20 Kampus dan Sekolah di Indonesia dengan Program Pendidikan Game

Industri game menyimpan banyak potensi sebagai lahan mata pencaharian. Akan tetapi untuk bisa sukses di industri ini, salah satu syaratnya tentulah kita harus dapat menciptakan produk bagus yang punya daya saing global. Developer-developer Indonesia pun belakangan sudah mulai membuktikan bahwa mereka mampu membuat karya visioner yang tak kalah dari dari developer luar negeri, dan banyak pihak optimis bahwa industri game lokal kita masih akan berkembang pesat.

Bila Anda berminat untuk masuk ke industri game, sebetulnya mengenyam pendidikan di bidang game secara khusus bukanlah sebuah kewajiban. Game adalah produk yang terdiri dari berbagai aspek, mulai pemrograman, penulisan, seni musik, seni visual, dan sebagainya. Asalkan Anda mempelajari ilmu di aspek-aspek tersebut, Anda bisa menjadi developer game dengan latar belakang pendidikan yang sudah umum.

Akan tetapi mengenyam pendidikan khusus game juga memberi berbagai keuntungan, misalnya pembelajaran tentang game design yang tidak kita dapatkan di jurusan lain. Sudah cukup banyak sekolah atau kampus di Indonesia yang menawarkan pendidikan di bidang game. Berikut ini beberapa di antaranya.

SMK Raden Umar Said (RUS) Kudus

Jenjang: SMK

Program Studi: Desain Komunikasi Visual; Animasi 3D; Rekayasa Perangkat Lunak

Sekolah kejuruan yang berlokasi di Kudus, Jawa Tengah, ini cukup sensasional karena memiliki fasilitas berstandar internasional untuk pengembangan dan pendidikan multimedia. Dengan lima kompetensi keahlian yang ditawarkan, SMK RUS Kudus bisa jadi pilihan utama bagi pelajar yang serius ingin masuk ke industri game ataupun industri media kreatif lainnya.

Universitas Negeri Malang (UM)

Jenjang: D3

Program Studi: Game Animasi

Dulunya dikenal dengan nama IKIP Malang, kampus yang berfokus pada pendidikan ini juga memiliki berbagai program studi cabang nonpendidikan. Salah satunya jurusan Game Animasi yang berdiri sejak tahun 2008. Kurikulumnya menawarkan pembelajaran yang mengarah ke visuaisasi animasi dan game 3-dimensi berbasis kearifan lokal.

Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta

Jenjang: D3

Program Studi: Animasi

Program studi Animasi di ISI Yogyakarta merupakan perwujudan pendidikan seni yang multidisipliner. Keahlian yang ditawarkan tidak hanya soal menggambar, tapi juga meliputi storyboarding, penulisan skenario, penciptaan model 3D, pemrograman game, dan kebutuhan-kebutuhan lain. Sesuai dengan kondisi industri saat ini di mana seni tidak bisa lepas dari teknologi.

Politeknik Elektronika Negeri Surabaya (PENS)

Jenjang: D4

Program Studi: Teknologi Game

Pendidikan Teknologi Game di PENS tidak hanya fokus pada hal-hal teknis, tapi juga persiapan untuk menjadi sumber daya manusia yang dapat mengembangkan industri game lebih jauh lagi. Contohnya kewirausahaan, kepemimpinan, serta komunikasi. Mata kuliah sisi teknisnya sendiri cukup beragam, meliputi desain game 2D, 3D, serta multiplayer online, sejarah game, hingga desain suara dan musik.

PENS
Sumber: PENS

Sekolah Tinggi Multi Media (STMM) “MMTC” Yogyakarta

Jenjang: D4

Program Studi: Desain Teknologi Permainan

Melalui program studi Desain Teknologi Permainan, STMM “MMTC” Yogyakarta ingin menghasilkan lulusan dengan kemampuan manajerial profesional untuk tujuan pendidikan, bisnis, ataupun sosial. Kampus ini ingin mendidik sumber daya manusia yang mampu memanfaatkan perangkat multimedia, serta melakukan kerja sama berbasis riset. Salah satu mata kuliah menarik yang ditawarkan adalah Penyutradaraan Game (Game Directing).

Politeknik Negeri Media Kreatif (Polimedia)

Jenjang: D4

Program Studi: Game Technology; Animasi

Sama seperti penyedia program studi Game Technology lainnya, Polimedia ingin menghasilkan lulusan yang memiliki keahlian teknis dan kewirausahaan di industri game yang mampu menghadirkan muatan-muatan lokal. Terdapat juga jurusan Animasi yang mengajarkan animasi 2D maupun 3D. Polimedia memiliki kerja sama dengan berbagai pemain industri, salah satunya studio game Creacle yang berbasis di Yogyakarta.

SAE Institute Indonesia

Jenjang: D4

Program Studi: Visual Effects & Animation

SAE Institute dulunya adalah kampus pendidikan musik (School of Audio Engineering) yang didirikan oleh sound engineer Tom Misner pada tahun 1976 di Australia. Kali ini SAE Institute telah tersabar di berbagai penjuru dunia, salah satunya Indonesia di Jakarta. SAE Institute Indonesia menawarkan berbagai macam pendidikan media kreatif, termasuk salah satunya studi Visual Effects & Animation untuk keperluan industri game.

SAE Institute Indonesia
Sumber: SAE Institute Indonesia

Universitas Surabaya (UBAYA)

Jenjang: S1

Program Studi: IF – P. K. Multimedia

Anda yang mengincar gelar Sarjana Komputer (S.Kom.) namun punya jiwa seni yang kuat dapat memilih pendidikan di UBAYA, program studi Informatika Program Multimedia (IF – P. K. Multimedia). Program ini cukup unik karena mengajarkan mata kuliah seni dan teknik sekaligus di satu jurusan. Anda dibentuk menjadi ahli multimedia holistik, yang mampu menguasai berbagai hal dari keamanan jaringan hingga digital audio.

Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta

Jenjang: S1

Program Studi: Teknik Informatika – Konsentrasi Gim, Grafika, dan Multimedia

Jurusan Teknik Informatika di UII Yogyakarta memiliki berbagai cabang konsentrasi, salah satunya yaitu Gim, Grafika, dan Multimedia. Mata kuliah yang ditawarkan dalam konsentrasi ini mencakup Pengembangan Aset Gim, Gim Serius, serta Multimedia untuk Pembelajaran. Jurusan ini cocok untuk Anda yang ingin menguasai Teknik Informatika secara umum, namun juga punya minat pada game.

ESQ Business School (EBS)

Jenjang: S1

Program Studi: Ilmu Komputer – Peminatan Game Technology & Animation

Meski namanya Business School, EBS sebenarnya juga menawarkan jurusan-jurusan di luar bidang bisnis. Contohnya Ilmu Komputer dengan peminatan Game Technology & Animation. Sesuai dengan visi kampusnya, program ini ingin Anda menjadi seorang creative technopreneur. Tak hanya seorang profesional di bidangnya, tapi juga mampu memimpin perubahan dengan keahlian wirausaha.

KALBIS Institute

Jenjang: S1

Program Studi: Game Computing and Technology

Dahulu bernama Institut Teknologi dan Bisnis KALBE (ITBK), KALBIS Institute kini telah berkembang dengan lebih banyak jurusan serta mampu menampung lebih dari 8.000 mahasiswa. Kampus ini juga bekerja sama dengan organisasi Bina Nusantara (BINUS) untuk manajemennya. KALBIS Institute memiliki jurusan Game Computing and Technology sendiri yang terpisah dari jurusan Teknik Informatika. Fakultas yang membawahinya pun bernama Fakultas Industri Kreatif, menunjukkan bahwa kampus ini sangat up-to-date terhadap perkembangan zaman.

KALBIS Institute
Sumber: KALBIS Institute

Universitas Ciputra (UC) Surabaya

Jenjang: S1

Program Studi: Information & Multimedia Technology (IMT) – Konsentrasi Game Development

Sebagai prodi yang dirancang agar selalu mengikuti perkembangan teknologi, prodi Informatika (IMT) di UC Surabaya menawarkan tiga konsentrasi peminatan untuk para mahasiswanya: Game Development, Artificial Intelligence, dan Internet of Things. Keistimewaan UC Surabaya adalah adanya kerja sama dengan Apple Developer Academy Program untuk pendidikan mobile apps development tingkat dunia.

Universitas Multimedia Nusantara (UMN)

Jenjang: S1

Program Studi: Desain Komunikasi Visual – Peminatan Interaction Design

Jurusan Desain Komunikasi Visual di UMN membekali mahasiswanya dengan keterampilan analisis, perancangan, serta penerapan desain estetika dengan memanfaatkan teknologi. Salah satu peminatannya, yaitu Interaction Design, memberikan bekal mata kuliah yang berhubungan dengan interaksi seperti Visual Storytelling, Game Design, Sound Design Interaction, dan sebagainya.

BINUS University

Jenjang: S1

Program Studi: Game Application and Technology

Kampus dengan jurusan game yang sangat terkenal, BINUS University mendirikan program studi ini pada bulan September 2012. Game Application and Technology (GAT) dengan cepat menjadi salah satu program terbaik di bawah departemen School of Computer Science. BINUS University baru-baru ini juga meraih peringkat 7 universitas terbaik Indonesia versi QS World University Rankings.

Institut Informatika Indonesia (IKADO)

Jenjang: S1 Dual Degree

Program Studi: Informatika + Game Technology

Kampus yang satu ini menawarkan program studi yang sangat menarik. Secara berdiri sendiri, sebetulnya tidak ada program studi game di IKADO, akan tetapi bila Anda memilik jurusan Informatika, Anda berkesempatan mengambil program Dual Degree prodi Game Technology di Dongseo University, Korea Selatan. Sebanyak 79 SKS kuliah (4 semester) akan Anda tempuh di IKADO, sementara 66 SKS (4 semester) sisanya Anda ambil di Dongseo University. Setelah lulus, Anda akan memperoleh gelar Sarjana Komputer (S.Kom.) dan Bachelor of Engineering (B.Eng.) sekaligus.

IKADO Dual Degree
Sumber: IKADO

Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS)

Jenjang: S2

Program Studi: Teknik Elektro – Pemintan Jaringan Cerdas Multimedia

Baru segelintir universitas di Indonesia yang menawarkan pendidikan pascasarcana di bidang game, salah satunya ITS di Surabaya. Dengan mengambil program studi Magister Teknik Elektro, Anda dapat memilih satu dari enam bidang minat yaitu Jaringan Cerdas Multimedia. Dalam bidang ini dikembangkan spesialisasi Jaringan Cerdas Multimedia dan Game Technology.

Institut Teknologi Bandung (ITB)

Jenjang: S2

Program Studi: Teknik Elektro – Opsi Media Digital & Teknologi Game

Satu lagi kampus yang program Magister di bidang game adalah ITB. Sama seperti ITS, prodi ini juga merupakan opsi yang berada di bawah program studi Teknik Elektro. Prodi ini terbuka bagi lulusan S1 teknik dan sains yang memiliki kemampuan memadai di bidang matematika dan pemrograman. Lulusan D4 atau lulusan S1 selain Teknik Elektro/Informatika juga diperkenankan mendaftar, akan tetapi wajib menjalani kuliah bridging terlebih dahulu sebanyak 10 SKS.

SMA/SMP 1 PSKD

Jenjang: Pembinaan

Nama SMA 1 PSKD pasti sudah tak asing lagi di kalangan pencinta esports. Sekolah ini memang merupakan satu dari sangat sedikit lembaga pendidikan Indonesia yang sudah memfasilitasi pendidikan esports. Saat ini program pembinaan esports baru tersedia di SMA 1 dan SMP 1 PSKD, namun direncanakan untuk juga tersedia di SMA 4 dan SMP 4 PSKD nantinya.

Universitas Dian Nuswantoro (UDINUS) Semarang

Jenjang: Pembinaan

UDINUS melalui kerja sama dengan Indonesia e-Sports Association (IeSPA) telah membuka program pembinaan esports setara UKM untuk para mahasiswa yang berminat. Dengan program ini, UDINUS telah menjadi universitas pertama di Indonesia yang berperan dalam mempromosikan dunia game kompetitif. Program ini juga didukung oleh platform live streaming NimoTV.

Sumber Gambar: Pexels

Advokasi Sistem Esports Terbuka yang Ditunjukkan oleh ESL Jagoan Series – Free Fire

29 Juli 2019 kemarin menjadi akhir dari perjalanan panjang kualifikasi ESL Jagoan Series – Free Fire menuju babak Grand Final. Dari kompetisi ini, ESL seolah menegaskan posisi mereka dengan lantang dalam advokasi sistem esports yang terbuka.

Namun demikian, sebelum kita masuk ke sana, mari kita lihat detail dari ESL Jagoan Series – Free Fire. Berikut adalah proses kualifikasi ESL Jagoan Series yang dimulai dari pertengahan bulan Juni 2019:

  1. Bandung
    1. 17-18 Juni 2019 (Babak Kualifikasi Bandung)
    2. 19-20 Juni 2019 (Babak Playoff Bandung)
    3. 29 Juni 2019 (Final Kualifikasi Bandung)
  2. Yogyakarta
    1. 1-2 Juli 2019 (Babak Kualifikasi Yogyakarta)
    2. 3-4 Juli 2019 (Babak Playoff Yogyakarta)
    3. 13 Juli 2019 (Final Kualifikasi Yogyakarta)
  3. Jakarta
    1. 22-24 Juli 2019 (Babak Kualifikasi Jakarta)
    2. 25-26 Juli 2019 (Babak Playoff Jakarta)
    3. 28 Juli 2019 (Final Kualifikasi Jakarta)
  4. Kualifikasi Tim Profesional
    1. 29 Juli 2019 (Kualifikasi Tertutup untuk 12 Tim Profesional, peserta Garena Summer League)

Dari 4 fase kualifikasi di atas, 3 tim peringkat tertinggi di masing-masing jalur mendapatkan kursi untuk bertanding kembali di babak Grand Final yang akan digelar tanggal 10 Agustus 2019, di Mall of Indonesia, Jakarta. Karena itulah, ada 12 tim yang siap bertanding untuk memperebutkan total hadiah sebesar US$20 ribu (atau setara dengan Rp280 juta).

Sumber: ESL Indonesia
Sumber: ESL Indonesia

Istimewanya, selain memperebutkan uang hadiah, sang juara Jagoan Series kali ini akan mendapatkan tiket untuk kembali bertarung di Free Fire Indonesia Master 2019 Grand Final.

Berikut ini adalah daftar 12 peserta yang lolos dari 4 fase kualifikasi tadi:

  1. Star8
  2. SFI Zet Alpha
  3. Bigetron
  4. Swift Frontline
  5. Louvre Indopride
  6. RRQ Fudo
  7. Comeback Esports
  8. Jakarta Army Done
  9. Dragon Navi
  10. Dranix Esports
  11. SES Alfalink
  12. Alter Ego Devil

Ada 2 hal menarik dari proses kualifikasi yang memakan waktu hampir dua bulan tadi. Pertama, kualifikasi di kota Yogyakarta dan Bandung digelar secara tatap muka namun para pesertanya bahkan ada yang datang dari Makassar dan kota-kota lainnya dengan biaya mereka masing-masing.

Kedua, selain 4700 tim peserta yang meramaikan turnamen ini, Jagoan Series juga akan mempertemukan tim-tim amatir melawan tim-tim pro peserta Garena Summer League; lewat fase kualifikasi terakhirnya. Buat yang belum tahu, Garena Summer League adalah liga profesional resmi dari Garena (sebagai publisher Free Fire) yang berisikan tim-tim profesional.

Yang tak kalah penting juga untuk disebutkan, ESL Jagoan Series – Free Fire kali ini dipersembahkan oleh Indofood, Chitato, Good To Go, dan Popmie sebagai Premium Sponsor. Selain itu, ada juga dukungan sponsor dari CBN, Logitech, Matrix, Indomaret, NimoTV, dan Mall of Indonesia yang turut mendukung suksesnya kompetisi ini.

Advokasi Sistem Esports Terbuka

Sumber: ESL Indonesia
Sumber: ESL Indonesia

Buat yang setia membaca Hybrid, Anda mungkin pernah membaca penjelasan panjang kami soal dua sistem esports yang digunakan di dunia saat ini: terbuka dan tertutup.

Untuk penjelasan lebih detail, silakan kunjungi tautan yang saya berikan di paragraf sebelumnya. Namun singkatnya, sistem esports tertutup biasanya berbentuk franchising. Sistem ini disebut tertutup karena memang diperuntukkan bagi tim/organisasi esports yang berani dan mampu investasi terlebih dahulu ke sistem tersebut.

Di Indonesia, sistem ini baru akan dicoba lewat MPL Indonesia Season 4. Namun di luar, sistem ini sudah banyak digunakan di banyak game, misalnya di ekosistem esports League of Legends dan Overwatch. Sistem kompetisi olahraga di Amerika Serikat juga biasanya menggunakan sistem franchising.

Sebaliknya, sistem esports terbuka mengijinkan tim-tim amatir untuk bisa merasakan mewahnya panggung esports selama mereka memang punya ketangkasan dan kecerdikan bertanding. Sistem esports terbuka bisa dilihat dari ekosistem esports Dota 2. Liga sepak bola di Eropa juga, setahu saya, menggunakan sistem terbuka.

Dalam rilis tentang Jagoan Series kali ini, Stefano Adrian, Project Manager Jagoan Series ESL Indonesia memberikan komentarnya, “Dengan Jagoan Series, ESL ingin ikut serta mengembangkan kualitas ekosistem esports di indonesia dan memberikan kesempatan bagi semua orang.

Harapan yang selalu ada di ESL adalah keterbukaan esports untuk semua; tidak hanya tim dan pemain pro yang sudah berpengalaman saja yang bisa menikmati kompetisi dan mendominasi esports dengan hadiah besar di indonesia. Oleh karena itu, Jagoan Series diselenggarakan untuk merangkul komunitas-komunitas kecil dari seluruh penjuru Indonesia dan memberikan mereka pengalaman berkompetisi dengan standar internasional; serta menyuguhkan ruang tanding dan unjuk kemampuan melawan para tim profesional.

Mimpi kami di ESL yang ingin menyediakan perjalanan from zero to hero juga tercapai lewat Jagoan Series kali ini karena ada tim-tim ‘Jagoan’ komunitas yang melaju ke Grand Final dan juga diakuisisi organisasi-organisasi esports besar di Indonesia.”

Seperti yang saya tuliskan tadi, Jagoan Series ini memang mencoba mempertemukan tim-tim amatir dan profesional lewat kualifikasi tertutup untuk tim-tim Garena Summer League dan juga tiket emas ke Free Fire Indonesia Master 2019 Grand Final untuk sang jawara.

Konsep perjalanan from zero to hero juga pernah disampaikan oleh Nick Vanzetti, SVP, Managing Director – ESL Asia Pacific Japan, saat perbincangan saya dengannya; yang bisa Anda lihat videonya di atas.

Di sebuah artikel di PolygonKevin Rosenblatt, ESL Vice President of Product and Content bahkan menegaskan demikian, “Here at ESL, we’re a big proponent of open ecosystems. We’ve built our business on the philosophy of open ecosystems and that’s what we evangelize.

Hal ini menarik dan penting disadari karena ada banyak hal yang bisa kita gali dan pelajari dari ESL, yang memang sudah sejak tahun 2000 membangun ekosistem esports dunia; bahwa ESL Indonesia mencoba menyematkan idealisme mereka lewat ESL Jagoan Series kali ini.

Plus, mengingat ESL Indonesia merupakan kolaborasi bersama Salim Group (dengan Indofood dan saudara-saudaranya), apakah sistem esports yang terbuka untuk semua juga yang coba mereka angkat dari sepak terjang grup konglomerasi ini di ekosistem esports Indonesia?

Sumber: ESL Indonesia
Sumber: ESL Indonesia

Akhirnya, bagi saya pribadi, saya kira Indonesia butuh keduanya (terbuka dan tertutup) untuk mendewasakan ekosistem esports kita yang saat ini mungkin masih sedang lucu-lucunya. Dan, perbedaan antara keduanya juga bisa dilihat bukan sebagai sebuah perdebatan namun sebuah kekayaan keberagaman.

Disclosure: Hybrid adalah perwakilan Media Relations untuk ESL Indonesia Championship Season 2

Sekilas Pandang Sisi Bisnis dari Aura Esports

Seiring dengan booming industri esports, tak heran jika ada banyak orang yang ingin turut terjun ke dalamnya. Membuat organisasi esports menjadi salah satu pilihan bisnis yang bisa dilakukan. Kalau dibandingkan dengan olahraga tradisional, memiliki organisasi esports ini mirip seperti memiliki sebuah klub sepakbola.

Setelah cerita sukses RRQ dan EVOS di Indonesia, ditambah dengan Mobile Legends, PUBG Mobile, dan Free Fire yang membuat gaming jadi mainstream, membuat banyak pihak jadi semakin tertarik bersaing menjadi organisasi esports terbesar di Indonesia. Salah satu dari mereka adalah, Aura Esports.

Sumber: Dokumentasi Hybrid - Yabes Elia
Sumber: Dokumentasi Hybrid – Yabes Elia

Selasa kemarin (30 Juli 2019), Aura Esports baru saja mengadakan gelaran jumpa fans di Starium CGV Grand Indonesia, dengan divisi Free Fire. Ini adalah gelaran meet and greet pertama Aura Esports, namun ternyata gelaran ini sudah cukup ditunggu-tunggu, dan dihadiri oleh ratusan penggemar yang tak sabar bertemu sang idola.

Namun, disela-sela riuh rendah para penggemar yang bertemu sang idola, acara ini juga dihadiri oleh Daniel, co-founder serta Chief Marketing Officer Aura Esports, serta Christopher Djajaco-founder yang saat ini menjabat sebagai Chief Executive Officer (CEO).

Dalam sebuah sesi wawancara, tim redaksi Hybrid bicara banyak hal dengan Christopher, salah satunya adalah soal latar belakang bisnis sang co-founder. Kalau Anda membaca wawancara kami dengan CEO RRQ, Andrian Pauline, Anda tentu sudah tahu, bahwa tim RRQ merupakan bagian dari bisnis MidPlaza Holding.

Sumber: Aura Esports Official Media - Edit Akbar Priono
Sumber: Aura Esports Official Media – Edit Akbar Priono

Lalu bagaimana dengan Aura Esports? Christopher Djaja, sebelum terjun ke esports, memang sempat punya beberapa pengalaman bisnis. “Saya memang punya startup background. Pernah mencoba bisnis di bidang F&B, advokasi, dan lain sebagainya. Jadi, hasil dan pengalaman bisnis sebelumnya yang sudah terkumpul kami gunakan untuk membangun Aura Esports.” ujar Christopher.

Lebih lanjut membahas latar belakang, Christopher juga secara singkat menjelaskan soal latar belakang keluarganya yang juga menyokong bisnis Aura Esports. “Kami sendiri juga mendapat dukungan dari bisnis keluarga, yaitu Wicaksana Group, yang adalah pelaku bisnis di bidang distribusi dan PT. Jakarana Tama, merupakan bisnis terbesar ketiga dalam bidang mi instan serta makanan kalengan.” Ucap Christopher menjelaskan.

Sumber: Christopher Djaja Linked In
Christopher Djaja (Kanan) CEO Aura Esports, yang juga sempat menjadi startup founder dan punya ragam pengalaman bisnis. Sumber: Christopher Djaja Linked In

Wicaksana Group atau PT. Wicaksana Overseas International Tbk. merupakan sebuah perusahaan yang bergerak di bidang distribusi dan logistik. Dalam hal perdagangan, unit usaha yang jadi fokus dari perusahaan ini adalah makanan ringan, minuman, susu bubuk, mie instan, kosmetik, obat-obatan, sepatu, minyak goreng, dan lain sebagainya.

Sementara itu PT. Jakarana Tama atau dikenal dengan jenama Gaga Foods merupakan salah satu perusahaan yang bergerak di bidang produksi makanan instan. Produk-produk unggulan dari Gaga Foods termasuk mie instan yang mungkin selama ini juga sudah Anda kenal, berbagai makanan instan, serta makanan kalengan seperti ikan sarden.

Hal ini tentu menambah peta persaingan organisasi esports di Indonesia. Apalagi dengan penambahan sponsor, Kacang Garuda, dan rekanan baru, CGV, Aura Esports akan jadi penantang berat di dalam persaingan bisnis organisasi esports di Indonesia.

Akhirnya, jika melihat kawasan-kawasan lain yang tumbuh subur ekosistem esports-nya, mereka memiliki teladan alias studi kasus dari industri yang lebih dulu dewasa untuk digunakan formulanya. Misalnya, Amerika Serikat yang jadi kiblat industri hiburan dunia bisa mengimplementasikan rumusnya ke industri esports di sana. Eropa juga punya ekosistem sepak bola yang matang yang bisa dicontoh oleh para pelaku esports. Sedangkan Tiongkok dan Korea Selatan memiliki industri game yang sudah mendunia dan berkaitan erat dengan industri esports itu sendiri.

Di Indonesia, sayangnya, kita tidak bisa menjadikan industri-industri tadi sebagai teladan karena perkembangannya yang lamban. Untungnya, kami di Hybrid percaya bahwa industri esports Indonesia bisa meneladani industri startup kita yang punya banyak cerita sukses dalam waktu singkat. Sedangkan salah satu ciri khas dari industri startup kita yang memang layak diteladani adalah soal keterbukaan sumber investasi, seperti yang dilakukan oleh Aura Esports kali ini.

5 Alasan Kenapa Firma Hukum Sudah Mulai Dibutuhkan di Esports Indonesia

Industri esports Indonesia mungkin memang masih imut-imutnya. Namun demikian, pertaruhan di industri ini sudah tidak lagi dapat dipandang sebelah mata. Pertama, Moonton dengan Mobile Legends: Bang Bang (MLBB) nya sudah mulai mengenalkan sistem liga berbayar (franchising) senilai Rp15 miliar. Mengingat MLBB masih menjadi esports mainstream di ekosistem kita, pertaruhan yang lebih tinggi ini tentunya juga akan berpengaruh buat banyak pihak.

Kedua, dengan kondisi industri esports Indonesia sekarang pun, modal yang dikeluarkan untuk membangun entitas baru ataupun mempertahankan eksistensi juga sudah tidak bisa dibilang kecil.

Dengan demikian, keseriusan dan kehati-hatian jadi lebih dibutuhkan untuk bisa terus bertahan. Kepastian hukum di esports pun menjadi sebuah kebutuhan baru yang tak bisa dipandang remeh. Jadi, tanpa basa-basi lagi, berikut ini adalah 5 alasan kenapa firma hukum di esports Indonesia sudah mulai dibutuhkan.

Artikel ini merupakan hasil obrolan saya dengan Wibi Irbawanto. Kawan saya ini punya latar belakang yang cukup menarik karena, selain eksis di ekosistem esports Indonesia sebagai shoutcaster, ia juga berposisi sebagai Associate Lawyer di BACHRY & MORRIS – Law Office.

1. Situasi pasar yang sudah butuh kapasitas besar

Grand Final MPL ID S3. Sumber: MET Indonesia
Grand Final MPL ID S3. Sumber: MET Indonesia

Seperti yang tadi saya tuliskan di awal artikel, pertaruhan di industri esports Indonesia sudah cukup besar. Namun demikian, masih banyak para pelaku yang belum benar-benar paham dengan ketentuan yang sah demi hukum dan yang tidak.

Wibi pun memberikan beberapa contoh soal sejumlah ketentuan yang mungkin belum diketahui kebanyakan para pelaku esports Indonesia.

Pertama, Wibi mengatakan banyak entitas esports yang belum menyadari bahwa mendirikan PT (Perseroan Terbatas) itu saat ini lebih mudah. Kebanyakan orang masih berpedoman pada Undang-Undang Perseroan Terbatas No.40 Tahun 2007. Padahal, menurutnya, undang-undang ini sudah disimpangi oleh Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 2016.

Silakan konsultasi lebih lanjut ke Wibi atau yang lainnya tentang perbedaan antara keduanya, karena saya tidak mau membocorkan spoiler (padahal takut salah juga sebenarnya). Wibi pun memberikan contoh tadi karena ia yakin tidak banyak orang yang tahu ketentuan-ketentuan mana saja yang menyimpangi ketentuan lainnya.

Selain itu, perihal kontrak pemain/pekerja, Wibi menambahkan, ada banyak orang yang belum menyadari bahwa kontrak di Indonesia itu baru sah demi hukum jika yang pihak-pihak yang bersangkutan sudah berusia 21 tahun atau sudah menikah. Dasar hukumnya dari KUHPerdata Pasal 1329-1331. Sedangkan dasar hukum yang menyatakan kedewasaan adalah KUHPerdata Pasal 330.

Contoh terakhir yang diberikan oleh Wibi adalah soal perjanjian. Perjanjian antar pihak bisa saja sah demi hukum meski tidak disalin dalam tulisan (hitam atas putih) karena alat bukti persidangan itu tidak hanya bukti tertulis. Walaupun memang, pembuktian di persidangan akan jadi lebih sulit tanpa bukti tertulis. “Namun, bukan berarti tidak mungkin alias mustahil dibuktikan,” jelas Wibi.

Itu tadi masih teaser dari sejumlah pengetahuan yang dimiliki oleh satu orang. Bayangkan saja, firma hukum yang punya sekelompok orang-orang yang dibayar untuk mempelajarinya tentu punya pengetahuan kolektif yang lebih komprehensif.

2. Mendekatkan ekosistem esports dengan negara

Sumber: Piala Presiden Esports
Sumber: Piala Presiden Esports

Sebenarnya jika kita berbicara soal peran negara, menurut saya, kata kuncinya adalah “perpajakan”. Sedangkan jika berbicara soal perpajakan, mungkin memang konsultan/firma akuntansi yang seharusnya lebih paham. Namun menurut Wibi, firma hukum setidaknya tahu hal-hal apa saja yang dikenai pajak sekaligus bisa berkolaborasi dengan konsultan akuntansi tadi jika ada masalah yang harus diselesaikan.

Sebelumnya, disclaimer dulu, saya juga tidak tahu bagaimana urusan pajak setiap pelaku esports Indonesia saat ini; apakah sudah sepenuhnya taat pajak atau tidak. Namun, saya kira isu ini penting karena tidak sedikit para pelaku ataupun komunitas esports yang mengharap ataupun mencoba meminta perhatian pemerintah ke esports Indonesia.

Kenapa pajak itu penting disadari, dipahami, dan ditaati oleh ekosistem esports kita? Mungkin itu pertanyaan yang masih harus dijawab terlebih dahulu di sini.

Jawabannya, karena pajak adalah pendapatan negara. Saya pribadi sangat percaya bahwa hal ini penting jika kita ingin mendapatkan perhatian lebih dari negara. Jika esports Indonesia tidak mampu memberikan devisa bagi negara, keterlaluan saja jika mengharapkan peran serta pemerintah membangun esports kita.

Faktanya, kita butuh peran serta pemerintah untuk membangun infrastruktur yang akan sangat berpengaruh pada kemajuan esports Indonesia; seperti infrastruktur internet, transportasi, perlindungan (ataupun pengakuan) profesi, dan yang lain-lainnya.

Memastikan semua para pelaku di industri esports untuk taat dengan segala ketentuan negara, baik itu soal pajak ataupun hukum yang berlaku, menurut saya, adalah langkah awal untuk mendekatkan industri ini dengan peran serta pemerintah (jika memang ada tujuan untuk ke arah sana).

3. Perlindungan lebih untuk aset perusahaan/perorangan

Sumber: PUBG Mobile
Sumber: PUBG Mobile

Salah satu masalah yang kerap menghantui manajemen tim/organisasi esports adalah soal poaching pemain. Buat yang belum tahu, poaching pemain adalah mencoba memengaruhi pemain untuk pindah tim secara gerilya, alias tanpa sepengetahuan manajemen tim pemain yang diinginkan.

Padahal, pemain profesional di esports bisa dibilang sebuah aset perusahaan yang sangat berharga karena prestasi dan exposure tim bisa sangat bergantung pada salah satu atau dua pemain.

Di sisi lain, di banyak perbincangan warung kopi, ada juga sejumlah kasus para talent yang tidak dibayar oleh penyelenggara acara. Dalam hal ini, waktu dan keahlian talent tadi adalah aset perorangan yang perlu dilindungi.

Selain dua contoh tadi, ada banyak lagi contoh aset lain yang bisa dilindungi dengan mengajak firma hukum untuk berkolaborasi. IP (intellectual property) ataupun uang investasi juga sebenarnya bisa diasuransikan, menurut Wibi.

Sepengetahuan saya, sampai artikel ini ditulis, sudah ada beberapa perusahaan atau organisasi esports yang mempekerjakan orang-orang tertentu untuk mengurus masalah hukum di perusahaan tersebut. Namun demikian, tak jarang juga kapasitas itu tak sesuai dengan harapan yang diinginkan.

Kenapa ini bisa terjadi? Because it takes a genius to recognize its peers… Maksud saya seperti ini: jika Anda tidak bisa bermain musik, semua orang yang bisa bermain gitar tentu terlihat ahli untuk Anda. Demikian juga dengan, misalnya, orang yang memang punya pengalaman profesional 10 tahun lebih dalam hal tulis menulis tentu akan memiliki lebih banyak kriteria penilaian ketimbang yang pengalamannya baru di bawah 5 tahun.

Kapasitas dan pengetahuan soal hukum saya kira juga demikian. Firma hukum seharusnya memang diisi oleh orang-orang yang berkecimpung di ranah ini. Jadi standar mereka, kemungkinan besar, lebih tinggi ketimbang perusahaan esports saat mencari satu karyawan untuk mengurus masalah hukum.

4. Pragmatis, bukan dramatis

Sumber: ESL Indonesia
Sumber: ESL Indonesia

Buat yang baru masuk ke ekosistem ataupun industri esports Indonesia, Anda mungkin heran kenapa ada banyak sekali drama yang terjadi di media sosial… Jujur, saya sendiri juga jengah melihatnya. Namun demikian, selain mencari ruang eksistensi, minimnya konsekuensi, ataupun mungkin sekadar mengusir kebosanan; saya kira ada juga yang memang berharap muncul solusi dari sana.

Sayangnya, biasanya, drama itu hanya jadi sebuah lose-lose solution atau malah tak ada manfaatnya sama sekali; selain memuaskan hasrat nyinyir dalam diri.

Pertikaian di jejaring sosial tadi tentu saja jauh berbeda dengan peperangan yang terjadi di meja hijau, di depan para hakim. Pertama, hasilnya sudah lebih jelas siapa yang menang dan yang kalah; dan bagaimana bentuknya. Kedua, aturan mainnya pun sudah lebih jelas dan lebih baku. Ketiga, yang tak kalah penting, peperangan itu hanya diketahui oleh orang-orang yang memang berkepentingan.

Drama di media sosial itu seringnya mengundang komentar para warganet yang tak jarang hanya memperkeruh suasana. Ditambah lagi, drama di media sosial itu, bagi saya, seperti dua orang tua yang bertengkar di depan anak-anaknya… Pamali alias ora elok

Dengan aktifnya firma hukum atau orang-orang yang memang punya kapasitas di sana, harapan saya, hal ini dapat mengurangi drama di media sosial karena ada solusi yang lebih jelas untuk dijalani.

5. War by proxy

Sumber: Dota 2 via Flickr
Sumber: Dota 2 via Flickr

Tahun 2018 kemarin, berakhir sebuah peperangan besar panjang antara Samsung dan Apple di pengadilan atas tuntutan hukum masalah hak paten. Menariknya, selama proses hukum berjalan, kedua perusahaan tetap saja bekerja sama untuk divisi yang berbeda misalnya soal suplai display.

Saya kira kedua hal tadi bisa terjadi di saat yang sama karena pertikaiannya terjadi lewat pihak ketiga. Pertikaian antar dua pihak yang langsung berhadapan, tanpa pihak ketiga, kemungkinan besar akan memutuskan hubungan keduanya karena jadi terasa personal. Perang yang terasa personal tadi bisa jadi mengganggu jalannya ekosistem jika pihak-pihak yang bertikai punya andil besar di sana, apalagi jika sampai menyeret pihak lainnya lagi yang lebih suka untuk bersikap netral.

Firma hukum ataupun pihak ketiga lainnya, saya kira bisa menjadi penengah ataupun perwakilan pertikaian agar jadi tak terasa personal dan mengganggu keberlangsungan ekosistem.

Penutup

Akhirnya, saya juga tidak tahu seperti apa kondisi industri dan ekosistem esports Indonesia 5 ataupun 1 tahun ke depan. Namun, satu hal yang saya percayai, peluang keberhasilan industri akan jauh lebih besar jika dikerjakan oleh para profesional yang memang ahli di bidangnya masing-masing.

Sebaliknya, menganggap remeh satu aspek (seperti soal hukum, media, pemasaran, bisnis, dkk.) akan memperlambat laju pertumbuhan keseluruhan industri, sekaligus mempermalukan diri sendiri…

Prediksi Para Caster Indonesia Seputar Dota 2 The International 2019

Bulan Agustus semakin dekat. Ini artinya kita semakin dekat dengan helatan terbesar bagi penggemar esports Dota 2 yaitu The International. Tahun ini, Dota 2 The International hadir sedikit beda karena diselenggarakan di Shanghai, Tiongkok.

Mulai bertanding pada 15 Agustus 2019 mendatang, ini berarti kita sudah tinggal menghitung hari menuju pertandingan fase grup Dota 2 The International 2019. Tahun ini, ada 18 tim yang akan bertanding di Dota 2 TI 9. Jika Anda mungkin saja kelewatan proses Dota 2 Pro Circuit ataupun kulaifikasi TI 9, berikut daftar tim yang akan bertanding di Dota 2 TI 9.

Tim dari Dota 2 Pro Circuit 2019

  • Team Secret – DPC #1
  • Virtus Pro – DPC #2
  • Vici Gaming – DPC #3
  • Evil Geniuses – DPC #4
  • Team Liquid – DPC #5
  • PSG.LGD – DPC #6
  • Fnatic – DPC #7
  • Ninja in Pyjamas – DPC #8
  • TNC Predator – DPC #9
  • OG – DPC #10
  • Alliance – DPC #11
  • Keen Gaming – DPC #12

Tim dari Kualifikasi Regional

  • Forward Gaming – Kualifikasi NA
  • Infamous – Kualifikasi SA
  • Chaos Esports Club – Kualifikasi EU
  • Natus Vincere – Kualifikasi CIS
  • Royal Never Give Up – Kualifikasi CN
  • Mineski – Kualifikasi SEA

Jika melihat dari perjalanan Dota 2 Pro Circuit 2018-2019 mungkin kita bisa dengan mudahnya memprediksi Team Secret akan menjadi juara. Sejauh ini, permainan Nisha, Puppey dan kawan-kawan memang terbilang sangat solid. Dari 5 major yang diselenggarakan, Team Secret berhasil menangkan 2 dan menjadi runner-up pada salah satunya. Merajai klasemen DPC, apakah ini artinya ia juga akan merajai Dota 2 The International?

Setelah pembahasan singkat dari saya, mari kita simak pembahasan dari para caster-caster Dota 2 Indonesia seputar The International tahun ini.

Dimas “Dejet” Surya Rizky

Sumber: Facebook Page @dejetttt
Sumber: Facebook Page @dejetttt

Saya membuka obrolan tebak-tebakan juara TI 9 dengan Dimas “Dejet”. Senada dengan saya, prediksi Dimas ada pada Team Secret. “Gue orangnya percaya data menurut gue stats don’t lie! Jadi harusnya yang bakal terlihat kuat adalah Team Secret” kata Dejet.

Aside from the data, permainan Team Secret memang luar biasa. Mereka dengan gampang ngacak-ngacak meta selama DPC Season 2019, sehingga mereka jadi top team pada musim ini.” Dejet melanjutkan. “Tapi lagi-lagi, TI have their own curse. Walaupun Secret sejago itu musim ini, tapi nggak bisa dipastikan juga bahwa mereka yang bakal angkat Aegis of Champion tahun ini.”

Seperti apa yang saya bahas sebelumnya, musim berjalan tidak bisa memprediksi juara The International. Selain VP, contoh lain kasus ini adalah tim OG. Mereka jadi raja di musim 2017, tapi anjlok saat TI 7. Kebalikannya, ketika mereka susah payah saat musim 2018, OG malah jadi juara saat TI 8.

Setelah kita tebak-tebakan, pertanyaan selanjutnya adalah, siapa yang dijagokan oleh Dejet? Kalau dari sisi pemain, katanya ia ingin melihat bagaimana Aliwi “w33” Omar membela Team Liquid di The International. Kalau dari sisi tim, dia sendiri malah mendukung PSG.LGD.

“Kenapa PSG.LGD? Simple, gue suka main dan punya set item Terrorblade yang keren. Karena Ame juga main Terrorblade, makanya gue dukung… hahahaha.”

Yudi “JustInCase” Anggi

Prediksi TI #2
Sumber: ESL Official Media

Hampir senada dengan Dejet, Yudi “JustInCase” juga mengatakan bahwa TI sulit untuk ditebak “TI susah diprediksi, karena setiap tahun TI akan memunculkan meta baru yang dibuat para tim yang bertanding di sana.” Jawab Yudi kepada saya.

Lanjut bicara soal tim top tier dalam gelaran The International 2019, jawaban Yudi adalah 4 tim yang memang sedang berada di peringkat atas pada DPC 18-19. Mereka adalah Vici Gaming, Team Secret, Virtus Pro, Team Liquid, dan PSG.LGD. Dan lagi-lagi, Team Secret kembali menjadi sorotan.

“Secret terbilang yang terkuat di musim ini, god tier team. Bicara peluang, ya pastinya cukup besar. Tapi nggak bisa dibilang Team Secret sudah pasti juara. Menurut gue, siapapun yang sudah sampai TI itu kemampuannya setara. Yang membedakan kalah-menang betul-betul tinggal siapa yang lebih banyak atau lebih sedikit membuat kesalahan di dalam game.” Jelas Yudi.

Vinzent “Oddie” Indra

Sumber: Facebook Vinzent Putra
Sumber: Facebook Vinzent Putra

Pembahasan selanjutnya datang Vinzent “Oddie” Putra, jagoan analis di antara para caster Dota Indonesia. Selain soal tim powerhouse selama Dota 2 TI9 nanti, kami juga membincangkan soal kebangkitan tim Tiongkok pada TI kali ini. Kalau Anda mengikuti perkembangan kancah kompetitif Dota 2 internasional, Anda pasti tahu seputar istilah TI curse.

Tahun lalu, kutukan atau pola tersebut berhasil dipatahkan. Tim-tim asal Tiongkok gagal menjadi juara di tahun genap, dan TI dimenangkan oleh tim asal barat, OG. Apa yang terjadi dengan tim-tim Tiongkok?

“Ini sih agak susah sebenernya ya” Oddie membuka jawaban. “Tapi menurut gue, masalah utama tim China mungkin karena mereka terlalu memikirkan soal strategi paling efektif. Sedangkan kalau tim barat, mereka mendominasi karena mereka nggak terlalu mikirin soal efektif. Mereka cuma mikir soal kecocokan personal. Jadi kalau mereka merasa Hero-nya cocok untuk mereka pakai, ya mereka pakai.” Oddie memperjelas.

“Tapi yang pasti di TI9 sudah waktunya Virtus Pro untuk jadi juara! Hahahaha” Oddie menambahkan sambil setengah bercanda.

Gisma “Melondoto” Priayudha

Sumber: Melondoto via Instagram
Sumber: Melondoto via Instagram

Terakhir, tak lengkap bicara Dota tanpa memasukkan sosok peternak “lele”, yaitu Gisma “Melondoto” Priayudha. Prediksi dari Melon, lagi-lagi masih cukup senada dengan para caster lainnya, yaitu Team Secret, yang menurutnya adalah calon juara TI tahun ini.

“Soalnya tahun ini hero metanya, hero midwan kamil semua.” Jawab Melon seraya berkelakar mempleseti nama Yeik “MidOne” Nai Zheng. “Ember, Monkey King, dan Invoker, tiga hero MidOne yang kebetulan lagi meta juga. Pokoknya TI9 ini adalah saatnya anak muda untuk berjaya.” tambah Melon membicarakan MidOne, dan tentunya juga Nisha, pemain muda dari Team Secret yang sedang bersinar.

Terakhir, menanggapi Oddie yang membahas soal Virtus Pro, saya juga jadi penasaran. Apa mungkin, VP bisa jadi juara di tahun ini? Melon menanggapinya dengan cukup santai. Ia menganggap permainan VP yang stagnan adalah salah satu alasan kegagalan VP sejauh ini.

“Roster dari 2016, mainan kombinasi heronya juga gitu-gitu aja, hampir no hope lah. Hero STR kalau nggak pakai Sven, ya Tidehunter, udah aja gitu terus sampai Dota 3… Hahahaha.” jawab Melon mengomentari Virtus Pro.

The International 2019 tentu akan memiliki dinamika yang sangat intens lagi. Apalagi mengingat peta kekuatan tim yang sudah bergeser-geser, terutama pada tim kelas papan tengah. Akankah TI tahun ini menjadi kejutan seperti saat OG menjadi juara? Atau seperti tebakan banyak caster Dota Indonesia, akankah Team Secret yang jadi juara?

Meninjau Kembali tentang Tren BA Esports Cantik di Indonesia: Sebuah Opini

Bagi Anda pemerhati industri ataupun fans esports Indonesia, Anda mungkin akan menemukan sejumlah foto ataupun video gadis-gadis cantik yang mendapat predikat Brand Ambassador (BA) di media sosial tim-tim esports dalam negeri.

Jika Anda cukup kritis, Anda mungkin akan menyadari bahwa tren ini anomali karena tidak ada gadis-gadis berparas rupawan yang diberi label BA esports tadi di media sosial tim-tim besar luar negeri (seperti Fnatic, Team Liquid, SKT T1, Astralis, dkk.). Di tim sepakbola Indonesia, seperti Persija dan Persib, tren ini juga tidak ditemukan. Di tim olahraga luar negeri pun (macam Juventus, Barcelona, ataupun LA Lakers) saya tidak menemukan penampakan gadis-gadis muda yang jadi bintang iklan tim tersebut di media sosialnya masing-masing.

Sebelum lebih jauh, saya ingin katakan terlebih dahulu bahwa tulisan ini ditujukan untuk mempertanyakan signifikansi tren gadis-gadis yang jadi BA esports ke ekosistem kita di Indonesia.

Namun demikian, berhubung saya juga tidak ingin meremehkan ataupun mencederai intelektualitas Anda, saya telah menghubungi berbagai pihak terkait untuk menjawab kenapa tren ini ada di Indonesia sebelum mencoba mengurai signifikansinya.

Kali ini, saya telah menghubungi Justin W (Managing Director untuk ONIC Esports), Yohannes Siagian (Vice President EVOS Esports), Gary Ongko (Owner/CEO dari BOOM ID), dan Agustian Hwang (Country Manager untuk MET Events) untuk mencoba memahami tren ini dari perspektif yang berbeda-beda.

Definisi BA Esports

Jujur saja, dari awal saya katakan, saya sebenarnya kurang setuju dengan istilah brand ambassador untuk kebanyakan gadis-gadis yang saya maksud di atas. Pasalnya, brand ambassador harusnya lebih dari sekadar jadi bintang iklan.

Icha “Mochalatte” Annisa, salah satu talent untuk MET Events dan dikenal sebagai shoutcaster untuk PUBGM dan Free Fire, juga sempat saya tanyai pendapatnya saat bertandang ke kantor Hybrid. Icha juga mempertanyakan kualifikasi apa yang membuat seseorang bisa disebut jadi BA tadi? “Apakah cukup dengan cantik dan hobi bermain game? Mungkin sebenarnya lebih tepat disebut sebagai talent saja, seperti saya di MET Events.” Ujar gadis cantik yang lebih memilih berperan sebagai shoutcaster ini.

Saya sepenuhnya setuju dengan pendapat Icha tadi. Pasalnya, memang ada tokoh-tokoh di ekosistem kita yang memang sudah layak disebut BA untuk timnya masing-masing. Icha sendiri menyebutkan nama Audrey dari FFGaming sebagai contoh. Sedangkan saya menambahkan nama Richard Permana dari TEAMnxl.

Menurut Justin, ONIC Esports juga sebenarnya tidak mengenal posisi BA esports. Ia berpendapat bahwa BA esports itu deskjob nya tidak jelas. “Kalau dari kita, ga bisa nemuin (deskjob-nya) itu. Mungkin tim lain ada ya. Mungkin dari tim lain ada ya. Kalau kita ga ada. Kita bisa aja punya talent cewek dan dianggap BA sama khalayak luas. Namun, internally, kita sendiri enggak pakai istilah BA.” Ujar sang Managing Director yang timnya baru saja memenangkan MSC 2019.

Dengan demikian, gadis-gadis yang tadi saya sebut sebagai BA tadi, selanjutnya akan saya sebut sebagai talent di artikel ini. Lalu pertanyaannya, kenapa ada tren talent gadis-gadis cantik di Indonesia? Inilah 3 jawaban yang saya dapatkan.

1. Jalan pintas menuju popularitas

Sumber: Red Arrow Studios
Sumber: Red Arrow Studios

Buat Anda yang cukup kritis memperhatikan postingan di media sosial, Anda akan melihat bahwa akun gadis-gadis cantik memang lebih mudah mendapatkan angka engagement tinggi. Mereka-mereka yang berparas pas-pasan mungkin harus punya prestasi tersendiri untuk menyamai tingkat engagement yang sama dengan postingan selfie mereka yang rupawan.

Padahal, punya prestasi di bidang apapun itu faktanya tidak mudah dan tidak murah. Demikian juga dengan tim-tim esports. Jadi juara tingkat Minor ataupun kompetisi tingkat internasional itu jelas lebih sulit ketimbang membayar gadis-gadis ABG sebagai model iklan.

Membangun tim yang mampu menjuarai kompetisi tingkat internasional jelas tidak murah karena butuh pemain-pemain berbakat, manajemen yang baik, ataupun pelatih juga yang jelas tidak murahan. Ditambah lagi, butuh waktu juga untuk mengasah kemampuan para pemainnya. Sedangkan membayar gadis-gadis untuk jadi talent itu sebenarnya bisa dibilang jauh lebih murah.

Menurut cerita-cerita yang saya dengar langsung dari orang-orang belakang layar, para gadis yang jadi bintang iklan tim esports tadi range gajinya mulai dari bayaran setingkat UMR sampai belasan juta Rupiah. Sedangkan membangun tim juara ongkosnya bisa mencapai puluhan atau bahkan ratusan juta Rupiah.

Ditambah lagi, uang itu juga mudah dicari. Sedangkan pengalaman itu tak hanya butuh uang tapi juga butuh waktu yang tidak sebentar.

2. Kondisi pasar esports Indonesia

Faktanya, segala sesuatu yang berhubungan dengan eksploitasi asmara atau bahkan seksualitas itu punya peluang besar untuk laris manis di pasaran, di berbagai penjuru dunia. Namun bedanya, para pejuang feminisme di komunitas barat itu jauh lebih agresif dari pada di Indonesia.

Hal itu juga yang dipercayai oleh Yohannes Siagian. Menurutnya, jika tren ini dilakukan di tim-tim luar, hal tersebut justru malah bisa mendatangkan kritikan.

“Kalau melihat situasi entertainment dan celebrity dunia dengan adanya gerakan #metoo dan aksi-aksi lain yang mengedepankan kesetaraan hak wanita dan menuntut tidak adanya diskriminasi terhadap wanita, bisa saja sebuah tim esports atau franchise olahraga lain di USA atau Eropa justru mendapat backlash yang negatif apabila mereka mempromosikan seorang BA berdasarkan kecantikan atau penampilannya.” Jelas Yohannes yang juga merupakan Kepala Pengembangan Program Esports Sekolah PSKD.

Di sisi lain, selain soal budaya massa pasar esports Indonesia, jumlah pasar esports Indonesia sendiri juga sebenarnya tidak sebesar yang dibayangkan. Padahal, jumlah fans-fans atau follower inilah yang biasanya dilihat dan dihitung oleh sponsor. Tim-tim mancanegara (macam Fnatic, Liquid, Astralis, dkk.) mungkin memang kelihatannya besar jumlahnya namun, faktanya, fans mereka tidak hanya berasal dari satu negara.

Dokumentasi: Riot Games
Dokumentasi: Riot Games

Hal inilah mungkin yang tidak disadari banyak orang melihat jumlah fans tim-tim esports internasional. Jumlah fans dari berbagai negara itulah yang membuat jumlahnya besar. Sedangkan fans-fans tim esports dalam negeri biasanya berasal dari Indonesia, mengingat kebanyakan konten media sosial tim-tim esports dalam negeri memang masih berbahasa Indonesia.

Gary Ongko, bos besar dari BOOM ID juga sudah menyadari hal ini. “Masalahnya sekarang kan tim-tim Indonesia belum rutin masuk kompetisi internasional (Minor, Major, ESL Pro League, dkk.). Mungkin nanti gayanya (pakai talent-talent gadis cantik) bisa berubah kalau udah rutin ikut turnamen-turnamen besar (tingkat dunia).”

3. Paradigma industri di usia remaja

Industri digital di Indonesia sendiri memang mungkin masih remaja. Karena itulah, para pelakunya juga mungkin masih sangat terpaku pada tolak ukur kuantitas user semata dalam waktu secepat-cepatnya.

Khusus untuk poin ketiga, pendapat ini merupakan hasil dari pengamatan saya pribadi sebagai orang berkecimpung di industri game dan media dari tahun 2008. Tolak ukur kesuksesan yang terpaku pada sebatas kuantitas dan serba instan ini bisa ditemukan di semua sisi pelaku industrinya, mulai dari media, content creator, tim esportsevent organizer, dan juga sponsor.

Memang, saya juga tidak menafikkan bahwa sudah ada juga yang mulai menyadari pentingnya mengejar tolak ukur lain seperti kualitas user (karena faktanya memang ada yang namanya good quality user) ataupun kualitas content. Ada juga yang menyadari bahwa kesuksesan itu butuh waktu dan proses yang tidak sebentar.

Saya pribadi pun sebenarnya tidak bisa menyalahkan paradigma tadi karena saya kira proses pendewasaan industri memang harus melalui fase itu. Ibaratnya, kebanyakan kaum muda itu ya memang maunya jadi selebriti yang tenar dan dikagumi semua orang dalam waktu sesingkat-singkatnya. Namun seiring waktu kita jadi dewasa, kita tahu bahwa ada banyak hal lain yang seharusnya dikejar selain soal ketenaran. Semakin dewasa, saya kira kita juga semakin sabar menjalani proses.

Sebelum ada yang protes, saya pakai kata ‘dewasa’ ya; bukan tua…

Sumber: Team Liquid
Sumber: Team Liquid

Idealnya, bagi saya pribadi, kualitas dan kuantitas (baik itu user ataupun content) itu berbanding lurus. Namun demikian kesulitannya adalah standar kualitas itu juga yang mungkin berbeda-beda, sesuai dengan pengalaman masing-masing individunya.

Saya juga sebenarnya percaya bahwa industri (baik pelaku ataupun pasar) apapun itu juga lambat laun akan semakin dewasa, yang membedakan hanyalah soal waktu; siapa sajakah yang lebih dulu dewasa. Namun demikian, kita sebagai bagian dari pelaku ataupun pasar esports Indonesia, kita juga bisa memilih untuk mengambil peran dalam mendewasakan industri.

4. Skill komersial pemain masih yang perlu diasah

Seperti yang pernah saya tuliskan juga saat saya mencoba mengurai permasalahan ekosistem Dota 2 di Indonesia, tren gadis-gadis yang jadi pemandu sorak di ekosistem esports Indonesia ini juga terkait dengan minimnya skill komersial para pro player esports di Indonesia.

Dokumentasi: DreamHack
Dokumentasi: DreamHack

Pasalnya, di luar negeri, peran-peran brand ambassador itu justru tidak jarang juga dipanggul oleh para pemain timnya. Gary mencontohkan jika Fnatic punya pindaPanda dan iceiceice yang bisa mempromosikan brand tim tersebutMereka bisa jadi icon tim tersebut meski jabatannya bukan BA. Sedangkan Yohannes juga menambahkan para icon dari tim olahraga yang juga bisa memainkan peran sebagai BA, seperti Ronaldinho untuk Barcelona ataupun Magic Johnson untuk LA Lakers.

Di Indonesia sendiri, memang sayangnya belum banyak para pemain yang punya kemampuan dari sisi komersial tadi. Jika saya harus memberi contoh, 2 nama pemain Indonesia yang langsung muncul di kepala saya adalah Richard Permana dari TEAMnxl> dan JessNoLimit dari EVOS Esports. Keduanya berperan aktif berinteraksi dengan komunitas ataupun media membawa bendera timnya masing-masing, sebagaimana peran BA yang semestinya – bukan hanya sebatas jadi bintang iklan.

Agustian Hwang, yang merintis perjuangan MET di Indonesia sampai sebesar sekarang ini, mengatakan, “Kesulitannya dari para player yang existing mayoritas belum fokus pada pengembangan diri dari sisi komersialnya.”

Sumber: OhBaby via Instagram
Sumber: OhBaby via Instagram

Saya tahu memang sebenarnya tidak mudah menemukan individu-individu yang punya kapasitas di dua hal yang berbeda, misalnya punya paras yang rupawan tapi juga cukup lincah bermain game seperti ohbaby dari IOG ataupun cukup pintar berbicara seperti Mochalatte di atas. Ataupun, jago bermain game tetapi juga pandai bersikap terhadap media ataupun fans.

Namun demikian, saya sungguh percaya bahwa skill itu bisa dilatih asalkan ada yang mau mengajarkan dan individunya sendiri mau belajar.

Tilikan signifikansi tren gadis-gadis yang jadi BA esports

Setelah tadi saya mencoba menjabarkan kenapa tren ini ada di Indonesia, izinkan saya memberikan opini saya terhadap dampak yang mungkin terjadi.

Pertama, jika boleh saya memberikan masukan, titel BA seharusnya tak lagi diberikan dengan mudah buat yang hanya sekadar jadi bintang iklan. Kenapa? Karena sebutan BA bisa jadi titel dengan kasta tertinggi buat individu-individu yang memang pintar membawa nama baik brand-nya masing-masing.

Sumber: The Verge via Twitter
Sumber: The Verge via Twitter

Dengan jenjang yang jelas untuk orang-orang yang memang serius di sisi branding dan komersialisasi, menurut saya, mereka akan lebih terpacu untuk meningkatkan skill-nya dan lebih aktif berinteraksi (tidak hanya sekadar duduk di pojok ruangan seorang diri atau sekadar foto bersama fans).

Faktanya, justru karena saya percaya ranah ini juga tidak mudah untuk dipelajari, mengumbar titel dengan terlalu mudah justru malah mengurangi keseriusan untuk belajar ataupun malah melecehkan mereka-mereka yang benar-benar punya kapasitas soal ini. Misalnya saja seperti titel wartawan atau jurnalis yang seolah diobral murah meriah buat mereka-mereka bahkan tak tahu kaidah-kaidah jurnalistik yang benar.

Kedua, seperti yang saya ungkapkan di bagian pertama, penggunaan para gadis sebagai talent itu memang berguna sebagai jalan pintas menuju popularitas. Nah, ketakutan saya, jalan pintas ini bisa dianggap jadi solusi permanen.

Misalnya saja, sebuah tim jadi tak lagi fokus mengejar prestasi karena sudah merasa mendapatkan cukup popularitas dan pendapatan dari memanfaatkan kecantikan talent mereka. Sponsor pun juga bisa merasa tak perlu lagi mencari tim berprestasi selama mereka punya gadis cantik yang dilabeli BA tadi.

Memang, faktanya, mengejar prestasi dan popularitas bisa dikerjakan secara bersamaan dan paralel; selama punya sekumpulan sumber daya manusia yang memang punya kapasitas di dua hal tadi. Selain itu, sampai hari ini, menurut saya sendiri kebanyakan tim-tim besar esports Indonesia memang masih mencoba menjalankan keduanya beriringan bersama.

IEM Chicago 2018. Source: ESL
IEM Chicago 2018. Source: ESL

Namun sekali lagi, jalan menuju juara di tingkat internasional itu penuh liku dan jurang terjal. Sebaliknya, ada banyak sekali gadis-gadis muda yang selalu siap diorbitkan jadi selebriti media sosial. Buat saya pribadi, aneh dan ironis saja dilihat jika ada tim esports yang akhirnya hanya sekadar jadi sekumpulan selebriti sosmed namun nihil prestasi.

Ditambah lagi, saya kira perkembangan esports Indonesia juga tidak akan beranjak ke mana-mana jika sudah tidak ada lagi tim-tim yang peduli dengan prestasi di tingkat internasional.

Semoga saja, saya yang terlalu paranoid…

[Guest Post] Cerita Dibalik EVOS Esports yang Hampir Tamat | Evolving EVOS #2

Editorial: Artikel ini adalah artikel kedua, tentang perjalanan EVOS Esports. Anda bisa membaca artikel pertama di tautan ini

Semua berjalan secara baik dan sampai titik ini, saya dan partner masih menjalankan EVOS sebagai proyek sampingan dan hobi saja. Tim EVOS berkembang secara baik di tingkat lokal namun stagnan. Dan saya ingin mencari peluang baru untuk bertumbuh, karena saat itu pasar di Indonesia masih baru. 

Melebarkan Sayap

Waktu itu saya sedang melakukan riset tentang judul game apa yang bisa dipilih untuk EVOS sebagai perkembangan selanjutnya dan akhirnya saya berkesempatan untuk mempelajari Vietnam, lebih spesifik, game League of Legends di negara tersebut. Vietnam menjadi menarik karena memiliki 1 x-faktor, angka. 

The VCSA in Vietnam Was Getting A Lot of Viewership & Had High Potential

Tahun 2017, Vietnam memiliki basis pemain ke dua/tiga terbesar untuk LoL di dunia, hanya tertinggal dari Tiongkok dan setara dengan pemain besar seperti Korea. Secara natural, ketika basis pemain sangat besar, maka penonton dari liga profesional lokal juga akan besar. VSCA rata-rata memiliki 60 ribu CCU (concurrent viewers) di tahun 2017, sedangkan di Indonesia hanya bisa mencapai kurang lebih 10 ribu saja. Potensinya ada, EVOS hanya perlu memuikikan bagaimana caranya masuk pasar Vietnam.

Kemitraan Baru

Seperti yang saya sebutkan di artikel pertama, EVOS didirikan bersama oleh 4 orang. Michael, Hartman, saya sendiri – yang kesemuanya adalah teman satu SMA – dan satu lagi Wesley. Orang yang saya sebutkan terakhir ini adalah alasan kenapa EVOS bisa punya kesempatna untuk masuk pasar Vietnam. 

Fortius was the champions of Indonesia but couldn't beat the rest of the SEA teams.

Wesley memiliki tim di Indonesia dengan nama Fortius. Untuk berkompetisi di skena LoL di Indonesia. Wesley menggunakan pemain asing dari Vietnam di timnya, namun hasil dari tim tersebut tidak berjalan baik. Kami berdua bertemu dan akhirnya muncul rencana untuk menggabungkan kekuatan dan memindahkan divisi LoL ke Vietnam uagar bisa bermain di liga profesional di sana, VSCA. Kami membahas ide tersebut dengan partner lainnya di EVOS dan mereka setuju. Dalam waktu cepat, Vietnam menjadi target EVOS

Persiapan di Vietnam

Langkah pertama dalam proses ekpansi ke negara Vietnam adalah mendirikan tim yang kuat. Seperti halnya sebuah negosiasi umum, Anda harus memiliki pengaruh tertentu untuk mendapatkan deal terbaik. Untuk membuat roster yang kuat, kami membutuhkan pemain yang berpengaruh sebagai daya tarik bagi pemain-pemain bagus agar mau bergabung.

No alt text provided for this image

Untungnya, ketika Fortius bergabung ke EVOS Esports, kami bisa mempertahankan Beyond. Ia adalah salah satu pemain terkenal di Vietnam waktu itu, jadi kami mimiliki pondasi yang solid untuk membangin roster yang bagus. Selanjutnya, kami ingin mendapatkan YiJin di tim, salah satu pemain yang paling terkenal di skena LoL. Kami sadar, jika kami bisa mendapatkan dua pemain ini di tim, maka kami bisa memiliki pengaruh yang cukup untuk menarik pemain bagus lain untuk ikut bergabung. 

Kami telah memiliki rencana, menjalankannya dengan seksama dan akhirnya tim LoL bintang kami terbentuk, tim ini diisi oleh pemain dengan potensi yang sangat baik. Beberapa minggu berikutnya, saya dan partner super sibuk menyiapkan infrastruktur di Vietnam. Membangun gaming house dari nol. Merekrut manajer untuk memenej pemain, dan merekrut pekatih untuk membantu tim berlatih. Kami ingin memastikan bahwa kami memiliki peluang yang baik untuk lolos ke VCSA. 

The First EVOS Esports Roster

Banyak orang tidak menyadari bahwa tugas perusahaan/pemberi kerja untuk menyiapkan infrastruktur yang kuat bagi para karyawan mereka untuk tumbuh. Jika Anda gagal menyiapkan pondasi yang kuat, maka karyawan tidak akan melihat adanya peluang untuk tumbuh, mereka akan pergi. Demikianlah halnya dengan mendirikan tim esports, Anda harus menyediakan dukungan terbaik yang bisa Anda berikan agar pemain bisa berkembang. 

Rintangan Pertama

Kami telah mengatur semuanya dengan baik dan hasilnya juga mulai muncul. Kurang labih hanya satu bulan waktu yang kami miliki sebelum bermain di babak kualifikasi, dan tim dalam kondisi kompak serta percaya diri. Tim kami bisa bermain dengan standar yang sangat tinggi dan tidak pernah satu kali pun kalah dalam masa latihan, dengan skor pertandingan 25-0. Angka fantastis ini didapatkan dengan berlatih melawan tim terbaik di Vietnam. Kami menjadi tim yang ditakuti di Vietnam

No alt text provided for this image

Namun seiring perjalanan waktu, pemain kami menjadi terlalu percaya diri. Anda bisa melihat bahwa EVOS Esports yang sekarang memiliki banyak sekali staff manajemen yang menjaga agar para pemain sehat secara mental dan menjaga kondisi pemain dalam performa yang baik, namun tidak pada waktu itu. Kami tidak tau apa-apa, kami kira pemain yang percaya diri adalah sebuah keuntungan, namun kami sangat salah. 

No alt text provided for this image

Satu hari sebelum pertandingan kualifikasi, mulai muncul masalah. Pemain mulai saling komplain satu dengan yang lain, saling menyalahkan untuk kesalahan kecil dan saling klain bahwa ia paling layak diberi predikat pemain paling jago di tim. Ego mulai muncul dan kami tidak tahu harus bagaimana mengatasinya. Namun, kami tetap yakin dengan kemampuan tim kami. Bgaimana tidak? Menang 25 kali vs kalah 0 dalam pertandingan latihan. 

Karena kualifikasi VSCA akan berjalan seharian, saya dan partner saya, Harman beranggapan bahwa kami tidak perlu hadir di turnamen sejak awal, lebih baik menambah waktu tidur dan istirahat, anggapan kami, tim setidaknya bisa bertahan sampai setelah makan siang. Mengingat kualitas bermain mereka, sepertinya tidak akan mengalami kendala berarti. 

Namun, kami salah. Tim kami kalah di ronder pertama. The. First, Round. 

Di tepi jurang 

Bagaimana caranya kemabli pulih dari keadaan seperti itu? Kami telah memberikan semua usaha kami dengan harapan bisa masuk VSCA. Ini harusnya menjadi langkah awal untuk EVOS agar bisa berada di peta esports dunia. Namun kenyataannya, kami malah menjadi 

Saya ingin menyerah dan menutup secara keseluruhan EVOS Esports.

Saat itu saya masih menjalankan 3 bisnis secara bersamaan, dan kondisi ini mulai memberikan dampak pada diri saya. Mulai muncul masalah kesehatan, khususnya punggung saya, mulai tidak nyaman. Selain itu, kondisi keuangan EVOS Esports juga mulai memburuk. Saya berpikir ini waktu yang tepat untuk menyerah dan fokus ke bisnis saya yang lain. 

Perubahan Nasib

Untungnya, tidak tidak semua hasil buruk menimpa EVOS Esports. Di Indonesia, strategi kami untuk membuat tim terkenal dengan memberikan porsi yang cukup besar di media sosial mulai mendapatkan hasil. Pemilik merek di Indonesia mulai melirik potensi tim esports dan ingin menjadi sponsor di EVOS Esports. 

No alt text provided for this image

Brand pertama yang bekerjasama dengan EVOS adalah Lenovo, mereka menawarkan deal pada kami dengan angka kurang lebih 7 ribu USD perbulan untuk kontrak satu tahun. Ini adalah salah satu kesepakatan sponsor terbesar di Indonesia pada tahun 2017. Selain itu, kami juga berhasil mendapatkan kontrak dari Traveloka dengan angka 8 ribu USD perbulan untuk satu tahun. Menjadi  kesepatakan sponsor terbesar ntuk merek non-endemic di Indonesia pada waktu itu. Tiba-tiba saja, kami memecahkan beberapa rekor. 

Dua kesepatakan ini saja membuat EVOS Esports bisa berjalan dan memberikan keuntungan untuk organisasi EVOS. Namun yang lebih penting, hal ini memberikan sebuah gambaran bagi saya dan partner, bahwa kerja keras kami mulai membuahkan hasil. 

Perubahan Strategi 

Kesepakatan dengan dua brand tersebut juga membuat kami mengubah strategi dalam mendirikan tim, alih-alih membangun tim secara kuat langsung, kami mencoba untuk membuat tim yang populer dan disukai oleh orang. Dengan cara ini, para penggemar memiliki tim populer yang bisa didukung, di sisi lain, brand bisa melihat pengikut yang besar yang bisa kami kumpulkan dari tim dan tertarik untuk menjadi keluarga EVOS. Menciptakan pengaruh.  

Jadi sekarang, daripada mencoba untuk menemukan pemain besar untuk meningkatkan performa tim, saya ingin mencari cara untuk membangun brand menjadi nama utama kami. Langkah selanjutnya adalah mencari brand ambassador, tim lain telah memiliki relasi dengan pemain game umum, EVOS membutuhkan keunggulan lain. 

Well, kami menemukannya secara cukup harafiah dalam seorang ‘angel’.

No alt text provided for this image

Di salah satu turnamen DOTA, para pemain EVOS berfoto dengan para merek pendukung, dan mereka membicarakan salah satu perempuan cantik, namanya Angel. Di tidak terkenal atau istimewa, tetapi tim DOTA saya suka dengannya karena kerehamannya. Saya jadi berpikir, jika pemain saya saja suka, mungkin gamers yang lain juga akan menyukainya. Mengapa tidak mengajaknya untuk bergabung dan menjadi EVOS Esports ambassador, tujuannya untuk membantu mengembangkan brand EVOS. 

Kami  berkomunikasi dan sisanya adlaah sejarah. Ketika Angel bergabung dengan EVOS, ia adalah seorang model untuk acara-acara dengan hanya 200 follower di IG. Kini, ia adalah seorang ikon gaming dnegan lebih dari 200 ribu follower dan menjadi muka dari EVOS Esports. 

Itulah strateginya: Menemukan talen potensial, bantu mereka berkembang. 

Titik paling rendah hidup saya

Semua berjalan baik, performa tim kami berjalan baik, bahkan tim LoL Vietnam kami juga bisa bermain di babak kualifikasi VSCA setelah saya membeli slot dari tim lain. Semuanya seperti memberikan harapan untuk keberhasilan. 

Well, tidak juga. 

Suatu hari di bulan Agustus tahun 2017, ketika saya ingin pergi mengunjungi para pemain di tim, saya menyadari bahwa tiba-tiba saya kehilangan tenaga. Saya merasa untuk berjalan menaiki tangga saja terasa sulit. Saya tidak ambil pusing, lalu pergi ke dokter untuk cek ringan karena saya pikir ini hanya masalah punggung biasa. Ternyata bukan. Saya didiagnosis dengan Kennedy Disease, sebuah penyakit genetik yang tidak tersembuhkan. 

Untuk yang tidak mengerti apa penyakit tersebut, tenang saja, saya juga tidak. Ini sebuah tutan untuk Anda mempelajari sendiri jika tertarik: https://rarediseases.info.nih.gov/diseases/6818/kennedy-disease

No alt text provided for this image

Saat itu, saya tidak akan pernah melupakan apa yang dokter katakan pada saya. 

“Anda hanya punya 5 tahun lagi untuk bisa berjalan, makan atau berbicara secara normal”. Saya terhenyak. 

Saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan. Saya merasa tidak mau melakukan apapun. Sepertinya hidup saya jadi tidak punya tujuan lagi karena toh pada akhirnya itu akan pergi dari saya juga. Saya mengurung ini d irumah sendirian, berusaha untuk menemukan makna apa yang harus saya lakukan. 

Ketika itulah saya menyadari bahwa saya merasa paling bahagia ketika saya menonton EVOS Esports berkompetisi dan bertanding. Akhirnya, saya menemukan alasan untuk bangkit. 

One Last Stand

Anda bisa lihat, bahwa saya mengatakan pada diri saya untuk tidak menjadi orang yang munafik. Ketika tim LoL Vietnam saya gagal lolos ke VCSA, para pemain ingin menyerah dan berhenti. Hanya saya sendiri yang meyakinkan mereka untuk terus bertahan, untuk terus berjuang, membuat mereka percaya bahwa akan ada jalan terang di ujung sana. 

Saya tidak bisa menjadi seorang yang munafik. Saya tidak bisa menyerah. 

Saya mengerti bahwa di titik ini saya tidak rugi satu apapun, waktu adalah esensinya. Saya berhenti mengurus semua bisnis saya untuk mengurus EVOS Esports secara penuh dan menentukan tujuan saya. membangun kerajaan media dan hiburan terbesar di Asia Tenggara dalam waktu 5 tahun.

Sekarang waktunya bekerja. 

Bersambung ke tulisan berkutnya.

Tulisan berseri ini adalah tulisan tamu dan ditulis oleh Ivan Yeo – Chief Executive Officer dan co-founder EVOS Esports. Tulisan asli dalam bahasa Inggris pertama kali dimuat di laman LinkedIn Ivan Yeo. Publikasi dan terjemahan dilakukan tim Hybrid dan telah mendapatkan izin penulis.

[Opini] Melihat Lebih Jauh tentang Polemik MPL ID Season 4

Belakangan ini memang muncul sebuah polemik baru di industri/ekosistem esports Indonesia. Polemik itu adalah soal sistem liga franchise dari MPL ID Season 4 (S4) yang diterapkan Moonton di esports Indonesia.

Berhubung akan terlalu panjang jika harus menjelaskan sistem franchise ini, Anda bisa membaca dulu artikel yang telah kami rilis sebelumnya: Mengupas Seputar Liga Esports Berbayar, Sistem Liga Franchise.

Saya rasa saya tak perlu panjang lebar juga menjelaskan soal pro kontranya, karena Anda bisa menemukannya di media game lainnya. Di sini, saya hanya ingin menuangkan pendapat saya tentang sistem franchising esports yang diterapkan untuk MPL ID S4.

Jadi, langsung saja kita masuk ke topik pembahasannya.

Keuntungan adalah motivasi utama sebuah industri tetap berjalan

Faktanya, esports adalah sebuah bentuk industri. Berarti, esports haruslah memberikan keuntungan buat para pelakunya; termasuk tim, EO, player, talent, media, sampai publisher-nya.

Sistem franchising liga yang diterapkan ini adalah salah satu cara para pelaku esports mendapatkan keuntungan. Tim esports ataupun event organizer memang sudah terlihat jelas dari mana asal pendapatan dan keuntungannya. Namun bagaimana dengan publisher/developer game-nya?

Game Free-to-Play seperti Mobile Legends: Bang Bang (MLBB) memang punya sistem bisnis micro-transaction (in-app purchase) namun saya kira itu beda urusan dan beda kebutuhan dengan esports-nya. Setidaknya, mereka juga butuh orang-orang baru yang khusus menggarap esports. Sumber Daya Manusia (SDM) orang-orang esports ini juga tentunya butuh kapasitas dan kemampuan yang berbeda dengan yang berperan sebagai publisher/developer game.

Itu tadi masih soal kebutuhan SDM. Masih banyak lagi kebutuhan soal esports yang butuh dana besar agar dapat berjalan dengan baik.

Kemenangan ONIC di MPL ID S3
Kemenangan ONIC Esports di MPL ID S3

Untuk apa publisher game menggarap esports jika mereka tidak diuntungkan? Justru saya malah lebih takut jika Moonton tak bisa mendapatkan keuntungan dari esports Indonesia dari tahun ke tahun. Karena mereka bisa saja jera dan berhenti fokus pada esports.

Ingat Vainglory…?

Saya sudah berkarier di industri game Indonesia sejak 2008. Jadi, saya juga sudah melihat masa kejayaan ataupun kemelorotan sejumlah publisher game di Indonesia. Kawan-kawan saya yang tadinya bekerja untuk publisher-publisher tersebut pun akhirnya harus rela kehilangan pekerjaan karena perusahaannya tak mampu menemukan cara baru untuk terus meraih laba.

Sistem liga berbayar adalah salah satu cara saja untuk mendapatkan keuntungan dari esports. Kita bisa lihat ada strategi lain yang digunakan namun tujuannya tetap sama: profit!

Buat yang tahu Dota 2, Anda seharusnya tahu apa itu The International (TI). Kenapa Valve rajin sekali mengadakan TI setiap tahun? Salah satunya saya yakin karena keuntungan besar yang mereka dapatkan dari penjualan Battle Pass untuk setiap TI.

Sumber: Dota 2
Sumber: Dota 2

Tahukah Anda bahwa total hadiah (prize pool) untuk setiap TI itu hanya 25% dari total penjualan Battle Pass? Hitungan kasarnya, jika ada tambahan prize pool sebesar US$25 juta untuk TI, nilai total pendapatan Valve dari Battle Pass adalah US$100 juta. Lalu di mana uang sisanya yang senilai US$75 juta? Sebagian tentunya digunakan untuk menggelar event megah tadi namun sebagian juga jadi keuntungan untuk Valve.

Sekali lagi, ini industri. Bagaimanapun juga keuntungan (laba) perusahaan adalah salah satu tolak ukur paling penting dalam mengukur keberhasilan setiap pelaku industri; lebih penting daripada sekadar popularitas atau jumlah penggunanya.

Selain itu, andaikan Moonton dan para pelaku yang terlibat dengan MPL ID S4 sukses besar, cerita ini bisa (dan mungkin harus dipastikan) terdengar di industri esports dunia. Jika Moonton benar-benar dapat meraih keuntungan besar dari esports Indonesia, saya yakin banyak publisher/developer di luar sana yang ikut tertarik menggarap esports tanah air. Semut mana yang tidak akan mendatangi tempat gula berada?

Faktanya, pasar esports Indonesia dilihat tidak menguntungkan buat para developer/publisher internasional; makanya tidak pernah dilirik karena pasarnya dianggap punya daya beli yang rendah. Sepanjang karier saya sampai hari ini, saya belum pernah dengar ada kabar bahwa Valve, Blizzard, EA, dan raksasa-raksasa publisher/developer lain mau mendirikan kantor dan serius menggarap pasar di Indonesia.

Jika berkaca dari sejarah, cerita sukses industri game sebenarnya pernah terjadi di Indonesia. Saya masih ingat betul tahun 2009, saat Point Blank (PB) sukses meraih untung besar dari pasar gamer Indonesia. Buktinya, setelah PB, jadi banyak publisherpublisher Korsel lain yang masuk Indonesia karena tergiur dengan keuntungan yang bisa mereka raih.

RRQ.O2 as MPL ID S2 champion. Source: MLBB
RRQ.O2 as MPL ID S2 champion. Source: MLBB

Namun demikian, cerita sukses itu hanyalah soal in-app purchase (micro transaction) dari game-game Free-to-Play; bukan soal keuntungan yang bisa diraih dari menggarap esports Indonesia. Makanya, sampai sekarang pun Indonesia sebenarnya masih jadi target pasar utama game-game buatan ataupun rilisan Korsel dan Tiongkok (meski jadi bergeser ke platform mobile).

Justru dengan sistem liga berbayar yang ingin dicoba oleh Moonton ini, menurut saya pribadi, yang sebaiknya kita lakukan sebagai bagian dari ekosistem dan industri esports tanah air adalah mendukung penuh (agar sukses), mengawasi, dan memastikan cerita sukses itu terdengar ke seluruh penjuru dunia. Dengan tujuan memancing lebih banyak pelaku esports dunia melirik pasar Indonesia.

Antara Investasi, Penjual, dan Pembeli

Jujur saja, waktu saya mendengar kabar liga berbayar ini pertama kali, saya juga cukup skeptis melihat besaran angkanya. Namun karena kebetulan saya mendapatkan banyak bocoran soal ini, saya jadi lebih optimis.

Istilah dan kerangka berpikir yang ditawarkan oleh mereka-mereka yang kontra itu memang membeli kursi agar bisa bermain di MPL ID S4. Namun faktanya tidak hanya itu, karena ada profit sharing (bagi hasil) juga yang dijanjikan. Jadi, perspektif dan terminologi yang bisa dibilang lebih optimis (positif) adalah ‘biaya investasi’.

Nah berbicara soal investasi, mereka-mereka yang memang punya pengalaman bisnis cukup lama tentu tahu bahwa tidak ada yang namanya investasi dengan resiko 0%. Semua bentuk investasi pasti punya nilai resikonya masing-masing. Bahkan beli rumah ataupun menabung di bank juga punya resikonya sendiri. Katanya, pelihara tuyul pun pasti ada resikonya… Nyahahahaha

Menurut bisikan dari rumput-rumput yang bergoyang, sudah lengkap juga 8 tim yang sudah membayar sebagian dari biaya investasi itu. Sayangnya, untuk daftar lengkap tim-timnya, kita harus menunggu pengumuman resmi dari Moonton. Walaupun, (saya kasih clue) jika Anda melihat pergolakan bursa transfer tim MLBB dan Anda cukup pintar, terlihat juga tim-tim mana saja yang sudah mempersiapkan diri.

Sumber: MPL
Sumber: MPL

Jika desahan-desahan di bawah meja yang tadi saya dengar itu benar, hal ini berarti memang nilai investasi yang disebutkan itu ada pasarnya. Jika penjual dan para pembelinya sepakat dengan harga yang ditawarkan, kenapa kita yang pihak ketiga harus protes?

Ibaratnya, sepatu itu juga ada yang harganya sampai Rp4 juta. Ada action figure yang harganya puluhan juta juga. Ada mobil yang harganya bahkan sampai milyaran. Desktop PC yang saya gunakan juga total harganya lebih dari Rp30 juta. Kalaupun Anda tidak mau/mampu membeli tawaran itu, bukan berarti Anda harus protes juga minta turunkan harga.

“Turunkan harga Bugatti Chiron jadi belasan juta Rupiah!”

Ditambah lagi, jika ada sepatu seharga Rp4 juta, bukan berarti tidak akan ada juga sepatu seharga Rp200 ribu… Saya kira Moonton juga sadar betul dengan hal ini. Dengan MPL yang pakai sistem tertutup (baca penjelasannya di artikel kami sebelumnya) dan ditujukan untuk kasta tertinggi, saya yakin akan ada turnamen-turnamen lain untuk kasta yang lebih rendah.

Sekarang juga ada 3 tingkatan turnamen resmi dari Moonton sendiri, dari MSC yang paling tinggi, MPL, sampai MIC (Mobile Legends Intercity Championship).

Apalagi, saya juga yakin para petinggi tim-tim esports yang sudah menyanggupi untuk membiayai investasi tadi juga bukan orang-orang bodoh. Mereka pasti akan aktif mengawasi dan memberikan segudang tuntutan kepada Moonton (karena posisi mereka sekarang jadi investor untuk MPL ID). Mereka juga pasti tahu butuh ajang kompetisi yang lebih rendah untuk mencari bibit-bibit baru yang disiapkan untuk regenerasi pemain-pemain lama.

Dokumentasi: Hybrid
Dokumentasi: Hybrid

Akhirnya, saya sendiri juga sebenarnya setuju dengan Yohannes Siagian, Vice President EVOS Esports, yang kami mintakan pendapatnya di artikel sistem liga franchisebahwa kita masih belum bisa melihat dampaknya positif atau negatif di Indonesia karena memang belum pernah diterapkan.

Meski begitu, saya juga melihat sistem ini juga bisa mendewasakan industri esports tanah air. Kenapa? Karena higher stakes and risks yang memaksa para pelaku industri yang terkait lebih cermat dan berhati-hati dalam mengambil keputusan.

Plus, peluang kesuksesan liga berbayar yang mungkin mampu menarik lebih banyak pelaku industri global ke Indonesia itu terlalu berharga untuk dilewatkan begitu saja…

Mengupas Seputar Liga Esports Berbayar, Sistem Liga Franchise

“Untuk masuk liga utama, tim esports harus membayar Rp15 miliar!?”

Isu tersebut belakangan sedang santer terdengar di ekosistem esports Indonesia. Kabarnya, sebuah tim esports harus menyetorkan sejumlah uang investasi, untuk dapat masuk ke dalam liga utama suatu cabang game esports.

Memang, hal ini terdengar cukup janggal atau malah membuat sang penyelenggara jadi terlihat jahat. Apalagi jika mengingat praktik ini belum pernah dilakukan di Indonesia. Namun, secara internasional, praktik bisnis tersebut sebenarnya sudah cukup umum terjadi, terutama di industri olahraga Amerika Serikat.

Model liga ini, yang mematok biaya investasi bagi pemilik tim, disebut sebagai franchise league system atau North American System. Mengingat sistem liga franchise mulai menjadi patokan di dalam ekosistem esports secara global, mari kita kupas lebih dalam seputar franchise league system, serta bagaimana dampaknya jika liga ini benar diterapkan di Indonesia.

Mengenal Ragam Sistem Liga, Berkaca Dari Industri Olahraga

Secara internasional, ada dua sistem liga olahraga yang diadopsi oleh berbagai kompetisi olahraga. Selain dari North American System atau franchise league system, ada juga sistem lain yang umum digunakan dalam industri olahraga. Nama sistem tersebut adalah promotion-relegation system atau disebut juga sebagai European Sports System.

Sistem franchise lahir di Amerika Serikat. Sistem ini menjadi sistem yang diadopsi banyak liga olahraga besar di Amerika Serikat, seperti National Basketball Association, National Football League, Major League Baseball, dan National Hockey League.

Sumber:
NBA adalah salah satu contoh liga olahraga yang menggunakan sistem franchise. Sumber: SBNATION

Sementara di sisi lain, sistem promotion-relegation lahir di Eropa. Berawal digunakan sebagai sistem liga sepakbola, sistem ini akhirnya menjadi landasan bagi liga-liga sepakbola di Eropa, seperti Barclays Premiere League (Inggris), La Liga (Spanyol), Serie A (Italia), dan lain sebagainya.

Ivan Kraljevic, Marketing Promotion Manager UEFA, merangkum beberapa perbedaan jelas antar kedua sistem liga ini dalam tulisannya di Sports Bite Blog. Tetapi secara singkatnya adalah, promotion-relegation system mengusung sifat keterbukaan, sementara franchise league system lebih bersifat tertutup.

Promotion-relegation system adalah sistem liga yang diadopsi oleh industri sepakbola, secara internasional maupun Indonesia. Maksud bersifat terbuka adalah, sebuah tim bisa masuk ke dalam liga dengan cara berkompetisi, lewat proses promosi dan relegasi. Semua tim punya kesempatan yang sama untuk bisa masuk (atau keluar) dari Liga 1. Tim yang performanya terus menurun, akan terkena relegasi jika ia berada di peringkat bawah, dan turun ke liga divisi ke-2, begitu juga sebaliknya.

Pada sistem liga olahraga ini, siapapun boleh ikut, yang membuatnya jadi lebih menarik untuk disimak. Ibaratnya, tim asal kecamatan bisa saja masuk ke dalam Liga 1, asalkan mereka punya kemampuan berkompetisi (dan sokongan dana) yang baik. Kenapa saya menyebut soal sokongan dana? Karena Anda belum tentu bisa tembus dari liga divisi 2 ke Liga 1 dengan bermodal pemain terjago se-kecamatan saja. Minimal, Anda harus punya pemain terjago se-pulau Jawa, yang tentu bayarannya tidak murah.

Sumber:
Liga Inggris, contoh olahraga yang menggunakan sistem promosi-relegasi. Sumber: Forbes

Sementara itu, sistem liga franchise cenderung lebih eksklusif. Dalam sistem ini, kesempatan masuk ke dalam liga terbatas pada segelintir tim atau investor saja. Pemilik tim atau investor harus memenuhi kriteria tertentu untuk dapat masuk ke dalam liga, memenuhi biaya investasi bisa jadi salah satu kriteria tersebut.

Bagi tim yang sudah memenuhi kriteria pembuat liga, paling sedikit, mereka mendapat hak eksklusif untuk tetap berada di dalam liga selama beberapa waktu. Selain itu, biasanya ada juga keuntungan-keuntungan lain dalam bentuk bagi hasil antara operator liga dengan investor, seperti hak siar, penjualan tiket, merchandise ataupun sistem bagi hasil (revenue sharing).

Hasil yang dibagi biasanya tergantung dari perjanjian antar kedua belah pihak (antara operator liga dengan pemilik tim/investor). Kendati sistem ini mungkin terlihat kurang adil bagi penonton, namun sistem liga ini menjanjikan stabilitas secara finansial bagi tim yang sudah bergabung.

Liga Franchise Dalam Ekosistem Esports Global

Belakangan, sistem liga franchise akhirnya menjadi standar bagi beberapa kompetisi esports. Sampai saat ini, setidaknya ada dua kompetisi besar yang saya ingat sudah menerapkan sistem ini.

League of Legends Championship Series (LCS), liga League of Legends regional Amerika Serikat, menerapkan sistem ini sejak tahun 2018 lalu. Biaya investasi untuk dapat bergabung ke dalam LCS cukup besar. Bos besar Immortals dan Team Solo Mid mengatakan kepada Yahoo Esports, bahwa biaya investasi untuk bergabung ke dalam NA LCS mencapai US$10 juta atau sekitar Rp142 miliar.

2018-05-02 / Photo: Robert Paul for Blizzard Entertainment
Overwatch League adalah contoh sukses penerapan liga franchise untuk esports. 2018-05-02 / Photo: Robert Paul for Blizzard Entertainment

Entitas liga lain yang juga menggunakan sistem ini adalah Overwatch League (OWL). Liga OWL punya sistem yang sebenarnya cukup unik bagi ekosistem esports. Kendati membuat liga berbasiskan klub, mereka mendobrak dengan membuat liga dengan tim berbasis daerah. Nilai investasi OWL, mengutip dari Variety, malah lebih fantastis lagi. Yaitu mencapai US$20 juta atau sekitar Rp285 miliar.

Lalu bagaimana kesepakatan yang diterapkan di dalam LCS dan OWL? Tentu akan sangat panjang dan lebar sekali, jika harus saya bahas satu persatu di sini. Singkatnya, masih mengutip dari Variety, OWL menerapkan sistem bagi hasil. Investor tim akan akan mendapatkan sebagian keuntungan untuk setiap pemasukan yang diterima operator liga, entah dari penjualan tiket penonton, pembelian hak siar, sponsorship, dan lain sebagainya.

Liga Franchise dan Ekosistem Esports Indonesia

Oke, kita sudah membahas segala tetek-bengek urusan liga franchise. Kita sudah membahas mulai dari asal muasalnya, sampai penerapannya di ekosistem esports. Pertanyaannya, apa pengaruhnya pembahasan ini terhadap ekosistem esports Indonesia? Selain karena isu yang saya sebut di awal artikel, mari kita berandai-andai, jika benar ada operator liga yang melaksanakan liga franchise di Indonesia, bagaimana jadinya?

Saya mendiskusikan hal ini dengan dua orang yang terkenal kerap memberikan insight menarik seputar esports. Ada Tribekti Nasima, sosok yang bisa dibilang sebagai dedengkot di lingkup EO esports Indonesia. Satu lagi adalah Yohannes Siagian, mantan Kepala Program Pembinaan Esports SMA 1 PSKD yang sekarang menjabat sebagai VP of esports di EVOS.

Kalau melihat dari isu tersebut, franchise mungkin terasa menyeramkan bagi para pelaku industri esports Indonesia. Bayangkan saja, organisasi tim esports harus membayar sejumlah uang yang tidak kecil, hanya untuk bergabung ke dalam sebuah liga.

Tapi, tentu hal tersebut datang dengan keuntungan bukan? Tetapi Joey mengatakan pendapatnya secara to the point, bahwa kita tak bisa bilang ini akan jadi bagus atau buruk bagi ekosistem esports Indonesia. Karena sistem ini belum pernah diterapkan di Indonesia, termasuk juga industri olahraga Indonesia, maka kita tidak tahu apakah sistem ini dapat bekerja dengan baik atau tidak.

Jika MPL jadi liga franchise, apa jadinya?
Jika MPL jadi liga franchise, bagaimana nasib ke depannya? Jadi lebih berkembang atau malah mati suri? Sumber: GCube ID

“Dampak baik atau buruknya tak akan terlihat dalam waktu dekat, tetapi baru beberapa tahun ke depan.” jawab Joey. Lebih lanjut, Joey lalu menjelaskan bagaimana sebenarnya, baik itu sistem franchise atau promotion-relegation, sukses di industri olahraga.

Kalau bicara soal liga yang pakai sistem franchise, sudah ada macam-macam liga olahraga Amerika yang saya sebut di awal artikel. Banyak liga tersebut terbukti sukses besar di Amerika Serikat, walau mungkin popularitasnya tidak mencapai tingkat dunia. Sementara kalau sistem promotion-relegation, penggemar sepakbola Indonesia mungkin sudah tahu kesuksesan sistem ini. Hal itu sudah dicontohkan lewat banyak liga sepakbola, termasuk yang versi lokal.

Lalu sebenarnya, apa sih keuntungan menggunakan sistem liga franchise? Terutama kalau dibanding dengan sistem liga promosi-relegasi? “Untungnya buat pemilik tim, yang pasti mereka bisa investasi tanpa harus takut degradasi” kata Bekti. “Contohnya seperti RRQ dan EVOS di MPL Season 3. Mereka sudah investasi besar-besaran untuk memperkuat skuad Mobile Legends. Tapi kalau mereka kalah dan gugur dari liga, terus gimana? Di sini fungsi liga franchise jadi terlihat.”

Namun bukan berarti liga franchise adalah obat mujarab, yang bisa memajukan atau memperbaiki scene esports. Ini juga mengingat masing-masing titel game punya tingkat kedewasaan scene, serta jumlah perputaran uang yang berbeda-beda. “Memang nggak bisa semua game pakai sistem ini. Menurut gue, game tersebut harus punya daya jual yang tinggi, baru bisa menggunakan sistem franchise.” Bekti juga menambahkan.

Sumber:
LCS sekalipun butuh bertahun-tahun sampai akhirnya dibuat jadi menggunakan format liga franchise. Sumber: Dot Esports

Soal daya jual ini merupakan satu poin yang juga saya setuju. Kenapa? Coba bayangkan Anda adalah pemilik tim esports. Apa Anda mau menginvestasikan waktu, uang, dan tenaga kepada game yang tidak jelas masa depannya? Jawabannya pasti tidak. Maka dalam konteks ini, mungkin bisa jadi tepat jika sistem franchise diterapkan untuk liga utama Mobile Legends.

Jutaan penonton online, event offline yang membeludak, fans fanatik yang rela melakukan apa saja demi sang idola, serta gengsi kompetisi yang tinggi, adalah faktor-faktor yang membuat bertanding di liga utama sebuah game jadi patut untuk dipertahankan. Apalagi jika sistem franchise ternyata menjanjikan keuntungan lain yang lebih besar daripada sekadar exsposure saja. Maka isu biaya slot liga sebesar Rp15 miliar, mungkin jadi terasa murah.

Faktor lain yang membuat sistem ini jadi tepat dilakukan saat ini, adalah soal fase hidup game Mobile Legends. Setelah booming besar-besaran di sekitar tahun 2018 lalu, Moonton kini harus memikirkan cara mempertahankan penggemar Mobile Legends. Esports bisa jadi jawaban yang tepat, tapi terlalu banyak esports mungkin malah bisa jadi jawaban yang tidak tepat, jika dilihat dari kacamata penonton.

Terlalu banyak esports mungkin bisa membuat para penggemar jadi jenuh, apalagi mengingat setiap manusia juga hanya punya waktu sebanyak 24 jam setiap harinya. Kehadiran liga franchise, setidaknya memberi patokan jelas kepada para penonton, bahwa liga tersebut adalah liga official dengan kasta tertinggi yang wajib ditonton oleh khalayak. Penyelenggara juga bisa dengan lebih mudah merangkai narasi perkembangan kemampuan dari masing-masing tim dari masa ke masa.

Sistem franchise sebenarnya tidak hanya menjanjikan keuntungan jangka pendek saja, tapi juga stabilitas dan prospek jangka panjang. Selain dari sistem liganya, sistem regenerasi pemain juga jadi hal yang sebenarnya perlu dipikirkan. Dalam liga franchise bola basket, NBA, mereka punya sistem regenerasi pemain tersendiri. Sistem tersebut bernama NCAA, yang merupakan liga bola basket antar pelajar/mahasiswa, yang berjenjang ke tingkat profesional.

Sebagai mantan kepala sekolah “SMA esports Indonesia”, hal ini menjadi salah satu yang selalu vokal disuarakan oleh Joey. “Franchise league sebetulnya hanya satu dari berbagai jalan untuk mengembangkan ekosistem esports di Indonesia. Jadi tidak bisa hanya dengan 1 pelaku, 1 metode.” Joey menjawab, membuka pembahasan.

“Kalau pendapat saya pribadi, sangat perlu dilakukan investasi untuk tingkat pemuda dan pelajar di ekosistem esports. Perlu ada sistem yang dapat memfasilitasi dan memastikan bahwa regenerasi atlet esports terus berjalan, serta menghasilkan bibit-bibit berkualitas.” Joey memperjelas.

High School League atau IEL University Series sebenarnya sudah menjadi langkah baik yang dilakukan oleh salah satu elemen ekosistem esports Indonesia. Sayangnya, terjadi missing link antara kompetisi antar mahasiswa/pelajar ini, dengan liga profesional. Mereka, jagoan-jagoan esports tingkat universitas/sekolah tinggi akhirnya terlontang lantung setelah jadi juara di kompetisi tingkat tersebut.

Kenapa? Karena tak ada sistem yang mengintegrasikan antara liga tingkat pelajar dengan liga profesional. Dalam NBA, sistem yang merekatkan antar dua tingkat tersebut adalah sistem NBA Drafts

Dalam sistem ini, jagoan-jagoan basket tingkat SMA, yang sudah dipantau sebelumnya, dimasukkan ke dalam daftar drafts. Selanjutnya, mereka yang sudah masuk drafts akan punya kemungkinan untuk masuk ke dalam tim profesional. Jadi, para pemain tingkat pelajar punya tujuan yang jelas, tim profesional juga tak perlu kelimpungan mencari pemain.

Impian Membuat Liga Esports Franchise yang Ideal di Indonesia

Diterapkan atau tidak, sebenarnya ini cuma hanya masalah waktu saja. Jika perputaran uang di dalam ekosistem esports Indonesia sudah semakin besar, mau tidak mau, siap tidak siap, pasti akan ada saja elemen ekosistem yang menginisiasi sistem liga ini. Jadi ketika ada yang menginisiasi, saya merasa sudah seharusnya bagi ekosistem esports Indonesia yang harus cekatan beradaptasi.

Sistem ini mungkin terlihat menyeramkan pada awalnya, tapi jika dilaksanakan dengan tepat, efeknya bisa jadi positif bagi ekosistem esports di Indonesia. Tetapi memang hal yang perlu digarisbawahi adalah soal dilaksanakan dengan tepat.

Bagaimana maksud dilaksanakan dengan tepat? Saya merasa ada beberapa hal penerapan liga franchise atau sistem beli slot jadi terasa tepat. Pertama, jika operator liga punya proposal bisnis dan penawaran yang jelas. Kedua, liga tersebut tayang di televisi lokal. Ketiga, sistem regenerasi yang jelas, entah lewat liga divisi dua, atau liga mahasiswa/pelajar.

Sumber:
High School League persembahan JD.ID adalah inisiasi yang bagus. Sayang, liga ini berjalan sendiri, tanpa ada integrasi dengan tingkat profesional. Sumber: Dokumentasi Hybrid – Novarurozaq Nur

Saya masih merasa poin soal televisi lokal itu penting di Indonesia. Apalagi mengingat akses internet di Indonesia yang belum merata di berbagai daerah. Tayang di televisi lokal memudahkan penggemar esports Indonesia di berbagai daerah untuk turut menikmati tayangan tersebut.

Poin ketiga juga menjadi poin penting yang perlu dilakukan di Indonesia. Berkaca dari liga olahraga di Amerika Serikat, liga tingkat mahasiswa/pelajar memegang peran penting dalam menunjang keberlangsungan liga olahraga. Kehadiran liga mahasiswa/pelajar memastikan liga utama tetap memiliki pasokan pemain, yang secara tidak langsung memastikan keberlanjutan sang liga utama.

“Kalau bicara soal penerapan, memang perlu person in charge yang tepat untuk menentukan apa yang terbaik untuk suatu game terhadap suatu region.” kata Bekti penerapan sistem kompetisi esports di suatu negara. “akan lebih bagus lagi kalau developer/publisher punya esports manager lokal, karena orang tadi harusnya yang paling paham soal keadaan ekosistem lokal.”

Sumber:
Sosok Esports Manager lokal seperti Lius Andre, memiliki peran yang penting untuk mengkaji, apakah kebijakan esports cocok atau tidak untuk suatu negara. Sumber: Dokumentasi Resmi Revival TV

Jika berkaca kepada kesuksesan liga franchise League of Legends, mereka sebenarnya sudah mengalami perjalanan yang sangat panjang untuk mencapai titik ini. “Mereka sendiri sudah memulai inisiatif esports mulai 2011, dan intensif di tahun 2014. Awalnya penerapan liga mereka juga acak-acakan. Tapi seiring kesalahan yang dibuat, mereka belajar, kapabilitas orang belakang layarnya terus meningkat, sampai akhirnya mereka jadi seperti sekarang.” kata Bekti menutup obrolan.

Sejauh ini kita sudah melihat bagaimana pengadopsian sistem ini ke dalam esports, berhasil membuat ekosistem tumbuh dengan lebih sehat. Jadi jika sistem ini hadir di Indonesia, apakah hasilnya akan membawa perubahan menjadi lebih baik atau lebih buruk?

Satu hal yang pasti, ekosistem esports Indonesia memang perlu memikirkan soal sustainability jangka panjang. Jangan sampai esports di Indonesia hanya menjadi gelembung yang indahnya hanya sesaat, lalu meletup suatu saat dan hilang ditelan waktu.

[Guest Post] Bagaimana Saya Memulai EVOS Esports | Evolving EVOS #1

Semua bermula dari satu keyakinan. 

“Untuk mengubah mimpi jadi kenyataan dan untuk memberikan inspirasi bagi generasi masa depan”. 

Saat ini, EVOS Esports telah memilki 15 tim di lebih dari 5 negara, namun semuanya bisa berakhir dengan sangat berbeda.

Saya memang jarang berbicara tentang kisah personal saya sendiri, namun akan menjadi sebuah ide yang cukup baik untuk membuat artikel berseri tentang bagaimana EVOS berdiri. Catatan ini juga untuk merekam perjalanan saya selama ini di dunia esports.

No alt text provided for this image

 

Mari kita mulai dengan latar belakang saya sendiri 

Ketika memulai EVOS, saya sama sekali tidak memiliki pengetahuan tentang esports. Latar belakang saya adalah pernah memiliki pengalaman di bisnis FnB ketika mendirikan restoran di Kamboja, serta pernah bekerja di perusahaan keluarga yang memiliki fokus pada investasi real estate, startups dan perusahaan finansial. Jadi Anda bisa melihat sendiri, bahwa esports sama sekali bukan bidang saya. 

Jangan salah paham, saya suka bermain game. Saya bermain DOTA ketika ada waktu dan selalu menjadi penonton The International. Saya suka menonton kompetisi, ada sesuatu yang muncul ketika menonton pertandingan yang kompetitif. Dan akhirnya sampai pada suatu waktu, saya menjentikkan jari dan berkata pada diri saya sendiri, lakukan saja.

Credit: Reddit user u/GeryllAnthony

 

Langkah Pertama 

Langkah pertama agar semua bisa berjalan dengan benar adalah memilih titik awal untuk mulai. 

Meski saya warga negara Singapura, namun, waktu itu potensi pasar di negara ini tidak ada. Di sisi lain, Indonesia adalah pasar yang potensial untuk esports. Peluangnya ada, saya hanya tinggal mengolahnya.

Seperti yang saya sebutkan di awal, saya sama sekali tidak memiliki pengetahuan tentang esports. Jadi, langkah awal yang harus dilakukan adalah mempelajari industrinya. Tidak ada buku panduan untuk belajar esports, harus dengan mencoba secara langsung. Dan saya mendapatkan ide, mengapa tidak menggelar liga profesional untuk permainan DOTA di Indonesia – dan jadilah AES Pro League. Dengan cara ini saya bisa mempelajari tentang esports sekaligus mempelajari tentang pasar Indonesia. Killing two birds with one stone.”

Created the AES Pro League to Explore Esports in Indonesia

 

Melakukan penyesuaian 

Setelah menjalankan liga selama dua musim, saya sadar bawah kompetisi tidak akan berhasil, tidak ada banyak ROI di sana. Namun saya menyadari potensi esports telah ada. Saya memutuskan untuk mengubah haluan dan mendirikan tim. Mencoba untuk melakukan pendekatan berbeda untuk tap in ke pasar. 

Meskipun kompetisi yang saya jalankan tidak berhasil, ada satu hal positif yang saya dapatkan. Saya bisa membentuk tim pertama saya dari pengalaman tersebut, namanya Majapahit Esports. Tim tersebut bisa mendapatkan posisi 3 di AES Pro League, dan saya melihat peluang untuk mengeksplorasi lebih dalam perihal tim esports ini. Akhirnya saya terjun ke sana, karena pada dasarnya saya hanya membutuhkan sebuah tempat untuk memulai. 

Saya memulai dengan sederhana, memberikan anggota tim gaji bulanan untuk operasional dan mendirikan gaming house untuk tim tersebut, pertama di Indonesia. Tujuan utama waktu itu adalah memberikan gambaran pada tim bahwa saya peduli dengan mereka, selain itu saya juga ingin masuk ke ekosistem esports dan membangun sebuah brand.

Namun sebelum itu saya harus memikirkan sebuah nama untuk tim. Majapahit bukanlah nama yang gampang diingat. Lalu saya berpikir untuk melihat value saya sendiri dan apa yang saya percaya, saya ingin mengembangkan (evolve) ekosistem esports di Asia Tenggara dan membuatnya semakin besar. 

Evolve. EVOS. Begitulah, semua berawal dari sana. 

Auman pertama

Proyek AES Pro League kami (saya dan mitra) putuskan untuk dilanjutkan 1 musim lagi karena sebuah alasan, memberikan tim saya sebuah platform untuk bertumbuh dan bermain dengan tim lain. Mengasah kemampuan mereka dengan mengikuti kompetisi secara rutin. Sementara hal ini berjalan, saya ingin membangun tim ini secara lebih dan mengembangkan kehadiran media sosial mereka. Menjadi pemenang di sebuah kompetisi adalah penting tetapi membangun pengaruh adalah prioritas sejak awal. 

Saya mulai mendorong tim untuk lebih banyak membuat konten, memberikan saluran bagi fans untuk berinteraksi dengan EVOS. Secara mendasar, esports adalah sebuah bisnis hiburan. Orang ingin menonton pertandingan untuk terhibur, menonton permainan seru dan momen epik. 

Langkah pertama adalah membuat orang mengenal media sosial EVOS di manapun. Facebook, Instagram dan YouTube. Saya merekrut karyawan untuk membuat cuplikan dari setiap pertandingan tim kami dan juga membuat vlog untuk mendokumentasikan perjalanan offline tim, apapun yang bisa memberikan tontonan bagi fans EVOS.

Sementara konten yang kami miliki berkembang, tim kami pun berhasil menjadi pemenang di banyak pertandingan. Pondasi yang telah saya bangun memberi dampak, dan setelah latihan yang rutin dan tanding lawan tim lain (sparing), akhirnya tim EVOS bisa menjadi pemenang di beberapa turnamen DOTA lokal, dan yang paling utama adalah mengalahkan tim MVP Phoenix dari Korea.

Itu adalah sebuah titik balik. Sepercik harapan muncul. Harapan. Bahwa tim asal Indonesia bisa bertanding dengan tim terbaik lainnya. Waktu itu ada anggapan yang salah bahwa Indonesia tidak memiliki pemain yang bagus, namun tiba-tiba semua orang jadi memperhatikan. Dari sana kami mulai bisa mendapatkan sponsor, NVIDIA, Digital Alliance, LG dan sponsor non-endemic pertama kami Go-Jek. Saya akan selalu ingat tanggalnya, 20 November 2016. Hari itu adalah momen saat EVOS Esports benar-benar lahir

Tim kami bisa mengalahkan tim unggulan (top tier) DOTA 2, EVOS juga diundang ke kualifikasi regional. Semua berjalan secara baik tetapi saya merasa EVOS bisa melakukan lebih. Saya ingin melakukan ekspansi, dan saya melihat ada peluang. 

Bersambung di artikel berikutnya.

Tulisan berseri ini adalah tulisan tamu dan ditulis oleh Ivan Yeo – Chief Executive Officer dan co-founder EVOS Esports. Tulisan asli dalam bahasa Inggris pertama kali dimuat di laman LinkedIn Ivan Yeo. Publikasi dan terjemahan dilakukan tim Hybrid dan telah mendapatkan izin penulis.