Review ASUS ROG Chakram Core: Solusi Ideal Buat Masalah Doble Klik

Faktanya, tidak sedikit mouse gaming yang terjangkit penyakit paling menyebalkan buat para gamer meski baru beberapa bulan digunakan: doble klik. ASUS ROG pun nampaknya menyadari masalah ini dan menawarkan solusi yang ideal. Seingat saya, semua mouse dari ASUS ROG menawarkan fitur yang ajaib tersebut yaitu hotswappable switches — termasuk ROG Chakram Core yang akan saya ulas kali ini.

Seperti biasanya, saya harus mengatakan bahwa setiap review gaming peripheral selalu subjektif. Pasalnya, setiap kita punya ukuran tangan (atau kepala dan telinga untuk headset/headphone), kebiasaan, ataupun pengalaman yang berbeda-beda. Ukuran tangan, misalnya, akan sangat berpengaruh terhadap kenyamanan mouse yang Anda gunakan. Di sisi lain, ekspektasi kita juga akan berubah seiring dengan seberapa banyak pengalaman yang kita punya.

Sebagai justifikasi atas review kali ini, selain memang sudah mencoba puluhan gaming peripheral sepanjang karier saya di media game selama 12 tahun lebih, saya sendiri memang punya masalah dengan belanja impulsif untuk gaming peripheral. Saat ini, saya bahkan punya 6 mouse dan 5 keyboard (bertambah 1 dari review saya sebelumnya wkwkwk).

Satu lagi, berbeda seperti kebanyakan review saya sebelumnya yang saya beli sendiri, ASUS Indonesia yang mengirimkan ROG Chakram Core ini. Meski begitu, hal tersebut tidak akan mengubah penilaian saya.

Tanpa basa-basi lagi, inilah review ASUS ROG Chakram Core.

 

Build Quality

Berhubung ASUS ROG adalah brand jeroan yang mengenalkan lini gaming pertama di dunia, yang dikenalkan sejak 2006, saya kira mereka sudah paham betul bagaimana menawarkan produk dengan kualitas yang bisa diacungi jempol. Tidak terkecuali Chakram Core kali ini.

Dokumentasi: Hybrid
Dokumentasi: Hybrid

Bodi utamanya sangat solid dengan finishing yang istimewa. Sayangnya, bodi atas mouse ini mungkin sedikit terlalu tipis — mungkin karena Chakram Core menyuguhkan opsi bodi atas yang bisa dibuka dengan mudah hanya dengan tangan Anda. Saya pribadi tidak ada masalah dengan keputusan itu karena saya belum pernah barbar membanting mouse dalam kondisi apapun. Plus, dengan bodi atas yang bisa dibuka tadi, Anda bisa dengan mudah mengganti switch mousenya ataupun membersihkannya. Pasalnya, saya sendiri lebih sering bermasalah dengan mouse yang kotor ketimbang mouse yang rusak karena dibanting atau dilempar.

Selain itu, bodi atas yang bisa dibuka tadi semi transparan atau frosted — istilah gaulnya. Jadi, Anda bisa melihat cahaya lampu di bawah bodi atas tadi. Di bawah bodi atas ini, ada lampu yang juga ditutupi plastik berlogo ROG. Jika Anda mau, Anda bisa melepas plastik itu untuk menghilangkan logo ROG. Jika di ROG Chakram (yang wireless), Anda akan mendapatkan satu buah plastik bulat tambahan tanpa gambar yang bisa Anda hias sendiri. Sayangnya di versi Chakram Core ini (wired), ROG tidak memberikan bonus tersebut.

Selain bodi mouse, tentu saja switch yang digunakan menjadi bagian krusial dari mouse gaming. Chakram Core menggunakan switch Omron — yang sepengalaman saya, sering terjangkit dengan doble klik. Namun demikian, seperti yang saya tuliskan sebelumnya, semua mouse ROG menyuguhkan fitur hotswappable switch. Jadi, kalaupun satu saat mouse Anda sudah doble klik, Anda bisa menggantinya dengan cepat dan mouse Anda akan terasa kembali seperti baru.

Switch Omron bisa Anda beli terpisah dengan harga belasan ribu Rupiah (saat artikel ini ditulis). Separah-parahnya jari Anda menggunakan mouse ini sehingga harus ganti switch sebulan sekali, ongkos yang harus Anda keluarkan dalam setahun masih sangat murah — dibanding Anda harus membeli mouse gaming baru setiap tahun.

Dokumentasi: Hybrid
Dokumentasi: Hybrid

Oh iya berbicara soal hotswappable switch, di paket penjualan ROG Chakram yang wireless, Anda akan mendapatkan bonus switch juga (2 buah jika saya tidak salah ingat). Namun di Chakram Core, Anda tidak akan mendapatkan bonus switch tambahan. Meski begitu, saya rasa hal ini juga tidak jadi masalah yang berarti mengingat harga switch mouse memang murah meriah.

Untuk urusan build quality, plus hotswappable switch-nya, saya kira Chakram Core bisa dibilang sebagai salah satu yang terbaik yang pernah saya pakai — mengingat kita harusnya tidak akan pernah ganti gaming mouse lagi hanya gara-gara doble klik.

 

Performa dan Kenyamanan

Sumber: Asus.com
Semua yang bisa Anda dapat dari paket penjualan Chakram Core. Sumber: rog.asus.com

Dari sisi kecepatan, switch Omron memang sebenarnya sudah sangat ideal. Switch ini memang begitu ringan sehingga memungkinkan Anda bereaksi dengan cepat. Meski begitu, seperti yang saya bilang, semua mouse saya yang doble klik menggunakan switch Omron. Makanya, solusi hotswappable switches itu memang sangat menggoda. Anda tetap bisa merasakan klik yang cepat namun Anda tak perlu lagi khawatir dengan durabilitasnya.

Di Chakram Core ini, ROG juga menyuguhkan satu pemberat yang bisa dipasangkan jika Anda merasa mousenya terlalu ringan. Sayangnya, pemberat ini kurang signifikan — saya masih merasa mouse ini terlalu ringan. Namun, saya pikir bobot mouse ini tak terlalu krusial karena semua mouse yang pernah saya coba masih ada dalam batas wajar, termasuk Chakram Core. Satu hal yang lebih penting dari bobot mouse adalah bentuk dan ukurannya, yang akan sangat berpengaruh pada kenyamanan kita menggunakannya — yang akhirnya berpengaruh pada performa kita.

Chakram Core cukup ideal buat tangan saya yang berukuran sedang, lebarnya pas meski sedikit terlalu panjang. Sebagai perbandingan, Razer Naga Pro buat saya sedikit terlalu pendek dan buntek meski masih nyaman digunakan. Sedangkan Chakram Core mungkin lebih mirip bentuknya dengan Razer Basilisk V2 yang lebih lonjong.

Untuk sensornya, mouse ini dibekali dengan sensor yang mendukung 100 sampai 16.000 DPI dan 400 IPS (inches per second). Meski menurut saya sensitivitas itu memang hiperbolis layaknya gaming mouse kebanyakan karena, saya yang tadinya sempat menggunakan 2000-5000 dpi saja, akhirnya kembali menggunakan 800-1000 dpi. Namun demikian, saya tidak menemukan masalah apapun saat menggunakannya. Meski memang sebenarnya sudah jarang sekali saya menemukan mouse gaming dengan sensor yang terlalu licin atau terlalu lambat untuk produk-produk yang ada di pasaran sekarang.

 

Programmable Joystick

Dokumentasi: Hybrid
Dokumentasi: Hybrid

Inilah fitur paling unik dari ROG Chakram Core (termasuk versi wireless-nya). Ia dilengkapi dengan joystick yang ada di sisi kiri bodi. Letaknya cukup nyaman dan terjangkau meski tak semuanya sama-sama ideal. Untuk arah depan, atas, dan bawah, saya bisa menjangkaunya dengan cepat tanpa perlu menyesuaikan posisi tangan. Namun untuk arah belakang (ditarik ke arah pengguna), saya harus sedikit menyesuaikan diri. Meski begitu, Chakram Core juga menyediakan 2 tombol lagi di bodinya yang mudah terjangkau. Jadi, mouse ini juga sangat cocok untuk para pemain RPG seperti saya yang butuh banyak tombol.

Joystick-nya juga bisa digunakan untuk mode analog, menggantikan fungsi analog di gamepad. Meski berfungsi dengan baik (walau sedikit repot karena harus mengubah settingan di Steam di setiap game), sayangnya, menurut saya, butuh adaptasi yang terlalu panjang untuk bisa memanfaatkan fitur analog ini dengan cepat. Alasannya, kita sudah jauh terbiasa menggunakan tangan kiri untuk arah bergerak– baik sedang menggunakan keyboard ataupun gamepad (analog kiri). Di sisi lain, untuk analog kanan, yang biasanya digunakan untuk mengubah kamera atau aiming, fungsi default mouse jauh lebih nyaman dan cepat.

Jadinya, saya rasa joystick ini lebih berguna buat tambahan tombol yang bisa Anda gunakan untuk makro ataupun tombol lainnya — ketimbang mode analog-nya.

 

ROG Armoury Crate

Screenshot: Armoury Crate
Screenshot: Armoury Crate

Jika saya harus mencari kekurangan terbesar dari Chakram Core, anehnya, kekurangan tersebut datang dari software-nya — mengingat saya suka semua aspek dari fisiknya. Kekurangan tersebut juga membuat saya jadi sedikit enggan menggunakan mouse ini.

Pertama, saya sempat bermasalah saat menginstal software Armoury Crate. Apapun yang saya lakukan, software tersebut stuck saat startup. Saya bahkan menghabiskan waktu 2 jam hanya untuk mencoba berbagai cara. Meski sudah habis 2 jam, saya pun tak berhasil membuat software ini berjalan. Akhirnya, saya pun terpaksa Reset PC (kalau dulu istilahnya install ulang Windows). Setelah saya melakukan reset tadi, barulah software-nya berjalan dengan normal.

Setelah berjalan normal saya pun bisa menjajal banyak hal dari software tersebut. Buat saya, Armoury Crate sangat tidak efisien karena juga mengatur setting berbagai komponen lainnya — seperti RGB yang terkait dengan motherboard (jika Anda punya motherboard ASUS) dan RGB memory untuk brand-brand yang didukung. Mungkin karena software ini mengatur banyak jeroan lainnya juga, makanya saya tidak berhasil menginstall-nya sebelum Reset PC (bisa jadi konflik dengan software lainnya).

Armoury Crate juga dijejali fitur yang bagi saya kurang penting, seperti daftar game-game yang terinstall, berita, ataupun deals. Sedihnya, justru fitur yang lebih penting malah tidak berjalan dengan baik di sini. Fungsi macro ‘Auto-Walk’ (tahan ‘W’) selalu saya gunakan di semua peripheral saya — karena saya gamer malas. Ada 2 cara yang biasa saya lakukan untuk mendapatkan fungsi tersebut.

Screenshot: Armoury Crate
Screenshot: Armoury Crate

Cara pertama, yang bisa dilakukan di Razer Synapse misalnya, membuat satu tombol atau makro jadi ‘toggleable’. Jadi Anda pencet satu kali untuk mengaktifkan fungsi tahan ‘W’ dan pencet sekali lagi untuk mematikan fungsi itu. Di Armoury Crate, ada fungsi ‘toggleable’ sebenarnya namun hasilnya malah aneh. Di Razer Synapse, jika Anda menggunakan fungsi tersebut, software-nya akan menerjemahkan seolah Anda menahan tombolnya. Misalnya, W…… dan seterusnya sampai dipencet lagi tombol yang sama. Namun di Armoury Crate, softwarenya akan menerjemahkan seolah Anda memencet tombol berkali-kali. Seperti, ‘wwwwwwwww’. Di fungsi teks, hasilnya memang akan sama tapi di game jika Anda memencet tombol movement berkali-kali (bukannya ditahan); karakter Anda seperti sedang kejang-kejang.

Cara lainnya untuk mengaktifkan fungsi Auto Walk adalah dengan menghapus fungsi lepas tombol. Jika Anda merekam input key, program macro biasanya akan merekam kapan saat tombol dipencet dan kapan dilepas. Saya biasanya menghilangkan input saat tombol dilepas di urutan/sequence makro. Jadinya, Anda seperti membohongi PC seolah masih menekan tombol padahal tidak. Sayangnya, jika Anda menggunakan trik ini di Armoury Crate, software-nya malah CTD (Crash to Desktop) atau hang.

Kekurangan dari sisi software ini sangat disayangkan sebenarnya karena saya suka sekali dengan fisik/hardware Chakram Core — tapi saya juga tidak bisa hidup tanpa software rebinding dan makro yang baik. Di sisi lain, seperti yang saya tuliskan tadi, karena Armoury Crate ini komprehensif dan bisa terhubung dengan banyak jeroan ASUS ataupun brand memory lainnya; Anda bisa mendapatkan satu software terintegrasi yang bisa mengatur banyak komponen.

Sayangnya, jika Anda tidak menggunakan jeroan ASUS, software-nya jadi kurang efisien jika hanya untuk gaming peripheral. Semoga saja, ASUS mau merilis versi Armoury Crate yang lebih efisien (khusus untuk gaming peripheral saja) dan memperbaiki error yang saya ceritakan tadi saat bermain-main dengan makro.

 

Kesimpulan

Jujur saja, saya dilema dengan mouse ini. Di satu sisi, bodi dan fitur fisiknya ideal buat saya. Ada 6 tombol (4 dari joystiknya) yang programmable di bodi kiri mouse, mudah dibersihkan, dan imun terhadap penyakit doble klik — siapkan beberapa mouse switch cadangan dan Anda tak perlu risau lagi dengan masalah itu.

Sumber: Asus.com
Sumber: rog.asus.com

Tapi di sisi lain, software-nya masih banyak sekali kekurangan karena tidak efisien dan fungsi makro-nya bermasalah. Kekurangan software ini buat saya deal-breaker karena saya benar-benar suka bermain-main dengan software gaming peripheral.

Meski begitu, saya kira software akan lebih mudah diupdate satu saat nanti — asalkan memang mau dan saya tahu ASUS sendiri juga harusnya punya kapabilitas untuk itu. Selain itu, saya tahu bahwa sebagian besar gamer juga tak terlalu butuh dengan software untuk gaming peripheral mereka.

Jadi, jika Anda benar-benar sudah jengah dengan masalah doble klik dan ingin mouse dengan tombol yang cukup banyak namun tak (terlalu) butuh software, ROG Chakram Core sungguh layak dipertimbangkan untuk jadi mouse gaming baru Anda.

Review Razer Naga Pro: Fitur Segudang dengan Bodi Istimewa Meski Kurang Sempurna

Sama seperti Razer Blackwidow V3 yang saya bahas sebelumnya, saya juga punya kenangan lama bersama Razer Naga. Saya juga dulu sempat mengulas versi pertama dari Razer Naga yang dirilis di 2009.

Kala itu, mouse Razer masih dikenal dengan masalah double-click-nya tapi, karena saya sangat menyukai dan membutuhkan banyak tombol (karena saya memang penggemar RPG dari dulu), saya punya 3 buah Razer Naga. Dulu, saya selalu beli Razer Naga baru saat yang lama sudah double-click sampai 3x.

Namun kemudian saya kapok… Wkwkwkwkwkw… Saya pun melewatkan Razer Naga dari versi kedua karena saya sudah malas berurusan dengan double-click. Beberapa tahun berselang, Naga Pro pun dirilis dan Razer sudah punya switch optical di versi ini. Apakah Naga Pro kali ini memang layak dibawa pulang? Mari kita bahas bersama.

 

Build Quality

Dokumentasi: Hybrid
Dokumentasi: Hybrid

Seperti yang saya bilang tadi, mouse Razer generasi dulu memang kerap kali punya masalah double-click. Untungnya, mereka sudah menyadari kelemahan tersebut dan membuat switch baru. Sebelum saya membeli Naga Pro ini, saya menggunakan Razer Basilsk V2 yang juga menggunakan optical switch dan masih bagus sampai hari ini — tanpa double-click sama sekali.

Jadi, begitu saya melihat Naga Pro juga sudah menggunakan optical switch itu, saya pun tak sabar untuk membelinya. Semoga saja, saya bisa menggunakannya tanpa masalah switch sama sekali sampai saya bosan dengan mouse ini. Seperti yang lainnya, saya akan mengupdate review ini saat mendapati masalah dengan Naga Pro saya.

Selain switch, bodi plastik yang digunakan di Naga Pro juga sangat solid — terasa tebal dan tidak ringkih. Saya juga sangat suka finishing yang digunakan Razer. Sangat halus dan tidak glossy sehingga tidak licin buat tangan saya yang sering berkeringat.

Dari 6 mouse yang saya miliki (Razer Basilisk V2, Logitech G703, SteelSeries Rival 500, ROG Strix Claw, Razer Naga Pro, Dareu EM 901), baik Razer Naga Pro ataupun Basilisk V2 memiliki build quality terbaik. Kualitas fisik yang baik dari Naga Pro dan Basilisk V2 itu sungguh layak diacungi jempol meski keduanya berada di kisaran harga yang terpaut jauh. Naga Pro dibanderol dengan harga Rp2,4 jutaan. Sedangkan Basilisk V2 dibanderol di kisaran Rp1,4 jutaan.

Sungguh, saya tidak bisa komplain apapun soal build quality-nya (tidak seperti keyboard mereka, Blackwidow V3). Kalaupun ada catatan, saya hanya berharap Razer mau menerapkan standar build quality mouse mereka sekarang yang istimewa ke keyboardnya juga.

 

Performa dan Kenyamanan

Dokumentasi: Hybrid
Dokumentasi: Hybrid

Saya menggunakan dua mousepad saat saya menggunakan Naga Pro (Odin Gaming Zero Gravity dan Ducky Flipper Extra R). Dengan kedua mousepad tersebut, saya tidak merasakan masalah akurasi ataupun kecepatan sama sekali — meski, penting dicatat, saya bukan pemain FPS atau MOBA hardcore. Sensornya cukup cepat namun tidak licin saat saya gunakan untuk aiming. Gliding dengan Naga Pro juga terasa mulus.

Naga Pro memiliki bodi yang buntek — terlihat jelas jika dibandingkan dengan Basilisk V2 yang lebih lonjong. Karena itu, Naga Pro mungkin akan sedikit kekecilan bagi Anda yang bertangan besar. Buat yang bertangan sedang, bentuk Naga Pro akan sangat nyaman digunakan. Ia memiliki lekukan di bodi samping sebelah kanan yang enak untuk menaruh jari manis Anda. Menariknya, bagi Anda yang bertangan kidal, Razer juga punya Naga Left-Handed edition — meski fiturnya tidak sekaya Naga Pro ini (yang akan kita bahas di bagian selanjutnya).

Sayangnya, jika kita berbicara soal kenyamanan, side-buttons dari Naga Pro ini terlalu ringan/sensitif. Jadinya, saya sering memencet tombol-tombol yang ada di sisi kiri bodinya tanpa sengaja. Awalnya, saya bingung kenapa saya jadi sering memencet tombol-tombolnya tanpa sengaja di Naga Pro. Padahal, di Naga versi pertama dulu, saya masih ingat betul saya tak pernah mengalami hal tersebut. Saya pun ingat tombol-tombol di bodi kirinya dulu tidak seringan ini dan malah cenderung keras.

Dokumentasi: Hybrid
Dokumentasi: Hybrid

Namun tombol yang keras di bodi samping itu justru bisa membuat ibu jari saya sengaja memberikan tekanan lebih saat saya ingin memencetnya. Di versi yang dulu, Anda yang menentukan apakah ingin mengangkat mouse (nge-grip) atau menekan tombol. Dengan Naga versi dulu, saya bisa mengangkat mouse meski ibu jari saya di atas side-button tanpa memencet tombol tersebut. Sedangkan tombol yang sekarang sedikit disentuh pun sudah keluar… Eh… Kepencet.

Untungnya, di Naga Pro, Razer menyertakan 3 versi bodi samping dengan jumlah tombol yang berbeda. Saat ini, karena sering kepencet tadi, saya jadi harus menggunakan side body dengan 6 tombol — bukan yang 12 tombol yang jadi ciri khas Naga. Meski tetap disayangkan namun setidaknya Razer memberikan pilihan dengan Naga Pro. Sayangnya, lokasi 6 tombol di versi side body yang ini kurang intuitif letaknya. Saya lebih suka layout yang digunakan di Naga Hex dulu yang sama-sama punya 6 tombol. Jadi, saat ini saya sedikit dilema. Layout 12 tombolnya sebenarnya sangat intuitif dan tidak butuh waktu lama untuk beradaptasi. Sayangnya, karena tombolnya terlalu ringan dan memenuhi side body bagian tengah, Anda jadi harus berlatih bagaimana menghindari accidental press. Sebaliknya, layout dengan 6 tombolnya memang lebih nyaman untuk gripping namun letaknya kurang intuitif — sehingga Anda juga masih harus beradaptasi mengidentifikasi tombol mana yang Anda sentuh tanpa harus melihatnya.

Dokumentasi: Hybrid
Dokumentasi: Hybrid

Razer Naga juga menyertakan satu varian side body lagi yang hanya berisikan 2 tombol. Versi 2 tombol ini layoutnya standar seperti yang sering digunakan di kebanyakan mouse gaming. Jadi, harusnya Anda tak perlu beradaptasi panjang. Namun, buat apa juga Anda membeli Naga Pro jika hanya butuh 2 tombol di bodi samping — Basilisk V2 ataupun seri lainnya dari Razer lebih cocok untuk kebutuhan tersebut.

 

Fitur Razer Naga Pro

Dengan banderol harga yang cukup premium, Razer Naga Pro dijejali dengan segudang fitur. Pertama, Naga Pro dapat digunakan dengan ataupun tanpa kabel. Buat Anda yang suka terlalu liar dengan pergerakan mouse, fungsi wireless-nya akan sangat berguna. Saat saya menggunakannya tanpa kabel versi HyperSpeed (2.4GHz) saya tidak merasakan masalah lag atau apapun — meski begitu, penting dicatat, saya tidak terlalu lama menggunakannya dalam mode wireless karena saya memang lebih suka menggunakan kabel. Saya tidak sempat menjajal versi wireless dengan Bluetooth karena, uhm, kalau ada versi yang canggih kenapa saya harus pakai yang kuno? Plus saya tidak punya Bluetooth adapter buat desktop saya dan Razer hanya menyertakan dongle 2.4GHz (tak ada dongle Bluetooth dalam paket penjualannya).

Naga Pro (Kiri) dan Basilisk V2 (Kanan). Dokumentasi: Hybrid
Naga Pro (Kiri) dan Basilisk V2 (Kanan). Dokumentasi: Hybrid

Untuk baterainya, Razer mengklaim dengan mode Bluetooth, ia bisa bertahan hingga 150 jam. Sedangkan dengan menggunakan versi 2.4GHz-nya, Naga Pro diklaim bisa bertahan sampai dengan 100 jam. Berhubung memang terlalu lama, saya tidak mengujinya sendiri daya tahan baterainya. Wkkwkwk… Jujur saja, saya beli Naga Pro bukan karena konektivitas wireless-nya. Oh iya, Naga Pro juga bisa di-charge dengan menggunakan Razer Mouse Dock Chroma. Sayangnya, aksesoris ini dijual terpisah dengan harga Rp750 ribuan.

Seperti yang saya bilang di bagian sebelumnya, Razer Naga Pro juga dibekali dengan 3 varian side body. Saya tidak akan bahas lagi soal ini namun di bagian ini saya lebih ingin menekankan bahwa selain fitur wireless, Naga Pro juga menawarkan 3 side body. 3 varian side body itu tidak ada di Naga X — versi Naga yang sudah menggunakan optical switch namun dengan fitur yang lebih terbatas seperti wired only dan side body yang tak bisa diganti. Untungnya, saya membeli yang Naga Pro karena saya jadi punya opsi ke 6 tombol.

Jadi, buat Anda yang khawatir apakah akan cocok dengan versi 12 tombolnya, Naga Pro bisa jadi pilihan Anda juga karena ia bisa dikustomisasi dengan sangat mudah.

Razer Synapse 3.0
Razer Synapse 3.0

Terakhir, fitur krusial yang membuat saya menyukai produk Razer adalah Razer Synapse. Software besutan Razer untuk semua peripheral mereka adalah yang paling lengkap dan intuitif dari semua software lainnya yang pernah saya coba (dari Logitech G Hub, SteelSeries Engine, software dari Tecware, ataupun iCue dari Corsair) — meski mungkin memang saya paling lama bermain-main dengan Synapse ketimbang software lainnya yang saya sebut tadi.

Saya sempat memberikan alasan yang lebih detail kenapa saya sangat menyukai Razer Synapse saat saya menuliskan review untuk Blackwidow V3. Anda bisa membacanya di sana karena saya malas menuliskannya lagi… Wkwkawkwk…

 

Kesimpulan

Dokumentasi: Hybrid
Dokumentasi: Hybrid

Jadi, jika saya ditanya apakah Razer Naga Pro ini mampu memberikan manisnya pengalaman yang sama seperti saat pertama kali saya mencoba Naga generasi pertama? Sayangnya, tidak 100% karena tombol-tombol di side body-nya terlalu gampang kepencet dan saya sudah sekitar 1 bulan lebih menggunakannya namun masih belum beradaptasi dengan sempurna. Untungnya, Naga Pro memang dibekali dengan varian side body dengan 6 tombol yang memang sempurna di tengah-tengah (cukup banyak tombol tapi tak akan bermasalah dengan accidental press). Sayangnya, layout 6 tombol ini kurang intuitif buat saya jadi saya tetap harus beradaptasi lagi.

Akhirnya, Naga Pro adalah mouse dengan segudang fitur dan build quality yang sempurna sepadan dengan banderol harganya yang premium. Sayangnya, kemampuan Anda beradaptasi menggunakan mouse tetap harus diuji jika ingin menggunakan Naga Pro — meski ia memiliki beberapa opsi side body.

Mencoba Singkat Headphone Gaming Logitech Wireless G733

Berbicara tentang headphone, aksesoris yang satu ini menjadi salah satu bagian terpenting di era gamingstreaming dan konten kreator dewasa ini. Headphone tidak hanya harus bisa menjalankan fungsi standar tetapi juga harus punya beberapa faktor lain untuk bisa menjadi pilihan penggung. Logitech G733 memiliki beberapa elemen untuk bisa jadi pilihan pengguna.

Logitech G733 sejatinya adalah perangkat headphone wireless yang dilengkapi dengan detachable mic. Headphone ini juga dilengkapi lampu RGB di pinggir earcup untuk mereka yang doyang dengan elemen gaming. Kita bahas desain terlebih dahulu.

Logitech G733

 

Bahas desain

Dari departemen desain, headphone ini menurut saya menitikberatkan pada bobotnya yang ringan, sehingga desain yang disediakan juga mendukung hal tersebut. Mulai dari bahan yang dipilih yang mostly plastik, lalu desain headrest sampai dengan model headband headphone yang menggunakan bahan berbalut fabric yang elastis. Gabungan dari elemen perangkat ini memberikan kesan ringan yang cukup kentara.

Untuk urusan elemen gaming, Anda yang suka tambahan fitur RGB bisa menikmati lampu warna-warni yang bisa diatur lewat software yang letaknya di sisi pinggir depan earcup. Letaknya cukup menarik karena tidak terlalu mencolok dan cukup nge-blend dengan keseluruhan desain.

 

Lalu untuk desain earcup, headphone ini membawa jenis over the ear sehingga semua telinga kita tertutup. Pilihan yang paling masuk akal untuk headphone gaming karena akan lebih nyaman dipakai lama serta bisa memberikan pengalaman suara yang lebih terasa full.

Earpad-nya sendiri cukup empuk dan nyaman digunakan, Logitech menyebutkan bahwa memory foam yang disediakan ada dua layar untuk memberikan kesan lembut dan mengikuti kontur wajah. Oh ya, Logitech menyebut headband G733 ini dengan istilah suspension strap headband, bisa di adjust dan tentu saja elastis mengikuti lebar kepala.

Elemen desain lain yang juga masuk dalam fitur utama di perangkat ini adalah mic yang bisa dilepas – pasang, bisa disesuaikan jarak dengan mulut serta hadir dengan desain yang cukup modern futuristik. Cocok dengan keseluruhan desain headphone yang juga modern futuristik. Meski bahan utamanya plastik.

Logitech G733

Untuk button, terletak di bagian bawah salah satu sisi earpad, termasuk colokan untuk mic dan colokan usb type C untuk mengisi daya. Untuk urusan wireless, tersedia dongle yang bisa dicolokan ke colokan USB di laptop, PC atau PS untuk memungkinkan headphone terkoneksi tanpa kabel. Logitech dalam situsnya menyebutkan bahwa jarang maksimal yang bisa didukung perangkat ini adalah 20 meter.

Pengalaman penggunaan

Kita beralih ke pengalaman fitting. Jika harus disimpulkan dalam beberapa kalimat saya akan memilih, nyaman tetapi kurang berat. Bisa jadi ini masalah selera, tetapi saya tidak terlalu suka dengan headphone yang terlalu ringan. Ada kesan kurang premium dari headphone yang terlalu ringan. Tetapi jika Anda ingin mencari headphone ringan dan nyaman, G733 ini bisa jadi pilihan. Earpad fabric yang cukup empuk serta over the ear yang juga memberikan nuansa nyaman tertentu. Untuk urusan headband juga serupa, pilihan karet memang cukup memberikan kenyamanan karena akan langsung mengikuti ukuran kepala. Meski demikian, karena saya berangkat dari penyuka headphone khusus audio, headband model seperti ini paling saya hindari. Tapi tentu saja ini kembali lagi masalah selera.

Selanjutnya kita akan membahas singkat tentang suara. G733 memiliki kualitas suara yang cukup baik. Salah satu fitur yang cukup menyenangkan di perangkat ini adalah surround sound.

Logitech G733

Logitech menyematkan teknologi DTS Headphone:X 2.0. Suara yang dihasilkan bisa dari hampir segala arah, menjadikan pengalaman mendengarkan lewat headphone ini semakin nyaman. Dengan perangkat lunak pendukung (Logitech G Hub) Anda bisa menguji dan mengukur volume-volume dari 7 sisi, memberikan pengalaman surround yang seru.

Dalam pengaturan di perangkat lunak Anda juga bisa memilih dengan mudah template pengaturan untuk berbagai keperluan, misalnya game FPS atau entertainment, sports dan tentu saja musik juga dengan pengaturan EQ yang bisa diatur sendiri sesuai preferensi. G733 juga bekerja sama dengan BLUE VO!CE untuk urusan input suara. Anda bisa menggunakan filter dari Blue VO!CE untuk berbagai kegiatan misalnya streaming.

Salah satu ciri khas dari perangkat gaming adalah perangkat lunak pendukung untuk melakukan kustomisasi. Anda bisa melakukan berbagai pengaturan G733 lewat aplikasi Logitech G Hub. Beberapa diantaranya telah saya sebutkan di atas, yaitu pengaturan template suara surround untuk berbagai aktivitas seperti gaming, mendengarkan audio sports atau entertainment. Pengaturan EQ juga bisa dilakukan dan tentu saja lampu RGB di headphone juga bisa diatur sesuai keinginan.

Logitech G733

Kesimpulan

Secara overall, headphone G733 adalah headphone yang cukup menarik. Ringan, earpad nyaman, wireless dan dukungan perangkat lunak yang cukup. Kualitas audio juga cukup baik. Namun di sisi lain, bahan utama plastik, earpad housing yang tidak fleksibel, model headband elastis dan model yang terasa kaku dan kopong mungkin akan merusak selera pengguna tertentu.

Dengan harga 2 juta rupiah, saya akan lebih memilih headphone audiophile entry level/mid atau bahkan entry level wireless headphone bukan yang gaming. Tetapi tentu saja G733 ditujukan untuk pengguna laptop/PC yang ingin menikmati pengalaman wireless gaming headset yang bisa nyaman digunakan dalam waktu lama, memiliki fitur mic yang bisa diandalkan untuk streaming atau chat ketika bermain. Penggunaan dongle juga menjadi salah satu fitur yang berguna karena biasanya perangkat PC kadang tidak dilengkapi bluetooth bawaan. Dengan harga 2 juta, tentunya G733 akan mendapatkan saingan dari beberapa brand yang juga menawarkan pengalaman wireless gaming headset di segmen harga yang relatif   sama, misalnya Corsair HS70.

Review Razer Blackwidow V3: Tak Istimewa Seperti Dulu

Jika berbicara soal Razer Blackwidow, saya jadi teringat beberapa tahun silam saat saya mereview Blackwidow generasi pertama, Razer Blackwidow Ultimate. Razer Blackwidow Ultimate, yang dirilis tahun 2010, adalah keyboard mekanikal pertama dari Razer. Keyboard tersebut juga jadi keyboard mekanikal pertama yang saya review. Kala itu, saya sungguh terkagum-kagum dibuatnya.

11 tahun berselang, dengan begitu banyak varian mekanikal keyboard yang ada di pasaran saat ini, sayangnya Blackwidow V3 tak mampu membuat saya berdecak kagum seperti dulu kala.

Tanpa banyak basa-basi, mari kita langsung masuk ke review Razer Blackwidow V3 kali ini. Satu hal yang penting dicatat, Blackwidow V3 yang saya beli adalah yang versi kabel alias wired. Jadi review kita kali ini adalah spesifik untuk Blackwidow V3 wired — bukan wireless.

 

Bodi dan Fisik

Saya membeli Razer Blackwidow V3 wired ini di harga Rp2,3 juta. Untuk harga yang cukup tinggi itu, jujur saja, kualitas bodinya kurang memuaskan. Berhubung saya memang langsung berganti ke keyboard ini dari SteelSeries Apex 7, saya merasa ada banyak kekurangan yang tak mampu ditawarkan oleh produk Razer yang satu ini.

Pertama, bodi utamanya, Razer Blackwidow V3 terasa lebih kopong ketimbang Apex 7. Sedangkan Apex 7 menggunakan bodi yang terasa lebih solid dan berat.


View this post on Instagram

A post shared by Yabes Elia (@elia.yabes)

Selain itu, stabilizer yang digunakan oleh Razer (untuk tuts yang panjang-panjang seperti spasi, enter, shift, dkk.) sungguh menyedihkan. Selain membuat keycap-nya goyang-goyang, dudukan keycap stabilizer-nya tercabut saat saya mengganti keycap-nya. Demikian juga dengan keycaps yang digunakan. Keycaps yang digunakan SteelSeries Apex 7, meski sama-sama ABS, terasa lebih solid ketimbang yang ditawarkan oleh Blackwidow V3. Sebenarnya kualitas bodi dan fisik yang ditawarkan oleh Blackwidow V3 ini tidak bisa dibilang buruk juga. Hanya saja, jika disandingkan dengan Apex 7, Blackwidow V3 jadi sedikit mengecewakan — mengingat saya dulu beli Apex 7 di harga Rp2,7 juta (sekitar Rp400 ribuan lebih mahal). Belum lagi, jika Blackwidow V3 ini dibandingkan dengan Dareu EK840 yang punya build quality super istimewa meski dibanderol dengan harga Rp1,2 jutaan.

Dokumentasi: Hybrid
Dokumentasi: Hybrid

Dari 4 keyboard yang saya miliki saat ini, SteelSeries Apex 7, Blackwidow V3, Dareu EK840, dan Tecware Phantom Elite, sayangnya, Blackwidow V3 memiliki kualitas bodi di peringkat bontot. Hal ini sungguh patut disayangkan. Pasalnya, saat ini saya juga memiliki 2 mouse Razer, yaitu Basilisk V2 dan Naga Pro. Kedua mouse tersebut memiliki bodi dan build quality terbaik dari 6 mouse yang saya miliki (Razer Basilisk V2, Logitech G703, SteelSeries Rival 500, ROG Strix Claw, Razer Naga Pro, Dareu EM 901). Oh iya, satu lagi. Blackwidow V3 juga dilengkapi dengan wrist rest dalam paket penjualannya. Sayangnya, seperti build quality bagian lainnya, wrist rest-nya pun juga menggunakan bahan plastik yang kurang solid dan kurang nyaman di pergelangan tangan karena tanpa lapisan apapun. Jika dibandingkan dengan wrist rest yang disertakan di Razer Ornata, wrist rest-nya jauh lebih nyaman digunakan karena menggunakan busa dan ditutupi kulit sintetis. Sayangnya, wrist rest semacam itu memang pasti akan berkurang kenyamanannya seiring waktu — entah kulit sintetisnya yang mengelupas ataupun busanya yang kempes. Wrist rest plastik Blackwidow mungkin memang harusnya lebih awet tapi jadi kalah nyaman.

Dokumentasi: Hybrid
Dokumentasi: Hybrid

Menurut saya, wrist rest yang disertakan oleh SteelSeries Apex 7 adalah yang ideal digunakan. Wrist restnya menggunakan bahan keras namun dilapisi karet sehingga masih terasa sangat nyaman di genggaman tangan. Saat ini, saya juga memiliki 3 wrist rest, dari Apex 7, Blackwidow V3, dan wrist rest besutan Tecware yang dijual terpisah. Dari ketiga wrist rest tadi, lagi-lagi, wrist rest bawaan Blackwidow V3 yang paling tidak enak digunakan. Semoga saja Razer menyadari hal ini dan menerapkan build quality yang sama antara keyboard dan mouse nya di waktu mendatang.      

Kenyamanan dan Kecepatan Tombol

Karena bodi dan keycaps-nya, plus Blackwidow V3 menggunakan switch Razer Green, suara keyboard ini begitu nyaring — suara klik dan ‘tok’-nya. Meski menggunakan Blue switch, suara Apex 7 kalah nyaring dibanding Blackwidow V3.

 

 

 

View this post on Instagram

 

A post shared by Yabes Elia (@elia.yabes)

Untuk suara switch-nya, Blackwidow V3 sebenarnya masih dalam batasan selera pribadi saya. Namun karena bahan bodi dan keycaps-nya, suara ‘tok’-nya terlalu kencang untuk saya. Karena itu, saya menambahkan O-ring agar suara ‘tok’-nya tadi hilang dan tak mengganggu. Saya bukan tipe pengguna yang anti dengan suara ‘tok’ tadi namun saya kurang suka jika terlalu kencang. Dari 4 keyboard yang saya miliki, Blackwidow V3 juga mengeluarkan suara (keycaps) yang paling keras.

Meski demikian, saya tahu persoalan suara ini sangat tergantung dengan selera Anda. Jadi, jika Anda seperti saya yang sedikit terganggu dengan suara keyboard mekanikal yang terlalu nyaring, Anda bisa menjauhi Blackwidow V3 atau menyediakan anggaran tambahan untuk membeli O-ring yang berkualitas (sekitar Rp100 ribuan). Sebaliknya, jika suara nyaring justru yang Anda cari, Blackwidow V3 bisa jadi kesayangan baru Anda.

Lalu bagaimana soal Green switch yang digunakan? Feel yang saya rasakan tidak berbeda jauh dengan Blue switch yang disuguhkan oleh SteelSeries Apex 7 ataupun Cherry MX Blue. Namun Blue switch dari Apex 7 terasa sedikit lebih smooth ketimbang Green switch dari Razer. Switch-nya sungguh nyaman digunakan buat para pengguna switch tactile dan clicky untuk bermain game ataupun mengetik.

Dokumentasi: Hybrid
Dokumentasi: Hybrid

Saat saya menggunakan Blackwidow V3, saya sedang bermain AC: Valhalla dan Watch Dogs: Legion. Dilema yang saya rasakan adalah, karena saya menggunakan O-rings, kadang tuts ‘W’-nya terlepas tanpa terasa — jadi saya tiba-tiba berhenti berjalan — karena resistensi yang lebih tinggi. Namun saat saya melepas O-rings tadi, saya tidak menemukan masalah apapun dengan Blackwidow V3 namun saya jadi kembali berhadapan dengan masalah suara yang terlalu nyaring.

Jika berbicara soal kenyamanan, saya sedikit dilema menilai Blackwidow V3. Razer Green switch yang digunakan sebenarnya sudah sangat nyaman untuk saya — berhubung saya memang suka MX Cherry Blue dan MX Cherry Red. Ia menawarkan feel yang pas untuk selera saya. Resistensinya cukup mantap namun tidak terlalu berat sehingga tidak melelahkan untuk jari jemari saya. Sayangnya, bodi dan keycaps yang digunakan membuat suaranya terlalu berisik dan menggunakan O-rings membuat resistensinya terlalu tinggi untuk bermain game.

Jika hanya menilai switch-nya, Razer switch juga diklaim mampu bertahan sampai dengan 80 juta pencetan — sedangkan Blue switch dari SteelSeries hanya mampu bertahan pada 50 juta pencetan. Bahkan, seperti review Apex 7 yang sudah saya update beberapa waktu lalu, salah satu switch di keyboard yang saya gunakan itu sudah stuck meski belum sampai satu tahun digunakan. Semoga saja switch dari Razer ini bisa bertahan lebih lama. Saya akan mengupdate artikel ini jika saya menemukan masalah dengan switch-nya.

Dokumentasi: Hybrid
Dokumentasi: Hybrid

 

Fitur Razer Blackwidow V3

Akhirnya kita sampai ke bagian akhir dari review Razer Blackwidow V3 kali ini. Jika berbicara soal fitur tambahan, keyboard full-sized ini menawarkan satu tombol dan satu dial di bagian atas numpad.

Asiknya, berkat Razer Synapse, Anda bisa menggunakan dial tersebut (default-nya untuk kontrol volume) jadi fungsi lainnya seperti tombol lain atau malah fungsi makro. Saya menemukan beberapa review dari luar yang tidak suka dengan Razer Synapse namun saya pribadi merasa Razer Synapse adalah yang paling lengkap fiturnya dari semua software lain yang pernah saya coba (SteelSeries Engine, Corsair iCue, ataupun Logitech G Hub).

Razer Synapse 3.0
Razer Synapse 3.0

Razer Synapse memungkinkan saya membuat kombinasi tombol bahkan tanpa harus membuat entri makro baru (asalkan kombinasinya dengan modifier: Shift, CTRL, atau ALT) ataupun fungsi Turbo juga tanpa membuat entri makro baru. Bagi saya, hal tersebut adalah sebuah anugrah karena saya sebelumnya sampai punya 50an entri makro — yang tentunya sangat merepotkan saat harus mengecek lagi entri makro apa saja yang sudah saya simpan.

Razer Synapse juga memungkinkan Anda menyimpan segala macam settingan (termasuk koleksi entri makro tadi) di cloud. Jadi, jika Anda pindah PC ataupun install ulang sistem operasi baru, Anda tak perlu repot-repot lagi (apalagi seperti saya yang punya kebanyakan makro).

Sayangnya, saya sendiri juga merasa fitur online ini seperti pedang bermata dua. Di satu sisi fungsinya sangat berguna bagi saya. Namun di sisi lain, ia akan sedikit merepotkan jika koneksi rumah Anda putus nyambung — berhubung kita ada di Indonesia yang didominasi oleh internet rumah yang-tak-perlu-saya-sebutkan-namanya. Jika koneksi di PC Anda menggunakan provider yang itu, Razer Synapse bisa jadi sangat merepotkan.

Jika Anda punya produk Razer yang sudah mendukung Razer Synapse 3.0, saran saya, cobalah bermain-main dengan software tersebut. Anda akan menemukan banyak fungsi di sana yang akan membuat hidup Anda semakin mudah.

Dokumentasi: Hybrid
Dokumentasi: Hybrid

 

Kesimpulan

Akhirnya, meski dibanderol dengan harga yang premium, sayangnya saya kurang merasakan hal tersebut di banyak aspek build quality Blackwidow V3. Menurut saya, hal tersebut sangat disayangkan karena saya sangat menyukai Green switch besutan Razer dan saya sungguh sudah begitu nyaman menggunakan Razer Synapse 3.0. Namun karena bodinya berasa kopong, suara keyboardnya rasanya jadi bisa membangunkan seisi kelurahan. Apalagi jika kita berbicara soal stabilizer dan wrist rest-nya yang sangat menyedihkan.

Semoga saja Blackwidow V4 nanti bisa membuat saya kembali lagi terkagum-kagum seperti dulu kala — seperti saat saya menggunakan Razer Naga Pro, yang akan saya review berikutnya.

Review ROG Zephyrus G14: Si Laptop Ringkas nan Bertenaga

ROG Zephyrus G14 merupakan salah satu laptop yang sempat menarik cukup banyak perhatian gamers ataupun pecinta teknologi ketika diungkap dalam gelaran Consumer Electronic Show (CES) Januari 2020 lalu. Salah satu daya tarik terbesarnya adalah teknologi “Anime Matrix” yang memungkinkan pengguna mengkustomisasi penampilan back cover laptop sesuka hati. Kebetulan beberapa waktu lalu saya dipinjamkan unit ROG Zephyrus G14 untuk direview lebih lanjut. Selain teknologi Anime Matrix, apa lagi keistimewaan laptop ini? Simak ulasan dari Hybrid.co.id berikut.

 

Melihat ROG Zephyrus G14 Dari Kulit Luar: Build Quality, Anime Matrix, dan Lain Sebagainya

ROG Zephyrus G14 yang datang adalah yang berwarna putih. Dari segi build quality secara keseluruhan, ROG Zephyrus G14 terasa solid dan cukup premium. Sayangnya dengan banderol harga Rp23.999.000, ada satu sisi kekurangan build quality-nya.

Mari bicarakan soal kelebihannya dahulu. Sisi back cover laptop terlihat sangat minimalis, bersih, dan elegan bisa saya bilang sebagai salah satu kelebihan build quality laptop ini. Walau tentu saja back cover warna putih akan mudah kotor, terutama apabila Anda adalah tipe pengguna yang cenderung slebor. Seluruh bagian laptop juga terasa solid ketika digunakan. Tidak ada hinge laptop yang bergoyang saat terkena guncangan. Bagian body laptop juga menggunakan plastik berkualitas yang membuatnya terasa padat ketika dipegang, ditekan, atau diketuk-ketuk.

Review ROG Zephyrus G1400012
Hinge laptop yang menggunakan teknologi ErgoLift.
Review ROG Zephyrus G1400004
I/O Ports di sisi kiri.
Review ROG Zephyrus G1400003
I/O Ports di sisi kanan.

Selain itu kelebihan lain laptop ini menurut saya adalah ukurannya yang cukup ringkas. Zephyrus G14 merupakan laptop dengan layar 14 inci yang ukurannya lebih kecil dibanding kebanyakan laptop gaming yang biasanya berukuran bongsor. Selain ringkas, laptop ini juga cukup ringan. Bobotnya adalah 1.70 kg, lebih ringan dibanding kebanyakan laptop gaming yang biasanya memiliki bobot 2kg lebih dan cenderung lebih berat dibanding dengan laptop tipe ultrabook. Jadi bisa dikatakan bahwa ukuran ROG Zephyrus G14 punya ukuran dan bobot di tengah-tengah antara laptop gaming dengan laptop tipe ultrabook.

Lalu di mana letak kekurangan yang saya sebut di awal tadi? Kekurangannya ada di sisi keyboard. Keyboard laptop ini, menurut saya, kurang sesuai dengan banderol harga laptopnya. Secara keseluruhan, keyboard chiclet yang ada di ROG Zephyrus G14 tidak terasa premium dan tergolong biasa saja.

Memang keyboard sudah tergolong NKRO (N-Key Rollover), yang artinya Anda bisa menekan tombol sebanyak apapun dan tetap masuk sebagai input. Tapi sayangnya feel yang diberikan ketika menekan tuts keyboard terbilang kurang enak, keras, dengan tingkat kedalaman penekanan yang terlalu dalam untuk sebuah keyboard chiclet. Backlit keyboard yang tersedia juga hanya ada warna putih. Tidak ada warna backlit RGB yang biasanya jadi salah satu nilai jual laptop gaming.

Review ROG Zephyrus G1400005
Penampakan keyboard laptop secara keseluruhan.
Review ROG Zephyrus G1400007
Tomboh tambahan untuk volume, mute mic, dan membuka aplikasi ROG.
Review ROG Zephyrus G1400018
Backlit laptop yang hanya memiliki warna putih saja.

Review ROG Zephyrus G1400019

Keyboard laptop tergolong cukup nyaman jika digunakan untuk mengetik. Tetapi pada saat saya menggunakannya untuk bermain game, saya merasa feel keyboard jadi tidak menyenangkan terutama saat memainkan game yang melibatkan input menahan satu tombol.

Contohnya ketika bermain VALORANT. Pergerakan saya kadang tersendat ketika sedang menahan tombol W untuk berjalan maju. Setelah saya tilik, penyebab gerakan saya tersendat adalah karena saya kurang dalam menekan tombol W. Selain itu saya juga merasa aneh dengan bentuk rancangan tombol spasi. Menurut selera saya, bentuk tombol spasi di keyboard tidak menambah estetika, juga tidak praktis karena area yang bisa ditekan sebenarnya tetap berbentuk persegi panjang.

Teknologi Anime Matrix tentu saja merupakan gimmick kosmetik yang berfungsi sebagai fitur tambahan untuk memperindah laptop. Fitur tersebut mungkin bisa dianggap norak bagi beberapa orang. Namun saya rasa Asus menyajikan fitur tersebut secara adil untuk semua orang. Kenapa? Karena fitur tersebut memungkinkan penggunanya memilih penampilan back cover menjadi apapun yang diinginkan sang pengguna.

Review ROG Zephyrus G1400001
Lampu Anime Matrix dalam kondisi lampu ruangan.
Review ROG Zephyrus G1400015
Lampu Anime Matrix pada kondisi cahaya luar ruangan. Karena laptop berwarna putih, lampu Anime Matrix jadi tidak mencolok saat digunakan di luar ruangan.

Apabila Anda penyuka gaya minimalis nan elegan, Anime Matrix bisa dimatikan untuk menunjukkan back cover dari ROG Zephyrus G14 yang pada dasarnya sudah tampan luar biasa. Apabila Anda ingin tampil beda, Anda bisa menampilkan animasi bergerak pada bagian LED Anime Matrix. Kalau Anda ingin tampil beda tapi masih sedikit malu-malu, Anda juga bisa menyertakan gambar statis di sana. Semua kustomisasi tersebut bisa Anda akses melalui aplikasi Armoury Crate.

Terakhir, bagian laptop yang saya rasa juga perlu mendapat sorotan adalah sisi audio. ROG Zephyrus G14 menyematkan dua buah speaker di sisi kiri dan kanan yang menghadap ke atas. Speaker juga sudah ditenagai oleh teknologi Dolby Atmos. Karena hal tersebut, suara yang dihasilkan oleh speaker ROG Zephyrus G14 tergolong di atas rata-rata. Suara yang dihasilkan cenderung memiliki karakteristik warm, dengan suara menggelegar layaknya menggunakan sebuah speaker khusus.

 

Jeroan ROG Zephyrus G14 – Performa, Suhu, dan Kemampuan Baterai

Berikutnya adalah soal performa. ROG Zephyrus G14 yang saya review dibekali jeroan berupa CPU AMD Ryzen 4800HS dan GPU Nvidia Geforce 1650Ti. Performanya menurut saya cukup unik. Walau beberapa percobaan mencatatkan min FPS yang cukup rendah, namun game masih tetap terasa mulus secara visual. Hal unik lainnya ada dari segi suhu. Berdasarkan dari aplikasi monitoring, suhu Zephyrus G14 cukup stabil dan cepat untuk adem kembali. Tapi saya merasa suhu panas yang dikeluarkan cukup terasa di tangan saat sedang menggunakan laptop. Sebelum membahas lebih lanjut, mari lihat dulu spesifikasi teknis ROG Zephyrus G14 GA401.

OS

  • Windows 10 Home – ASUS recommends Windows 10 Pro for business

CPU/GPU

  • AMD Ryzen™ 7 4800HS Processor 2.9 GHz (8M Cache, up to 4.2 GHz)
  • NVIDIA® GeForce® GTX 1650 Ti 4GB GDDR6

Display

  • 14-inch
  • FHD (1920 x 1080) 16:9
  • anti-glare display
  • sRGB: 100%
  • Adobe: 75.35%
  • Pantone Validated
  • Refresh Rate: 120Hz
  • IPS-level

Memori

  • 8GB DDR4 on board
  • Max Capacity: 24GB

Penyimpanan

  • 512GB M.2 NVMe™ PCIe® 3.0 SSD

Port I/O

  • 1x 3.5mm Combo Audio Jack
  • 1x HDMI 2.0b
  • 1x USB 3.2 Gen 2 Type-C support display / power delivery
  • 1x USB 3.2 Gen 2 Type-C
  • 2x USB 3.2 Gen 1 Type-A

Audio

  • Built-in array microphone
  • 2x 0.7W tweeter
  • 2x 2.5W speaker with Smart Amp Technology

Jaringan dan Komunikasi

  • Wi-Fi 6(802.11ax)+Bluetooth 5.0 (Dual band) 2*2;(*BT version may change with OS upgrades.)

Baterai

  • 76WHrs, 4S1P, 4-cell Li-ion
  • Suplai Daya: ø6.0, 180W AC Adapter, Output: 20V DC, 9A, 180W, Input: 100~240V AC, 50/60Hz universal TYPE-C, 65W AC Adapter, Output: 20V DC, 3.25A, 65W, Input: 100~240V AC 50/60Hz universal

Berat

  • 1.70 Kg (3.75 lbs)

Dimensi (L x D x T)

  • 32.4 x 22.0 x 1.99 ~ 1.99 cm (12.76″ x 8.66″ x 0.78″ ~ 0.78″)

Untuk gaming, saya menguji performa ROG Zephyrus G14 dengan dua jenis game seperti biasa. Ada game free to play dan game AAA. Untuk game free to play ada Dota 2 dan VALORANT. Sementara untuk game AAA ada Mafia: Definitve Edition dan World of Warcraft: Shadowlands.

Berhubung Dota 2 dan VALORANT tidak butuh spesifikasi hardware yang terlalu tinggi, maka saya mengharapkan laptop bisa menjalankan kedua game tersebut dengan lancar. Karena hal tersebut, saya juga mematok standar fps yang lebih tinggi. Untuk review ini, saya mematok 120 fps sebagai target mengingat display laptop yang memiliki refresh rate 120Hz.

Sayangnya Zephyrus G14 tidak berhasil mencapai target tersebut, walau catatan fps yang didapatkan terbilang tidak terlalu jauh dari target. Dengan menggunakan pengaturan rata kanan, Dota 2 mencapai rata-rata sebesar 92 fps. Memang tidak mencapai target, tapi saya masih merasa pergerakannya mulus di mata.

VALORANT berhasil mencapai target tersebut. Dengan preset grafis rata kanan, VALORANT mencatatkan rata-rata sebesar 125 fps. Saya cukup puas dengan performa laptop ini saat memainkan game free to play. Game tetap responsif serta punya aspek visual yang baik karena memberi catatan fps yang tinggi di pengaturan rata kanan. Catatan fps lebih lengkap bisa Anda lihat pada grafik di bawah ini.

Review ROG Zephyrus G14 Dota 2 Review ROG Zephyrus G14 VALORANT

Sayangnya ROG Zephyrus G14 mungkin masih belum bisa memuaskan kaum PC Master Race yang hobi bermain game AAA. Saya juga kurang puas dengan performanya saat menjalankan game AAA mengingat harga yang dipatok oleh laptop ini.

ROG Zephyrus G14 hanya bisa mencapai kisaran 40+ fps saja untuk titel AAA yang saya uji. World of Warcraft: Shadowlands mencatatkan fps rata-rata yang lumayan, yaitu 58 fps pada preset pengaturan grafis rata kanan. Namun ROG Zephyrus G14 sempat mencatatkan minimum framerate sebesar 21 fps dalam skenario open world, terutama di area Bastion yang memang cenderung intensif secara grafis.

ROG Zephyrus G14 juga cukup ngos-ngosan saat menjalankan Mafia: Definitive Edition. Pengujian saya lakukan pada adegan awal game yang berupa kejar-kejaran menggunakan mobil taksi. Dari pengujian tersebut, ROG Zephyrus mencatatkan rata-rata 40 fps pada preset pengaturan grafis High (rata kanan). Fps berangsur meningkat menjadi rata-rata 43 fps pada pengaturan Medium, sampai akhirnya menjadi rata-rata 60 fps pas pada pengaturan Mow.

Review ROG Zephyrus G14 Mafia Review ROG Zephyrus G14 Warcraft

Tetapi angka hanyalah angka. Sepanjang saya menguji kemampuan laptop dengan game-game tersebut, saya merasakan pengalaman bermain yang flawless. Walaupun ada catatan penurunan fps yang cukup jauh, game masih berjalan dengan stabil tanpa ada stutter yang benar-benar terasa. Pokoknya animasi game terasa mulus di mata sepanjang saya melakukan pengujian.

Beralih ke performa suhu, ROG Zephyrus punya kemampuan thermal yang cukup unik seperti apa yang saya tulis di awal sub-bagian ini. Catatan angka suhu CPU dan GPU masing-masing stabil di kisaran 90+ dan 70+ derajat celsius. Untuk catatan suhu secara lebih lengkap, Anda bisa melihat grafis di bawah ini yang menunjukkan suhu pada saat menjalankan pengujian pada  game yang saya sebut di atas.

Catatan suhu yang dibukukan memang bukan yang terbaik, tapi setidaknya suhu tidak menyentuh angka 100 derajat celsius. Ditambah lagi panas laptop juga bisa reda dengan cepat seperti yang Anda lihat pada histogram di atas. Dengan suhu seperti demikan, kekurangan dari laptop ini adalah rasa panas yang ternyata terasa sampai ke tangan ketika sedang mengoperasikan laptop. Karena itu bermain game berlama-lama di ROG Zephyrus G14 kadang menimbulkan rasa tidak nyaman.

Rancangan arah pembuangan udara panas laptop yang mungkin jadi biang kerok masalah tersebut. Pembuangan udara panas di belakang laptop terbagi jadi dua bagian, satu bagian mengarah ke atas, satu bagian mengarah ke bawah. Bagian yang mengarah ke atas bisa dikatakan sebagai sumber suhu panas yang membuat area keyboard jadi agak tidak nyaman saat digunakan dalam durasi lama. Selain itu Anda juga harus hati-hati, jangan sampai menyentuh bagian tersebut karena suhunya yang sangat panas.

Arah pembuangan udara panas yang mengarah ke atas. Dekat dengan monitor dan keyboard.
Arah pembuangan udara panas yang mengarah ke atas. Dekat dengan monitor dan keyboard.

Dari segi benchmarking, hasil skor 3DMark terpaut 2 ribu lebih jika dibandingkan dengan MSI Bravo 15 yang memiliki CPU sama, namun menggunakan GPU RX5500M. Apabila Anda penasaran, Anda mungkin bisa lihat sendiri pada tabel urutan kemampuan GPU dalam menjalankan 3DMark. Untuk hasil benchmark lebih lengkap, Anda bisa lihat rangkaian tangkapan gambar di bawah ini.

Terakhir adalah soal performa baterai. Untuk pengujiannya saya memutar video HD 1080p secara looping mulai dari baterai penuh hingga mati. Berdasarkan dari perkiraan sistem Windows 10, baterai laptop akan habis setelah 5 jam 15 menit. Ternyata perkiraan dari sistem Windows tidak jauh beda dengan kondisi sesungguhnya.

Catatan ketahanan baterai laptop ROG Zephyrus G14.
Catatan ketahanan baterai laptop ROG Zephyrus G14.

Pengujian dilakukan mulai pukul 17:35 dan laptop akhirnya mati pada pukul 22:44 (sekitar 5 jam 9 menit). Setelahnya saya memulai menguji kecepatan charging dari laptop. Sistem Windows 10 memperkirakan laptop akan terisi penuh dalam durasi 1 jam 26 menit. Pada kondisi sesungguhnya, saya memulai charging pada pukul 22:55 dan laptop ternyata selesai melakukan charging dari 0-80% (angka charging baterai optimal) pada pukul 00:00 (sekitar 1 jam 5 menit).

 

Kesimpulan

Dengan harga Rp23.999.000, ROG Zephyrus G14 GA401 bisa dibilang kurang worth it kalau kita hanya bicara performa saja. Lihat saja hasil pengujiannya. Performa ROG Zephyrus G14 GA401 sebenarnya juga bisa kita dapatkan pada laptop lainnya yang punya harga lebih murah.

Meski begitu ROG Zephyrus G14 GA401 punya nilai tambah yang cukup solid apabila kita ingin membicarakan laptop tersebut sebagai sebuah produk secara keseluruhan.

Build quality mantap, ukuran ringkas dengan performa bertenaga, performa thermal yang mampu mendinginkan laptop dengan cukup cepat, kualitas speaker yang luar biasa, dan tentunya teknologi Anime Matrix sebagai gimmick gemas menyenangkan menjadi poin-poin tambahan yang bisa Anda dapatkan dari laptop ini.

Jadi saya rasa apabila Anda sedang mencari laptop gaming yang berukuran ringkas dan punya penampilan ciamik, Zephyrus G14 bisa menjadi salah satu pilihannya.

Review MSI Bravo 15: Performa Mumpuni AMD Ryzen 7 dan RX 5500M

Ada banyak pilihan laptop gaming di pasaran sana, terutama pada range harga Rp10 hingga Rp15 juta. Tetapi kebanyakan laptop yang ditawarkan pada range harga tersebut adalah laptop dengan GPU Nvidia yang dikombinasikan dengan CPU Intel ataupun AMD.

Pada kesempatan kali ini saya mendapatkan untuk melakukan review terhadap satu unit laptop MSI Bravo 15 yang bisa saya bilang cukup unik. Kenapa unik? Salah satunya adalah karena laptop ini menggunakan GPU Radeon FX5500 yang terbilang cukup jarang ditemukan pada laptop gaming kisaran harga tersebut. Dikombinasikan dengan Ryzen 7 4800H, bagaimana performa GPU besutan AMD tersebut? Mari kita simak ulasan berikut ini.

 

Desain, Harga, dan Unsur Produktivitas MSI Bravo 15 Series

Mengutip dari MSI Official Store, laptop tersebut dibanderol dengan harga Rp14.999.000. Dengan harga tersebut, apa saja yang ditawarkan oleh MSI Bravo 15 A4DDR?

Sumber: MSI Official Website
Sumber: MSI Official Website

Kita bisa melihat bagaimana MSI masih mempertahankan rancangan khas laptop gaming kelas mid-range, dari kulit luarnya. Kombinasi warna hitam dengan merah masih dipertahankan pada MSI Bravo 15 ini. Sebagian besar body laptop berbahan brushed alumunium berwarna hitam.

Sementara itu warna merah bisa Anda dapatkan dari backlight LED Keyboard yang hanya memiliki satu warna saja. Ya, ketidakhadiran RGB ataupun kustomisasi warna LED backlight terbilang jadi salah satu kekurangan laptop ini. Namun saya rasa hal tersebut cukup adil mengingat harga yang ditawarkan. Apalagi hitam-merah terbilang sebagai salah satu kombinasi warna yang berpadu dengan baik dan sedap dipandang.

Keseluruhan body laptop terasa sangat solid karena bahan brushed alumunium. Dari semua bagian, LCD hinge terbilang jadi satu-satunya bagian yang kurang solid di laptop ini. LCD hinge masih kurang solid karena bergoyang apabila terkena guncangan ataupun ketika kita memindah-mindahkan posisi laptop. Dengan warna hitam pada keseluruhan body, salah satu perbedaan terbesar dari laptop ini mungkin adalah logo yang ada di bagian body belakang laptop. Bravo series tidak menggunakan lambang naga khas dari MSI. Laptop ini menggunakan logo thunderbird berwarna perak yang memberikan kesan gagah berani nan bijaksana.

foto log1 review msi bravo 15 foto log2 review msi bravo 15

Dari unsur penunjang produktivitas, MSI Bravo 15 memberikan keyboard chiclet keyboard yang solid dan mantap digunakan untuk kebutuhan-kebutuhan produktivitas. Saya mengetik artikel ini dengan menggunakan keyboard laptop tersebut dan saya merasa nyaman dengan sensasi yang diberikan. Ukuran tuts tombol juga besar-besar yang dilengkapi dengan full-size arrow key walau tanpa kehadiran numpad.

keyboard 01 review msi bravo 15 keyboard 02 review msi bravo 15

Penampakan led keyboard pada kondisi dalam ruangan.
Penampakan led keyboard pada kondisi dalam ruangan.

Namun entah kenapa saya merasa kurang nyaman menggunakan keyboard ini untuk gaming. Mungkin karena saya sudah terlalu terbiasa menggunakan keyboard mechanical yang punya tingkat kedalaman penekanan tuts lebih jauh. Karena itu, bermain dengan keyboard chiclet MSI Bravo 15 rasanya… Mirip seperti menekan haptic button yang ada pada iPhone generasi lama. Saya tahu referensi saya mungkin agak sulit dibayangkan. Intinya adalah, tingkat kedalaman penekanan tuts yang lebih pendek serta tingkat kekerasan penekanan tombol yang cukup terasa membuat keyboard ini jadi kurang nikmat ketika digunakan untuk bermain game.

I/O Ports sebelah kanan laptop.
I/O Ports sebelah kanan laptop.
I/O Ports sebelah kiri laptop.
I/O Ports sebelah kiri laptop.

Dari sisi I/O ports, jumlah USB ports mungkin terbilang minim apabila Anda adalah golongan konvensional yang lebih suka colokan USB type A. Berada di sisi kanan laptop, MSI Bravo 15 hanya menyediakan dua buah Type-A USB3.2 Gen1. Sebagai tambahan, ada 2 colokan Type-C USB3.2 Gen1. Selain ports USB, ada juga Mic-in/Headphone-out Combo Jack 3.5mm dan colokan RJ45 untuk konektivitas internet dengan kabel. Sementara di sisi kiri ada colokan HDMI yang dapat digunakan hingga resolusi 4K dengan refresh-rate 30Hz.

Kecerahan monitor dalam kondisi dalam-ruangan.
Kecerahan monitor dalam kondisi dalam-ruangan.
Kecerahan monitor dalam kondisi luar-ruangan.
Kecerahan monitor dalam kondisi luar-ruangan.

Terakhir dari sisi layar, MSI Bravo 15 memiliki layar dengan bentangan sebesar 15.6″ IPS Level, resolusi  FHD 1080p, 144Hz refresh-rate, dan sudah mendukung teknologi AMD FreeSync.

Salah satu kekurangan dari layar ini adalah tingkat kecerahannya. Ulasan teknis dari NotebookCheck.net menemukan bahwa tingkat kecerahan layar 144Hz MSI Bravo 15 adalah sekitar 300 nits lebih. Angka tersebut terbilang sedikit lebih tinggi dari rata-rata. Walau begitu saya merasa laptop ini cukup kesulitan memenangkan pertarungan dengan cerahnya cahaya matahari walau dengan pengaturan tingkat kecerahan tertinggi sekalipun. Namun, saya merasa tingkat kecerahan sudah lebih di atas rata-rata apabila digunakan dalam kondisi indoor. Dengan tingkat kecerahan tertinggi, yaa… Kecerahannya cukup untuk membuat saya berlinang air mata saat terkena flash dari Phoenix di game VALORANT.

 

Gaming Experience dan Hasil Benchmark

Dari segi gaming experience, saya merasa kombinasi Ryzen 7 4800H dan Radeon RX 5500M terbilang sudah cukup memenuhi kebutuhan dari segi gaming. Seberapa cukup? Bayangan saya sih cukup untuk gamers tingkat menengah yang hobi memainkan game-game Free to Play seperti Dota 2 ataupun VALORANT.

Tapi jangan banyak berharap pada laptop ini apabila Anda adalah golongan PC Master Race, pecinta game AAA, atau golongan mending-mending. Karena posisi laptop ini yang terbilang kelas menengah, jadi cukup wajar kalau MSI Bravo 15 bisa menjalankan game AAA dengan secukupnya saja.

Untuk gaming experience, saya membaginya menjadi dua bagian. Bagian pertama adalah game-game F2P dengan Dota 2 dan VALORANT sebagai sampel. Bagian kedua adalah game berbayar dengan Assassin’s Creed: Odyssey dan World of Warcraft: Shadowlands sebagai sampel.

Dengan spesifikasi yang diberikan, MSI Bravo 15 terbilang sudah sangat mumpuni untuk menjalankan Dota 2 dan VALORANT. Seberapa mumpuni? Mumpuni untuk mencapai 100 fps ++ dengan pengaturan grafis tertinggi sekalipun. Catatan fps yang saya dapatkan setelah melakukan test play dapat Anda lihat pada grafik di bawah ini.

2_grafik dota valorant msi bravo 15

Seperti yang Anda lihat, baik Dota 2 ataupun VALORANT bisa mendapat max fps hingga 112 dan 191 fps. Walau memang turunnya fps terbilang cukup jauh dengan catatan min fps hingga 60 fps untuk Dota 2 dan 53 untuk VALORANT. Namun jika berdasarkan pengalaman bermain, saya hampir merasa tidak terganggu dengan fps drop yang ada. Mungkin karena angka drop masih cukup bisa ditoleransi yaitu di sekitaran 60 fps.

Untuk gaming AAA saya hanya melakukan test play pada World of Warcraft: Shadowlands saja. Saya mencatat dua skenario test play pada Shadowlands, yaitu skenario berjalan-jalan dan melakukan quest di open world dan skenario PvP Arena Battleground 10 vs 10. Keduanya saya lakukan dengan menggunakan pengaturan rata kanan atau tepatnya preset grafis tingkat 10. Catatan fps yang saya dapatkan setelah test play dapat Anda lihat pada grafik di bawah ini.

3_grafik world of warcraft msi bravo 15

Angka drop fps di Shadowlands memang cukup jauh, yaitu 29 fps dalam skenario open world dan 41 fps pada skenario Arena. Walaupun fps-nya drop, MSI Bravo 15 tetap menjalakan game dengan sangat mulus tanpa ada stutter. Karena hal tersebut, fps drop yang dialami hampir tidak terasa parah di mata saya… Yaa masih tolerable.

Fps drop pun sebenarnya terjadi pada momen-momen khas game MMORPG. Untuk skenario open world, fps drop terjadi di kota utama yang ramai oleh pemain dengan segala dekorasi karakter/mount yang mereka miliki. Lalu pada skenario Arena 10 vs 10, fps drop juga terjadi pada kondisi yang wajar yaitu ketika semua pemain saling beradu dan mengeluarkan segala skill yang mereka miliki. Tapi lagi-lagi, karena tidak ada stutte, fps drop pun jadi tidak mengurangi tingkat kelancaran game pada pengalaman bermain saya.

Untuk Assassin’s Creed Odyssey, saya menggunakan in-game benchmark saja. Catatan hasil benchmark-nya bisa Anda lihat sendiri pada grafis serta data detail yang disajikan oleh game itu sendiri.

4_AC Oddysey msi bravo 15

Seperti tadi saya bilang, posisi MSI Bravo 15 yang tergolong kelas menengah membuat saya tidak bisa berharap terlalu banyak jika bicara gaming AAA. Anda bisa lihat sendiri dari catatan fps yang didapatkan. Dengan preset grafis ultra, MSI Bravo 15 hanya bisa mencatatkan 33 avg fps . Memang dia bisa berjalan hingga 54 max fps, tapi hal tersebut hanya terjadi pada kondisi yang kurang lazim seperti menatap langit ketika di dalam game. Sementara itu drop fps juga terbilang cukup jomplang, sampai mencatatkan 10 min fps.

Jadi bisa dibilang bahwa laptop ini hanya cukup sekadar bisa main saja jika Anda gunakan untuk main game AAA. Cukup bagi siapa? Bagi saya yang gamer kere-hore sih cukup. Tapi buat yang terbiasa dengan desktop gaming kelas menengah ke atas mungkin akan geram dan gemas bermain game AAA jika performanya seperti itu.

Lalu bagaimana jika bicara dari segi teknis? Berikut rentetan tangkapan gambar hasil benchmark saya menggunakan tiga software yaitu Cinebench R15, 3D Mark, dan PC Mark 10.

5_Open GL Cinebench msi bravo 15

6_CPU Cinebench msi bravo 15

 

Perbandingan skor PC Mark 10 berdasarkan laman resmi 3D Mark.
Perbandingan skor PC Mark 10 berdasarkan laman resmi 3D Mark.

Dari catatan yang didapatkan di atas, poin yang bisa saya jelaskan mungkin adalah dari sisi perbandingan resmi skor 3D Mark dan PC Mark 10. Seperti kita lihat dengan 4599 poin pada 3D Mark Time Spy dan 11.465 poin pada 3D Mark Fire Strike, MSI Bravo 15 terbilang masih kalah dengan gaming laptop 2020 menurut situs resmi 3D Mark.

Gaming laptop yang dimaksud sendiri adalah laptop dengan prosesor Intel i7 generasi 9 dan GeForce RTX 2060. Walaupun kalah, tapi yang menurut saya perlu jadi sorotan adalah angkanya yang terpaut tidak terlalu jauh. Padahal, laptop yang jadi bandingan 3D Mark sendiri dibanderol dengan harga Rp20 juta++ di Indonesia. Jadi bisa dikatakan bahwa dengan harga yang cukup terjangkau, MSI Bravo 15 bisa memberikan performa yang mumpuni bahkan hampir bersaing dengan laptop yang punya harga jauh lebih tinggi.

 

Catatan Suhu Tinggi tanda Performa Thermal yang Mengkhawatikan?

Dengan segala performa tersebut, sayangnya ada sedikit masalah pada performa thermal MSI Bravo 15. Performa thermal jadi agak mengkhawatirkan karena suhu CPU laptop yang sempat menyentuh angka 100 derajat celsius lebih pada beberapa keadaan.

Saya mencatatkan performa thermal secara berbarengan saat melakukan test play pada game-game yang saya sebutkan di atas. Lebih lanjutnya, Anda bisa lihat hasil performa thermal MSI Bravo 15 dari catatan saya di bawah ini.

Seperti yang bisa Anda lihat, MSI Bravo 15 selalu menyentuh suhu CPU di atas 100 derajat celsius di sesi test play yang saya lakukan. Namun demikian, catatan tersebut mungkin hanya terjadi satu atau dua kali saja. Sisanya, laptop berjalan dengan suhu yang lumayan stabil di kisaran 80-90 derajat. Yaaa… 80-90 derajat sih tidak sebegitu mengagumkan, tapi setidaknya tidak stabil di angka 100 derajat.

Berdasarkan pengalaman saya, suhu panasnya memang tidak mengganggu area keyboard yang biasanya digunakan untuk gaming (WASD dan sekitarnya). Tapi jika Anda menggeser tangan Anda ke atas tombol F1-F12, Anda bisa merasakan panas yang lumayan terasa tajam di sisi kiri atas laptop.

Padahal bila kita melihat struktur body laptop ini, saya merasa desain thermal MSI Bravo 15 terlihat sudah cukup baik setidaknya dari perancangan body luar. Bagian bawah laptop memiliki rongga ventilasi yang banyak dan besar-besar. Dari sana, Anda juga bisa melihat rancangan heat pipes yang sepertinya memang terkonsentrasi di bagian tengah laptop. Lebih lanjut, Anda bisa lihat gambar yang saya ambil di bawah ini.

Penampakan desain thermal pada body laptop MSI Bravo 15.
Penampakan desain thermal pada body laptop MSI Bravo 15.
Tampak dekat desain thermal body laptop MSI Bravo 15.
Tampak dekat desain thermal body laptop MSI Bravo 15.

Jadi mungkin saja fps drop yang dihasilkan terjadi karena performa thermal tersebut. Walaupun begitu, performa gaming MSI Bravo 15 terbilang tidak turun drastis walau digunakan untuk sesi gaming yang panjang sekalipun. Selain itu suara kipas juga terbilang cukup bising walau memang suaranya tidak sampai menembus gendang telinga apabila Anda sedang menggunakan headset saat bermain game.

 

Kesimpulan

Dengan banderol harga Rp14.999.000 saya merasa MSI Bravo 15 telah memberikan perbandingan price-to-performance yang maksimal. Anda mungkin akan dipaksa menerima kompromi-kompromi tertentu apabila Anda membayar sejumlah angka yang sama untuk laptop gaming merk lainnya.

Dari segi performa, saya terbilang puas dengan duet CPU dan GPU dari AMD di laptop MSI Bravo 15 ini. Walau mencatatkan penurunan fps cukup jauh, namun saya merasa pengalaman bermain game berjalan dengan sangat mulus tanpa ada sedikitpun stutter.

Terakhir, satu-satunya kekurangan laptop ini mungkin hanya ada dari segi performa thermal. Dengan panas yang cukup terasa tersebut, saya tidak tahu apakah usia laptop bisa bertahan lama apabila terus-terusan digeber bermain game dalam durasi yang panjang. Karena hal tersebut, mungkin Anda jadi harus rajin membersihkan debu-debu di sekitar fan laptop serta mengganti thermal paste secara berkala agar performa laptop bisa terus bertahan seperti apayang Anda inginkan.

Review Dareu EM901: Mouse Imut dengan Gaya Centil

Jika beberapa waktu yang lalu saya mengulas keyboard gaming besutan Dareu, EK840, kali ini saya akan mengulas mouse gaming mereka. Inilah review Dareu EM901.

Sebelum kita masuk ke dalam ulasannya, saya harus mengatakannya di setiap review peripheral gaming. Pertama, penilaian peripheral gaming lebih bersifat subjektif ketimbang objektif. Pasalnya, peripheral gaming tak bisa diukur dari software benchmark yang biasanya digunakan untuk mengukur kemampuan jeroan desktop macam Superposition Benchmark dari UNIGINE, Cinebench, atau kawan-kawan lainnya.

Kedua, kemampuan bermain game ataupun mengetik (untuk keyboard) sang reviewer akan sangat berpengaruh. Saya sendiri, jujur saja, sudah cukup lama tidak bermain game-game FPS kompetitif ataupun MOBA yang sebenarnya lebih ideal digunakan untuk mengukur akurasi dan kecepatan sebuah mouse gaming.

Meski demikian, mungkin saya sendiri tak bisa dibilang awam juga soal aiming di game FPS. Walaupun saya juga tak bisa dibilang cukup baik. Untuk EM901 ini, saya mengujinya dengan 2 game Co-Op yaitu Borderlands 3 dan State of Decay 2 (meski game kedua ini memang tak bisa dibilang cukup dominan dalam hal kebutuhan aiming).

Dengan penjelasan tadi, mari kita masuk ke review Dareu EM901 kali ini.

 

Bodi dan Fisik

Seperti biasanya juga, saya harus membandingkan produk gaming peripheral yang saya ulas dengan yang biasanya saya gunakan sehari-hari. Untuk mouse gaming yang biasa saya gunakan adalah Razer Basilisk V2.

Untuk build quality dan finishing-nya, berhubung saya sudah mencicipi keyboard Dareu sebelum mouse ini, saya sudah tidak heran dengan kualitas fisik yang ditawarkan oleh EM901. Cat pelapisnya sangat mulus dan membuatnya sangat nyaman digunakan. Sayangnya, di bagian bodi samping mouse (di tempat saya meletakkan ibu jari), cat pelapisnya berbeda dengan yang digunakan di punggung mouse.

Dokumentasi: Hybrid
Dokumentasi: Hybrid

Di bodi samping mouse, catnya berasa glossy sehingga membuat tangan saya yang mudah berkeringat terasa licin setelah beberapa jam menggunakannya. Hal ini, menurut saya, sangat disayangkan karena Dareu sudah menggunakan cat dof di bagian punggung yang lebih ideal buat orang-orang seperti saya yang mudah berkeringat.

Untuk ukurannya, EM901 ini juga lebih kecil dibandingkan Razer Basilisk V2. Dengan begitu, saya, yang biasa menggunakan gaya palm saat bermain dan memiliki telapak tangan berukuran sedang, merasa mouse ini sedikit kekecilan. Namun demikian, ia masih sangat nyaman digunakan untuk gaya fingertips ataupun claw karena beratnya yang cukup ringan.

Terakhir yang ingin saya bahas di bagian ini adalah warnanya yang centil. EM901 memiliki dua varian warna yang bisa Anda pilih, hitam dan merah jambu. Kebetulan, yang datang ke tempat saya adalah yang warna merah jambu centil ini. Buat saya yang lebih banyak menggunakan perangkat berwarna hitam, mouse ini tentunya jadi terlihat mismatch dan terlalu genjreng.

Jadi, buat Anda yang ingin gaming mouse yang lebih ‘normal’ mungkin pilihan warna hitam lebih cocok untuk Anda. Meski begitu, saya mengagumi Dareu dan keberaniannya untuk memilih warna merah jambu sebagai opsi warna lain dari EM901.

 

Performa dan Kenyamanan EM901

Untuk bagian switch di klik (kanan dan kiri) yang digunakan, saya kira hal ini juga penting dibahas mengingat kebanyakan mouse gaming yang saya temukan seringkali berakhir dengan masalah double click setelah beberapa waktu digunakan. Dari pengalaman pribadi saya, kebanyakan mouse gaming yang bermasalah dengan double click adalah yang menggunakan switch Omron yang kelas murah. EM901 ini, dari yang saya rasakan, memang sepertinya tidak menggunakan switch Omron tersebut karena terasa lebih berat.

Dokumentasi: Hybrid
Dokumentasi: Hybrid

Switch Omron yang biasanya doble klik tadi memang menawarkan klik yang sangat ringan dan cepat, meski seringnya jadi mengorbankan durabilitas. Sayangnya, berhubung saya harus mengejar deadline untuk merilis artikel ini, saya belum sempat membongkar EM901 untuk cari tahu switch apa yang digunakan di mouse ini. Mungkin di lain waktu, jika saya ada kesempatan, saya akan bongkar mouse tersebut dan mengupdate artikel ini.

Namun yang pasti, feel kliknya cukup berat — sedikit lebih berat dari Optical Mouse Switch yang dijejalkan ke dalam Razer Basilisk V2 ataupun mouse saya lainnya yang menggunakan switch Omron murahan. Meski begitu, saya tidak merasakan ada masalah respon sama sekali dengan mouse ini.

Oh iya, mouse ini juga menawarkan dual mode, wireless dan wired. Seperti yang saya sempat sebutkan tadi, saya tidak mengalami masalah sama sekali baik saat menggunakan kabel ataupun tanpa kabel. Akurasi dan responnya juga cukup baik saat saya menggunakannya bermain Borderlands 3 ataupun State of Decay 2 — meski memang bukan yang terbaik dari puluhan mouse gaming yang pernah saya jajal. Kecepatan gliding yang bisa saya lakukan dengan mouse ini terasa lebih lambat dari yang biasa saya bisa lakukan — mungkin juga karena Basilisk V2 memang punya bobot yang lebih ringan.

Di luar hal tadi, fitur nirkabelnya juga sangat berguna bagi Anda yang bermain game di laptop — mengingat Anda mungkin tak punya ruang yang cukup luas untuk berurusan dengan kabel-kabel yang menjuntai. Sayangnya, koneksi nirkabelnya menggunakan frekuensi 2.4GHz yang berarti Anda butuh dongle khusus yang akan memakan satu slot USB. Hal ini tidak akan jadi masalah di desktop karena jumlah slot USB yang kebanyakan. Namun di laptop, koneksi nirkabel via Bluetooth mungkin lebih ideal karena beberapa laptop sudah memiliki koneksi Bluetooth terintegrasi sehingga tidak akan memakan slot USB lagi.

Dokumentasi: Hybrid
Dokumentasi: Hybrid

Oh iya, untuk daya tahan baterainya, inilah yang unik. Di website-nya, mouse ini diklaim mampu bertahan sampai 18 jam namun saat saya mengujinya sendiri EM901 justru bisa bertahan sampai 24 jam. Daya tahan tadi sungguh layak diacungi jempol. Ditambah lagi, jika Anda kehabisan baterai pun, Anda tetap bisa menggunakan mouse ini sambil di-charge saat menggunakan kabelnya.

Di bodi samping EM901, Dareu juga menyematkan dua tombol yang bisa digunakan — Anda bisa menyetel fungsinya dengan software yang bisa diunduh. Jumlah 2 tombol di sisi kiri mouse ini memang standar, mengingat kebanyakan mouse gaming memang menawarkan hal ini. Sayangnya, saya biasa menggunakan Razer Basilisk V2 yang menyuguhkan tiga tombol di sisi kiri mouse — yang semuanya nyaman digunakan.

Selisih satu tombol di bagian kiri mouse tadi, bisa jadi sangat krusial tapi bisa juga tak relevan — tergantung dari bagaimana gaya Anda bermain dan game yang dimainkan. Misalnya saja, saya belakangan bermain Monster Hunter World kembali dan selisih satu tombol di bagian kiri mouse jadi begitu krusial — karena saya bisa assign kombinasi 2 tombol jadi satu ke tombol-tombol mouse. Demikian juga yang saya rasakan saat bermain Borderlands 3 ataupun State of Decay 2 karena memang gaya bermain saya yang lebih suka mengakses tombol mouse ketimbang keyboard.

Dokumentasi: Hybrid
Dokumentasi: Hybrid

 

Fitur Tambahan EM901

Buat Anda yang suka dengan kelap kelip lampu RGB, EM901 menyuguhkan fitur ini yang membuatnya terlihat lebih catchy.

Selain itu, EM901 juga lebih baik di fitur tambahannya dibanding EK840.

Pertama, EM901 juga dilengkapi dengan software yang bisa Anda unduh sendiri. Software-nya cukup lengkap fungsinya, termasuk mengganti lampu, mengganti fungsi tombol, ataupun membuat makro sendiri.

Sayangnya, jika berbicara software, Dareu mungkin harus belajar lebih banyak dari brand-brand yang lebih tua seperti Logitech, Razer, ataupun SteelSeries yang mampu menyuguhkan fungsi lebih lengkap dan UI yang lebih menarik. Namun demikian, saya tetap menghargai adanya software tersebut — mengingat EK840 tak punya software sama sekali.

Selain software, satu lagi kelengkapan yang lebih baik adalah soal manual. Jika manual yang disertakan di EK840 bahkan tak menggunakan bahasa Inggris, manual untuk EM901 sudah berbahasa Inggris sehingga sudah bisa digunakan.

Dokumentasi: Hybrid
Dokumentasi: Hybrid

 

Akhirnya

Sebagai penutup, EM901 mungkin memang belum sempurna di banyak sisi. Namun mouse ini dibanderol di harga Rp400 ribuan. Sama seperti keyboard-nya, build quality yang ditawarkan oleh mouse Dareu ini solid meski saya kurang suka lapisan bagian samping mouse yang cukup glossy.

Akurasi dan kenyamanan yang ditawarkannya juga tidak kalah jauh dengan mouse gaming yang biasa saya gunakan, yang banderol harganya hampir 5x lipat lebih mahal. Kelengkapannya dari sisi software juga sudah cukup untuk fungsi-fungsi dasar yang diperlukan.

Jadi, jika Anda mencari mouse gaming wireless dengan harga yang sangat terjangkau, EM901 sangat layak untuk dilirik.

Review Dareu EK840: Build Quality Istimewa Namun Miskin Fitur

Nama Dareu mungkin memang belum lama terdengar layaknya Razer, SteelSeries, ataupun Logitech. Namun begitu, keyboard gaming mereka, Dareu EK840, yang saya review kali ini membuktikan bahwa kualitas tak harus selalu datang dari brand-brand lama.

Meski demikian, ada beberapa fitur yang nampaknya belum lengkap disuguhkan oleh produk mereka yang satu ini.

Sebelum kita masuk ke ulasannya, ada beberapa hal yang harus saya sampaikan sebelumnya. 

Mengulas peripheral gaming itu sepenuhnya subjektif. Pertama, tidak ada software benchmark yang bisa digunakan layaknya mengulas jeroan desktop.

Dareu EK840. Dokumentasi: Hybrid
Dareu EK840. Dokumentasi: Hybrid

Kedua, peripheral yang biasanya digunakan oleh sang reviewernya akan jadi patokan atau pembandingnya. Misalnya, reviewer yang belum pernah pakai keyboard mechanical ataupun headset gaming mahal tentunya akan lebih cepat puas saat mencobanya pertama kali. Saya sendiri sehari-harinya menggunakan SteelSeries Apex 7 yang saya review beberapa waktu yang lalu.

Ketiga, kemampuan bermain game juga tentu saja penting untuk menguji peripheral gaming — tak seperti menguji jeroan. Mereka yang memang tak terbiasa aiming di FPS mungkin tak mampu mengeluarkan potensi yang sebenarnya dari sebuah mouse gaming. Mereka yang tak terbiasa mengetik cepat juga mungkin tak dapat menghargai kenyamanan yang mampu disuguhkan keyboard mekanikal.

Dengan penjelasan tadi, mari kita masuk ke review Dareu EK840 kali ini.

 

Bodi dan Fisik

Meski harga Dareu EK840 setengah dari SteelSeries Apex 7 yang saya gunakan setiap hari, saya sangat mengagumi build quality yang ditawarkannya. Lapisan catnya yang tidak glossy namun sangat mulus membuat tuts nya tak terasa licin meski saya termasuk orang yang sering berkeringat. Selain itu bahan yang digunakan terasa begitu solid dan jauh dari kata ringkih. Meski hanya dibanderol dengan harga Rp1,2 jutaan, EK840 memiliki kualitas bodi yang dapat dibandingkan dengan keyboard gaming lain yang jauh lebih mahal. 

Buat Anda yang tidak terbiasa dengan keyboard gaming, harga Rp1 jutaan sebenarnya masih masuk ke dalam papan bawah namun begitu Dareu EK840 berhasil membuat saya terpukau dengan kualitas fisiknya.

Dareu EK840. Dokumentasi: Hybrid
Dareu EK840. Dokumentasi: Hybrid

Oh iya satu lagi, Dareu EK840 juga menyertakan penutup yang bisa dibuka kapan saja agar Anda bisa lebih mudah saat ingin membersihkannya. Sayangnya, Dareu EK840 tidak menyertakan wrist rest — mengingat saya yang sudah terbiasa dengan Apex 7 — yang membuat kenyamanan menggunakannya jauh berkurang. Soal kenyamanan ini akan saya bahas di bagian berikutnya. Meski begitu, dengan absennya wrist rest, EK840 menawarkan ruang yang lebih lebar di meja Anda. 

Untuk ukurannya, Dareu EK840 merupakan full-sized keyboard (yang lengkap dengan numpad di sebelah kanan keyboard). Jujur saja saya memang lebih suka keyboard full-sized karena saya lebih terbiasa menggunakan numpad saat berkutat dengan Sheet atau Excel.

 

Kenyamanan dan Kecepatan Tombol

Seperti yang tadi saya katakan, saya merasa kurang nyaman saat menggunakan EK840. Meski demikian, kenyamanan ini sepenuhnya subjektif karena saya sudah terbiasa menggunakan wrist rest. Tanpa wrist rest, keyboard ini jadi terlalu tinggi untuk ukuran tangan saya — pergelangan tangan ke jari-jari saya. Namun, jika saya menggunakan wrist rest dari Apex 7 untuk EK840 ini, saya pun merasakan kenyamanan yang nyaris sempurna. Sayangnya, saya tak bisa bilang sempurna karena switch yang digunakan dari EK840 yang datang ke tempat saya.

EK840 memiliki 2 varian switch yang digunakan, Cherry MX Brown dan Red. Model yang datang ke saya adalah yang menggunakan switch Cherry MX Brown. Padahal, Apex 7 yang saya gunakan menggunakan Blue Switch. Sekali lagi, saya pribadi memang lebih suka switch antara Red atau Blue — meski sebenarnya Blue lebih mirip sama Brown karena sama-sama tactile

Dareu EK840. Dokumentasi: Hybrid
Dareu EK840. Dokumentasi: Hybrid

Jadi, pastikan dulu switch seperti apa yang Anda sukai jika Anda tertarik membeli keyboard gaming, termasuk EK840. Pasalnya, switch yang digunakan akan memiliki pengaruh terbesar atas kenyamanan Anda menggunakannya.

Terlepas dari switch yang digunakan, saya masih bisa mengetik dengan cukup cepat dengan keyboard ini. Kecepatan ketikan saya ada di kisaran 60 WPM (untuk bahasa Indonesia). Sedangkan jika saya menggunakan EK840 ini plus wrist rest, saya bisa mencapai kecepatan 55 WPM. Sayangnya, jika saya melepaskan wrist rest yang biasa saya gunakan, kecepatan ketikan saya menurun jadi 35 WPM. 

Untungnya, menurut saya pribadi, ketidaknyamanan ini memang sepenuhnya subjektif karena saya sudah terbiasa menggunakan keyboard gaming lain yang memang berbeda karakteristiknya. Jika saya mengujinya untuk bermain game untuk responnya, Dareu EK840 bisa diandalkan. Tak ada masalah soal kecepatan responnya ataupun fitur anti-ghosting yang ditawarkannya. 

 

Fitur Dareu EK840

Meski keyboard ini menawarkan build quality yang sempurna, kecepatan respon yang baik, dan fitur anti-ghosting, sayangnya, jika dibanding keyboard gaming yang lebih mahal, EK840 ini terbilang minim fitur.

Pertama, jika kita berbicara soal keyboard gaming dari SteelSeries, Razer, Logitech, ataupun Corsair, mereka pasti melengkapi gaming keyboardnya dengan software yang bisa digunakan untuk berbagai macam keperluan (SteelSeries Engine, Razer Synapse, dkk.). Saya tidak bisa menemukan software untuk EK840 ini. Saat saya mengunjungi situs resminya, hanya ada software/driver untuk dua keyboard lainnya EK832 dan EK828. Saya bahkan sengaja mengunduh software EK832 untuk mencoba apakah software tersebut bisa digunakan untuk EK840 ini. Sayangnya, software untuk EK832 tak bisa digunakan untuk EK840. Tanpa kehadiran software tambahan, ada banyak sekali fitur-fitur yang biasanya bisa Anda dapatkan dari keyboard gaming rilisan brand-brand yang saya sebut tadi.

Buat saya, fitur penting yang hilang adalah soal makro yang biasanya dapat diakses lewat software tambahan tadi. Selain itu, fungsi RGB yang bisa dikustomisasi juga jadi sulit diakses tanpa software tambahan. Meski memang fitur ini mungkin juga tak terlalu krusial untuk saya, mungkin ada gamer-gamer lain yang suka bermain dengan lampu-lampu RGB.

Dareu EK480 (1)

Jika saya melihat informasi dari website resminya, ada tulisan fitur Adjustable Effect Ice Blue Light. Namun, saat saya melihat buku manual yang disertakan, petunjuk yang ada di buku tersebut menggunakan bahasa yang tak bisa saya baca — alias bukan bahasa Inggris, Indonesia, atau bahasa Jawa (wkwkwkw).

Selain itu, beberapa keyboard gaming lainnya juga menyertakan USB passthrough yang tak bisa juga Anda temukan di sini. Tak ada kontrol untuk multimedia ataupun knob volume juga. Seperti yang saya bilang tadi, EK840 bisa dibilang minim fitur.

 

Kesimpulan

Saya pribadi cukup dilema dengan Dareu EK840. Di satu sisi, dari segi build quality-nya ia sungguh sempurna. Sungguh tak ada yang bisa saya keluhkan dari bodi dan finishing-nya. Kalaupun ada catatan soal ketidaknyamanan, hal tersebut sangat bergantung pada kebiasaan masing-masing pengguna seperti absennya wrist rest dan ukuran keyboard yang terlalu tinggi.

Dareu EK840. Dokumentasi: Hybrid
Dareu EK840. Dokumentasi: Hybrid

Tapi di sisi lain, ia miskin fitur. Saya tahu ada gamer yang suka bermain-main dengan fitur makro (seperti saya) ataupun bermain dengan lampu RGB. Manual yang disertakan juga tak menggunakan  bahasa Inggris dan saya tak bisa menemukannya di website resmi mereka untuk diunduh.

Jadi, jika Anda termasuk pengguna yang hanya butuh keyboard mekanikal dengan build quality yang solid dan finishing touch yang sangat layak diacungi jempol, EK840 sungguh layak dipertimbangkan. Sayangnya, jika Anda juga butuh produk dengan fitur yang kaya, mungkin Anda bisa mencari yang lainnya.

Review Samsung Galaxy A31 – Performa Kelas Menengah, Experience Kelas Atas

Zaman sekarang, bermain game di smartphone bisa dibilang hampir menjadi salah satu kebutuhan utama. Apalagi selama masa pandemi, ketika akan hiburan digital meningkat gara-gara ada larangan berkumpul di tempat umum yang diterapkan pemerintah untuk menahan laju penularan virus. Bukti atas pernyataan tersebut mungkin bisa kita lihat dari pemberitaan hybrid.co.id pada bulan Mei 2020, yang mengatakan total download mobile games meningkat selama masa pandemi.

Maka dari itu, tidak heran jika kenyamanan smartphone untuk bermain game jadi salah satu aspek yang dipertimbangkan beberapa pembeli. Kemarin saya sempat me-review Xiaomi Black Shark 3, yang memang secara hardware dan software dirancang untuk memenuhi kebutuhan gaming.

Tapi dari sana saya jadi penasaran, kira-kira bagaimana rasanya gaming experience dari sebuah smartphone standar, yang tergolong ke dalam kelas menengah?

Samsung Galaxy A31 terbilang ada dalam kriteria kelas menengah tersebut. Memiliki harga Rp3.699.000 untuk varian RAM/ROM 6/128, dan menggunakan prosesor Mediatek Helio P65, kira-kira bagaimana rasanya bermain game di Samsung Galaxy A31? Sebelum menuju ke pembahasan, simak dahulu spesifikasi hardware dari Samsung Galaxy A31 yang saya kutip dari GSMArena.

Performa Kelas Menengah si Mediatek Helio P65

Mungkin agak sedikit njelimet jika saya menjelaskan alasan Samsung Galaxy A31 tergolong kelas menengah berdasarkan spesifikasi teknis. Maka dari itu agar lebih mudah, langsung saja saya jelaskan berdasarkan dari pengalaman gaming saya di smartphone ini. Secara umum, performa Samsung Galaxy A31 untuk bermain game benar-benar bisa dibilang mediocre atau kelas menengah.

Kelas menengah bisa berarti buruk, tapi juga bisa berarti bagus, tergantung game apa yang Anda jadikan standar performa smartphone. Kalau standar game Anda adalah PUBG Mobile, maka kelas menengah-nya Samsung Galaxy A31 berarti buruk, karena tidak bisa menjalankan game dengan pengaturan Smooth/Extreme. Tapi kalau standar game Anda adalah Mobile Legends Bang-Bang (MLBB), maka kelas menengah-nya Samsung Galaxy A31 berarti baik, karena masih bisa menjalankan game dengan pengaturan grafis High dan HFR Mode (60fps) menyala.

Skor Antutu yang saya dapatkan ketika menguji Samsung Galaxy A31. Hybrid.co.id - Akbar Priono
Skor Antutu yang saya dapatkan ketika menguji Samsung Galaxy A31. Hybrid.co.id – Akbar Priono

Sekarang mari kita kupas satu per satu. Berhubung Android tidak memiliki alat pengukur frame rate opensource (kecuali beberapa smartphone seperti Black Shark 3), maka ukuran frame rate dalam pembahasan performa gaming di Samsung Galaxy A31 berdasarkan perasaan, dan persepsi mata saya saja.

Untuk MLBB, saya merasa cukup puas dengan percobaan saya main dengan menggunakan Samsung Galaxy A31. Setelah mengunduh semua resource game, saya lalu mencoba push rank dengan pengaturan High, semua rata kanan, HFR Mode On, kecuali Outline dan HD Mode saya matikan.

Setelah bermain beberapa game Ranked Mode, pengalaman bermain terbilang mulus. Baik stutter maupun frame drop sangat jarang terjadi. Mungkin frame drop terlihat jika saya menggunakan alat pengukur frame rate. Namun jika berdasarkan dari apa yang saya lihat, semua berjalan dengan mulus tanpa gangguan.

Memang sempat ada pemberitahuan frame drop dari MLBB yang memerintahkan pemain untuk menurunkan pengaturan grafis. Tetapi, saya merasa Samsung Galaxy A31 masih menjalankan MLBB dengan mulus, walau menggunakan preset grafis High sekalipun.

Pengaturan di MLBB. Hybrid.co.id - Foto Oleh Akbar Priono
Pengaturan di MLBB. Hybrid.co.id – Foto Oleh Akbar Priono.

Apalagi suhu juga terbilang stabil dengan suhu baterai sebesar 33,9 derajat celsius, dan suhu CPU sebesar 58,5 derajat celsius, yang juga membuat kemampuan proesor memproses grafis jadi stabil. Tapi tentunya Anda bisa mengubah pengaturan ke preset grafis Smooth jika Anda ingin dapat performa lebih pasti.

Setelah MLBB, saya lalu mencoba PUBG Mobile. Game Battle Royale besutan Tencent Games dan Timi Studios tersebut berhasil memunculkan performa sesungguhnya Samsung Galaxy A31 dalam memproses grafis game, yaitu mediocre atau kelas menengah. Walau memiliki skor Antutu sebesar 150 ribuan, tapi Mediatek Helio P65 ternyata cuma bisa menjalankan PUBG Mobile dengan preset Graphics/Frame Rate Smooth/Ultra atau HD High saja.

Supaya lagak saya seperti pemain pro PUBG Mobile, saya mengutamakan percobaan dengan memaksimalkan frame rate terlebih dahulu, yaitu preset Smooth/Ultra. Menggunakan pengaturan tersebut, pengalaman saya bermain PUBG Mobile di Samsung Galaxy A31 terasa kurang nyaman.

Bukan karena Frame Rate Ultra yang hanya bisa mencapai maksimal 40 fps, tapi karena banyaknya stutter, frame drop, dan beberapa kali momen gagal render yang cukup terasa.

Dalam kemelut pertarungan, ada momen-momen frame drop yang membuat mata saya kesulitan menangkap pergerakan musuh. Tak hanya itu, ketika baru mendarat saya juga sempat mengalami momen stutter yang bikin saya deg-degan, takut bertemu musuh setelah stutter selesai. Setelah cukup puas menggunakan pengaturan default, saya lalu sedikit “bandel”, dan menggunakan GFX Tools untuk memaksa membuka pengaturan Frame Rate Extreme (60 fps).

Setelah GFX Tools  berhasil membuka pengaturan Smooth/Extreme, pengalaman permainan ternyata malah jadi semakin tidak nyaman. Samsung Galaxy A31 tetap tidak berhasil memproses PUBG Mobile sampai 60 fps walaupun sudah menggunakan preset Smooth/Extreme. Jika saya takar menggunakan mata dan persepsi, paling-paling game berjalan sekitar 35-45 fps saja.

Setelah dari lobby map Livik, saya lalu menuju pesawat, dan terjun payung ke Midstein. Pada saat mendarat, lagi-lagi terjadi momen stutter terjadi, yang kini bersatu padu dengan momen gagal render.

Untungnya saya berhasil selamat walau ada momen tersebut, lanjut looting, dan kembali berkemelut demi mendapat Chicken Dinner. Hasilnya, saya tidak merasakan mulusnya frame rate Extreme hampir di sepanjang permainan. Seperti takaran saya sebelumnya, frame rate game paling cuma ada di kisaran 35-45 fps saja sepanjang permainan. Tapi setidaknya, kali ini frame rate terbilang lebih stabil, membuat PUBG Mobile terasa lebih “playable” dibanding dengan preset default Smooth/Ultra.

Berhubung game di platform mobile bukan dua itu saja, jadi saya juga mencoba memainkan game lain, agar dapat memberikan testimoni gaming yang lebih menyeluruh. Supaya tidak kalah beken, saya mencoba Genshin Impact besutan Mihoyo, yang katanya bisa membuat smartphone apapun meleleh kepanasan.

Genshin Impact sepertinya tidak mengatur user dengan seketat seperti PUBG Mobile, yang sudah mematok smartphone apa harus menggunakan pengaturan grafis apa. Jadi pada Genshin Impact, Anda bisa menggunakan pengaturan grafis apapun yang Anda sukai, terlepas dari smartphone yang Anda gunakan. Melihat ini, langsung saja saya ajak Mediatek Helio P65 kerja rodi, saya ubah pengaturan grafis Genshin Impact jadi grafis rata kanan, kecuali Motion Blur saya ubah jadi Close.

Secara performa grafis, tentu saja Samsung Galaxy A31 jadi ngos-ngosan menghadapi grafis pengaturan rata kanan Genshin Impact. Walau menggunakan pengaturan 60 fps, nyatanya Genshin Impact mungkin hanya berjalan di kisaran 20-25 fps saja dalam environment tertutup, dan sekitar 15-20 fps di environment terbuka. Tapi saya ingatkan kembali bahwa angka fps tersebut hanya taksiran asal-asalan dari saya, dengan mengandalkan mata dan persepsi saja.

Performa mediocre chipset Mediatek Helio P65 di Samsung Galaxy A31 mungkin memang kelas menegah dan tak bisa diharapkan terlalu banyak. Tapi ternyata, ada sisi lain pengalaman gaming di Samsung Galaxy A31 yang berhasil buat saya takjub. Apakah itu? Mari kita lanjut ke pembahasan berikutnya.

 

Experience Kelas Atas Dari Super AMOLED dan Optimasi Samsung

Pengalaman gaming di Samsung Galaxy A31 itu, ibarat punya mobil mewah yang mesinnya ketinggalan zaman. Pada satu sisi, saya merasa kurang nyaman dengan performa chipset yang dibawa. Frame rate terbatas, kualitas grafis pun burik, tak bisa dibuat rata kanan. Tapi pada sisi lain, ada unsur lain di Samsung Galaxy A31 yang memberikan pengalaman kelas atas, dan sedikit banyak melipur lara atas performa mediocre dari sang chipset.

Pengalaman kelas atas yang saya maksud datang dari layar Super AMOLED, dan optimasi software Samsung. Optimasi software terlihat dari sisi performa thermal Samsung Galaxy A31. Masih melanjutkan dari percobaan Genshin Impact, Samsung Galaxy A31 berhasil menampik perkataan orang-orang yang bilang bahwa game tersebut bisa membuat smartphone apapun jadi panas layaknya setrikaan.

Suhu Samsung Galaxy A31 memainkan Genshin Impact terbilang cukup stabil. Panas? Tentu saja, tetapi saya tidak merasakan panas berlebihan di tangan ketika memainkan game RPG besutan Mihoyo tersebut. Tangan kiri saya yang berada di bagian dekat kamera hanya merasakan hangat yang terasa jelas, sementara tangan kanan yang berada di bagian bawah smartphone terasa adem.

Setelah menyelesaikan Temple pertama, indikator suhu dari aplikasi Antutu menunjukan suhu baterai ada di 36,6 derajat celsius, sementara suhu CPU ada di 66,6 derajat celsius. Suhu tersebut terbilang lebih adem, dibanding Black Shark 3 yang di-branding smartphone gaming, tapi bisa mencapai 38,2 derajat celsius pada suhu baterai saat memainkan game kelas berat seperti PUBG Mobile atau Asphalt 9.

Tetapi, bisa jadi hasil performa thermal tersebut saya dapatkan karena software atau chipset Samsung Galaxy A31 dirancang berjalan pada clock speed aman, yang mementingkan optimasi suhu dibanding performa kencang. Kesimpulan tersebut saya ambil setelah saya penasaran mencoba mencari opsi untuk meningkatkan performa Samsung Galaxy A31 lebih tinggi lagi.

Saya pergi ke aplikasi Setting, memilih opsi Device Care, lalu Battery, dan di sana saya menemukan Power Mode. Pada bagian tersebut, opsi Power Mode paling maksimal adalah Optimized, dengan deskripsi sebagai opsi yang menyeimbangkan antara performa dengan konsumsi daya baterai.

Masih penasaran, saya lalu membuka aplikasi khusus gaming dari Samsung, Game Launcher, dan mencari opsi untuk menggenjot performa. Pada aplikasi tersebut, opsi untuk mengatur performa ada di hamburger menu (tiga garis horizontal berjajar vertikal) yang ada di pojok kanan atas. Dari sana, akan ada opsi menu Game Performance, yang akan membuka pengaturan Game Booster.

Di dalam menu , ada opsi Game Performance yang berisi tiga pilihan, Focus on performance, Balanced, dan Focus on power saving. Ternyata, selama saya bermain, opsi tersebut sudah secara default berada di “Focus on performance”. Setelah selesai dengan pencarian tersebut akhirnya saya berasumsi, bahwa optimasi Samsung memang adalah menyeimbangkan antara performa chipset, suhu, dan daya hidup baterai.

Hybrid.co.id - Screenshot Oleh Akbar Priono
Dari kiri ke kanan, Power Mode, aplikasi Game Launcher, dan pengaturan performa Game Booster di Samsung Galaxy A31. Hybrid.co.id – Screenshot Oleh Akbar Priono

Berita baiknya, optimasi tersebut berjalan dengan baik, seperti yang saya jelaskan sebelumnya. Berita buruknya, performa Samsung Galaxy A31 cenderung terbatasi yang mungkin jadi alasan atas performa gaming yang mediocre dari smartphone ini .

Walaupun begitu, optimasi suhu sebenarnya tak kalah penting dalam pengalaman gaming. Selain membuat tangan terasa tidak nyaman, suhu panas  juga bisa memberi efek frame drop pada game yang dijalankan. Contoh, pada smartphone Poco F1 kesayangan saya. Poco F1 sebenarnya bisa menjalankan PUBG Mobile pada preset Smooth/Extreme dalam keadaan default. Tapi kalau sudah panas, siap-siap saja diserang frame drop dan stutter yang mengganggu pengalaman bermain.

Bagaimana dampak optimasi thermal terhadap pengalaman gaming di Samsung Galaxy A31? Anda mungkin bisa scroll ke atas lagi, dan baca penjelasan pengalaman saya ketika bermain Mobile Legends. Seperti yang saya sebut di atas, walau game sempat memberi notifikasi untuk menurunkan opsi grafis, tapi game berjalan lancar dan stabil dengan preset grafis High dan HFR Mode-On.

Selain stabilitas performa, optimasi suhu juga membuat baterai Samsung Galaxy A31 cenderung lebih awet. Saat saya menguji pengalaman gaming di Samsung Galaxy A31, saya melakukan maraton gaming mulai dari baterai 100%, sampai saya pegal. Tidak sepenuhnya maraton sih, karena saya melakukan pengujian sambil menyambi kerja… Hehe.

Tapi intinya, setelah putus-nyambung main game hampir 3 jam, baterai Samsung Galaxy A31 hanya berkurang sekitar 40an persen, yaitu dari 100% menjadi sekitar 53%. Padahal, kegiatan gaming yang saya lakukan terbilang ekstensif.

Hybrid.co.id - Screenshot Oleh Akbar Priono
Baterai Samsung Galaxy A31 yang bertahan selama 7 jam 22 menit saat saya uji dengan looping video 1080p (kiri), proses charging dari 0 – 80% yang berjalan selama 1 jam 50 menit (tengah dan kanan). Hybrid.co.id – Screenshot Oleh Akbar Priono.
Setelah gaming selama kurang lebih 3 jam, berikut detail jumlah konsumsi baterai dari masing-masing game. Hybrid.co.id - Screenshot Oleh Akbar Priono
Setelah gaming selama kurang lebih 3 jam, berikut detail jumlah konsumsi baterai dari masing-masing game. Hybrid.co.id – Screenshot Oleh Akbar Priono

Saya main Genshin Impact dengan pengaturan rata kanan selama sekitar satu jam, menyelesaikan Quest dan Temple pertama. Lalu saya lanjut push rank Mobile Legends dengan preset grafis High dan HFR Mode On selama 1 jam 4 menit, walaupun tidak berhasil ngepush karena rank saya tetap Grand Master. Terakhir menutup sesi gaming, saya bermain PUBG Mobile sekitar 40an menit dengan pengaturan Smooth/Extreme pakai GFX Tools. Anda bisa melihat hasil tangkapan gambar saya, untuk mengetahui secara lebih lengkap bagaimana dampak dari masing-masing game terhadap baterai.

Pengalaman kelas atas lain yang saya rasakan saat gaming di Samsung Galaxy A31 datang dari teknologi layar Super AMOLED.

Selain karena desain Full-Screen Display, layar Super AMOLED juga menciptakan reproduksi warna yang baik. Pengalaman layar Super AMOLED sangat terasa ketika saya bermain Genshin Impact sambil memperhatikan pemandangan sekitar. Padang rumput terlihat hijau cerah, dan langit biru terasa sangat imersif berkat reproduksi warna layar Super AMOLED. Namun demikian, reproduksi warna kontras tersebut mungkin tidak untuk semua orang, jadi Samsung juga menyertakan opsi reproduksi warna “Natural” yang akan menurunkan kontras layar.

Selain itu, layar Super AMOLED juga memberikan persepsi touch accuracy yang baik dan touch latency yang rendah.

Saya hampir jarang sekali mengalami salah sentuh, atau salah swipe pada saat bermain PUBG Mobile ataupun Mobile Legends. Setiap sentuhan terasa akurat, dan responsif, bahkan terasa hampir mirip seperti kemampuan touch layar Black Shark 3 yang juga menggunakan teknologi AMOLED. Saya berasumsi demikian karena saya sering sekali mengalami momen salah sentuh, swipe, dan touch delay ketika gaming di Poco F1 milik saya, yang menggunakan layar teknologi IPS.

Terakhir dari sisi gaming software, saya merasa Game Launcher milik Samsung terbilang cukup bersaing jika dibanding dengan gaming software di smartphone lain. Fitur Game Launcher tidak berlimpah tapi saya merasa setiap fitur yang disematkan dipikirkan dengan cukup matang sehingga terasa tepat guna.

Hybrid.co.id - Foto Oleh Akbar Priono
Hybrid.co.id – Foto Oleh Akbar Priono
Hybrid.co.id - Screenshot Oleh Akbar Priono
Hybrid.co.id – Screenshot Oleh Akbar Priono

Beberapa fitur Game Launcher Samsung sebenarnya juga ada di gaming software lain. Beberapa contohnya seperti kemampuan menyembunyikan game dari App Drawer dan mengelompokkannya di dalam Game Launcher, fitur Floating Shortcut yang bisa diubah jadi tombol untuk ambil Screenshot atau Screen Record, fitur untuk membuka aplikasi lain seperti Whatsapp dalam Windowed Mode, ataupun fitur untuk mengubah level performa smartphone ketika membuka aplikasi game.

Selain semua fitur itu, ada satu yang berbeda, yang juga mencoba memaksimalkan penggunaan layar AMOLED. Fitur tersebut adalah fitur Screen Touch Lock. Fitur tersebut membuat Samsung Galaxy A31 secara otomatis mengunci layar, apabila Anda sedang idle atau AFK untuk beberapa saat.

Ya… semua smartphone sebenarnya juga begitu sih, tapi fitur tersebut menyajikan sedikit perbedaan. Pada saat Screen Touch Lock menyala, game masih tetap berjalan, namun dengan frame rate dan brightness yang jauh lebih rendah untuk menghemat konsumsi baterai. Jadi jika Anda ingin kembali main, Anda tidak perlu membuka ulang game dan menunggu loading lagi. Cukup unlock layar, maka Anda bisa lanjut bermain.

 

Kesimpulan – Gaming di Samsung Galaxy A31, Good or Bad?

Hybrid.co.id - Screenshot Oleh Akbar Priono
Hybrid.co.id – Foto Oleh Akbar Priono.

Sebenarnya agak sulit menentukan kesimpulan terhadap pengalaman saya gaming di Samsung Galaxy A31. Pada satu sisi, saya geregetan dengan kemampuan chipset memproses grafis,yang membuat pengalaman gaming jadi kurang nyaman. Frame rate rendah dan grafis burik akan jadi makanan sehari-hari jika Anda menggunakan Samsung Galaxy A31 untuk game-game kelas berat.

Tapi pada sisi lain, saya juga merasa sangat nyaman dengan optimasi suhu serta baterai Samsung Galaxy A31.

Walau bermain game selama berjam-jam, suhu cenderung stabil, sehingga tangan tetap terasa nyaman saat menggenggam smartphone. Walaupun frame rate rendah tapi performanya cukup stabil berkat optimasi software oleh Samsung. Frame drop tetap ada tapi jarang sampai di titik ekstrim.

Terlebih, jarang ada smartphone pada range harga 3 jutaan dengan layar AMOLED, yang membuat pengalaman gaming jadi lebih puas berkat reproduksi warna yang cerah dan kemampuan touch yang cenderung lebih baik dibanding IPS.

Gara-gara percobaan ini, saya jadi ngarep ada smartphone yang punya optimasi + Super AMOLED seperti Samsung Galaxy A31 tapi punya performa layaknya Snapdragon seri 8.

Tapi intinya, jika Anda adalah gamer kompetitif yang mengutamakan respon dan performa (juga menggunakan PUBG Mobile Smooth/Extreme sebagai standar gaming), saya sih kurang menyarankan menggunakan Samsung Galaxy A31 untuk gaming.

Tapi jika Anda adalah gamer casual yang bermain game ala kadarnya dan mementingkan optimasi serta produktivitas, Samsung Galaxy A31 bisa jadi pilihan yang tepat.

Karena performa Samsung Galaxy A31 sebenarnya juga enggak jelek-jelek amat. Masih lancar untuk MLBB, playable untuk Genshin Impact, dan tentunya lancar memainkan game casual ringan yang juga saya coba tapi tidak saya bahas mendalam, seperti Brawl Stars, Arknights, atau Legends of Runeterra. Bonusnya, Anda akan mendapat suhu dan performa yang stabil, dan tentunya layar Super AMOLED yang bisa dibilang jadi nilai jual Samsung Galaxy A31.

Review Black Shark 3: Smartphone Investasi Calon Pemain Esports

Rilis secara global pada Maret 2020 lalu, smartphone gaming Xiaomi Black Shark 3 akhirnya resmi hadir di Indonesia pada bulan Mei 2020 lalu. Walaupun memiliki spesifikasi tinggi, segudang fitur, dan aksesori yang ditawarkan, kehadiran smartphone gaming kadang masih dipertanyakan.

Pemasukan industri mobile game memang sudah mencapai Rp540 triliun, tapi apakah smartphone gaming benar dibutuhkan oleh para pengguna? Apakah smartphone flagship saja tidak cukup digunakan untuk gaming? Lalu seberapa jauh smartphone gaming bisa memberikan pengalaman terbaik, dan memuaskan para gamers?

Setelah mengulas laptop dan built-in desktop, kali ini saya berkesempatan melakukan review terhadap smartphone gaming Xiaomi Black Shark 3. Unit yang saya review sendiri adalah varian Black Shark 3 biasa dengan konfigurasi RAM/ROM 8/128. Dibanderol dengan harga Rp9.999.000, apakah smartphone gaming ini benar layak dibeli untuk mobile gamers atau mungkin mereka yang bercita-cita jadi bintang esports?

 

Gaming Experience dan Performa

Seperti sebelum-sebelumnya, saya mencoba untuk lebih to the point dalam melakukan review. Berhubung Black Shark 3 adalah smartphone gaming, mari kita kesampingkan dahulu soal pengalaman penggunaan smartphone ini untuk sehari-hari dan fokus kepada alasan kenapa smartphone ini ada yaitu untuk gaming. Tetapi sebelum memulai review, simak dulu spesifikasi teknis dari Xiaomi Black Shark 3.

  • SOC – Qualcomm Snapdragon 865
  • CPU – Octa-core (1×2.84 GHz Kryo 585 & 3×2.42 GHz Kryo 585 & 4×1.80 GHz Kryo 585)
  • GPU – Adreno 650
  • RAM 8 GB
  • Internal 128 GB GB
  • Layar – AMOLED 6,67″ 2400×1080 90Hz
  • Dimensi – 168.7 x 77.3 x 10.4 mm
  • Bobot  – 222 g
  • Baterai – Li-Po 4720 mAh Fast Charging 65W
  • OS – Android 10 JOYUI 11

Untuk menguji kemampuan gaming dari Black Shark 3, saya menggunakan beberapa game mobile yang mungkin tidak baru, tapi saya rasa masih cukup demanding secara hardware di tahun 2020. Game tersebut adalah PUBG Mobile, Call of Duty Mobile, Fortnite, Asphalt 9, dan Arena of Valor. Dari baterai 100%, saya memainkan game tersebut secara satu per satu, sambil menangkap performa grafis, stabilitas, serta suhu smartphone. Bagaimana hasilnya? Secara singkat, pengalaman bermain game di Black Shark 3 berhasil membuat saya jadi merasa ingin meninggalkan komputer dan terus-terusan main di smartphone saja. Lebih lanjut berikut penjelasannya.

Black Shark 3 dapat menjalankan PUBG Mobile dengan pengaturan grafis Smooth dengan frame rate 90 fps, atau kualitas grafis Ultra HD dengan frame rate Ultra. Keduanya bisa berjalan dengan sangat mulus dan stabil pada Black Shark 3. Pada pengaturan grafis Ultra HD dan frame rate Ultra (40 fps maksimal), game berjalan cukup stabil di sekitaran maksimum Frame Rate yang diperkenankan. Dengan fitur Performance Monitor yang disediakan oleh JOYUI 11, tercatat bahwa penurunan fps paling jauh hanya sampai titik 38 fps saja. Namun memainkan PUBG Mobile membuat smartphone cukup hangat yaitu 38,5 derajat celsius pada suhu baterai.

Berganti ke pengaturan Smooth-90 fps, stabilitas performa Black Shark 3 juga terjaga dengan sangat baik. Kebetulan saya hampir mendapat Chicken Dinner ketika sedang menguji kemampuan Black Shark 3 dengan menggunakan pengaturan Smooth-90 fps. Hasilnya? Dari awal sampai akhir, permainan berjalan dengan sangat lancar dan hampir tanpa stuttering. Suhunya juga cenderung lebih rendah, yaitu 36,1 derajat celisius pada suhu baterai.

Berlanjut ke Call of Duty Mobile, game tersebut bisa berjalan hingga Graphic Quality Very High, Frame Rate Max (maksimum 60 fps), dengan fitur grafis tambahan seperti Depth of Field, Bloom, Real-Time Shadow, Ragdoll, dan Anti-Aliasing menyala. Mungkin Call of Duty Mobile terbilang lebih ringan jika dibanding PUBG Mobile. Saya bermain dua kali Team Deathmatch, hasilnya adalah game berjalan dengan mulus, dan suhu baterai ada di 38,2 derajat celsius.

Mencoba Fortnite, Epic Games sepertinya belum mengoptimasi game tersebut pada smartphone Android secara umum. Hasilnya Fortnite cuma bisa berjalan pada pengaturan 30 fps saja di Black Shark 3; walaupun saya cukup yakin Snapdragon 865 harusnya bisa menjalankan Fortnite dalam 60 fps. Terlepas dari itu, saya masih bisa memaksimalkan Quality Preset menjadi Epic dan 3D Resolution hingga 100%. Berhubung tidak ada server Asia Tenggara, jadi saya bermain dengan sedikit lag jaringan. Terlepas dari itu, Fortnite berjalan dengan stabil walau saya sebenarnya kurang puas dengan frame rate 30 fps saja. Suhu baterai ketika memainkan Fortnite adalah 37,5 derajat celsius, cenderung tidak melenceng terlalu jauh dari suhu rata-rata.

Asphalt 9 juga mampu dijalankan dengan pengaturan grafis maksimal, yaitu Visual Quality High dan 60 fps Enabled. Walau demikian, Asphalt 9 tidak bisa berjalan dengan sepenuhnya stabil. Game balap besutan Gameloft tersebut sempat mengalami frame drop hingga berada di angka 26 fps. Frame rate juga tidak selalu stabil di 60 fps, kecuali dalam kondisi minim efek-efek grafis. Jika Anda menghadapi lompatan atau adu tabrak dengan mobil lain, frame rate kadang-kadang bisa turun jadi sekitar 40an fps. Tapi saya cenderung masih merasa nyaman memainkan Asphalt 9, walau ada frame drop seperti demikian. Suhu baterai ketika memainkan Ashpalt 9 adalah 38,2 derajat celsius, lumayan membuat tangan saya jadi lebih hangat.

Selanjutnya Arena of Valor. Awalnya saya merasa game ini punya grafis yang cukup berat, karena visual megah yang disajikan. Grafis saya atur rata kanan, mulai dari HD Display, Display Quality, sampai Particle Quality. Saya juga tidak lupa menyalakan High Frame Rate Mode, dan Dynamic Cloud Shadow agar kualitas gambar jadi semakin ciamik. Setelah dimainkan, Arena of Valor ternyata tidak berhasil membuat Black Shark 3 kerja terlalu keras. Game berjalan stabil 60 fps, dan hampir tanpa ada frame drop ataupun stuttering. Suhu baterai cenderung rendah, yaitu 36,6 derajat celsius, masih adem di tangan.

Setelah kurang lebih sekitar 2 jam saya mencoba semua game tersebut, baterai Black Shark 3 yang memiliki kapasitas 4720 mAh tersebut berkurang dari awalnya 100% menjadi tinggal 39% saja. Cukup takjub dengan hasil yang diperoleh tersebut. Kalau melakukan skenario yang sama pada Pocophone F1 yang sudah sekitar 2 tahun saya gunakan, baterai mungkin jadi tinggal sisa 20% saja.

Hasil benchmark menggunakan Antutu setelah 3 kali percobaan. Sumber: Hybrid - Akbar Priono
Hasil benchmark menggunakan Antutu setelah 3 kali percobaan. Sumber: Hybrid – Akbar Priono

Setelah mencobanya untuk bermain game, saya lalu menguji performa Black Shark 3 dengan menggunakan Antutu Benchmark. Total Score tertinggi yang saya dapatkan adalah sebesar 570.168. Merupakan skor yang cukup tinggi, walau masih kalah jika dibandingkan dengan ROG Phone 3 yang memiliki Total Score sebesar 615.289, mengutip dari laman resmi Antutu Benchmark.

 

Shark Space dan Fitur Gaming Lainnya

Selain performa, nilai jual lain dari sebuah smartphone gaming adalah fitur-fiturnya yang fokus kepada gamers. Untuk itu, saya lalu mencoba beberapa fitur-fitur gaming unggulan yang ada di Black Shark 3. JOYUI 11 memiliki beberapa fitur yang fokus kepada segmen gaming. Secara garis besar fitur yang tersedia adalah Gamer Studio dan Shark Space. Di dalam fitur tersebut, masih ada fitur-fitur lain lagi yang akan kita bahas selanjutnya.

Jika Anda adalah pengguna MIUI 11, Anda mungkin tahu fitur Game Turbo. Secara singkat, fitur Gamer Studio dan Shark Space sebenarnya mirip dengan Game Turbo namun dengan lebih banyak opsi pengaturan. Secara default, Gamer Studio dapat diaktifkan dengan menggunakan gesture swipe dari pojok kanan atau kiri atas. Setelahnya akan keluar tampilan seperti Notification Bar yang berisikan berbagai pengaturan untuk kebutuhan gaming Anda.

Gamer Studio berisikan berbagai pengaturan, mulai dari yang paling mendasar seperti mengatur level suara atau brightness, sampai yang lebih advanced seperti Master Touch, Edge Anti-Mistouch, Master Touch, Touch Adjustment, Shark Time, Performance Monitor, bahkan Anda bisa melakukan semacam “mini-overclock” dalam Gamer Studio.

Dari fitur-fitur yang ada di Gamer Studio, yang paling saya gunakan tentunya fitur Performance Monitor (ya iya dong, kan untuk benchmark… Hehe). Tapi selain itu, saya masih merasa belum ada satu fitur pun dalam daftar tersebut yang membuat saya sreg menggunakannya.

Master Touch memungkinkan Anda menekan layar bagian kiri dan/atau kanan, dan membuatnya sebagai tambahan input ketika bermain game. Posisi tambahan input bisa Anda atur sesuka hati, sesuai dengan kebutuhan dan kenyamanan Anda. Selain itu, level tekanan juga diatur, dan ada Vibration Feedback yang akan memberi efek getar jika tekanan ke layar masuk menjadi input.

Sumber: Hybrid - Akbar Priono
Sumber: Hybrid – Akbar Priono

Saya mencoba menggunakannya pada PUBG Mobile, namun masih belum menemukan cara penggunaan ternyaman. Master Touch kiri saya atur untuk menembak, sementara Master Touch kanan saya gunakan untuk mengaktifkan ADS atau membidik. Hasilnya saya malah kelimpungan ketika bertemu musuh. Saya jadi kagok, apakah harus tekan layar atau touch ke tombol yang sudah saya set sebelumnya. Kebetulan saya adalah tipe pemain yang menggunakan Gyroscope dan mengaktifkan scope dengan cara Hold.

Mungkin karena itu, saya cenderung kesulitan ketika ingin menembak dengan menggunakan Master Touch. Setelah menekan, saya harus menahan tingkat tekanan tersebut di layar sebelah kanan. Kalau pertempuran sedang panas, saya malah lupa menekan layar, sehingga bidikan scope saya jadi lepas.

Mungkin karena saya terlalu terbiasa menggunakan touch untuk gaming di smartphone, membuat saya merasa fitur Master Touch justru cuma menambah kerepotan saja. Saya merasa bahwa dalam baku tembak tempo cepat, touch cenderung lebih efisien dibandingkan menekan. Tapi juga perlu diingat, saya baru mencoba fitur tersebut dalam skenario bermain PUBG Mobile saja.

Fitur berikutnya, Shark Time, memperkenankan pengguna merekam highlight singkat permainan, sampai dengan durasi 30 detik. Setelah diaktifkan di Gamer Studio, Shark Time akan muncul dalam bentuk tombol kecil yang bisa Anda pindah-pindah, mirip seperti aplikasi Screen Recorder pada tampilan antar-muka MIUI. Secara teori, fitur ini akan membantu Anda menangkap momen-momen penting di dalam permainan, entah itu clutch adu tembak 1 vs 5 dalam game shooter atau momen Penta Kill ketika bermain MOBA.

Masalahnya ketika sudah fokus bermain, kita tidak akan tahu kapan momen itu datang, karena Clutch atau Penta Kill tidak bisa disiapkan. Alhasil, saya yang terlanjur fokus bermain jadi lupa menyentuh tombol Shark Time, sehingga momen penting permainan saya jadi tidak terdokumentasikan. Mungkin akan lebih bagus jika Shark Time bisa merekam dan memilih momen secara otomatis seperti fitur NVIDIA Highlight gitu?

Fitur-fitur lain seperti Anti-Mistouch, Touch Adjustment, atau Performance Adjustment juga terbilang kurang terpakai secara maksimal. Kenapa? Karena dengan pengaturan default dan tanpa ada tweak di sana dan sini, gaming di Black Shark 3 sebenarnya sudah nyaman. Kontrol touch baik-baik saja, walaupun saya tidak mengaktifkan Anti-Mistouch dan Touch Adjustment. Jarang ada momen salah input, walaupun dua fitur tersebut tidak saya gunakan. Tanpa Performance Adjustment, kemampuan gaming Black Shark 3 juga sudah mumpuni, seperti yang saya bahas pada bagian sebelumnya.

Namun demikian, Performance Adjustment sebenarnya bisa jadi berguna, terutama jika Anda ingin bisa bermain game lebih lama lagi. Selain bisa meningkatkan performa, Performance Adjustment juga bisa menurunkan performa. Jadi jika Anda ingin hemat baterai, dan mendapat suhu yang lebih adem, Anda bisa melakukan “underclock” atau menurunkan tingkat utilisasi CPU.

Fitur Shark Space justru menjadi keunikan bagi Black Shark 3. Fitur ini dapat Anda aktifkan dengan cara menjentikkan tombol yang ada di kiri bawah smartphone. Setelahnya Black Shark 3 akan membuka Shark Space, dan hanya menampilkan game yang ter-install saja. Secara umum, tampilan Shark Space mirip-mirip dengan tampilan antar-muka konsol game. Saya merasa fitur ini yang membuat Black Shark 3 benar-benar semakin terasa seperti smartphone gaming.

Shark Space seakan ingin aktivitas produktivitas, dipisah dengan aktivitas gaming. Jadi bila Anda sedang membutuhkan Black Shark untuk kebutuhan produktivitas seperti membalas chat, email, atau pekerjaan lainnya, Anda bisa menikmati tampilan JOYUI 11 yang punya dengan tampilan antar-muka seperti MIUI pada kebanyakan smartphone Xiaomi.

Sementara bila sudah memasuki waktu gaming, jentikkan Shark Button, dan voila! Black Shark 3 akan menjadi mobile gaming console yang akan menyembunyikan notifikasi chat, email, dan aplikasi-aplikasi lainnya untuk sementara waktu.

Shark Space juga memiliki Observer Mode yang akan mematikan fungsi telepon, sehingga Anda tidak akan terganggu selama gaming dengan menggunakan konektivitas mobile data. Observer Mode sepertinya agak sedikit ekstrim, jadi pastikan Anda benar-benar sedang tidak dicari oleh siapapun, baik itu pacar, bos, driver delivery makanan, atau tukang tagih hutang ketika ingin menyalakan fitur tersebut.

 

Desain

Oke, setelah panjang lebar membahas soal kemampuan gaming si Black Shark 3, mari kita beralih ke hal-hal fundamental dari sebuah smartphone. Dari sisi depan, Black Shark 3 mengusung rancangan layar Full Screen Display dengan screen-to-body ratio 82,4%. Rancangan tersebut berarti layar tampil penuh, tanpa ada gangguan notch, waterdrop, atau punchhole. Sebagai pengganti, Black Shark 3 memiliki bezel atas dan bawah yang cenderung lebih tebal dibanding rancangan Full Screen Display lainnya, untuk menempatkan kamera depan.

Berpindah ke bagian belakang, Black Shark 3 yang saya review memiliki warna hitam yang sangat elegan dan khas gaming. Pada bagian atas dan bawah, ada sebuah bump atau tonjolan berbentuk diamond, yang bersifat simetris. Bump atas berisikan 3 kamera, dan bump bagian bawah berisi magnetic charging contacts, yang bisa dipasangkan dengan aksesori charger magnetic. Untuk menambah kesan gaming, Xiaomi tidak lupa menambah RGB lighting dengan logo “S” khas Black Shark, yang secara default mengeluarkan cahaya warna hijau. Selain hal yang saya sebut, tidak ada hal lain lagi di bagian belakang Black Shark 3. Fingerprint scanner sudah diletakkan ke bawah layar di bagian depan, sehingga bagian belakang smartphone jadi lebih rapi.

Beralih ke bagian sisi, Black Shark 3 dibalut oleh alumunium metal frame yang membuat Black Shark 3 terasa sangat kokoh ketika dipegang. Pada bagian kanan ada tombol power dan Shark Button, yang diaktifkan dengan cara dijentik, mirip seperti ring/silent mode button pada Apple iPhone. Sementara itu di bagian kiri ada tombol Volume Up/Down dan sim-card tray.

 

Display

Mengutip dari laman spesifikasi resmi, Black Shark 3 memiliki layar AMOLED sebesar 6,67 inci dengan rasio 20:9, resoulsi 2400 x 1080, refresh rate 90Hz, dan kepadatan pixel sebesar 394 PPI. Sejauh saya menggunakan Xiaomi Black Shark 3, saya merasa reproduksi warna yang dihasilkan sudah cukup. Ketika digunakan untuk gaming, saya pun merasa warna yang dikeluarkan sudah cukup cerah sehingga memudahkan saya untuk menemukan musuh-musuh yang bersembunyi di PUBG Mobile.

Memiliki tingkat kecerahan sebesar 500nit, Black Shark 3 terbilang cukup nyaman digunakan dalam kondisi terik matahari walau kecerhannya agak kalah dengan cahaya matahari. Untungnya JOYUI 11 menyematkan fiitur DSP display Enhancement dan Sun Screen, yang akan meningkatkan kontras warna, sehingga layar tetap jelas walau dalam kondisi terik matahari.

Sumber: Hybrid - Akbar Priono
Sumber: Hybrid – Akbar Priono

Walaupun Black Shark 3 adalah smartphone gaming, namun Xiaomi masih tidak lupa menyematkan fitur always-on display dalam JOYUI 11. Berkat fitur ini, Black Shark 3 dapat menampilkan waktu, tanggal, serta informasi baterai walaupun sedang dalam keadaan tertidur. Ketika smartphone di angkat, Black Shark 3 secara otomatis menampilkan ikon fingerprint, yang memudahkan Anda untuk unlock smartphone.

Refresh rate 90Hz tak hanya bagus untuk gaming, tetapi juga bagus dalam membuat membuat animasi demi animasi saat smartphone dioperasikan terlihat lebih mulus. Namun demikian, selain untuk sehari-hari, tingkat utilisasi layar 90Hz untuk gaming cenderung sangat rendah. Sampai saat ini belum ada game yang dapat dijalankan lebih dari 60 fps, kecuali PUBG Mobile yang baru saja merilis frame-rate 90 fps. Tambahan lainnya soal refresh rate 90Hz, saya jadi merasa video YouTube 60 fps berjalan lebih mulus. Entah benar atau tidak, mungkin hanya perasaan saya saja.

Sumber: Hybrid - Akbar Priono
Sumber: Hybrid – Akbar Priono

Fitur lain dari display Black Shark 3 adalah 270Hz touch reporting rate, yang katanya membuat setiap input yang dilakukan jadi lebih minim delay. Tapi jujur saja, saya sendiri tidak merasakan perbedaan yang signifikan dibanding dengan smartphone lain, ketika menggunakan touchscreen display Black Shark untuk gaming.

 

Daya Tahan Baterai

Black Shark 3 memiliki baterai sebesar 4720 mAh Dual Battery. Pada saat pengujian gaming, saya sudah sedikit membahas bagaimana baterai Black Shark berkurang dari 100% ke 39% setelah sekitar 2 jam bermain game secara intensif.

Agar lebih teruji, saya lalu melakukan pengujian daya tahan baterai Black Shark dengan cara menyetel video YouTube HD 1080p yang sudah saya download secara berulang-ulang, dari baterai 100% hingga tersisa 20%. Hasilnya, Black Shark 3 bisa bertahan selama 8 jam lebih (tepatnya 8 jam 16 menit 55 detik screen time on).

Sumber: Hybrid - Akbar Priono
(dari kiri ke kanan), screen on time, durasi smartphone menyalah setelah di charge, dan hasil baterai setelah 2 jam 59 menit digunakan untuk gaming intensif. Sumber: Hybrid – Akbar Priono

Jika daya tahan baterai Black Shark 3 sudah membuat berhasil membuat kagum, Anda mungkin bisa lebih kagum lagi ketika mengetahui waktu yang dibutuhkan untuk charging. Laman resmi mengatakan bahwa Black Shark 3 memiliki 65W Hyper Charge dan bisa charging sampai 50% dalam 12 menit, atau 100% dalam 38 menit.

Sumber: Hybrid - Akbar Priono
(dari kiri ke kanan) perkiraan proses charge dari 21% hingga 80  menurut AccuBattery, besar arus listrik yang masuk menurut Ampere, dan catatan proses charging menurut AccuBattery. Sumber: Hybrid – Akbar Priono

Untuk menguji hal tersebut, saya lalu mencoba melakukan charging dari 20% hingga 99% dengan menggunakan charger bawaan. Memulai charging dari 20% pada pukul 17:32, Black Shark 3 sudah terisi penuh 99% pada pukul 18:06 (20 – 99% dalam 36 menit). Selain display dan fitur tambahan yang disajikan, saya juga merasa ketangguhan serta durasi charging baterai, membuat Black Shark 3 pantas mengemban gelar sebagai smartphone gaming. Kenapa? Karena dari catatan waktu tersebut, Anda jadi bisa bermain game dengan lebih lama.

 

Kamera

Black Shark 3 memang dijual dengan titel smartphone gaming, tetapi saya merasa kamera yang disematkan di dalamnya cukup mumpuni. Black Shark 3 mengusung desain triplecamera yang terdiri dari: Kamera utama 16MP dengan bukaan lensa f/1.8, kamera wideangle 13MP dengan bukaan lensa f/2.25, dan kamera ketiga 5MP dengan depthsensor dan bukaan lensa f/2.2.

Dalam kondisi outdoor dan pencahayaan cukup, Black Shark 3 bisa menghasilkan foto yang tajam, walau reproduksi warnanya terbilang agak kurang. Terlepas dari itu, melakukan foto pada keadaan outdoor dengan fitur auto terbilang berjalan sangat mulus. Keluarkan smartphone, buka aplikasi kamera, cekrek! Hasilnya langsung seperti contoh foto-foto outdoor yang saya ambil.

Dalam kondisi indoor dan pencahayaan cukup, pengalaman mengambil foto juga terbilang masih mirip seperti saat berada di dalam kondisi outdoor. Anda bisa lihat sendiri gambar bagian depan outletoutlet mall yang saya ambil, begitu tajam, dengan tingkat exposure foto yang merata.

Namun demikian, pengambilan gambar menjadi masalah jika berada di dalam pencahayaan yang kurang. Saya mencoba mengambil foto bagian depan sebuah restoran pada malam hari. Hasilnya seperti yang Anda lihat, ada over-exposure pada pencahayaan nama restoran yang saya foto. Untungnya masalah tersebut bisa sedikit diobati dengan menggunakan Night Mode sehingga exposure foto jadi lebih merata.

Kamera depan dengan resolusi 20MP, dan bukaan lensa f/2.2, juga terbilang bisa menghasilkan foto yang cukup. Memang ada over-exposure jika Anda melakukan selfie pada kondisi cahaya berlebih. Terlepas dari itu, saya suka sekali dengan fitur Potrait Mode, yang menghasilkan foto bokeh, dengan processing yang sangat rapi.

 

Apakah Xiaomi Black Shark 3 Layak Untuk Dibeli?

Memiliki banderol harga Rp9.999.000 untuk varian RAM/ROM 8/128, saya merasa ada beberapa hal dan kondisi yang membuat Black Shark 3 jadi layak dibeli. Jika Anda punya keinginan untuk menjadi pemain esports game mobile, saya merasa Black Shark 3 dapat menjadi investasi jangka panjang yang layak untuk Anda beli.

Ada beberapa alasan kenapa Black Shark 3 jadi investasi yang bagus bagi calon pemain esports game mobile. Salah satunya adalah refresh-rate 90Hz . Walau saat ini baru PUBG Mobile saja yang bisa menjalankan 90 fps, tidak menutup kemungkinan akan ada lebih banyak game dengan refresh-rate di atas 60 fps untuk mobile platform di masa depan. Performa Xiaomi Black Shark 3 juga patut diacungi jempol dengan stabilitas performa dan suhu yang baik. Terakhir, daya tahan baterai 4720mAh dan kecepatan charge 65W Hyper Charge juga jadi alasan lain yang bisa membuat Anda “berlatih” game dengan durasi yang lebih lama.

Tapi, apakah Black Shark 3 cocok untuk dijadikan sebagai smartphone utama? Walau tidak sepenuhnya saya rekomendasikan, saya merasa tidak ada salahnya, apalagi jika Anda memang suka bermain mobile game di waktu sengang.

AMOLED Display yang diberikan membuat Black Shark 3 jadi enak dipandang. Refresh rate 90Hz juga jadi nilai tambah Black Shark 3 secara umum, karena membuat animasi untuk operasional smartphone sehar-hari menjadi semakin terasa sedap. Apalagi dengan fitur Shark Space, Anda bisa memisahkan antara produktivitas dengan hobi gaming di waktu sengang. Kamera? Dengan banderol harga yang ditawarkan, saya merasa Black Shark 3 punya kamera yang sedikit kurang maksimal walau sudah cukup. Mungkin satu hal yang membuat Black Shark 3 kurang layak beli adalah desainnya secara, yang terlalu mencerminkan gaming dan belum tentu semua orang suka.