Analis Ungkap 4 Kunci Sukses Free Fire di Asia Tenggara dan Amerika Latin

Bila kita berbicara tentang battle royale, pikiran kita pasti akan langsung tertuju pada dua game battle royale terbesar di dunia: Fortnite dan PlayerUnknown’s Battlegrounds (PUBG). Akan tetapi sebetulnya ada game lain yang diam-diam juga punya kesuksesan besar, bahkan melampaui Fortnite dan PUBG di beberapa negara. Game itu adalah Free Fire, battle royale besutan 111dots Studio dan Garena yang kini jadi kekuatan dominan di Asia Tenggara dan Amerika Selatan.

Seberapa populerkah Free Fire? Menurut sebuah siaran pers dari Garena, Free Fire di pertengahan 2019 memiliki lebih dari 450 juta pengguna terdaftar, dan lebih dari 50 juta peak daily users. Pendapatan game ini juga cukup besar, dengan laporan dari Sensor Tower menunjukkan revenue di kuartal pertama tahun 2019 saja mencapai US$90.000.000 (sekitar Rp1,26 triliun).

Brasil menjadi negara dengan popularitas tertinggi di dunia Free Fire, dan menyumbang sekitar 31% dari pendapatan total. Negara kedua tertinggi adalah Thailand yang menyumbang 11% dari revenue keseluruhan. Mengapa game ini bisa begitu sukses, terutama di wilayah Asia Tenggara dan Amerika Selatan? Belum lama ini Henri Brouard, seorang analis di NetEase Games, mengutarakan pendapatnya lewat situs Gamasutra.

Bisa main di smartphone “kentang”

Hal pertama yang diutarakan Brouard adalah target pasar Free Fire yang memang ingin menjangkau negara-negara berkembang. Garena memastikan bahwa game ini bisa berjalan lancar di perangkat-perangkat berspesifikasi rendah. Brouard menyebutkan data dari Device Atlas, yang menunjukkan bahwa perangkat yang paling banyak ditunakan untuk memainkan Free Fire di kuartal kedua tahun 2019 adalah iPhone 7 dan Samsung Galaxy J2. Smartphone yang terakhir ini hanya memiliki RAM sebesar 1,5 GB dan storage antara 8-16 GB.

Free Fire - Screenshot
Free Fire tidak butuh spesifikasi tinggi | Sumber: Garena Free Fire Indonesia

Untuk memainkan Free Fire secara lancar, para pengguna memang hanya dituntut memiliki RAM 1 GB serta storage sebesar 900 MB. Ini jauh lebih rendah daripada misalnya PUBG Mobile, yang butuh RAM di atas 2GB serta storage 1,5 GB lebih. Free Fire juga menyediakan pilihan setting visual, sehingga pemain di smartphone canggih bisa mendapatkan pengalaman yang lebih baik.

Gameplay super kasual

Free Fire didesain dari awal agar mudah dimainkan siapa saja dan tidak butuh waktu lama. Ketika game dimulai, jumlah pemainnya adalah 50 orang. Artinya satu ronde bisa berakhir lebih cepat, rata-rata sekitar 10 menit saja. Bangunan juga tidak memiliki pintu atau jendela, sehingga pemain tidak bisa bersembunyi dengan mudah di dalamnya. Hal ini ditambah dengan elemen-elemen lain yang mempercepat permainan, seperti high loot area serta drone yang bisa menunjukkan lokasi musuh.

Free Fire - 10 Minutes
Permainan kasual dengan durasi 10 menit | Sumber: Google Play

Dari segi kesulitan, Free Fire menyediakan fitur aim assist yang cukup ekstrem, lebih ekstrem dari game shooter atau battle royale lainnya. Begitu ekstremnya sampai-sampai kursor akan tetap mengunci musuh meskipun mereka bergerak ke arah lain. Di samping itu, ketika pemain melakukan zoom senjata, kursor akan berubah menjadi warna merah bila musuh terkunci. Semua fitur bantuan ini menjadikan Free Fire game yang ramah bagi mereka yang tak terbiasa bermain game shooter.

Monetisasi dengan elemen RPG

Sekilas monetisasi Free Fire mungkin terlihat biasa saja. Pemain bisa mendapatkan imbalan cukup dengan bermain, dan akan mendapat imbalan ekstra bila membeli season pass. Game ini juga menawarkan fitur gacha (Luck Royale) yang akan memberikan item secara acak. Pemain bisa menggunakan mata uang gratisan ataupun premium untuk memainkan Luck Royale ini.

Free Fire - Characters
Battle Royale dengan elemen RPG | Sumber: Google Play

Perbedaan Free Fire dengan battle royale lainnya adalah bahwa game ini memiliki elemen serupa RPG. Di Free Fire, pemain bisa memilih satu dari puluhan karakter berbeda, dan masing-masing karakter ini memiliki keahlian berbeda pula. Sebagian karakter bisa didapatkan secara gratis, tapi ada juga yang harus dibeli dengan mata uang premium. Karakter-karakter ini kemudian bisa di-upgrade agar menjadi lebih kuat, dan tentunya proses upgrade itu akan lebih cepat bila menggunakan mata uang premium.

Ini masih ditambah lagi dengan adanya berbagai item yang akan memberikan keuntungan, seperti mengisi ulang HP, memanggil peti airdrop, dan sebagainya. Dengan mengabiskan lebih banyak uang, pemain bisa mendapat sedikit keuntungan dibandingkan pemain lainnya, dan ini memberikan daya tarik tersendiri.

Merangkul komunitas lokal

Free Fire sangat gencar dalam menapakkan kakinya di pasar lokal, dan ini dilakukan lewat sejumlah aspek berbeda. Hal pertama yang langsung terlihat adalah kanal media sosial resminya terpisah berdasarkan negara. Anda bisa menemukan akun Facebook, Twitter, bahkan YouTube Free Fire khusus untuk pasar Indonesia, Brasil, India, dan sebagainya.

Free Fire - Dia de los Muertos
Event Dia de los Muertos di Free Fire | Sumber: Free Fire South America

Pendekatan kedua adalah pengembangan konten-konten dengan nuansa lokal. Free Fire memiliki event khusus bertema Karnaval Brasil, Dia de los Muertos (perayaan Meksiko), karakter Monkey King (Tiongkok), dan masih banyak lagi. Selain itu, game ini juga banyak mengambil inspirasi dari film atau game lain yang terkenal. Anda bisa menemukan kostum yang mirip Joker, karakter yang mirip John Wick, dan banyak lagi.

Pendekatan lokal berikutnya adalah esports. Di negara-negara barat, esports di platform mobile tidak begitu populer. Tapi lain halnya dengan negara-negara yang bersifat “mobile-first” seperti wilayah Asia Tenggara dan Amerika Selatan. Esports mobile sangat banyak diminati, dan Garena memfasilitasinya lewat kompetisi-kompetisi nasional maupun internasional.

Siaran Free Fire World Cup 2019 yang tayang live di YouTube berhasil meraih 1,4 juta viewer di channel Free Fire Indonesia, dan 1,7 juta viewer di channel Free Fire India. Sementara di Brasil, acara ini ditonton hingga 5,3 juta viewer. Popularitas esports ini kemudian didukung juga oleh keaktifan para YouTuber dan influencer lokal, menciptakan komunitas yang solid di tiap wilayah.

Keberhasilan Free Fire mencapai kesuksesan ini membuat Henri Brouard menyebutnya sebagai “the other king of battle royale”. Apakah Free Fire bisa melampaui kesuksesan Fortnite dan PUBG secara global? Belum tentu, tapi tidak harus juga. Garena berhasil menemukan “sweet spot” dengan cara memahami karakteristik gamer di pasar mereka, dan hasilnya adalah sebuah game yang sukses dengan caranya sendiri.

Sumber: Henri Brouard/Gamasutra

When the Past was Around, Game Tentang Patah Hati dari Developer Lokal

Penerbit dan developer game asal Tangerang, Toge Productions, kembali mengumumkan sebuah game yang unik dan kental akan nuansa artistik. Berjudul When the Past was Around, game ini memiliki genre point-and-click puzzle, dan mengangkat tema seputar cinta terutama tentang patah hati.

Dikembangkan oleh Mojiken Studio yang juga berada di balik game She and the Light Bearer, When the Past was Around bercerita tentang seorang gadis dan kekasihnya dalam dunia surealis yang berisi ruang-ruang dari berbagai zaman dan kenangan. Sang gadis, yang bernama Edda, harus “melarikan diri” dari jebakan masa lalu dengan cara membuka pintu-pintu tersebut, menyelesaikan puzzle, kemudian pada akhirnya menemukan rahasia antara dirinya dan sang kekasih.

When the Past was Around - Screenshot 1
Sumber: Steam

When the Past was Around mengajak pemainnya menyelami perasaan cinta, kemudian melepaskan sesuatu yang dicintai itu, serta segala kesenangan maupun kesedihan yang menyertai keduanya. Mojiken Studio mengembangkan game ini terinspirasi dari puisi yang dibuat oleh Brigitta Rena, sang Director yang juga merupakan developer kunci She and the Light bearer dan A Raven Monologue.

Dari dulu Mojiken dikenal sebagai developer yang gemar mengeksplorasi seni serta gaya penceritaan surealis, dan rupanya game ini masih mempertahankan ciri yang sama. Menurut keterangan di halaman Steam, game ini pada awalnya adalah bagian dari program internal Mojiken Studio yang disebut #MojikenCamp. Program itu bertujuan untuk melakukan eksperimen tentang cara kita menyampaikan cerita, serta menciptakan sebuah pengalaman unik dalam kerangka media seni interaktif—video game.

When the Past was Around - Screenshot 2
Sumber: Steam

Bila Anda penasaran ingin mencoba When the Past was Around, Toge Productions telah menyediakan versi prolog yang bisa Anda unduh secara gratis di Steam atau situs itch.io. Sementara versi full nanti direncanakan rilis untuk PC pada musim semi tahun 2020 (sekitar Maret – Juni 2020). Tersedia juga downloadable content bernama Supporter Pack, yang bisa Anda beli sekarang juga untuk menunjukkan bahwa Anda ingin mendukung para kreator game ini.

When the Past was Around - Screenshot 3
Sumber: Steam

When the Past was Around Supporter Pack berisi wallpaper resolusi tinggi untuk desktop dan mobile, artwork promosi, seluruh aset yang digunakan dalam game, sketsa, serta musik latar. Rencananya setelah game ini dirilis penuh Supporter Pack juga akan mendapat konten tambahan berupa bundel Art & Soundtrack. Apakah Anda berminat untuk mencoba game karya developer lokal yang satu ini?

Diablo IV Tidak Mempunyai Mode Offline, Harus Selalu Online

Judul-judul seperti remake Resident Evil 2, Sekiro, Devil May Cry 5, Disco Elysium dan The Outer Worlds memperlihatkan kita bahwa permainan single-player masih jadi favorit para gamer di tahun 2019. Itu berarti, jalan cerita dan gameplay merupakan faktor pertimbangan penting banyak orang dalam memilih game ketimbang aspek lain, misalnya kehadiran komponen online dan multiplayer.

Namun bagi sejumlah developer serta publisher, komponen online ialah bagian yang tak lagi bisa dipisahkan dari platform atau layanan mereka. Ambil contohnya Blizzard Entertainment. Sejak StarCraft II meluncur, kita harus terdaftar dan log-in di Battle.net untuk dapat menikmati game RTS tersebut. Kewajiban untuk selalu online menjadi hal yang paling dikritik gamer dan media di permainan Diablo III. Dan Blizzard sepertinya tidak berniat untuk menghadirkan dukungan mode offline di sekuelnya, Diablo IV.

Di sesi diskusi panel BlizzCon 2019 kemarin, lead designer Angela Del Priore mengonfirmasi ketiadaan mode offline di Diablo IV. Alasannya adalah karena developer mencoba membangun dunia permainan berukuran besar yang tersambung dan ‘terbagi’; sehingga transisi saat Anda pergi menelusuri ruang-ruang bawah tanah, bertualang bersama kawan, menikmati PvP dan berdagang dapat berlangsung mulus. Artinya mau tak mau, sistem online dibutuhkan.

Metode shared open world yang diusung Diablo IV sejatinya membuat permainan jadi menyerupai MMO. Dengannya, game siap menyajikan fitur world events, social hub dan zona kompetitif PvP. Di dunia permainan, tak jarang kita bertemu pemain lain, kecuali jika Anda (dan kawan co-op) memasuki area campaign atau dungeon. Intinya, Diablo IV memperkenankan kita bermain sendiri tapi tidak secara offline.

Berdasarkan info yang dirangkum oleh PC Gamer, Diablo IV tidak mempunyai pilihan tingkat kesulitan. Level musuh akan disesuaikan dengan kemampuan karakter Anda, sehingga kita bisa selalu bermain bersama kawan meski berbeda level. Meski demikian, terdapat area-area yang lebih berbahaya dari lokasi lain, cocok jika Anda menginginkan tantangan lebih besar. Kabarnya, Diablo IV turut dibekali mode Hardcore beserta sistem permadeath (kematian bersifat permanen).

Absennya mode offline di Diablo IV akan mengingatkan pemain veteran pada insiden memalukan yang menimpa Diablo III di momen peluncurannya. Saat itu, banyak gamer sama sekali tidak bisa mengakses game hingga berhari-hari. Ketika mencoba masuk, mereka hanya mendapatkan pesan ‘Error 37’. Kemudian mungkin Anda masih ingat dengan kontroversi real money auction house yang akhirnya dihapus Blizzard di tahun 2014.

Waktu peluncuran Diablo IV juga masih sangat jauh. Saya menduga Blizzard baru akan melepasnya setelah merilis Diablo Immortal di perangkat bergerak.

Via Gamespot.

Data Sensor Tower: Revenue Pokémon GO Sepanjang Masa Capai Rp42 Triliun

Pokémon GO di tahun 2019 ini telah menginjak usia tiga tahun, dan tampaknya Niantic masih belum berhenti meraup keuntungan besar darinya. Di awal tahun 2019 ini, perusahaan data aplikasi mobile Sensor Tower mengungkap bahwa Pokémon GO telah meraih keuntungan senilai kurang lebih US$795 juta, atau sekitar Rp11,2 triliun. Kini, Sensor Tower kembali melaporkan bahwa game tersebut berhasil mencapai sebuah milestone baru, yaitu revenue sebesar US$3 miliar (sekitar Rp42 triliun) sepanjang masa.

Angka tersebut didapat oleh Sensor Tower dari platform analisis download dan perkiraan revenue milik mereka, yang disebut Store Intelligence. Tentu saja karena ini adalah layanan pihak ketiga, dan bukan laporan resmi dari Niantic (developer Pokémon GO), angkanya hanya berupa perkiraan dan belum tentu akurat. Akan tetapi Sensor Tower memiliki reputasi sebagai salah satu penyedia layanan ASO (app store optimization) yang cukup terpercaya dan banyak digunakan oleh developer.

Pokémon GO pertama kali diluncurkan pada bulan Juli 2016. Hingga saat ini, game augmented reality berbasis lokasi tersebut diperkirakan telah diunduh sebanyak 541 juta kali, dengan revenue rata-rata senilai US$5,6 per unduhan. Sepanjang tahun 2019 hingga Oktober, nilai revenue yang mereka peroleh adalah US$774,3 juta. Masih ada sisa dua bulan lagi sebelum tahun ini berakhir, dan Sensor Tower memperkirakan bahwa revenue Pokémon GO di tahun 2019 akan bisa melampaui rekor tertinggi mereka di tahun 2016, yaitu senilai US$832,4 juta.

Dari seluruh revenue tersebut, 54,4% di antaranya berasal dari pemain di Android/Google Play. Sementara pemain di iOS/App Store menyumbang sebesar 45,6%. Menariknya, jumlah pengguna di Android jauh lebih tinggi dari iOS, yaitu 424,6 juta unduhan. Sementara di App Store aplikasi ini hanya diunduh 116 juta kali. Artinya meskipun jumlah pemainnya lebih sedikit, rata-rata pengguna iOS lebih banyak melakukan in-app purchase daripada pengguna Android.

Pokemon GO - Sinnoh Evolution
Beberapa monster baru Pokémon GO yang muncul di tahun 2019 | Sumber: Pokémon GO Live

Mengapa game ini bisa sedemikian populer? Sensor Tower memperkirakan alasan yang mendorong tingginya revenue itu adalah banyaknya update menarik yang diberikan oleh Niantic. Para pemain Pokémon GO tahun ini memang bisa dibilang cukup dimanja, dengan kemunculan konten Team GO Rocket di bulan Juli lalu, kemunculan monster unik Armored Mewtwo, evolusi dari region Sinnoh, hingga event kolaborasi dengan film Detective Pikachu.

Di awal tahun 2020 nanti Niantic juga berencana meluncurkan fitur yang sangat menarik terutama bagi penggemar PvP, yaitu GO Battle League. Fitur ini memungkinkan pemain untuk bertarung melawan pemain lain dari belahan dunia mana pun secara online. Ini merupakan pengembangan dari fitur Trainer Battle yang sudah dirilis di pertengahan 2019 ini. Bedanya, Trainer Battle hanya bisa digunakan untuk bertarung melawan pemain yang berdekatan atau berada di Friend List. Sementara GO Battle League akan menggunakan sistem matchmaking, menjadikannya lebih aksesibel bagi pemain yang ingin bertanding.

Pokémon GO juga memiliki komunitas grassroot yang setia dan gemar bermain secara kompetitif. Meski tanpa ada sirkuit kompetisi resmi, penggemar di seluruh dunia telah menjalankan berbagai turnamen sendiri, bahkan mendirikan liga esports tak resmi yang disebut Silph League Arena. Musim perdananya baru saja diluncurkan pada bulan Januari 2019 kemarin, dan liga ini juga sangat aktif di Indonesia. Anda dapat menyimak perjalanan mereka dalam artikel berikut.

Sumber: Sensor Tower

[Opini] Rasa Takut Adalah Candu, dan Game Horor Adalah Buktinya

Bulan Oktober selalu jadi momen seru dalam industri game setiap tahunnya. Sebagai bulan di mana perayaan hari Halloween jatuh di dalamnya, bulan ini adalah alasan tepat bagi developer untuk merilis game yang memiliki tema horor atau mistis. Sepanjang Oktober 2019 ini contohnya, kita bisa menemukan judul-judul seperti Luigi’s Mansion 3, MediEvil, hingga game lokal Ghost Parade. Sementara di game yang bersifat live service, Oktober jadi motivasi untuk merilis/menjual konten baru, entah berupa event atau item kosmetik. Apalagi para pengguna Steam, pasti sudah banyak yang bersiap menyambut kehadiran Halloween Sale untuk memborong sejumlah game horor incaran.

Sayangnya untuk orang yang tidak menyukai horor seperti saya, momen Oktober ini tidak begitu terasa relatable. Tentu saja saya tidak menolak kehadiran skin Wheatfield Nightmare untuk Franco di Mobile Legends, atau ekspansi The Devils Awaken yang memunculkan konten Devil May Cry 5 di Teppen. Namun rasanya tidak ada beda bila konten semacam ini hadir tidak pada momen Halloween. Steam Halloween Sale pun lebih sering saya lewatkan, karena game di Wishlist saya biasanya tidak ikut terkena diskon.

Rainbow Six Siege - Doktors Curse
Event Halloween di Rainbow Six: Siege | Sumber: Ubisoft

“Memangnya apa yang salah dengan game horor?” Sebetulnya tidak ada yang salah, hanya saja saya tidak merasa bisa menikmatinya. Bukan saya menolak main game horor karena terlalu takut, tapi bagi saya game (atau film) horor itu melelahkan. Bikin tegang dan bikin kaget, bertentangan dengan tujuan saya main game yang salah satunya adalah untuk istirahat.

Jelas banyak orang yang tidak setuju dengan pandangan di atas, karena hingga kini masih banyak game dan film horor yang laku di pasaran. Tapi terkadang saya juga bertanya-tanya, kenapa sih horor jadi salah satu genre hiburan yang terus populer? Bagaimana bisa rasa takut—yang harusnya mendorong kita untuk menjauh—malah jadi sumber kesenangan yang adiktif bagi sebagian orang?

Ketegangan membawa nikmat

Daya tarik horor adalah sesuatu yang sudah cukup banyak diteliti oleh para akademisi. Jamie Madigan dalam artikelnya yang berjudul The Psychology of Horror Games misalnya, mengatakan bahwa motivasi seseorang untuk memainkan game horor secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori.

Pertama adalah kelompok orang pencari sensasi. Kelompok ini adalah orang-orang yang memang pada dasarnya senang mencari rasa “mabuk” (high) secara emosional. Mereka suka mengalami situasi-situasi menegangkan yang biasanya tak terjadi dalam kehidupan normal. Contohnya merasakan ketakutan dari film horor, atau melakukan olahraga ekstrem seperti sky diving.

Dr. Andrew Weaver, seorang peneliti bidang horor yang berasal dari Indiana University, mengatakan dalam tulisan Madigan bahwa pengalaman merasakan sensasi tersebut bisa menjadi sarana berlatih untuk menghadapi situasi menyeramkan di dunia nyata. Terutama bagi anak-anak muda, pengalaman seperti ini mengajari mereka untuk mengendalikan emosi dengan cara yang aman. “Kita bisa mengalami kejadian tidak menyenangkan lewat fim dan kita tahu kejadian itu akan berakhir, kita akan melaluinya, dan akan lanjut menjalani kehidupan,” papar Weaver.

Anehnya, kenikmatan dari sensasi ini sepertinya hanya berlaku bila kita sudah jelas tahu bahwa apa yang kita lihat itu palsu (misalnya game atau film). Dalam sebuah riset, orang-orang yang menyukai film horor dan sudah terbiasa melihat adegan sadis, ketika ditunjukkan kejadian sadis sungguhan (video dokumenter) ternyata tidak bisa menikmatinya. Mereka menolak menonton video tersebut sampai habis, padahal film-film horor yang biasa mereka tonton mungkin punya adegan yang lebih sadis atau lebih menjijikkan.

Resident Evil Revelations 2
Resident Evil Revelations 2 | Sumber: Steam

Kelompok yang kedua punya kemiripan dengan kelompok pertama, yaitu sama-sama mencari sensasi. Bedanya, mereka bukan menikmati ketegangan emosional itu sendiri, tapi mereka menikmati rasa lega yang muncul setelah ketegangan berakhir.

Madigan mengutip ucapan Prof. Glen Sparks dari Purdue University tentang teori ini. “Orang-orang menjadi terangsang secara psikologis akibat rasa takut yang mereka alami selama kejadian di media, kemudian ketika kejadian di media itu berakhir, rangsangan itu teralihkan ke rasa lega dan memperkuatnya. Mereka bukan menikmati pengalaman merasa takut, tapi sebaliknya, mereka menikmati emosi positif kuat yang mungkin muncul setelahnya,” papar Sparks.

Fenomena ini dikenal sebagai “excitation transfer theory” (teori transfer ketegangan), dan dikemukakan oleh psikolog Amerika, Dolf Zillmann, pada tahun 1971. Ia menyatakan bahwa ketika seseorang mendapat rangsangan psikologis, ada periode di mana rangsangan itu akan tertinggal tanpa ia sadari. Kemudian ketika ia memperoleh rangsangan lain setelahnya, orang tersebut bisa “mengalihkan” respons yang ia rasakan dari rangsangan pertama ke rangsangan kedua. Bahasa gampangnya, perasaan lega akan terasa lebih nikmat bila didahului oleh perasaan tegang sebelumnya.

Resident Evil 2
Resident Evil 2 | Sumber: Steam

Terakhir, seseorang bisa menjadi penikmat hiburan horor akibat dorongan sosial. Kemampuan mengatasi rasa takut dalam horor bisa menjadi sebuah pembuktian bahwa seseorang itu kuat atau pemberani di hadapan teman-teman dan keluarganya.

Mungkin terdengar agak seksis, tapi teori ini terbukti lebih banyak terjadi di pergaulan antar lawan jenis, terutama kalangan remaja/dewasa muda. Laki-laki ingin menunjukkan bahwa mereka bisa menjalankan peran sebagai “pelindung” bagi kaum perempuan yang takut. Sebaliknya, perempuan ingin merasa aman karena melihat bahwa laki-laki yang ada disekitarnya tidak penakut dan bisa diandalkan.

Teori yang dikenal dengan istilah “snuggle theory”  (atau “gender socialization theory”) ini muncul dalam sebuah studi di tahun 1996 oleh Dolf Zillmann. Ia menemukan bahwa laki-laki yang menonton film horor bersama perempuan cenderung lebih bisa menikmati filmnya bila si perempuan merasa takut. Sebaliknya, perempuan yang menonton cenderung lebih bisa menikmatinya bila si laki-laki terlihat tidak takut. Ini artinya konstruksi sosial punya peran besar dalam menentukan media hiburan seperti apa yang bisa kita nikmati.

Teori-teori di atas menunjukkan bahwa meski rasa takut secara inheren adalah emosi yang negatif, emosi ini bisa memberikan kenikmatan tersendiri bila disandingkan dengan faktor lain—seperti jaminan rasa aman, excitation transfer, dan konstruksi sosial. Sebetulnya masih ada teori-teori lain tentang daya tarik game horor. Riset oleh Michelle Park dari Long Island University menyebutkan bahwa ada delapan teori tentang motivasi ini, dan sumber teori itu sudah dikemukakan oleh tokoh-tokoh zaman dahulu seperti Sigmund Freud bahkan Aristoteles. Namun jelas tidak bisa kita bahas semua di sini.

Video game memberi sensasi lebih kuat

Untuk memancing rasa takut muncul di kalangan pemain, seorang kreator horor bisa memanfaatkan berbagai aspek tergantung dari medium apa yang ia gunakan. Apabila wujud medianya adalah novel, jelas ia akan terbatas pada penggunaan kata-kata saja serta mungkin sejumlah kecil ilustrasi. Akan tetapi video game adalah media yang kompleks dan canggih, sehingga “lahan bermain” sang kreator pun jadi lebih luas.

Aspek pertama yang paling jelas terlihat adalah tampilan visual. Manusia diyakini punya rasa takut terhadap kegelapan sebagai bagian dari proses evolusi. Setelah sekian lama berkembang, kini kita telah menjadi makhluk yang sangat tergantung pada informasi visual, sehingga absennya informasi tersebut dapat membuat kita merasa tidak aman.

Blair Witch
Blair Witch, salah satu game horor yang rilis tahun ini | Sumber: Steam

Psikoanalis terkenal Sigmund Freud pernah menyatakan bahwa rasa takut adalah reaksi terhadap persepsi akan adanya bahaya eksternal yang terprediksi, dan bisa dianggap sebagai salah satu wujud insting bertahan hidup. Ia juga berkata bahwa rasa takut adalah hal yang relatif, sangat bergantung pada pengetahuan dan penguasaan kita terhadap obyek eksternal yang dimaksud. Contoh: manusia primitif mungkin merasa takut ketika melihat gerhana matahari, sementara manusia di era sains modern tidak takut karena tahu itu adalah fenomena alam biasa.

Game horor menggunakan trik-trik visual untuk merenggut pengetahuan tersebut dari tangan pemain. Ketika dikelilingi oleh lingkungan yang gelap, pemain akan tahu bahwa ada bahaya di sekitarnya, tapi ia tidak tahu apa wujudnya, kapan dan dari mana datangnya, serta apa yang harus ia siapkan untuk mengatasinya.

Semakin sedikit informasi yang ia akses, semakin tinggi rasa gelisah yang ia rasakan. Dan ketika nantinya bahaya itu muncul—misalnya dalam wujud musuh yang melompat keluar di layar—si pemain harus berpikir cepat untuk mencari solusi atas bahaya tersebut. Hasilnya adalah ketegangan emosional tinggi yang memicu adrenaline rush.

Video game termasuk media yang sangat spesial di dunia horor, sebab video game punya satu aspek yang tidak ada di media-media lainnya: kontrol. Di media lain misalnya film, kita hanya bisa pasrah atas kejadian yang disajikan di depan mata. Tapi dalam video game, kitalah yang mengambil keputusan, dan kitalah yang menjadi pemicu akan apa yang akan terjadi selanjutnya.

The Evil Within
The Evil Within | Sumber: Steam

Sesuai teori Freud, seberapa besar kontrol kita terhadap lingkungan sekitar kita akan menentukan seberapa besar pula rasa takutnya. Jadi kualitas sebuah game horor sangat bergantung pada keseimbangan ini. Beri pemain terlalu sedikit kekuasaan, maka game akan jadi stressful dan tidak menyenangkan. Tapi beri pemain terlalu banyak kekuatan (kekebalan, senjata, dsb), maka game akan kehilangan unsur seramnya. Rasa kepemilikan dan kehilangan kontrol ini membuat video game bisa memberikan sensasi horor yang lebih dinamis. Ada rasa puas tersendiri dari video game yang tidak akan kita temukan ketika mengonsumsi noninteraktif, dan hal itu terutama sangat terasa di genre horor.

Kreator asli seri Resident Evil, Shinji Mikami, pernah menjabarkan hal ini dalam sebuah wawancara. Menurut Mikami, genre survival horror seharusnya adalah game yang menakutkan, namun memberi pemain kesempatan untuk mengatasi rasa takut itu dan mendapatkan sense of achievement. Pemain tahu bahwa ada kemungkinan ia akan mati (dalam game), namun ia juga tahu bahwa ada kemungkinan dirinya akan selamat. Keberanian untuk mengambil risiko, melawan ketidakpastian, dan pada akhirnya berhasil keluar dari bahaya, adalah kunci menuju momen katarsis yang jadi candu bagi para penikmat game horor.

Lucunya, kompleksitas dan kecanggihan video game ini terkadang justru menyusahkan untuk para kreator horor. Ambil contoh saja aspek audio. Dengan desain audio yang dibuat secara teliti, developer game bisa memanfaatkan efek suara, musik, hingga ambient noise untuk memunculkan rasa gelisah atau takut di alam bawah sadar. Tapi tidak ada yang menghalangi pemain di rumah untuk mengganti lagu itu sesuka hati, membuat suasana horor di dalam game jadi berkurang bahkan hilang sama sekali.

Ini masalah yang pernah dialami oleh John Williamson, desainer game Saw II: Flesh and Blood. “Kami diwajibkan oleh Microsoft dan Sony untuk memperbolehkan pemain mematikan track musik atau menggantinya dengan lagu Backstreet Boys atau lagu lain pilihan mereka,” papar Williamson. Main game horor diiringi lantunan lagu “I Want It That Way” jelas tidak akan seram, bukan?

Shinji Mikami
Shinji Mikami, legenda hidup dunia game horor | Sumber: Gameranx

Contoh kesulitan lain adalah aspek kamera dan kontrol dalam game yang kini sudah semakin modern. Sudah jadi standar umum bahwa di luar cutscene, pemain bebas menentukan akan ke mana karakter dalam game menghadap, ke mana dia melihat, seberapa cepat dia berjalan, dan sebagainya. Jadi developer harus menyiapkan adegan horor dengan mempertimbangkan semua itu, jangan sampai ada adegan penting terjadi tapi pemain malah melewatkannya hanya karena ia sedang menghadap ke tempat lain.

Dengan kualitas visual yang semakin realistis, kini transisi antara gameplay dengan cutscene pun harus dirancang sehalus mungkin agar suasana yang dirasakan pemain tidak terputus. Shinji Mikami mengaku harus mempertimbangkan seluruh aspek di atas ketika mengembangkan The Evil Within, beda dengan game era 90an yang lebih simpel dan biasanya menggunakan sudut kamera statis.

Butuh perhatian khusus

Menciptakan sebuah game adalah pekerjaan yang sulit, tapi rasanya tidak berlebihan bila kita bilang bahwa game horor punya kesulitan khusus yang tidak dimiliki genre lain. Karena genre ini erat kaitannya dengan perasaan dan psikologi manusia, segala aspek di dalamnya harus dirancang sedemikian rupa agar selaras dan menghasilkan pengalaman yang believable. Wajar bila kemudian kreator game horor yang bagus akan dipuja-puja bahkan hingga beberapa dekade setelah game itu dirilis.

Akan tetapi sebenarnya bila kita melihat pangsa pasar keseluruhan, horor masih merupakan genre yang niche di kalangan gamer. Bahkan setelah menghabiskan banyak biaya untuk menciptakan pengalaman terbaik pun, developer belum tentu bisa untung, apalagi bila dibandingkan dengan genre mainstream seperti first person shooter. Terus mengandalkan satu formula yang sama akan berujung pada para penggemar yang bosan, tapi di sisi lain eksperimen punya risiko membuat penggemar setia menjauh. Menciptakan game horor yang bagus tidak semudah pesta jump scare.

Resident Evil 7
Resident Evil 7 | Sumber: Sony

Contoh kasus yang paling terkenal mungkin seri Resident Evil. Shinji Mikami pergi meninggalkan Capcom pada tahun 2007, setelah menyelesaikan Resident Evil 4 dan game eksperimental berjudul God Hand. Sepeninggal Mikami, seri survival horor ini berubah menjadi lebih action-oriented. Lebih banyak ledakan, lebih banyak baku tembak, dan lebih sedikit rasa seram. Penggemar horor jelas kecewa, tapi secara finansial, Resident Evil 5 dan Resident Evil 6 adalah kesuksesan luar biasa, masing-masing terjual sebanyak 7,5 juta dan 7,3 juta unit di seluruh dunia.

Sementara itu, Resident Evil 7 yang kembali ke akarnya sebagai survival horror terjual lebih sedikit, yaitu 6,6 juta unit. Resident Evil 2 remake, yang mendapat penerimaan sangat positif dan meraih nilai 93 di Metacritic, juga terjual lebih sedikit yaitu sebanyak 4,5 juta unit. The Evil Within dan The Evil Within 2, meski disokong oleh nama besar Shinji Mikami, angka penjualannya lebih sedikit lagi.

Tentu saja tidak semua game harus mencapai angka penjualan 110 juta unit seperti Grand Theft Auto V untuk disebut sukses. Capcom pun berkata bahwa meski secara angka kalah dibanding Resident Evil 6, Resident Evil 7 tetap menguntungkan karena memiliki anggaran pengembangan yang lebih kecil. Mereka juga sadar bahwa di era sekarang sebuah game bisa terus terjual untuk waktu yang lama, tidak seperti dulu di mana hari pertama atau minggu pertama sangat penting untuk penjualan game. Capcom tidak menganggap Resident Evil 7 dan Resident Evil 2 sebagai produk gagal.

Tapi itu bukan berarti mereka tidak merasa was-was ketika mengembangkan dua game tersebut. Antoine Molant, EMEA Marketing Director di Capcom, dalam sebuah wawancara bercerita bahwa Resident Evil 7 dan 2 merupakan sebuah pertaruhan besar. Meski dari segi kualitas para developernya cukup percaya diri, mereka khawatir kalau-kalau apa yang mereka buat tidak sesuai keinginan penggemar. Bagaimana bila fans tidak suka Resident Evil 7 menggunakan sudut pandang orang pertama? Bagaimana bila fans ingin Resident Evil 2 remake tetap mempertahankan sistem kontrol ala tank, seperti era PS1 dulu?

Resident Evil 5
Resident Evil 5 sukses luar biasa, tapi melenceng dari genre aslinya | Sumber: Steam

“Ketika kami mengumumkan strategi kami beberapa tahun lalu, kami berkata kami akan fokus pada pilar-pilar utama kami: Street Fighter, Resident Evil, Monster Hunter, dan sebagainya,” ujar Molant. “Sebagian orang menilainya sebagai budaya menghindari risiko, tapi sebenarnya kami mengambil risiko. RE7 bisa saja gagal total. Dan dengan Monster Hunter World, kami berpotensi meninggalkan 4 juta pasar domestik (Jepang) demi mengejar pasar Barat.”

Sebagai perusahaan, Capcom jelas juga mengejar keuntungan finansial. Mereka punya karyawan untuk diberi makan, juga pemegang saham untuk disenangkan. Tapi secara internal, Capcom memiliki cara sendiri untuk menilai apakah sebuah game itu sukses atau tidak. Alih-alih mengejar angka penjualan setinggi-tingginya, mereka punya pertimbangan lain dari segi artistik dan penerimaan penggemar. “Kami lebih menyukai game yang mendapat skor 9 dan terjual lebih sedikit, daripada game yang mendapat 6 tapi terjual lebih banyak,” kata Molant.

Molant menyebut Capcom sebagai sebuah “penerbit butik”. Artinya, Capcom dari awal memang tidak merancang game mereka sebagai game yang akan dimainkan oleh semua orang. Capcom tahu bahwa mereka menciptakan sesuatu yang niche, dan mereka berusaha sebisa mungkin untuk mengoptimalkan niche tersebut. Caranya dengan benar-benar mencari tahu apa yang diinginkan penggemar, mencari momen yang tepat untuk merilis game, hingga menciptakan game dengan skala serta risiko yang lebih kecil.

“Kami tahu judul-judul dan para penggemar kami, dan kami tahu daya tarik yang kami miliki, dan kami juga tahu apa yang dilakukan dan dicoba oleh para kompetitor kami,” ujar Molant. “Kami tidak akan bisa bersaing melawan perusahaan-perusahaan yang menghabiskan puluhan juta dolar untuk marketing. Kami, bisa dibilang, adalah sebuah penerbut butik, dan jadwal rilis di bulan Januari itu cocok dengan kami.”

Resident Evil 4
Banyak orang berpendapat Resident Evil 4 masih yang terbaik | Sumber: Steam

Kata-kata Molant mungkin terdengar agak lucu karena rasanya lebih cocok diucapkan oleh developer indie, bukan developer AAA yang bisa menjual game hingga jutaan kopi. Tapi indie maupun AAA, keduanya sama-sama sebuah bisnis dan sama-sama butuh strategi yang tepat agar bisa terus bertahan hidup.

Dengan strategi pengoptimalan niche tersebut, Capcom berhasil membangkitkan kembali genre survival horror yang beberapa tahun lalu sempat dianggap telah mati. Mereka membuktikan bahwa Resident Evil sejati—bukan action shooter seperti Resident Evil 6—masih punya tempat di pasaran, sekaligus menunjukkan ke mata dunia bahwa mereka tidak takut menciptakan inovasi radikal. Yang lebih penting, Capcom mematahkan anggapan bahwa teknologi hanya membuat game semakin “cantik” namun mengikis kreativitas.

Di era di mana semakin banyak perusahaan yang “main aman” dan menciptakan game yang mirip-mirip, visi Capcom ini merupakan sebuah angin segar, dan saya berharap idealisme tersebut bisa terus dipertahankan. Meskipun kemungkinan besar saya tetap tidak akan main Resident Evil, sih.

Event Halloween di Rainbow Six: Siege, Apakah Sudah Memuaskan Penggemar?

Halloween telah tiba, dan Ubisoft tidak ketinggalan momen ini untuk menghadirkan konten bertema horor di Tom Clancy’s Rainbow Six: Siege. Tahun 2019 ini, event tersebut diluncurkan dengan judul Doktor’s Curse dan berjalan selama 2 minggu dari tanggal 23 Oktober – 6 November. Anda yang sudah main Rainbow Six: Siege dari lama mungkin ingat bahwa tahun lalu juga ada event Halloween berbeda, dengan judul Mad House.

Apa itu Doktor’s Curse? Pada dasarnya Doktor’s Curse adalah mode khusus yang menyerupai petak umpet. Para pemain terbagi menjadi dua kubu seperti biasa, yaitu Defender dan Attacker. Bedanya, karakter-karakter yang digunakan bukanlah karakter Operator biasa. Kedua tim juga tidak bisa menggunakan senjata api ataupun senjata melee, dan harus menggunakan perlengkapan khusus yang disediakan.

Doktors Curse - Skin
Tampilan kosmetik dari event Doktor’s Curse | Sumber: Ubisoft

Di sisi Defender, tersedia lima Operator yang telah berubah wujud menjadi menyerupai monster atau zombie. Mereka adalah Operator yang memiliki spesialisasi dalam meletakkan jebakan, yaitu:

  • Smoke
  • Kapkan
  • Frost
  • Lesion
  • Ela

Kelima Operator ini (ceritanya) berada di bawah kendali Doktor, sang ilmuwan gila yang melakukan eksperimen-eksperimen terhadap manusia di dalam kastelnya. Meski tak membawa senjata, mereka tetap memiliki akses ke gadget unik masing-masing, juga mendapatkan kemampuan khusus yang disebut Nightstride. Dengan kemampuan ini, Defender bisa menghilang dari pandangan untuk beberapa waktu serta meningkatkan kecepatan geraknya.

Doktors Curse - Weapon Skin
Weapon skin yang tersedia dalam event Doktor’s Curse | Sumber: Ubisoft

Sisi Attacker berperan sebagai sekelompok tim pembasmi monster yang disebut Exterminator. Setiap Exterminator ini dilengkapi dengan senjata khusus, yaitu palu milik Sledge yang bisa digunakan untuk menghantam monster-monster. Mereka juga dilengkapi dengan salah satu dari tiga gadget berikut:

  • Eyenox Model III (gadget milik Jackal)
  • EE-ONE-D (gadget milik Lion)
  • Cardiac Sensor (gadget milik Pulse)

Dengan memainkan Doktor’s Curse, pemain bisa memperoleh pack Doktor’s Curse Collection yang berisi berbagai item kosmetik bertema horor. Pack ini juga bisa langsung dibeli menggunakan R6 Credits atau Renown. Operator yang mendapat item kosmetik adalah Doc, Smoke, Lesion, Kapkan, Frost, Ela, dan Bandit. Sledge juga mendapat bundel kosmetik, namun khusus untuk Sledge kostumnya harus kita beli lewat Shop.

Berbicara dengan para anggota Rainbow Six: Siege Indonesia Community (R6 IDN), event Doktor’s Curse ini rupanya mendapat penerimaan yang cukup bervariasi. Sebagian ada yang puas, tapi ada juga yang mengaku bosan. “Kurang seru, Pak, walaupun hadiahnya lumayan bagus. Tapi lebih baik Outbreak,” kata member R6 IDN yang bernama Suka Blyat alias Abidzarr.

Outbreak yang dimaksud di sini adalah event lain dalam Rainbow Six: Siege yang muncul pada pertengahan 2018 lalu. Meskipun bukan bertepatan dengan Halloween, Outbreak juga punya nuansa horor karena memiliki tema infeksi zombie di New Mexico. Kabarnya, event Outbreak inilah yang jadi inspirasi Ubisoft untuk mengembangkan game baru, Tom Clancy’s Rainbow Six: Quarantine.

Member R6 IDN lain yang bernama Tachancat juga merasa Doktor’s Curse kurang memuaskan. Alasannya, mode ini bikin bosan bila dimainkan sendirian. Namun ada juga yang merasa sudah puas, seperti member Mamacita alias M. Raihan Akbar.

“Lumayan seru, karena dengan mode ‘hide n seek’ mengingatkanku pada masa kecil di kala belum mengenal game PC. Pack Doktor’s Curse juga sangat unik menampilkan beberapa karikatur yang terkesan thrill,” ujarnya. Sementara itu member Diri_Kau hanya berharap bahwa setelah event ini berakhir, akan ada Operator baru yang memiliki stat seperti Attacker di Doktor’s Curse.

Rainbow Six Cursed Selfie Contest
Rainbow Six Cursed Selfie Contest | Sumber: Ubisoft

Selain event Doktor’s Curse, Ubisoft juga membuka kontes foto yang disebut R6 Cursed Selfie Contest, di mana para pemain diminta untuk mengirimkan swafoto seseram mungkin lewat media sosial. 10 pemenang kontes foto ini berhak mendapatkan seluruh item dari event Doktor’s Curse secara gratis. Bagaimana dengan Anda, apakah Anda sudah mencicipi event Halloween di Rainbow Six: Siege kali ini?

Disclosure: Hybrid adalah media partner Rainbow Six: Siege Indonesia Community (R6 IDN).

 

[Rumor] Overwatch 2 Akan Hadir di BlizzCon 2019, Fokus pada Mode PvE?

Para penggemar Blizzard Entertainment pasti sudah tak asing dengan BlizzCon, festival gaming tahunan yang biasa digelar Blizzard untuk mengumumkan berita-berita terbaru seputar game mereka. Tahun 2018 kemarin acara tersebut sempat menimbulkan kontroversi karena menjadi ajang diungkapnya Diablo Immortal untuk mobile. Lalu bagaimana dengan tahun ini?

BlizzCon 2019 akan digelar pada tanggal 1 – 2 November di Anaheim Convention Center, California. Para penggemar tampaknya punya alasan untuk menyambut acara ini dengan antusias, sebab baru saja ada kabar beredar bahwa Blizzard akan mengumumkan Overwatch 2 di dalamnya. Kabar tersebut datang dari Rod “Slasher” Breslau, konsultan esports ternama yang juga merupakan penulis untuk situs ESPN.

Sumber: Dexerto
Suasana BlizzCon | Sumber: Trending All Day

Slasher berkata bahwa kabar tersebut datang dari sumber terpercaya, dan sejalan dengan laporan Kotaku di tengah tahun bahwa Blizzard memang sedang mengembangkan Overwatch 2. Saat itu Kotaku mengabarkan bahwa Blizzard telah membatalkan sebuah proyek first person shooter bertema StarCraft lalu mengalihkan sumber daya mereka untuk mengembangkan dua game, yaitu Overwatch 2 dan Diablo IV. Namun tentu saja Blizzard belum memberikan konfirmasi resmi.

Slasher juga melaporkan bahwa Overwatch 2 akan memiliki fokus pada elemen PvE (player versus enemy), berbeda dari Overwatch pertama yang sepenuhnya PvP (player versus player). Akan tetapi belum jelas sebesar apa perbedaan porsi PvE tersebut dibandingkan PvP di dalamnya. Mode PvE ini akan memiliki fitur talent dan in-game item, dan bisa dimainkan bersama oleh 4 pemain sekaligus. Rasanya terdengar seperti seri Borderlands, tapi jelasnya kita tunggu saja pengumuman resminya nanti.

Di samping Overwatch 2 yang fokus pada PvE, Overwatch juga akan memperoleh mode baru yang disebut Push. Selama ini Overwatch hanya memiliki empat mode permainan, yaitu Assault, Control, Escort, dan Hybrid. Push akan menjadi mode baru pertama sejak Overwatch dirilis di tahun 2015, dan akan menggunakan map baru dengan basis kota Toronto, Kanada.

Blizzard juga digosipkan akan merilis satu hero baru bernama Echo. Bocoran lain dari seorang pengguna Twitter bernama WeakAuras juga menyebutkan bahwa Blizzard akan mengungkap Diablo IV serta ekspansi baru World of Warcraft berjudul Shadowlands.

Satu hal yang agak membingungkan adalah apakah Overwatch 2 ini akan menjadi game yang benar-benar terpisah ataukah merupakan ekspansi dari Overwatch orisinal. Bukan hal baru bila ada game yang bersifat live service meluncurkan perombakan besar kemudian menyebutnya sebagai sebuah “sekuel”. Dulu Valve pernah melakukannya dengan Dota 2 Reborn, begitu juga Epic Games dengan Fortnite Chapter 2 baru-baru ini. Capcom juga sudah melakukan hal serupa ketika meluncurkan Street Fighter V: Arcade Edition.

Yang jelas, sudah banyak penggemar Overwatch yang menyuarakan perlunya perombakan besar di game ini. Meta yang stagnan, ditambah viewership Overwatch League yang kurang berkembang, adalah beberapa alasan mengapa sebagian orang menganggap bahwa Overwatch sedang “sekarat”. Semoga saja proyek Overwatch 2 ini bisa kembali membuat komunitas bergairah dan mengangkat pamor game tersebut.

Buat Anda yang ingin menonton langsung Live Streaming Blizzcon 2019, HYBRID bekerja sama dengan AKG Games mengadakan giveaway 4 virtual ticket Blizzcon 2019 yang aturan mainnya bisa dilihat di postingan Instagram berikut ini:

Sumber: ESPN, Slasher, Nmia Gaming

PlanetSide 3 Diumumkan, PlanetSide Arena Akan Jadi Batu Pijakannya

Seri PlanetSide memang kurang familier di telinga gamer Indonesia, namun tujuh tahun setelah dirilis, PlanetSide 2 tetap menjadi standar bagaimana shooter berskala raksasa disajikan. Game bahkan berhasil mencetak rekor Guinness ‘pertempuran FPS terbesar’, diikuti oleh 1.158 pemain dalam satu konfrontasi. Dan di penghujung tahun lalu, tim Daybreak menyingkap proyek baru yang tengah mereka godok.

Meski begitu, PlanetSide Arena bukanlah penerus sejati dari PlanetSide 2. Game ini digarap sebagai respons developer terhadap melesatnya kepopuleran genre battle royale. Mereka meraciknya dengan mengadopsi sejumlah elemen esensial khas PlanetSide. Namun baru di minggu lalu Daybreak Game Company angkat suara soal eksistensi dari sekuel PlanetSide 2. Lewat post di situs resmi, developer mengonfirmasi agenda pengembangan PlanetSide 3.

Daybreak Games memang tidak mengungkap banyak detail terkait permainan anyar tersebut. Developer hanya bilang bahwa mereka tahu ekspektasi pemain sangat tinggi. PlanetSide Arena sendiri sengaja dirancang sebagai batu pijakan menuju PlanetSide 3, termasuk pada aspek jalan cerita dan narasi. Arena juga akan dijadikan sarana bagi Daybreak buat bereksperimen dengan fitur-fitur dan cara bermain baru.

Untuk PlanetSide 3, Daybreak membayangkan arena tempur dengan proporsi yang lebih masif. Konflik tidak lagi hanya difokuskan di planet Auraxis (tempat PlanetSide 2 di-setting), dan membawanya ke tingkat galaksi. Tiap-tiap faksi melakukan eksplorasi, mendirikan koloni dan saling menaklukkan. Daybreak belum menyebut faksi apa yang akan hadir di PlanetSide 3, tapi tebakan saya, Anda kemungkinan besar kembali disodorkan pilihan Terran Republic, New Conglomerate dan Vanu Sovereignty.

PlanetSide Arena 2

Sementara itu, PlanetSide Arena sudah bisa Anda nikmati. Game saat ini berada di fase early access, tersedia di Steam sebagai judul free to play. Daybreak juga menawarkan versi berbayar dari Arena, yakni Recruit Edition dan Legendary Edition, masing-masing berisi bonus, skin, banner, kostum serta item-item kosmetik lain.

“Di tahap Early Access ini, kami memfokuskan perhatian pada sejumlah aspek krusial: mengumpulkan saran dan masukan demi memoles sistem permainan, fitur, konten serta kestabilian. Semuanya perlu dilaksanakan secepat mungkin,” tutur executive producer Daybreak Andy Sites. “Target kami sekarang adalah merampungkan proses implementasi fitur dan konten yang kami anggap fundamental, mengeluarkan game dari fase Early Access, kemudian mulai mempromosikannya.”

PlanetSide Arena 3

Walaupun ada dua proyek besar yang tengah dihadapi, studio yang dahulu dikenal sebagai Sony Online Entertainment itu berjanji bahwa mereka tidak akan meninggalkan PlanetSide 2 begitu saya. Daybreak berkomitmen buat terus menambahkan konten secara berkala ke game MMOFPS tersebut.

Overwatch Untuk Switch Hadir Lengkap Dengan Event Halloween Terror

Kehadiran Overwatch untuk konsol Nintendo Switch terbilang sudah cukup diantisipasi oleh para penggemarnya. September 2019 lalu Overwatch diumumkan akan hadir pada konsol Nintendo Switch dalam gelaran Nintendo Direct. Pada 15 Oktober 2019 lalu, Overwatch untuk Nintendo Switch akhirnya hadir dengan nama Overwatch: Legendary Edition.

Untuk versi porting, Blizzard memercayakan pengembangannya kepada Iron Galaxy, yang juga mengembangkan Diablo III untuk Switch. Overwatch versi Switch, walau sama persis dengan versi PC ataupun konsol PS4/Xbox One, tapi punya beberapa fitur tambahan. Salah satunya adalah kemampuan menggunakan sensor gyroscope pada Joy-Con untuk mengendalikan hal-hal seperti: Ultimate milik Junkrat, Rip-Tire, atau pergerakan Hammond si Wrecking Ball saat dalam mode berguling.

Walaupun ini adalah versi porting, namun Anda para penggemar tetap dapat menikmati Overwatch secara penuh di Nintendo Switch. Anda tetap bisa memainkan semua 31 hero dan 28 map dengan berbagai mode serta mendapat 15 skin bonus yang jadi favorit para penggemar, seperti: Police Officer D.Va, Blackwatch Reyes Reaper, ataupun Valkyrie Mercy.

Anda juga tak perlu khawatir untuk bermain secara online, karena pembelian Overwatch: Legendary Edition sudah lengkap dengan keanggotaan Nintendo Switch Online selama tiga bulan untuk perorangan.

Berhubung dirilis pada bulan Oktober, Overwatch: Legendary Edition juga hadir dengan in-game event yang bertajuk Halloween Terror. Event yang satu ini akan hadir mulai dari tanggal 16 Oktober sampai 5 November 2019 mendatang. Anda dapat login setiap harinya dan melakukan berbagai challenge untuk mendapatkan berbagai hadiah skin.

Weekly Challenges pada event Halloween Terror juga terbilang cukup sederhana. Anda cukup main dan menangkan beberapa game untuk mendapatkan berbagai in-game item. Menang 3 game memberikan Anda Player Icon, menang 6 game memberi anda Spray, menang 9 game akan memberi Anda Skin.

Tapi pastikan Anda menyelesaikannya dengan cepat! Berhubung tajuknya adalah Weekly Challenges maka hadiah yang diberikan berubah setiap pekannya, walau misi yang diberikan tetap sama. Week 1 (15-21 Oktober) hadiahnya adalah skin Inferno Junkrat, Week 2 (22-28 Oktober) hadiahnya adalah skin Vampire Baptiste, Week 3 (29 Oktober – 4 November) hadiahnya adalah Demon Hunter Sombra.

Tak hanya itu, Anda juga bisa menikmati custom game khusus Halloween yang bernamakan Junkenstein’s Revenge. Dalam custom game ini sepanjang permainan, Junkenstein mengutus semua monster, semua pasukannya untuk mengalahkan Anda. Sementara Anda sendiri akan bergabung dengan tiga pemain lainnya untuk mempertahankan Adlersbrunn dari semua serangan Junkenstein tersebut.

Untuk informasi lebih lanjutnya Anda bisa pergi ke laman resmi Overwatch berikut ini. Bagaimana? Sudah siap untuk keseruan Overwatch kapanpun dan di manapun?

Riot Pamerkan Fighting Game, Card Game, dan Mobile Game League of Legends

League of Legends pertama kali dirilis pada tahun 2009, dan di bulan Oktober ini, karya Riot Games tersebut akhirnya menginjak ulang tahun yang kesepuluh. Untuk merayakannya, Riot Games mengadakan siaran streaming spesial bernama Riot Pls: 10th Anniversary Edition – League of Legends.

Biasanya, tayangan Riot Pls berisi semacam developer diary di mana Riot mengumumkan perubahan-perubahan baru dalam League of Legends. Namun untuk edisi 10th Anniversary ini, ada beberapa pengumuman yang lebih besar. Apa saja pengumuman itu, simak di bawah.

Mobile game, League of Legends: Wild Rift

Setelah rumor yang cukup lama beredar, akhirnya Riot mengumumkan secara resmi League of Legends versi mobile, dengan judul League of Legends: Wild Rift. Game ini akan dirilis untuk Android, iPhone, dan iPad pada tahun 2020. Riot juga berkata bahwa League of Legends: Wild Rift akan meluncur ke console, tapi mereka tidak memberi tahu kapan dan console apa yang dimaksud.

League of Legends: Wild Rift memiliki tampilan grafis dan gameplay yang kurang lebih sama dengan versi desktop, namun didesain untuk selesai lebih cepat (sekitar 15 – 20 menit). Tidak ada dukungan cross-play antara versi mobile/console dengan desktop, namun keduanya menggunakan akun yang sama. Perbedaan konten (hero atau skin) dan antarmuka juga akan terjadi, namun itu hal yang wajar.

Teamfight Tactics versi mobile

Teamfight Tactics alias TFT pada awalnya dikembangkan karena para developer di Riot Games menyukai Auto Chess dan mereka ingin menciptakan game serupa dengan sentuhan mereka sendiri. Namun ternyata TFT meraih popularitas yang sangat besar, dan kini dijadikan sebuah mode permanen dalam League of Legends. Ke depannya, Riot Games akan terus memberi update yang disebut seasonal set, di mana sejumlah hero, item, dan elemen gameplay lainnya akan dirotasi setiap beberapa bulan sekali.

Pengumuman besar lainnya adalah perilisan TFT sebagai game terpisah untuk platform mobile. Menurut Riot, proyek ini diluncurkan karena tingginya permintaan penggemar. TFT versi mobile akan meluncur untuk Android dan iOS pada tahun 2020, didahului dengan versi beta pada bulan Desember 2019 nanti.

Competitive card game, Legends of Runeterra

Satu lagi judul yang sudah lama menjadi gosip di komunitas League of Legends, adalah Legends of Runeterra. Banyak spekulasi mengenai apa sebenarnya game ini, rumor yang paling kuat adalah bahwa Legends of Runeterra merupakan sebuah MMORPG. Tapi rupanya spekulasi itu salah. Legends of Runeterra adalah game kartu kompetitif dengan latar belakang dunia League of Legends yang disebut Runeterra.

Legends of Runeterra mengambil inspirasi dari berbagai daerah di dunia Runeterra, seperti Demacia, Noxus, Zaun, Shadow Isles, dan lain-lain. Jadi Anda akan menemui hero ataupun elemen-elemen gameplay lain yang berhubungan dengan daerah tersebut. Menariknya, Riot berkata bahwa Anda tidak perlu membayar untuk membuka pack berisi kartu acak dalam game ini, tidak seperti card game kebanyakan.

Legends of Runeterra
Sumber: Riot Games

Fighting game, Project L

Fighting game yang satu ini sudah diungkap oleh Tom Cannon dalam acara EVO 2019 lalu, tapi baru sekarang kita bisa melihat penampakan resminya. Untuk sementara Riot belum memberi judul final, jadi fighting game ini dikenal dengan nama Project L saja.

Riot mengembangkan Project L setelah mereka mengakuisisi Radiant Entertainment, perusahaan yang merupakan developer dari fighting game Rising Thunder. Tom Cannon, selain merupakan salah satu founder EVO, juga merupakan founder Radiant Entertainment. Melalui kicauan di Twitter, Cannon berkata bahwa game ini masih jauh dari rilis, bahkan belum bisa disebut veri alpha, jadi kita masih akan menunggu lama.

Project L
Sumber: Riot Games

Seri animasi, Arcane

Satu lagi produk baru yang diumumkan oleh Riot Games adalah serial animasi berjudul Arcane. Serial ini dibuat dengan target pasar penggemar League of Legends dari usia remaja hingga dewasa, dan akan mengambil inspirasi dari lore League of Legends yang sudah ada selama ini. Akan tetapi belum jelas seperti apa cerita pastinya.

Riot mengembangkan Arcane bersama studio Fortiche Productions, yaitu studio yang juga menangani pembuatan video klip musik K/DA. Mereka juga yang menciptakan trailer untuk Worlds 2018, trailer untuk game Agents of Mayhem, dan banyak lagi. Arcane akan tayang melalui platform streaming, namun belum ada pengumuman pasti platform apa yang dimaksud.

Project A dan Project F yang misterius

Masih ada dua produk lagi yang diungkap oleh Riot Games, namun info untuk keduanya masih cukup minim. Pertama yaitu Project A, sebuah game bergenre tactical shooter kompetitif. Game ini memiliki latar dunia yang lebih realistis, jadi tampaknya tidak akan begitu berhubungan dengan League of Legends. Dengan karakter-karakter yang memiliki kemampuan khusus, bisa dibayangkan bahwa Project A akan menjadi saingan Overwatch.

Project A
Sumber: Riot Games

Kedua yaitu Project F, game yang hanya diungkap sekilas dalam siaran streaming Riot Pls. Menurut laporan Polygon, Riot mendeskripsikan game ini sebagai “proyek yang mengeksplorasi kemungkinan bertualang di dunia Runeterra bersama teman-teman”. Jadi tampaknya Riot ingin menciptakan RPG online, mungkin dengan gaya serupa Diablo. Tapi belum ada info lebih lanjut.

Project F
Sumber: Riot Games

Demikian rentetan pengumuman menarik dari Riot Games dalam perayaan ulang tahun kesepuluh League Legends. Bila semuanya benar-benar terwujud, maka League of Legends akan menjadi IP yang sangat besar, dan bisa menarik penggemar dari pasar genre selain MOBA.

Tentu saja mereka harus menghadapi saingan berat dari judul yang sudah ada, Hearthstone dan Street Fighter misalnya. Valve sudah pernah mencoba ekspansi serupa dengan game Artifact, tapi kita tahu bahwa hasilnya tidak memuaskan. Apakah Riot Games bisa meraih hasil yang lebih baik, atau hanya akan mengulang kesalahan serupa? Kita tunggu saja tanggal mainnya.

Sumber: Riot Games, Polygon, Tom Cannon