Menentukan Arah E-Commerce Indonesia

Toko daring (e-commerce) yang merupakan wujud nyata pemanfaatan teknologi internet yang dipadukan dengan toko offline, terus menggurita di Indonesia. Menurut sensus BPS, jumlahnya mencapai 26,2 juta di 2016, tumbuh 17% dalam kurun waktu 10 tahun.

Besarnya angka ini, di satu sisi memperlihatkan pemain toko offline yang kini mulai sadar dengan potensi online sebagai alternatif jalur pemasaran yang ramah ongkos dalam rangka mendukung bisnis mereka.

Seiring berjalannya waktu, pemain e-commerce khususnya marketplace kini tak lagi menawarkan produk berbasis fesyen, gadget, atau elektronik. Coba perhatikan strategi dari lima pemain besar e-commerce di Indonesia versi iPrice berdasarkan segi kunjungan, seperti Lazada, Tokopedia, Elevenia, Bukalapak, dan Blibli. Semuanya kini mulai merambah ke luar segmen tiga kategori utama.

Tokopedia, dikenal sebagai pemain pionir yang menyediakan produk di luar segmen utama, makin melengkapi layanannya tak hanya pulsa, tapi juga sudah merambah ke pembelian tiket kereta api, voucher game, donasi, BPJS, angsuran kredit, hingga layanan fintech untuk pengajuan aplikasi kartu kredit, dan lainnya.

Lazada pun kini perlahan-lahan mulai merambah ke pengadaan kebutuhan sehari-hari dengan menjual pulsa dan paket data. Begitupula dengan Elevenia yang menyediakan tiket pesawat dengan menggandeng Tiket. Blibli pun juga demikian, baru-baru ini perusahaan menjual rambah segmen perjalanan dengan menyediakan tiket angkutan darat, laut, udara, paket perjalanan wisata, hingga voucher acara, dan lainnya.

Pengguna kini bisa pesan tiket kereta api via Bukalapak / Bukalapak

Bukalapak tak mau kalah. Selain tiket kereta api dan pesawat, Bukalapak juga menyediakan layanan fintech termutakhir, yakni investasi reksa dana. Yang terbaru, marketplace yang memiliki hubungan dengan Emtek ini juga menyediakan layanan kredit mobil, lewat BukaMobil.

Dari layanan yang dihadirkan pemain marketplace di atas, secara otomatis membuat peta persaingan dengan e-commerce tak lagi jadi horizontal, namun semakin vertikal. Akibatnya, ruang gerak bisnis e-commerce niche “terusik”, apalagi dengan toko offline.

Bila ditelisik lebih dalam, kondisi serupa juga terjadi di Amerika Serikat. Ambil contoh terdekat adalah Amazon. Dalam perjalanannya, Amazon kini tidak hanya dikenal sebagai platform e-commerce untuk berjualan berbagai produk berbasis kebutuhan konsumen saja yang sudah diluncurkan sejak awal.

Dalam laporan keuangan Amazon di kuartal I 2017, perolehan pendapatan Amazon mencapai US$34,5 miliar, tumbuh 19% secara year-on-year (YOY). Beberapa kontributor yang turut mendongkrak kenaikan tersebut adalah kehadiran produk Amazon Web Service dan Amazon Prime.

Hal menarik yang bisa disimpulkan dari laporan kinerja Amazon adalah layanan e-commerce yang mulai beradaptasi menjadi peluang baru untuk terus berinovasi menambah layanan, bukan hanya mengandalkan produk berbasis kebutuhan konsumen saja.

Dengan makin ramainya layanan yang dihadirkan marketplace, seperti apa arah e-commerce Indonesia di masa mendatang? Lalu bagaimana tingkat persaingannya?

Menjadi bagian keseharian hidup

CEO Tokopedia William Tanuwijaya menjelaskan masyarakat Indonesia dari tahun ke tahun makin cerdas. Mereka tak lagi sekadar berburu diskon atau harga murah, namun menggunakan platform e-commerce untuk kemudahan hidup mereka. Tak hanya itu, sebagai destinasi untuk perbandingan harga, melihat tinjauan dari para pembeli sebelumnya.

Menurut William, dengan banyaknya penjual yang bergabung di marketplace akan memberikan fungsi transparansi harga dan kualitas kepada masyarakat sehingga dapat dijadikan sebagai acuan riset pasar sebelum berbelanja.

Open marketplace juga akan menjadi rumah baru bagi para pemilik merek lokal maupun internasional untuk memasarkan produknya. Ini sangat wajar karena marketplace memiliki traffic kunjungan yang tinggi. Pengunjung marketplace memiliki intention to purchase, beda dengan social media, situs berita, atau mesin pencari,” kata William.

Dia juga memprediksi pada tahun ini, e-commerce akan semakin inklusif demi menjangkau masyarakat hingga pelosok dengan membuka kesempatan untuk bankable. Produk keuangan seperti dompet virtual akan tumbuh seiring dorongan pemerataan ekonomi secara digital, membuka kesempatan untuk masyarakat melakukan pembayaran meski tidak memiliki akun bank atau kartu kredit.

“Marketplace seperti Tokopedia pun sudah berubah menjadi platform, yang membuka kerja sama dengan para pelaku startup fintech, khususnya yang memiliki solusi untuk financial inclusion.”

Saat ini ada lebih dari 1,5 juta merchant yang bergabung dengan Tokopedia. William mengklaim setiap bulannya perusahaan bisa menghasilkan pendapatan hingga triliunan lewat 40 juta pilihan produk yang tersedia.

Menyambung ucapan William, Ketua Umum Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) Aulia E. Marinto menambahkan berbagai layanan yang dihadirkan, secara otomatis membentuk suatu ekosistem yang menjadikan e-commerce sebagai one stop service.

“Mulai ditawarkannya berbagai produk dan layanan, sebenarnya sudah ada model bisnisnya di luar negeri. Ini bukan hal baru dan menjadi upaya mereka untuk leverage bisnis dari consumer base yang sudah dimiliki. Market [e-commerce] kita masih baru, banyak hal yang bisa di-online-kan,” ungkapnya.

Hal senada diungkapkan CFO Bukalapak M Fajrin Rasyid. Menurutnya, layanan e-commerce di Indonesia akan menjadi sebuah ekosistem dengan menawarkan jasa dengan nilai tambah, tak lagi jasa jual-beli saja. Hal inilah yang mendasari Bukalapak meluncurkan berbagai inisiatif baru.

“Kami yakin dengan pertumbuhan dan perkembangan Bukalapak sebagai ekosistem, kami mampu memutar roda perekonomian Indonesia bukan hanya dengan penjualan dan pembelian, tapi juga dengan kebiasaan menabung. Salah satu fitur kami, BukaReksa, memungkinkan pengguna kami untuk berinvestasi,” terang Fajrin.

Dia melanjutkan, “Kami yakin e-commerce di Indonesia akan menjadi sebuah ekosistem. Yang dimaksud ekosistem adalah [layanan] e-commerce yang mampu memberi kemudahan para penggunanya, tidak hanya wadah jual beli online, tetapi membantu mereka untuk melakukan kegiatan sehari-hari dalam satu platform.”

Kompetisi yang makin sengit, namun potensi tetap luas

Menjawab soal kompetisi, Aulia menambahkan di era teknologi internet yang makin berkembang memang menyebabkan tingkat kompetisi yang semakin ketat. Pasalnya perkembangan internet cukup dinamis. Ambil contoh, kompetisi yang terjadi antara operator telekomunikasi dengan layanan over-the-top (OTT). Kondisi sekarang ini, pengguna telko tidak harus menggunakan pulsanya untuk menelpon karena dapat memanfaatkan layanan telepon dari aplikasi pesan singkat.

CEO Blibli Kusumo Martanto mengatakan persaingan tetap selalu ada dan semakin sengit. Blibli melihat hal ini menjadi kesempatan untuk terus “agile” dan berinovasi untuk terus meningkatkan pelayanan baik dari sisi produk seleksi, kompetisi harga, pengiriman, metode pembayaran, customer care, maupun user experience di platform web dan mobile.

“Kami juga melihat ada tanda-tanda untuk terjadinya konsolidasi di market [e-commerce] ke depannya. Tapi kami cukup yakin untuk tetap bisa tumbuh dan menjadi one of the e-commerce market leaders di Indonesia,” ucap Kusumo.

Sekarang Blibli telah memiliki 15 kategori produk, beberapa yang terbaru diluncurkan tahun lalu adalah otomotif (aksesoris, mobil, dan motor); galeri Indonesia (produk lokal), mobile e-pulsa, dan groceries (non fresh products).

Peritel modern dituntut inovatif

Sementara itu, peritel modern yang merupakan bisnis petahana sebelum layanan e-commerce hadir, dituntut untuk terus inovatif. Meski secara penetrasi e-commerce terhadap total ritel masih sekitar 1% di 2016, namun potensinya diklaim masih sangat luas. Dikhawatirkan hal ini akan menjadi senjata makan tuan bagi peritel modern.

William menerangkan kondisi yang sedang dialami Indonesia di tahun lalu telah terjadi di Tiongkok pada 2008 silam. Tiongkok hanya membutuhkan lima tahun untuk mencapai penetrasi 10% terhadap total ritel di 2013.

“Jika saat ini dari 100 transaksi yang kita lakukan, baru 1 yang dilakukan secara online. Pertanyaan berikutnya seberapa cepat Indonesia akan mengikuti Tiongkok, di mana dari 10 transaksi yang dilakukan, setidaknya sudah 1 dilakukan secara online,” tutur William.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy N. Mandey menambahkan layanan e-commerce kini menjadi suatu bagian yang tidak bisa diingkari, sehingga harus dijadikan sebagai jalur distribusi pemasaran yang terbaru demi mendongkrak pendapatan.

“Kita harus liat e-commerce sebagai kritik yang membangun untuk menjawab situasi yang sedang terjadi. Harus ada kreativitas yang tersuguh di market untuk dihadirkan di offline, bila peritel tidak mau berubah tentu akan punah,” terang Roy.

Saat ini hampir 70% anggota Aprindo sudah mulai menggunakan transformasi dari bentuk toko fisik ke online. Sebelumnya peritel hanya memakai jalur online sebagai pemasaran, namun kini sudah bertambah menjadi saluran penjualan. Hal ini yang terjadi dalam MatahariMall, MAP Emall, Alfacart, KlikIndomaret, dan lainnya.

Kendati layanan e-commerce diprediksi menyimpan potensi yang sangat besar, kondisi ini dianggap tidak bisa menggeserkan eksistensi peritel modern. Pasalnya ritel modern memiliki nilai lebih yang tidak bisa digantikan oleh layanan e-commerce. Salah satunya adalah komunikasi yang satu arah dan keterbatasan untuk berinteraksi dengan barang yang diinginkan.

“Sedemikian maju suatu negara, toko offline akan tetap ada. Yang bakal tergerus itu yang tidak mau berubah. Intinya adalah inovasi yang dapat menghubungkan konsumen dengan teknologi, itu bisa dihadirkan dalam mengajak orang-orang untuk tetap datang ke toko.”


Yenny Yusra berkontribusi dalam pembuatan artikel ini

Prospek Cerah Transformasi Ritel Fisik ke Ranah Digital

Untuk kedua kalinya acara tahunan Internet Retailing Expo (IRX) Indonesia 2017 diselenggarakan, mulai dari hari ini (18/1) sampai besok di Jakarta. Acara ini menjadi ajang bertemunya para penjual, peritel multi-kanal, dan peritel online dengan para penyedia utama dan belajar dengan saling berbagi pengalaman dan implementasi studi kasus.

Ketua Umum Aprindo Roy N. Mandey mengatakan bisnis e-commerce merupakan suatu upaya transformasi yang harus dilakukan peritel offline. Sebab, gaya hidup masyarakat yang mulai bergeser ke arah digital, sekaligus melayani generasi muda sebagai konsumen baru.

“Bisnis e-commerce itu jadi melengkapi jalur distribusi peritel, kita kan tahu generasi muda saat ini ingin sesuai yang lebih cepat dan efektif lewat pemberdayaan internet. Jangan lupa gen y itu baru mulai ada sejak 2-3 tahun terakhir, masih ada gen x yang masih cenderung belanja di toko offline. Makanya kita harus berupaya mentransformasikan toko offline mengikuti perkembangan zaman dengan mengadopsi teknologi,” ucap Roy saat acara IRX Indonesia 2017, Rabu (18/1).

Pihaknya menilai keberadaan toko offline masih akan tetap dibutuhkan ke depannya. Pasalnya, ada beberapa jenis barang yang membutuhkan kenyamanan saat digunakan, misalnya seperti kosmetik, baju, celana, sepatu, dan lainnya.

Perlu adanya inovasi baru lewat pemanfaatan teknologi digital yang diterapkan dalam toko offline untuk menjadi nilai tambah yang bisa konsumen dapatkan dibandingkan saat berbelanja online.

Salah satu teknologi yang bisa diadopsi oleh peritel adalah teknologi RFID (Radio Frequency Identification) ditanamkan dalam supermarket. Semua barang belanjaan akan langsung terhitung dan secara otomatis akan mengurangi saldo kartu kredit. Teknologi ini sudah ada di negara maju dan salah satu pemain e-commerce yang sudah menggunakannya adalah Amazon.

“Kami terus berupaya untuk update dan transformasi bisnis, sebab digital adalah suatu keniscayaan. Terlebih gaya hidup masyarakat yang sudah berubah. Peritel dengan teknologi harus berjalan bersama dan saling melengkapi.”

Kontribusi bisnis e-commerce terhadap ritel di prediksi naik dua kali lipat

Aprindo memprediksi nilai transaksi yang dikontribusikan oleh bisnis e-commerce terhadap total bisnis ritel pada tahun ini dapat naik dua kali lipat sebesar 1,2%-1,5%. Adapun nilainya diperkirakan mencapai Rp2,64 triliun sampai Rp3,3 triliun.

Posisi tahun lalu, kontribusi bisnis e-commerce baru mencapai kisaran 0,7% dengan nilai transaksi sekitar Rp1,4 triliun. Secara industri ritel, Aprindo memprediksi tahun ini dapat tumbuh 10%-12% dengan kisaran nilai Rp220 triliun sampai Rp224 triliun.

Angka ini diharapkan naik dibandingkan pencapaian dari dua tahun sebelumnya. Di mana nilai transaksi industri ritel di 2015 sebesar Rp181 triliun dengan pertumbuhan 8% secara year-on-year. Kemudian, di 2016 tumbuh 10% dengan kisaran nilai transaksi Rp200 triliun.

“Sejak tahun lalu, industri ritel belum dalam tahap pemulihan (recovery). Sekarang kita berharap tahun ini tumbuhnya di kisaran 10%-12% karena sangat bergantung pada situasi politik, di mana ada 110 kotamadya yang akan melakukan pilkada sepanjang tahun ini.”

Sebagai catatan, nilai transaksi yang dicatat Aprindo merupakan gabungan dari peritel modern yang terdiri dari lima jenis usaha, yakni minimarket, supermarket, hypermarket, convenience store, dan kulakan. Sementara, peritel tradisional dan pasar rakyat tidak termasuk ke dalam anggota Aprindo.

Beberapa anggota Aprindo di antaranya Matahari, MAP, Alfamart, dan Indomaret. Adapun total anggota Aprindo saat ini mencapai 35 ribu toko dengan 600 perusahaan. Dari seluruh anggota, 25% di antaranya belum bertransformasi ke digital.

“Yang belum masuk ke bisnis online itu, rata-rata adalah lokal ritel di daerah-daerah. Mereka itu belum masuk [ke bisnis online] karena sangat bergantung pada aspek kapital dan pengetahuan. Namun pemain jejaring remote ritel sudah semuanya merambah ke bisnis e-commerce.”

Roy berharap, peritel yang sudah bertransformasi diharapkan untuk terus mengedukasi dan memberikan kemudahan bagi konsumen. Pasalnya, belum seluruh konsumen Indonesia yang mau berbelanja online karena belum merasa nyaman.

Kemendag segera terbitkan Peraturan Pemerintah

Sebagai tindak lanjut dari roadmap e-commerce, Kementerian Perdagangan akan segera menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) tentang Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik. Saat ini sudah hampir final dan sedang mempertimbangkan apakah perlu memasukkan penerapan pajak bagi perdagangan berbasis elektronik.

Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Kemendag Oke Nurwan menjelaskan regulasi ini ditargetkan akan terbit sebelum kuartal I/2017. Nantinya PP ini akan mengatur penyelenggaraan bisnis marketplace, bagaimana tata caranya, dan siapa penyelenggaranya. Selain itu, mewajibkan pelaku usaha menyediakan informasi dan data perusahaan yang benar, serta menyediakan izin pelaporan untuk mencegah tindakan ilegal di dunia maya.

“Pada prinsipnya PP ini akan mengatur dua aspek, light touch regulation dan safe harbour. Aturan ini tidak akan mengatur secara ketat, tapi tetap dapat mengendalikan beberapa aspek pendukung ekosistem e-commerce,” terang Oke.

Menurut Oke, dengan kerja sama yang erat dari pelaku usaha dan dukungan dari seluruh lapisan masyarakat, pemerintah sangat optimis dengan masa depan bisnis e-commerce Indonesia yang dapat menjadi motor penting dalam menggerakkan pertumbuhan ekonomi nasional.


Disclosure: DailySocial adalah media partner Internet Retailing Expo Indonesia 2017