Supercell Luncurkan Filter AR Clash of Clans untuk Facebook Camera

Baik di App Store maupun Google Play Store, Clash of Clans masih menempati posisi 10 besar untuk kategori game mobile dengan nilai penjualan tertinggi. Di titik ini, Anda mungkin mengira Supercell selaku pengembangnya sudah tidak perlu lagi mempromosikan game yang namanya kerap diabadikan sebagai nama sejumlah warung kopi itu. Anda salah.

Awal Agustus kemarin, Supercell merilis sebuah video yang cukup unik. Dalam video itu, dikisahkan karakter Builder yang bertampang lugu pada akhirnya merasa kesal melihat hasil jerih payahnya hancur dengan begitu mudahnya. Merasa tidak dihargai, Builder pun memutuskan untuk kabur.

Ke mana dia pergi? Jawabannya tergantung di mana Anda berada. Berkat bantuan augmented reality, Builder akhirnya bisa memukulkan palu andalannya di berbagai lokasi di dunia. Semua ini bisa pengguna nikmati lewat Facebook Camera (dengan mengusap layar ke kanan pada halaman utama aplikasi Facebook).

Di sini Supercell memanfaatkan tool yang disediakan Facebook AR Studio untuk menciptakan konten AR berbumbu CoC ini. Dengan membuka Facebook Camera, pengguna dapat memilih sebuah filter AR yang akan menempatkan Builder di mana pun mereka menghadapkan kamera ponselnya.

Builder in augmented reality

Tak hanya itu, pengguna bahkan bisa mengambil selfie selagi berpenampilan seperti Builder, lengkap mulai dari topi, alis tebal, senyum konyol sampai bajunya. Bukan, ini memang bukan Clash of Clans versi AR, tapi setidaknya bisa menjadi obat kangen yang cukup menghibur – dan materi promosi yang efektif buat Supercell sendiri.

Sumber: VentureBeat.

Sasar Segmen Enterprise, Produsen Kacamata AR Vuzix Gandeng BlackBerry

Meski sudah tidak lagi bermain di ranah smartphone – terkecuali di beberapa negara – BlackBerry belum lama ini malah mencoba mencicipi ranah wearable, spesifiknya untuk pasar kacamata pintar berteknologi AR. Debut ini tidak mereka lakukan secara langsung, melainkan melalui kerja sama dengan produsen kacamata pintar Vuzix.

Seperti yang kita tahu, tahun kemarin BlackBerry memutuskan untuk berhenti memproduksi hardware sendiri dan memilih untuk berfokus ke pengembangan software sekaligus solusi enterprise. Piranti lunak itu dilisensikan ke pihak yang tertarik, dan salah satunya adalah Vuzix dengan kacamata pintar M300 besutannya.

Kendati demikian, sama seperti Google Glass, Vuzix M300 dengan dukungan software BlackBerry ini ditujukan buat pasar enterprise sebagai pengganti tablet ataupun laptop ketika pekerja sedang berada di lapangan, memudahkan proses inspeksi karena pengguna dapat mengecek informasi sekaligus mengamati apa yang ada di hadapannya tanpa perlu membagi porsi fokusnya.

Ke depannya mungkin kita akan melihat kelanjutan dari kiprah BlackBerry di segmen wearable, namun kemungkinan besar juga melalui proyek-proyek kolaborasi seperti yang dilakukan dengan Vuzix ini.

Sumber: Wareable dan Vuzix.

Andalkan Augmented Reality, Mainan Berbentuk Kubus Ini Bisa Menjelma Menjadi Objek Virtual Apa Saja

2015 dan 2016, mata dunia tertuju pada meledaknya tren virtual reality. Tahun ini, tampaknya fokus kita sudah beralih ke augmented reality. Namun hal ini bukan berarti VR sudah mati, VR justru bisa ‘dihidupkan’ kembali dengan bantuan AR.

Inilah yang coba dilakukan oleh Merge VR, startup di balik VR headset seempuk marshmallow, Merge Goggles. Gagasan terbaru mereka adalah Merge Cube, sebuah kubus bermotif yang dapat menjelma menjadi berbagai macam objek virtual dengan memanfaatkan teknologi augmented reality.

Jadi ketika dilihat aplikasi pendampingnya di ponsel, kubus mainan tersebut bisa berubah wujud menjadi tengkorak manusia yang mendetail atau sebuah planet di tata surya, ideal untuk melengkapi aktivitas belajar. Di sisi lain, Cube juga siap dipakai untuk sekadar bersenang-senang ketika ia menjelma menjadi, misalnya, seekor alien imut bak Tamagotchi.

Merge Cube

Cube bakal terkesan semakin menarik ketika dipadukan bersama Merge Goggles – bisa juga VR headset yang lain asalkan kamera ponsel yang disisipkan di dalamnya tidak tertutupi. Di sini kedua tangan Anda jadi bisa lebih leluasa memutar-mutar Cube, dan tampilannya pun terasa lebih immersive karena berada langsung di hadapan Anda.

Namun semua ini tidak akan ada artinya tanpa dukungan ekosistem konten yang luas. Untuk itu, Merge turut memperkenalkan Merge Miniverse, semacam portal aplikasi yang bakal menyajikan koleksi konten terkurasi untuk Googles (VR) sekaligus Cube (AR).

Merge Cube saat ini sudah dipasarkan seharga $15, namun sayang baru di Amerika Serikat saja dan sejauh ini belum ada informasi terkait ketersediaannya di pasar internasional.

Sumber: UploadVR.

Berkat Augmented Reality, Animasi yang Butuh Waktu Pengerjaan 16 Minggu Bisa Diciptakan Secara Instan

Penggemar lagu pop lawas pastinya mengenal baik lagu berjudul “Take On Me” gubahan band asal Norwegia, A-ha. Kalaupun Anda tidak hafal namanya, saya yakin Anda pernah mendengar beat dan melodi dari lagu ini yang begitu yang catchy. Namun ketika dirilis di tahun 1985, lagu ini rupanya juga datang bersama video klip yang begitu mengenang.

Dalam video tersebut, tampak seorang perempuan yang mendapati dirinya ditarik masuk ke dunia komik, dimana lingkungan maupun orang-orang di sekitarnya terlihat seperti hasil sketsa pensil. Proses pengerjaan animasi dengan mengandalkan teknik bernama rotoscoping ini memakan waktu total 16 minggu.

Percaya atau tidak, efek animasi yang sama kini bisa diciptakan secara instan dengan bantuan augmented reality. Itulah yang ingin dibuktikan oleh developer bernama Trixi Studios. Memanfaatkan tool ARKit yang Apple sediakan untuk iOS 11, mereka mendemonstrasikan hasilnya di YouTube, dimana seluruh efek animasinya berjalan secara real-time mengikuti ke mana arah kamera ponsel diarahkan.

Sebagai perbandingan, berikut video klip Take On Me aslinya.

Cukup mirip, bukan? Yang satu butuh ketekunan selama 16 minggu, sedangkan satunya bisa langsung menyulap rumah Anda menjadi setting video klip tahun 80-an secara instan.

Sayang sekali Trixi bilang kalau mereka tidak berencana merilis aplikasinya ke publik. Pun begitu, setidaknya kita bisa mendapat gambaran terkait seperti apa terobosan-terobosan yang ditawarkan augmented reality yang nantinya bisa membuat kita tercengang.

Sumber: Gizmodo dan Prosthetic Knowledge.

Lenovo Pamerkan Standalone AR Headset dan Sejumlah Produk Konsep yang Sangat Menarik

Dalam acara tahunan Lenovo Tech World kali ini, ketimbang sekadar memamerkan laptop baru dengan perubahan inkremental, raksasa teknologi asal Tiongkok tersebut rupanya juga mencoba mencuri perhatian lewat lima produk konsep yang menarik.

Produk yang pertama adalah Lenovo daystAR. Dari nama dan wujudnya sudah sangat kelihatan kalau perangkat ini merupakan sebuah AR headset. Namun jelas bukan sembarang AR headset, sebab ia dapat beroperasi secara mandiri tanpa perlu tersambung ke PC atau diselipi smartphone.

Berbekal vision processing unit-nya sendiri, daystAR mampu menampilkan konten AR dengan sudut pandang seluas 40 derajat. Perangkat ini terintegrasi dengan berbagai layanan. Salah satu yang menarik adalah 3D Content Manager, yang memungkinkan pengguna untuk memindai, mengunggah, lalu mengedit konten 3D.

Lenovo SmartCast+

Produk yang kedua adalah Lenovo SmartCast+, sebuah smart speaker ala Amazon Echo yang juga merupakan proyektor augmented reality. Ya, selain berinteraksi dengan pengguna, perangkat ini juga bisa memproyeksikan gambar ke tembok atau layar, dan Lenovo juga berencana menambatkan kemampuan untuk mengenali suara maupun objek.

Lenovo CAVA

Bicara soal smart speaker tentunya tidak luput dari asisten virtual. Di sini Lenovo juga sudah menyiapkan asisten virtual-nya sendiri yang diberi nama CAVA, singkatan dari Context Aware Virtual Assistant. Sesuai namanya, ia dirancang untuk memahami konteks dengan memaksimalkan teknologi deep learning.

Tak hanya mengenali suara pengguna, CAVA juga dilengkapi kemampuan mengenali wajah sehingga ia dapat memberikan rekomendasi yang sangat personal kepada setiap pengguna. Contoh yang paling sederhana, CAVA dapat menyarankan waktu yang tepat untuk berangkat menuju tempat ketemuan dengan menganalisa kondisi lalu lintas dan cuaca.

Lenovo SmartVest

Dua yang terakhir adalah SmartVest dan Xiaole. SmartVest sepintas kelihatan seperti baju biasa, padahal ia sebenarnya merupakan electrocardiogram (ECG), yang siap memonitor selama 24 jam nonstop dan mendeteksi kondisi-kondisi yang tidak biasanya.

Lenovo Xiaole

Xiaole di sisi lain merupakan platform layanan pelanggan berbasis AI, dimana semua percakapan dengan konsumen akan dipelajari demi memberikan layanan yang lebih baik dan personal.

Sumber: Engadget dan Lenovo.

Mira Prism Ubah iPhone Anda Jadi AR Headset ala HoloLens

Tidak seperti VR headset, AR headset masih sangat terbatas pilihannya. Sejauh ini, dua yang bisa dikatakan paling potensial adalah Microsoft HoloLens dan Meta 2. Namun dengan banderol harga masing-masing $3.000 dan $950, yang bisa menikmatinya baru segelintir saja.

Hal ini menginspirasi sebuah startup bernama Mira untuk memikirkan bagaimana cara memboyong AR headset ke lebih banyak kalangan. Buah pemikiran mereka adalah Mira Prism, sebuah AR headset terjangkau berbasis mobile – cukup selipkan iPhone ke dalamnya, maka Anda sudah bisa menikmati konten AR secara lebih immersive.

Jelas sekali Mira Prism banyak terinspirasi oleh VR headset macam Samsung Gear VR atau Google Daydream View saat merancang mekanisme selip-menyelip itu. Selagi terpasang, apa yang ditampilkan di layar akan dipantulkan oleh sepasang cermin kecil dan diposisikan ulang di bagian depan lensa yang menutupi mata pengguna.

Mira Prism

Hasil akhirnya, pengguna dapat menikmati proyeksi objek virtual dalam sudut pandang seluas 60 derajat dan resolusi yang sama seperti layar iPhone itu sendiri (1334 x 750 pixel). Tidak hanya sekadar melihat saja, pengguna juga bisa berinteraksi dengan objek-objek tersebut dengan bantuan sebuah motion controller kecil yang sepintas kelihatan mirip seperti milik Daydream View.

Soal konten, mulai Agustus nanti para developer sudah bisa mengembangkan konten untuk Mira menggunakan SDK berbasis Unity-nya. Kehadiran ARKit di iOS 11 sudah pasti akan sangat membantu developer mempersiapkan deretan konten AR yang berkualitas.

Tidak kalah menarik adalah semacam fitur multiplayer sehingga pengguna dapat menikmati konten AR bersama pengguna lainnya, bahkan yang tidak memiliki headset Mira Prism sekalipun. Tentu saja, mereka yang tidak memiliki headset ini harus melihat konten AR dengan cara tradisional, yakni mengarahkan kamera ponsel dan melihat objek virtual-nya di layar.

Mira Prism

Secara fisik, Mira Prism sekilas tampak seperti versi mini dari Meta 2. Lensa plastik di bagian depannya bisa dilepas-pasang dengan sambungan magnet agar perangkat lebih mudah dibawa-bawa. Perangkat yang kompatibel adalah iPhone 6, iPhone 6S dan iPhone 7.

Lalu yang paling penting, seberapa terjangkau Mira Prism memangnya? Harga retail-nya dipatok $149, tapi yang tertarik melakukan pre-order dari sekarang hanya akan ditagih $99 saja.

Sumber: New Atlas dan Engadget.

Bersama Lenovo, Disney Kembangkan Headset AR Buat Sajikan Pengalaman Petualangan Star Wars

Video game punya peran besar dalam menerjemahkan petualangan seru di jagat Star Wars menjadi pengalaman yang bisa dirasakan fans. Kontennya juga pelan-pelan diadaptasi ke virtual reality seiring bertambah populernya teknologi ini. Anda mungkin sempat menjajal Jakku Spy atau Trials on Tatooine. Disney sendiri punya agenda buat menggarap device dan konten yang ‘lebih serius’.

Di acara D23 Expo Los Angeles minggu lalu, Disney mengumumkan telah memulai pengembangan perangkat head-mounted display augmented reality yang dikhususkan untuk menyajikan pengalaman Star Wars. Mereka tidak melakukannya sendirian, proyek tersebut dikerjakan bersama raksasa teknologi asal Beijing, Lenovo. Informasi dari Disney memang masih sangat minim, namun mereka sempat memamerkan satu konten menarik.

Dalam panel Level Up, Disney mengungkap Star Wars: Jedi Challenges, sebuah koleksi mini-game yang mempersilakan kita bermain holochess serta menggunakan lightsaber. Disney men-tease cara menikmatinya melalui video singkat berdurasi 28 detik, yang diiringi satu kalimat narasi: “Awaken your inner Jedi.” Belum bisa dipastikan apakah mereka juga akan menyediakan lightsaber-nya atau tidak.

Jika produk retail-nya sesuai dengan unit sample di video, maka kita akan memperoleh perangkat augmented reality berbasis mobile dipadu visor transparan. Setidaknya, device ditunjang oleh satu unit kamera buat melacak gerakan lightsaber, lalu ia memanfaatkan layar smartphone dipadu rangkaian lensa. Di sana, Disney juga menyampaikan bahwa headset ini perlu ‘didukung perangkat-perangkat bergerak yang kompatibel’.

Jedi Challenges 1

Demo augmented reality tersebut kabarnya akan dipamerkan di gerai Best Buy dalam waktu dekat, tapi belum diketahui kapan tepatnya Jedi Challenges dapat dijajal dan apakah penampilan headset betul-betul menyerupai unit di teaser.

Jedi Challenges 2

Selain augmented reality, Disney juga punya rencana untuk menghidangkan pengalaman Star Wars yang lebih menyeluruh. Metodenya lebih simpel, meskipun kita bisa membayangkan banyaknya teknologi, aset dan modal yang mesti Disney siapkan. Disney berniat mendirikan hotel Star Wars, di mana tiap pengunjung akan diberikan ‘jalan ceritanya’ sendiri.

Hotel tersebut bukan hanya dirancang dengan latar belakang ala struktur/lokasi di Star Wars saja, namun seluruh staf juga akan mendalami peran mereka sebagai tokoh di sana. Berdasarkan info dari Disney, hotel tersebut di-setting agar menyerupai pesawat luar angkasa; dan jika melihat ke luar jendela, Anda akan melihat angkasa penuh bintang dan planet. Untuk sementara, ‘hotel Star Wars’ baru akan disiapkan di Disney World Florida.

Via Gamespot & TechCrunch.

Alpha Glass Suguhkan Konten Augmented Reality dalam Wujud Kacamata Biasa

Di titik ini, dunia semestinya sudah move on dari Google Glass. Meski sempat beredar kabar bahwa versi keduanya sedang dikerjakan, hype-nya tidak bisa seheboh dulu sebab versi keduanya ini cuma ditujukan buat kalangan enterprise. Dari situ pabrikan lain mencoba mengisi kekosongan dengan perangkat yang lebih menyerupai sebuah kacamata biasa, seperti Vuzix salah satunya.

Sekarang giliran sebuah startup asal Korea Selatan, Alpha Labs, yang mencoba mempersembahkan kacamata AR besutannya. Dijuluki Alpha Glass, wujudnya lebih mirip kacamata biasa ketimbang Google Glass, meski tangkainya agak lebih tebal dari biasanya karena harus menjadi rumah untuk hampir semua komponen elektroniknya.

Alpha Glass

Tidak seperti Google Glass yang memanfaatkan prisma untuk menyajikan konten AR, pada Alpha Glass semua kontennya akan langsung ditampilkan di lensa kacamata. Rahasianya terletak pada sebuah display micro OLED yang tertanam di bagian tangkai. Layar ini diposisikan menghadap ke lensa kolimator di bagian penopang hidung, yang bertugas memantulkan gambar ke lensa sehingga konten bisa langsung tampak di depan mata.

Kontennya sendiri bisa berupa panduan navigasi, informasi cuaca, notifikasi dan masih banyak lagi. Alpha Glass ditenagai oleh OS Android 5.1 yang telah dimodifikasi, dan ia turut dilengkapi integrasi asisten virtual yang dapat diajak berinteraksi via perintah suara macam Siri maupun Google Assistant.

Alpha Glass

Untuk bisa melakukan semua ini, Alpha Glass mengemas chipset dengan prosesor quad-core dan RAM 2 GB, plus kapasitas penyimpanan sebesar 16 GB. Konektivitas seperti Wi-Fi dan Bluetooth tidak dilupakan, demikian pula dengan speaker bone conduction, dan tentu saja, kamera 5 megapixel di ujung frame sebelah kiri.

Untuk mengoperasikan kameranya, pengguna hanya perlu menyentuh tangkai sebelah kiri, yang ternyata juga sudah dilengkapi dengan panel sentuh. Di sisi lain, tangkai kanannya didominasi oleh baterai yang diyakini sanggup bertahan selama 6 jam sebelum perlu di-charge kembali dengan kabel micro USB.

Alpha Glass

Alpha Glass sebenarnya sudah mulai dikembangkan sejak tahun 2014, dan kini pengembangnya sudah siap memasarkannya ke kalangan developer agar ekosistem kontennya bisa siap ketika perangkat dirilis ke publik. Di Kickstarter, Alpha Glass Developer Kit ini bisa dipesan dengan harga paling murah $720, sedangkan harga retail untuk konsumen nanti diperkirakan berkisar $1.000.

Sumber: Wareable.

Blocks Adalah Aplikasi untuk Menciptakan Objek 3D dalam VR Persembahan Google

Augmented reality dan virtual reality tidak akan begitu berkesan tanpa adanya objek 3D di dalamnya. Proses menciptakan objek 3D, atau yang biasa dikenal dengan istilah 3D modeling, jelas bukan hal yang mudah. Kompleksitasnya pun akan semakin terasa saat harus mengerjakannya di layar 2D.

Menurut Google, 3D modeling akan jauh lebih mudah apabila dilakukan dalam lingkup 3D juga, spesifiknya VR. Maka dari itu, mereka pun menciptakan sebuah aplikasi untuk HTC Vive dan Oculus Rift bernama Blocks.

Google Blocks

Ini bukan pertama kalinya Google merilis aplikasi VR dengan tujuan untuk mengasah kreativitas para penggunanya. Jauh sebelum ini sudah ada Tilt Brush, tapi tujuan yang ingin dicapai Google dengan Blocks sejatinya lebih spesifik karena hanya melibatkan 3D modeling saja. Lebih lanjut, kalau Tilt Brush berbayar, Blocks gratis.

Yang justru lebih istimewa, Google mengklaim bahwa Blocks sangat mudah digunakan, bahkan oleh pengguna yang tidak punya pengalaman 3D modeling sebelumnya. Lebih mirip Lego atau mainan sejenisnya ketimbang software 3D modeling kalau kata Google.

Google Blocks

Pengguna awalnya hanya akan berhadapan dengan bangun ruang biasa. Lalu dengan bantuan sejumlah tool dan palet warna, pengguna bisa menciptakan objek 3D apapun yang mereka mau, mulai dari sebatas buah semangka, robot ala Gundam yang lebih kompleks, sampai satu pemandangan perkotaan atau hutan sekaligus.

Selanjutnya, semua objek 3D yang diciptakan menggunakan Blocks bisa di-export untuk digunakan dalam aplikasi AR atau VR. Pengguna pun bisa saling berbagi dan menginspirasi lewat vr.google.com/objects, dan Blocks sendiri sudah bisa didapat secara cuma-cuma lewat Oculus Store maupun Steam.

Sumber: Google.

Startup Ini Kembangkan VR Headset dengan Resolusi Display Setara Mata Manusia

Selain transisi dari wired ke wireless, apalagi yang bisa dibenahi dari teknologi virtual reality yang ada sekarang? Menurut sebuah startup asal Finlandia bernama Varjo, jawabannya adalah kualitas display. Tanpa terekspos ke publik, mereka diam-diam tengah mengerjakan sebuah VR headset yang diklaim menawarkan resolusi setara mata manusia.

Headset itu belum memiliki nama, dan sejauh ini hanya dipanggil dengan sebutan “20/20” – merujuk pada jargon untuk menggambarkan indera penglihatan yang sempurna. Seperti yang saya bilang, letak keistimewaan utamanya ada pada kualitas display-nya. Dengan resolusi di atas 70 megapixel, display ini jelas berkali lipat lebih tajam ketimbang milik Oculus Rift atau HTC Vive yang cuma sekitar 1,2 megapixel per mata.

Tanpa memberikan penjelasan yang merinci, Varjo hanya bilang kalau rahasianya terletak pada teknologi yang sanggup meniru cara kerja alami mata manusia, yang tentu saja sudah mereka patenkan. Rasa percaya diri Varjo sendiri berasal dari tim pengembang yang beberapa personilnya merupakan mantan petinggi di Microsoft, Nokia, Intel, Nvidia dan Rovio.

Oculus Rift (kiri) dan Varjo (kanan), Anda bisa lihat sendiri perbedaannya yang cukup drastis / Varjo
Oculus Rift (kiri) dan Varjo (kanan), Anda bisa lihat sendiri perbedaannya yang cukup drastis / Varjo

Lalu yang menjadi pertanyaan selanjutnya, kalau Rift dan Vive saja sudah membutuhkan komputer berspesifikasi high-end, bagaimana dengan headset garapan Varjo ini? Namun ternyata Varjo bilang daya komputasi yang dibutuhkan tergolong kecil, sebab mereka juga menerapkan teknologi foveated eye tracking.

Teknologi ini sejatinya memungkinkan headset untuk me-render elemen grafik dalam resolusi penuh hanya pada bagian yang ada dalam sudut pandang pengguna saja. Sisanya akan di-render dalam resolusi rendah, barulah ketika Anda menengok ke arahnya, bagian tersebut akan di-render dalam resolusi penuh.

Varjo rupanya juga tidak melupakan segmen augmented reality dan mixed reality sekaligus. Semua ini memang baru sebatas prototipe, akan tetapi Varjo berniat meluncurkan produk finalnya yang ditujukan buat kalangan profesional mulai akhir kuartal keempat tahun ini.

Sumber: Engadget dan Varjo.