Menakar Peluang Bagi Developer Game Lokal di Nintendo Switch

Nintendo meluncurkan Switch pada 2017. Salah satu keunikan Switch adalah, selain bisa dimainkan seperti konsol kebanyakan, ia juga bisa menjadi handheld console. Keunikannya membuat Switch laku keras. Dalam laporan finansial pada Januari 2020, Nintendo mengungkap bahwa mereka telah menjual sekitar 52 juta unit Switch di dunia. Dengan begitu, total penjualan Switch telah melampaui Super Nintendo Entertainment System (SNES) dan bahkan hampir mencapai empat kali lipat dari total penjualan Wii U. Sebagai perbandingan, Sony meluncurkan PlayStation 4 pada 2013. Per Maret 2020, telah terjual 108 juta unit PlayStation 4 di dunia.

Keunikan Switch dan Perilaku Para Penggunanya

Jika dibandingkan dengan konsol PlayStation dan Xbox atau PC, Switch itu unik. Untuk bermain Switch, Anda tak melulu harus duduk di depan televisi. Sama seperti smartphone, Anda bisa memainkannya hampir kapan saja dan di mana saja. Karena itu, jangan heran jika perilaku gamer Switch juga agak berbeda dari para pemain PlayStation atau PC. Menurut Cipto Adiguna, VP of Consumer Games, Agate Studio, pemain Switch biasanya adalah orang-orang yang tidak punya banyak waktu luang untuk bermain.

“Banyak pemain Switch yang bermain untuk mengisi waktu luang. Bukannya menyempatkan diri, menyediakan waktu kosong untuk bermain game,” ujar Cipto ketika dihubungi melalui telepon. Dia lalu membagi para pemain Switch ke dalam 3 kategori. Pertama, pemain yang memainkan Switch sebagai handheld console dan juga menggunakan docking. Tipe kedua adalah pemain yang hanya memainkan Switch sebagai handheld. Kategori terakhir adalah pemain yang justru tidak pernah memainkan Switch sebagai handheld dan selalu meletakannya di docking. Cipto memperkirakan, ada 50 persen pengguna Switch yang masuk kategori pertama, sementara 2 kelompok sisanya masing-masing memiliki 25 persen.

Nintendo Switch juga punya docking. | Sumber: The Verge
Nintendo Switch juga punya docking. | Sumber: The Verge

Jadi, idealnya, game untuk Switch cukup kasual untuk bisa dimainkan kapan saja, tapi juga memiliki bobot sehingga bisa dimainkan dengan serius. Cipto mengaku, membuat game yang ideal memang tidak mudah. Meskipun begitu, dia berkata bahwa hal ini bukannya mustahil untuk dicapai. Sementara itu, Kris Antoni, pendiri Toge Productions mengatakan, pemain Switch biasanya lebih senang dengan game kasual.

“Nintendo selalu mengedepankan inovasi dalam interaksi bermain dan produk-produk mereka cenderung lebih family friendly. Jadi perilaku pemain Nintendo sedikit lebih kasual dan mencari pengalaman bermain yang fun dan inovatif, mereka tidak mengejar kualitas grafis semata,” kata Kris saat dihubungi melalui pesan singkat. Sementara terkait genre yang populer di kalangan pemain Switch, dia menjawab, “User Switch menggemari genre platformer dan action adventure.”

Apa Pertimbangan Developer Sebelum Merilis Game untuk Switch?

Saat ini, tidak banyak developer Indonesia yang membuat game untuk Switch. Agate Studio adalah salah satu dari segelintir developer lokal yang melakukan itu. Game yang mereka rilis ke Switch adalah Valthirian Arc: Hero School Story. Saat mengobrol dengan Cipto melalui telepon, dia bercerita, pada awalnya, Agate tidak berencana untuk meluncurkan Valthirian Arc di Switch.

“Saat kita pertama kali mengembangkan Valthirian Arc, Switch masih sangat baru. Jadi, kami nggak berencana membuat game untuk Switch,” aku Cipto. Namun, Agate melihat betapa tingginya hype akan Switch ketika Nintendo meluncurkan konsol tersebut. Mereka menganggap hal ini sebagai kesempatan. Dan keputusan mereka memang tepat. Cipto mengatakan, dari total penjualan Valthirian Arc, sebesar 40-50 persen berasal dari pengguna Switch.

Pada awalnya, Agate tak berencana merilis Valthirian Arc ke Switch. | Sumber: Steam
Pada awalnya, Agate tak berencana merilis Valthirian Arc ke Switch. | Sumber: Steam

Menurut Cipto, ada beberapa alasan mengapa Valthirian Arc populer di kalangan pengguna Switch. Pertama, popularitas Switch itu sendiri. Kedua, mobilitas Switch yang tinggi. Anda bisa memainkan Switch di mana saja dan kapan saja. “Pemain Switch cenderung tidak se-hardcore gamer PC atau PlayStation, yang harus duduk di depan layar untuk bermain,” katanya. “Kalau bermain di Switch, Anda bisa cuma bermain 15 menit, saat menunggu di mobil misalnya. Jadi, tidak perlu mendedikasikan waktu terlalu banyak.” Menurutnya, ini sesuai dengan gameplay Valthirian Arc yang memang tidak terlalu serius.

Popularitas Switch bukan satu-satunya hal yang Agate pertimbangkan sebelum memutuskan untuk membawa game buatan mereka ke konsol Nintendo itu. Ada beberapa faktor lain yang masuk dalam pertimbangan. “Pertama, seberapa mudah mendapatkan Development Kit-nya. Kedua, kita melakukan visibility study tentang apa saja yang harus kita optimasi,” jelas Cipto. Agate merasa perlu melakukan visibility study karena jika dibandingkan dengan PlayStation 4 atau PC gaming, hardware Nintendo Switch memang memiliki daya komputasi yang lebih rendah (baca: lebih cupu). Alhasil, jika Agate ingin merilis Valthirian Arc — yang pada awalnya tidak dibuat untuk PC dan PlayStation 4 — ke Switch, maka mereka harus melakukan banyak optimasi untuk memastikan game bisa berjalan dengan lancar.

Ultra Space Battle Brawl juga tersedia di Switch. | Sumber: Steam
Ultra Space Battle Brawl juga tersedia di Switch. | Sumber: Steam

Selain Agate, Toge Productions merupakan studio game lain yang juga merilis game ke Switch. Mereka menjadi publisher dari Ultra Space Battle Brawl buatan Mojiken Studio. Ketika ditanya mengapa Toge memutuskan untuk merilis game tersebut ke Switch, Kris menjawab, “Kami merasa Switch adalah konsol yang cocok untuk game local multiplayer atau party game seperti Ultra Space Battle Brawl. Dan Switch termasuk konsol baru dengan penyebaran yang cukup tinggi.”

Kesulitan Dalam Membuat Game untuk Switch?

Tentu saja, membuat game untuk Switch tidak semudah membalik tangan. Ada berbagai tantangan yang harus dihadapi oleh para developer. Cipto dan Kris setuju bahwa salah satu tantangan teresar dalam membuat game untuk Switch adalah sulitnya mendapatkan Development Kit. “Untuk mendapatkan DevKit Switch tidak mudah, terutama bagi game developer Indonesia,” aku Kris. “Salah satu alasannya adalah karena tingginya pembajakan di Indonesia dan birokrasi yang berbelit.” Memang, pembajakan konten digital masih menjadi masalah di Indonesia. Masih ada orang-orang yang dapat membeli PC gaming, tapi tak mau membeli game resmi.

Cipto menceritakan hal yang sama. Dia menjelaskan, demi mendapatkan Development Kit untuk Switch, Agate bahkan harus rela pergi keluar negeri. Masalah tidak berhenti sampai di situ, DevKit tersebut juga tidak boleh dibawa ke Indonesia, menyulitkan proses pengujian game. Untungnya, setelah beberapa lama, mereka akhirnya bisa membawa DevKit tersebut ke Indonesia. Selain DevKit yang sulit untuk didapat, masalah lain yang developer hadapi saat hendak membuat game untuk Switch adalah keterbatasan dari konsol itu sendiri. Jika dibandingkan dengan PlayStation atau Xbox, Switch memiliki bodi yang jauh lebih kecil karena harus bisa dibawa kemana-mana. Tapi, bodi mungil ini menawarkan masalah tersendiri.

“Switch kecil, jadi punya limitasi di thermal. Jangan sampai mesin menjadi terlalu panas. Memori nggak boleh terlalu besar. Kemampuan CPU juga tidak terlalu mumpuni,” ujar Cipto. Karena keterbatasan inilah, developer harus dapat melakukan optimasi game saat membuat game untuk Switch. Dia bercerita, saat membuat game untuk PlayStation atau PC, salah satu fokus utama developer adalah memberikan tampilan yang menawan. “Asetnya high-definition, animasinya banyak, gerakannya bervariasi,” kata Cipto. Sayangnya, developer tidak bisa terlalu fokus pada grafik dan animasi saat membuat game untuk Switch. “Begitu membuat game untuk Switch, kita nggak mungkin load banyak aset sekaligus.”

Nintendo Switch saat dimainkan sebagai handheld. | Sumber: BGR
Nintendo Switch saat dimainkan sebagai handheld. | Sumber: BGR

Optimasi juga harus diperhitungkan ketika developer melakukan porting dari platform lain — misalnya PC atau PlayStation — ke Switch. Ingat, kemampuan komputasi Switch lebih rendah dari konsol lain dan PC. Selain optimasi game, developer juga harus mempertimbangkan antarmuka game. Switch bisa dimainkan tanpa televisi karena ia memiliki layar sendiri. Hanya saja, layar tersebut jauh lebih kecil daripada televisi atau monitor yang digunakan untuk bermain PlayStation atau PC. Jadi, Cipto menyarankan, sebaiknya hindari memberikan informasi terlalu banyak di satu layar untuk pemain.

Tentang proses porting dari platform lain ke Switch, Kris memiliki pandangan yang sama dengan Cipto. Developer harus mempertimbangkan keterbatasan hardware Switch ketika melakukan porting game untuk konsol itu. Dia menjelaskan, “Limitasi hardware seperti kapasitas memory dan processor perlu diperhatikan agar game berjalan lancar dan tidak nge-lag. Ukuran layar, UI layout dan skema controller juga perlu diperhatikan. Apalagi jika game aslinya menggunakan keyboard dan mouse.”

Potensi Pasar Game untuk Switch

Bagi Agate Studio, pasar Switch sangat potensial. Salah satu alasannya, karena tidak banyak developer lokal yang membuat game untuk Switch. Memang, membuat atau melakukan porting game ke Switch bukan hal yang mudah. Namun, Cipto merasa, kerja keras tim Agate untuk membuat atau melakukan porting ke Switch tidak sia-sia.

Faktanya, saat membuat kelanjutan Valthirian Arc, Agate berencana untuk langsung membuatnya ke Switch. Kemudian, mereka baru akan melakukan porting ke platform lain, seperti konsol next-gen misalnya. Alasan Agate sederhana. Jika dibandingkan dengan PC atau konsol lain, Switch memiliki hardware yang paling lemah. Jadi, jika sebuah game bisa berjalan dengan lancar di Switch, maka ia seharusnya bisa dimainkan tanpa masalah di platform lain.

Konsol next-gen — PlayStation 5 dan Xbox Series X — diperkirakan akan diluncurkan tahun ini atau tahun depan. Namun, Cipto juga percaya, itu tidak akan membuat Nintendo Switch kehilangan keunikannya. “Karena Switch memiliki unique value proposition yang jelas. Switch bisa memenuhi kebutuhan orang-orang yang ingin bisa bermain sambil jalan atau di rumah. Selain itu, karena controller-nya ada dua, jadi kemana-kemana Anda tetap bisa bermain berdua,” ujarnya. Sambil bercanda dia membandingkannya dengan PlayStation, “Kalau mau bawa PlayStation, berarti harus bawa televisinya juga dong.”

Sementara itu, menurut Kris, potensi pasar game untuk Nintendo Switch sama seperti PC atau konsol lainnya. Tentu saja, potensi pasar juga tergantung pada jenis game yang hendak dibuat atau tipe gamer yang ditargetkan sang developer. “Tapi, dengan melakukan porting (ke Switch), kita bisa memperluas market game kita,” ujarnya. Dia juga mengungkap, di pasar internasional, game buatan Indonesia mendapat sambutan yang hangat.

“Ada sejumlah game yang diterima dengan sangat baik di global, baik yang sudah rilis seperti Coffee Talk, Infectonator, DreadOut, dan yang belum rilis seperti A Space for the Unbound, When the Past Was Aroound dan lain sebagainya,” ungkap kris. Untuk memasarkan game-game Indonesia, Toge bekerja sama dengan publisher asing, seperti publisher asal Jepang dan Eropa.

A Space for the Unbound mendapatkan sambutan hangat. | Sumber: Steam
A Space for the Unbound mendapatkan sambutan hangat. | Sumber: Steam

Meskipun pasar game Swich disebut berpotensi, tidak banyak developer yang membuat game untuk konsol buatan Nintendo tersebut. Sebagai Ketua AGI (Asosiasi Game Indonesia), Cipto mengatakan bahwa ada dua masalah yang menyebabkan hal ini. “Pertama, walau market-nya oke, tapi developer kesulitan untuk mendapatkan DevKit. Kedua, kesulitan dalam melakukan optimasi,” ujarnya. Lebih lanjut dia menjelaskan, saat mengembangkan game, developer biasanya lebih fokus pada grafik yang cantik atau gameplay yang unik. “Mereka belum memikirkan sampai optimasi,” kata Cipto.

Menyadari masalah ini, Agate menawarkan untuk membantu developer yang kesulitan untuk mendapatkan akses ke DevKit Switch atau dalam mengoptimasi game-nya. Alasan Agate mau membantu developer lain — yang seharusnya merupakan saingan mereka — adalah karena pasar game begitu besar sehingga para developer lokal tidak perlu khawatir untuk saling menganibal satu sama lain. Dengan saling membantu, Agate justru berharap akan ada semakin banyak developer Indonesia yang dikenal di mancanegara. Ini akan memudahkan developer lokal untuk mencari perusahaan asing sebagai rekan dan bisa memenangkan kepercayaan penyedia platform seperti Nintendo. Sementara itu, AGI bersama pemerintah juga berusaha untuk mejadikan Indonesia sebagai negara yang dapat menerima DevKit dengan mudah.

Kesimpulan

Keunikan Nintendo Switch menjadi daya tarik tersendiri bagi para gamer, membuatnya menjadi populer. Di mana ada gula, di situ ada semut. Konsol yang populer tentu menarik bagi developer untuk membuat game di konsol tersebut. Bagi developer lokal, Switch memang menawarkan pasar yang cukup menarik.

Sayangnya, mendapatkan Development Kit untuk Switch bukan perkara gampang. Dan Anda tidak bisa membuat game tanpa DevKit. Selain itu, developer juga harus bisa mengakali limitasi hardware pada Switch. Namun, jika berhasil mengatasi masalah-masalah itu, mungkin Anda akan bisa mendapatkan untung sebagai developer. After all, nothing worth doing is easy.

Sumber header: CNN

6 Tips dan Trik Asyik yang Bisa Anda Lakukan di FIFA 20

FIFA 20 mungkin memang telah dirilis beberapa waktu lalu. Namun dengan kompleksitas yang lebih tinggi dibanding dengan pendahulunya, mungkin Anda masih kesulitan memanfaatkan banyak hal yang bisa ditawarkan game bola besutan EA yang satu ini. Karena itulah kami membuatkan artikel tips dan trik FIFA 20 ini yang bisa dilakukan untuk membantu meningkatkan permainan Anda.

Artikel ini akan kami bagi jadi 6 bagian, berdasarkan dari aspek-aspek penting yang bisa disadari dan ditingkatkan untuk membantu Anda meraih lebih banyak kemenangan.

Maksudnya, mengingat FIFA 20 adalah game yang realistis seperti layaknya bermain bola sungguhan, pembagian aspek ini dibuat untuk membantu Anda mengingat poin-poin besar penting baik saat berlatih ataupun bertanding. Percayalah, Anda butuh advantage di setiap aspek untuk memperbesar peluang menang di setiap pertandingan.

Terakhir, sebelum kita masuk ke masing-masing bagian, kami harus mengingatkan (alias disclaimer bahasa gaulnya) bahwa membaca ataupun menonton segala jenis tips dan trik tidak akan membuat Anda serta merta menjadi jagoan. Namun, Anda bisa menjadikan berbagai informasi yang kami suguhkan di sini untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi waktu saat belajar.

Anda tetap harus buanyaaaaaaaaak berlatih dan bertanding untuk membuat segala jenis informasi yang didapat agar menjadi muscle memory untuk mata dan jari jemari Anda.

So, without further ado…

Tips dan Trik Dribble FIFA 20

Kami yakin ada banyak pemain game bola yang sering berandai-andai untuk bisa berdansa di lapangan hijau layaknya Messi, Ronaldinho, ataupun Ibrahimovic. Untungnya, Anda bisa melakukan hal ini di FIFA 20 berkat kecanggihan engine yang ditawarkannya. Namun demikian, layaknya atlet sepak bola sungguhan yang lincah membawa bola, mereka tidak langsung hebat juga dari lahir. Mereka butuh ratusan atau bahkan ribuan jam berlatih sebelum bisa sampai ke titik ini. Hal itu juga yang perlu Anda sadari.

FIFA 20 menyuguhkan keluwesan pemain dengan implementasi sejumlah trik dribble yang bisa dilakukan dan dikombinasikan. Bahkan untuk menggiring bola saja, setidaknya ada 4 cara berbeda. Ada dribble biasa (hanya dengan menggunakan analog kiri), ada fast dribble (analog kiri+R2), slow dribble (analog kiri+L2+R2), ataupun strafe dribble (analog kiri+L1).

4 cara ini harus dikombinasikan untuk membuat lawan kesulitan menebak pergerakan pemain Anda. Anda memang bisa membawa bola lebih cepat dengan fast dribble namun cara ini juga akan membuat Anda lebih sulit mengontrol bola. Terlalu lama dengan slow drible juga akan membuat lawan memenuhi daerah pertahanan dengan lebih banyak pemain dan kehilangan momentum.

Jarak pemain lawan dengan pemain Anda yang membawa bola adalah hal paling penting yang harus diperhatikan saat melakukan dribble. Saat Anda memberikan umpan, Anda harus memperhatikan jarak pemain penerima umpan dengan pemain-pemain lawan. Jika terlalu dekat, segera gunakan slow dribble saat menerima bola. Jika ada ruang yang cukup besar antara pemain Anda dengan pemain lawan, gunakan fast dribble sepersekian detik untuk lebih cepat menusuk jantung pertahanan lawan.

Selain memperhatikan dan menghitung jarak antara pemain yang membawa bola dengan pemain-pemain lawan, satu hal yang tak kalah penting untuk disadari adalah mencoba memprediksi dan membaca pergerakan lawan yang sedang bertahan. Dua hal tersebut adalah hal mendasar yang harus selalu diingat saat membawa bola dan memutuskan cara dribble seperti apa yang harus digunakan.

Itu tadi masih soal beberapa jenis dribble. Seperti pendahulunya, FIFA 20 juga menyuguhkan beberapa trik dribble dan bahkan menambahkan beberapa trik yang sebelumnya tidak ada.

Trik-trik dribble ini memiliki tingkat kesulitan alias bintang. Semakin banyak bintangnya, semakin sulit dilakukan oleh pemain yang Anda kendalikan. Maka dari itu, menurut kami, beberapa trik dribble bintang satu dan dua harus dikuasai lebih dulu sembari membiasakan diri dengan beberapa jenis dribble yang kami tuliskan sebelumnya — jika Anda pemain pemula. Karena, trik-trik bintang satu bisa dilakukan oleh semua pemain namun hal tersebut tetap bisa jadi penentu menang atau kalah sebuah pertandingan.

Jika Anda pemain lama atau sudah terbiasa dengan beberapa jenis dribble tadi, Anda bisa mulai mengumpulkan lebih banyak trik untuk dikuasai. Semakin banyak trik, semakin banyak pula solusi yang Anda miliki di banyak situasi. Ingat ini tadi untuk pemain lama atau yang sudah masuk ke tingkat menengah, bukan untuk pemain pemula. Pasalnya, pemain pemula mungkin jadinya malah akan kebingungan untuk mengingat sekian banyak trik berbeda jika ingin langsung dipelajari semuanya.

Bonus tips dari Kenny Prasetyo, pro player FIFA 20, yang sekarang membawa bendera Raja Esports dan sudah beberapa kali bertanding di ajang kompetitif FIFA 20 tingkat internasional; “satu trik yang selalu konsisten aku pakai adalah drag back (R1+analog kiri arah balik. Karena buat aku yang penting adalah efektivitas trik tersebut dan trik ini juga mudah dikeluarkan dari sisi tombol-tombol yang harus ditekan.”

Dribble di FIFA 20 memang kompleks karena ada banyak trik yang bisa dilakukan dan banyak kombinasi tombol yang bisa ditekan. Namun, sama seperti belajar apapun, yang perlu Anda lakukan adalah pelajari satu demi satu dari yang lebih mudah sampai ke yang paling susah. Plus, dari pengalaman kami belajar menggiring bola di game, semakin sering dan semakin lama Anda bermain, semakin lamban pula kelihatannya pergerakan lawan-lawan Anda. Hal ini terjadi berkat reflek mata dan tangan Anda (serta koordinasi antara keduanya) yang semakin cepat. Jadi, jangan bosan berlatih ya.

Tips dan Trik Oper Bola di FIFA 20

Sehebat apapun Anda merasa bisa menggiring, Anda harus mengoper bola. Memberikan umpan ke kawan juga menjadi cara yang lebih cepat untuk menusuk ke jantung pertahanan lawan, ketimbang menggiringnya sendiri — meski memang menggiring sendiri terlihat lebih fantastis. Namun, jika ingin bermain FIFA yang lebih efektif dan efisien, Anda juga harus bisa menguasai teknik mengoper bola.

Sama seperti dribble tadi, ada banyak cara yang bisa Anda lakukan untuk memberikan umpan ke kawan. Mungkin kami tak perlu membahas tentang perbedaan penggunaan umpan lambung, umpan terobosan, ataupun umpan pendek karena jelas terlihat perbedaannya. Namun demikian, yang mungkin belum disadari ataupun belum sering dimanfaatkan oleh sejumlah pemain adalah kombinasi tombol-tombol untuk mengumpan selain tombol dasarnya (seperti tombol Segitiga untuk umpan terobosan).

Dua umpan yang butuh kombinasi tombol misalnya adalah L1+R1+Segitiga untuk memberikan umpan lambung terobosan (driven lobbed through pass) dan tekan tombol Segitiga dua kali untuk umpan terobosan yang sedikit di atas tanah (lofted ground through pass) — sedikit lebih tinggi di atas umpan datar tapi tidak setinggi umpan lambung.

R1 juga bisa digunakan bersama dengan tombol umpan biasa (X) untuk memberikan tenaga yang lebih kencang. Satu hal yang pasti, yang perlu Anda ingat, tombol R1 bisa digabungkan dengan tombol Segitiga atau X (tergantung umpan seperti apa yang Anda inginkan) untuk memberikan umpan dengan tenaga lebih agar bola bergulir lebih cepat dan lebih sulit dihadang lawan.

Sedangkan tapping 2x tombol umpan (X ataupun Segitiga) juga bisa digunakan agar tidak mendatar. Umpan melayang ini juga lebih efektif untuk dikombinasikan dengan first touch shoot untuk mencetak gol ketimbang umpan datar biasa.

Tentunya, ada juga kombinasi umpan antar pemain yang lebih cantik dan kompleks seperti umpan one-two yang bisa Anda manfaatkan untuk mengecoh pertahanan lawan. Namun Kenny kembali memberikan sarannya jika Anda ingin lebih kreatif. “Usahakan agar umpan Anda lebih sulit terbaca lawan agar lebih sulit dipotong. Kombinasi umpan one-two misalnya, bisa digunakan juga buat lebih dari dua pemain. Jika biasanya umpan one-two adalah antara dua striker, Anda bisa memanfaatkan gelandang serang juga agar lebih sulit terbaca.”

Misalnya, setelah penyerang pertama mengumpan ke penyerang kedua, penyerang kedua bisa juga melemparkan bola ke gelandang serang (CMA) ketimbang mengembalikan bola ke penyerang pertama.

Tips dan Trik Menembak Bola (Shooting/Finishing) di FIFA 20

Selincah apapun giringan Anda dan secantik apapun umpan-umpan yang Anda lakukan, semuanya tidak akan ada gunanya jika Anda tidak bisa mencetak skor. Makanya, hal ini juga penting untuk dipelajari dan dikuasai.

Pertama, ada beberapa jenis tembakan ke gawang juga di FIFA 20 selain tembakan biasa (tombol Lingkaran). Dua trik tendangan yang akan paling sering digunakan adalah finesse shot (tendangan pisang) dan low driven shot (tendangan datar).

Finesse shot (R1+Lingkaran) adalah tendangan yang mengorbankan kecepatan untuk akurasi yang lebih tinggi. Tendangan pisang tadi lebih efektif jika Anda berada di sekitar garis kotak penalti. Terlalu dekat ke gawang tidak akan efektif. Sedangkan di luar kotak penalti juga tidak efektif.

Sedangkan tendangan datar (L1+R1+Lingkaran) lebih efektif jika pemain Anda berada satu garis lurus berhadapan dengan kiper lawan. Meski begitu, Anda bisa mengkombinasikan tendangan datar ini dengan tombol tendangan pisang jika ingin menembak dari sudut tertentu. Untuk melakukan kombinasi ini, tekan R1+Lingkaran lebih dulu lalu tekan L1+R1 dengan cepat sesudahnya.

Kedua, seperti yang kami tuliskan tadi, sudut arah tendangan ke gawang akan berpengaruh dalam menentukan jenis tendangan seperti apa yang efektif. Namun, arah tendangan Anda juga akan berpengaruh (tiang jauh atau tiang dekat) dan salah satu cara paling efektif mencetak skor dari banyak sudut adalah dengan mengarahkan tendangan ke tiang dekat. Untuk pemain tingkat lanjut, Anda bisa juga memperhatikan arah pergerakan kiper lawan.

Ada juga chip shot yang bisa digunakan dengan menekan tombol L1+Lingkaran. Sayangnya, tendangan ini hanya efektif jika kiper lawan bergegas mendekati Anda. Ada juga yang namanya flair shot (L2+Lingkaran) yang terlihat fantastis namun, saran kami, gunakan tendangan ini jika Anda memang sudah yakin menang. Misalnya skor sudah 5-0 atau melawan pemain yang memang belum pernah menang melawan Anda selama berabad-abad.

Terakhir ada juga timed finish yang sudah ada sejak di game sebelumnya. Namun demikian, sayangnya, timed finish ini tidak lagi overpowered di FIFA 20 karena tidak lagi semudah itu dilakukan. Untuk pemain tingkat mahir, Anda tetap bisa menguasainya untuk memberikan advantage atau bisa juga untuk pamer kemampuan.

Sebagai penutup di aspek ini, Kenny juga memberikan tambahan tips darinya. Menurutnya, sundulan di FIFA 20 kali ini tidak efektif. “Jadi, jangan coba-coba bermain dengan gaya selalu crossing.” Selain itu, Kenny juga setuju bahwa tendangan ke arah tiang dekat lebih besar peluangnya untuk mencetak gol. “Aku juga sekarang sudah jarang pakai finesse shot karena sudah ga OP. Sekarang lebih sering ke tembakan biasa. Cukup pencet shoot dan gol. Hahaha…” Katanya.

Tips dan Trik Set Piece (Bola Mati) FIFA 20

Mungkin, buat sebagian orang, mengandalkan gol dari tendangan bebas ataupun tendangan pojok memang terlalu sulit dilakukan. Namun demikian, eksekusi bola mati bukan berarti tidak bisa dipelajari ataupun disiasati.

Ada dua alasan kenapa eksekusi bola mati wajib diperhatikan. Pertama, satu gol saja bisa jadi penentu kemenangan atau kekalahan Anda. Jadi, satu gol yang tercipta dari tendangan bebas bisa sangat berharga. Kedua, tendangan bebas dan tendangan pojok adalah bentuk hukuman alias konsekuensi dari pertahanan lawan. Jika Anda tidak bisa memanfaatkan hal tersebut dengan baik, musuh akan lebih bebas dalam bertahan. Misalnya, jika Anda sering membuang kesempatan tendangan bebas, musuh tidak akan pernah takut bermain keras selama di luar kotak penalti. Sebaliknya, jika Anda bisa memanfaatkan setiap tendangan pojok dengan baik — setidaknya membahayakan lawan — musuh akan lebih takut dan lebih lama saat membuang bola; yang juga bisa berarti musuh akan lebih banyak melakukan kesalahan.

Untuk tendangan bebas, Anda hanya bisa mengarahkan tendangan langsung ke gawang jika jaraknya di kisaran 25-30 yards alias 23-27 meter atau lebih dekat lagi. Jika jaraknya lebih jauh, Anda harus mengarahkan tembakan di atas gawang namun tetap di jangkauan lebar gawang dengan kekuatan 2 bar lebih sedikit. Sesaat setelah Anda melepas tombol tendangan, geser cepat analog kanan ke bawah untuk memberikan efek lengkung ke tendangan tadi.

Sedangkan untuk tendangan pojok, teknik yang bisa Anda lakukan adalah mencoba memberikan ruang yang lebih kosong di kotak penalti lawan untuk memperbesar kemungkinan pemain Anda melakukan sundulan. Caranya, Anda bisa memilih satu pemain (yang idealnya tidak pintar menyundul bola) mendekat ke penendang corner kick di ujung lapangan. Hal ini bisa mengelabuhi lawan dan mengerahkan satu pemain bertahan menjauh dari kotak penalti. Setelah itu, arahkan tendangan ke daerah yang agak kosong tadi, tahan tombol tendangan sampai 3,5 bar, sembari mengganti kendali (L1) ke pemain Anda yang paling baik dalam hal sundulan di kotak penalti. Lepaskan tendangan pojok dan berharaplah pemain yang sudah Anda pilih tadi memiliki ruang yang cukup untuk melepaskan sundulan.

Hal ini memang tidak selalu berhasil karena masih bergantung pada keberuntungan kosong atau tidaknya salah satu bagian di dalam kotak penalti lawan. Ditambah lagi sundulan di FIFA 20 lebih sulit dibanding game sebelumnya. Alternatif yang bisa digunakan dalam menyiasati tendangan pojok adalah tips yang diberikan Kenny.

Hal yang biasa ia lakukan adalah memanggil pemain mendekat lalu umpan pendek. Dari sana, ia bisa mencoba menusuk ke dalam kotak atau diumpan lagi ke pemain tengah. Setelah itu, jika bola diumpan ke pemain tengah, Anda bisa mencoba memberikan umpan pendek cepat ke pemain yang ada di dalam kotak.

Tips dan Trik Defense (Bertahan) di FIFA 20

Bermain bertahan mungkin memang kedengaran tidak sekeren gaya agresif. Namun, faktanya, Anda juga harus mempelajari bagaimana cara bertahan yang efektif karena dua alasan.

Pertama, Anda tidak akan mungkin selalu dalam posisi menyerang di setiap pertandingan — kecuali musuh Anda tidak diperbolehkan memegang stik. Kedua, memahami setiap trik bertahan juga akan berguna saat menyerang. Kok bisa? Nanti kami akan jelaskan.

Kenny pun memberikan beberapa tips dasar yang harus diperhatikan dalam bertahan yang, menurutnya, menjadi bagian paling penting di FIFA 20.

1. Selalu menekan tombol L2 saat bertahan untuk melakukan jockey movement.
2. Berlatih mengganti pemain dengan menggunakan analog kanan
3. Menjaga/mengejar pemain lawan yang sedang berlari meminta umpan terobosan berbahaya jika dilakukan secara manual.
4. Selalu usahakan menutup celah operan ke tengah lapangan. Posisikan pemain sehingga memaksa lawan bergerak ke sayap.

Selain tips dari Kenny tadi, ada beberapa tips tambahan yang mungkin bisa Anda ingat. Jangan selalu terburu-buru untuk mengejar bola, apalagi menggunakan pemain bertahan tengah karena hal tersebut bisa digunakan lawan untuk mengosongkan daerah kotak penalti Anda.

Selain itu, saat mengejar bola di pinggir lapangan alias di sayap, Anda tidak perlu berlari mendekati bola jika terlalu jauh dari posisi pemain lawan. Anda hanya perlu berlari lurus ke arah garis belakang lapangan karena toh nanti musuh juga pasti akan ke sana dan mencoba mendekati gawang.

Untuk beberapa trik tombol, Anda bisa bangun lebih cepat setelah sliding tackle dengan menekan tombol sliding tackle (Kotak) dua kali. Anda juga bisa menekan dan menahan tombol tendangan (Lingkaran) untuk tackle biasa dengan lebih keras.

Inti dari saat bertahan adalah bagaimana kemampuan Anda membaca pergerakan lawan. Dengan demikian, Anda jadi tahu kapan saat yang tepat untuk bergegas cepat merebut bola ataupun menahan diri dan mengumpulkan pemain untuk memenuhi daerah bertahan. Hal ini juga berguna nantinya saat digunakan untuk menyerang — setidaknya menurut kami. Semakin pintar Anda membaca pergerakan bola saat bertahan, semakin banyak pula solusi yang bisa Anda kumpulkan untuk memperkaya variasi serangan Anda. Selain itu, misalnya pun kecolongan saat bertahan, jika Anda memelajari strateginya, Anda bisa menggunakan strategi serang yang sama tadi di lain kesempatan — baik melawan orang yang sama ataupun berbeda.

Tips dan Trik Formation/Custom Tactics FIFA 20

FIFA 20 menawarkan kompleksitas yang cukup tinggi untuk fitur Formation atau Custom Tactics. Namun demikian, sayangnya, karena kompleksitas dan fleksibilitas yang tinggi tadi, Anda harus mencoba sendiri taktik yang tepat dengan gaya permainan Anda.

Untungnya, kita hidup di zaman digital yang mampu menyuguhkan berbagai informasi. Jadi, inilah yang perlu Anda lakukan.

Pertama, Anda harus memahami dulu istilah dan kegunaan dari masing-masing opsi yang ada di sana. Misalnya apa itu maksudnya dari Drop Back, Constant Pressure, Pressure on Heavy Touch, dan lain sebagainya. Anda bisa mulai googling dengan istilah-istilah tersebut. Kami tidak bisa menjelaskan semuanya di sini karena sudah terlalu panjang artikelnya hahaha…

Setelah Anda memahami istilah dan kegunaan masing-masing tadi, Anda bisa mulai mencari Custom Tactics yang digunakan oleh para pemain lain atau googling lagi dari guide yang ada di internet sebagai referensi. Kenapa jadi dua tahap belajarnya? Karena, menurut kami, tidak efektif juga jika Anda menelan mentah-mentah atau menerapkan Custom Tactics tadi tanpa mengetahui gaya bermainnya yang bisa jadi tidak cocok dengan gaya Anda.

Jika Anda paham dengan setiap istilah dan kegunaan tadi dan memiliki referensi formasi, Anda bisa mulai menyesuaikan formasi-formasi tadi sesuai dengan gaya bermain masing-masing.

Hal ini senada juga dengan yang diungkapkan oleh Kenny. “Custom tactics ini lebih ke personal masing-masing sih, gimana gaya main kita dan formasi favoritnya.” Namun ia juga berbagi referensi yang bisa Anda sesuaikan lebih lanjut. “Kalau aku sendiri, formasi favoritnya adalah 4-4-2 flat. Karena enak ada 2 striker yang bisa digunakan untuk one-two saat ingin bermain cepat tapi bisa juga untuk kontrol tempo permainan berhubung formasinya balance di setiap sisi. Kekurangannya paling di lini tengah karena kadang sedikit kosong saat bertahan kalau pemain tengahnya juga suka ikut maju menyerang.” Tutup Kenny.

Sumber: RAJA Esports Official Page
Sumber: RAJA Esports Official Page

Oh iya, inilah Formation, Instructions, dan Custom Tactics yang digunakan oleh Kenny saat ini.
– Formation: 4-4-2 Flat
– Instructions:
– LB & RB: Stay Back while Attacking
– 2 CM: Stay Central
– Custom Tactics:
– Defense Balance: 5-10
– Attack Balance: 5-5

Penutup

Akhirnya, sekali lagi, latihan dan jam terbang bertanding tentunya akan lebih berpengaruh dalam meningkatkan kemampuan Anda bermain. Namun demikian, setidaknya, mungkin artikel ini bisa berguna sebagai acuan dan pengingat saat Anda berlatih sehingga bisa lebih efisien. Jadi, selamat mencoba!

Disclosure: Artikel ini disponsori oleh Electronic Arts

Filosofi Gaming: Karena Hidup adalah Sebuah Permainan

Jika God Bless mengatakan bahwa dunia ini adalah sebuah panggung sandiwara, saya percaya betul bahwa hidup ini adalah sebuah permainan.

Di era matinya kepakaran dan perayaan kebebalan sekarang ini, mungkin banyak orang merasa berhak mendefinisikan teorinya masing-masing, tapi pernahkah Anda bertanya-tanya adakah landasan teori yang menjelaskan kenapa kita suka bermain game? Adakah relevansi bermain game dengan kehidupan kita sehari-hari? Dan bagaimana game bisa menjadi sebuah filosofi hidup?

Oh iya, sebelum Anda membaca lebih lanjut, bagi Anda yang lebih suka dengan jawaban-jawaban sederhana dan banal, mungkin sekarang saatnya menutup artikel ini karena saya tidak ingin membuang waktu Anda.

Jika Anda masih di sini, selamat! Anda sama anehnya dengan saya kwkwkwkwk… Meski memang pada akhirnya artikel ini adalah soal bagaimana sudut pandang saya dalam memaknai filosofi gaming, ada 3 buku yang saya jadikan landasan berpikir di sini. Ketiganya akan jadi bagian tersendiri dalam artikel ini.

Satu lagi sebelum kita masuk ke tiap bagian, saya mungkin juga harus memberikan penafian bahwa pemahaman saya atas ketiga buku itu bisa jadi sangat keterlaluan. Jadi, jika boleh saya memberikan saran, baca sendiri ketiga buku tadi. Dengan demikian, Anda mungkin bisa mendapatkan pencerahan yang berbeda dari hasil proses saya membaca buku-buku itu beberapa tahun silam.

Plus, tidak ada salahnya juga kan menggali ilmu dari membaca buku… Kata siapa gamer itu harus selalu berkisar pada drama, kebebalan, dan eksploitasi perempuan? Mari kita bahas satu persatu, sebelum saya malah jadi meracau bak influencer dan selebriti sosmed… Eh kwkwkwkw…

Homo Ludens: Manusia yang Bermain

Tidak sah rasanya jika tidak memasukkan buku tulisan Johan Huizinga ini ke dalam kerangka berpikir memandang hidup sebagai sebuah permainan. Berhubung saya memang tidak bisa berbahasa Belanda, buku yang saya baca adalah yang versi terjemahan, yaitu Homo Ludens: A Study of the Play-Element in Culture.

Dalam hasil pemikiran Huizinga yang paling sering digunakan di setiap karya ilmiah seputar gaming ini mengatakan bahwa bermain (play) bahkan sudah ada sebelum kita berbudaya dan bahkan hewan pun juga bermain meski tidak diajari.

Play is older than culture, for culture, however inadequately defined, always presupposes human society, and animals have not waited for man to teach them their playing.” (1).

Lebih jauh lagi, Huizinga juga berargumen bahwa esensi bermain juga dapat terlihat dari setiap aspek peradaban seperti perang, agama, politik, olahraga, ataupun karya seni. Berhubung bisa jadi terlalu panjang dan saya juga tidak merasa cukup mumpuni, saya tidak akan menuliskan rangkuman dari isi buku tersebut di sini. Anda bisa membaca salah satu rangkuman yang menurut saya cukup baik di tautan ini.

Credits: Leiden University Libraries
Credits: Leiden University Libraries

Saya mungkin memang tidak setuju dengan semua yang diutarakan Huizinga di buku setebal 220 halaman itu. Namun demikian, ada beberapa perkataannya di sana yang saya amini dan menjadi prinsip hidup saya. Salah satunya adalah kutipan di bawah ini.

But the following feature is still more important: the competitive “instinct” is not in the first place a desire for power or a will to dominate. The primary thing is the desire to excel others, to be the first and to be honoured for that.” (50).

Huizinga percaya bahwa ada elemen kompetitif di setiap permainan. Namun demikian, bermain bukanlah sekadar menghalalkan segala cara untuk menang. Kita memang harus bisa berusaha lebih baik dari yang lain namun bukan berarti dengan menanggalkan semua etika yang ada.

Hidup ini juga sebenarnya penuh dengan elemen kompetitif di setiap aspek — tidak hanya di esports saja. Anda, misalnya yang masih jomlo, harus bersaing dengan selusin pria lainnya dalam merebut perhatian gebetan Anda. Saya sendiri juga percaya bahwa saya harus bisa jadi penulis yang lebih baik dari hari ke hari; dan, bagi saya, penulis yang baik bukan hanya soal menulis di atas kertas atau media lainnya namun juga di benak orang-orang lain atau malah dirinya sendiri.

Jika Anda mengaku gamer sejati dan ingin menjadikan hobi tadi jadi lebih bermakna, Anda harus mengalami sendiri proses memahami pemikiran Huizinga. Namun demikian, izinkan saya menutup bagian ini dengan satu penggalan lagi dari bukunya.

Our point of departure must be the conception of an almost childlike play-sense expressing itself in various play-forms, some serious, some playful, but all rooted in ritual and productive of culture by allowing the innate human need of rhythm, harmony, change, alternation, contrast and climax, etc., to unfold in full richness.” (75).

Competence, Autonomy, and Relatedness

Saya sebenarnya pernah menuliskan hal ini beberapa tahun silam di blog pribadi saya, soal alasan kenapa kita bermain game jika dilihat dari sudut pandang psikologis. Namun, saya kira ketiga alasan di atas juga ada relevansinya dalam membentuk pola pikir filosofi gaming.

Kompetensi, otonomi, dan sosialisasi, ketiga hal tersebut menjadi jawaban atas pertanyaan kenapa kita bermain game di buku Glued to Games: How Video Games Draw Us in and Hold Us Spellbound dari Scott Rigby dan Richard Ryan.

Mari kita bahas satu per satu, mulai dari kompetensi. William James pernah mengatakan dalam bukunya The Principles of Pyschology bahwa hasrat terdalam dari setiap sifat manusia adalah keinginan untuk dihargai. Bermain game dapat menyuguhkan hal ini dengan cara yang lebih konkret ketimbang di kehidupan nyata. Tingkat pencapaian Anda juga jauh lebih gamblang terdefinisikan di game.

Lalu bagaimana mengejawantahkan konsep kompetensi tadi? Saya pribadi setidaknya mencoba lebih fair dalam memberikan penilaian ke orang-orang di sekitar saya. Selain itu, saya juga mencoba menyempatkan kontemplasi diri atas pencapaian saya di setiap malam.

Bagaimana dengan otonomi? Otonomi adalah soal menentukan pilihan. Setiap kita bisa sampai ke titik ini juga sebenarnya dari akumulasi setiap keputusan yang kita ambil. Sayangnya, lagi-lagi, seringnya game mampu menunjukkan hubungan kausal yang lebih kentara dari pada hidup kita — baik soal aspek personal ataupun profesional. Selain itu, hidup kita juga mungkin memiliki lebih banyak kekangan — apalagi di sekarang ini ketika setiap orang merasa berhak menghakimi sesamanya di jejaring sosial.

Saya? Atas hasil serangkaian pemikiran tadi, saya lebih percaya untuk menghargai kebebasan setiap orang mengambil keputusan dan saya merasa tidak perlu untuk mengubah prinsip hidup orang-orang lain — yang mungkin berbeda dari saya.

Ketiga, Aristoteles berargumen bahwa manusia adalah mahluk sosial dan saya kira banyak yang setuju dengan pendapatnya tadi. Meskipun di game-game singleplayer sekalipun, game mampu membuat kita merasa jadi bagian dari sebuah komunitas. Makanya di game-game seperti seri The Witcher, Mass Effect, Borderlands, Skyrim, ada sejumlah NPC yang diposisikan untuk menjadi kawan Anda.

Lalu apa yang bisa kita maknai dari sini? Berkawanlah dan berusaha lebih keras untuk memanusiakan manusia. Tak jarang kita terjebak dengan dikotomi kita dan mereka. ‘Kita’ adalah orang-orang yang punya agama, pandangan politik, gaya hidup, dan prinsip yang sama. Sedangkan ‘mereka’ adalah yang tak sejalan dan sealiran. Jika game mampu membuat para pemainnya merasa jadi bagian dalam sebuah kebersamaan, kenapa kita tidak bisa melakukannya dengan sesama manusia?

Rules of Play

Buku ketiga, Rules of Play: Game Design Fundamentals, mungkin sedikit berbeda dengan dua buku tadi yang nilainya lebih pragmatis buat mereka-mereka yang bekerja di game publisher atau developer. Pasalnya, buku tulisan Katie Salen dan Eric Zimmermann ini lebih banyak menawarkan insight yang cukup komprehensif tentang bagaimana mendesain sebuah game.

Buat yang tertarik untuk bekerja di industri gaming dan sekitarnya, Anda juga wajib membaca buku yang sangat bermanfaat ini. Jika Anda tertarik untuk membaca ringkasannya, ada salah satu rangkumannya di tautan ini.

Secara garis besar, buku terbitan MIT Press ini terbagi menjadi 4 unit, yaitu:

  • Core concepts
  • Rules
  • Play
  • Culture

Di bagian Core Concepts, buku ini mengacu kepada tulisan Huizinga yang saya sebutkan di bagian pertama artikel ini dan mengembangkannya lebih lanjut. Silakan membacanya sendiri.

Korelasi antara game design dengan gaming filosofi yang saya dapat dari buku ini terlihat dari 3 pilar game design: Rules, Play, dan Culture.

Bagian Rules menjelaskan soal struktur formal dari sebuah game, aturan main arbiter yang mendeskripsikan bagaimana fungsi dari sistem game tersebut. Sedangkan bagian Play menjabarkan soal bagaimana pengalaman bermain game bisa menyuguhkan makna. Terakhir, Culture menyuguhkan argumentasi soal bagaimana game hadir di tengah-tengah konteks yang lebih luas. Bisa dibilang, bagian ini melihat game design dari sudut pandang strukturalisme.

Mari kita bahas satu per satu.

Rules; setiap gamer tentu tahu bahwa setiap game pasti punya aturan mainnya masing-masing. Bahkan antara satu MOBA dengan MOBA yang lainnya punya aturan main yang berbeda-beda. Disadari atau tidak, ada sekian banyak aturan main juga yang berlaku di hidup kita. Sayangnya, tidak seperti di game, aturan main di dunia nyata seringkali tidak konsisten atau bahkan tidak terdefinisikan dengan jelas. Namun demikian, saya sungguh percaya bahwa gamer sejati juga harusnya mampu memahami dan melukiskan aturan-aturan main di dunia nyata, bahkan menemukan segala inkonsistensinya di kepalanya masing-masing.

Aturan main di game itu memang abstrak tapi mengikat. Namun, demikian juga dengan banyak sistem di dunia ini. Yuval Noah Harari juga mengatakan bahwa negara, uang, hukum, dan bahkan agama juga terbentuk dari narasi-narasi abstrak yang bisa disepakati banyak orang.

Ditambah lagi, pemikiran ini juga membantu saya untuk setidaknya mencoba konsisten dengan aturan main yang saya terapkan ke diri sendiri — yang biasanya sangat mudah berubah-ubah berkat emosi ataupun bias kognitif diri.

Jika bagian Play di sini mencoba menyuguhkan berbagai cara bagaimana pengalaman bermain game jadi lebih bermakna, pernahkah Anda bertanya pada diri sendiri kenapa Anda ada, masih ada, dan harus ada di dunia ini?

What does the world need with another good musician?” Ujar Victor Wooten di salah satu sesi TEDx Talks.

Dalam Rules of Play, Play didefiniskan sebagai berikut, “play refers to those activities which are accompanied by a state of comparative pleasure, exhilaration, power, and the feeling of self-initiative.” Silakan direnungkan sendiri definisi tadi. Namun saya memahaminya dengan pentingnya mencari makna atas hidup kita sendiri, menyadari bagaimana kita bertanggung jawab atas kebahagiaan kita masing-masing — bukan memaksa orang lain, apalagi negara, untuk membuat kita bahagia — meski masih dalam kekangan sekian banyak aturan abstrak yang mengikat.

Terakhir dari buku ini adalah soal Culture. Berikut adalah salah satu kutipan yang bisa diresapi.

Games are always played somewhere, by someone, for some reason or another. They exist, in other words, in a context, a surrounding cultural milieu. The magic circle is an environment for play, the space in which the rules take on special meaning. But the magic circle itself exists within an environment, the greater sphere of culture at large.”

Saya tahu di masa demokratisasi konten dan informasi sekarang ini, inflasi ego memang jadi lebih sulit dihindari. Meski begitu, diakui atau tidak, kita tidak hidup dalam vakum. Masing-masing kita adalah bagian dari berbagai struktur yang lebih besar dan mengambil peran di setiap sistem. Setiap hal yang ada di dunia ini juga jadi bagian dari struktur atau konteks yang lebih luas, jika ingin dipandang dari sudut pandang strukturalisme.

Bagaimana Anda bisa memaknai dan menjabarkannya di kepala Anda, saya serahkan ke masing-masing.

Penutup

Sekali lagi, artikel ini adalah soal sudut pandang saya memaknai filosofi gaming. Silakan dibaca sendiri buku-buku tadi agar Anda bisa mengalami sendiri proses dan kesimpulan yang mungkin berbeda. Saya pribadi sebenarnya juga percaya bahwa setiap orang berhak merumuskan prinsip hidup dan kerangka berpikirnya masing-masing selama mampu menyadari prosesnya, menawarkan argumentasi, dan meminimalisir bias kognitif diri sendiri.

Terakhir, sebenarnya banyak teori, argumentasi, dan kerangka berpikir yang saya tuliskan di atas tadi juga tidak datang dari ranah gaming. Jujur saja, yang saya lakukan hanyalah mengaitkan korelasi berbagai macam teori tadi ke game — seperti soal strukturalisme ataupun teori narasi abstrak. Meski begitu, di sini saya juga ingin membuktikan bahwa gamer dan game itu tidak sedangkal yang dibayangkan kebanyakan orang. Plus, siapa tahu artikel ini dapat memancing Anda para gamer untuk belajar ke ranah yang lebih luas. Saya sendiri juga bertemu dengan teori, kerangka berpikir, dan argumentasi-argumentasi tadi berkat kecintaan saya yang berlebihan kepada bermain game.

Credit Featured Image: Ben Neale via Unsplash

Bagaimana FaZe Clan Menyatukan Gaming, Esports, dan Gaya Hidup Glamor Ala Selebriti

Sebagai sebuah industri baru, tak heran jika banyak entitas di ekosistem esports mencoba ini dan itu agar dapat menemukan formula sukses yang tepat. Kompetisi mungkin jadi satu hal utama jika kita bicara soal esports. Bagaimanapun, industri esports tumbuh besar dari kompetisi, sejak dari zaman laga adu skor di zaman dahulu hingga menjadi sebuah kompetisi global di zaman sekarang.

Seiring berkembangnya zaman, esports lama-lama tidak lagi kaku, jadi bukan soal kompetisi saja. Kompetisi dan segala hal yang terlibat di dalamnya menjadi begitu menarik diperbincangkan menjadi konten, tak lupa suguhan infotainment atau bahkan gosip juga menjadi bumbu penyedap dari kompetisi yang panas.

Selain dua hal tersebut, hal menarik yang mungkin masih belum banyak disentuh oleh entitas bisnis esports adalah nilai jualnya sebagai gaya hidup. Dari banyak organisasi esports di dunia, FaZe Clan menjadi salah satu yang bergeliat cukup kencang dalam menyatukan antara kultur gaming, kompetisi, dan gaya hidup.

Dan semua itu berawal dari komunitas Call of Duty di Amerika Serikat

360 no Scope, Vlogging, dan FaZe Clan

Bagi Anda pemain game FPS, Anda mungkin sudah cukup familiar dengan istilah 360 no scope. 360 no scope diibarat jenis gaya dalam lompatan skateboard. Dalam game FPS, 360 no scope dilakukan dengan cara melompat, memutar badan 360 derajat, lalu menembak musuh dengan menggunakan senapan jenis sniper tanpa menggunakan scope atau kekeran.

Mengutip dari salah satu situs yang mendokumentasikan berbagai budaya populer di internet, asal muasal 360 no Scope adalah dari komunitas Call of Duty 4 lewat pemain bernama zzirGrizz. Trik gerakan tersebut pertama menyeruak pada 11 Oktober 2008, ketika seorang pengguna YouTube bernama Devin LaBrie mengunggah video montage permainan zzirGrizz, dan menamainya sebagai top 10 no scopes of all time.

Setelah itu, istilah ini jadi populer setelah seorang pengguna YouTube bernama nomercysoldier0 mengunggah permainannya di Call of Duty: Modern Warfare 2 yang viral karena berhasil mendapatkan 2,1 juta view dan 7300 komentar dalam 4 tahun pertama.

Lalu apa urusannya 360 no scope dengan FaZe Clan? Setelah trickshot 360 no scope menjadi budaya di komunitas Call of Duty, semua orang akhirnya berusaha melakukan hal tersebut.

Sampai pada akhirnya, 30 Mei 2010, terciptalah FaZe Sniping, sebuah clan Call of Duty yang diciptakan oleh 3 pemain yaitu Eric Rivera (CLipZ), Jeff Emann (House Cat), dan Ben Christenen (Ressistance). Trio pemain tersebut menjadi dikenal banyak orang karena melakukan inovasi dalam melakukan trickshot, apalagi mereka bisa dibilang sebagai salah satu yang pertama dalam melakukan trickshot sebagai satu tim.

Mulai saat itu, FaZe rutin menciptakan montage atau rekaman hasil dari permainan yang mereka lakukan dalam satu seri video YouTube yang mereka beri nama ILLCAMS. Konten demi konten diciptakan sampai akhirnya FaZe Clan menjadi satu kelompok yang banyak dikenal di komunitas Call of Duty. Setelah beberapa saat, FaZe Clan menjadi semakin populer, apalagi ketika mereka mulai merekrut sosok-sosok trickshotter kenamaan di komunitas Call of Duty untuk bergabung ke dalam tim.

Setelah beberapa episode ILLCAMS, muncul sosok Thomas Oliveira atau dikenal dengan nama Temperrr. Tak banyak yang diketahui dari sosok Temperrr sebelum diperkenalkan FaZe. Tapi satu yang pasti, sosok ini seakan menjadi magnet bagi para penggemar FaZe. Ketika diperkenalkan pertama kali pada 2 Agustus 2010 lalu, Temperrr berhasil menyedot 1,5 juta view.

FaZe Temperr sendiri bisa dibilang merupakan salah satu dari founding member dari Faze Clan, sosok ini mungkin bisa dibilang menjadi salah satu yang terpenting dari perkembangan FaZe. Lompat beberapa tahun ke depan, FaZe kembali menghadirkan member baru yang membuatnya menjadi semakin melejit. Dia adalah Richard Bengston, sosok selebriti gaming yang juga dikenal sebagai FaZe Banks.

Banks pertama kali diperkenalkan pada 25 Maret 2013. Ketika itu, ia bergabung sebagai bagian dari pelaku konten trickshot milik FaZe Clan saja. Sampai pada Februari 2014, Temperrr dan Banks melakukan konten face reveal, seraya mengumumkan bahwa Banks akan pindah tinggal bersama Temperrr untuk membuat lebih banyak konten video.

Setelah kurang lebih 4 tahun FaZe Clan menghujani internet dengan konten trickshot super keren, kini mereka mulai berevolusi. “Kami adalah gamers pertama yang benar-benar menunjukkan wajah kami di internet.” ucap Temperrr kepada New York Times. Sejak saat itu, FaZe Clan mulai menyertakan wajah mereka pada konten gameplay. Tak hanya itu, para anggotanya mulai melakukan vlogging dan menunjukkan kehidupan sehari-hari mereka yang tidak ada hubungannya dengan gaming.

“Orang-orang menyukai hal itu (konten vlogging). Orang-orang pasti ingin tahu kegiatan di luar dari sekadar gameplay kami. Mereka main COD setiap hari tapi mereka juga harus melihat bagaimana gaya hidup kami dan bagaimana kami adalah bocah-bocah keren.” Ucap Banks dalam artikel New York Times tulisan Taylor Lorenz yang terbit 17 November 2019 lalu.

Terjun ke Dunia Kompetitif Call of Duty dan Dominasi di Skena CS:GO

Trickshot, vlog, dan tren sudah ada di dalam nadi FaZe Clan sejak lama. Namun esports dan dunia kompetitif jadi hal baru bagi FaZe Clan. Sementara konten trickshot dan vlogging kehidupan gamers masih berlanjut, mereka menjajaki dunia kompetitif Call of Duty dan menciptakan satu rivalitas paling panas di skena tersebut, yaitu antara FaZe Clan dengan Optic Gaming.

Kedua tim ini merintis kehidupannya dengan cara yang kurang lebih sama, membuat konten Call of Duty dan menjadikan konten mereka sebagai ruang menuju popularitas untuk para pemainnya. FaZe dan Optic menjadi nama yang gaungnya paling besar di skena Call of Duty, ibarat EVOS dan RRQ di skena MLBB lokal Indonesia.

FaZe memulai dari turnamen-turnamen kecil. Debut mereka untuk turnamen besar adalah di tahun 2013, lewat game Call of Duty Black Ops II. Mereka beberapa kali ikut kompetisi kasta utama Call of Duty, Major League Gaming (MLG). Sayang pada tahun itu mereka belum mendapat prestasi terbaik.

Mereka harus puas berada di peringkat 5 pada MLG Spring Championship kalah oleh Optic Gaming. Tim ini pun mengalami roster shuffle besar-besaran, yang berujung kepada kegagalan-kegagalan mencapai posisi yang lebih baik di turnamen-turnamen berikutnya.

Perjuangan jatuh-bangun tersebut terus berlanjut hingga pada tahun 2014 mereka mendapatkan pemain bernama ACHES. Pemain ini kerap kali dianggap sebagai musuh besar Optic Gaming, karena ia berkali-kali berhasil membuat Optic tertunduk. Bertanding pada MLG Columbus Open di tahun 2014, mereka berhasil mendapat angin segar dengan melaju mulus di upper-bracket.

Memasuki hari kedua pertandingan, bencana terjadi. Tangan ACHES terluka entah karena apa, membuatnya harus berada di rumah sakit semalaman. Walaupun begitu ACHES memutuskan untuk tetap bertanding. Tentu saja kemalangan ini membuat FaZe kesulitan, sehingga mereka terpaksa turun ke lower-bracket. Namun demikian, mereka berhasil bangkit sampai akhirnya di babak final bertemu dengan Optic Gaming dan memenangkan dua kali pertandingan best-of-5.

Kemenangan ini membuat mereka menjadi tim yang disegani dalam skena Call of Duty. Bahkan sekarang nama FaZe masih menjadi bagian dari skena kompetitif di Call of Duty League, dengan nama Atlanta FaZe.

Sampai saat ini, FaZe Clan masih menjadi nama yang dominan di skena Call of Duty. Sumber: Atlanta Faze Official Media
Sampai saat ini, FaZe Clan masih menjadi nama yang dominan di skena Call of Duty. Sumber: Atlanta Faze Official Media

Sejak saat itu, rivalitas antara FaZe dengan Optic jadi semakin keras karena keduanya sama-sama semakin kuat. Sempat mengalami badai roster shuffle lagi, namun FaZe kembali mendapatkan momentum kemenangan di tahun 2015. Mereka berhasil memenangkan UMG Dalls 2015, Gfinity Summer Championship, dan MLG Season 3 Playoff. Kemenangan ini berhasil membuat nama FaZe Clan semakin gemilang di skena Call of Duty.

Satu tahun setelah menjadi nama yang dominan di skena Call of Duty, FaZe mulai coba mengembangkan sayap ke skena kompetitif lain. Ciri khas mereka tetap sama, yaitu game FPS. 2 Maret 2016, FaZe mengumumkan roster CS:GO mereka, hasil akuissi dari tim G2 Esports yang berisikan Maikel Bill (Maikelele), Havard Nygaard (Rain), Ricardo Pachecho (Fox), Joakim Myrbostad (Jkaem), dan Philip Aistrup (Aizy).

Roster ini dikabarkan dibeli dengan harga US$700.000 (sekitar Rp10 miliar) dari G2 Esports. Akuisisi ini membuat mereka disebut sebagai roster termahal sepanjang sejarah CS:GO menurut Dot Esports. Walau demikian, mereka memulai tahun pertamanya dengan cukup berat.

Mengutip catatan liquidpedia, performa mereka kurang memuaskan untuk sebuah roster termahal sepanjang sejarah CS:GO. Pada debut awal, mereka berkali-kali terhenti di peringkat 12. Malah mereka sempat gugur di fase grup dengan catatan menang-kalah 0-2 dalam gelaran DreamHack Masters Malmo 2016.

Belajar dari pengalaman di skena Call of Duty, FaZe jadi dikenal sebagai tim yang punya tangan dingin. Mengalami rentetan performa kurang memuaskan selama 2016, FaZe menjadi tim yang tidak takut untuk membongkar roster demi mendapat performa yang lebih baik.

Oktober 2016 mereka memasukkan Finn Andersen (Kariggan), mantan in-game leader Astralis, yang telah lama dibangkucadangkan karena rentetan hasil buruk yang ia dapatkan. Perekrutan ini segera memancing polemik, karena terlihat janggal, namun dianggap pergerakan yang mantap karena dirasa bisa memberi leadership ke dalam tim.

Masuk tahun 2017, roster shuffle kembali terjadi, Karrigan bertahan. Sampai satu yang cukup mencengangkan adalah ketika mereka mengambil The Bosnian Beast, Nikola Kovac (Niko). Perekrutan ini menunjukkan intensi FaZe, bahwa mereka ingin menang dan tidak takut untuk bayar mahal.

2017 segera menjadi tahun keemasan bagi CS:GO FaZe Clan. Mereka berhasil memenangkan beberapa turnamen besar seperti ESL One: NewYork 2017, ELEAGUE CS:GO Premier 2017, dan bahkan sempat kalahkan Astralis jadi juara StarLadder Season 3. Dengan resep yang kurang lebih sama seperti mereka mendominasi Call of Duty, zaman keemasan FaZe Clan di 2017 berhasil membawa brand mereka menjadi nama yang vokal di skena CS:GO. Bahkan hingga kini, Rain, Niko, Olofmeister, Coldzera, dan Broky masih menjadi tim yang keras di berbagai kompetisi CS:GO kelas dunia.

Kemunculan Fortnite, Tfue, dan Ekspansi Global FaZe Clan

Masih pada tahun 2017, Fortnite rilis di pasaran. Setelah game utama mereka Fortnite: Save the World rilis di bulan Juli 2017 , Fortnite Battle Royale yang bersifat free-to-play rilis di September 2017. Punya grafis kartun yang keren, game shooter yang mengedepankan kreativitas dalam bermain dan jadi ruang pamer gaya — selain pamer kemampuan — Fortnite seakan menjadi panggilan bagi FaZe Clan.

Game ini mungkin seperti membawa FaZe kembali ke zaman Call of Duty, saat mengalahkan musuh dengan trickshot kembali populer. Apalagi pada zaman itu Twitch semakin populer sebagai poros platform konten streaming bagi gamer, membuat FaZe seperti menemukan rumah barunya; ketika gaming, personality, dan reality television menjadi satu wadah.

Mereka mencoba mengulang formula kesuksesan mereka di Call of Duty, menang di kompetitif, tampil keren di berbagai konten. Maka dari itu, di Fortnite, mereka mengambil sebuah tim yang bisa berkompetisi tetapi tetap menjadi selebriti internet lewat konten streaming yang mereka sajikan.

Turner Tenney atau sosok yang lebih dikenal dengan alias Tfue menjadi ujung tombak bagi FaZe untuk memperkuat brand mereka di Fortnite. Namun FaZe di Fortnite bukan hanya Tfue saja. Mereka juga memiliki segudang streamer yang direkrut membawa nama FaZe termasuk salah satunya adalah seorang perempuan tuna rungu berusia 13 tahun bernama Soleil Wheeler yang juga dikenal sebagai FaZe Ewok.

Sumber: The Verge
FaZe Ewok, perempuan tuna rungu berusia 13 tahun yang menjadi streamer untuk game Fortnite. Sumber: The Verge

Nama FaZe muncul di mana-mana lewat berbagai bagian Fortnite, baik secara kompetitif, streaming, termasuk konten-konten yang mengedepankan personality yang jadi ciri khas FaZe Clan. Segera FaZe menjadi organisasi yang terdepan di Fortnite, kembali mengamankan statusnya sebagai organisasi paling dominan di dalam skena ini, seperti FaZe di Call of Duty dahulu kala.

Tapi tak lengkap rasanya jika FaZe cuma bisa tampil bergaya, tanpa unjuk gigi kemampuan. Hal ini mereka tunjukkan lewat gelaran Fall Skirmish, yang diselenggarakan pada Twitch Con 2018.

Ketika itu FaZe Clan diwakili oleh Tfue dan Dennis Lepore (Cloak), dua pemain yang tidak hanya mahir dalam bergaya, tapi juga dianggap sebagai dua yang terbaik di dalam skena. Bertanding dalam enam ronde, Tfue dan Cloak berhasil tampil dengan sangat dominan, membawa mereka memenangkan hadiah sebesar US$500.000 (sekitar Rp7,5 miliar).

Sumber: Dexerto
Cloak (kiri) bersama Tfue (kanan). Sumber: Dexerto

Kemenangan tersebut semakin memperkuat nama FaZe Clan di Fortnite, sampai akhirnya skandal Tfue mencuat ke permukaan. Mei 2019 Tfue menggugat FaZe Clan dengan tuduhan mengambil 80 persen pendapatan dan memaksa dirinya untuk berjudi dan minum-minuman keras saat usianya masih di bawah batas usia legal.

Dalam skandal tersebut pengacara Tfue mengatakan kepada Holywood Reporter bahwa Tenney beberapa kali dipaksa untuk melakukan stunts yang berbahaya demi konten video. “Pada salah satu video, Tenney menderita cedera berat pada tangannya saat bermain skateboard yang mengakibatkan cacat fisik permanen.” Ucap Bryan Freedman, pengacara Tfue ketika itu.

Tuntutan tersebut akhirnya dituntut balik oleh FaZe Clan, karena mereka merasa tidak pernah mengambil pendapatan milik Tfue. “Kami cuma menerima US$60.000 saja dari kerja sama ini, sementara Tfue bisa menerima sampai jutaan dolar AS sebagai anggota dari FaZe Clan.” Ucap FaZe Clan dalam sebuah pernyataan. Sampai saat ini, kasus tersebut belum diketahui bagaimana akhirnya. Namun satu yang pasti, Tfue meninggalkan FaZe sejak saat itu.

Namun kasus tadi tidak menghentikan FaZe Clan untuk melakukan ekspansi global. Game shooter populer selalu menjadi tempat terbaik bagi FaZe untuk berkembang. Setelah awal 2017 mereka mulai meniti karir di skena PUBG, pada Januari 2020, mereka melakukan ekspansi yang cukup jauh dengan mengambil tim PUBG Mobile asal Thailand bernama Bulshark untuk menjadi bagian dari FaZe.

Ekspansi FaZe tidak berhenti sampai di situ saja, setelah mendapatkan banyak kesuksesan di skena gaming, kini mereka mulai menjajah lahan lainnya.

Petarung di Dunia Gaming Kompetitif, Gaya Hidup Glamor Ala Selebriti

Tampil keren di depan khalayak memang sudah berada dalam nadi FaZe Clan sejak mereka memenuhi YouTube lewat konten trickshot Call of Duty yang penuh gaya. Menjadi raja dunia gaming kompetitif, tampil lewat konten game yang menarik, dan memamerkan personalita gamer keren telah menjadi rumus jitu bagi FaZe Clan untuk bertahan dan menjadi sebesar seperti sekarang.

Memang itu adalah strategi unik, yang tak banyak dilakukan oleh organisasi esports lain. Lee Trink yang menjabat sebagai CEO FaZe Clan bahkan sesumbar kepada New York Times dengan mengatakan bahwa perusahaan seperti FaZe Clan itu memang belum pernah ada sebelumnya. Lebih lanjut, Lee Trink menjelaskan FaZe ibarat gabungan tim olahraga American Football Dallas Cowboys, brand Hypebeast Supreme, dan reality show ala MTV.

Klaim tersebut memang benar adanya. FaZe Clan berkompetisi di berbagai ranah esports dan menjadi juara di beberapa skena layaknya sebuah tim olahraga. Reality show menjadi santapan bagi penggemar setia yang menonton channel YouTube FaZe Clan, termasuk konten vlogging yang memamerkan gaya hidup glamor ala selebriti. Gaya hidup glamor tersebut juga turun ke fashion, lewat merchandise dan kolaborasi brand yang mereka lakukan.

The Verge bahkan mengatakan bahwa FaZe Clan ibarat Supreme nya esports. Satu perbedaannya mungkin hanya soal dari mana kedua brand ini berasal, Supreme tumbuh dari budaya skateboard, sementara FaZe tumbuh dari budaya gaming. Sejak 2018, FaZe terus menggandeng sosok selebriti.

Desember 2018, mereka menggandeng rapper Lil Yachty. Menggunakan alias FaZe Boat, Lil Yachty menjadi bagian dari daftar kreator konten di FaZe Clan. Pada masa itu mereka juga membuka ronde investasi seri A, yang segera menarik berbagai selebriti berinvestasi kepada mereka seperti rapper Ray J dan DJ Paul, pebasket Meyers Leonard, dan Josh Hart.

Salah satu yang terbesar mungkin adalah pada Agustus 2019, saat rapper Offset mengucurkan investasi yang angkanya tidak disebutkan kepada FaZe Clan. Lee Trink CEO Faze ketika itu semakin mempertegas posisi FaZe Clan yang bukan hanya sekadar brand gaming atau esports, tetapi juga ingin memimpin transformasi budaya lewat gaming dan esports.

Sumber: Esports Insider
Sumber: Esports Insider

“FaZe Clan kini berkembang melampaui gaming dan esports, kami memimpin transformasi budaya juga dunia entertainment. Offset melambangkan generasi baru, pemimpin yang mengerti akan pergerakan budaya tersebut. FaZe Clan kini sedang mendefinisikan ulang arti dari menjadi brand ikonik di dunia hiburan. Bekerja sama dengan Offset akan menjadi langkah berikutnya untuk maju di masa depan. Dengan ini kami tidak hanya akan mendominasi ranah gaming kompetitif, tetap kami juga akan menciptakan trend dalam hal konten, merchandise, brand partnership, dan lebih jauh lagi.”

Kolaborasi FaZe Clan begitu agresif di tahun 2019, terutama pada ranah non-gaming. Dari sisi fashion mereka sempat berkolaborasi dengan sportswear Champion, Kappa, dan berbagai brand fashion lainnya. Mereka juga berkolaborasi dengan Manchester City, untuk kolaborasi dalam hal konten dan juga melakukan co-branded untuk menciptakan jersey Manchester City x FaZe Clan.

FaZe Banks menggunakan kolaborasi terbaru antara FaZe Clan dengan NFL. Sumber: PRNewswire
FaZe Banks menggunakan kolaborasi terbaru antara FaZe Clan dengan NFL. Sumber: PRNewswire

Mereka juga berkolaborasi dengan asosiasi American Football, NFL. Kolaborasi ini dilakukan untuk menciptakan merchandise bertemakan NFL x FaZe Clan dan konten seputar putaran pertama dari NFL Draft atau bursa transfer di dalam American Football. Karena kolaborasi agresif ini, mereka juga mendapatkan investasi dari pebisnis industri musik, Jimmy Iovine dan platform merchandising NTWRK. Hal itu tentu akan semakin memperkuat posisi FaZe Clan di ranah merchandising. Sebagaimana dinyatakan Lee Trink bahwa investasi tersebut akan digunakan oleh mereka untuk memperkuat posisinya di bidang bisnis apparel dan merchandising.

Tapi, ternyata ide gila Faze Clan untuk terus berkembang tidak berhenti sampai situ saja. Setelah konten dan merchandising, perkembangan selanjutnya adalah televisi. Pada 29 April lalu mereka mengumumkan kerja sama dengan platform Sugar23 milik sutradara Michael Sugar, untuk membuat FaZe Studios yang akan menjadi pusat produksi film dan serial televisi baru.

Berawal dari konten trickshot, FaZe Clan berkembang ke ranah esports, selebriti internet, dan merchandising. FaZe Clan berkembang begitu besar sampai menjajah berbagai ranah industri hiburan. Perjalanan ini memberikan kita pelajaran bagaimana visi untuk tampil keren di hadapan orang banyak, telah membawa FaZe Clan dari sekadar gamers yang nerd, menjadi brand glamor yang menjadi simbol budaya bagi anak muda.

Rahasia Di Balik Kesuksesan Riot Games dengan League of Legends

Kebanyakan developer besar biasanya memiliki beberapa game atau bahkan beberapa franchise, seperti Ubisoft dengan Assassin’s Creed atau Electronic Arts dengan FIFA. Namun, tidak begitu dengan Riot Games. Selama bertahun-tahun, Riot hanya memiliki satu game, yaitu League of Legends. Menariknya, game tersebut masih dimainkan oleh jutaan orang, bahkan 10 tahun sejak diluncurkan. Tidak berhenti sampai di situ, Riot juga sukses dalam mengembangkan ekosistem esports dari League of Legends.

Tentu saja, kesuksesan Riot tidak dicapai dalam waktu singkat. Roma tidak dibangun dalam satu hari. Bagaimana perjalanan Riot sehingga ia bisa menjadi seperti sekarang?

Sejarah Riot

Riot Games didirikan pada Agustus 2006 oleh Marc Merrill dan Brandon Beck. Keduanya bukanlah developer game. Faktanya, Merrill dan Beck bertemu ketika mereka masih kuliah di University of Southern California. Mereka menjadi akrab karena mereka senang bermain game, khususnya game multiplayer seperti StarCraft dan EverQuest. Setelah lulus kuliah, Merrill dan Beck menempuh jalannya masing-masing. Beck bekerja di Bain & Company, perusahaan konsultasi ternama, sementara Merrill diterima di US Bank. Meskipun begitu, mereka merasa tidak puas dengan pekerjaan yang mereka tekuni. Tak lama kemudian, keduanya kembali bertemu di Los Angeles.

“Kami tinggal di apartemen kecil di West Hollywood,” kata Beck, dikutip dari Polygon. “Inilah awal mula Riot. Apartemen kami tidak punya banyak furnitur, tidak ada poster di tembok, pigura foto belum dipajang. Tapi, ada dua komputer gaming yang diletakkan di atas dua meja yang membentuk huruf ‘L’.”

Walau telah bekerja, baik Merrill dan Beck masih mencintai game. Mereka menghabiskan banyak waktu mereka bermain game. Tidak hanya itu, mereka juga aktif di forum internet, memberikan kritik atau pujian pada game favorit mereka. Sebagai fans hardcore, terkadang, mereka merasa frustasi ketika developer dari game-game yang mereka sukai tidak mendengarkan pendapat dari para fans. Ini membuat mereka berpikir, salah satu masalah developer game adalah mereka tak terlalu memedulikan game yang telah mereka luncurkan serta komunitas dari game-nya.

Dua pendiri Riot bukan merupakan developer.
Dua pendiri Riot bukan merupakan developer.

“Kami merasa frustasi ketika developer berhenti mendukung komunitas dari game yang kami mainkan,” ujar Beck. “Para developer seolah-olah dikejar untuk mengembangkan sesuatu yang baru. Padahal, kami pikir, mereka tidak perlu melakukan itu dan cukup mempertahankan game yang telah mereka luncurkan. Ada beberapa hal yang bisa mereka perbaiki untuk membuat ekosistem game bertahan lebih lama.” Dua game yang menjadi favorit Merrill dan Beck adalah StarCraft dan Warcraft 3. Memang, Blizzard memberikan dukungan yang cukup lama pada kedua game itu, walau pada akhirnya, fokus mereka pindah ke proyek lain. Uniknya, para fans dari dua game itu tetap aktif, baik dalam bermain ataupun dalam membuat mod. Ada dua mod yang menginspirasi Merrill dan Beck untuk membuat game ber-genre Multiplayer Online Battle Arena, yaitu Aeon of Strife, mod dari StarCraft dan DotA: Allstars, mod dari Warcraft 3.

Ketika Beck dan Merrill memutuskan untuk membuat game sendiri, orang pertama yang mereka rekrut adalah Steve “Guinsoo” Feak, salah satu desainer yang mengembangkan DotA: Allstars. Mereka bertiga lalu merekrut beberapa orang lain yang juga ikut mengembangkan DotA: Allstars. Setelah itu, mereka langsung mencoba membuat gameGame pertama yang Riot buat jauh berbeda dari League of Legends yang ada sekarang. Meskipun begitu, game tersebut sudah memiliki struktur layaknya game MOBA. Ketika itu, Riot menamai game-nya Onslaught.

“Nama game kami sangat jelek,” kata Merrill sambil tertawa. “Kami menjadikan musik metal sebagai background music. Minion terlihat seperti makhluk undead.” Meskipun begitu, Merrill dan tim Riot lainnnya bangga akan game yang mereka buat. Pada 2007, Riot mengikuti Game Developers Conference di San Francisco, membawa demo dari game mereka. Di sana, Merrill dan Beck bertemu dan berdiskusi dengan banyak publisher game. Sayangnya, tidak ada publisher yang mau merilis game buatan Riot.

Co-founders Riot Games. | Sumber: GameSpot
Co-founders Riot Games. | Sumber: GameSpot

Namun, diskusi tersebut membantu Merrill dan Beck memahami siklusi penerbitan game. Mereka sadar bahwa publisher biasanya meluncurkan game baru secara rutin. Dalam diskusi dengan Riot, para publisher membahas tentang bagaimana cara agar mereka bisa merilis kelanjutan dari game Riot secara rutin. Ini berbeda dari apa yang Beck dan Merrill inginkan. Riot tak ingin membuat franchise yang akan menelurkan game baru secara rutin. Mereka ingin membuat satu game multiplayer online dan terus mengembangkannya seiring dengan waktu. Mereka juga ingin membuat game gratis dengan model bisnis microtransaction. Meski sekarang game dengan model bisnis microtransaction sudah banyak, pada 2007, tidak banyak publisher game yang tahu tentang model bisnis tersebut. Karena itu, tidak heran jika para publisher menolak untuk merilis game buatan Riot.

“Pada awalnya, kami hanya ingin menjadi developer game,” ungkap Merrill. “Kami tidak berencana untuk masuk ke bisnis penerbitan game. Tapi, ketika kami bertemu dengan para publisher, kami sadar bahwa kami tidak bisa menyerahkan hidup-mati game kami pada mereka.”

Tim Riot lalu kembali ke Los Angeles. Merrill and Beck mengganti fokus mereka, dari mencari publisher menjadi mencari dana investasi. Pada pertengahan 2007, Riot juga memutuskan untuk mengganti nama game mereka, dari Onslaught menjadi League of Legends: Clash of Fates.

Peluncuran League of Legends

Pada 2008, Riot meluncurkan versi pre-alpha dari game mereka, yang ketika itu dinamai League of Legends: Clash of Fates. Di tahun yang sama, mereka juga menandatangani kerja sama dengan Tencent untuk meluncurkan game mereka di Tiongkok. Tidak banyak developer yang langsung bekerja sama dengan publisher asing ketika mereka belum lama berdiri. Namun, Beck dan Merrill memang mengincar pasar internasional dengan League of Legends. Tencent tampaknya mengerti ambisi Riot tersebut. Beck mengungkap, Tencent memiliki filosofi yang sama dengan Riot.

Seiring dengan bertumbuhnya Riot, Merrill dan Beck terus mencari pekerja baru. Saat mencari pekerja baru, keduanya lebih mementingkan passion daripada pengalaman kerja. Para pekerja Riot — yang disebut Rioters oleh Merrill dan Beck — terus mengembangkan League of Legends. Pada pertengahan 2008, mereka menemui masalah. Mereka ingin mengganti platform backend yang telah gunakan selama bertahun-tahun. Merrill bercerita, Riot mau tidak mau membuat platform baru dengan cepat agar mereka bisa meluncurkan game mereka sesuai target, yaitu pada musim gugur 2009. Proses pembuatan platform yang terburu-buru ini akan menyebabkan lebih banyak masalah untuk Riot di masa depan.

Pada awalnya, Riot menggunakan nama League of Legends: Clash of Fates. | Sumber: Co-optimus
Pada awalnya, Riot menggunakan nama League of Legends: Clash of Fates. | Sumber: Co-optimus

Sebelum meluncurkan League of Legends, Riot memutuskan untuk menghapus subtitle “Clash of Fates”. Pada awalnya, mereka ingin menggunakan subtitle untuk menggambarkan isi update konten di masa depan. Namun, pada akhirnya, mereka memutuskan untuk tidak menggunakan subtitle sama sekali.

Beck mengaku, Riot tidak mengira bahwa akan ada begitu banyak gamer yang tertarik untuk memainkan League of Legends. Alasannya, game tersebut sulit untuk dikuasai. “Seorang pemain harus sangat berdedikasi agar bisa menguasai dan menikmati game kami,” ujar Beck. “Fakta bahwa ada banyak orang yang tertarik untuk memainkan game itu, kami sama sekali tidak menduganya.” Dalam waktu dua bulan sejak diluncurkan, League of Legends meraih pencapaian pertama mereka, yaitu dimainkan oleh 100 ribu pemain secara bersamaan. Para Rioters merayakan hal ini, walau mereka tetap bekerja keras untuk memastikan bahwa game dan server berjalan dengan lancar. Seiring berjalannya waktu, jumlah pemain League of Legends terus bertambah.

Riot pun harus menambah karyawannya. Pada 2009, Riot kembali mencari investor. Salah satu perusahaan yang menjadi investor mereka adalah Tencent. Uang yang mereka dapat dari investor lalu digunakan untuk mempekerjakan pegawai baru, memperbaiki bug dan masalah teknis pada game lainnya, serta membuat konten baru.

Setelah League of Legends diluncurkan, Riot sadar bahwa mereka akan harus memberikan update konten secara berkala. Mereka sempat bingung akan konten baru apa yang para pemain inginkan: apakah mereka harus membuat mode single-player ataukah mereka harus menyediakan peta dan mode baru? Pada akhirnya, Riot sadar bahwa para pemain hanya ingin pendalaman dari core gameplay yang telah ada.

Pada 2010 dan 2011, Riot fokus untuk menemukan ritme dalam menyediakan konten baru. Saat ini, mereka juga mulai menyadari bahwa para gamer League of Legends tidak hanya senang untuk bermain, mereka juga senang menonton orang lain memainkan game tersebut.

Kemunculan Esports League of Legends

Selama bertahun-tahun, Merrill dan Beck bermain StarCraft. Jadi, mereka tidak heran dengan keberadaan turnamen untuk game seperti StarCraft. Sebelum mendirikan Riot, keduanya bahkan sempat mempertimbangkan untuk membuat liga esports sendiri, yang akan dinamai Ultimate Gaming League (UGL). Hanya saja, pada 2011, ekosistem esports belum berkembang sepesat sekarang. Saat Riot pertama kali meluncurkan League of Legends, mereka juga tidak berencana untuk mengadakan turnamen sendiri.

Turnamen League of Legends dimulai oleh para fans. Pada musim panas 2010, ekosistem esports League of Legends telah berkembang sedemikian rupa sehingga Riot tak bisa mengacuhkannya begitu saja. Mereka lalu mengumumkan turnamen League of Legends pertama yang disebut “Season One“. Ketika itu, Season One Championship merupakan bagian dari DreamHack Summer 2011, kegiatan esports yang menyertakan kompetisi Counter-Strike: Global Offensive dan StarCraft 2.

Turnamen pertama League of Legends adalah League of Legends Season One pada 2011. | Sumber: Game Life
Turnamen pertama League of Legends adalah Season One. | Sumber: Game Life

“Saya ingat, kami hanya menyediakan 20 kursi lipat. Kami memutuskan untuk menyiarkan pertandingan walau kami tidak tahu apakah akan ada orang yang tertarik untuk menonton,” kenang Beck tentang Season One Championship. “Kami mendapatkan 100 ribu concurrent viewers, yang sangat mengejutkan bagi kami. Saat itulah kami sadar bahwa para pemain League of Legends senang menonton pertandingan esports dan kami mulai memikirkan esports dengan lebih serius.”

Beck, Merrill, dan tim Riot lalu memutuskan untuk mengadakan turnamen sendiri daripada meminta bantuan pihak ketiga. Itu berarti, mereka harus membuat jadwal turnamen selama setahun dan menyiarkan video pertandingan secara rutin. Untuk mengembangkan ekosistem esports League of Legends, mereka sadar bahwa mereka harus menyiapkan dana besar dan siap dalam menghadapi berbagai tantangan.

Satu tahun kemudian, pada Oktober 2012, Riot mengadakan Season Two World Championship. Mereka memutuskan untuk mengadakan pertandingan group stage di ruang terbuka karena dianggap unik. Selain itu, ini juga bisa menarik orang-orang untuk menonton jalannya pertandingan. Terbukti, cukup banyak orang yang menonton turnamen tersebut. Namun, muncul satu masalah tak terduga. Di tengah pertandingan antara Team WE dari Tiongkok dengan Counter Logic Gaming dari Eropa, koneksi internet terputus.

“Kami tidak menggunakan server lokal,” kata Beck menjelaskan. “Ketika itu, kami belum punya server yang bisa kami bawa kemana pun kami pergi.” Mau tak mau, pertandingan pun harus diulang. Sayangnya, hal serupa kembali terjadi. Pada akhirnya, Riot menyerah dan meminta para penonton untuk pulang tanpa menyelesaikan pertandingan. “Rasa bersalah yang kami rasakan — kami benar-benar merasa bersalah pada semua pemain yang turut serta,” ujarnya. Dari sini, Riot belajar bahwa mereka harus selalu menyiapkan rencana cadangan, menghadapi skenario terburuk yang mungkin terjadi.

Kerja keras Riot berbuah manis. Saat ini, League of Legends adalah salah satu game esports paling populer di dunia. Game tersebut juga dianggap sebagai salah satu game paling berpengaruh ke ekosistem esports. Bahkan sekarang (setidaknya sampai artikel ini ditulis), League of Legends memiliki liga di beberapa kawasan, seperti Amerika Utara, Eropa, Korea Selatan, Tiongkok, Asia Pasifik, dan lain sebagainya.

League of Legends Pro League di Tiongkok. | Sumber: The Rift Herald
League of Legends Pro League di Tiongkok. | Sumber: The Rift Herald

Beberapa liga League of Legends — seperti di Amerika Utara dan Tiongkok — telah menggunakan model franchise. Belum lama ini, Roit mengumumkan rencana mereka untuk menerapkan sistem franchise di League of Legends Champions Korea. Salah satu organisasi esports populer di Korea Selatan, Gen.G, telah memastikan bahwa mereka tertarik untuk ikut dalam liga tersebut.

Apakah ini berarti model franchise akan menjadi masa depan dari esports League of Legends? Dalam email kepada Hybrid.co.id, Chris Tran, Head of Esports, Riot Games, Asia Tenggara, Hong Kong, dan Taiwan menjelaskan, “Penggunaan model franchise memungkinkan tim-tim yang ikut serta, liga, dan rekan untuk bekerja sama mengejar tujuan yang sama, memberikan pengalaman yang memuaskan pada fans, dan memberikan kepastian pada para tim dan pemain. Agar model franchise bisa digunakan, sebuah liga esports harus sudah memiliki ekosistem dan infrastruktur yang memadai, dan mengembangkan dua hal ini memakan waktu yang tidak sebentar.

“Seiring dengan berkembangnya ekosistem esports League of Legends di kawasan lain, tidak terutup kemungkinan, kami akan menggunakan model franchise di kawasan tersebut,” ujar Chris. “Kami ingin membuat esports menjadi olahraga yang bisa bertahan selama beberapa generasi. Menggunakan model franchise adalah salah satu cara yang memungkinkan kami mencapai tujuan tersebut.” Dia mengungkap, model franchise bukanlah sistem baru. Model serupa telah digunakan di olahraga tradisional, termasuk sepak bola.

Game-Game Baru Riot

Oke, Riot memang sukses dengan League of Legends. Namun, selama bertahun-tahun, mereka dianggap sebagai studio one-hit wonder karena tidak meluncurkan game baru selain League of Legends. Hal ini berubah pada 2019. Tahun lalu, Riot mendadak mengumumkan sejumlah game baru, yaitu Teamfight Tactics, Valorant, Legends of Runeterra, dan League of Legends: Wild Rift.

Justin Hulog, General Manager, Riot Games di Asia Tenggara, Hong Kong, dan Taiwan mengungkap, Riot sebenarnya telah mengembangkan beberapa game baru selama beberapa tahun belakangan. Tentu saja, mereka juga tidak lupa untuk membangun League of Legends dan properti intelektual mereka. Dia mengungkap, meski Riot memiliki banyak ide untuk game baru tapi hanya sedikit yang akhirnya mereka realisasikan.

“Tujuan kami adalah untuk memberikan sesuatu yang unik pada genre game yang berbeda-beda. Kami harap, hal ini akan membuat game-game kami disukai oleh para gamers. Kami percaya, dengan memberikan gameplay yang menarik dan komunitas yang sehat, kami akan akan sukses. Tapi, bukan itu tujuan kami.”

Riot baru merilis Teamfight Tactics pada tahun lalu. | Sumber: ONE Esports
Riot baru merilis Teamfight Tactics tahun lalu. | Sumber: ONE Esports

Justin mengatakan, ada dua fokus Riot. Pertama, mengembangkan game yang disukai banyak gamer. Kedua, bertahan pada komitmen player-first, yang berarti mereka siap mendengarkan masukan para pemain dan mengembangkan komunitas gamer. Salah satu cara yang mereka lakukan adalah dengan membuat Dev Diaries. Sementara untuk kawasan Asia Tenggara, dia mengatakan, Riot sangat aktif di Facebook Page dan server Discord SEA.

Sayangnya, itu bukan berarti tidak ada para pemain League of Legends dan fans Riot yang bersikap toxic. Dalam game, Anda masih akan menemukan orang-orang yang merusak kesenangan bermain pemain lain, baik dengan melontarkan komentar berbau rasis atau seksis maupun mencaci-maki pemain lain. Untuk mengatasi hal ini, Justin menyebutkan, Riot menetapkan metode baru, yang dinamai Player Dynamics, pada bulan lalu. Dia menjelaskan, mereka memelajari perilaku para pemain dan menyediakan alat komunikasi dengan tujuan untuk memberikan pengalaman bermain yang lebih baik.

“Ketika kami meluncurkan game multiplayer baru, kami ingin memastikan bahwa kami telah melakukan semua yang kami bisa untuk memberikan pengalaman terbaik bagi para pemain. Kami akan memerhatikan interaksi antar pemain dalam tahap awal pengembangan game. Jadi, ketika kami akhirnya meluncurkan game baru, kami telah tahu cara memastikan para pemain dan komunitas dapat berkembang dengan baik,” ujar Justin.

Ekosistem Esports dari Game Baru Riot

Mellihat kesuksesan scene esports dari League of Legends, tidak heran jika Riot juga tertarik untuk mengembangkan ekosistem esports dari game mereka yang lain. Belum lama ini, mereka mengungkap skema kompetisi global Teamfight Tactics. Dinamai Teamfight Tactics: Galaxies Championship, kompetisi tersebut akan diikuti oleh 16 pemain dari 8 regional dengan total hadiah Rp3,1 miliar.

Tidak hanya itu, Riot juga telah membahas rencana mereka terkait ekosistem esports dari Valorant. Padahal, game tersebut bahkan belum resmi diluncurkan. Riot mengungkap, mereka tidak akan turun tangan langsung dalam mengembangkan ekosistem esports Valorant, lain halnya dengan League of Legends. Menariknya, beberapa organisasi esports profesional bahkan telah mengadakan turnamen sendiri, seperti 100 Thieves dan T1.

Valorant kini masih ada dalam tahap closed beta.
Valorant kini masih ada dalam tahap closed beta.

“Semua developer punya mimpi untuk melihat ekosistem esports dari game mereka mencapai tingkat internasional. Namun, kami juga sadar bahwa esports harus melibatkan komunitas agar ia bisa tumbuh dengan saran dan masukan dari para pemain,” ujar Chris. “Kami tidak mau mendikte para pemain dan organisasi esports profesional tentang apa arti esports. Kami ingin memberikan kesempatan pada mereka, yang merupakan rekan kami, untuk mendefinisikan esports. Kami akan belajar dari pengalaman mereka memainkan game kami dan mencari tahu apa yang mereka butuhkan.”

Chris tidak membantah bahwa Riot memang ingin mengembangkan ekosistem esports Valorant. Namun, mereka juga tidak ingin tergesa-gesa. Dia mengungkap, hype akan scene esports Valorant jauh lebih tinggi dari saat mereka mencoba membangun ekosistem esports untuk League of Legends. Karena itu, mereka ingin dapat bekerja sama dengan pihak ketiga. “Pada akhirnya, kami ingin memberikan esports scene terbaik untuk para pemain kami. Dan kami sedang melihat apakah bekerja sama dengan pihak ketiga memang cara terbaik untuk mencapai tujuan itu,” kata Chris.

Keuangan Riot

Kesuksesan League of Legends tidak hanya karena mekanisme dari game tersebut, tapi juga didukung oleh cara Riot menjalankan bisnis mereka. Pada 2011, League of Legends telah terbukti sebagai game populer. Saat itu, Merrill dan Beck ingin mengurangi jumlah investor mereka. Jadi, kedua pendiri Riot tersebut menjual sebagian besar saham perusahaan mereka pada Tencent.

“Investor finansial biasanya memiliki target waktu kembali investasi yang lebih singkat,” kata Merrill. “Kami merasa, lebih baik jika kami hanya memiliki satu pemegang saham, tapi mereka memiliki visi yang sama dengan kami daripada memiliki banyak investor dengan visi yang berbeda-beda.” Walau sempat mengalami masalah dengan Tencent, Riot bisa beroperasi secara mandiri. Beck bahkan menyebutkan, kebanyakan pekerja Riot tidak pernah bertemu dengan perwakilan Tencent. Dengan ini, Riot bisa fokus untuk mengembangkan League of Legends.

Dalam waktu lama, League of Legends adalah satu-satunya game Riot. Namun, game tersebut terbukti mampu menghasilkan pemasukan yang tidak sedikit. Pada 2019, 10 tahun sejak League of Legends diluncurkan, Riot mendapatkan US$1,5 miliar dari game MOBA itu. Ini menjadikan League of Legends sebagai game gratis dengan pemasukan terbesar kedua setelah Fortnite, yang meraup US$1,8 miliar.

Grafik pendapatan Riot Games selama empat tahun.
Grafik pendapatan Riot Games selama empat tahun.

Pemasukan Riot dari League of Legends pada 2019 naik jika dibandingkan dengan pemasukan pada 2018, yang hanya mencapai US$1,4 miliar. Meskipun begitu, angka itu masih lebih sedikit jika dibandingkan dengan pendapatan Riot pada 2017 (sebesar US$2,1 miliar) dan 2016 (sebesar US$1,7 miliar), menurut laporan Dot Esports.

Riot di Asia Tenggara

League of Legends mungkin menjadi salah satu game terpopuler di dunia. Meskipun begitu, game tersebut tidak terlalu terdengar gaungnya di Indonesia. Pada sekitar 2015-2016, Riot Games sempat membuka lowongan untuk posisi Country Manager di Indonesia. Meskipun begitu, tidak ada informasi lanjut tentang keputusan Riot untuk berbisnis di Indonesia. Terkait hal ini, Justin Hulog, General Manager, Riot Games di Asia Tenggara, Hong Kong, dan Taiwan menjelaskan, pada awalnya, Riot memang berencana untuk mencari Country Manager untuk setiap negara di Asia Tenggara. Meskipun begitu, Riot akhirnya memutuskan untuk mengubah strategi mereka dan mengonsolidasi tim mereka di satu tempat.

“Indonesia adalah pasar penting bagi kami. Dalam beberapa tahun ke depan, kami berencana untuk menanamkan investasi dan menumbuhkan bisnis kami di sini, serta memberikan pengalaman bermain game terbaik pada para pemain Indonesia,” ujar Justin. “Sayangnya, itu bukan berarti kami harus membuat tim besar di negara tersebut.”

Justin mengaku, Riot punya rencana yang “ambisius” untuk kawasan Asia Tenggara. Dan saat ini, telah ada banyak Rioters dari seluruh dunia yang mendukung bisnis mereka di SEA, baik dalam bentuk player support, finansial, esports, maupun marketing. “Salah satu fokus utama kami saat ini adalah untuk memberikan game PC dan mobile terbaik untuk gamer Indonesia. Legends of Runeterra adalah salah satu game terbaru kami yang akan diluncurkan pada 1 Mei 2020. Kami harap, para pemain Indonesia akan menyukai game ini,” ujar Justin.

Di Asia Tenggara, khususnya Indonesia, esports League of Legends juga tidak terlalu populer. Ketika ditanya tentang hal ini, Chris Tran menjelaskan bahwa membangun ekosistem esports memakan waktu yang tidak sebentar. Salah satu bukti komitmen Riot dalam mengembangkan scene esports League of Legends di Asia adalah keberadaan Pacific Championship Series (PCS). Turnamen tersebut merupakan gabungan dari liga League of Legends di kawasan Hong Kong, Taiwan, dan Macau serta liga di kawasan Thailand, Filipina, Indonesia, Malaysia, dan Singapura. “Turnamen ini akan menciptakan infrastruktur esports yang berkelanjutan, membuat persaingan antar tim menjadi semkain ketat dan memberikan kestabilan finansial yang lebih baik,” ujar Chris.

Lebih lanjut, Chris menjelaskan, salah satu cara yang Riot lakukan untuk mempopulerkan game mereka adalah dengan menggandeng perusahaan lokal agar para gamer di satu negara dapat mengakses game mereka dengan lebih mudah. Dia berkata, “Misalnya, kami bekerja sama dengan Redd+E untuk mendistribusikan hak siar PCS di seluruh Asia Tenggara.” Dia juga menyebutkan, ada beberapa turnamen League of Legends yang diadakan di kawasan Asia. Misalnya, Mid-Seasonal Invitational 2019 yang diadakan pada Taiwan, Hyperplay pada 2018 di Singapura, serta eksibisi esports League of Legends pada Asian Games 2018 yang diselenggarakan di Jakarta.

Kesimpulan

Meskipun dengan cara yang tidak biasa — fokus pada satu game selama bertahun-tahun — Riot berhasil mencapai sukses. Selain itu, mereka juga dapat mengambil kesempatan untuk mengembangkan esports dengan cepat. Jadi, tidak heran jika ekosistem esports League of Legends sudah sangat mumpuni. Namun, itu bukan berarti Riot puas dengan apa yang sudah dicapai.

Pada tahun 2019, mereka mengumumkan dua game baru, yaitu Teamfight Tactics dan League of Legends: Wild Rift. Sementara pada tahun ini, mereka berencana meluncurkan dua game lain, yaitu Legends of Runneterra dan Valorant. Mereka juga sudah mempertimbangkan cara untuk mengembangkan ekosistem esports dari game-game barunya. Namun demikian, saat ini kondisinya akan berbeda dengan sebelumnya karena mereka harus menangani lebih dari satu game. Apakah mereka masih bisa menanganinya sebaik mereka mengembangkan LoL? Kita tunggu saja…

Sejarah Esports: Evolusi Laga Adu Skor Jadi Ajang Kompetisi Global

Esports jadi satu fenomena besar yang menarik mata banyak pihak. Investor dan pelaku bisnis berlomba-lomba menjajaki industri baru yang menggiurkan ini. Para gamers jelas tidak mau ketinggalan, menjadi yang terhebat demi mendapat hadiah ratusan juta dolar.

Mendapat uang dari bermain game memang adalah fenomena baru. Jika kita melihat beberapa dekade ke belakang, boro-boro mendapat uang, yang ada kita dimarahi orang tua jika bermain game terlalu banyak. Bahkan saat Counter-Strike mulai populer dan menjadi kompetisi di awal tahun 2000an saja, belum ada karir untuk bermain game, istilah esports pun masih jarang terdengar.

Lalu dari mana mulainya esports? Sejak kapan ini menjadi suatu peluang ekonomi yang menjanjikan? berikut sejarah perkembangan esports.

Dimulai dari Spacewar dan Space Invader

Jika ingin menelusuri secara lebih jauh, budaya berkompetisi di video game sudah dimulai sejak tahun 1970, masa yang bisa disebut awal dekade industri video game. Jangankan teknologi internet, komputer pada zaman itu saja masih sangat purba yang punya kemampuan komputasi yang sangat lemah.

Pada zaman itu komputer masih menjadi barang mewah, tidak semua orang punya akses terhadap teknologi tersebut. Sementara itu video game biasanya menjadi pengisi waktu luang para pegawai korporat, ataupun akademisi, karena komputer biasanya hanya ada di perkantoran atau laboratorium belajar universitas.

Semua dimulai pada Oktober 1972. Mengutip dari Kotaku, 19 Oktober 1972 disebut sebagai turnamen video game pertama di dunia. Universitas Stanford menjadi saksi bisu atas kejadian bersejarah ini, ketika para mahasiswa ilmu komputer bertanding video game Spacewar. Tidak ada hadiah ratusan juta dolar AS, para mahasiswa bertanding dalam kompetisi bertajuk Intergalatic Spacewar Olympic, hanya untuk mendapatkan paket langganan majalah Rolling Stone selama satu tahun.

Sumber: Reddit
Potret turnamen space Invader yang diadakan oleh Atari pada tahun 80an. Sumber: Reddit

Game yang dibuat oleh Steve Russel dan 5 kolega dari Massachusetts Institute of Technology, ini memang favorit di masa itu. Spacewar sudah dimainkan seantero laboratorium komputer Universitas di Amerika Serikat dan Kanada selama 11 tahun lamanya. Seorang lulusan Stanford menceritakan kepada Kotaku, bahwa pada masa itu para teknisi komputer bisa terpaku ke layar Cathode Ray Tube (CRT) selama berjam-jam, memainkan game ini di malam hari usai mereka kerja.

Setelah dari itu, 8 tahun kemudian, Atari melaksanakan turnamen Space Invaders. Spacewar tercatat sebagai turnamen video game pertama di dunia, sementara Space Invaders Championship tercatat sebagai turnamen video game skala besar pertama di dunia. Rilis tahun 1978, Space Invader merupakan salah satu game terpopuler di masa itu, ketika game hanya bisa dimainkan di mesin Arcade atau tempat yang kita kenal sebagai ‘ding-dong’. Turnamen ini berhasil menarik perhatian banyak gamers, diikuti oleh 10 ribu lebih peserta, dan membuat bermain video game jadi hobi arus utama.

Kendati turnamen game sudah mulai marak pada masa itu, tapi jangan bayangkan ini sebagai pertandingan satu lawan satu. Kebanyakan game di zaman itu bersifat Single-Player. Lalu bagaimana game single-player bisa dipertandingkan? Jawabannya tentu saja dengan membandingkan skor yang bisa didapatkan antar pemain.

Ini mungkin terdengar tidak masuk akal di zaman sekarang, ketika game multiplayer (baik online atau offline) sudah menjadi budaya yang umum. Namun demikian perebutan skor tertinggi menjadi satu ajang unjuk gigi terbaik pada masa itu.

Satu bukti popularitas turnamen video game di Amerika Serikat zaman itu adalah terciptanya Twin Galaxies, organisasi yang bekerja mencatat rekor skor tertinggi dari para pemain, yang dibentuk oleh seorang pengusaha bernama Walter Day.

Sumber: VentureBeat
Billy Mitchell, pencetak skor tertinggi untuk jajaran game Nintendo terpopuler pada tahun 80an. Sumber: VentureBeat

Satu yang membuat usaha Walter Day begitu terasa ketika itu adalah usahanya untuk menyetor catatan tersebut kepada Guinness World Records. Karena Guinness World Records mencatat semua rekor yang bisa dicapai oleh manusia, kehadiran Twin Galaxies berperan membawa budaya gaming menjadi mainstream di Amerika Serikat.

Berkat Twin Galaxies, masyarakat awam jadi bisa kenal Billy Mitchell, gamers yang mencatatkan rekor skor tertinggi pada game Pac-Man, Ms. Pac-Man, Donkey Kong, Donkey Kong, Jr., Centipede, dan Burger Time, yang membuatnya masuk dalam buku Guinness World Records di tahun 1985.

Pada tahun 80an, fenomena turnamen video game tidak hanya jadi monopoli Amerika Serikat saja. Pasalnya pada tahun itu Indonesia juga sudah kenal turnamen video game. Bukti akan hal tersebut mencuat lewat sebuah foto yang diunggah seorang pengguna media sosial.

Foto itu menggambarkan suasana keramaian di tangga suatu bangunan, dengan spanduk bertuliskan “Selamat datang para peserta lomba Nintendo tingkat Jatim 1989, di THR Surabaya Mall.”

Memang pada tahun itu, Nintendo sedang melakukan promosi lewat kompetisi. Tahun itu ada Nintendo Challenge Championship, dan satu tahun setelahnya ada Nintendo World Championship di tahun 1990. Tetapi, dua helatan akbar konsol asal Jepang itu diadakan di Amerika Serikat.

Sampai saat ini belum ada satu media pun yang membahas lebih lanjut soal foto lomba Nintendo tingkat Jatim tadi ataupun dokumentasi yang lebih detail. Akhir tahun 80an menutup satu lembar sejarah esports dan melanjutkan kita ke era berikutnya di tahun 90an.

Kemunculan Street Fighter II dan Munculnya Laga Digital 1 lawan 1

Awal tahun 1990 membuka babak baru dari perkembangan esports. Setelah kurang lebih satu dekade adu kemampuan main game hanya bisa ditakar dari skor, tahun 90an memberikan gamers cara baru dalam menentukan siapa yang terbaik, yaitu lewat laga digital satu lawan satu. Ini terjadi berkat Capcom, yang merilis mesin Arcade berjudul Street Fighter II: The World Warrior pada tahun 1991.

Dalam artikel Hybrid yang ditulis oleh Ayyub Mustofa membahas soal sejarah fighting games, dikatakan bahwa fighting games pada masa itu biasanya hanya melawan komputer saja. Tapi Street Fighter II merevolusi semua itu dengan menciptakan sistem permainan player vs player. Sontak Street Fighter II menjadi favorit pemain Arcade.

Menurut catatan dari Gamerevolution, Street Fighter II diperkirakan mendatangkan pemasukan hingga kurang lebih 10 miliar dolar AS (sekitar Rp153 triliun), dengan total 200.000 mesin arcade, dan 15 juta unit software terjual di seluruh dunia.

Banyaknya jumlah pemain Street Fighter II menciptakan budaya kompetitif di kalangan para pemain. Orang jadi berlomba-lomba untuk jadi yang terbaik, karena ada harga diri, uang, dan waktu yang dipertaruhkan oleh pemainnya ketika bermain Street Fighter II di tempat Arcade. Walhasil budaya kompetitif ini menyebar dengan liar namun belum ada tempat yang mewadahi hasrat kompetitif ini pada masa itu.

Sampai pada akhirnya terciptalah cikal bakal kompetisi fighting games terakbar di dunia, Evolution Championship Series. Kompetisi ini digagas oleh empat sekawan dengan nama awal Battle by the Bay, yang diciptakan tahun 1996. Empat sekawan itu adalah Tom Cannon (inkblot) dan Tonny Cannon (Ponder) yang dikenal sebagai Cannon bersaudara, Joey Cuellar (MrWizard), dan Seth Killian (S-Kill).

Battle by the Bay tercipta sebagai cara bagi para pemain untuk menentukan siapa yang terbaik. Di Amerika Serikat pada zaman tersebut, ketika internet baru mulai ada, pusat dari persaingan Street Fighter berada di daerah California. Tom Cannon sendiri berkuliah di North California (NorCal), yang menjadi tempat kompetisi Street Fighter paling panas pada masanya.

Sumber: Kotaku.com
Potret keseruan turnamen fighting game pada awal-awal perkembangannya. Sumber: Kotaku.com

Belum lagi ketika itu juga ada rivalitas antar kelompok, terutama antara pemain NorCal dengan pemain SoCal (South California). Masing-masing pemain ini bisa saja asal klaim bahwa dirinya yang terbaik, karena belum ada satu kompetisi yang menjadi penentu hal tersebut. Sampai akhirnya Battle by the Bay tercipta, untuk menjadi penentu, siapa pemain Street Fighter terbaik seantero pantai California.

Selain kelahiran ajang adu kemampuan satu lawan satu, periode ini juga menandai penggunaan internet dan komputer yang semakin umum di masyarakat. Ini kembali mengevolusi cara orang berkompetisi dalam video game. Selain Street Fighter, game lain yang juga jadi ikon awal tahun 90an adalah Doom.

Game ini segera menuai kesuksesan, yang dikabarkan berhasil mendapatkan penjualan sebesar US$100.000 setiap harinya. Namun game ini menjadi kontroversi karena kekerasan yang dihadirkan. Kehadiran Doom jadi pembuka bagi genre FPS yang membombardir pecinta game di periode ini.

Doom menginspirasi kehadiran Quake, dan Half-Life. Pada akhir 90an, tepatnya pada 1999. Half-Life 2 juga menjadi basis custom-game FPS yang masih eksis hingga saat ini, Counter-Strike. Di Amerika Serikat, Quake menjadi fenomena kompetisi game komputer, karena mode multiplayer yang variatif.

QuakeCon pertama yang digelar Agustus 1996 menjadi penanda munculnya Quake sebagai satu pertandingan game yang digandrungi oleh banyak gamers. Acara tersebut berawal sebagai gathering komunitas, namun berkembang menjadi satu ajang kompetisi Quake paling bergengsi pada masanya.

Setelah laga adu skor, Street Fighter, dan Quake terjadi di Amerika Serikat, perkembangan esports berikutnya membawa kita ke Timur, ke negeri ginseng, Korea Selatan.

Cikal Bakal Esports Menjadi Fenomena Global Dari Korea Selatan

Selain Amerika Serikat, Korea Selatan bisa dibilang menjadi kiblat perkembangan esports lainnya. Bagi Korea Selatan, awal mula semua itu adalah ketika terjadi krisis finansial di Asia pada tahun 1997. Menanggapi keadaan itu, pemerintah Korea Selatan fokus melakukan pengembangan infrastruktur telekomunikasi dan internet.

Dampak hal tersebut adalah komunitas gamers yang berkembang pesat, karena PC bang (sebutan untuk warnet di Korsel) menggunakan koneksi internet baru yang lebih cepat sehingga menyedot perhatian para gamers untuk main game online. PC bang akhirnya bertindak seperti lapangan kosong yang digunakan oleh anak-anak untuk bermain bola, entah untuk sekadar bersenang-senang, atau uji kemampuan.

StarCraft, game besutan Blizzard jadi sangat populer di Korea Selatan sana. Ditambah lagi, pemerintah juga mendukung dan berinvestasi terhadap industri baru ini. Pemerintah Korea Selatan menciptakan Korea E-Sports Association (KeSPA) pada tahun 2000, semakin mendorong perkembangan esports di sana.

Sumber: DotEsports
Sumber: DotEsports

“14 tahun lalu, dengan dukungan pemerintah, turnamen diselenggarakan secara profesional, dan gelaran ditayangkan di televisi, wajar jika esports menjadi mainstream di sana. Layaknya sepak bola jadi olahraga yang diterima masyarakat secara umum.” Ucap Jonathan Beales, seorang komentator esports kepada New York Times pada artikel terbitan tahun 2014 lalu.

Tak hanya game komputer saja, Street Fighter 2 dan komunitas fighting game juga terus berkembang di masa awal 2000an, walau tren mesin Arcade sudah mulai tergantikan konsol. Periode awal 2000an menjadi momen besar bagi komunitas fighting game, ketika kompetisi mereka tak lagi lokal, tapi menjadi ajang unjuk kemampuan internasional.

Turnamen besutan Capcom yang mempertemukan jagoan barat, Alex Valle, dengan jagoan timur, Daigo Umehara, berhasil menjadi katalis perkembangan esports fighting game. Alhasil Battle by the Bay tahun 2001 kedatangan banyak pemain dari Jepang. Perkembangan ini membuat Battle by the Bay berubah nama menjadi EVO di tahun 2002.

Lalu, awal tahun 2000 juga menjadi momen saat Counter-Strike hadir dan menjadi fenomena global. Pada masa ini Indonesia juga turut mencicipi perkembangan tersebut, dan menjadi salah satu yang berpengaruh di dalam perjalanan sejarah esports.

Ini semua karena World Cyber Games. Kompetisi yang digagas oleh pengusaha Korea bernama Yoseeop Oh, dan didukung secara finansial oleh Samsung itu, berhasil menjadi ikon esports sebagai kompetisi global karena diikuti peserta dari 55 negara.

Kualifikasi menuju panggung dunia WCG mulai hadir di Indonesia pada tahun 2002. Puncak prestasi Indonesia dalam gelaran ini adalah pada tahun 2003, ketika tim XCN berhasil mencapai babak Semi-Final. Walau akhirnya terhenti oleh tim asal Denmark, namun mencapai peringkat top 8 dalam turnamen internasional adalah pencapaian besar bagi Indonesia.

Lompat beberapa tahun ke depan, periode awal 2010 menjadi cikal bakal dari dua turnamen yang jadi fenomena besar dalam perkembangan esports. Riot Games mengadakan turnamen bertajuk Season One Championship pada 2011, yang menjadi cikal bakal LoL Worlds, ajang esports terbesar di dunia yang ditonton oleh 21,8 juta orang pada tahun 2019 lalu.

Pada tahun yang sama, Valve juga mengadakan The International. Ini merupakan turnamen tingkat dunia pertama bagi Dota 2, versi standalone dari custom-game Warcraft terpopuler, Defense of the Ancient. The International juga menjadi fenomena besar bagi dunia esports. Dengan total hadiah sebesar 10,9 juta dolar Amerika Serikat (sekitar Rp154 miliar), gelaran ini berhasil mencetak rekor sebagai turnamen game dengan hadiah terbesar di tahun 2013.

Berkat sistem crowdfunding yang diterapkan, The International terus memecahkan rekor total hadiah di skena esports setiap tahunnya sejak tahun 2013. Terakhir kali, The International 2019 bahkan memiliki total hadiah sebesar 34 juta dolar Amerika Serikat (sekitar Rp523 miliar).

Mobile Games Sebagai Tren Baru dan Dominasi Indonesia di Peta Persaingan Esports Global

Ketika kita mengira bahwa perkembangan esports akan stagnan, ternyata esports memasuki babak baru lagi pada tahun 2014. Perkembangan ini didorong oleh sekelompok pengembang berpengalaman yang ingin mendorong teknologi mobile lebih jauh lagi. Di bawah perusahaan bernama Super Evil Megacorp (SEMC), Vainglory diluncurkan pada November tahun 2014 lewat sesi presentasi teknologi API grafis bernama Metal untuk iPhone 6.

Pada masa itu, Vainglory bisa dibilang menjadi pionir MOBA untuk mobile. Walau mereka bukan yang pertama, namun SEMC menjadi pengembang pertama yang berhasil menciptakan MOBA di mobile secara sempurna, dan punya konsep 3v3 yang unik. Setelah melalui fase beta, game ini ternyata diterima dengan sangat baik, dan berhasil mencatatkan 1,5 juta pemain aktif bulanan.

Vainglory pada masa itu juga menjadi pionir esports mobile game tingkat global. Tahun 2015 mereka menyelenggarakan Vainglory World Invitational yang cuma diikuti oleh 8 tim saja. Sukses di tahun pertama, gelaran ini berlanjut untuk kedua kalinya pada tahun 2016 dengan jumlah tim peserta dan perwakilan negara yang lebih banyak.

Do SEMC capable to repeat the victory in Vainglory Worlds 2017 that breaks the record of Twitch spectators. Source: redbull.com
Vainglory Worlds 2017, menjadi gelaran dunia terakhir dari Vainglory. Source: redbull.com

Sayang Vainglory malah meredup di tahun-tahun setelahnya. Pada tahun 2017, Indonesia diwakili oleh Elite8 mengikuti Vainglory World Championship 2017. Berbarengan dengan itu, Vainglory merilis mode 5v5, namun perkembangan Vainglory setelah itu malah terhambat yang diikuti dengan berbagai masalah yang membuat skena esports game ini jadi menurun.

Tahun 2017, kompetisi menjadi MOBA di mobile paling populer kedatangan pendatang baru. Dibesut pengembang asal Tiongkok, Moonton, Mobile Legends menjadi fenomena baru di Indonesia. Berbarengan dengan panasnya esports Vainglory lewat gelaran Indonesia Games Championship, Mobile Legends juga menunjukkan taringnya lewat gelaran Mobile Legends SEA Cup 2017.

MSC ketika itu bisa dibilang menjadi salah satu gelaran esports dengan jumlah penonton terbanyak. Berhasil membuat venue gelaran Grand Final, Mall Taman Anggrek, jadi penuh sesak sembari menunjukkan potensi skena esports bagi Mobile Legends: Bang-Bang.

Pada tahun berikutnya PUBG Mobile rilis. Game ini juga mendapat penerimaan yang baik secara global, dengan total pemain lebih dari 200 juta orang dan jumlah pemain aktif mencapai 30 juta orang per bulan di tahun yang sama dengan tahun perilisan. Dibesut oleh Tencent, PUBG Mobile segera mendapat kompetisinya tersendiri di skena lokal lewat PUBG Mobile Indonesia National Championship (PINC 2018).

Bigetron saat juara PMCO 2019. Sumber: Twitter PUBG Esports
Bigetron saat juara PMCO 2019. Sumber: Twitter PUBG Esports

Masih di tahun 2018, Mobile Legends memulai liga profesionalnya di Indonesia yang bertajuk Mobile Legends Professional League (MPL ID Season 1). Kompetisi tersebut segera mendapatkan penerimaan yang sangat baik sampai akhirnya sistem kompetisi diubah jadi franchise model pada tahun 2019.

Tahun 2019 saat esports mobile games menjadi semakin umum, membuat Indonesia banyak memetik buah prestasi dari hal ini. Pada tahun itu Bigetron RA menjadi juara dunia kancah PUBG Mobile lewat gelaran PUBG Mobile Club Open Global Finals 2019. ONIC Esports menjadi tim terkuat di Asia Tenggara lewat gelaran Mobile Legends Southeast Asia Cup 2019, dan terakhir ada EVOS Esports yang menjadi juara dunia Mobile Legends pertama lewat gelaran M1 World Championship.

Esports berhasil menjadi industri yang berkembang berbarengan dengan perkembangan teknologi. Ini belum menjadi akhir dari perkembangan esports. Bahkan untuk saat ini saja, esports mobile games masih belum menemukan bentuk terbaiknya, karena popularitasnya yang masih terpusat di daerah Asia saja.

Di masa depan, mungkin akan muncul evolusi baru lagi dari esports, yang hadir lewat teknologi terbaru. Mungkin bisa saja teknologi virtual reality dan augmented reality mungkin akan menjadi evolusi berikutnya dari esports. Satu hal yang pasti, di dunia digital yang terus berkembang ini, kita dituntut harus cepat beradaptasi dengan zaman agar tidak tertinggal dengan perkembangan teknologi.

Berbagai Hasil Riset tentang Pengaruh Positif Bermain Game

Di Indonesia, game menjadi momok bagi sebagian orangtua, dianggap sebagai alasan mengapa nilai murid jelek atau bahkan bolos sekolah. Di negara maju seperti Amerika Serikat sekalipun, game juga sering menjadi kambing hitam. Misalnya, setiap ada penembakan massal, game akan disebut sebagai alasan mengapa pelaku bisa menjadi pembunuh berdarah ringin. Sementara di Tiongkok, game dianggap sebagai alasan mengapa semakin banyak generasi muda yang mengalami rabun jauh. Dampak dari sebuah game pada para pemainnya adalah topik yang telah diperdebatkan selama puluhan tahun. Studi tentang hal ini juga telah banyak.

Bagaimana Game Memengaruhi Pemainnya?

Pada  2013, American Psychological Association (APA) melakukan riset tentang bagaimana game bisa digunakan sebagai alat edukasi serta dampak positif game pada anak dan remaja.

“Selama berpuluh-puluh tahun, riset tentang dampak negatif bermain game, termasuk kecanduan, depresi, dan agresi telah dilakukan. Kami tidak menyebutkan bahwa riset itu harus diacuhkan,” kata Isabela Granic, PhD dari Radboud University Nijmegen, Belanda, salah satu penulis dari riset tersebut, dikutip dari situs APA. “Namun, untuk memahami dampak bermain game pada perkembangan anak dan remaja, kita perlu sudut pandang yang lebih seimbang.”

Menurut riset APA tersebut, bermain game dapat meningkatkan kemampuan kognitif anak, termasuk spatial navigation, persepsi, daya ingat, sampai pemikiran kritis. Menariknya, game tembak-tembakan, yang dianggap penuh kekerasan, juga dapat memberikan efek positif, yaitu meningkatkan spatial cognition (kemampuan untuk melakukan navigasi dalam ruang 3D). “Ini penting dalam edukasi dan pengembangan karir anak, karena riset membuktikan bahwa kemampuan spatial seseorang memengaruhi pencapaiannya di bidang sains, teknologi, engineering, dan matematika,” ujar Granic.

Lalu, adakah perbedaan antara otak gamer dan non-gamer? Untuk menjawab pertanyaan ini, pada 2018, Senior Editor Wired, Peter Rubin pergi ke Sports Academy di Thousand Oaks. Di sana, dia mengikuti serangkaian tes kognitif dan membandingkan hasil tesnya dengan gamer profesional. Anda bisa melihat apa saja tes yang dilakukan dalam video di bawah.

Hasil tes menunjukkan bahwa gamer profesional memiliki nilai yang lebih tinggi, khususnya dalam tes yang mengharusnya seseorang mengacuhkan gangguan di sekitarnya untuk fokus pada sebuah tugas. Memang, game, terutama action game, memiliki pace yang sangat cepat. Pemain dituntut untuk membuat keputusan dengan cepat dalam situasi yang kacau balau.

C. Shawn Green, Associate Professor, Department of Psychology, University of Wisconsin-Madison mengatakan bahwa action game memang dapat memengaruhi kemampuan kognitif seseorang. Ada tiga kemampuan kognitif yang akan meningkat jika seseorang bermain action game. Pertama adalah persepsi, bagaimana kita memahami keadaan sekitar berdasarkan rangsangan yang panca indera kita terima. Kedua adalah spatial cognition, yaitu kemampuan untuk menavigasi dalam lingkungan 3D. Terakhir adalah top down attention, ini merupakan kemampuan untuk mengacuhkan distraksi yang ada dan tetap fokus pada satu tujuan yang telah ditetapkan.

Setiap Game Tidak Memberikan Dampak yang Sama

Action game memang terbukti memberikan dampak baik pada kemampuan kognitif seseorang. Namun, itu bukan berarti semua game memberikan efek yang sama. Game sangat beragam, hadir dengan genre dan gameplay yang berbeda-beda. Bermain role-playing game dan puzzle game akan memberikan dampak yang berbeda dari memainkan action game. Meskipun begitu, bukan berarti hanya action game yang memberikan dampak positif. Dalam risetnya, APA mengungkap, memainkan game strategi, termasuk RPG, meningkatkan kemampuan problem-solving anak. Satu hal yang pasti, bermain game dapat meningkatkan kreativitas para pemainnya, terlepas dari genre yang mereka mainkan.

Sementara itu, dalam studi berjudul Social Interactions in Massively Multiplayer Online Role-Playing Gamers, disebutkan bahwa memainkan game Massively Multiplayer Online Role-Playing Games (MMORPG) dapat meningkatkan kemampuan sosial pemainnya. Alasannya, karena game MMORPG bisa menjadi tempat bagi para pemainnya untuk mengenal satu sama lain dan menjalin hubungan pertemanan, Faktanya, interaksi antar pemain justru dianggap sebagai salah satu daya tarik game MMORPG.

Game MMORPG biasanya mendorong pemainnya untuk membentuk grup. | Sumber: Elder Scroll Online
Game MMORPG biasanya mendorong pemainnya untuk membentuk grup. | Sumber: Elder Scroll Online

Menariknya, saat bermain game MMORPG, para pemain bisa mengekspresikan dirinya dengan lebih bebas. Diduga, alasannya adalahh karena seseorang tidak merasa terikat dengan identitas — seperti umur, gender, atau penampilan — saat bermain game. Selain meningkatkan kemampuan sosial, game MMORPG juga dapat mengajarkan kerja sama tim. Memang, kebanyakan game MMORPG menghadirkan fitur guild atau klan, yang mendorong para pemainnya untuk bekerja sama dengan satu sama lain.

Mark Griffiths, salah satu penulis studi Social Interactions in Massively Multiplayer Online Role-Playing Gamers, juga percaya, game bisa digunakan sebagai alat edukasi. Pasalnya, game bisa memberikan stimulasi pada pemain. Selain itu, bermain game juga terasa menyenangkan. Jika pelajaran dihadirkan dalam bentuk game, murid bisa lebih mudah untuk fokus pada bahan pelajaran karena ia tidak membosankan. Selain itu, game juga menarik untuk dimainkan semua orang, terlepas umur, gender, atau etnis mereka.

Tak hanya untuk edukasi, Griffiths juga menganggap, game bisa digunakan sebagai alat terapi. Dan memang, ada laboratorium riset yang melakukan penelitian terkait hal ini.

Game sebagai “Obat”

Neuroscape adalah laboratorium riset di University of California, San Francisco yang telah melakukan penelitian tentang bagaimana game bisa digunakan untuk “mengobati” penyakit mental selama bertahun-tahun. Perusahaan anak dari Neuroscape, Akili Interactive Labs, bahkan telah memiliki produk yang masuk ke tahap pengujian klinis untuk mendapatkan izin dari Food and Drug Administration (FDA) di Amerika Serikat. Produk tersebut adalah Project: EVO, yang ditujukan untuk mengatasi Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD). Pada 2017, proyek tersebut telah memasuki tahap pengujian akhir dari FDA.

“Tujuan kami bukanlah untuk menggantikan industri farmasi,” kata Adam Gazzaley, pendiri dan Executive Director dari Neuroscape dan anggota dewan Akili. Dia mengungkap, tujuan mereka melakukan riset ini adalah untuk menemukan metode pengobatan baru dengan efek samping yang minimal. Gazzaley adalah seorang profesor di bidang neurologi, fisiologi, dan psikiater. Dia mendirikan laboratorium riset sains syaraf kognitif di UCSF pada 2005. Sementara terkait game, dia pernah bekerja sama dengan LucasArts, publisher yang merilis game dari franchise Star Wars dan Indiana Jones.

Neuroscape meneliti bagaimana game membantu penderita penyakit mental. | Sumber: CNBC
Neuroscape meneliti bagaimana game membantu penderita penyakit mental. | Sumber: CNBC

“Elastisitas otak kita, kemampuan otak untuk berubah, ini dipengaruhi pengalaman kita,” kata Gazzaley pada CNBC. “Jika kita bisa menciptakan pengalaman yang sesuai dengan seseorang, ini bisa meningkatkan kemampuan otak mereka.”

Gazzaley menjelaskan, Neuroscape tidak sekadar berusaha untuk melakukan gamifikasi dari latihan fisik yang ditujuakn untuk penderita penyakit mental. Sebagai gantinya, mereka berusaha untuk membuat game yang menggabungkan gerakan fisik dengan latihan kognitif. Dia percaya, penelitian yang dia lakukan akan berbuah manis. “Saya rasa, masalahnya hanyalah belum ada bukti yang kuat. Dan itulah yang coba kami lakukan,” katanya pada The Verge. “Kami semua percaya dengan apa yang kami lakukan. Kami hanya perlu membuktikannya dengan data.”

Sejauh ini, kita sudah membahas tentang bagaimana game bisa memberikan dampak positif. Tapi, itu bukan berarti game adalah panacea. Saya percaya, segala sesuatu di dunia ini punya dampak positif dan negatif. Begitu juga dengan game. Pada 2019, World Health Organization menetapkan gaming disorder sebagai kelainan mental. Namun, seperti yang disebutkan oleh Live Science, hanya karena seseorang sering bermain game bukan berarti dia mengidap  gaming disorder.

Ada beberapa karakteristik dalam diri penderita gaming disorder. Salah satunya adalah dia memprioritaskan bermain game di atas segalanya sehingga mengganggu kehidupan sehari-harinya. Menurut WHO, seorang penderita gaming disorder tak lagi bisa mengendalikan kebiasaannya bermain game. Selain itu, mereka juga menempatkan game sebagai prioritas utama, diatas pekerjaan, pendidikan, dan hobi lainnya.

Ciri khas lainnya adalah seorang penderita gaming disorder akan terus bermain game walau mereka sadar bahwa hal itu memberikan dampak buruk pada kehidupan mereka, misalnya merusak hubungan dengan keluarga dan teman atau mengacaukan ritme kerja atau belajar mereka. WHO juga menyebutkan, seseorang harus memiliki gejala gaming disorder selama setidaknya satu tahun sebelum ia bisa dinyatakan menderita kelainan tersebut.

Kesimpulan

Ada banyak keuntungan yang diberikan oleh game. Sebuah game biasanya memiliki tujuan yang harus dicapai, baik mengalahkan seseorang, menyelamatkan dunia, atau sekadar memulihkan lahan pertanian yang diwariskan pada pemain. Ini membantu pemainnya fokus untuk mencapai tujuan tersebut.

Selain itu, disadari atau tidak, ada hukum sebab-akibat dalam game, khususnya dalam game-game yang memang menyajikan cerita yang berat. Dalam sebuah game, Anda akan dihadapkan pada pilihan yang akan memengaruhi cerita sang tokoh utama. Berbeda dengan film, dimana penonton tidak ikut aktif memilih jalan cerita, game memungkinkan pemain untuk mengeksplorasi apa yang terjadi ketika Anda mengambil pilihan yang berbeda. Konsep ini mirip dengan dunia nyata. Setiap keputusan yang Anda ambil akan memiliki konsekuensi. Hanya saja, di dunia nyata, Anda tidak bisa mengulang dari check point terakhir ketika membuat kesalahan.

Memang, game tidak melulu memberikan dampak baik. Game juga bisa memberikan dampak negatif. Namun, hanya karena game memiliki dampak buruk, bukan berarti game harus dihilangkan sama sekali. Moderation is the key.

Sumber: IFL Science, APA, Wired, CNBC, The Verge, Live Science, Quartz

Sumber header: Deposit Photos

Sejarah Esports Counter-Strike Indonesia: Warnet, WCG, Hingga Panggung Internasional

Tidak dapat dipungkiri bahwa peran Counter-Strike di dalam ekosistem esports dapat terbilang cukup besar. Artikel Hybrid sebelumnya membahas bagaimana Counter Strike memahat jalan terhadap perkembangan genre kompetitif FPS. Counter-Strike (CS) muncul sebagai custom-game pada awalnya. Game 5v5 ini pun sukses mendapat banyak perhatian pemain ketika muncul di tahun 1999.

CS sempat mengalami masa kelam akibat “eksperimen” Valve pada tahun 2003. Hadirnya Counter-Strike: Global Offensive membuat seri ini kembali sukses berkembang dan eksis sampai sekarang. Tak hanya di skena internasional, seri game ini turut memberi berdampak pada ekosistem esports lokal.

Tanpa eksistensi Counter-Strike, mungkin kita tidak akan mengenal tim NXL. Organisasi yang berasal dari akronim Next Level ini cukup populer sejak awal masanya. Tim yang dibesut Richard Permana telah melahirkan seorang Hansel Ferdinand (BnTeT). Kini BnTeT eksis melanglang-buana sampai CS:GO Amerika Utara bersama tim Gen.G.

Tetapi sebenarnya bagaimana cerita awal mula Counter-Strike bisa terkenal di Indonesia? Juga bagaimana sampai akhirnya Counter-Strike menjadi salah satu game kompetitif terpopuler, bahkan punya turnamen tingkat nasional di Indonesia? Berikut sejarah esports Counter-Strike di Indonesia.

Perkembangan Counter-Strike Menjadi Kompetitif dari Warnet ke Warnet di Indonesia

Counter-Strike digarap secara serius pada awal tahun 2000an. Perhatian Valve sukses merevolusi CS menjadi game kompetitif yang digandrungi oleh puluhan ribu pemain. Sementara di Indonesia, NXL sempat berkuasa dengan menyabet puluhan prestasi. Oleh karenanya saya berbincang dengan sang CEO, Richard Permana (frgd) untuk menilik kesuksesan industri esports Counter-Strike lokal sejak masa benih.

Richard bercerita, bahwa dirinya sudah kenal Counter Strike dari tahun 2000. “Dulu saya masih SMP. Pulang sekolah, lalu kan pergi ke sport club untuk olahraga rutin setiap hari. Eh, tiba-tiba ada teman baru di sana, dia dari Singapura, lalu mengajak saya main komputer ke Ratu Plaza. Lalu saya main saja, setelah beberapa saat, baru tahu bahwa itu adalah Counter-Strike.”

Dari hanya bermain iseng-iseng, Richard semakin lama semakin keranjingan dengan Counter-Strike dan mulai coba ikut kompetisi di berbagai macam warnet. “Ya dulu ketika baru kenal Counter Strike di tahun 2000, skena kompetitif cuma ada di warnet-warnet. Pas ada WCG baru ada kompetisi yang tingkatnya nasional dan diadakan di panggung besar.” ucapnya. Seraya menceritakan bagaimana Counter Strike berkembang, Richard juga menceritakan awal terbentuknya NXL.

Richard bercerita bahwa keseriusannya berkompetisi berawal dari iseng. Pada tahun 2000, seorang teman mengajaknya untuk bermain Counter Strike. Perlahan tumbuh niat untuk serius dan akhirnya membetuk NXL, menjadikan timnya dikenal sebagai jawara “warnet”.

“Ya dulu ketika baru kenal Counter-Strike di tahun 2000, skena kompetitif cuma ada di warnet-warnet. Pas ada WCG baru ada kompetisi yang tingkatnya nasional dan diadakan di panggung besar.”

“Team NXL terbentuk karena warnet. Pada zaman itu di Intercon, Jakarta Barat, ada warnet yang namanya Winner. Di warnet itu ada banyak tim Counter-Strike yang berkumpul dan latihan setiap hari. Kebetulan saya juga sering main ke sana. Lalu pada satu momen, ada tim yang pemainnya kurang saat latihan, sampai akhirnya saya diajak dan saya memutuskan untuk ikut. Sejak saat itu saya mulai saling kenal dan cocok, yang menjadi cikal bakal terbentuknya NXL dengan anggota heart, kazm, newrage, 1stlabel, dan saya sendiri, frgd.” Cerita Richard.

Menarik benang dari fenomena Counter-Strike di Jakarta yang begitu eksis, membawa saya berkelana ke Surabaya. Arwanto Tanumihardja (WawaMania) adalah sosok yang saya tuju. Ia awalnya dikenal sebagai seorang shoutcaster yang populer di skena CS:GO Indonesia.

Sumber: Liquidpedia
Sumber: Liquidpedia

“Dulu di Surabaya Counter-Strike populer ketika warnet sedang menjamur. Dulu di warnet baru ada game yang sifatnya LAN, belum ada game online yang masif dengan menggunakan internet. Pada zaman itu, awalnya yang terkenal StarCraft lebih dahulu. Game itu jadi terkenal karena bisa dimainkan ramai-ramai oleh 8 orang. Seiring berjalannya waktu, muncul Counter-Strike. Juga karena waktu itu belum ada FPS yang bisa dimainkan secara multiplayer, dalam sekejap CS jadi tren deh di warnet.” Wawa menceritakan pengalamannya.

Meski tergolong sebagai game dengan spesifikasi tinggi pada zamannya, Counter Strike berhasil meramaikan ekosistem warnet karena komunitasnya yang aktif.

“Bahkan seingat saya, turnamen pertama Counter Strike di Surabaya, yang namanya saja saya lupa, itu sangat ramai sekali. Yang nonton sudah kayak antrian sembako malah… Haha.” Ujar WawaMania sembari tertawa.

Berkembangnya Counter Strike menjadi awal tumbuhnya industri esports kompetitif dalam negeri. Meningkatnya kurva peminat di Indonesia menjadi pemicu lahirnya turnamen esports kelas nasional, World Cyber Games.

WCG dan Perkembangan Counter-Strike Menjadi Esports di Indonesia

Bisa dibilang bahwa kisah perjalanan Counter-Strike menjadi esports di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari turnamen World Cyber Games. Biasa disingkat sebagai WCG, kompetisi tersebut merupakan turnamen paling bergengsi pada zamannya. Walau WCG sama-sama berdiri di awal tahun 2000 seperti ESL, namun pada zaman itu WCG mungkin adalah turnamen dengan gaung terbesar di Asia dan terasa sampai ke Indonesia.

Pada zamannya, WCG bisa dibilang seperti piala dunia bagi kancah esports internasional. WCG diikuti oleh hampir 50 negara di dunia, dengan Counter-Strike sebagai salah satu game yang dipertandingkan. Tak heran jika WCG pada masanya, memberi dampak yang cukup terasa kepada ekosistem.

Sumber: Dokumentasi Eddy Lim
Sumber: Dokumentasi Eddy Lim

WawaMania menceritakan bagaimana WCG memberi dampak kepada komunitas pemain Counter-Strike di daerah. “Di Indonesia kompetisi CS pada zamannya sebetulnya banyak. Tapi menurut saya WCG adalah kompetisi yang bisa membuat komunitas jadi kumpul. Kompetisi ini adalah event tahunan, diadakan di masing-masing kota, dan berakhir dengan kejuaraan nasional yang diadakan di Jakarta. WCG yang punya format lokal ke nasional membuat komunitas lokal itu aktif berkompetisi, karena punya tujuan. Hal tersebut juga turut saya rasakan di Surabaya dulu.” Wawa bercerita.

“Karena WCG, kami jadi nggak sekadar main. Kami bermain untuk mengejar suatu tujuan, minimal bisa juara daerah, dan itu juga sudah bangga sekali. Lalu kalau bicara WCG, dulu ada format yang menarik, mempertemukan warnet satu dengan yang lain dan punya format pertandingan kandang-tandang. Gara-gara itu juga Counter-Strike jadi sangat menggugah bagi yang punya jiwa kompetitif. Tapi zaman dulu, sampai tingkat nasional butuh modal besar karena tidak ada hadiah semasa kualifikasi. Jadi tim yang kurang modal biasanya sulit berkembang, karena hanya juara yang punya kesempatan untuk berangkat ke Jakarta.” Wawa melanjutkan ceritanya.

Sumber: Dokumentasi Eddy Lim
Sumber: Dokumentasi Eddy Lim

Membahas WCG, tentu harus melibatkan Eddy Lim sebagai salah satu narasumber. Sosok senior di ekosistem esports Indonesia ini mungkin sekarang lebih dikenal sebagai ketua umum asosiasi esports tertua di Indonesia, Indonesia Esports Association (IESPA). Tetapi selain itu ia juga bisa dibilang sebagai salah satu perintis ekosistem esports dengan statusnya sebagai CEO Ligagame Esports, salah satu penyelenggara turnamen esports tertua di Indonesia.

Eddy Lim lalu menceritakan bagaimana esports mulai berkembang di Indonesia, lewat WCG dan posisi Counter-Strike di dalam perkembangannya.

“Ligagame sudah mulai mengadakan turnamen sejak tahun 1999. Dahulu turnamen ini hanya untuk komunitas gamers yang merupakan anggota forum Ligagame saja. Tapi tanpa diduga, ternyata event berbentuk turnamen menarik minat banyak gamers, jadi menarik karena bisa adu skill untuk menjadi yang terbaik. Tapi waktu zaman itu belum ada Counter-Strike. Masih zaman Quake, Unreal Tournament, dan Starcraft.” Eddy Lim menceritakan bagaimana Ligagame menanam bibit-bibit esports kepada para gamers Indonesia.

“Dulu Ligagame itu adalah satu-satunya forum bagi gamers PC, kami juga merupakan salah satu supplier PC untuk warnet dan game-center di Indonesia. Bermodal hal tersebut, Ligagame lalu mencoba menjalankan event esports skala besar pertama di Indonesia yang bernama Liga Jakarta, pada tahun 2001. Liga Jakarta ketika itu mempertandingkan game Counter-Strike versi 1.6 (CS 1.6), dengan laga final yang diselenggarakan di Hotel Dusit, Mangga Dua.”

Esports tak bisa melepaskan diri dari jumlah pemain dari suatu game. Maka dari itu, Counter-Strike sendiri berkembang menjadi kompetisi, karena FPS buatan Gooseman dan Cliffe tersebut memang merupakan game terpopuler di masanya. Counter-Strike juga sangat populer di Indonesia.

Eddy Lim menyebut menyebut bahwa popularitas Counter-Strike ketika itu terbilang memonopoli gamers di indonesia. “Kalau dibanding zaman sekarang, game mobile itu banyak alternatifnya. Misal tidak suka Mobile Legends, masih ada alternatif lain entah itu PUBG Mobile, Free Fire, AOV, atau game lainnya. Tapi kalau dulu, bisa dibilang gamers hanya memainkan Counter-Strike versi 1.6.” Ucapnya.

“Liga Jakarta memilih CS 1.6 juga karena alasan itu. Walhasil benar saja, event ini disambut baik oleh para gamers, berjalan dengan baik dan sangatlah ramai. Pada gelaran final, mungkin bisa dibilang pemain CS 1.6 dari seluruh Jakarta datang ke Hotel Dusit, entah menjadi peserta atau sekadar menonton saja.” Eddy Lim menceritakan Liga Jakarta sebagai cikal bakal gelaran esports LAN skala besar di Jakarta.

Sejak saat itu, melihat antusiasme dari gamers, Ligagame jadi mulai rutin mengadakan kompetisi demi kompetisi. Hal ini ternyata membuat Ligagame menjadi dikenal lebih luas, tak hanya oleh para gamers tapi juga oleh oleh para sponsor. “Sampai akhirnya hal tersebut ternyata membuat pihak World Cyber Games dari Korea melalui Samsung Indonesia, menunjuk Ligagame sebagai partner WCG untuk Indonesia.”

“Tahun 2002 mungkin bisa dibilang menjadi babak terpenting bagi perkembangan esports di Indonesia. Tahun itu adalah tahun perdana penyelenggaraan WCG di Indonesia. WCG pada masanya juga menjadi event esports dengan kualifikasi yang diselenggarakan di seluruh Indonesia, melalui channel warnet yang saat itu berjamuran di berbagai wilayah Indonesia.”

Keemasan Esports Counter-Strike dan Posisi Pemain Indonesia di Skena Internasional

WCG membuka kesempatan bagi gamers Counter-Strike di Indonesia untuk bisa menuju kancah internasional. Pada tahun 2002, WCG Indonesia Qualifier yang diselenggarakan di Mall Taman Anggrek akan memberikan kesempatan bagi para pemenang untuk berangkat ke Daejeon, Korea Selatan.

Salah satu yang menjadi tim yang menjadi cukup dominan pada masa itu adalah Richard dan kawan-kawan NXL. Tetapi, NXL sendiri belum muncul ke permukaan setidaknya sampai sekitar tahun 2008. Pada sebelum-sebelumnya, nama yang dikenal sebagai tim Counter-Strike terkuat di Indonesia adalah tim XCN.

Eddy Lim menceritakan bahwa pada WCG 2002 prestasi Indonesia masih belum sebegitu bagusnya di tingkat internasional. Dari kualifikasi Indonesia WCG 2002, tim OLO keluar sebagai pemenang. Mengutip dari laman Liquidpedia, tim OLO tercatat tidak mendapat satu kemenangan pun ketika masuk tingkat internasional.

Baru pada WCG 2003, muncul nama tim XCN dengan nama-nama pemain seperti Grayson Sumarlin (gray), Ferdinand Putra (Imothed), Varian Asihwardji (Xtriver), ataupun Carey Ticoalu (Virelis). Mereka merupakan juara kualifikasi WCG 2003 di Indonesia. Kemenangan tersebut membawa mereka ke pertandingan tingkat dunia, bertanding dalam WCG tingkat internasional yang diikuti oleh 55 negara di Seoul, Korea Selatan, pada 12 -18 November 2003.

Sumber: XCN Official
Sumber: XCN Official

Menurut Liquidpedia Counter-Strike WCG 2003, XCN menunjukkan performa yang luar biasa pada babak grup. Hampir sapu bersih semua laga, dengan catatan menang-kalah 4-1. Masuk babak Playoff, pertandingan berjalan cukup mulus pada awalnya. Namun sayang, ketika masuk perempat final, XCN terhenti oleh tim asal Denmark bernama Team9. WCG 2003 sendiri pada akhirnya dimenangkan oleh salah satu nama yang memang terkenal di skena kompetitif Counter-Strike sejak dahulu, yaitu SK Gaming.

“Memang kejayaan prestasi Counter-Strike Indonesia itu ada di tangan XCN. Mereka mewakili Indonesia untuk bermain di WCG 2003. XCN ketika itu berisikan Imothed, Peacemaker, Unforgiven, Xtriver, dan Virelis. Mereka berhasil amankan peringkat 8 besar dalam turnamen Counter-Strike paling bergengsi pada zamannya.” WawaMania menceritakan.

Seperti tongkat estafet, kejayaan XCN di awal tahun 2000an akhirnya dilanjutkan oleh Richard Permana (frgd) dan kawan-kawan NXL mulai dari tahun 2006 hingga awal 2010an. Dirintis mulai dari tahun 2005, pencapaian terbesar NXL untuk pertama kalinya adalah ketika mereka mendapat runner-up di kualifikasi Indonesia untuk WCG 2005.

Mendapat momentum yang baik membuat Richard Permana pantang menyerah mengejar prestasi pada tahun-tahun berikutnya. Pada 2007, mereka menjadi juara di WGT Semarang, namun belum berhasil mendapat kemenangan di kualifikasi Indonesia untuk WCG 2006, hanya mendapat peringkat 3 saja.

Setelah semua perjuangan yang NXL lakukan, angan-angan terbesar Richard dan kawan-kawan untuk mewakili Indonesia di kancah dunia lewat Counter-Strike akhirnya tercapai pada tahun 2008. Mereka pada akhirnya berhasil keluar menjadi juara nasional lewat gelaran kualifikasi Indonesia untuk WCG 2008 dan WGT 2008.

Kemenangan itu memberikan mereka kesempatan untuk mewakili Indonesia di WCG 2008 yang diselenggarakan di Cologne, Jerman. Sayang, ketika itu mereka belum bisa mendapatkan hasil yang terbaik di kancah internasional dan harus puas terhenti di peringkat top 48.

Sumber: NXL
Richard Permana. Sumber: NXL

“Dulu memang kita sangat rajin latihan tim, sparring dengan berbagai tim di berbagai warnet. Berusaha sebisa mungkin nggak pernah melewatkan satu turnamen pun yang ada di kawasan Jakarta. Biasanya kami jadi lebih semangat kalau ada tim yang ingin kita kalahkan.” Richard menceritakan pengalamannya mengejar prestasi di masa itu.

“Awalnya ya harus gagal berkali-kali, sampai akhirnya kita dapat peringkat 2 di turnamen WCG 2006 nasional indonesia. 2007 kita coba lagi, melorot ke peringkat 3. Buah manisnya baru kami dapat di 2008, dominasi total skena CS Indonesia lewat WCG dan WGT, lalu mewakili Indonesia ke WCG 2008 di Cologne, Jerman.” Richard membeberkan perjuangan awal NXL yang terjadi pada tahun 2006-2008.

Tetapi semua kejayaan tersebut bukan berarti NXL bergelimang sponsor, karena pada masanya, esports memang belum menjanjikan. “Mau kita jelasin 2 jam sekalipun, orang-orang tidak ada yang mengerti apa itu esports. Nggak ada yang berani mensponsori sedikit pun. Kita dapat sponsor produk saja sudah bersyukur di masa itu.” Richard sedikit menceritakan perjuangannya merintis NXL Counter-Strike di pertengahan era 2000an.

Pada akhirnya, Richard mengatakan, kebanyakan modal untuk tim NXL datang dari kantong pribadi, ataupun lewat usaha yang dilakukan oleh Richard. Ia sempat mencoba berjualan di forum, lalu hasilnya dikumpulkan untuk melengkapi peralatan gaming terbaik untuk Richard dan kawan-kawannya. Tetapi semua perjuangan itu ternyata berbuah manis, NXL menjadi nama yang dominan di skena Counter-Strike lokal, bahkan sampai di tingkat Asia Tenggara.

“Tahun 2011 kita berhasil kombinasikan pemain berpengalaman dengan pemain muda, pada saat itu dominasi NXL di skena lokal dimulai. Satu persatu pertandingan LAN kami sapu bersih, selalu juara 1. Setiap ke luar negeri juga beberapa kali dapat juara 1. Sampai pada akhirnya pada 2017 awal, rekor tersebut harus berhenti.” Richard melanjutkan cerita masa kejayaan NXL yang sudah masuk masa awal Counter Strike: Global Offensive (CS:GO).

Benar saja, mereka memenangkan MSI Beat IT 2013 – SEA Finals yang diselenggarakan di Beijing, Tiongkok. Bak bola salju, mereka mendapatkan kemenangan demi kemenangan, dan mengokohkan namanya sebagai salah satu tim CS:GO terkuat di SEA pada masa itu. Mereka menjuarai beberapa kejuaraan online tingkat Asia Tenggara, seperti ESEA Season 19: Open Division – Asia Pacific atau DreamHack Stockholm 2015 Asia Open Qualifier.

Pencapaian terbesar mereka pada masa tersebut mungkin adalah di tahun 2016. Ketika mereka berhasil lolos Asian Minor Championship 2017 – Atlanta setelah berhasil juara di SEA Qualifier. Sayang, NXL harus tersingkir di grup A menghadapi Tyloo dan MVP Project, dengan catatan menang-kalah 0-2 dalam gelaran utama Asian Minor yang diselenggarakan di Johor Baru, Malaysia.

CS:GO, Game Online, dan Turunnya Popularitas Counter-Strike di Indonesia

Setelah masa-masa kejayaan tersebut, mulai dari Counter-Strike hingga menjadi CS:GO, tren popularitas game kompetitif FPS besutan Valve ini akhirnya mulai menurun di Indonesia. Baik Richard, Eddy Lim, ataupun WawaMania punya pendapat masing-masing terhadap turunnya skena kompetitif Counter-Strike ataupun CS:GO di Indonesia.

WawaMania dan Eddy Lim sepakat pada satu hal, bahwa Counter-Strike turun pada masanya karena game online MMORPG yang menjamur pada sekitar tahun 2008. “Pada tahun itu, Ligagame sudah jarang menjalankan event esports, dan lebih fokus ke media dan juga game online. Tahun 2008 Megindo melanjutkan estafet menjalankan event WCG, tetapi pada masa itu esports atau turnamen game sudah tidak sepopuler itu karena kehadiran game online MMORPG seperti Ragnarok, Nexia, Gunbound, dan lain sebagainya.” Eddy Lim menceritakan.

Sementara WawaMania mencoba menjelaskan secara lebih komprehensif. “Mungkin ada beberapa faktor. Soal pertandingan yang kebanyakan bersifat LAN dan diadakan di Jakarta mungkin jadi penyebab Counter-Strike turun. Akibatnya kami yang ada di kota kecil jadi sulit berkembang. Seperti tadi saya bilang, butuh modal untuk bisa ikut kualifikasi demi kualifikasi sampai akhirnya bisa lolos ke Jakarta. Mungkin ada faktor lain juga, tapi memang saya melihat setelah kejayaan XCN, tidak ada regenerasi lagi setelahnya di zaman itu.” Ucap Wawa.

Sederetan cerita NXL di NXL Esports Center. Dokumentasi: Hybrid
Sederetan cerita NXL di NXL Esports Center. Dokumentasi: Hybrid

“Alasannya adalah, salah satunya karena pada zaman itu MMORPG juga sedang merebak. Tentu saja, Ragnarok Online. Mungkin gara-gara itu, jam latihan jadi tidak fokus, mungkin lebih profit dan santai jualan Zeny dibanding kompetisi ya? Haha. Semua faktor ada tapi gue merasa game online jadi salah satunya dan mungkin hal lain adalah lahirnya MOBA pada sekitar tahun 2007an.” Wawa menjelaskan lebih lanjut.

Sementara Richard mewakili NXL yang mengecap masa kejayaannya di kisaran awal 2010 berpendapat bahwa salah satu faktor menurunnya Counter-Strike atau tepatnya CSGO pada masanya adalah karena kehadiran FPS kompetitif lainnya yang menyaingi game tersebut secara langsung.

“Counter-Strike atau CS:GO di Indonesia itu menurun karena kekurangan kehadiran event offline prestise yang hadir secara konsisten dari tahun ke tahun. Rasanya hanya hitungan jari jika melihat pada tahun 2012. Terlebih, sekitar tahun 2009, Point Blank sedang marak-maraknya. Alhasil, mayoritas pemain Counter Strike pindah ke PB dan Crossfire ketika itu.” Richard menceritakan.

Richard lalu menceritakan bagaimana banyak komunitas Counter-Strike mulai pindah ke Point Blank karena ladang yang lebih hijau. “Banyak pemain CS yang pindah ke PB pada masanya. Mereka yang juara-juara di kancah kompetitif PB itu rata-rata adalah anak ex-komunitas CS. Terlebih, rata-rata mereka mendapatkan kesuksesan yang luar biasa di Point Blank. Salah satu yang banyak dikenal orang mungkin sosok seperti NextJack atau BenyMozza yang mereka dulunya merupakan anak komunitas CS.” Richard menceritakan.

“Tapi saya merasa keputusan itu cukup wajar dilakukan. CS vs PB dulu ibarat neraka vs surga. Anak-anak PB lebih sejahtera, kompetisi lebih banyak, sudah begitu mereka dapat gaji, uang transport, voucher buat beli senjata setiap bulan. Tapi ada juga beberapa pemain CS yang bertahan dan tidak pindah haluan.” Richard melanjutkan penjelasannya.

Mungkinkah Mengembalikan Kejayaan Counter-Strike di Indonesia lewat CS:GO

Ini mungkin juga menjadi pertanyaan bagi mereka yang masih mencintai CS:GO sampai sekarang. Sebelumnya saya juga sempat berbincang dengan sosok shoutcaster ternama di komunitas CS:GO lainnya, yaitu Antonius Wilson atau yang lebih dikenal dengan nama Wooswa.

Dalam sesi Hybrid Talk tersebut, Wooswa berbicara dengan cukup yakin, atas alasan kenapa skena CS:GO lokal harus tetap dikembangkan. “Jika skena lokal tidak dikembangkan, kita tidak bakal punya sosok pemain Indonesia seperti Xccurate dan BnTeT yang sekarang bertanding di skena internasional.” Jawab Wooswa ketika itu.

Tapi, apakah masih mungkin untuk mengembangkan atau malah mengembalikan masa keemasan CS di Indonesia lewat CS:GO. Eddy Lim selaku sosok yang pernah turut menjadi bagian atas perkembangan Counter-Strike di Indonesia lewat WCG memberi pendapatnya.

“Event esports CS:GO menurut saya masih bisa dihidupkan di Indonesia, walau cukup sulit, karena sudah kehilangan pemainnya. Saya tahu jalan untuk membangkitkan CS:GO akan jadi terjal, tapi saya merasa CS:GO itu punya kelebihan karena mudah ditonton dan dimengerti banyak kalangan, bahkan orang yang tidak mengerti esports sekalipun.” Ujar Eddy Lim.

Mungkin, Counter-Strike bisa bangkit lagi dengan kehadiran komunitas-komunitas. Apakah hal tersebut masih ada? “Wah kalau dulu tahun 2017 masih ada WawaMania Community tuh… Hahaha.” ucap Wawa seraya berkelakar. “Tapi kalau buat komunitas hardcore sih masih ada beberapa seperti IGAMERWORLD di Surabaya. Jakarta punya INDOESPORTS yang masih kerap menyajikan turnamen CS:GO. Di Bandung juga masih ada komunitas bernama SYNTAX.”

“Tapi kalau bicara bangkit lagi, memang susah-susah gampang. Kenapa? Karena CS:GO Indonesia sudah tidak punya regenerasi lagi. Bahkan angkatan 2020 berhenti di f0rsaken, dia pun sebenarnya sudah main di tahun 2017. Jadi memang cukup sulit. Pertanyaan sesungguhnya mungkin adalah, apakah gamers generasi muda akan memilih bermain CS:GO?” tukas Wawa.

Walau keadaan skena CS:GO sedang redup di Indonesia, namun Richard mengaku bahwa tim NXL tidak pernah berhenti berusaha untuk mengejar prestasi CS:GO dan mengembalikan kejayaan CS:GO Indonesia dari segi prestasi.

“Untuk saat ini NXL sedang memetakan kekuatan tim CS:GO di kawasan SEA dan Asia Pacific secara keseluruhan. Tentunya kami juga latihan membentuk tim, sambil mengikut berbagai turnamen yang tersedia, demi mengikis skill-gap terhadap tim tier 1 Asia saat ini, dengan mengikuti satu turnamen ke turnamen lain. Kami ingin kembali totalitas di CS:GO dan bisa meraih prestasi dengan konsisten di masa depan.” Ucap Richard kepada Hybrid.

Pada akhirnya, kejayaan prestasi dari segi esports atas suatu game mungkin memang tidak bisa dilepaskan dari seberapa banyak game tersebut digandrungi oleh para gamers yang menjadi pemainnya. Semakin banyak pemain atas sebuah game di suatu negara, maka semakin baik juga prestasi yang bisa didapatkan oleh negara tersebut.

Dalam konteks Indonesia, kita sudah melihat bagaimana skena kompetitif MLBB dan PUBG Mobile internasional pada akhirnya didominasi oleh Indonesia, karena populernya game tersebut di kalangan gamers muda di tanah air. Melihat banyaknya game baru, dan juga game mobile yang jadi semakin menarik, sepertinya sulit melihat CS:GO bisa bangkit lagi di Indonesia jika game itu secara umum tidak punya unsur menarik lain, selain dari daya tarik secara kompetitif.

Bagaimana Strategi Zepetto untuk Point Blank dan Esports-nya di Tahun 2020?

Meski sudah dirilis di Indonesia sejak 2009 silam, Point Blank (PB) mungkin masih berhak menyandang predikat salah satu game PC paling populer di Indonesia. Usianya di industri game tanah air bahkan melampaui tren DotA ataupun Dota 2 yang mulai redup beberapa waktu lalu.

Meski game ini juga mungkin memegang rekor pergantian publisher terbanyak di Indonesia (dari Gemscool, Garena, sampai akhirnya kembali ke pangkuan developer-nya, Zepetto) dan popularitasnya sempat turun naik, game ini masih ditemukan di setiap icafe ataupun warnet yang fokus menyuguhkan game ke para penggunanya. Di tengah gempuran pasar mobile gaming beserta industri esports-nya yang sekarang lebih laris di Indonesia, Zepetto juga masih rutin menggelar berbagai event PB setiap tahunnya.

Lalu bagaimana rencana Zepetto menghadapi tahun 2020 ini? Bagaimana sebenarnya pandangan mereka terhadap esports dan korelasinya terhadap usia game-nya?

Lukman Risky Eldandi, Project Manager PT. Zepetto Interactive Indonesia, mewakili Zepetto menjadi narasumber perbincangan kali ini.

Ia pun mengawali ceritanya dengan menjelaskan kondisi pasar PB di 2019 dan awal tahun 2020. “Pada tahun 2019, Point Blank masih menempati posisi pertama untuk kategori online (First Person Shooter) FPS. Meskipun banyak serbuan game mobile, PB masih menjadi tujuan utama para user di warnet-warnet Indonesia. Setelah sebelumnya dipegang oleh Garena, tahun 2019 juga dianggap sebagai tahun kembalinya PB ke tangan Zepetto. Untuk awal tahun 2020 ini, kami masih menjadi online FPS nomor 1 di Indonesia dan terus berusaha untuk tetap mempertahankan gelar tersebut di tahun-tahun ke depan.”

Seperti yang saya tuliskan tadi sebelumnya, PB sendiri masih sangat aktif menggelar berbagai kompetisi baik tingkat lokal, nasional, ataupun internasional. Berikut ini adalah daftar turnamen Point Blank yang dikirimkan Zepetto ke kami:

PB Support Camp = Skala Warnet
PB Warnet War = Skala Nasional – U17
PB Junior League = Skala Nasional – U17
PB Ladies League = Skala Nasional – Ladies
PB Indonesia Qualifier = Skala Nasional – Men
PB National Championship = Skala Nasional – Men
PB Star League = Skala Pro Player – Men
PB SEA Tournament = Skala International – Men & Ladies
PB World Challenge = Skala International – Men & Ladies
PB International Championship = Skala International – Men & Ladies

Royal Raftel Sades saat bertanding di dalam turnamen Point Blank SEA 2020
Dokumentasi: Zepetto

Mengapa PB masih eksis sampai hari ini, meski sudah berusia 11 tahun? Lukman pun menjelaskan, “karena usia Point Blank yang sudah 11 tahun dan masih berjalan hingga saat ini, hal itu yang menjadikan game ini dikenal oleh semua kalangan. Point Blank juga selalu konsisten dan terus berkembang bersama dengan Troopers (sebutan buat para pemain PB); baik dengan selalu mengadakan berbagai macam turnamen kelas nasional dan internasional, hingga update-update yang kami hadirkan sesuai permintaan para Troopers.”

Ia sebenarnya juga mengakui bahwa serbuan game-game mobile memang berpengaruh terhadap pasar gamer PB namun ia berargumen bahwa perbedaan genre yang menjadikan PB masih diminati oleh pecinta game PC di Indonesia.

Lalu sebenarnya apa korelasi antara event esports dengan jumlah pemain di dalam game? Bagaimana pandangan Zepetto mengenai hal ini?

“Tentu saja pasti ada hubungan atau kolerasinya antara event esport dengan jumlah player di dalam game. Event-event tersebut merupakan barometer sebuah game FPS karena user akan terus memainkan game tersebut apabila masih memiliki nilai kompetitif atau terus melaksanakan turnamen online. Pasalnya, user yang bermain game tersebut akan memiliki jenjang ke atas sehingga mereka tidak hanya bermain untuk kesenangan dan mengisi waktu saja, tetapi ada kesempatan untuk menjadi atlet esport pada game tersebut. Jika game tersebut tidak memiliki skema kompetisi online/esport, kemungkinan besar para user akan cepat bosan dan merasa tidak ada tantangan dalam bermain game tersebut.” Terang Lukman.

RRQ TCN saat memenangkan PBWC 2019
RRQ TCN saat memenangkan PBWC 2019. Dokumentasi: Zepetto

Hal ini senada dengan yang diungkapkan Garena beberapa waktu lalu. Kala itu mereka juga mengatakan jika percaya bahwa esports dapat memperpanjang usia game dengan menciptakan interaksi antara produk dengan penggunanya.

Lalu apa saja rencana Zepetto untuk Point Blank di tahun 2020 ini?

Ia pun bercerita tentang strategi mereka tahun ini. “Untuk 2020 kami terus melakukan pembenahan dari tiap lini, seperti update ataupun pengembangan konten yang mengacu pada keinginan user dan mengikuti tren yang berkembang di tahun ini, serta menyelenggarakan turnamen online baik skala lokal, nasional, ataupun internasional.”

Mengingat cheat adalah salah satu penyakit kambuhan di ekosistem Point Blank, Zepetto juga masih menjadikan masalah tersebut sebagai salah satu fokus di 2020.

“Namun, poin penting dalam game ini adalah kami terus menangani isu penggunaan program ilegal, yang mengizinkan user dapat menggunakan cara-cara curang dalam memainkan Point Blank sehingga merugikan user lain dan melukai makna bermain sportif. Untuk mengatasi masalah ini, kami telah mengembangkan sistem pencegahan terhadap penggunaan program ilegal atau cheat yang dinamai Cheat Blocker dari CRYPTECT. Setelah sistem ini diterapkan ke dalam game, user yang melakukan pelanggaran akan langsung dikenai pembatasan akses game (banned). Sampai saat ini, sistem Cheat Blocker masih berjalan dengan baik di dalam game. Hal ini terbukti dari berbagai komentar user yang terus menerus diungkap di sosial media Official PB. Mereka merasakan pengalaman bermain yang lebih baik dan menyenangkan, karena tidak lagi menemui pengguna cheat saat bermain. Selain itu, kini kami juga telah menambahkan proses otentikasi melalui email yang didaftarkan saat pembuatan akun baru. Penambahan otentikasi kode ini menjadikan user yang ingin berbuat curang akan berpikir ulang jika ingin menggunakan program ilegal.” Terang Lukman mengakhiri perbincangan kami.

Mengingat PB memang game kompetitif, tentunya masalah cheat memang tak bisa dipandang sebelah mata. Namun setidaknya Zepetto menyadari masalah tersebut dan masih fokus dalam pencegahannya.

Bagaimana perjalanan Point Blank di tahun 2020 ini? Apakah mereka terus bisa bertahan di tengah gempuran game-game mobile? Belum lagi, di PC mereka juga harus berhadapan dengan game-game FPS yang tak kalah populer di pasar internasional, seperti Valorant yang sempat pecahkan rekor penonton di Twitch meski masih dalam tahap Beta, Rainbow Six: Siege, atau bahkan CS:GO sepertinya tak akan pernah mati

Sumber Feat Image: PB Indonesia

Apakah RRQ Juara MPL ID S5 Lebih Baik Bagi Ekosistem MLBB? Ini Jawaban Mongstar dan KB

Di tengah-tengah pandemi, Mobile Legends Professional League Season 5 (MPL ID S5) jadi harus menggelar babak Playoffs mereka tanpa tatap muka alias online. Meski saya dan para penggemar esports Indonesia harus merasakan kehampaan dengan absennya gempita langsung di venue yang biasanya ditawarkan oleh Grand Final MPL Indonesia, nampaknya hype MPL ID masih terus terjaga dan bahkan meningkat.

Menurut Esports Chartspeak viewers Grand Final MPL ID bahkan mencapai angka 1 juta penonton– rekor baru yang belum pernah dicapai sebelumnya. Hal ini juga terjadi berkat partai pamungkas antara rival abadi di skena esports Mobile Legends Bang Bang (MLBB), RRQ melawan EVOS Esports.

Menariknya, hasil pertandingan tersebut berbanding terbalik dari Grand Final musim sebelumnya karena RRQ yang berhasil jadi juara MPL ID S5. Di MPL ID S4, partai final juga menyajikan pertarungan antara RRQ dan EVOS. Namun kala itu, EVOS yang berhasil membawa pulang piala MLBB paling bergengsi di tingkat nasional

Selain hasil pertandingan yang berbeda tadi, buat yang mengikuti skena MLBB juga pasti menyadari ada perbedaan besar di formasi EVOS Esports antara S4 dan S5.

Antara Pemain Muda Melawan Pemain Senior

Hadiah kemenangan EVOS esports - MPL Indonesia Season 5
Formasi EVOS di MPL ID S4. Sumber: MPL Indonesia

Di S4, EVOS masih digawangi oleh 3 pemain senior jagoan yaitu Eko “Oura” Julianto, Yurino “Donkey” Putra, dan Gustian “REKT”. Ketiga pemain tersebut sudah malang melintang di dunia persilatan MLBB sejak MPL Indonesia Season 1. Ketiganya juga mengawal dua pemain baru Muhammad “Wann” Ridwan dan Ihsan “Luminaire” Besari Kusudana

Sebaliknya, di MPL Indonesia Season 5, hanya REKT pemain senior yang tersisa di roster EVOS. Di musim ini, EVOS bahkan menggunakan pemain yang benar-benar baru mencicipi MPL ID di partai terakhir mereka yaitu Raihan “Bajan” Delvino Ardy dan Fahmi “Rexxy” Adam Alamsyah.  Wann dan Luminaire mungkin bisa dibilang cukup senior karena sudah terdeteksi namanya di Season 3 meski memang baru bersinar di Season 4. Namun tentu pengalamannya masih kalah jauh dibanding Oura dan Donkey tadi ataupun dibanding Lemon dan LJ di kubu sebelah.

Di seberangnya, RRQ justru menggunakan pemain-pemain kawakan sampai akhir musim. Di musim ini, RRQ jadi juara bersama dengan banyak pemain senior di dalamnya. 

Muhammad “Lemon” Ikhsan dan Joshua “LJ” Darmansyah adalah pemain tangguh sejak Season 1. Keduanya juga resmi menjadi 2 pemain yang berhasil memboyong piala MPL ID 2x sepanjang sejarah. LJ sebelumnya jadi juara bersama TEAMnxl di Season 1 sedangkan Lemon juga berhasil menghantarkan timnya (RRQ) juara di Season 2.

Jika berbicara soal rekor pemain yang timnya berhasil jadi juara MPL lebih dari 1x, secara teknis, memang masih ada 2 nama lagi yaitu Afrindo “G” Valentino dan Diky “TUTURU”Sayangnya, Afrindo yang jadi juara di Season 1, tak pernah diturunkan bermain sekalipun di Season 4 meski terdaftar di roster EVOS. TUTURU yang jadi juara Season 2 bersama RRQ juga harus duduk di bangku cadangan selama babak Playoffs musim ini.

Mobile Legends Profesional League - Sumber: id-mpl.com
Sumber: MPL Indonesia

Selain LJ, TUTURU, dan Lemon tadi, pemain RRQ lainnya juga tidak kalah pengalamannya. Calvin “VYN” sudah masuk ke MPL ID sejak Season 2 — kala itu bersama BOOM Jr. Sedangkan Rivaldi “R7” Fatah juga punya pengalaman di esports yang tinggi meski baru masuk MPL di Season 4, mengingat dia sebelumnya telah malang melintang di kancah Dota 2 Indonesia. 

M Zulkarnain “Wizzking” Zulkifli yang di akhir musim duduk di bangku cadangan RRQ juga punya segudang pengalaman sejak Season 2 — sebelumnya ia menggunakan nama Dugong bersama Saints Indo. Hanya Yesaya Omega “Xin” Armando Wowiling yang paling junior karena namanya baru muncul di Season 3 MPL ID — bersama Star8.

Oh iya, kudos buat Mochammad “KB” Ryan Batistuta yang menyebut dirinya ’emelpedia’ yang telah menyuguhkan informasi tentang waktu kemunculan beberapa pemain yang saya sebutkan di atas tadi. Semoga jangan jomlo lama-lama ya Be… Wkwawkakwa…

Maka dari itu, pertandingan final antara EVOS melawan RRQ kali ini bisa dibilang pertempuran antara ‘darah muda’ dan pemain kawakan. 

Banyak yang mengatakan bahwa kemenangan RRQ di babak final adalah soal drafting alias strategi di game kelima namun, bagi saya pribadi, ada alasan yang lebih mendasar di balik itu. Pengalaman dan jam terbang pertandingan yang jadi faktor penentu antara para pemain RRQ dan EVOS di musim ini.

Selain mengingat kemampuan membaca strategi dan drafting juga berbanding lurus dengan pengalaman dan jam terbang, pemain baru juga cenderung melakukan kesalahan-kesalahan kecil yang mungkin tidak disadari. Misalnya saja seperti face-checking bush, tidak membuka area di sekitar objective, ataupun terlalu asik berkeliaran sendirian masih beberapa kali saya lihat dari 2 pemain baru EVOS, Bajan dan Rexxy. Ditambah lagi, final MPL ID itu biasanya Bo5. Jadi kesalahan drafting di satu game saya rasa terlalu dangkal buat jadi penyebab kekalahan dari 5 game — toh formasi EVOS di Season 4 bisa mengalahkan RRQ dengan skor yang lebih telak, 3-1

Formasi tim EVOS kali ini sebenarnya memang bisa dibilang sangar karena terbukti bisa sampai ke babak final dan menyulitkan lawan-lawannya. Namun tetap saja RRQ bukan tim yang bisa dikalahkan dengan mudah dan faktor pengalaman tadi yang jadi pembeda terbesar dengan EVOS.

Clara “Mongstar” juga setuju dengan saya soal ini. “Pengalaman memang yang paling berpengaruh (soal RRQ yang jadi juara MPL ID S5). Karena pengalaman itulah yang membangun mental dan kekompakan. Pengalaman mereka juga yang membuat para pemain RRQ sudah terbiasa menghadapi berbagai situasi dan kondisi pertandingan.”

Mongstar juga menambahkan, “selain memang punya kemampuan pemain yang di atas rata-rata, RRQ juga berani menggunakan strategi-strategi dari luar Mobile Legends. Apalagi ada R7 yang punya pengalaman yang luar biasa banyak di Dota 2. RRQ adalah tim yang paling berani mencoba sesuatu yang baru di musim ini dan itulah yang membuat mereka juara.”

Apa Dampaknya dengan Juaranya RRQ di MPL Indonesia Season 5 ke Ekosistem?

Mobile Legends Profesional League Season 5
MPL ID S4. Sumber: Dokumentasi Hybrid – Akbar Priono

Apakah kemenangan RRQ di MPL ID S5 kali ini memang lebih positif dampaknya bagi ekosistem esports Mobile Legends Bang Bang (MLBB)? Kenapa saya bisa bertanya demikian?

Pasalnya, jika kita lihat, ada sejumlah pemain-pemain bintang di musim-musim sebelumnya yang sudah menghilang di skena esports MLBB. Hansen “Spade” Meyerson yang dulu bahkan pernah disejajarkan dengan TUTURU dan REKT sebagai Marksman paling gemilang sudah tidak kelihatan lagi. Edward “Eiduart” Tjahyadikarta yang bisa dibilang sebagai salah satu team leader yang paling disegani juga sudah tidak ada di MPL — meski ia membuat tim esports-nya sendiri, Siren Esports. Thong “Fabiens” Valentin Andara yang tak kalah senior dan mengerikan di musim-musim awal MPL ID juga sudah absen beberapa musim terakhir.

Belum lagi, jika kita melihat juara MPL ID S1, hanya LJ yang masih bersinar terang di musim ini. Supriadi “Watt” Dwi Putra memang masih diperhitungkan namanya di musim ini meski ia sempat diturunkan ke MDL (yang bisa dibilang kasta kedua) di awal musim. Fadhil “Rave” Abdurrahman dan Agung “Billy” Tribowo memang masih di RRQ namun mereka bermain untuk tim kasta keduanya, RRQ Sena, di MDL. Afrindo Valentino yang dulu jadi team leader NXL saat juara Season 1, seperti yang saya sebutkan tadi, bahkan tidak diturunkan bermain sekalipun saat masih terdaftar di roster EVOS MPL ID Season 4.

Spade saat jadi MVP di MPL ID Season 1. Sumber: MLBB via Facebook
Spade saat jadi MVP di MPL ID Season 1. Sumber: MLBB via Facebook

Dengan banyaknya para pemain bintang senior yang menghilang di tingkat kompetitif tertinggi MLBB meski baru berada di puncak kejayaannya sekitar 1-2 tahun yang lalu, apakah perjalanan karier menjadi pemain profesional esports MLBB memang tidak cocok untuk jangka panjang? Jika para pemain baru bisa dengan mudah menggantikan pemain lama yang sudah punya lebih banyak pengalaman, bukankah berarti karier tersebut tidak cocok untuk ditekuni dalam waktu lama?

Salah satu contoh yang paling mudah dan relevan dengan kondisi saat ini adalah karier sebagai YouTuber. Tidak ada jaminan bagi mereka-mereka yang punya pengalaman segudang agar tidak bisa dikalahkan popularitasnya dengan yang masih seumur jagung. Namun demikian, itu YouTube yang memang menitikberatkan pada popularitas semata — yang nyatanya tak selalu berbanding lurus dengan kapasitas dan kualitas. Harusnya, karier sebagai pro player tak sedangkal pada penilaian popularitas semata. Sedangkan kapasitas dan kualitas itu memang butuh pengalaman dan jam terbang yang tidak sebentar.

Maka dari itu, argumen tadi pun muncul di kepala saya. Untungnya, EVOS yang mengandalkan 3 pemain senior jagoan di Season kemarin jadi juara. Demikian juga RRQ, yang di Season 5 ini, pemainnya punya lebih banyak pengalaman bisa jadi juara. Setidaknya, pengalaman dan jam terbang di tingkat kompetitif masih punya nilai lebih buat para pemainnya — selama mereka bisa mengolahnya dengan baik (mengikuti perkembangan gameplay ataupun terus mengasah kemampuan misalnya).

Para shoutcaster MPL ID S1. Sumber: RevivalTV
Para shoutcaster MPL ID S1 — ketika KB belum jomlo. Sumber: RevivalTV

“Masuk akal sih (argumen saya tentang dampak RRQ juara tadi),” ujar KB saat saya tanyai pendapatnya. “Apalagi gua juga ngerasain. Udah bukan caster lagi, kan saya analyst sekarang. Wkwkwk…” Tambah KB seraya berseloroh. “Tapi, menurut saya pribadi, kalau sampai RRQ kalah justru jadi dipertanyakan kenapa mereka tidak bisa mengolah pengalaman tadi. Karena jadi kalah dengan pemain baru yang lebih siap menang.”

Di satu sisi, meski pemain senior memang harusnya punya pengalaman yang bisa dimanfaatkan dengan baik, pemain baru juga sebenarnya punya nilai lebih (selain tuntutan kemampuan bermain tentunya). Pemain yang lebih baru mungkin punya cara pandang yang lebih segar dan ambisi yang lebih besar. Bayangkan saja seperti ini, andaikan Lemon dan LJ tidak juara lagi kali ini, mereka tetap akan diperhitungkan oleh lawan-lawannya dan dikagumi oleh para penggemarnya. Namun para pemain baru yang belum pernah memegang piala MPL sekalipun, seperti Bajan, Rexxy, ataupun para pemain Bigetron (yang sempat begitu gemilang di Regular Season S5) harusnya punya keinginan yang lebih kuat buat jadi juara untuk pertama kalinya.

Namun demikian, pemain baru juga bisa jadi terlalu cepat puas. Setidaknya itulah jawaban KB saat saya tanyakan perihal merosotnya performa Bigetron dari Regular Season ke Playoffs.

“Di sisi lain, andaikan yang juara kali ini adalah para pemain baru, mungkin akan bagus juga buat menyemangati para pemain baru lainnya untuk terjun ke tingkat kompetitif yang lebih serius. Kalau sekarang, kondisinya seperti ini, bisa jadi ujian mental sih bagi para pemain muda. Mereka yang punya mental bagus, justru bisa merasa lebih semangat untuk mengalahkan para pemain senior.” Tutup KB mengakhiri perbincangan kami lewat pesan Whatsapp.

Mongstar saat MPL ID S4. Dokumentasi: MPL Indonesia
Mongstar saat MPL ID S4. Dokumentasi: MPL Indonesia

Lalu bagaimana dengan pendapat Mongstar? Ia juga menuturkan pendapat yang tidak jauh berbeda dengan KB tadi. Menurutnya, siapapun yang menang kali ini tetap positif bagi ekosistem esports MLBB. “Jika pemain lama yang juara seperti RRQ kali ini, berarti memang pengalaman menjadi nilai lebih selama bisa diolah. Jika pemain baru yang juara, mungkin akan memacu semangat para pemain baru lainnya bahwa mereka punya kesempatan yang sama.” Ujar Mongstar yang telah malang melintang di ekosistem esports sejak era kebangkitan esports Dota 2 di Indonesia beberapa tahun silam.

Sebagai penutup, Mongstar juga menambahkan bahwa ajang kompetitif yang kurang positif untuk ekosistem adalah yang pemenang kompetisinya itu-itu saja. “Selama pemenangnya masih silih berganti seperti MPL ini, menurut saya sih masih positif kok.”

Penutup

Ekosistem esports MLBB memang masih sangat dinamis. Meski RRQ yang jadi juara kali ini, formasi pemainnya berbeda jauh dengan saat mereka memenangkan piala MPL ID S2.

Meski demikian, tentu menarik mengikuti pasar bursa transfer MPL ID berikutnya dan pertempurannya di panggung kompetitif. 2 musim terakhir, tim-tim yang berhasil juara Mobile Legends Professional League (MPL) adalah mereka yang punya setidaknya 3 pemain senior yang bisa diandalkan. Apakah hal ini akan terlihat kembali di MPL ID S6? Apakah justru para pemain baru yang akan mengangkat piala berikutnya? Kita tunggu saja…

Sumber Header: Dokumentasi MPL Indonesia