda juga tidak bisa mengaktifkan Ray Tracing.

GeForce Now bisa digunakan untuk memainkan game di Android, iPhone atau iPad, Window dan Mac. Melalui cloud gaming dari NVIDIA ini, Anda bisa memainkan game pada 1080p dan 60fps. Anda juga bisa mengaktifkan Ray Tracing dan DLSS. Jika Anda menggunakan NVIDIA Shield, Anda bahkan bisa mendapatkan resolusi 4K. Sama seperti Cloud Gaming, kecepatan minimal yang Anda butuhkan untuk mengakses GeForce Now adalah 10Mbps. Untuk memastikan pengalaman bermain lancar, sebaiknya Anda menggunakan internet dengan kecepatan 22-25Mbps. Jika dibandingkan dengan Cloud Gaming, jangkauan GeForce Now jauh lebih luas, mencapai lebih dari 50 negara. Sayangnya, layanan ini juga tidak tersedia di Indonesia.

Sony juga membuat cloud gaming, yaitu PlayStation Now. Melalui layanan ini, Anda bisa memainkan ratusan game dari PS2, PS3, dan PS4 di PS4, PS5, atau PC Windows. Memang, PS Now belum mendukung perangkat mobile atau Mac. Hanya saja, biaya berlangganan PS Now cukup mahal. Sony menawarkan tiga model berlangganan, yaitu US$20 per bulan, US$45 per 3 bulan, atau US$100 per tahun.

Stadia merupakan platform gaming dari Google. | Sumber: Digital Trends
Stadia merupakan platform gaming dari Google. | Sumber: Digital Trends

Walau jarang berkutat di dunia game, Google juga menunjukkan ketertarikan dengan cloud streaming. Mereka memperkenalkan Stadia pada November 2019. Mereka menyebutkan, untuk mengoperasikan Stadia, mereka menggunakan teknologi yang sama dengan teknologi untuk streaming YouTube.

Sama seperti GeForce Now, untuk memainkan game di Stadia, Anda harus membelinya terlebih dulu. Hanya saja, Google tidak bekerja sama dengan toko digital pihak ketiga seperti Steam. Hal itu berarti, Anda harus membeli game langsung di Stadia. Untungnya, Google menyediakan versi gratis dari Stadia. Di sini, Anda bisa memainkan game dengan resolusi 1080p. Jika Anda rela membeli Google Chromecast Ultra dan membayar versi Pro Stadia — seharga US$10 per bulan — Anda bisa memainkan game yang Anda punya pada resolusi 4K. Selain itu, Google juga menyediakan katalog game yang bisa dimainkan oleh para pengguna berbayar.

Sama seperti Cloud Gaming dan GeForce Now, kecepatan minimal yang dibutuhkan untuk mengakses Stadia adalah 10Mbps. Namun, GSM Arena menyarankan untuk menggunakan internet dengan kecepatan sekitar 20Mbps untuk bisa bermain dengan resolusi 1080p dengan lancar. Sementara jika Anda ingin memainkan game pada resolusi 4K HDR, Anda harus menggunakan internet dengan kecepatan lebih dari 35Mbps.

Walau lebih dikenal sebagai perusahaan e-commerce atau penyedia cloud, Amazon juga tertarik untuk masuk ke industri game. Setelah membeli platform streaming game Twitch pada 2014, Amazon juga mulai mengembangkan cloud gaming. Saat ini, platform cloud gaming Amazon — yang dinamai Amazon Luna — masih dalam tahap closed beta. Jadi, Amazon Luna hanya bisa diakses oleh orang-orang tertentu di Amerika Serikat. Melalui Luna, Anda bisa berlangganan “channel”, yang memungkinkan Anda untuk mengakses game-game dalam channel tersebut.

Amazon menggunakan sistem channel pada Luna. | Sumber: Android Authority
Amazon menggunakan sistem channel pada Luna. | Sumber: Android Authority

Saat ini, Luna hanya memiliki dua channel, yaitu Luna Plus dan Ubisoft Plus. Dihargai US$6 pr bulan, Luna Plus menawarkan 50 game, yang kebanyakan merupakan game indie. Meskipun begitu, Luna Plus juga menawarkan beberapa game AAA, seperti Control, Metro Exodus, GRID, dan The Surge 1&2. Sementara melalui Ubisoft Plus, Anda bisa memainkan game-game buatan Ubisoft. Namun, harga berlangganan dari channel ini lebih mahal, yaitu US$15 per bulan.

Saat ini, para pengguna Luna bisa memainkan game pada resolusi 1080p. Untuk itu, mreeka membutuhkan jaringan dengan kecepatan minimal 10Mbps walau 20Mbps masih menjadi kecepatan yang direkomendasikan. Amazon berencana untuk menambahkan fitur streaming game 4K pada 2021.

 

Tantangan Cloud Gaming

Tantangan terbesar untuk para penyedia layanan cloud gaming adalah koneksi. Pasalnya, untuk bisa bermain game dengan lancar menggunakan cloud gaming, Anda tidak hanya memerlukan jaringan internet yang cepat, tapi juga berlatensi rendah. Bahkan di negara maju seperti Amerika Serikat sekalipun, tidak semua orang bisa mendapatkan akses ke jaringan internet yang diperlukan untuk bermain menggunakan cloud gaming.

Kabar baiknya, jaringan 5G telah tersedia — setidaknya di luar sana. Jaringan 5G tidak hanya menawarkan kecepatan yang lebih tinggi, tapi juga latensi yang jauh lebih rendah. Di beberapa negara maju, jaringan 5G telah digelar. Sayangnya, proses penggelaran itu tidak secepat harapan, apalagi di era pandemi seperti sekarang.

Di Indonesia sendiri, jaringan 4G baru digelar secara nasional pada Desember 2015. Sementara untuk jaringan 5G, Menteri Komunikasi dan Informatika, Johnny G Plate mencanangkan untuk menggelar jaringan baru pada 2021. Masalahnya, Indonesia adalah negara kepulauan. Sudah jadi rahasia umum bahwa pembangunan jaringan telekomunikasi di Indonesia tidak merata. Untuk pembangunan jaringan 5G sendiri, pemerintah berencana untuk memprioritaskan kawasan pariwisata, industri, dan kota mandiri, menurut laporan Kompas.

5G dianggap akan membantuk adopsi cloud gaming. | Sumber: Deposit Photos
5G dianggap akan membantuk adopsi cloud gaming. | Sumber: Deposit Photos

Selain koneksi, masalah lain yang harus dihadapi oleh penyedia cloud gaming adalah harga. Penyedia layanan cloud gaming harus bisa mematok harga yang pas: cukup tinggi sehingga mereka tidak rugi, tapi juga cukup terjangkau untuk menarik minat para gamer. Untungnya, harga game AAA terus naik. Saat ini, harga game AAA berkisar di rentang Rp500 ribu sampai Rp1 juta.

“Jika harga game AAA terus naik, menjadi US$70-80 per game, layanan cloud gaming akan sangat menarik bagi orang-orang yang tidak bisa terus membeli game-game baru dari franchise populer, seperti Call of Duty,” kata Lead Analyst, Juniper Research, James Moar pada Polygon. Juniper Research adalah perusahaan riset asal Inggris yang telah melacak data tentang layanan digital, termasuk cloud gaming, sejak 2001.

Lebih lanjut, Moar menjelaskan, jika layanan cloud gaming mengharuskan para penggunanya untuk membeli game sendiri — seperti di Stadia atau GeForce Now — maka biaya berlangganan harus ditekan. Dia memperkirakan, untuk menarik para pelanggan, biaya berlangganan cloud gaming setiap bulan sebaiknya tidak lebih dari biaya berlangganan Netflix. Alasannya, dia mengungkap, jumlah game yang bisa seseorang mainkan dalam sebulan jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan jumlah film yang bisa dia tonton. Sebagai referensi, di Indonesia, biaya berlanggan Netflix ada di rentang Rp54 ribu sampai Rp186 ribu.

Lalu, bagaimana jika harga layanan cloud gaming tak bisa ditekan? Penyedia cloud gaming bisa menawarkan game eksklusif. Menyediakan game eksklusif bukan strategi baru di dunia game. Sony juga menggunakan taktik ini untuk mendorong penjualan PlayStation. Dan tampaknya, baik Google maupun Amazon menyadari hal ini. Karena itulah, Google membuat Stadia Games & Entertainment pada November 2019. Amazon juga masih kukuh untuk membuat game sendiri.

Sayangnya, membuat game tidak mudah. Buktinya, meskipun dikabarkan telah menggelontorkan hampir US$500 juta per tahun, divisi gaming Amazon masih mengalami berbagai masalah. Salah satu game yang hendak mereka buat, Crucible, bahkan berhenti dikembangkan. Sementara itu, Google bahkan menutup studio game mereka, Stadia Games & Entertainment (SG&E).

Jade Raymond juga keluar dari Stadia. | Sumber: 9to5Google
Jade Raymond juga keluar dari Stadia. | Sumber: 9to5Google

Melalui blog resmi Stadia, Phil Harrison, Stadia GM dan Vice President mengungkap bahwa alasan Google menutup SG&E adalah karena membuat game membutuhkan uang dan waktu lebih banyak dari yang mereka kira dan Google ingin fokus pada pengembangan teknologi di Stadia. Selain mengumumkan akan penutupan SG&E, Harrison juga mengonfirmasi bahwa Jade Raymond, yang ditunjuk sebagai Vice President dketika SG&E dibentuk pada 2019, telah meninggalkan Stadia. Meskipun begitu, Harrison meyakinkan, Google masih akan terus mengembangkan Stadia. Mereka juga akan terus membantu para developer dan publisher untuk dapat memasukkan game mereka di Stadia.

“Kami tetap berkomitmen pada cloud gaming dan kami akan melanjutkan usaha kami berperan serta dalam industri ini,” ujar Harrison, menurut laporan Polygon. “Fokus kami tetap untuk membuat platform terbaik untuk para gamer dan menyediakan teknologi terhebat bagi rekan-rekan kami sehingga kami bisa menawarkan layanan cloud gaming ke semua orang.”

 

Potensi Cloud Gaming di Indonesia?

Membeli satu set PC gaming seharga Rp30 jutaan memang bukan tugas yang mudah buat mayoritas gamer di Indonesia — apalagi kebanyakan gamer di Indonesia bermain game di mobile yang membutuhkan ‘mesin’ yang lebih murah. Membeli PS5 ataupun Xbox Series S|X  pun juga terhitung lebih mahal ketimbang membeli ponsel — mengingat console memang hanya bisa berfungsi sebagai mesin gaming semata. Apalagi dengan kelangkaan barang sekarang ini (GPU ataupun konsol), yang punya uang pun jadi malas membeli barang jika harganya tak masuk akal.

Cloud gaming sebenarnya bisa menjadi solusi atas semua masalah tadi. GPU langka gara-gara harga Bitcoin naik? Anda tak perlu pusing rebutan GPU dengan para miner. Pengeluaran Anda untuk bermain game juga bisa lebih terjangkau karena ibaratnya bisa ‘dicicil’. Anda tak perlu menyediakan uang belasan juta untuk sebuah GPU kelas atas. Apalagi jika biaya berlangganan cloud gaming bisa lebih rendah ataupun setara dengan Netflix ataupun Disney+.

Mari kita coba hitung-hitungan sedikit. Harga berlangganan Disney+ adalah Rp199 ribu sebulan. Sedangkan paket Netflix yang paling mahal ada di Rp186 ribu sebulan. Biar gampang, anggaplah harganya Rp200 ribu sebulan. Harga RTX 3070, kalau normal, mungkin mencapai Rp9 jutaan. Jadi, jika Anda menyisihkan uang Rp200 ribu sebulan (harga langganan streaming) untuk bisa membeli RTX 3070,  Anda butuh waktu 45 bulan alias hampir 4 tahun. Itu Anda belum bisa bermain game karena baru beli GPU saja.

Jika memang benar langganan cloud gaming bisa setara dengan langganan streaming video premium, akan ada banyak sekali gamer di Indonesia yang bisa menikmati game-game AAA — bukan yang Free-to-Play. Buktinya, ada 2,5 juta pelanggan berbayar untuk Disney+ dan 850 ribu pelanggan Netflix di Indonesia.

Dengan UMP Jakarta terbaru yang sebesar Rp4,4 juta saja, membayar biaya langganan Rp200 ribu per bulan untuk hobi/hiburan memang masih masuk akal. Namun, memiliki console ataupun PC gaming belasan juta atau malah puluhan juta memang jadi tidak masuk akal dengan UMP tadi — kecuali memang tiap hari makan nasi kecap. Karena itu tadi, potensi pasar cloud gaming (andai harganya sama dengan layanan streaming film) sebenarnya sangat besar — apalagi di Indonesia ada lebih dari 100 juta orang yang menggunakan smartphone di 2018.

Sayangnya, permasalahan soal koneksi internet di Indonesia memang seperti benang kusut yang mungkin baru bisa terurai ketika para pengambil kebijakan di masa depan lebih peduli dengan kemajuan teknologi ketimbang soal moralitas. Pemerataan infrastruktur juga jadi PR besar dan berat mengingat Indonesia adalah negara kepulauan. Belum lagi aturan main soal bisnis layanan internet di Indonesia juga belum kondusif untuk menyuburkan kompetisi dagang — jika melihat fenomena dominasi layanan internet kabel di tanah air.

Cloud gaming sendiri, meski tidak butuh perangkat high-end, tetap butuh koneksi internet kelas atas karena butuh latency rendah dan bandwith besar. Biasanya kedua hal tersebut dibutuhkan di dua layanan yang berbeda. Untuk bermain game online, misalnya, tidak butuh bandwith besar namun Anda butuh latency/ping yang kecil agar bisa nyaman bermain. Sebaliknya, jika Anda streaming video, Anda tak butuh latency rendah namun bandwith yang besar. Cloud gaming butuh keduanya, yang saat ini mungkin hanya bisa ditawarkan oleh ISP macam Biznet, MyRepublic, CBN, atau yang sekelas.

ISP untuk GSM (koneksi 4G misalnya) ataupun yang masih pakai FUP, tentunya tidak ideal digunakan untuk cloud gaming karena Anda akan terlalu boros dengan kuota data yang sangat terbatas. Dengan demikian, potensi cloud gaming di Indonesia memang nyaris nol besar. Meski potensi pasarnya besar, hal-hal semacam infrastruktur ataupun mindset para pengambil kebijakan bukan perkara yang mudah diselesaikan.

 

Kesimpulan

Salah satu alasan mengapa masyarakat bersedia mengadopsi teknologi baru — seperti smartphone misalnya — adalah karena teknologi itu memudahkan kehidupan mereka. Pertanyaannya, kemudahan apa yang ditawarkan oleh cloud gaming? Salah satunya adalah menurunkan biaya yang seseorang keluarkan untuk bisa bermain game. Dengan cloud gaming, Anda tidak perlu lagi merakit PC gaming atau membeli laptop gaming dengan harga selangit. Anda bisa menggunakan laptop kuliah atau laptop kerja Anda untuk bermain game. Dan semakin banyak jumlah gamer, industri game akan semakin berkembang. Buktinya, mobile game kini memberikan kontribusi sebesar hampir 50% pada total industri game.

Kemudahan lain yang ditawarkan oleh cloud gaming adalah Anda akan bisa memainkan game di manapun. Memang, sekarang, para gamer sudah bisa bermain mobile game di smartphone mereka. Namun, para gamer AAA tentu tahu bagaimana kualitas game di ponsel. Jika mereka ingin memainkan Grand Theft Auto V atau The Witcher 3, mereka masih harus menggunakan PC, konsol, atau laptop gaming. Cloud gaming membuka kemungkinan bermain game-game berat di laptop kentang atau bahkan perangkat mobile.

Sayangnya, cloud gaming masih punya satu tantangan besar, yaitu jaringan internet. Di negara berkembang seperti Amerika Serikat, kecepatan rata-rata internet mencapai 50Mbps. Walaupun, sama seperti di Indonesia, pembangunan infrastruktur internet di negeri itu tidak merata. Di beberapa kota, seperti Bayside, New York dan Longmont, Colorado, kecepatan internet bisa mencapai 100Mbps. Sementara di beberapa kota lain, seperti Sylvia, North Carolina dan Stowe, Vermont, kecepatan internet bisa hanya mencapai 6Mbps.

Bagaimana dengan Indonesia? Menurut Asia Quest Indonesia, kecepatan internet rata-rata di Indonesia hanyalah 6,65 Mbps. Kecepatan internet puluhan Mbps hanya bisa dinikmati oleh orang-orang yang tinggal di kota besar dengan infrastruktur internet yang memadai. Jadi, tampaknya Indonesia tidak akan menjadi target market dari para penyedia platform cloud gaming dalam waktu lamaaaaaaaaaaa.

Sumber header: Windows Central

Manajer Tim Esports: Penentu Kemenangan di Balik Layar

Industri esports yang bertumbuh pesat membuat banyak orang tertarik untuk terjun ke dunia ini. Kebanyakan orang biasanya tertarik untuk menjadi gamer profesional. Namun, tahukah Anda, persentase seseorang sukses sebagai pemain profesional tak lebih dari 1%? Berkarir sebagai gamer profesional memang tidak semudah kelihatannya. Tak hanya itu, karir pemain esports juga biasanya pendek.

Kabar baiknya, menjadi pemain profesional bukan satu-satunya tangga karir yang bisa Anda daki di dunia esports. Ada berbagai opsi pekerjaan di dunia esports yang bisa Anda pilih, mulai dari pekerjaan yang mengharuskan Anda turun langsung ke lapangan sampai karir sebagai orang di belakang layar. Salah satu opsi yang bisa Anda ambil adalah manajer tim esports.

 

Tugas Manajer Esports

Berbeda dengan gamer yang bermain hanya untuk hobi, seorang pemain profesional harus bisa memastikan bahwa dia dapat memberikan performa terbaik saat bertanding. Untuk itu, para pemain profesional dituntut untuk berlatih secara rutin, termasuk berdiskusi dengan rekan tim dan pelatih mereka. Tak hanya itu, mereka juga harus dapat menjaga kesehatan fisik mereka. Tentunya, mereka juga harus menyiapkan waktu untuk melakukan latih tanding dengan tim lain. Dan jika sebuah organisasi esports sudah punya sponsor, para pemain esports juga bisa diminta untuk tampil di video atau photo shoot.

Lalu, siapa yang bertanggung jawab agar para pemain bisa memenuhi semua tanggung jawab ini? Manajer. Salah satu tugas manajer tim esports adalah mengatur jadwal dari para pemain asuhannya. Tujuannya, agar para pemain esports bisa tetap fokus pada latihan tanpa mengabaikan tanggung jawab mereka yang lain.

Ketika ditanya tentang tanggung jawab manajer, Brando Oloan, manajer tim Dota 2, BOOM Esports berkata, “Mengurus kebutuhan player, seperti mengatur jadwal latihan dan turnamen. Komunikasi dengan event organizer atau media dan kebutuan dalam bootcamp. Intinya, tugas kami adalah membuat player hanya perlu memikirkan how to win saja.”

Senada dengan Brando, CEO RRQ, Andrian Pauline juga mengungkap bahwa tugas utama seorang manajer adalah “mengatur jadwal anak-anak sehari-hari.”  Dia menambahkan, seorang manajer juga punya tanggung jawab untuk melakukan evaluasi tim bersama dengan pelatih dan pihak manajemen. Selain itu, memastikan para pemain profesional mematuhi peraturan yang ditetapkan di gaming house juga menjadi tugas seorang manajer.

Brando menjadi manajer untuk tim Dota 2 BOOM sejak November 2017. Sebelum menjadi manajer, dia merupakan seorang pemain profesional. Dia mengaku, pada awalnya, dia tidak tertarik untuk menjadi manajer. “Cuma shifting mimpi saja. Dulu, mau ke The International sebagai player,” katanya saat dihubungi oleh Hybrid.co.id. “Sekarang, tujuannya mau bantu players ke TI. Jadi orang di belakang layar.”

Brando mengungkap, pengalamannya sebagai pemain profesional cukup membantunya dalam mengerti sebagian besar dari apa yang para pemain butuhkan, walau tidak semua.

Lalu, apa semua manajer tim esports harus punya pengalaman sebagai pemain profesional? Memang, apa saja kualifikasi yang harus dimiliki oleh seseorang sebelum melamar sebagai manajer tim esports?

 

Kualifikasi Sebagai Manajer Tim Esports

Kabar baiknya, Anda tidak harus punya pengalaman sebagai pemain profesional untuk menjadi manajer tim esports. Hanya saja, Anda tetap harus mengerti tentang game yang dimainkan oleh tim yang menjadi tanggung jawab Anda, seperti yang disebutkan oleh AP. Beberapa karakteristik lain yang dicari dari seorang manajer tim esports adalah jujur, tanggung jawab, sabar, dan dapat berkomunikasi yang baik. Selain itu, menurut AP, waktu yang fleksibel juga menjadi salah satu kualifikasi untuk menjadi seorang manajer.

Sementara menurut Brando, seorang manajer harus punya kemauan untuk belajar. Memang, esports adalah industri yang cepat berubah. Tidak hanya karena game esports terus mendapatkan update rutin dari developer, tapi juga karena esports adalah industri yang relatif baru. Jadi, para pelaku di dalamnya masih berusaha untuk menentukan metode terbaik dalam melakukan sesuatu. Misalnya, sampai saat ini, fokus bisnis dari masing-masing organisasi esports berbeda-beda. Ada organisasi esports yang memprioritaskan kemenangan di berbagai pertandingan, ada juga yang ingin menonjolkan sisi gaya hidup.

Ada banyak soft skills yang harus dikuasai seorang manajer. | Sumber: Gamingzion
Ada banyak soft skills yang harus dikuasai seorang manajer. | Sumber: Gamingzion

Soal kualifikasi edukasi, AP mengatakan, kebanyakan manajer tim di RRQ memiliki gelar S1. Hanya saja, saat ini, masih sangat jarang universitas yang menawarkan jurusan esports. Salah satunya adalah University of St Andrews di Skotlandia. Dalam situs resminya, mereka menjelaskan tentang mata kuliah apa saja yang akan diambil oleh para murid yang mengambil jurusan esports.

Selain mata kuliah terkait pendidikan secara umum, para mahasiswa juga akan mengambil mata kuliah terkait marketing, media sosial, dan komunikasi di bidang olahraga. St Andrews juga akan memberikan pelajaran tentang ekonomi, kepemimpinan, dan etika terkait dunia olahraga. Ada juga beberapa mata kuliah khusus esports, seperti pengenalan akan manajemen esports, analisa pemegang saham di dunia esports, serta riset dan tren di industtri esports.

Satu hal yang pasti, mencari manajer tim esports bukanlah perkara mudah. Salah satu alasannya karena sebagian besar kemampuan yang dibutuhkan dari manajer adalah soft skills, yang tidak mudah untuk diuji dalam sesi wawancara. Hal serupa diungkapkan oleh Angeline “Toska” Vivian, General Manager dari Morph Team. Dia menceritakan, cara yang Morph gunakan untuk memastikan bahwa manajer baru yang mereka pekerjakan memang baik adalah dengan menerapkan masa probasi.

“Waktu probasi kita tiga bulan,” ungkap perempuan yang akrab dengan panggilan Vivi ini. “Dalam waktu tiga bulan, kita akan monitor apakah pekerjaan seseorang bagus, bakal kita review. Setelah selesai probasi, dan telah dipastikan memang cocok, baru kita angkat jadi pegawai tetap.”

Setelah menjadi manajer di BOOM selama lebih dari tiga tahun, Brando bercerita, salah satu yang biasa dibuat oleh manajer baru adalah kurang teliti atau salah komunikasi. “Kebanyakan itu paling kurang teliti atau miscommunication, entah ke player, manajemen, atau EO,” ujarnya. Namun, dia menekankan, setiap orang punya gaya bekerja yang berbeda dalam beradaptasi. Jadi, pengalaman seorang manajer esports lain mungkin berbeda dari pengalamannya.

Tim Dota 2 BOOM ketika memenangkan Dota Summit 13. | Sumber: ESTNN
Tim Dota 2 BOOM ketika memenangkan Dota Summit 13. | Sumber: ESTNN

Tentu saja, bekerja sebagai manajer tim esports menawarkan suka-duka tersendiri. Bagi Brando, salah satu hal yang membuatnya bahagia sebagai manajer adalah ketika melihat tim yang dia asuh menang.

“Senang kalau melihat excitement pas mereka mau tanding, dan ketika mereka menang,” cerita Brando. “Dukanya, kalau mereka kalah. Kadang, masih bingung harus ngapain.” Dia menjelaskan, setiap pemain punya cara yang berbeda dalam menghadapi kekalahan. “Ada yang bisa langsung di-reach, ada yang butuh waktu. Ada yang butuh teman, ada yang perlu sendiri dulu,” ungkapnya. “Yang penting, be there when they need you.”

Sementara terkait tantangan yang dihadapi oleh seorang manajer, Brando berpendapat, menjadi jembatan antara para pemain dan pihak manajemen merupakan tantangan tersendiri.

Sama seperti pekerjaan sebagai gamer profesional, masih banyak miskonsepsi tentang tugas sebagai manajer tim esports. Vivi bercerita, ada banyak orang yang mencoba untuk berkarir di esports karena mereka berpikir bekerja di dunia esports sama seperti mendapatkan gaji hanya dengan bermain game.

Tak hanya itu, sebagian orang juga hanya tertarik dengan dunia esports karena industri competitive gaming kini tengah populer dan dirasa “lagi ada duit banyak.” Lebih lanjut, Vivi menjelaskan, “Kebanyakan tuh punya harapan yang tidak masuk akal. Menganggap kalau menjadi tim manajer itu cuma main-main game. Padahal, tim manajer itu harus bertanggung jawab.”

 

Seberapa Penting Peran Manajer?

Untuk mengetahui seberapa penting peran seorang manajer, saya bertanya pada AP kapan RRQ mulai mempekerjakan manajer. AP menjawab, “Peran manajer telah ada sejak awal RRQ berdiri. Kita merasa manajer penting karena untuk tugas sehari-hari. Owner tidak bisa selalu ada untuk para pemain,” ujarnya. “Dari mulai jadwal latihan sampai masalah di luar game, semua itu diurus sama manajer.”

Tak hanya itu, di RRQ, setiap tim esports punya manajer sendiri-sendiri. AP mengungkap, alasannya adalah karena setiap tim memiliki kebutuhan yang berbeda-beda. “Dan sekarang kan sudah ada liga, latihan, ada jadwal endorsement, ada bikin konten buat sponsor,” akunya. “Memang ada beberapa yang digabung, tapi load-nya tidak tinggi. Tapi, kebanyakan dedicated.”

Namun, tidak semua organisasi esports menerapkan sistem yang sama. Misalnya, di Morph, Vivi menjelaskan, seorang manajer tidak bertanggung jawab atas satu tim, tapi sebuah divisi. “Divisi mobile sendiri, divisi PC sendiri,” ujarnya. Vivi mengatakan, mereka menggunakan metode ini karena Morph tidak memiliki terlalu banyak tim.

Namun, hal itu bukan berarti Morph menganggap remeh peran manajer. Sebaliknya, Vivi justru merasa, manajer tim esports merupakan salah satu pekerjaan di esports yang kurang dihargai, sama seperti kebanyakan peran di belakang layar. Dia tidak memungkiri, tim yang kuat memang memerlukan pemain yang mumpuni. Meskipun begitu, manajer juga punya peran dalam mendukung para pemain. “Mereka mengatur jadwal dan memberikan masukan pada pemain.”

Tim PUBG Mobile Morph di PMPL ID Season 2. | Sumber: One Esports
Tim PUBG Mobile Morph di PMPL ID Season 2. | Sumber: One Esports

Lalu, bagaimana soal gaji? Para pemain profesional di Mobile Legends Professional League bisa mendapatkan gaji sekitar Rp7,5 juta per bulan. Bisakah gaji manajer disandingkan dengan gaji pemain esports profesional? Ketika ditanya tentang hal ini, Vivi menyebutkan, gaji yang Morph berikan untuk manajer baru sesuai dengan Upah Minimum Provinsi (UMP). Untuk kawasan Jakarta — karena kebanyakan organisasi esports bermarkas di ibukota — UMP mencapai Rp4,4 juta. “Nggak mungkin di bawah itu,” ujar Vivi. “Gaji manajer juga bisa naik, tergantung timnya. Semakin sukses, semakin besar timnya, semakin besar gajinya.”

Morph juga menerapkan sistem insentif untuk para manajer. Namun, Vivi menjelaskan, setiap organisasi esports biasanya punya sistem insentif yang berbeda-beda. Ada organisasi yang menggunakan sistem persentase, ada juga yang menggunakan fixed price. “Misalnya, kalau fixed price, ketika tim juara 1 nasional, manajer akan mendapatkan sekian,” kata Vivi. “Bisa juga insentifnya berupa kenaikan gaji.”

 

Kesimpulan

Dalam sebuah tim esports, setiap pemain punya peran masing-masing. Misalnya, dalam Dota 2, ada pemain yang berperan sebagai Carry, ada yang berperan sebagai Support. Contoh lainnya, di PUBG Mobile, ada pemain yang menjadi Sniper, ada juga yang menjadi Scout atau Assaulter. Memang, ada peran yang akan terlihat lebih menonjol, layaknya striker dalam tim sepak bola. Meskipun begitu, sebuah tim hanya akan bisa tampil maksimal jika para pemainnya dapat bekerja sama dengan satu sama lain.

Begitu juga dengan pekerjaan-pekerjaan di dunia esports. Tidak usah berkecil hati jika tidak bisa menjadi pemain profesional. Memang tidak semua orang bisa menjadi gamer pro. Namun, hal itu bukan berarti seseorang tidak bisa membangun karir di dunia esports. Ada banyak pekerjaan lain di belakang layar yang tersedia. Walau peran sebagai manajer — atau pekerjaan manajemen lainnya — tidak gemerlap layaknya pemain esports, toh manajer tetap punya peran penting dalam memastikan keberlangsungan organisasi esports.

Esports Wild Rift di Mata Pelaku Esports Tanah Air: Pandangan, Tantangan, dan Harapan

League of Legends: Wild Rift yang hadir dalam fase beta pada September 2020 lalu tidak hanya dinanti oleh para pemain saja. Reputasi Riot Games sebagai “perusahaan esports” segera menciptakan gejolak bagi ekosistem esports lokal. Pemain yang belum dapat kesempatan di MOBA lain jadi segera push rank demi mendapat perhatian tim-tim besar. Para penggemar pun tak sabar, mulai bertanya-tanya soal rencana esports Wild Rift. Organisasi esports pun tak mau kalah, beberapa sudah memulai perekrutan; bahkan ada juga yang sudah memiliki roster.

Setelah rilis versi beta dan menjalankan gelaran Wild Rift SEA Pentaboom, lalu apa langkah Riot Games selanjutnya untuk Wild Rift? Pertanyaan tersebut mungkin bukan cuma saya saja yang menanyakan. Pemain, fans, dan organisasi esports bisa jadi punya pertanyaan serupa, tak sabar menunggu langkah selanjutnya dari Riot Games.

Untuk itu mari coba kita lihat dulu sudah sampai mana perkembangan esports Wild Rift di kancah lokal sejauh ini. Apa yang sedang dilakukan dan diharapkan oleh organisasi esports lokal terhadap Wild Rift? Apa yang seharusnya Riot Games lakukan terhadap esports Wild Rift nantinya? Mari coba kita bedah satu per satu.

 

Regional Beta, dan Wild Rift Pentaboom (Perkembangan dari sisi game)

Perkembangan game Wild Rift sudah cukup pesat selama kurang lebih 3 bulan perjalanannya. Jumlah Champion terus bertambah secara konsisten. Patch terus menerus digelontorkan guna memperbaiki dan melakukan balancing permainan.

Riot Games juga perlahan merilis Wild Rift di berbagai negara lain pasca regional beta pertama di 7 negara Asia Tenggara (termasuk Indonesia) Oktober 2020 lalu. Namun selama 3 bulan perkembangannya, sempat ada satu fitur kunci yang diidam-idamkan namun tak kunjung hadir di dalam game. Fitur tersebut adalah Spectator Mode.

Tanpa fitur tersebut, geliat esports Wild Rift di beberapa bulan awal perilisannya jadi sedikit tersendat. Walau sudah bisa membuat custom room, namun komunitas jadi tidak bisa menayangkan pertandingan Wild Rift ke muka publik karena tidak ada Spectator Mode.

Beberapa penyelenggara tetap nekat menyelenggarakan dan menayangkan turnamen Wild Rift. Salah satunya adalah sosok kreator konten bernama Assassin Dave contohnya. Ia tetap menyelenggarakan Wild Rift Asia Brawl walau harus menerima kenyataan bahwa Wild Rift masih belum memiliki Spectator Mode beberapa pekan lalu. Hal tersebut tentu menjadi tantangan teknis tersendiri.

Selain turnamen yang digagas komunitas, turnamen yang digagas oleh Riot Games juga mengalami kesulitan serupa. Wild Rift Pentaboom adalah turnamen tersebut. Wild Rift Pentaboom juga menggunakan metode penayangan serupa, dengan cara cara mewajibkan peserta untuk melakukan stream dari layar smartphone ke internet agar dapat dilihat oleh khalayak ramai. Walaupun tetap bisa menayangkan pertandingan dan menghadirkan sosok-sosok streamer ternama di kancah MOBA, namun turnamen tersebut rasanya tetap kurang lengkap karena jadi kurang sedap ditonton.

Untungnya Riot Games cukup tanggap dengan situasi walaupun prosesnya terbilang cukup lama. Riot Games mengumumkan patch 2.1 pada tanggal 1 Februari 2021 kemarin. Patch tersebut akhirnya menyertakan fitur yang sudah didamba-damba, terutama ekosistem esports lokal secara keseluruhan. Fitur tersebut adalah Spectator Mode. Selain itu, patch tentu juga menyertakan konten-konten yang rutin hadir seperti Champion baru, balancing, juga skin baru.

 

Kondisi Ekosistem Esports Wild Rift di Indonesia Sejauh Ini

Setelah membahas perkembangan game Wild Rift, perkembangan minat tim esports lokal jadi pembahasan berikutnya. Pembahasan tersebut penting karena kehadiran tim ternama juga meningkatkan minat fans untuk menyaksikan pertandingan esports.

Dalam membahas Wild Rift pada konteks lokal, saya merasa ada empat tim yang perlu ditanyakan pendapatnya. Empat tim tersebut adalah EVOS Esports, Bigetron Esports, BOOM Esports, dan Alter Ego. Kenapa tim tersebut saya pilih? Akan saya jelaskan sembari membeberkan jawaban mereka seputar Wild Rift. Sebagai tambahan, saya juga mewawancara perwakilan dari Yamisok sebagai salah satu penyelenggara turnamen pihak ketiga yang sudah mengadakan turnamen Wild Rift pada 2 bulan ke belakang.

Pertama EVOS Esports. Sang macan biru sebenarnya belum terlihat melakukan pergerakan apapun terhadap esports Wild Rift. Belum ada open recruitment apalagi pengumuman roster. Namun para penggemar terlihat sangat mengharapkan EVOS Esports turut terjun ke Wild Rift nantinya. Apalagi setelah roster AOV (Wirraw, Pokka, Carraway, dan kawan-kawan) beberapa kali terlihat main bareng Wild Rift.

Aldean Tegar Gemilang selaku Head of Esports EVOS menjadi narasumber saya untuk menjawab pertanyaan terkait minat tim terhadap Wild Rift. Secara umum, Aldean mengatakan bahwa EVOS Esports masih dalam posisi “wait and see”. Posisi tersebut cukup wajar mengingat ekosistem Wild Rift yang belum terbentuk sempurna. Bahkan game-nya saja masih dalam tahap beta.

Sumber Gambar - YouTube Channel
Aldean Tegar, Head of Esports dari EVOS Esports. Sumber Gambar – YouTube Channel Jonathan Liandi.

“Jujur kami belum punya rencana untuk masuk skena Wild Rift. Kami cenderung memilih untuk mengamati lebih dulu bagaimana Wild Rift berdampak terhadap perkembangan scene esports di Indonesia. Kalau memang dampaknya besar dan punya ekosistem yang menjanjikan, maka kami akan terjun ke dalamnya.” Aldean mengatakan.

Berhubung penasaran, saya juga bertanya soal kemungkinan roster AOV menjadi ujung tombak Wild Rift EVOS Esports. Apabila spekulasi tersebut benar, maka esports Wild Rift tentu akan jadi lebih seru. Jadi lebih seru karena mengingat prestasi roster AOV milik EVOS yang luar biasa. Aldean pun mengatakan, “kami masih no comment terkait hal tersebut. Jawabannya bisa jadi iya, bisa juga tidak.”

Selanjutnya ada Bigetron Esports. Sang robot merah putih adalah organisasi esports terdepan di skena Wild Rift sejauh ini. Mereka adalah tim pertama yang punya divisi Wild Rift di Indonesia. Roster mereka juga cukup menjanjikan karena menghadirkan sosok mantan pemain profesional League of Legends PC seperti Rully “Nuts” Sutanto sebagai salah satu contohnya.

Thomas Vetra selaku Head of Esports Bigetron adalah narasumber saya untuk menjawab bagaimana perjalanan tim tersebut di skena Wild Rift sejauh ini. “Kami sempat mengikuti turnamen level Asia yang bernama Wild Rift Asia Brawl. Kami mengakui hasilnya memang tergolong kurang maksimal sejauh ini.” Sejauh ini Bigetron Infinity (nama divisi Wild Rift Bigetron Esports) sudah berhasil lolos dari fase grup Wild Rift Asia Brawl dan sedang bertanding di babak Playoff.

Thomas Vetra, Head of Esports Bigetron. Sumber Gambar - Bigetron Esports.
Thomas Vetra, Head of Esports dari Bigetron Esports. Sumber Gambar – Bigetron Esports.

Karena Bigetron Esports cepat sekali mengumumkan divisi Wild Rift, saya jadi bertanya-tanya soal apa yang menjadi kegiatan tim dan juga bagaimana pandangan manajemen terkait keputusan yang dilakukan.

“Kalau soal kegiatan, saat ini para pemain kami wajibkan untuk berlatih di gaming house karena kebanyakan pemain memang merupakan pensiunan generasi terakhir dari esports League of Legends. Kalau soal turnamen, memang cukup sulit mencari ladang tanding tim Wild Rift dari apa yang saya perhatikan sejauh ini. Lalu kalau soal membuat tim saat ekosistemnya belum siap, saya merasa hal tersebut tidak bisa dikatakan sebagai kerugian tapi ke arah sebuah investasi. Apalagi saya pribadi juga merasa Wild Rift punya peluang menjadi besar di pasar Asia dan kawasaln lainnya.” Tutur Thomas.

Berikutnya ada BOOM Esports. Tim dengan jargon #HungryBeast ini baru mengmumkan roster Wild Rift. Tidak sekadar mengumumkan roster saja, BOOM Esports cukup niat untuk menyajikan dokumentasi proses seleksi yang dilakukan. Bermodalkan insting Leonard “OMO” yang sudah malang melintang sebagai pelatih League of Legends di Asia, BOOM Esports menyaring 3000 lebih pendaftar sampai menyisakan 5 pemain muda berbakat yang diumumkan tanggal 1 Februari 2021 kemarin.

Untuk mengetahui lebih lanjut soal alasan BOOM Esports melakukan perekrutan divisi Wild Rift secara lebih dini, saya pun bertanya kepada Gary Ongko selaku Founder dan CEO BOOM Esports.

Gary Ongko Putera, Owner dan CEO dari BOOM Esports. Sumber Gambar - YouTube Channel HybridIDN.
Gary Ongko Putera, Owner dan CEO dari BOOM Esports. Sumber Gambar – YouTube Channel HybridIDN.

“Alasannya karena kami merasa League of Legends adalah franchise yang punya reputasi baik di kancah esports. Ditambah lagi kami juga melihat bagaimana MOBA di mobile laku keras di Indonesia. Karena hal tersebut kami jadi merasa bahwa Wild Rift punya potensi mencapai kesuksesan serupa bahkan mungkin dengan lingkup negara yang lebih luas.” Ucap Gary Ongko kepada saya.

Gary Ongko lalu juga bercerita soal proses seleksi yang dilakukan oleh BOOM Esports yang prosesnya berlangsung selama kurang lebih sekitar dua bulan.

“Bicara soal perekrutan, untungnya kami dibantu oleh coach OMO yang punya pengetahuan mendalam terhadap League of Legends. Berkat sang pelatih, kami bisa mendapatkan talenta berbakat. Pemain-pemain kami tergolong masih hijau, tapi saya merasa mereka punya potensi. Hasil scrim mereka juga cukup memuaskan dan sang pemain terlihat punya niat belajar tinggi; yang memang penting bagi seorang pemain profesional.” Gary menceritakan soal pemain-pemain terpilih dari 3000 lebih kontestan.

“Lalu kalau bicara soal challenge, salah satu yang sulit adalah mencari orang yang berkualitas di skena LoL. Menurut saya alasannya adalah karena game tersebut tidak sempat berkembang sangat besar di Indonesia. Karenanya jadi sulit mencari orang yang benar-benar expert sampai akhirnya kami memutuskan untuk merekrut OMO (pelatih LoL asal Singapura). Tantangan lain adalah situasi pandemi saat ini. Pada awalnya kami berencana melakukan bootcamp saat seleksi. Tapi karena pandemi, formatnya pun terpaksa kami ubah menjadi online saja.” Gary melanjutkan ceritanya membahas tantangan selama seleksi.

Terakhir ada Alter Ego. Tim ini juga tak kalah penting untuk disorot dibanding dengan tim lainnya. Pasalnya, Alter Ego bersama ONIC Esports baru saja menerima undangan langsung untuk bertanding di turnamen Wild Rift resmi Riot Games yang perdana yaitu Wild Rift SEA Icon Series: Preseason. Undangan tersebut cukup mengejutkan karena Alter Ego belum terlihat memiliki divisi Wild Rift sejauh ini.

Indra Hadiyanto selaku COO dan Co-Founder Alter Ego pun angkat bicara soal roster Wild Rift dan cerita Alter Ego diundang ke dalam turnamen Wild Rift Icon Series saat saya wawancara beberapa hari lalu (04/02).

“Soal kenapa Alter Ego diundang, mungkin organisasi kami ter-notice karena punya prestasi di skena VALORANT yang juga game dari Riot Games. Kalau ditanya kenapa Alter Ego diundang, pihak developer sebenarnya sudah punya kriteria tersendiri, mulai dari segi pemain, rank, dan mereka bahkan juga memberi pertanyaan-pertanyaan kepada manajemen sebelum akhhirnya diudang. Pada saat mengundang, Riot Games juga menjelaskan kepada kami (para pemilik tim) soal roadmap dari game-game mereka.” Tutur Indra.

Indra Hadiyanto, COO
Indra Hadiyanto, COO dan Co-Founder Alter Ego.

Terkait roster, Indra pun menjelaskan. “Alter Ego memang belum melakukan announcement, tetapi kami memiliki roster Wild Rift yang sudah dikontrak sejak Desember 2020. Alasan kenapa belum diumumkan adalah karena kombinasi situasi pandemi COVID-19, gaming house Alter Ego yang sedang direnovasi, dan kondisi pemain Wild Rift kami yang berdomisili di luar Jakarta. Soal siapa roster-nya, kelima pemain kami berasal dari Indonesia yang beberapa merupakan mantan pemain League of Legends (PC). Divisi Wild Rift kami juga bisa dibilang cukup mendominasi skena kompetitif lokal yang ada sejauh ini. Salah satunya adalah turnamen komunitas bertajuk IEC yang berhasil kami menangkan pada beberapa kesempatan.”

Terakhir untuk melengkapi pandangan terhadap kondisi ekosistem Wild Rift Indonesia sejauh ini, saya juga mewawancara perwakilan dari penyelenggara turnamen pihak ketiga. Ada Putri Fauziah selaku Project Manager dari Yamisok, sebuah platform turnamen esports berbasis teknologi. Yamisok sudah rutin mengadakan turnamen walaupun Wild Rift belum bisa ditayangkan pada dua bulan lalu karena belum ada mode spectator.

“Ketidakhadiran mode spectator memang berpengaruh banget bagi komunitas. Karena enggak bisa live, kami jadi enggak bisa ajak para pemain berinteraksi. Padahal sejauh pengalaman saya, game-game baru biasanya ramai penonton apabila di-livestream. Apalagi kalau dilengkapi dengan giveaway sambil memberi unjuk bentuk tayangan pertandingan game baru tersebut kepada komunitas.” Tutur Putri menceritakan pengalamannya.

Putri Fauziah, Project Manager dari Yamisok.
Putri Fauziah, Project Manager dari Yamisok.

“Lalu kalau ditanya soal antusiasme komunitas, saya melihat sejauh ini penerimaannya sangat baik. Banyak pemain tertarik untuk mengikuti turnamen. Ketika kami buka slot turnamen, pemain dan tim langsung mengerubungi dan mengisi slot tersebut. Bahkan apablia selang satu bulan saja tidak ada turnamen, maka beberapa pemain akan langsung bertanya-tanya. Soal siapa pesertanya, saya lihat ada beberapa pemain adalah eks-pemain LoL PC yang sekarang main Wild Rift. Mungkin karena turnamen LoL PC yang sudah semakin sedikit sekarang. Jadi sejauh pengamatan saya, Wild Rift memang memberi dampak yang baik kepada ekosistem karena antusiasme pemain dan juga karena menambah variasi game MOBA yang ada untuk dipertandingkan.” Putri melanjutkan ceritanya membahas antusiasme komunitas.

 

Segala Harapan Untuk Wild Rift di Tahun 2021.

Menutup obrolan, lima narasumber saya juga menyatakan beberapa harapan mereka terhadap scene Wild Rift ke depannya di tahun 2021.

“Kalau bicara dalam konteks lokal, saya berharap Riot Games punya strategi yang mantap agar komunitas bisa berkembang dan semoga bisa bersaing dengan MOBA Mobile yang sudah besar di Indonesia. Karena kalau dalam konteks SEA saya sebenarnya cukup yakin bahwa Wild Rift akan menjanjikan.” Aldean Tegar dari EVOS mengatakan.

“Menurut saya Riot Games mungkin bisa memanfaatkan pasar League of Legends dan memberikan turnamen berhadiah besar untuk level Asia terlebih dulu. Tapi di luar itu, saya merasa bahwa Riot Games seharusnya sudah sangat paham mengenai ekosistem esports.” Thomas dari Bigetron Esports mengatakan.

“Gue berharap Riot Games terus konsisten mempromosikan Wild Rift dalam jangka pendek. Untuk jangka panjang gue berharap Riot Games bisa memberi support dan serius menggarap ekosistem esports Wild Rift. Tetapi berdasarkan apa yang gue lihat dari LoL dan VALORANT, gue cukup yakin Wild Rift juga akan digarap serius. Terakhir harapan gue mungkin adalah semoga Wild Rift tidak dibuat jadi semakin mudah. Kenapa? Supaya bisa membedakan antara pemain profesional dengan pemain casual.” Tutur Gary Ongko.

Worlds 2019
Kehadiran Worlds di skena League of Legends sudah menjadi fenomena tersendiri. Ketika Riot Games menyajikan Wild Rift, tidak heran kalau banyak orang berharap game tersebut juga bisa memiliki turnamen serupa. Sumber Gambar – Riot Games Official.

“Harapan gue mungkin lebih ke arah ekosistem lokal Indonesia. Berharap Indonesia bisa mendominasi kancah internasional Wild Rift nantinya. Apalagi saya juga memperhatikan bahwa Riot Games memberi kesempatan yang sangat besar kepada pemain dari SEA untuk game Wild Rift.” Indra dari Alter Ego menambahkan.

“Kalau dari saya sih, cuma berharap semoga ekosistem Wild Rift bisa berkembang dengan baik, bertahan lama, dan semoga game-nya tetap enteng dimainkan agar tetap bersahabat bagi gamers Indonesia.” Putri juga menambahkan.

League of Legends: Wild Rift sendiri masih berada dalam status beta sampai pada saat artikel ini ditulis. Ketika saya berbincang dengan tim pengembang Wild Rift bulan Oktober 2020 lalu, Brian Feeney selaku Design Director Riot Games juga menceritakan bagaimana membuat mobile games adalah proses yang menantang bagi mereka dan bagaimana pola kerja Riot Games juga cenderung mengutamakan pengembangan game lebih dulu baru menuju ke esports kemudian.

Berhubung game-nya belum bisa dibilang selesai, perkembangan ekosistem Wild Rift malah mungkin tergolong cepat jika berdasarkan dari apa yang kita lihat dari cerita-cerita di atas. Walaupun memang, kebanyakan inisiatifnya justru diumulai oleh pihak-pihak ketiga. Contohnya seperti tim-tim lokal yang sudah berani membuat tim walau Riot Games belum membeberkan rencana esports Wild Rift secara gamblang ataupun para penyelenggara pihak ketiga yang nekat melaksanakan turnamen untuk komunitas walau dengan segala keterbatasan.

Sumber: YouTube Channel League of Legends: Wild Rift
Dari sekitar 3 bulan Wild Rift beredar di pasaran, proses perkembangannya relatif cepat bagi developer dengan pengalaman pengembangan game mobile yang minim seperti Riot Games. Sumber Gambar –  YouTube Channel League of Legends: Wild Rift

Ke depannya, saya selaku pengamat merangkap penggemar sebenarnya punya harapan serupa seperti Gary Ongko; yaitu berharap Wild Rift punya turnamen dunia layaknya LoL dan berharap tim dari Indonesia turut berlaga di sana. Namun dari sudut pandang ekosistem, saya berharap Riot Games bisa belajar dari Tencent dalam mengelola PUBG Mobile.

Pendekatan dengan alur dari komunitas yang bermuara ke arah profesional bisa jadi alasan kenapa PUBG Mobile berhasil mengakar di Indonesia. Sepanjang perkembangannya, kita bisa melihat sendiri bagaimana ekosistem PUBG Mobile tidak hanya memperhatikan sisi kompetisi profesional saja. PUBG Mobile juga memperhatikan ekosistem esports lain yang ada di berbagai level.

Contoh nyatanya adalah kehadiran turnamen seperti PMCO (tingkat komunitas) sampai PMCC (tingkat Universitas) yang disertai dengan aktivitas seperti Caster Hunt dan Campus Ambassador. Karena bagaimanapun, ekosistem esports bukan cuma soal para profesional saja. Komunitas dan berbagai macam elemen di dalamnya juga memiliki fungsi penting sebagai akar yang menjaga agar ekosistem esports di tingkat teratas bisa tetap kokoh dan bertahan lama.

Sumber gambar utama – Official Riot Games