Kenapa Kian Hari Kian Banyak Remake, Remastered, dan Kawan-Kawannya di Industri Game?

Kian hari, nampaknya kian banyak game yang dibuat ulang (baik dalam bentuk remastered ataupun remake). Buat gamer console (gamer PC juga harusnya tahu) ada versi remake dari game legendaris, Final Fantasy VII (FFVII). Beberapa waktu yang lalu, ada juga 2 game versi remastered yang dirilis dalam waktu dekat, Mafia II dan Saints Row the 3rd.

Ini kita masih belum berbicara soal Skyrim dan GTA V yang diproduksi ulang sampai berkali-kali ke platform yang lebih baru. Skyrim bahkan punya 3 versi di PC, Skyrim, Skyrim Special Edition, dan Skyrim VR.

Proses reproduksi seperti ini sebenarnya, nyatanya tak hanya terjadi di industri game tetapi juga di berbagai jenis konten seperti lagu ataupun film/serial TV.

Apalagi jika kita berbicara ke game mobile, tidak sedikit juga yang game-game yang mengambil karakter-karakter yang sudah populer sebelumnya untuk dimasukkan ke dalam game baru — baik itu yang resmi ataupun tidak resmi.

Pertanyaan besarnya, kenapa hal ini bisa dan semakin sering terjadi di zaman sekarang?

Ada 5 jawaban dari perspektif berbeda yang sudah saya kumpulkan atas pertanyaan tadi. Jadi, tanpa basa-basi lagi, inilah kelima jawaban tersebut.

 

1. Low Cost and Low-Risk Effort of Business

Jawaban pertama di sini mungkin adalah yang paling gampang dipahami dan ditemukan oleh setiap orang. Semua bentuk usaha bisnis pasti memiliki resiko karena ada modal yang harus digelontorkan tetapi belum tentu laku di pasaran.

Via: Alex Ioana at Medium
Via: Alex Ioana at Medium

Dengan memproduksi ulang ide yang sudah ada, usaha produksi tentunya jadi lebih murah karena tidak butuh keseluruhan aspek untuk dikerjakan dari awal. Versi remastered misalnya, developer tak perlu lagi membayar pembuat plot cerita/storyline, perancang karakter, game designer, pengisi suara, pencipta musik, ataupun yang lainnya karena semuanya sudah ada. Developer hanya perlu meningkatkan kualitas tekstur dan fitur grafis saja di dalam remastered.

Versi remake di sisi lain memang butuh lebih banyak orang, waktu, dan biaya. Seperti saat FFVII dibuat ulang, developer harus membuat ulang game tersebut dari banyak segi namun tetap saja ada satu faktor lagi yang membuatnya lebih rendah resikonya, yaitu pasar (audience).

FFVII adalah salah satu game legendaris dari zaman PlayStation pertama. Justru Anda yang keterlaluan jika Anda belum pernah mendengar game yang satu ini — terlepas pernah memainkannya atau tidak. Dengan begitu, sang developer/publisher tak perlu khawatir akan mencari pasar baru karena sudah terbukti ada.

Borderlands 3. Credits: 2K
Borderlands 3. Credits: 2K

Mencari pasar baru ini memang faktanya tak semudah itu. Gearbox misalnya yang beberapa tahun silam menciptakan Battleborn. Sayangnya, usaha mereka mengenalkan franchise baru tak berhasil. Hal tersebut berarti waktu, usaha, dan modal yang dikeluarkan untuk menciptakan Battleborn jadi tak sepadan dengan keuntungan materiilnya. Gearbox bahkan lebih sukses dengan Borderlands 3 (meski bentuknya sekuel, bukan remake apalagi remastered) karena pasarnya tadi sudah ada sejak BL2 ataupun BL1.

Saya kira hal ini juga yang jadi alasan kenapa banyak game-game mobile yang menawarkan nilai rendah dari aspek autentisitas (meski memang konsep autentisitas/keaslian itu juga bisa diperdebatkan lebih jauh, yang akan kita bahas di bagian terakhir). Dari pengalaman saya memerhatikan industri game mobile, memang nyatanya sebagian besar (jika tidak bisa dibilang semua) game yang ada di sini terinspirasi (atau meniru) dari produk lainnya baik dalam satu aspek atau lebih, dari soal gameplay ataupun karakter.

Sebelum kita pindah ke alasan kedua, yang berasal dari perspektif pengguna, saya ingin menyampaikan bahwa remake, remaster, sekuel/prekuel, spin-off, ataupun yang lainnya yang tidak sepenuhnya orisinal itu belum tentu negatif juga sebenarnya.

Saya juga memainkan kembali saat Bethesda merilis kembali Skyrim Special Edition (berhubung gratis juga buat para pemilik Skyrim awal dengan semua DLC-nya). Saya juga salut dengan usaha Square Enix membuat kembali FFVII Remake.

Meski memang hal-hal yang tak sepenuhnya orisinal itu bisa dibilang lebih murah ongkos produksinya dan lebih aman soal pertaruhan bisnis, kita tidak bisa serta merta memberikan cap negatif juga selama memang implementasinya dikerjakan dengan sangat baik. Sebaliknya, tidak semua hal yang orisinal itu juga pasti bagus.

 

2. Nostalgia, Narsisisme, dan Familiaritas

Semua produk tidak akan bertahan jika tidak ada pasarnya juga. Demikian juga dengan produk-produk remake, remaster, spin-off, sekuel, dkk. tadi. Faktanya, kita sebagai pengguna juga menyukai produk-produk tersebut.

Ada 3 alasan yang saya temukan dari perspektif pengguna yang membuat kita menyukai produk-produk tadi.

Alasan pertama tentunya adalah faktor nostalgia. Siapakah yang tidak suka dengan nostalgia, khususnya untuk kenangan-kenangan manis kita di masa lampau? Saya juga masih ingat kenangan manis saya saat bermain Suikoden 2 ataupun Legend of Dragoon di PSX dan berharap ada versi remake-nya di PC, di masa depan kelak.

Legend of Dragoon. Credits: Sony
Legend of Dragoon. Credits: Sony

Saat kita mendengarkan lagu lawas, menonton film jadul, ataupun bermain game klasik, kita juga terbawa kembali ke kenangan-kenangan indah saat kita masih anak-anak dulu — yang faktanya masa kanak-kanak itu selalu lebih menyenangkan karena saya dulu tak perlu pusing mencari nafkah untuk keluarga, hidup tanpa beban tuntutan yang berarti, ataupun mengingatkan berkali-kali para penulis yang masih sering typo ataupun menuliskan kalimat yang aneh… Wokawoakowkaow

Selain soal nostalgia, produk-produk lama juga bisa digunakan untuk kebutuhan narsisistik. Setiap orang pasti narsis, setidaknya dalam tingkatan yang berbeda-beda. Karena itulah media sosial itu selalu ramai karena, salah satunya, kita ingin mengiklankan diri tentang siapa kita di depan kawan-kawan ataupun di dunia maya.

Game-game, musik, atau film klasik itu bisa jadi salah satu metode memuaskan hasrat narsisistik kita… Jika tidak percaya, silakan tuliskan postingan seperti ini di media sosial, “tuliskan 5 band favorit kamu saat masih sekolah dulu…”

Saya yakin ada banyak orang yang akan menuliskannya dengan senang hati untuk memamerkan selera mereka. Hal yang sama juga terjadi dengan FFVII Remake karena kita bisa pamer bahwa FFVII dulu adalah salah satu game yang mewarnai hidup kita dulu.

Terakhir, alasan yang membuat kita suka dengan produk-produk klasik adalah familiarity principle/mere-exposure effect. Dengan meledaknya popularitas MCU di layar lebar (yang sebelumnya juga sudah memanfaatkan familiaritas dari komiknya), semakin banyak orang yang familiar dengan karakter-karakter dari jagat Marvel. Hal ini yang kemudian dimanfaatkan dengan baik (atau malah terlalu eksploitatif) ke game-game di berbagai platform.

Hal ini juga berlaku di aspek hidup kita lainnya, tak hanya soal konten yang kita konsumsi. Saat kita pindah kantor, misalnya, ada satu kenyamanan juga yang kita dapat saat kita sudah mengenal satu kawan atau lebih sebelumnya di kantor baru.

Saat kita berkendara juga, kita memiliki kecenderungan untuk melewati jalan-jalan yang sudah kita lewati/hafal (familiar juga) sebelumnya.

3 faktor tadilah yang membuat kita sebagai pengguna juga lebih terbuka dengan produk remake, remaster, sekuel/prekuel, spin-off, dan kawan-kawannya.

 

3. Technological Advancements

Satu lagi faktor yang membuat lebih banyak remake, remaster, ataupun kawan-kawannya tadi datang dari perspektif lain yang berbeda. Faktor ketiga datang dari perkembangan cepat teknologi selama beberapa tahun belakangan.

Di 2011, Ray Kurzweil bahkan sempat mengatakan, “jadi kita tidak akan merasakan kemajuan (teknologi) 100 tahun di abad 21 — perkembangannya lebih cocok dibilang setara dengan 20 ribu tahun (dengan kecepatan sekarang).

Salah satu yang membuat kita malas memainkan game-game klasik adalah grafisnya yang terlihat amit-amit jeleknya saat dibandingkan dengan game-game baru. Hal ini juga terjadi karena perkembangan teknologi grafis di game yang begitu cepat. Coba saja kita bandingkan 2 game yang sama-sama besutan Rockstar, yaitu GTA V dan RDR 2. Kedua game ini hanya terpaut 5 tahun tanggal rilisnya. GTA V dirilis di 2013 sedangkan RDR 2 dirilis di 2018. Kebetulan saja, saya memang memainkan kembali GTA V setelah saya menamatkan RDR 2. Jadi, saya melihat begitu jauhnya kecantikan grafik yang ditawarkan oleh RDR 2, dibandingkan GTA V.

Credits: Rockstar
Credits: Rockstar Games

Di era sebelum ini, misalnya di era Super Nintendo (SNES), perkembangan teknologi grafis belum secepat ini. SNES diproduksi pertama kali di tahun 1990 dan berhenti produksi di tahun 2003. Jadi masa hidupnya bisa sampai 13 tahun. PlayStation 4 dirilis 2013 dan tak lama lagi kita akan melihat PlayStation 5, meski masih 7 tahun berselang.

Perkembangan teknologi grafis ini semakin terlihat signifikan jika kita melihat dari platform PC dan mobile. 10 tahun yang lalu, saya kira belum ada game-game mobile yang punya grafis secantik game-game di daftar ini.

Di sisi lain, silakan percaya atau tidak namun kebutuhan perkembangan teknologi itu sangat bergantung pada pengalaman Anda. Misalnya, Anda yang belum pernah menggunakan monitor 120Hz ke atas, mungkin Anda tidak akan merasa butuh. Demikian juga jika Anda hanya menggunakan headset, keyboard, dan mouse di bawah harga Rp100 ribuan. Kemungkinan besar, Anda merasa tidak akan merasa butuh peripheral di atas harga Rp1 jutaan.

Demikian juga soal grafis game. Jika Anda sudah terbiasa bermain game di PC dengan setting mentok kanan plus ReShade ataupun ENB, kemungkinan besar, Anda tidak mau menatap grafis kelas console apalagi mobile… Wkwkwkwk… PC Master Race FTW! 

GTA V. Credits: Rockstar Games
GTA V. Credits: Rockstar Games

Di sisi lain, teknologi juga yang memudahkan proses duplikasi remake atau remastered. Inilah sebabnya juga, menurut saya, Skyrim lebih banyak diproduksi ulang ketimbang Morrowind ataupun Oblivion. Contoh lainnnya, ibaratnya saja seperti ini, musik yang sudah diproduksi zaman digital akan lebih mudah diproduksi ulang ketimbang musik saat masih pakai kaset atau malah masih piringan hitam.

Semakin mudah, kembali lagi, semakin murah juga ongkos yang harus dikeluarkan untuk produksi ulang.

 

4. The industry is about Reproduction

Jika tiga jawaban di atas memang kedengarannya lebih dangkal dan mudah dipahami, dua jawaban terakhir akan lebih dalam atau bahkan mungkin filosofis…

Theodor Adorno dan Max Horkheimer pernah mencetuskan sebuah teori yang disebut dengan culture industry. Teori tersebut mengatakan bahwa film, musik, dan konten-konten lainnya sudah tidak lagi bisa disebut sebuah karya seni, melainkan sebuah produk dari industri. Silakan baca sendiri untuk teori lengkapnya karena akan terlalu panjang untuk dijelaskan semuanya di artikel ini.

Teori Adorno dan Horkheimer tadi memang sedikit berbeda arah dengan yang ingin saya jelaskan di sini namun, satu hal yang pasti, bagi saya teori ini wajib dipahami bagi orang-orang yang bekerja di industri kreatif.

Derivasi dari teori tadi, karena produk-produk konten (termasuk game) tadi sudah tak lagi disebut karya seni, tentunya jadi lebih sah jika diproduksi berulang kali untuk memaksimalkan keuntungan.

Saya yakin tidak banyak yang protes (dengan alasan tidak orisinal) jika sebuah bola lampu diproduksi jutaan kali setiap harinya. Demikian juga dengan bentuk mouse, keyboard, headset, ponsel, dan lain-lainnya yang memang sebagian besar bentuknya sama atau mirip-mirip.

Makanya, produk konten juga bisa saja sah dan tak mengherankan lagi jika direproduksi berulang kali karena sama-sama produk dari industri.

Terlepas dari orang-orang yang ingin memandang sebuah game, musik, ataupun film sebagai sebuah mahakarya, nyatanya konten tersebut (orisinal atau tidak) adalah produk industri yang memang dibuat dengan tujuan mendapatkan keuntungan.

 

5. Originality is overrated

Jawaban terakhir yang mungkin juga filosofis adalah soal mempertanyakan konsep originality.

Mark Twain pernah mengatakan seperti ini, “the kernel, the soul, let us go further and say the substance, the bulk, the actual and valuable material of all human utterances is plagiarism.

Ia percaya bahwa tidak ada yang namanya pemikirian orisinal karena setiap subjek yang ada di dunia sudah dituangkan, ditulis, dan dipelajari. Silakan percaya atau tidak namun cerita tentang perjuangan seorang pahlawan membela kebenaran itu bahkan sudah ada sejak Beowulf dituliskan sekitar 1000 tahun yang lalu. Lagu tentang putus cinta? Saya kira sudah terlalu buanyaaaak lagu-lagu tentang kisah seperti itu dalam berbagai bahasa dari berbagai zaman.

Kita hidup di zaman modern saat peradaban sudah berusia 6000 tahun. Terlalu arogan atau bisa jadi naif saja jika Anda percaya bahwa ide Anda adalah yang pertama kali di dunia… Bahkan penemuan komputer saja tidak datang dari ide satu orang saja. Semua penemuan dan teknologi sepanjang sejarah manusia itu datang dari kolaborasi ide dan usaha antara kita dan sesama kita.

Dengan demikian, semakin lama peradaban dunia bertahan, semakin banyak pula ide-ide remake, remaster, sekuel, atau apapun itu namanya.

Saya tahu jawaban kelima ini memang sepertinya terlalu melebar dari pertanyaan yang spesifik yang jadi judul artikel ini. Namun demikian, saya kira tidak ada salahnya juga menyadari bahwa originality itu tidak sedangkal yang Anda bayangkan sebelumnya.

Meski begitu, jangan jadikan teori ini sebagai tempat berlindung dari sekadar mencontek atau plagiarisme demi mendapatkan jalan mudah mencari keuntungan ataupun ketenaran juga karena Anda tetap saja akan kelihatan banal dan dangkal jika seperti itu konteksnya…

 

Akhirnya

Itu tadi kelima jawaban yang bisa saya temukan kenapa banyak remake, remastered, dan kawan-kawannya di industri game ataupun bahkan di industri konten kreatif lainnya.

Dari sisi bisnis, pasar, dan teknologi, reproduksi ulang memang sangat masuk akal untuk dijalankan seperti yang sudah saya jabarkan tadi di atas. Sedangkan dari sisi industri dan pemahaman tentang originality, saya kira remake, remaster, spin-off, sekuel/prekuel, dan kawan-kawannya ini memang sudah tak dapat dihindari lagi.

 

Perlukah Mengadakan Turnamen Esports Khusus Perempuan?

Esports kini menjadi semakin populer. Tak hanya itu, esports juga semakin diakui sebagai olahraga. Buktinya, esports dimasukkan ke dalam berbagai ajang olahraga bergengsi, seperti Asian Games 2018 dan SEA Games 2019. Esports bahkan dikabarkan akan masuk dalam Olimpiade.

Dalam olahraga tradisional, kebanyakan kompetisi dipisahkan berdasarkan gender. Salah satu alasannya karena secara fisik, perempuan dan laki-laki memang memiliki kemampuan yang berbeda. Mengingat saat bermain esports para atlet “hanya” harus menatap layar dan menggerakkan mouse atau menyentuh layar smartphone, Anda mungkin berpikir, tidak ada perbedaan signifikan antara performa laki-laki dan perempuan. Namun, benarkah begitu?

 

Performa Pria dan Perempuan, Apakah Berbeda?

Saat ditanya apakah ada perbedaan antara performa atlet esports perempuan dan pria, Shena Septiani, Digital Marketing Manager, Bigetron Esports berkata, “Menurut saya, perbedaan mekanik dipengaruhi oleh hormon. Keseimbangan estrogen dan progesteron pada perempuan menjadi kunci tentang bagaimana otak dan emosi bekerja.”

Estrogen adalah hormon seks yang lebih dominan pada perempuan. Memang, pria juga memiliki hormon estrogen, hanya saja, tingkat estrogen pada perempuan lebih tinggi dari pria. Fungsi hormon tersebut pada perempuan dan pria juga berbeda. Begitu juga dengan hormon progresteron. Perempuan dan pria memang memiliki hormon tersebut, tapi dalam kadar dan fungsi yang berbeda. Pada perempuan, progesteron memengaruhi siklus menstruasi, kehamilan dan embriogenesis.

“Kedua hormon itu membuat perempuan sulit untuk fokus pada waktu-waktu tertentu,” ujar Shena. “Namun, di situlah pentingnya latihan rutin dan kedisplinan. Buktinya, di Bigetron, ada BTR Alice yang tergabung dalam Bigetron Red Aliens, divisi PUBG Mobile.”

Bigetron Red Aliens. | Sumber: Facebook PUBG Mobile Indonesia
Bigetron Red Aliens. | Sumber: Facebook PUBG Mobile Indonesia

Sayangnya, tidak banyak tim esports yang mencampur pemain pria dan perempuan. Hal itu disebabkan oleh beberapa hal, menurut Kresna, Project Manager Women Star League. Salah satunya adalah karena kemungkinan, perempuan lebih merasa nyaman bermain dengan sesama perempuan. Begitu juga dengan para pemain laki-laki.

“Selain itu, juga ada anggapan bahwa para pemain perempuan itu kurang pintar dalam bermain game,” ujar Kresna. “Ya bebanlah, ya merepotkanlah, dan lain-lain. Hal itu yang membuat laki-laki cenderung membuat tim bersama pemain laki-laki juga.” Padahal, menurut Kresna, anggapan itu tidak benar. Dia percaya, keberadaan turnamen esports khusus perempuan dapat membantu untuk menghapus stigma tersebut.

Sementara itu, menurut Herry Wijaya, Head of Operation, Mineski Global Indonesia, saat ini, sebagian besar pemain esports perempuan lebih tertarik untuk menjadi influencer daripada menjadi pemain profesional. “Kalau saya boleh mengambil kesimpulan singkat tanpa riset, saya melilhat bahwa pemain perempuan ujung-ujungnya biasanya tidak menjadi pro player. Bahkan setelah menang turnamen esports khusus perempuan, mereka biasanya menjadi influencer,” ujarnya. “Saya tidak melihat ambisi untuk menggeser posisi pemain ternama di organisasi esports besar, seperti Rekt dari EVOS misalnya.”

 

Seberapa Penting Turnamen Esports Khusus Perempuan?

Menurut Rezaly Surya Afhany, Manager Esports di Telkomsel dan Head of Digital Games Product Management, turnamen esports perempuan cukup penting untuk diselenggarakan, baik oleh publisher maupun pihak ketiga. “Pendapat pribadi saya, ekosistem di industri game akan tumbuh secara organik dan jauh lebih sehat jika memerhatikan kebutuhan para lady gamers ini,” kata Rezaly saat dihubungi melalui pesan singkat. “Salah satunya melalui penyelenggaraan turnamen khusus perempuan.” Dia merasa, saat ini, jumlah turnamen esports untuk para gamer perempuan jauh lebih sedikit daripada turnamen untuk pria, mulai dari kompetisi tingkat grassroot sampai nasional.

The Prime Snaky jadi pemenang PINC Ladies 2020. | Sumber: Instagram
The Prime Snaky jadi pemenang PINC Ladies 2020. | Sumber: Instagram

“Beberapa publisher besar di Indonesia sudah lama turut mengembangkan ladies tournament, seperti Princess Cup, turnamen Arena of Valor dari Garena atau PINC Ladies, turnamen PUBG Mobile dari Tencent. Walaupun turnamen tersebut masih disajikan sebagai bagian dari pertandingan hiburan,” kata Rezaly. “Menurut saya, perlahan tapi pasti, pasarnya sudah kelihatan, baik dari tim yang ikut serta atau viewership. Selama turnamennya ada, para pro player perempuan ini akan berusaha untuk membentuk tim solid untuk berpartisipasi. Jadi, kualitas pertandingannya ya juga nggak kalah sengit dari pertandingan esports pria.”

Soal kemampuan, Kresna punya pandangan yang lain. “Kalau dari skill, menurut saya, para pemain perempuan belum sama dengan tim Mobile Legends Pro League. Mungkin, kalau dengan Mobile Legends Developmental League masih 50-50. Tapi, kalau dengan tim-tim di luar itu, para ladies yang ada di organisasi esports, skill-nya sudah selevel atau bahkan melebihi tim tersebut,” ujarnya.

Martin Yanuar, Manager Belletron punya pendapat yang sama dengan Kresna. “Menurut kami, skill antara pemain pria dan perempuan tidak akan sama. Karena para pemain perempuan cenderung lebih sulit untuk berlatih full-time,” ujarnya. “Kecuali kalau turnamen ladies memberikan hadiah yang setara dengan turnamen umum senilai ratusan juta.”

Memang, dari segi total hadiah, turnamen esports perempuan biasanya menawarkan hadiah yang jauh lebih kecil daripada turnamen umum yang diikuti oleh pemain pria. Misalnya, juara PINC mendapatkan hadiah sebesar Rp180 juta sementara pemenang PINC Ladies hanya mendapatkan Rp10 juta.

Sebagai bagian dari organisasi esports, Shena mengungkap harapannya, di masa depan, para penyelenggara turnamen esports akan memberikan hadiah yang sama besarnya dengan turnamen umum. “Walau sebenarnya, masalah ini tidak hanya terjadi di esports, tapi juga di dunia olahraga,” ujarnya. “Semoga saja ke depan, turnamen esports bisa lebih setara sehingga para pemain perempuan semakin beregenerasi menjadi lebih hebat lagi.”

Pembagian hadiah turnamen PINC. | Sumber: situs resmi
Pembagian hadiah turnamen PINC. | Sumber: situs resmi
Pembagian hadiah turnamen PINC Ladies. | Sumber: situs resmi
Pembagian hadiah turnamen PINC Ladies. | Sumber: situs resmi

Terkait ketimpangan hadiah turnamen antara kompetisi pria dan perempuan, Rezaly merasa, selama pihak penyelenggara dan peserta merasa tidak keberatan dengan total hadiah yang diberikan, maka hal itu seharusnya tidak menjadi masalah. “Besar kecilnya hadiah biasanya digunakan sebagai salah satu cara untuk menarik tim berpartisipasi dalam sebuah turnamen,” katanya. “Jika semua pihak, yaitu penyelenggara dan peserta, merasa sepakat untuk berpartisipasi, maka besar kecil hadiah turnamen perempuan tak lagi relevan sebagai satu-satunya hal yang harus dikejar.”

Sementara saat ditanya apakah kecilnya total hadiah turnamen esports perempuan disebabkan oleh rendahnya minat penonton, Rezaly menjawab, “Bisa jadi, kurangnya minat dari partisipan atau jumlah menonton membuat penyelenggara atau pihak sponsor masih berpikir keras sebelum menyelenggarakan turnamen perempuan, karena ROI (Return of Investment) yang tidak sesuai dari segi pemasukan atau analitik.”

 

Daya Tarik Turnamen Esports Perempuan

Game dan esports adalah ranah yang identik dengan pria. Jadi, tidak heran jika kebanyakan penonton esports itu laki-laki. Menurut studi yang dilakukan oleh Interpret pada 2019, 70 persen penonton esports merupakan pria, sementara 30 persen sisanya perempuan. Kabar baiknya, jumlah fans esports perempuan terus naik dari tahun ke tahun.

Jumlah penonton esports perempuan terus naik. | Sumber: Interpret
Jumlah penonton esports perempuan terus naik. | Sumber: Interpret

Namun, Herry mengatakan, fakta bahwa sebagian besar audiens esports merupakan laki-laki justru membuat turnamen esports perempuan menjadi digemari. “Karena yang nonton kebanyakan pria, kalau yang bertanding perempuan, sudah pasti viewership akan tinggi, karena ada daya tarik dari lawan jenis,” ujar Herry. Rezaly mengatakan hal serupa. Audiens laki-laki juga senang untuk menonton turnamen perempuan, terutama jika ada pemain yang menjadi idolanya.

Sementara itu, Kresna mengatakan, turnamen khusus perempuan memang masih dapat menjaring penonton. “Tapi, memang tidak sebanyak MPL atau MDL, yang sudah berjalan lama,” ungkapnya. “Hal ini mungkin karena turnamen perempuan cenderung lebih baru dan tidak semua orang tahu.”

Herry berkata, Mineski memang memiliki rencana untuk membuat turnamen khusus perempuan di masa depan. Hanya saja, rencana tersebut mungkin tidak direalisasikan dalam waktu dekat. Pasalnya, jadwal turnamen esports saat ini sudah padat. Jika muncul turnamen baru, tidak tertutup kemungkinan, hal ini justru akan merusak keseimbangan yang sudah tercapai di ekosistem esports di Indonesia sekarang.

“Ada banyak hal yang harus dipikirkan jika kami mau membuat IP baru,” kata Herry. “Jadwal turnamen sudah banyak, bisa jadi justru rebutan jadwal. Dan hal itu tidak bijak. Kami lebih memilih untuk fokus pada turnamen yang sudah ada dengan meningkatkan kualitas turnamen tersebut.”

 

Kenapa Penyelenggara Mengadakan Turnamen Esports Perempuan?

Women Star League diadakan dengan dua tujuan, jelas Kresna. Pertama adalah untuk membentuk ekosistem esports bagi para pemain perempuan agar mereka bisa berkompetisi dan berkarir di dunia competitive gaming layaknya pria. “Biar para ladies juga tidak dipandang sebelah mata lagi dan bisa menunjukkan bahwa mereka punya skill yang sama dengan para laki-laki,” katanya.

“Yang kedua, dengan mengadakan turnamen esports perempuan, kami mau hal ini menjadi wadah bagi para ladies yang bingung untuk menyalurkan hobi dan bakatnya di dunia esports. Sedangkan untuk bermain bersama pria juga sulit,” ungkap Kresna. “Kami ingin, dengan adanya turnamen esports perempuan, maka akan semakin banyak pemain perempuan baru agar ekosistem esports perempuan di Indonesia menjadi semakin ramai.”

Sama seperti Kresna, Rezaly mengatakan, tujuan penyelenggara seperti Dunia Games (yang ada di bawah Telkomsel) mengadakan turnamen esports perempuan adalah untuk menumbuhan ekosistem esports perempuan. Hal ini pada akhirnya akan membuat industri esports menjadi semakin bernilai.

Tim ladies DG Esports. | Sumber: LINE
Tim ladies DG Esports. | Sumber: Dunia Games

“Kami percaya, turnamen khusus perempuan akan memunculkan banyak gamer perempuan berprestasi, sehingga akan ada lebih banyak engagement, viewership, lebih banyak produksi konten, dan lebih banyak lowongan pekerjaan baru,” kata Rezaly. “Kami ingin agar ekosistem esports perempuan terbentuk dan bisa berkembang, sama seperti acara olahraga, baik di tingkat nasional maupun global. Dalam acara olahraga tradisional, kan ada perlombaan khusus untuk perempuan. Nah sama seperti itu. Esports kan juga cabang olahraga yang mendapatkan medali, siapa tahu, nanti juga akan juga ada untuk perempuan.”

Namun, Roma tidak dibangun dalam semalam. Begitu juga dengan ekosistem esports perempuan. Untuk mengembangkan ekosistem esports perempuan agar sejajar dengan scene esports untuk pria saat ini diperlukan waktu yang cukup lama. Herry memperkirakan, waktu yang diperlukan untuk mengembangkan ekosistem esports perempuan akan memakan waktu sekitar tiga tahun. Dengan syarat, turnamen esports perempuan diadakan secara rutin. Idealnya, ada dua turnamen setiap tahun.

Kepercayaan diri Herry bukannya tidak beralasan. Dia bercerita, pada awal kemunculan esports Mobile Legends, juga tidak banyak tim dan pemain profesional yang memang mumpuni. “Pada tahun 2017, hanya ada dua tim Mobile Legends yang punya performa baik, yaitu Saint Indo dan Elite8 Esports,” katanya. “Namun, kini, MPL memiliki delapan tim dengan performa yang selevel.” Dia percaya, hal serupa juga bisa terjadi pada ekosistem esports perempuan.

 

Kesimpulan

Dunia esports memang sudah semakin berkembang. Sayangnya, perempuan masih menjadi kaum minoritas di industri tersebut. Jika dibandingkan dengan jumlah pemain profesional pria, jumlah pemain perempuan jauh lebih sedikit. Tak hanya itu, turnamen esports perempuan juga biasanya menawarkan hadiah yang lebih kecil. Untungnya, ada berbagai pihak yang tetap tertarik untuk menyelenggarakan turnamen esports perempuan.

Keberadaan turnamen esports perempuan bisa menjadi ajang bagi para lady gamers untuk unjuk gigi. Dan jika turnamen tersebut diadakan secara rutin, tak tertutup kemungkinan, ekosistem esports perempuan bisa menjadi sama berkembangnya dengan scene esports pria.

Sumber header: Red Arrow Studio

Various Research Results on the Positive Impact of Playing Games

In Indonesia, games become a big problem for some parents, especially seen as the reason why a student got bad grades or bailed school. Even in a developed country like the United States, game often becomes the scapegoat. For example, everytime there is a mass shooting, game will be named as one of the reasons for the shooter to become a cold-blooded killer. Meanwhile in China, game is named as the reason for an increasing number of near-sighted youths. The impact of game to the players is a topic that has been debated for decades, giving birth to a lot of studies.

 

How does a Game Impact its Players?

In 2013, American Psychological Association (APA) did a research on how games can be used as education tools, and the positive impact of games to kids and teenagers.

“For decades, researches of the negative impact of playing games, including addiction, depression, and aggression, have been done. We never say that those researches have to be dismissed,” said Isabela Granic, PhD of Radboud University Nijmegen, Netherland, as one of the writer who developed said research, as quoted from APA sites.

According to the research, playing games can increase the cognitive ability of kids, including spatial navigation, perception, memory, even critical thinking. What’s interesting, shooting games, which have been regarded as full of violence, can also give positive effects, which is increasing the spatial cognition (the capability to navigate in the 3D plane). “This is important in children’s education and career development, because researches show that spatial skills possessed by a person will be impacting their achievements in science, technology, engineering, and mathematics,” said Granic.

So, is there any difference between the brains of gamers and non-gamers? To answer this question, in 2018, Senior Editor of Wired, Peter Rubin went to the Sports Academy in Thousand Oaks. There, he participated in a series of cognitive test, and having the results compared to professional gamers. You can see the contents of the tests in the video below.

The test results showed that professional gamers scored better, especially in tests that forced the participant to dismiss the distractions around them to focus on an objective. Games, especially action games, have a very high pace, forcing the players to make decisions in split second, amidst chaotic situations.

C. Shawn Green, Associate Professor, Department of Psychology, University of Wisconsin-Madison said that action games can indeed impact a person’s cogenitive skills. There are three cognitive skills that will increase when someone plays action games. The first one is perception, how we perceive our surroundings based on the stimulations received by our senses. The second one is spatial cognition, which is the ability to navigate on a 3D environment. The third and last one is top down attention, which is an ability to dismiss distractions, rendering them focused to one set goal.

 

Not All Games Give the Same Impact

Action games are proven to give good impacts to a person’s cognitive skills. But it does not mean all games produces the same effect. Games come in a wide range of variety of genres and gameplays. Playing role playing games and puzzle games will produce different effects than playing action games. Even so, it is not concluded that only action games produce positive impacts. In the research, APA stated, playing strategy games, including RPG, will increases a child’s problem-solving capability. One thing for sure, playing games can increase the creativity of the players, regardless of the genres they play.

Meanwhile, in a study titled Social Interactions in Massively Multiplayer Online Role-Playing Gamers, it is stated that playing MMORPG can increase the social skills of the players. The reason is, because MMORPG can be a place for the players to know one another and build friendships. The fact is, player-to-player interactions is seen to be one of the main attraction of MMORPG games.

Game MMORPG biasanya mendorong pemainnya untuk membentuk grup. | Sumber: Elder Scroll Online
MMORPG usually encourage the players to form groups. | Source: Elder Scroll Online

The interesting part, when playing MMORPG games, players can express themselves more freely. The hypothesis is, because a player does not feel bound to an identity – like age, gender, or appearances – when playing these games. Aside from increasing social skills, MMORPG games can also teach the importance of teamwork. In fact, most MMORPG games offer guild or clan feature, encouraging players to work hand-in-hand with one another.

Mark Griffiths, one of the writers of the study “Social Interactions in Massively Multiplayer Online Role-Playing Gamers” also believe that games can be used as an educational tool. The reason is, games can give stimulations to the players. In addition, playing games give you pleasure and fun. If learning materials are shaped into games, the students can be more focused to study it because it is not boring. Also, games are interesting to play for everyone, regardless of age, gender, or ethnic background.

Not just for education, Griffiths also think that games can be used for therapy, and there is, in fact, a research lab doing researches on this topic.

Game as a “Cure”

Neuroscape is a research lab in University of California, San Francisco, that has done a research on how games can be used to “cure” mental illness that has gone on for years. A subsidiary of Neuroscape, Akili Interactive Labs, has even had the products currently undergoing clinical test to get the approval from Food and Drug Administration (FDA) in the USA. Those products are Project: EVO, aimed to treat Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD). In 2017, the project has reached the final stage of FDA testing.

“Our goals are not to replace the pharma industry,” said Adam Gazzaley, founder and Executive Director of Neuroscape, and board member of Akili. He revealed that their goal of doing this research is to find a new method of cure with minimum side effects. Gazzaley is a professor of neurology, physiology, and psychiatry. He built a cognitive neurology science research lab in UCSF in 2005. In games, he worked together with Lucas Arts, the publisher who released games from Star Wars and Indiana Jones franchise.

Neuroscape meneliti bagaimana game membantu penderita penyakit mental. | Sumber: CNBC
Neuroscape researches how games help mental illness patients. | Sumber: CNBC

“The elasticity of our brain, the capability of our brain to change, is influenced by our experiences,” said Gazzaley to CNBC. “If we can create an experience suited for someone, this can increase their brain capacity.”

Gazzaley explains, Neuroscape is not only trying to do gamification from physical exercises aimed to mental illness patients. Instead, they are trying to make games that combine physical movement and cognitive exercise. He believes that the researches he did will produce good results. “I think the problem lies in the absence of definitive evidence, and that is exactly what we are trying to do,” he said in an interview to The Verge. “We all believe in what we do. We just need to prove it with evidence.”

So far, we have talked about how games can give good positive impacts, but that doesn’t mean that games are panacea. I believe, everything in this world has a positive and negative impact. Same thing goes for games. In 2019, World Health Organization has specified gaming disorder as a mental disorder. But, as previously mentioned by Live Science, just because someone plays games often, it doesn’t necessarily mean they suffer from gaming disorder.

There are some characteristics in a person who suffers from gaming disorder. One of them is how they prioritize playing games above everything, disrupting their daily life. According to WHO, a person with gaming disorder can no longer control their game-playing habit. Also, they put games as the main priority, above work, education, and other hobbies.

Other specific characteristic of the disorder is, the person will keep on playing games even though they realize how it give bad impact on their lives, such as ruining relationships with friends and families, or disrupting their work or study rhythm. WHO also stated, someone has to have symptoms of gaming disorder of at least a year before being admitted as a patient of the disorder.

 

Conclusion

There are a lot of advantages that games can give. A game usually has an objective to be achieve, such as defeating someone, saving the world, or revitalize a farm that has been bequeathed upon the player. This helps the player to focus on achieving the goal.

Also, whether you realize it or not, there is a law of causality in games, especially in games that have heavy stories. In a game, you will be faced with options that will influence the story of the main character. Different with movies, where the viewers are not actively choosing the way the story progresses, games allow players to explore what happens when you choose different options. This concept is similar to the real world, where every decision you made will have consequences. The only difference is, in the real world, you cannot re-do your decisions from the last check point when you make a mistake.

It is true that games do not always give good impacts. Games can also give negative impact. But, just because some games resulted in negative impacts, it does not mean that games have to be completely abolished. Moderation is the key.

Source: IFL Science, APA, Wired, CNBC, The Verge, Live Science, Quartz

Header: TechRadar. Original article is in Indonesian, translated by @dwikaputra

Apa sajakah Metrik di Esports yang Bisa Digunakan untuk Mengukur Kesuksesannya?

Beberapa tahun belakangan, esports menjadi kian populer, baik sebagai kompetisi maupun sebagai konten hiburan. Seiring dengan meroketnya popularitas esports, semakin banyak juga perusahaan yang tertarik untuk menjadi sponsor atau investor bagi pelaku esports. Perusahaan-perusahaan tersebut juga tidak melulu perusahaan yang bergerak di bidang game atau esports. Semakin banyak perusahaan besar non-endemik yang mulai tertarik untuk masuk ke dunia esports. Sebut saja BMW yang langsung menggandeng 5 organisasi esports sekaligus, atau Lamborghini yang mengadakan turnamen balapan esports sendiri.

Tidak heran jika semakin banyak perusahaan yang tertarik untuk masuk ke industri esports, mengingat Newzoo memperkirakan nilai industri esports akan menembus US$1 miliar pada tahun 2020. Memang, saat ini, sponsorship masih menjadi pemasukan utama dari organisasi esports dan kebanyakan pelaku esports belum mendapatkan untung. Namun, para investor tetap percaya, industri esports akan menjadi industri besar di masa depan. Salah satu alasannya adalah karena jumlah penonton yang terus naik.

Di Indonesia, populer atau tidaknya sebuah program televisi ditentukan oleh rating yang dikeluarkan oleh Nielsen. Menurut laporan CNN Indonesia, untuk mengukur rating, Nielsen memasang alat khusus bernama people meter di 2.273 rumah tangga sebagai sampel. Ribuan sampel itu tersebar di 11 kota besar. Namun, metode untuk menentukan popularitas konten esports tidak sama dengan rating televisi. Pasalnya, sebagian besar konten esports ditayangkan di platform streaming, seperti YouTube, Facebook Gaming, serta Twitch; bukannya televisi.

Jumlah penonton esports kini terus bertambah. | Sumber: Polygon
Jumlah penonton esports kini terus bertambah. | Sumber: Polygon

Di platform streaming, tidak ada “rating” yang menentukan popularitas sebuah video, yang ada adalah jumlah view. Namun, jumlah view bukanlah satu-satunya metrik yang dapat digunakan untuk menentukan tingkat popularitas sebuah turnamen atau game esports. Ada beberapa satuan lain yang digunakan untuk mengukur popularitas acara esports.

Apa saja metrik yang digunakan untuk mengetahui popularitas esports?

AMA (Average Minute Audience)

AMA, yang juga dikenal dengan sebutan Average Concurrent Viewers (AVC) adalah metrik yang paling sering digunakan untuk menentukan tingkat popularitas konten esports. Ada dua cara untuk menghitung AMA. Pertama, membagi total jam video ditonton dengan durasi video. Kedua, menghitung rata-rata jumlah penonton pada setiap menit dari video. Salah satu alasan mengapa AMA menjadi metrik terpopuler adalah karena ia bisa dibandingkan dengan jumlah rata-rata penonton, yang biasa digunakan pada televisi.

Ketika masih menjabat sebagai Managing Director di Nielsen Esports, Nicole Pike menjelaskan bahwa menggunakan AMA untuk menghitung viewership memudahkan pengiklan mengerti tingkat popularitas konten esports. “Kami menggunakan metrik AMA agar para perusahaan dapat membandingkan data kami dengan jumlah penonton rata-rata dari berbagai acara televisi yang mereka tahu,” ujar Pike pada Esports Insider.

Remer Rietkerk, Head of Esports, Newzoo setuju dengan perkataan Pike. “AMA memudahkan Anda untuk mengetahui program mana yang memiliki viewership lebih tinggi,” katanya. Dia menambahkan, AMA juga membantu pengiklan untuk tahu lama durasi sebuah konten. Sayangnya, AMA bukanlah metrik sempurna untuk mengetahui popularitas konten esports.

Turnamen esports paling populer pada 2019. | Sumber: Esports Charts
Turnamen esports paling populer pada 2019. | Sumber: Esports Charts

Artyom Odintsov, CEO Esports Charts berkata, “AMA tidak bisa digunakan untuk membandingkan turnamen esports dari game yang berbeda-beda, seperti Fortnite World Cup (FWC) dan League of Legends World Championship (LWC).” Alasannya, dua turnamen tersebut memiliki format yang sama seklai berbeda. Dia menjelaskan, jika membandingkan FWC dan LWC dari segi AMA, FWC akan mendapatkan nilai yang lebih bagus. Bukan karena Fortnite lebih populer sebagai game esports, tapi karena LWC memiliki babak Play-In dan Group Stages, yang memperpanjang durasi turnamen tersebut. “Metrik AMA hanya bisa digunakan untuk membandingkan turnamen pada tahap yang sama. Misalnya, pada babak akhir atau group stages,” ujar Odintsov.

Menurut Games Impact Index yang dibuat oleh The Esports Observer pada Q1 2020, League of Legends masih menjadi game esports paling berpengaruh pada ekosistem esports, diikuti oleh Counter-Strike: Global Offensive, Dota 2, Rainbow Six Siege, dan Fortnite. Ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan dalam menentukan daftar tersebut, seperti jumlah pemain aktif bulanan, jumlah total hadiah turnamen, jumlah jam ditonton, jumlah turnamen, dan lain sebagainya.

Odintsov mengatakan, jika hanya menggunakan AMA sebagai tolak ukur popularitas game esports, League of Legends dan CS:GO mungkin justru tidak akan mendapatkan nilai paling baik karena dua game tersebut memiliki banyak turnamen. “Game dengan sistem turnamen terpusat seperti Overwatch mungkin justru terlihat lebih populer daripada LoL dan CS:GO hanya karena Overwatch tidak memiliki banyak turnamen,” ungkapnya.

Unique Viewers

Selain AMA, metrik lain yang biasa digunakan di dunia esports adalah Unique Viewers. Biasanya, metrik ini digunakan untuk mengetahui berapa banyak orang yang menonton sebuah konten esports dan berapa lama dia menonton video tersebut. Rietkerk mengatakan, metrik Unique Viewers biasanya digunakan untuk mengetahui tingkat efektivitas dari sebuah kampanye marketing.

Memang, Unique Viewers akan memudahkan sponsor untuk mengetahui apakah kampanye marketing mereka jalankan sukses atau tidak. Sementara bagi publisher game, Unique Viewers membantu mereka untuk tahu berapa banyak orang yang tertarik dengan game mereka. Masalahnya, sulit untuk membandingkan metrik Unique Viewers dengan metrik yang biasa digunakan di televisi.

League of Legends World Championship pada 2018. | Sumber: LOL Nexus
League of Legends World Championship pada 2018. | Sumber: LOL Nexus

“Muncul klaim bahwa League of Legends World Championship lebih populer dari Super Bowl, tapi ketika Anda meneliti datanya, Anda menemukan bahwa popularitas Super Bowl dihitung menggunakan metrik jumlah rata-rata penonton sementara LWC menggunakan Unique Viewers,” kata Pike. “Padahal, keduanya adalah metrik yang sama sekali berbeda dan tidak seharusnya dibandingkan.”

Peak Concurrent Users (PCU)

Peak Concurrent Users mengacu pada jumlah penonton tertinggi dari sebuah siaran. Odintsov berkata, “PCU dipengaruhi banyak faktor. Faktor utamanya adalah zona waktu dari tempat turnamen diselenggarakan. Metrik ini cocok untuk membandingkan popularitas turnamen-turnamen yang diadakan di region yang sama. Tujuannya, untuk mengetahui turnamen mana yang lebih populer.”

Hours Watched (HW)

Terakhir, metrik yang biasa digunakan dalam dunia esports adalah Hours Watched atau lama durasi video ditonton. “Bagi sponsor, Hours Watched dapat membantu mereka mengetahui berapa lama para penonton melihat merek mereka,” ujar Rietkerk. “Metrik ini juga cocok untuk digunakan jika Anda ingin membandingkan popularitas dua game dengan genre yang berbeda.”

Hanya saja, metrik HW tidak bisa digunakan sendiri. “Metrik Hours Watched tidak bisa digunakan tanpa dukungan data jumlah rata-rata penonton atau lama durasi konten,” kata Odintsov. Dia menjelaskan, 1 juta Hours Watched bisa dicapai dengan 8 jam siaran dan AMA 125 ribu orang atau 100 jam siaran dengan AMA 10 ribu orang. Dalam kasus ini, kedua acara memang sama-sama mendapatkan 1 juta total jam ditonton. Namun, keduanya memiliki jumlah rata-rata penonton yang jauh berbeda.

Kenapa Ada Begitu Banyak Metrik yang Digunakan Dalam Esports?

Menurut Pike. alasan mengapa ada banyak metrik yang digunakan dalam industri competitive gaming adalah karena esports dimulai dari komunitas akar rumput. Pada awalnya, data terkait esports juga datang dari para pemegang kepentingan di ekosistem esports, sepreti publisher game atau penyelenggara turnamen. “Dalam industri TV, pihak ketiga akan menyajikan data secara konsisten untuk memberikan kejelasan bagi pihak yang ingin membuat iklan atau menjadi sponsor,” ujarnya. “Tanpa adanya pihak ketiga untuk memberikan data, pihak publisher atau penyelenggara turnamen bebas untuk memberikan laporan sendiri-sendiri.”

Overwatch League adalah salah satu turnamen dengan model franchise. | Sumber: Variety
Overwatch League adalah salah satu turnamen dengan model franchise. | Sumber: Variety

Lebih lanjut Pike menjelaskan, “Data yang diberikan oleh publisher dan penyelenggara turnamen tidak salah. Namun, Anda bisa menarik perhatian banyak orang dan sponsor dengan memberikan data yang bombastis. Karena metrik yang digunakan tergantung pemangku kepentingan, maka penggunaan metrik menjadi tidak konsisten.” Misalnya, jika Overwatch League memiliki jumlah rata-rata penonton yang tinggi, maka tentunya, hal itu yang akan Activision Blizzard tonjolkan. Sementara jika turnamen League of Legends bsia mendapatkan Hours Watched yang tinggi, maka Riot akan menggunakan metrik tersebut.

Kabar baiknya, seiring dengan semakin berkembangnya ekosistem esports, semakin banyak perusahaan game dan esports yang tertarik untuk bekerja sama dengan perusahaan analitik pihak ketiga. Beberapa perusahaan game yang telah melakukan itu antara lain Riot Games dan Activision Blizzard. Salah satu tujuan mereka adalah untuk menjamin validitas data yang mereka berikan.

Tak hanya publisher, pelaku esports seperti ESL dan Astralis pun mulai bekerja sama dengan perusahaan analitik. Melalui kerja samanya dengan Newzoo, Astralis akan saling bertukar data dengan perusahaan analitik tersebut. Harapannya, Newzoo akan dapat membuat perkiraan akan dunia esports dengan lebih akurat menggunakan data dari Astarlis. Sementara Newzoo akan memberikan insight pada Astralis untuk membantu organisasi esports itu mengambil keputusan di masa depan.

Esports Perlu Satuan Standar untuk Mengukur Popularitas Konten

Dalam industri esports, ada berbagai game dengan genre yang berbeda-beda. Biasanya, masing-masing game esports juga memiliki format turnamen dan target penonton yang berbeda-beda. Misalnya, kebanyakan liga regional League of Legends menggunakan model franchise, sementara turnamen Dota 2 justru bersifat terbuka. Karena itu, sulit bagi sponsor untuk menghitung ROI (Return of Investment) ketika mereka mendukung sebuah turnamen esports. Menggunakan metrik yang sama untuk mengukur popularitas konten esports bisa membantu memecahkan masalah itu.

“Keuntungan terbesar dari penggunaan metrik yang sama adalah kita dapat mengerti satu sama lain,” kata Rietkerk. “Jika semua pelaku menggunakan metrik yang berbeda untuk mendsikusikan hal yang sama, hal ini justru akan membuat para sponsor bingung.” Memang, seiring dengan semakin banyak perusahaan besar yang menginvestasikan dana marketing mereka di esports, maka para pelaku esports semakin sadar bahwa mereka harus dapat menyediakan data yang valid dan menjamin bahwa investasi para sponsor tidak sia-sia.

“Di dunia esports, data viewership turnamen akan memberikan dampak langsung pada jumlah rekan yang bisa didapatkan oleh sebuah tim atau penyelenggara turnamen,” ujar Odintsov. Dia mengatakan, data media sosial kini tak lagi terlalu diminati. Sebagai gantinya, pengiklan tertarik dengan acara live, seperti livestreaming yang dibuat oleh para streamer atau turnamen yang disiarkan langsung.

Kesimpulan

Industri esports tumbuh dari komunitas akar rumput. Seiring dengan meningkatnya minat untuk menonton pertandingan esports, semakin banyak pula perusahaan yang tertarik untuk menjadi sponsor. Karena itu, para pelaku esports juga dituntut untuk dapat memberikan data yang valid sehingga pihak sponsor bisa memastikan bahwa investasi mereka tidak sia-sia.

Sekarang, telah ada beberapa metrik yang digunakan untuk mengukur popularitas acara esports, seperti jumlah rata-rata penonton atau total durasi video ditonton. Sayangnya, penggunaan metrik yang berbeda-beda justru akan membuat sponsor dan pengiklan bingung. Karena itu, sebaiknya pelaku industri esports menentukan metrik yang akan mereka gunakan sebagai standar.

Sumber header: PCMag

Antara Prestasi dan Konten Tim Esports, Mana yang Lebih Penting?

Memiliki tim esports papan atas mungkin menjadi salah satu mimpi besar dari para penggemar esports. Aktualisasi diri sebagai gamers terbaik, banyak uang, dan dikagumi banyak orang, jadi beberapa alasan kenapa punya tim esports menjadi hal yang diimpikan. Tetapi membangun organisasi esports bukanlah perkara yang mudah.

Nyatanya butuh modal yang besar untuk mencapai kejayaan tersebut. Misal jika Anda bercita-cita punya tim yang menjadi juara Dota 2 The International, Anda butuh modal pada kisaran ratusan juta rupiah untuk PC High-End, internet, gaji pemain, gaming house, dan berbagai tetek-bengek biaya operasional lainnya.

Namun, selain mengejar prestasi, konten mungkin bisa dibilang menjadi alternatif yang relatif murah-meriah untuk mengumpulkan modal. Kisah sukses ini sempat saya bahas saat menulis profil FaZe Clan, sebuah organisasi esports yang mengawali hidupnya sebagai clan hura-hura dengan channel YouTube berisikan sajian konten trickshot keren.

Pada sisi lain ada juga kisah sukses tim esports lain yang mengawali perkembangannya dari prestasi. Kisah sukses tersebut datang dari Team Liquid, yang sedari awal memang diciptakan sebagai clan gaming kompetitif, dan menuai sukses dari dominasinya di ragam skena esports di dunia.

Prestasi vs Konten, jadi juara atau menjaring exposure, apa sebenarnya resep membangun organisasi esports yang sukses? Berikut pembahasan saya.

Biaya Untuk Mengelola Sebuah Tim Juara

Mengumpulkan prestasi, mungkin jadi satu resep paling umum yang dilakukan organisasi esports untuk menjadi sukses. Contoh saja T1, yang selama tahun 2020 dapat banyak sekali sponsor karena prestasi, mulai dari Nike, Logitech G, sampai monitor Samsung. Memang sih, sepertinya agak muluk-muluk jika kita ingin seperti T1 yang juara dunia 3 kali berturut-turut di salah satu skena esports paling populer di dunia, League of Legends.

Supaya tidak kejauhan, mari kita coba intip dari kacamata lokal saja. Sebagai contoh kasus di skena lokal, saya menggunakan divisi AOV milik EVOS Esports, yang pencapaiannya mirip T1, cuma saja di tingkat nasional… Hehe.

EVOS AOV mencatatkan rekor juara 3 kali berturut-turut di turnamen tingkat nasional lewat gelaran AOV Star League Musim pertama, kedua, dan ketiga.

Kemenangan ini menjadi pundi-pundi pendapatan yang cukup besar bagi manajemen EVOS Esports. Tercatat EVOS AOV menerima Rp500 juta dari ASL Season 1 juga 2, dan Rp355 dari ASL Season 3. Jika hanya menghitung hadiah ASL saja, maka EVOS AOV sudah mengumpulkan pundi-pundi sebesar Rp1,3 miliar. Kami juga pernah menuliskan total pendapatan EVOS dari hadiah kemenangan selama tahun 2019.

Jumlah yang besar?

Sepertinya sih lumayan, tapi coba kita lihat berapa biaya operasional untuk mengelola tim tersebut. Untuk mengetahui hal ini, saya mewawancarai sahabat saya, Hilmy Khairy yang juga dikenal sebagai Hiruma, Deputy of Esports di EVOS Esports. Sebelum menempati jabatannya sekarang, ia merupakan manajer tim EVOS AOV.

Lalu saya bertanya, kira-kira berapa biaya operasional yang dibutuhkan oleh tim EVOS AOV? “Wah ini rahasia sih, tapi setiap bulan kurang lebih ada total puluhan juta rupiah dikeluarkan untuk operasional tim.” Jawabnya.

Lebih lanjut, Hilmy lalu menjelaskan apa saja biaya yang dikeluarkan oleh manajemen EVOS untuk mengelola divisi AOV. “Yang pasti gaji pemain dan staf, biaya gaming house, internet, pemeliharaan rumah, air dan listrik, serta biaya sehari-hari, dan biaya katering.”

Itupun belum semua, masih ada biaya-biaya tak terduga, yang biasanya muncul ketika tim tersebut menjalani pertandingan tatap muka. “Kalau tanding offline biasanya ada biaya tambahan, seperti uang transpor untuk datang ke menuju ke dan pulang dari event, ada juga cemilan untuk mood booster ketika tanding. Kalau hotel dan akomodasi untuk pertandingan di luar kota atau luar negeri biasanya ditanggung oleh penyelenggara acara.” Tambah Hilmy.

Dari apa yang dijelaskan, mari kita kira-kira berapa biaya operasional untuk tim seperti EVOS AOV. Pertama-tama, gaji pemain. Hilmy memang tidak memberikan angkanya, namun ia mengatakan bahwa gaji tim EVOS AOV bervariasi mulai dari lebih dari UMR sampai 2 kali UMR.

UMR Jakarta saat ini adalah Rp4.276.349.906, kita bulatkan jadi Rp4,3 juta. Supaya lebih mudah, anggap saja semua gaji pemain EVOS AOV adalah 2 kali UMR yang berarti Rp8,6 juta dikalikan 5 orang. Baru menghitung gaji saja, kita sudah menyentuh angka pengeluaran sebesar Rp43 juta setiap bulannya.

Ini kita belum menghitung biaya sewa gaming house, internet, listrik dan air, laundry, katering, serta operasional bulanan lainnya. Anggap saja, jika ditotal semua, angka kasarnya bisa mencapai kisaran Rp80 juta setiap bulan. Dengan angka tersebut setiap bulannya, maka biaya operasional dari tim juara seperti EVOS AOV adalah Rp960 juta per tahun.

Dokumentasi Hybrid - Akbar Priono
EVOS AOV saat memenangkan gelarn juara nasionalnya yang ketiga dalam gelaran ASL Indonesia Season 3. Dokumentasi Hybrid – Akbar Priono

Angka yang cukup mengejutkan, apalagi pendapatan turnamen EVOS AOV dari turnamen AOV Star League cuma Rp1,3 miliar. Itupun didapatkan selama 3 musim yang berjalan selama satu setengah tahun. ASL Season 1 dan 2 diadakan pada tahun 2018, yang berarti EVOS AOV mendapatkan Rp1 miliar selama seathun dari turnamen.

Manajemen tim tidak mengambil semua hadiah turnamen, mereka hanya mengambil sebagian saja dari hadiah yang didapatkan. Hilmy menceritakan, organisasi esports punya sistem potongan hadiah yang bervariasi mulai dari 20% hingga 40%. Dengan asumsi EVOS menggunakan potongan yang terbesar, ini berarti manajemen hanya mendapat Rp400 juta saja. Jika hanya mengandalkan hadiah turnamen, sudah pasti manajemen tidak dapat menutup biaya operasional tahunan tim tersebut.

Tetapi memang pada kenyataannya pendapatan bagi organisasi esports sebesar seperti EVOS Esports tidak terbatas pada satu tim saja dan juga tidak berasal hanya dari satu muara saja. Pembahasan singkat tadi mungkin bisa menjadi gambaran yang sangat kasar, bahwa biaya operasional tim itu besar dan hadiah turnamen tidak dapat menutupnya.

Namun itu harusnya tidak masalah. Menurut asumsi saya, semua biaya yang dikeluarkan tersebut lebih bersifat investasi, yang timbal baliknya bisa sangat beragam bagi sang organisasi di masa depan nanti.

Mengintip Sumber Pemasukan Tim Esports

Sebelum kita melaju ke pembahasan berikutnya, mari kita bahas dulu, sebenarnya apa saja ladang bisnis dari tim esports. Memang sebenarnya asumsi bahwa organisasi esports hanya mengandalkan hadiah turnamen sebagai satu-satunya sumber pendapatan adalah penyederhanaan yang kelewatan. Mungkin hanya tim amatir atau semi-pro yang melakukan praktik seperti itu.

Organisasi esports sebesar seperti EVOS Esports, Rex Regum Qeon, BOOM Esports, atau Bigetron Esports, biasanya punya lebih dari satu sumber pendapatan. Bahkan, hadiah turnamen mungkin bukan dianggap sebagai sumber pendapatan, melainkan hanya bonus atas kerja keras yang dilakukan manajemen dan pemain saja.

Dalam sebuah artikel blog milik penasihat investasi asal Amerika Serikat, Roundhill Investment, disebutkan bahwa setidaknya ada 6 sumber pemasukan lain dari sebuah organisasi esports. Dalam artikel berjudul “How Esports Teams Make Money”, dikatakan bahwa sumber pemasukan organisasi esports termasuk sponsorship, advertising, merchandise, league revenue sharing, dan ticket sales.

Sponsorship mungkin jadi satu pemasukan terbesar. Anda pembaca setia Hybrid.co.id mungkin sadar akan hal ini. Berita soal sponsorship menjadi salah satu berita yang paling sering berseliweran di portal kami. Dari ekosistem lokal terakhir kali kita melihat EVOS disponsori oleh Lazada pada 15 April 2020 lalu. Dari ekosistem internasional biasanya lebih banyak lagi berita-berita sponsorship terhadap tim esports.

Mengutip data dari Newzoo, sponsorship ternyata memang sumber pemasukan terbesar esports, baik bagi organisasi esports atau penyelenggara turnamen esports. Menurut catatan sponsorship menyumbangkan pemasukan sebesar US$636,9 juta (sekitar Rp9,3 triliun) sampai Februari 2020 kemarin. Jumlah tersebut merupakan jumlah yang terbanyak, dibanding sumber pemasukan lainnya.

Lalu penjualan merchandise. Ini juga menjadi satu sumber pemasukan yang menggiurkan, terutama jika tim esports tersebut punya derajat yang tinggi di dalam skena, dan dilengkapi dengan ragam rancangan busana yang mencerminkan personalita para penggemarnya.

Di luar negeri, FaZe Clan jadi organisasi esports yang giat menjalankan bisnis merchandise. Mereka bahkan dengan berani menyatakan ambisinya untuk menjadi Supreme-nya esports. Di Indonesia, EVOS jadi salah satu organisasi esports yang meraup cukup banyak dari bisnis merchandise. Menurut laporan terakhir, EVOS dikabarkan menerima Rp150 juta hanya dari penjualan merchandise selama M1 dan MPL ID Season 4.

Selanjutnya, bagi hasil kompetisi liga dan penjualan tiket mungkin jadi sumber pemasukan yang masih gelap di kancah lokal. Sejauh ini, belum ada pertandingan esports dalam negeri yang berhasil untung besar dari penjualan tiket. Sehingga kita masih belum bisa membahas penjualan tiket sebagai sumber pemasukan tim esports.

Lalu kalau soal bagi hasil, MPL Indonesia menerapkan sistem liga franchise pada musim keempat yang juga menerapkan sistem bagi hasil antara tim-tim yang berlaga.

Jumlahnya tidak diketahui, namun Senior Editor Hybrid Esports, Yabes Elia sempat berbincang dengan Chandra Wijaya, Managing Director ONIC Esports membahas buah investasi slot MPL ID Season 4. Jika Anda penasaran bagaimana dampak franchise league MPL ID S4 kepada aspek bisnis sebuah tim esports, Anda bisa menyaksikan video interview tersebut di bawah ini.

Dari semua beragam sumber pemasukan tim esports, bagaimana konten berperan dalam perkembangan tim esports? Mari kita bahas pada bagian berikutnya.

Konten Sebagai Sumber Pemasukan Tim Esports

Sebelum membahas lebih jauh, mari kita samakan persepsi terlebih terhadap apa yang dimaksud dengan konten. Dalam pembahasan ini, kita akan membatasi pembahasan konten kepada konten kanal media sosial Instagram, konten video kreatif pada platform YouTube, dan juga konten video live-streaming.

Dari sumber pemasukan tim esports yang kita bahas sebelumnya, pemasukan yang bisa didapatkan oleh konten mungkin bisa dibilang di dalam irisan pemasukan advertising dan juga sponsorship. Mengapa demikian? Karena sponsorship bisa menyertakan kerja sama konten di dalamnya dan konten juga bisa mendapat pemasukan khusus berupa advertising atau iklan brand dalam satu konten milik tim esports.

Jika kita berkaca kepada esports di luar negeri, FaZe Clan mungkin bisa dibilang menjadi contoh paling ideal dari bagaimana sebuah organisasi esports memanfaatkan konten sebagai sumber pemasukan mereka. Jika kita merujuk kepada situs analitik media sosial, Socialblade, kita bisa melihat bahwa channel YouTube milik FaZe Clan merupakan salah satu yang terbesar dalam kategori gaming. Tercatat channel YouTube FaZe Clan sudah di-subscribe oleh 7 juta orang dan bisa menghasilkan sampai dengan US$1,5 juta (sekitar Rp22 juta).

Namun estimasi penghasilan tersebut sebenarnya baru berasal dari Google AdSense saja. Terlebih, walau terlihat sangat besar, jumlah tersebut sebenarnya belum seberapa bagi organisasi esports yang, menurut Forbes, memiliki nilai valuasi sebesar US$240 juta (sekitar Rp3,5 triliun).

Walau secara estimasi pemasukan Google AdSense tidak sebegitu besar, namun sajian konten menghibur yang dinikmati oleh banyak orang dari FaZe Clan membuka peluang bisnis lain. Seperti yang saya sebut di awal, yaitu sponsorship dan advertising. Contoh nyata dari hal ini adalah kolaborasi antara FaZe Clan dengan Manchester City.

Dalam kerja sama Co-Branding tersebut dikatakan bahwa penggunaan jersey Manchester City dengan elemen brand Faze Clan menjadi salah satu hal yang dilakukan dalam kerja sama ini. Namun selain itu, ada juga kerja sama konten yang dilakukan oleh keduanya. Dengan jutaan view dari setiap konten yang diungga oleh FaZe Clan, tak heran jika sponsor berebut ingin dapat kesempatan berkolaborasi dengan organisasi esports yang mengawali perjalanannya dari Call of Duty tersebut.

Melihat industri gaming dan esports yang sedang “panas” belakangan. Tak heran jika berbagai brand, baik endemik dan non-endemik, ingin merebut perhatian sebagian dari seluruh penonton esports yang menurut Newzoo mencapai 495 juta orang di dunia.

Selain konten di YouTube, bidang lain yang tak kalah menjanjikan dari aspek konten bagi organisasi esports adalah live-streaming. Twitch sebagai platform yang paling menonjol dengan total waktu tonton mencapai 3 miliar jam pada Q1 2020 lalu, menjadi wadah terbaik bagi organisasi esports untuk menjangkau para penggemarnya.

Pada ekosistem esports luar negeri, tak heran jika kita melihat organisasi esports memiliki seorang streamer yang melakukan streaming dengan menggunakan nama organisasi tersebut. Team SoloMid misalnya, punya Ali Kabbani (Myth) sebagai kreator konten serta streamer untuk mewakili brand organisasi esports asal Amerika Serikat tersebut. FaZe Clan juga, yang dahulu memiliki Turner Tenney (tfue) sebagai streamer serta konten kreator andalan mereka, walaupun akhirnya ditinggal karena skandal kontrak yang eksploitatif.

Dari contoh kasus di atas, kita melihat bagaimana konten juga menjadi sumber pemasukan yang menjanjikan bagi organisasi esports. Lalu bagaimana dengan organisasi esports di Indonesia? Jika bicara live-streaming, satu perbedaan yang paling terasa adalah posisi Twitch yang tidak relevan bagi pasar gaming Indonesia.

Mengutip laporan Esports Markets Trend yang dirangkum oleh DSResearch pada September 2019 lalu, 84,6 persen dari 1.445 total responden masih memilih YouTube sebagai platform favorit untuk menonton konten gaming.

Untuk melihat peran konten bagi organisasi esports Indonesia, saya mengmbil contoh Rex Regum Qeon, yang punya kanal YouTube dengan 1,49 juta subscriber, salah satu yang terbanyak di Indonesia. Jika mengutip data Socialblade, channel milik salah satu tim esports papan atas Indonesia ini ternyata bisa menghasilkan paling banyak sebesar US$17,4 ribu (sekitar Rp258 juta) per bulan dengan total US$208,5 ribu (sekitar Rp3 miliar) per tahun dari Google AdSense.

Lucunya angka tersebut ternyata bersaing dengan total hadiah kemenangan yang didapat RRQ sepanjang tahun 2019 yang setidaknya mencapai Rp5,7 miliar. Apalagi, seperti yang sudah kita bahas di awal artikel tadi, tim esports biasanya tidak mengambil semua hadiah turnamen, melainkan paling banyak hanya 40% bagian saja.

Jadi, jika dengan asumsi RRQ memotong 40% bagian dari hadiah turnamen yang didapat pemain, manajemen RRQ berarti hanya menerima Rp2,2 miliar, Rp800 juta lebih kecil dibanding dari pendapatan Google AdSense YouTube Channel yang mereka miliki.

Lalu bagaimana soal pengeluaran untuk membuat konten? Gaji untuk seorang streamer bisa jadi lebih mahal atau lebih murah ketimbang gaji yang dibutuhkan untuk satu tim esports. Anggaplah tadi gaji untuk tim AOV untuk EVOS ada di kisaran Rp43 juta sebulan atau gaji minimal untuk tim MPL ID adalah Rp45 juta sebulan (Rp7,5 juta x6), nominal ini juga bisa jadi sama besarnya untuk membayar gaji bulanan streamer beserta tim produksinya (video editor, videografer, dkk.). Belum lagi jika kita berbicara soal alat-alat yang dibutuhkan, seperti kamera, webcam, PC untuk editing video. Modal awal untuk kebutuhan peralatan tadi mungkin saja mencapai Rp50-100 jutaan untuk sebuah kanal konten video. Untungnya, modal untuk peralatan ini mungkin memang tidak rutin — kecuali setiap bulan banting kamera.

Meski pengeluaran untuk tim esports dan tim kreator konten bisa jadi sama besar atau bahkan lebih mahal tim konten-nya (tergantung dari prestasi para pemain tim esports-nya), satu hal yang tak bisa dipungkiri adalah membangun tim juara itu mungkin lebih sulit dilakukan ketimbang membangun tim konten yang populer.

Sumber: PUBG Mobile Esports
Sumber: PUBG Mobile Esports

Kenapa? alasannya ada 2. Pertama, industri konten sudah jauh lebih matang dan tua ketimbang industri esports. Para profesional yang piawai merekam video atau mengedit bisa ditemukan dari industri-industri hiburan di luar esports. Demikian juga peralatannya. Misalnya, Anda bisa saja menemukan setiap komponen untuk merakit desktop PC kelas proletar sampai kelas sultan di Indonesia. Sedangkan di esports, para pemain yang masuk di kategori papan atas masih sangat terbatas. Demikian juga dengan pelatihnya, misalnya. Anda tidak bisa merekrut pelatih sepak bola untuk melatih tim Dota 2 dan berharap ia bisa dengan mudah beradaptasi — tidak seperti videografer atau video editor dari industri hiburan di luar esports.

Alasan kedua kenapa membangun tim juara lebih sulit karena memang caranya cuma satu; yaitu memiliki kemampuan yang hebat agar bisa jadi juara. Kemampuan ini kemungkinan besar tidak akan bisa didapat dengan cara instan. Kekompakan tim saat bertanding juga demikian.

Sedangkan popularitas konten? Ada banyak cara untuk bisa mencari popularitas. Para streamer perempuan bisa saja memanfaatkan eksplorasi tubuh dan wajah. Faktanya, wajah cantik ataupun bodi ciamik bisa didapatkan dengan mudah — jika Anda beruntung dalam undian genetik. Ada juga streamer yang lebih suka memanfaatkan perilaku menyimpang dan kata-kata kasar untuk memancing popularitas. Kenyataannya, popularitas itu memang seringnya tidak berbanding lurus dengan kapabilitas. Anak kecil makan bakso saja bisa jadi populer tanpa perlu ribuan jam berlatih layaknya tim esports. Sebaliknya, Anda tidak bisa jadi juara kompetisi hanya dengan menunjukkan belahan dada — kecuali mungkin memang kompetisinya soal itu…

Batasan etika dari definisi juara itu memang jauh lebih sempit, ketimbang populer. Faktanya, organisasi esports juga memanfaatkan gadis-gadis cantik untuk mendulang popularitas — yang sebelumnya juga pernah kami bahas.

Kesimpulan

Melalui pembahasan yang telah kita lakukan, kita setidaknya bisa mendapat gambaran kasar, apa yang bisa didapatkan organisasi esports atas prestasi yang mereka kejar dan konten-konten kreatif yang mereka produksi.

Jadi, prestasi atau konten? Sepertinya keduanya seperti dua sejoli yang tak terpisahkan dan saling melengkapi dalam proses perkembangan sebuah organisasi esports.

Toh tim yang berat ke konten seperti FaZe Clan, pada akhirnya juga berambisi menjadi juara, sampai-sampai rela keluar US$700.000 pada tahun 2016 hanya untuk membeli roster CS:GO. Team Liquid yang gencar mengejar prestasi juga tetap membuat konten agar mereka tetap eksis di dunia maya.

Bahkan RRQ yang punya orientasi menjadi juara, tetap memanfaatkan popularitas atas kemenangan mereka sebagai konten agar tetap menghasilkan pundi-pundi untuk membantu membawa RRQ kepada kesuksesan.

Apalagi, faktanya, membangun tim juara itu tetap butuh waktu yang panjang — setidaknya tidak sesingkat menemukan gadis-gadis berparas menarik ataupun streamer yang lucu dan kontroversial.

Berbagai Hasil Riset tentang Pengaruh Positif Bermain Game

Di Indonesia, game menjadi momok bagi sebagian orangtua, dianggap sebagai alasan mengapa nilai murid jelek atau bahkan bolos sekolah. Di negara maju seperti Amerika Serikat sekalipun, game juga sering menjadi kambing hitam. Misalnya, setiap ada penembakan massal, game akan disebut sebagai alasan mengapa pelaku bisa menjadi pembunuh berdarah ringin. Sementara di Tiongkok, game dianggap sebagai alasan mengapa semakin banyak generasi muda yang mengalami rabun jauh. Dampak dari sebuah game pada para pemainnya adalah topik yang telah diperdebatkan selama puluhan tahun. Studi tentang hal ini juga telah banyak.

Bagaimana Game Memengaruhi Pemainnya?

Pada  2013, American Psychological Association (APA) melakukan riset tentang bagaimana game bisa digunakan sebagai alat edukasi serta dampak positif game pada anak dan remaja.

“Selama berpuluh-puluh tahun, riset tentang dampak negatif bermain game, termasuk kecanduan, depresi, dan agresi telah dilakukan. Kami tidak menyebutkan bahwa riset itu harus diacuhkan,” kata Isabela Granic, PhD dari Radboud University Nijmegen, Belanda, salah satu penulis dari riset tersebut, dikutip dari situs APA. “Namun, untuk memahami dampak bermain game pada perkembangan anak dan remaja, kita perlu sudut pandang yang lebih seimbang.”

Menurut riset APA tersebut, bermain game dapat meningkatkan kemampuan kognitif anak, termasuk spatial navigation, persepsi, daya ingat, sampai pemikiran kritis. Menariknya, game tembak-tembakan, yang dianggap penuh kekerasan, juga dapat memberikan efek positif, yaitu meningkatkan spatial cognition (kemampuan untuk melakukan navigasi dalam ruang 3D). “Ini penting dalam edukasi dan pengembangan karir anak, karena riset membuktikan bahwa kemampuan spatial seseorang memengaruhi pencapaiannya di bidang sains, teknologi, engineering, dan matematika,” ujar Granic.

Lalu, adakah perbedaan antara otak gamer dan non-gamer? Untuk menjawab pertanyaan ini, pada 2018, Senior Editor Wired, Peter Rubin pergi ke Sports Academy di Thousand Oaks. Di sana, dia mengikuti serangkaian tes kognitif dan membandingkan hasil tesnya dengan gamer profesional. Anda bisa melihat apa saja tes yang dilakukan dalam video di bawah.

Hasil tes menunjukkan bahwa gamer profesional memiliki nilai yang lebih tinggi, khususnya dalam tes yang mengharusnya seseorang mengacuhkan gangguan di sekitarnya untuk fokus pada sebuah tugas. Memang, game, terutama action game, memiliki pace yang sangat cepat. Pemain dituntut untuk membuat keputusan dengan cepat dalam situasi yang kacau balau.

C. Shawn Green, Associate Professor, Department of Psychology, University of Wisconsin-Madison mengatakan bahwa action game memang dapat memengaruhi kemampuan kognitif seseorang. Ada tiga kemampuan kognitif yang akan meningkat jika seseorang bermain action game. Pertama adalah persepsi, bagaimana kita memahami keadaan sekitar berdasarkan rangsangan yang panca indera kita terima. Kedua adalah spatial cognition, yaitu kemampuan untuk menavigasi dalam lingkungan 3D. Terakhir adalah top down attention, ini merupakan kemampuan untuk mengacuhkan distraksi yang ada dan tetap fokus pada satu tujuan yang telah ditetapkan.

Setiap Game Tidak Memberikan Dampak yang Sama

Action game memang terbukti memberikan dampak baik pada kemampuan kognitif seseorang. Namun, itu bukan berarti semua game memberikan efek yang sama. Game sangat beragam, hadir dengan genre dan gameplay yang berbeda-beda. Bermain role-playing game dan puzzle game akan memberikan dampak yang berbeda dari memainkan action game. Meskipun begitu, bukan berarti hanya action game yang memberikan dampak positif. Dalam risetnya, APA mengungkap, memainkan game strategi, termasuk RPG, meningkatkan kemampuan problem-solving anak. Satu hal yang pasti, bermain game dapat meningkatkan kreativitas para pemainnya, terlepas dari genre yang mereka mainkan.

Sementara itu, dalam studi berjudul Social Interactions in Massively Multiplayer Online Role-Playing Gamers, disebutkan bahwa memainkan game Massively Multiplayer Online Role-Playing Games (MMORPG) dapat meningkatkan kemampuan sosial pemainnya. Alasannya, karena game MMORPG bisa menjadi tempat bagi para pemainnya untuk mengenal satu sama lain dan menjalin hubungan pertemanan, Faktanya, interaksi antar pemain justru dianggap sebagai salah satu daya tarik game MMORPG.

Game MMORPG biasanya mendorong pemainnya untuk membentuk grup. | Sumber: Elder Scroll Online
Game MMORPG biasanya mendorong pemainnya untuk membentuk grup. | Sumber: Elder Scroll Online

Menariknya, saat bermain game MMORPG, para pemain bisa mengekspresikan dirinya dengan lebih bebas. Diduga, alasannya adalahh karena seseorang tidak merasa terikat dengan identitas — seperti umur, gender, atau penampilan — saat bermain game. Selain meningkatkan kemampuan sosial, game MMORPG juga dapat mengajarkan kerja sama tim. Memang, kebanyakan game MMORPG menghadirkan fitur guild atau klan, yang mendorong para pemainnya untuk bekerja sama dengan satu sama lain.

Mark Griffiths, salah satu penulis studi Social Interactions in Massively Multiplayer Online Role-Playing Gamers, juga percaya, game bisa digunakan sebagai alat edukasi. Pasalnya, game bisa memberikan stimulasi pada pemain. Selain itu, bermain game juga terasa menyenangkan. Jika pelajaran dihadirkan dalam bentuk game, murid bisa lebih mudah untuk fokus pada bahan pelajaran karena ia tidak membosankan. Selain itu, game juga menarik untuk dimainkan semua orang, terlepas umur, gender, atau etnis mereka.

Tak hanya untuk edukasi, Griffiths juga menganggap, game bisa digunakan sebagai alat terapi. Dan memang, ada laboratorium riset yang melakukan penelitian terkait hal ini.

Game sebagai “Obat”

Neuroscape adalah laboratorium riset di University of California, San Francisco yang telah melakukan penelitian tentang bagaimana game bisa digunakan untuk “mengobati” penyakit mental selama bertahun-tahun. Perusahaan anak dari Neuroscape, Akili Interactive Labs, bahkan telah memiliki produk yang masuk ke tahap pengujian klinis untuk mendapatkan izin dari Food and Drug Administration (FDA) di Amerika Serikat. Produk tersebut adalah Project: EVO, yang ditujukan untuk mengatasi Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD). Pada 2017, proyek tersebut telah memasuki tahap pengujian akhir dari FDA.

“Tujuan kami bukanlah untuk menggantikan industri farmasi,” kata Adam Gazzaley, pendiri dan Executive Director dari Neuroscape dan anggota dewan Akili. Dia mengungkap, tujuan mereka melakukan riset ini adalah untuk menemukan metode pengobatan baru dengan efek samping yang minimal. Gazzaley adalah seorang profesor di bidang neurologi, fisiologi, dan psikiater. Dia mendirikan laboratorium riset sains syaraf kognitif di UCSF pada 2005. Sementara terkait game, dia pernah bekerja sama dengan LucasArts, publisher yang merilis game dari franchise Star Wars dan Indiana Jones.

Neuroscape meneliti bagaimana game membantu penderita penyakit mental. | Sumber: CNBC
Neuroscape meneliti bagaimana game membantu penderita penyakit mental. | Sumber: CNBC

“Elastisitas otak kita, kemampuan otak untuk berubah, ini dipengaruhi pengalaman kita,” kata Gazzaley pada CNBC. “Jika kita bisa menciptakan pengalaman yang sesuai dengan seseorang, ini bisa meningkatkan kemampuan otak mereka.”

Gazzaley menjelaskan, Neuroscape tidak sekadar berusaha untuk melakukan gamifikasi dari latihan fisik yang ditujuakn untuk penderita penyakit mental. Sebagai gantinya, mereka berusaha untuk membuat game yang menggabungkan gerakan fisik dengan latihan kognitif. Dia percaya, penelitian yang dia lakukan akan berbuah manis. “Saya rasa, masalahnya hanyalah belum ada bukti yang kuat. Dan itulah yang coba kami lakukan,” katanya pada The Verge. “Kami semua percaya dengan apa yang kami lakukan. Kami hanya perlu membuktikannya dengan data.”

Sejauh ini, kita sudah membahas tentang bagaimana game bisa memberikan dampak positif. Tapi, itu bukan berarti game adalah panacea. Saya percaya, segala sesuatu di dunia ini punya dampak positif dan negatif. Begitu juga dengan game. Pada 2019, World Health Organization menetapkan gaming disorder sebagai kelainan mental. Namun, seperti yang disebutkan oleh Live Science, hanya karena seseorang sering bermain game bukan berarti dia mengidap  gaming disorder.

Ada beberapa karakteristik dalam diri penderita gaming disorder. Salah satunya adalah dia memprioritaskan bermain game di atas segalanya sehingga mengganggu kehidupan sehari-harinya. Menurut WHO, seorang penderita gaming disorder tak lagi bisa mengendalikan kebiasaannya bermain game. Selain itu, mereka juga menempatkan game sebagai prioritas utama, diatas pekerjaan, pendidikan, dan hobi lainnya.

Ciri khas lainnya adalah seorang penderita gaming disorder akan terus bermain game walau mereka sadar bahwa hal itu memberikan dampak buruk pada kehidupan mereka, misalnya merusak hubungan dengan keluarga dan teman atau mengacaukan ritme kerja atau belajar mereka. WHO juga menyebutkan, seseorang harus memiliki gejala gaming disorder selama setidaknya satu tahun sebelum ia bisa dinyatakan menderita kelainan tersebut.

Kesimpulan

Ada banyak keuntungan yang diberikan oleh game. Sebuah game biasanya memiliki tujuan yang harus dicapai, baik mengalahkan seseorang, menyelamatkan dunia, atau sekadar memulihkan lahan pertanian yang diwariskan pada pemain. Ini membantu pemainnya fokus untuk mencapai tujuan tersebut.

Selain itu, disadari atau tidak, ada hukum sebab-akibat dalam game, khususnya dalam game-game yang memang menyajikan cerita yang berat. Dalam sebuah game, Anda akan dihadapkan pada pilihan yang akan memengaruhi cerita sang tokoh utama. Berbeda dengan film, dimana penonton tidak ikut aktif memilih jalan cerita, game memungkinkan pemain untuk mengeksplorasi apa yang terjadi ketika Anda mengambil pilihan yang berbeda. Konsep ini mirip dengan dunia nyata. Setiap keputusan yang Anda ambil akan memiliki konsekuensi. Hanya saja, di dunia nyata, Anda tidak bisa mengulang dari check point terakhir ketika membuat kesalahan.

Memang, game tidak melulu memberikan dampak baik. Game juga bisa memberikan dampak negatif. Namun, hanya karena game memiliki dampak buruk, bukan berarti game harus dihilangkan sama sekali. Moderation is the key.

Sumber: IFL Science, APA, Wired, CNBC, The Verge, Live Science, Quartz

Sumber header: Deposit Photos

A Peek at the Sacrifices of Esports Athletes in Pursuing Careers

Competitive video gaming has been experiencing an explosive growth, from just a competition in a game center to a multimillion-dollar industry. The players, who now already deserve to be titled as an athlete, have reputation and popularity like celebrity. Esports has brought changes for video games, from a mere entertainment into a promising livelihood.

That’s how the surface of esports world looks like. What we don’t aware of is that behind all the promising stuff, there’s a price to pay. When you enter the world of professional athletes, you have to devote all of your energy, even sometimes have to sacrifice many other aspects of life.

A news station, CBS, recently released a brief documentary telling a story of esports athletes’ endeavor titled Esports: The Price of the Grind. They interviewed people from various esports elements, including Doublelift (Yiliang Peng), a League of Legends’ athlete from Team Liquid; SPACE (Indy Halpern), a player from Overwatch Lost Angeles Valiant; and Thresh (Dennis Fong), as the first professional gamer recorded in the Guinness World Record.

The Risks of Being an Esports Athlete

These esports actors agreed that a career in the esports world came with risks. There are various things that might be the reason why this profession is rough and burdensome, even able to destroy a person’s career at any time. Those include the following:

Health problems

If you play MMORPG, you surely know with the term of “grinding”. It is a method of doing an activity on repeat in a long period of time to level up our character. Many esports athletes believe that to be a better player, they have to do the grinding method in real life. A professional gamer can spend their time up to 12 hours a day only to play, practice, and improve their skill.

Such life pattern will injure players sooner or later, especially their hands. SPACE, for example, said, “If I play too long, I’ll feel hurt (around my wrist) when the night comes.” So as another body parts like spine or shoulder. Professional gamers are prone to muscle injury, carpal tunnel syndrome, and other medical conditions. And SPACE is just 18 years old.

Stress and burnout

Playing games is fun, but when it comes to a professional world, it’ll no longer become an entertainment but a profession. There’ll be demands that should be met, and a player needs to spend more time in one game to proficiency. It may cause boredom and burnout that will cause loss motivation of playing.

“When I was in junior and senior high school, I played without pressure because I didn’t play to compete. But when I entered esports, the pressure was way too different as I played and competed with professionals,” said SPACE. This stress issue becomes a big problem, especially when approaching a big match. Esports athletes have many fans, and the desire to not disappoint them is an additional burden that might make the athletes thinking and be anxious about it all night, especially if they’re playing for a team representing a city or country.

SPACE (Indy Halpern) said to often had wrist pain | Source: Altletics
SPACE (Indy Halpern) said to often had wrist pain | Source: Altletics

Society’s negative stigma

Esports is indeed popular today to the point that it’s mainstream. In the United States, there are already so many schools which provide an esports education program, so as in Indonesia for some. However, the newcomers are often not treated well, they’re considered to be a waste of time or only a group of nerds unable to socialize.

When in fact, a life of a professional gamer requires them to be able to work well in a team, sometimes even being a leader among their teammates. Esports education program doesn’t only teach the students on how to play, but also how to communicate and formulate a strategy.

Romance can come later

Esports team is usually living under the same roof, either it’s a dormitory or temporary boot camp. Moreover, they also spend most of their time inside the room. It’s difficult for the athletes with such lifestyle to make an acquaintance with other people and having a relationship, and those who are already in a relationship might face the burden when one of them entered the esports world.

“When you live with the other 6-7 guys, and all of them are practicing seriously, it’s against all odds that you’d leave on the weekend to date. I guess there’s some kind of social pressure, even if no one says anything or there isn’t any written rules,” said Thresh.

A game might be dead at any time

Esports senior journalist Richard Lewis stated that esports was different with common sports. “(The greatest power) is held in developer’s hand. They’re the one who creates games, and the games are their intellectual property. There is no player association, no union… No one is looking after you,” he said.

Football players don’t have to be afraid whether next year the sport would extinct, so as other sports. They have institutions like NFL, FIFA, or NBA, while esports doesn’t have such thing. Imagine if Valve suddenly decided to close Dota 2 server, what would happen to the athletes? Let alone closing the server, the players would already lose their livelihood by just suspending Dota Pro Circuit. It makes sense why esports athlete career is short.

Thresh is known as pro gamer in Quake series | Source: Thresh
Thresh is known as pro gamer in Quake series | Source: Thresh

Supports needed by esports athletes

Esports athletes have sacrificed many things, but it comes with a decent income and fame. “I always said that yes, sometimes it (esports) sucks, given all the existing problems. But in the end, all we’ve sacrificed are worth it, and for many people, my life is such a dream come true,” said Doublelift.

That being said, we still have to face all the emerging problems. There are several things that can be done by other people around the athletes to support their fight, which will have a positive impact in the overall esports ecosystem as well.

Parents’ support

Esports is a career, profession, dream, just like any other common dreams, and a kid will never achieve it if there’s no bless from their parents. There have been many esports legends proving that parents’ support is important. Sumail from Evil Geniuses team, for example, has a full support from his parents who were even willing to bring all of the family from Pakistan to America to witness and support their child playing and competing in Dota. The same goes for other athletes, JessNoLimit who always says that he would like to make his parents proud, for example.

One of the parents is Kara Dang Vu, a mother of a young man named Conner Dang Vu who is now trying his best to be a professional player of Overwatch. She realizes that the era has changed and parents have to understand and accept those changes. “Maybe it’s time for us, as a different and older generation, to see the world from their eyes,” she said.

Conner Dang Vu with Kara Dang Vu, esports family | Source: CBS
Conner Dang Vu with Kara Dang Vu, esports family | Source: CBS

Doctor and psychologist in a team

Athletes’ health is so important, that’s why an esports team better has a doctor or medical crew in charge of monitoring their members’ condition, both physically and mentally.

Esports team like Los Angeles Valiant has a personal psychologist to help athletes overcome stress. The methods can vary, there’s even a physical activity for some. Sports have long been believed to be able to relieve negative emotion, as the body will produce an antidepressant hormone during the activity. By doing such treatment, it’s expected that the athletes could practice more comfortably and don’t have to experience a burnout.

Education or scholarship

Now we’re in an “esports first generation”, this ecosystem showed up with a promise of large amounts of money, and has continued to evolve to be a sustainable industry. We need regeneration in order for esports to be sustainable like other conventional sports, not only regeneration of the athletes but also the other roles. Esports is a profession, and you can’t get a profession without skills.

That’s why the emergence of esports education in senior high school and college is a great step. We’re still trying our best to stand now, but in the next generation of esports, they’ll run the industry with knowledge and experience accumulated from the previous generations. I’m also sure that esports will continue to exist for a long time, but no one can guess what it’d be like later in the future.

Health is the biggest asset athlete should have
Health is the biggest asset athlete should have | Source: CBS

P.S. A lesson from Daigo Umehara

There’s one thing that makes me thinking after watching Esports: The Price of the Grind. If we narrow it down, the main problem of esports now is most likely sustainability which all parties are trying to achieve. Starting from the tournament organizer who would like to see a more sustainable competition, the players who would like to be able to play in a long time, and the developers who would like their games continue to be alive and played by many people.

However, to achieve that sustainable level, “grinding” is not the right answer. Because when we force ourselves to do something continuously, the added value of the activity would be in a diminishing result. We can learn a bit about sustainability from one of the most veteran esports athletes in the world, Daigo Umehara.

In his book, The Will to Keep Winning, Daigo said that too much practicing and playing might cause self-inflicted pain and that’s not good. Esports athletes shouldn’t push their way to the top for a moment of glory, as it’ll make them falling to the wayside, both physically and mentally.

Daigo himself has a training routine for about three to six hours a day, as he puts more value on training with quality other than quantity. It’s better to spend a little time and learn new things rather than spending a dozen hours without any improvement.

Esports actors may learn things from this principle, that the key to build a sustainable ecosystem is by creating a sustainable routine. It isn’t only applied to the athletes, but also to the tournament organizer, as they have to arrange a sustainable competition schedule that gives space for esports team to rest and explore new things. Meanwhile, game developers need to be able to balance the pace of content update speed with meta stability lest the players are at a loss with the too fast-changing meta caused by the developers that might be too eager to release new content for the sake of monetizing.

The issue of sustainability in the esports world can be another long discussion by itself, and I guess esports actors had been thinking about it as well. Hopefully, this article and a documenter by CBS can be a reminder, or a trigger for new ideas that will promote esports ecosystem, in Indonesia particularly.

Source: CBS


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Mengintip Sekilas Pengorbanan Para Atlet Esports dalam Menjalani Karier

Video game kompetitif telah berkembang sangat pesat, dari sekadar persaingan di game center menjadi industri bernilai jutaan dolar. Para pemain, yang kini sudah layak menyandang gelar “atlet”, menyandang reputasi serta popularitas layaknya selebritas. Esports membuat video game berubah bukan hanya hiburan lagi tapi juga menjadi mata pencaharian yang menjanjikan.

Begitu gemerlap dunia esports terlihat di permukaan. Tapi mungkin kita tidak sadar bahwa di balik semua itu ada harga yang harus dibayar. Ketika seseorang terjun menjadi atlet profesional, ia harus mencurahkan seluruh energinya, terkadang sampai harus mengorbankan banyak aspek kehidupan lain.

Stasiun berita CBS baru-baru ini merilis dokumenter singkat yang mengisahkan tentang perjuangan atlet esports dengan judul Esports: The Price of the Grind. Mereka mewawancara orang-orang dari berbagai elemen esports, termasuk di antaranya Doublelift (Yiliang Peng) yang merupakan atlet League of Legends di Team Liquid, SPACE (Indy Halpern) yang bermain di tim Overwatch Los Angeles Valiant, hingga Thresh (Dennis Fong) yang tercatat di Guinness World Record sebagai gamer profesional pertama di dunia.

Risiko menjadi atlet esports

Para pegiat esports ini sepakat bahwa karier di dunia esports adalah karier yang berisiko. Ada berbagai hal yang dapat membuat profesi tersebut terasa sangat berat, bahkan bisa menghancurkan karier seseorang sewaktu-waktu. Berikut ini di antaranya.

Masalah kesehatan

Anda yang sering bermain MMORPG pasti mengenal istilah “grinding”, yaitu melakukan suatu kegiatan berulang-ulang dalam jangka waktu yang lama untuk meningkatkan level karakter kita. Banyak atlet esports percaya bahwa untuk menjadi pemain yang baik, mereka pun harus melakukan grinding di dunia nyata. Seorang gamer profesional bisa menghabiskan waktu hingga 12 jam sehari hanya untuk bermain, berlatih, dan meningkatkan keahlian.

Pola hidup seperti ini pada akhirnya bisa berujung pada cedera, terutama cedera tangan. SPACE misalnya, berkata, “Bila saya bermain terlalu lama, saya akan merasa sakit (di pergelangan tangan) pada malam harinya.” Begitu pula dengan bagian tubuh lain seperti punggung atau pundak. Gamer profesional rawan terkena cedera otot, sindrom carpal tunnel, dan berbagai kondisi medis lainnya. Padahal SPACE baru berusia 18 tahun.

Stres dan burnout

Bermain game itu memang menyenangkan. Tapi ketika sudah menyandang gelar profesional, game tak lagi hanya hiburan melainkan juga profesi. Ada tuntutan yang harus dipenuhi, dan seorang pemain harus menghabiskan banyak waktu memainkan satu game saja hingga mahir. Ini bisa menimbulkan rasa bosan, bahkan burnout yang membuat atlet jadi kehilangan motivasi bermain.

“Dulu ketika saya bermain di SMP atau SMA, rasanya tidak terlalu stres karena saya tidak berkompetisi begitu keras. Tapi ketika saya memasuki esports, tingkat tekanannya jauh berbeda karena saya bermain melawan para profesional,” ujar SPACE. Isu stres ini menjadi masalah besar terutama ketika menjelang pertandingan besar. Atlet esports punya banyak penggemar, dan keinginan untuk tidak mengecewakan mereka adalah beban tambahan yang dapat membuat atlet susah tidur. Apalagi bila mereka bermain di tim yang mewakili kota atau negara tertentu.

SPACE
SPACE (Indy Halpern) mengaku sering mengalami sakit di pergelangan tangan | Sumber: Altletics

Stigma negatif masyarakat

Saat ini esports memang sudah sangat populer, bahkan mungkin mendekati mainstream. Di negara seperti Amerika Serikat sudah banyak kampus-kampus yang menawarkan program pendidikan esports, begitu pula di Indonesia sudah mulai ada beberapa. Akan tetapi, mereka yang belum tenar sering kali masih dipandang sebelah mata. Mereka dianggap hanya buang waktu, atau dianggap hanya sekumpulan nerd yang tidak bisa bersosialisasi.

Padahal pada kenyataannya, kehidupan sebagai gamer profesional menuntut atlet untuk bisa bekerja dengan baik dalam tim, malah mungkin menjadi pemimpin di antara kawan-kawannya. Program pendidikan esports pun tidak hanya mengajarkan soal cara bermain, tapi juga cara komunikasi serta penyusunan strategi.

Sulit menjalani percintaan

Tim esports sering kali tinggal di satu rumah yang sama, baik itu sebagai asrama tetap ataupun bootcamp sementara. Selain itu mereka juga banyak menghabiskan waktu di dalam ruangan. Sulit bagi atlet dengan pola hidup seperti ini untuk berkenalan dengan orang lain dan menjalin hubungan asmara. Mereka yang sudah memiliki kekasih pun, akan merasa teruji ketika salah satu pihak masuk ke dunia esports.

“Ketika Anda tinggal bersama dengan 6-7 lelaki lain, dan semuanya begitu serius berlatih, mana mungkin akan pergi bersantai selama akhir pekan? Saya rasa ada tekanan sosial seperti itu, bahkan meskipun tidak ada yang mengatakan atau membuat aturan tertulis,” kata Thresh.

Sebuah game bisa mati kapan saja

Jurnalis esports senior Richard Lewis memaparkan bahwa esports berbeda dengan olahraga biasa. “(Pemegang kekuatan terbesar) adalah para developer. Mereka yang membuat game, dan game itu adalah properti intelektual mereka. Tidak ada asosiasi pemain, tidak ada perserikatan… Tidak ada orang yang menjaga Anda,” jelasnya.

Tidak ada pemain sepak bola yang perlu takut bahwa tahun depan sepak bola akan punah. Begitu juga cabang-cabang olahraga lainnya. Mereka juga memiliki lembaga-lembaga yang memayungi seperti NFL, FIFA, atau NBA. Tapi hal ini beda dengan esports. Bayangkan bila Valve tiba-tiba memutuskan untuk menutup server Dota 2. Ke mana para atlet Dota 2 harus berpulang? Jangankan menutup server, menutup kompetisi Dota Pro Circuit saja sudah bisa membuat banyak orang kehilangan mata pencaharian. Wajar bila kemudian karier atlet esports sering berumur pendek.

Thresh
Thresh dikenal sebagai pro gamer di seri Quake | Sumber: Thresh

Wujud dukungan yang dibutuhkan atlet esports

Atlet esports telah berkorban begitu banyak, dan hasilnya, mereka pun mendapat penghasilan serta ketenaran yang layak. “Saya selalu berkata bahwa ya, terkadang (esports) menyebalkan, karena semua masalah yang ada. Tapi pada akhirnya, semua itu sungguh setimpal, dan bagi banyak orang hidup saya adalah mimpi yang jadi kenyataan,” kata Doublelift.

Akan tetapi meski pengorbanannya “worth it”, bukan berarti masalah-masalah di atas lalu kita biarkan begitu saja. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan oleh pihak-pihak sekitar atlet untuk mendukung perjuangan mereka, yang pada akhirnya juga akan berdampak positif pada ekosistem esports keseluruhan.

Dukungan orang tua

Esports adalah sebuah karier. Profesi. Cita-cita. Sama seperti cita-cita lainnya, seorang anak tidak akan bisa mencapainya dengan maksimal apabila tidak mendapat restu orang tua. Sudah banyak legenda-legenda esports yang membuktikan bahwa dukungan orang tua sangat penting. Sumail dari tim Evil Geniuses misalnya, orang tuanya bahkan rela memboyong seluruh keluarga dari Pakistan ke Amerika agar sang anak dapat bermain Dota. Begitu pula dengan atlet-atlet lain, seperti misalnya JessNoLimit yang selalu berkata bahwa ia ingin membanggakan orang tua.

Salah satu orang tua itu adalah Kara Dang Vu, ibu dari pemuda bernama Conner Dang Vu yang sedang berusaha menjadi pemain Overwatch profesional. Ia sadar bahwa zaman sudah berubah, dan orang tua harus memahami perubahan tersebut. “Mungkin sudah waktunya bagi kita, sebagai generasi yang berbeda, untuk melihat dunia dari mata mereka,” ujarnya.

Kara Dang Vu
Conner Dang Vu dan Kara Dang Vu, keluarga esports | Sumber: CBS

Dokter dan psikolog dalam tim

Kesehatan atlet sangat penting untuk diperhatikan, jadi tim esports sebaiknya memiliki dokter atau kru medis yang bertugas memantau kondisi para anggotanya. Akan tetapi kesehatan bukan hanya soal fisik, tapi juga soal mental.

Tim esports seperti Los Angeles Valiant memiliki psikolog tersendiri yang dapat membantu para pemain mengatasi stres. Metodenya bisa bermacam-macam, bahkan sebagian melibatkan aktivitas fisik juga. Olahraga memang telah lama dipercaya dapat meredam emosi negatif, karena dengan berolahraga, tubuh akan terangsang untuk memproduksi hormon yang bersifat sebagai antidepresan. Dengan penanganan seperti ini, diharapkan atlet dapat berlatih dengan lebih nyaman dan tidak sampai burnout.

Pendidikan atau beasiswa

Saat ini kita sedang berasa di “generasi pertama esports”. Ekosistem ini muncul dengan menjanjikan jumlah uang yang besar, dan masih terus berevolusi untuk menuju industri yang sustainable. Agar esports bisa menjadi sesuatu yang berkesinambungan layaknya olahraga konvensional, kita butuh regenerasi. Bukan hanya atlet tapi juga peran-peran lainnya. Esports adalah sebuah profesi, dan profesi tidak bisa dilakukan tanpa adanya keahlian sebagai bekal.

Karena itulah, munculnya pendidikan esports di SMA dan kampus-kampus merupakan langkah yang sangat baik. Saat ini kita masih meraba-raba. Tapi di generasi esports berikutnya, mereka akan menjalankan industri ini dengan ilmu serta pengalaman yang terakumulasi dari generasi sebelumnya. Saya pun yakin esports akan terus ada untuk waktu yang lama, tapi tidak ada yang bisa menebak bentuknya nanti seperti apa.

SPACE - Therapy
Kesehatan adalah aset terbesar seorang atlet | Sumber: CBS

Catatan Tambahan: Sebuah pelajaran dari Daigo Umehara

Ada satu hal yang membuat saya merenung setelah menonton Esports: The Price of the Grind. Bila kita kerucutkan, sepertinya masalah utama esports saat ini ada pada sustainability. Semua pihak sedang berusaha menuju ke sana. Penyelenggara turnamen ingin agar kompetisi bisa lebih sustainable, atlet ingin terus bisa bermain dalam waktu yang lama, dan developer ingin game mereka tetap hidup dan dimainkan oleh banyak orang.

Namun untuk mencapai tahap sustainable itu, sepertinya “grinding” bukanlah jawaban yang tepat. Ketika kita memaksakan diri untuk melakukan sesuatu secara terus-menerus, nilai tambah dari kegiatan itu justru makin mengecil (diminishing result). Kita bisa belajar sedikit tentang sustainability ini dari salah satu atlet esports paling veteran di dunia, Daigo Umehara.

Dalam bukunya yang berjudul The Will to Keep Winning, Daigo berkata bahwa berlatih dan bermain terlalu banyak itu adalah hal yang buruk. Atlet esports seharusnya tidak memforsir diri demi mengejar target jangka pendek, karena itu akan membuat mereka hancur baik secara fisik maupun secara mental.

Daigo sendiri memiliki rutinitas latihan yang berkisar hanya antara tiga sampai enam jam sehari. Menurutnya, kualitas latihan lebih penting daripada kuantitas. Lebih baik menghabiskan sedikit waktu namun berhasil mempelajari hal baru, daripada bermain belasan jam tapi tidak mendapat peningkatan apa-apa.

Mungkin para pegiat esports bisa belajar dari prinsip ini, bahwa untuk menciptakan ekosistem yang sustainable kuncinya adalah dengan menciptakan rutinitas yang sustainable pula. Ini tidak hanya berlaku bagi atlet. Organizer turnamen juga harus merancang jadwal kompetisi yang sustainable, yang memberi ruang bagi tim-tim esports untuk beristirahat serta mengeksplorasi hal baru. Sementara developer game harus bisa menyeimbangkan kecepatan update konten dengan stabilitas meta. Jangan sampai developer terlalu bernafsu merilis konten baru demi monetisasi, sementara para pemain kelabakan dengan meta yang berubah terlalu cepat.

Masalah sustainability di dunia esports ini bisa jadi bahan diskusi panjang sendiri, dan saya rasa para pegiat esports pun sudah banyak yang memikirkannya. Mudah-mudahan artikel ini dan dokumenter dari CBS bisa menjadi pengingat, atau pemicu munculnya ide baru yang akan memajukan ekosistem esports, terutama di Indonesia.

Sumber: CBS

RRQ: History, Ambition, and Principles of ‘The King’

If you’re a local fans of esports, it won’t be acceptable if you haven’t heard of Rex Regum Qeon (RRQ) as it is one of the biggest and the best esports organizations in Indonesia.

What interesting is even though they started their journey from Dota 2, their newest divisions (Point Blank, Mobile Legends, and PUBG Mobile) are more popular and have accomplished a lot better.

It can be said that their Mobile Legends division, RRQ.O2, currently has a formation of star players in every role. This team becomes the best team in the world of Mobile Legends Indonesia thanks to their victory in MPL Indonesia Season 2. They are also the number one team in Southeast Asia, excluding the team from Philippines.

RRQ.O2 as MPL ID S2 champion. Source: MLBB
RRQ.O2 as MPL ID S2 champion. Source: MLBB

In Point Blank (PB), RRQ.Endeavour has a great number of achievements both at national and international level. This team was the world champion of PB in 2017. They were also the runner-up of the PB International Championship (PBIC) in 2018. At national level, RRQ.Endeavour always scares their enemies thanks to the two of their players who are the top class PB players, Nextjack and Talent.

Recently, RRQ also became the world champion of PUBG Mobile Star Challenge tournament which was held in Dubai, although it’s the RRQ Thailand-based team. RRQ.Athena is the concrete form of their effort to expand their existence in Southeast Asia.

Now we will talk about this esports team, which is the group family member of MidPlaza Holding, from their history, ambition, and principles. Therefore, we’re inviting CEO of RRQ Andrian Paulien (AP) to tell us the story of ‘The King’.

A Brief History of RRQ

Partnership launching of RRQ and ASUS ROG. Courtesy: ASUS Indonesia
Partnership launching of RRQ and ASUS ROG. Courtesy: ASUS Indonesia

As we mentioned before, RRQ is a part of MidPlaza Holding as they were established by a game publisher of MidPlaza named Qeon Interactive.

Qeon Interactive is a game publisher established in 2011. In 2013, CEO of Qeon Interactive Riki Kawano Suliawan invited Andiran Pauline (AP) to build an esports team on their own and Dota 2 was their first choice of game. While RRQ is one of the biggest team today, they were just being managed professionally since 2017.

AP said that from 2013 to 2017, Riki was the one who took responsibility of all RRQ needs. Fortunately in 2017, MidPlaza group agreed to partner with RRQ. That’s when AP was appointed to manage RRQ. When RRQ already became a professional club, they started to get many sponsor offerings since the first quarter of 2018.

Between Glory and Popularity

A debate that might often happen between RRQ’s management is the dilemma between achievement and exposure. RRQ itself, in my opinion, has successfully balanced both of them – at least compared to other big esports organizations in Indonesia.

But what is the real main mission of RRQ?

AP said that RRQ’s priority was becoming a champion. “Our orientation is becoming a champion. Focus on practicing, as it’s the manifestation of an athlete. Popularity is additional,” said AP.

He also argued that RRQ might be able to recruit various talents with high exposure, but until today, RRQ wasn’t looking for famous people as it’s not their goal. He really wants to build and maintain a winning team. Although it’s admittedly difficult to achieve because of many new great teams appearing.

That said, AP added that it didn’t mean that RRQ wasn’t trying to gain exposure through content. “We’re also creating content.”

Pursuing glory may sound cliché, if not idealist, but the fact that professional gamers’ productive age is short makes it a really common goal for professionals. Now professional gamers are usually retiring in the age of 30.

Isn’t popularity able to increase their chances to survive when they don’t have any more stage on esports? How would AP respond to that?

RRQ Endeavour as PBIC 2017 champion
RRQ Endeavour as PBIC 2017 champion. Source: Revival TV

He admitted that it’s back to each individual whether they would like to look for a stage as long as they had a chance or not, but RRQ itself offered a benefit that’s quite valuable.

The interesting part is that MidPlaza Holding group has 20 companies ready to hire retired players or people behind the stage of RRQ. “As long as they’re not asking to be a president hahaha…” said AP joking.

On the other side, AP said that RRQ always supported players to finish their study (academically) as he believed that education was really useful for their own future. It’s not always about skill, an education makes a person having a good attitude. For RRQ, education is priority.

RRQ’s welfare is the most important thing

In February 2018, there has been an uproar in the world of Dota 2 in Indonesia because of two of Dota 2 high class level players were joining RRQ. Those players are Rusman “Rusman” Hadi and Rivaldi “R7” Fatah. Rusman is a player that has been known as one of the best carry player of Indonesia, along with Muhammad “InYourDream” Rizky and Randy “Fervian” Sapoetra.

Their presence was indeed proved effective on bringing RRQ qualified to compete in GESC: Indonesia Minor. That time, this team was known as the best Dota 2 team in Indonesia because of those players. However, their good fortune didn’t last, as Kenny “Xepher” Deo, one of the best Dota 2 players in Indonesia, had to leave RRQ to join TNC Tigers (Malaysia).

Their formation began to fall apart without the shout-callers a.k.a the in-game leaders of Xepher’s class. Until today, RRQ’s Dota 2 division seems like drowning (compared to other divisions with dazzling aforementioned achievements) as they haven’t found any ‘star’ formation like before.

At that time, RRQ was actually able to keep Xepher on their team but they decided to let him go for his own better future. What is AP opinion about this?

Ega "Eggsy" Rahmaditya, FIFA of RRQ. Source: RRQ
Ega “Eggsy” Rahmaditya, FIFA of RRQ. Source: RRQ

He said that RRQ always gave a chance for their players to be better. “If he would be better on that team, why not? We’ll keep on supporting him.” After all, he said that RRQ’s welfare was the most important thing. If a player isn’t happy anymore on a certain team, their performance won’t be any good as well.

He told us that RRQ’s kinship was so strong, so they wouldn’t let any of their players being uncomfortable around the team. RRQ has never been afraid to lose a player because a player comes and goes.

RRQ’s Future Plans

Now RRQ has 8 divisions such as Dota 2, Mobile Legends, Point Blank, PUBG Mobile, PUBG, FIFA, AoV, and CS:GO. Who is the person in charge of adding new divisions of RRQ and how does the consideration work?

AP said that he and management team were the ones in charge of deciding a new division of RRQ and the consideration took place in term of needs and market trends. “We’re looking for a hit game, as we need to think about the sponsors’ needs as well. After all, the decision cannot be set apart from any business aspect.”

RRQ just held a tournament for players at the maximum age of 18 called RRQ Under 18 Tournament – RRQ Next Generation, does that mean that RRQ will also be an event organizer in the future? AP answered that RRQ hadn’t been planning to become one. Now their focus is to secure and extend the team’s achievement as it’s their core as an esports organization.

RRQ.Athena as PUBG M Star Challenge champion in Dubai. Source: PUBG Mobile
RRQ.Athena as PUBG M Star Challenge champion in Dubai. Source: PUBG Mobile

That was our talk with CEO of RRQ. For me or maybe other esports observers, following RRQ’s growth from time to time is a pleasure in itself.

What will it be of RRQ in the future? Will they still be on their tracks and fulfill their ambition to pursue and secure their achievement as ‘The King’? Or will they develop and extend to be the biggest team of Indonesia esports, given a conglomerate group backing them up?

Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian.

RRQ: Tentang Sejarah, Ambisi, dan Prinsip ‘Sang Raja’

Buat para fans esports dalam negeri, keterlaluan rasanya jika Anda belum pernah mendengar nama Rex Regum Qeon (RRQ). Pasalnya, RRQ adalah salah satu dari organisasi esports terbesar dan terbaik yang ada di Indonesia.

Menariknya, walaupun mereka memulainya dari Dota 2, divisi mereka yang lebih baru (Point Blank, Mobile Legends, ataupun PUBG Mobile) justru lebih populer dan menuai prestasi yang lebih baik.

Divisi Mobile Legends mereka, RRQ.O2, boleh dibilang punya formasi pemain bintang di segala lini (role) saat ini. Tim tersebut merupakan tim terbaik di dunia persilatan Mobile Legends Indonesia sekarang berkat kemenangan mereka di MPL Indonesia Season 2. Mereka juga boleh dibilang tim nomor 1 di Asia Tenggara, jika tidak menghitung tim dari Filipina.

RRQ.O2 saat jadi juara MPL ID S2. Sumber: MLBB
RRQ.O2 saat jadi juara MPL ID S2. Sumber: MLBB

Di Point Blank (PB), RRQ.Endeavour juga punya segudang prestasi baik di tingkat nasional ataupun internasional. Tim ini adalah juara dunia PB di tahun 2017. Mereka juga jadi runner-up di kejuaraan dunia PB (PBIC) tahun 2018. Di tingkat nasional, RRQ.Endeavour selalu membuat lawan mereka ketakutan berkat ada dua pemain PB kelas kakap, Nextjack dan Talent.

Belakangan, RRQ juga menjadi juara dunia untuk PUBG Mobile di turnamen PUBG Mobile Star Challenge yang digelar di Dubai. Meski memang tim yang menjuarai turnamen ini bukan dari Indonesia tapi dari Thailand. RRQ.Athena adalah bentuk konkrit dari upaya RRQ melebarkan sayap ke Asia Tenggara.

Kali ini, kita akan membahas panjang lebar soal tim esports yang merupakan anggota keluarga grup MidPlaza Holding dari soal sejarah, ambisi, dan prinsip mereka. Karena itulah, kami mengajak berbincang CEO RRQ, Andrian Pauline (AP), untuk bercerita soal tim yang punya julukan ‘sang raja’ ini.

Sejarah Singkat RRQ

Peresmian kerja sama antara RRQ dan ASUS ROG. Dokumentasi: ASUS Indonesia
Peresmian kerja sama antara RRQ dan ASUS ROG. Dokumentasi: ASUS Indonesia

Seperti yang kami tuliskan sebelumnya, RRQ memang merupakan bagian dari MidPlaza Holding karena ia berangkat dari sebuah publisher game milik MidPlaza yang bernama Qeon Interactive.

Qeon Interactive merupakan publisher game yang didirikan tahun 2011. Di tahun 2013, Riki Kawano Suliawan, CEO Qeon Interactive, pun mengajak Andrian Pauline (AP) untuk membuat tim esports sendiri dan Dota 2 adalah pilihan pertama mereka. Meski sekarang RRQ merupakan salah satu tim terbesar, ternyata mereka baru di-manage secara profesional sejak tahun 2017.

AP bercerita bahwa dari 2013 sampai 2017 itu, Riki lah yang menanggung semua kebutuhan RRQ. Namun di 2017, grup MidPlaza setuju untuk serius menggarap RRQ. Saat itulah AP ditunjuk untuk menjalankan RRQ. Setelah RRQ jadi klub profesional, mereka pun kedatangan banyak sponsor sejak kuartal pertama 2018.

Antara Kemenangan dan Ketenaran

Satu perdebatan yang mungkin kerap terjadi di tingkatan manajemen organisasi esports besar sekelas RRQ adalah dilema antara prestasi dan exposure. RRQ sendiri, menurut saya pribadi, berhasil menyeimbangkan keduanya -setidaknya jika dibandingkan dengan organisasi esports besar lain di Indonesia.

Namun bagaimana sebenarnya tujuan utama dari RRQ?

AP mengatakan bahwa prioritas utama RRQ adalah jadi juara. “Orientasinya memang jadi juara. Fokus latihan karena itulah yang menjadi manifestasi dari seorang atlit. Popularitas itu adalah bonus tambahan.” Ujar AP serius.

Ia juga berargumen bahwa RRQ bisa saja menarik berbagai talent yang tinggi exposure-nya. Namun sampai hari ini, RRQ memang tidak punya ‘artis’ karena tujuan mereka memang bukan ke sana. Ia benar-benar ingin membangun dan mempertahankan winning team. Meski memang hal ini ia akui cukup sulit saat ini karena banyak tim baru yang bermunculan.

Meski begitu, AP juga menambahkan bahwa bukan berarti RRQ tidak berusaha mencari exposure lewat konten. “Kita bikin konten juga kok.”

Mengejar kemenangan mungkin memang kedengarannya lebih romantis, jika tak mau dibilang idealis, namun faktanya usia produktif para gamer profesional itu cukup pendek. Sekarang ini, para gamer profesional biasanya sudah ‘pensiun’ di usia 30 tahun.

Bukankah ketenaran bisa memperbesar peluang mereka untuk terus survive saat mereka tak punya panggung lagi di esports? Bagaimana AP menanggapi hal ini?

RRQ Endeavour saat jadi juara PBIC 2017. Sumber: RevivalTV
RRQ Endeavour saat jadi juara PBIC 2017. Sumber: RevivalTV

Ia pun mengaku bahwa RRQ mengembalikan lagi ke individunya masing-masing, apakah mereka ingin mencari panggung selagi masih punya kesempatan, namun RRQ sendiri juga menawarkan benefit yang tidak kecil.

Lagipula, ini yang paling menarik, buat para pemain ataupun orang-orang di belakang layarnya RRQ yang ‘pensiun’ di sini; grup MidPlaza Holding punya 20 perusahaan yang siap menampung. “Asal jangan minta jadi direktur aja hahaha…” Kata AP berseloroh.

Di sisi lainnya, AP mengatakan jika RRQ juga selalu mendorong para pemain untuk menyelesaikan studi mereka (di tingkat akademik). Muasalnya, ia percaya pendidikan itu sangat berguna untuk banyak hal di masa depan. Tak hanya soal skill, namun pendidikan juga membuat orang jadi punya attitude yang lebih bagus. Bagi RRQ, pendidikan itu nomor satu.

Kemaslahatan RRQ adalah yang paling Penting


Bulan Februari 2018, dunia persilatan Dota 2 di Indonesia sempat dibuat gempar berkat masuknya 2 pemain Dota 2 kelas berat ke RRQ. Kedua pemain tersebut adalah Rusman “Rusman” Hadi dan Rivaldi “R7” Fatah. Rusman sendiri adalah pemain yang digadang-gadang sebagai salah satu carry terbaik Indonesia, bersama dengan Muhammad “InYourDream” Rizky dan Randy “Fervian” Sapoetra.

Masuknya 2 pemain tersebut memang terbukti ampuh menghantarkan RRQ lolos kualifikasi untuk berlaga di GESC: Indonesia Minor. Kala itu, tim ini disebut-sebut sebagai tim Dota 2 terbaik di Indonesia karena para pemainnya. Namun demikian, malang pun tak dapat dihindari. Kenny “Xepher” Deo yang termasuk dalam jajaran pemain Dota 2 terbaik di Indonesia pergi meninggalkan RRQ untuk bermain di TNC Tigers (Malaysia).

Formasi mereka pun bisa dibilang berantakan tanpa shout-callers alias in-game leaders yang sekelas Xepher. Sampai hari ini, divisi Dota 2 RRQ pun seolah tenggelam (jika dibanding divisi lainnya yang prestasinya menyilaukan, yang saya tuliskan di awal artikel ini) karena belum mampu menemukan formasi ‘bintang’ yang dulu pernah dipegangnya.

Kala itu, RRQ sebenarnya bisa saja mempertahankan Xepher untuk terus bermain di sana namun mereka memutuskan untuk melepas pemain ini. Bagaimana pendapat AP soal ini?

Ega "Eggsy" Rahmaditya, pemain FIFA dari RRQ. Sumber: RRQ
Ega “Eggsy” Rahmaditya, pemain FIFA dari RRQ. Sumber: RRQ

Ia pun mengatakan bahwa RRQ selalu memberikan kesempatan para pemainnya untuk jadi lebih baik. “Kalau memang dia bisa lebih baik di tim sana, ya kenapa tidak? Kita tetap akan bantu support dia.” Lagipula, ia menambahkan bahwa kemaslahatan RRQ adalah yang paling penting. Kalau seorang pemain sudah tidak bahagia berada di tim tersebut, performanya pun juga tidak maksimal.

Ia juga bercerita bahwa suasana kekeluargaan di RRQ itu kental sekali. Jadi, ketidaknyamanan seorang pemain justru bisa mengganggu hal tersebut. RRQ tidak pernah takut kehilangan pemain karena pemain itu bisa saja datang dan pergi.

Rencana Ke Depan RRQ

Saat ini, RRQ punya 8 divisi, yaitu Dota 2, Mobile Legends, Point Blank, PUBG Mobile, PUBG, FIFA, AoV, dan CS:GO. Siapakah yang sebenarnya mengambil keputusan untuk penambahan divisi baru di RRQ dan bagaimana pertimbangannya?

AP bercerita bahwa ia dan jajaran manajemen yang menentukan divisi baru seperti apa yang ada di RRQ. Ia juga menjelaskan bahwa pertimbangan yang digunakan adalah soal kebutuhan dan tren pasar. “Cari game yang lagi rame, lagi dimainkan banyak orang. Tidak mungkin juga ambil game yang sepi karena ada pertanggungjawaban terhadap sponsor juga. Bagaimanapun, keputusan tersebut tidak dapat dilepaskan dari unsur bisnis juga sih.”

Melihat RRQ juga baru saja menggelar turnamen untuk pemain berusia maksimal 18 tahun, RRQ Under 18 Tournament – RRQ Next Generation, apakah hal ini berarti RRQ juga akan menjadi event organizer ke depannya? AP pun menjawab bahwa RRQ belum ada rencana ke sana sekarang. Saat ini, fokusnya adalah mempertahankan dan melebarkan prestasi tim karena itulah core mereka sebagai esports organization.

RRQ.Athena saat menjuarai PUBG M Star Challenge di Dubai. Sumber: PUBG Mobile
RRQ.Athena saat menjuarai PUBG M Star Challenge di Dubai. Sumber: PUBG Mobile

Itu tadi perbincangan kami dengan CEO RRQ. Bagi saya pribadi ataupun bagi para pemerhati esports lainnya, mengikuti perkembangan RRQ dari waktu ke waktu adalah sebuah kesenangan tersendiri.

Bagaimanakah RRQ di waktu yang akan datang? Apakah ia akan masih di jalurnya dan mewujudkan ambisi untuk terus mengejar dan mempertahankan prestasinya sebagai ‘sang raja’? Atau ia akan berkembang melebar dan menjadi satu raksasa esports Indonesia, mengingat mereka punya grup konglomerasi di belakangnya?