Facebook Kabarnya Berkolaborasi Dengan Ray-Ban Demi Menggarap Kacamata AR

Facebook resmi jadi salah satu pemain terbesar di ranah virtual reality setelah mengakuisisi Oculus VR di tahun 2014. Saat itu, mereka melihat potensi besar menanti baik dari sisi hiburan serta bagaimana VR dapat diarahkan menjadi platform sosial. Augmented reality sendiri baru dibahas oleh CEO Mark Zuckerberg beberapa saat setelahnya, sebagai bagian dari rencana Facebook dalam jangka waktu satu dekade.

Di bulan September 2019 ini, agenda pengembangan perangkat AR mulai terdengar lantang. Dan menariknya lagi, raksasa sosial media itu tidak hanya mencoba menciptakan satu, melainkan dua perangkat wearable pintar melalui kolaborasi bersama Luxottica. Salah satu perangkat itu dispesialisasikan pada teknologi augmented reality ala Google Glass. Informasi ini datang dari beberapa sumber berbeda, yaitu CNBC dan The Information.

CNBC melaporkan bahwa Facebook Reality Labs melakukan kemitraan dengan Luxottica buat merampungkan proyek headset AR yang telah mereka gagas bertahun-tahun silam. Luxottica adalah perusahaan induk Ray-Ban, mengontrol lebih dari 80 persen merek kacamata terkenal, dari mulai Giorgio Armani, Burberry, Stella McCartney, Versace sampai Vogue. Rencananya, perangkat tersebut akan dipasarkan ke konsumen antara tahun 2023 hingga 2025.

Secara internal, kacamata AR tersebut dinamai Orion dan berdasarkan keterangan narasumber, perangkat dirancang untuk ‘menggantikan’ smartphone. Orion disiapkan agar memungkinkan kita melakukan panggilan telepon, menampilkan bermacam-macam info pada pengguna lewat layar kecilnya, serta mempersilakan kita live-stream segala hal yang dilihat ke jejaring sosial.

Ada peluang cukup besar Orion memanfaatkan sistem perintah suara sebagai metode input utama. Dan untuk melengkapinya, Facebook tengah merancang aksesori berupa cincin yang memperkenankan pengguna berinteraksi dengan konten di headset via gerakan jari. Perangkat pelengkap ini diberi codename Agios.

Secara terpisah, The Information mengabarkan penggarapan kacamata pintar yang dilakukan Facebook bersama Ray-Ban. Diberi sebutan sementara Stella, wearable device ini punya fungsi serupa Snap Spectacles. Kerja sama dua perusahaan juga merupakan sebuah bentuk eksperimen yang dilakukan Facebook buat mencari tahu apakah orang nyaman mengenakan produk bermerek sosial media di wajahnya.

Ada dua metode untuk mengakses fitur dan fungsi di Stella. Yang pertama adalah via sentuhan pada bagian frame. Lalu yang kedua adalah lewat perintah suara – tak begitu berbeda dari Orion.

Fakta paling menarik dari proyek pengembangan perangkat AR ini adalah, Facebook bukan perusahaan teknologi pertama yang menggandeng Luxottica dan Ray-Ban. Di tahun 2014, Anda mungkin pernah mendengar pengumuman kemitraan antara Google dan Luxottica dengan maksud buat membawa teknologi AR Glass ke kacamata-kacamata fashion.

Via The Verge.

Norm Glasses Ialah Headset AR yang Menyamar Jadi Kacamata ‘Normal’

Sama-sama sempat mencengangkan publik, pengembangan augmented dan virtual reality akhirnya pergi ke arah berbeda. VR saat ini banyak dipakai untuk menghidangkan konten hiburan ‘immersive‘ secara personal, sedangkan AR lebih dimanfaatkan sebagai penunjang fungsi profesional – dari mulai kreasi sampai diagnosis. Headset AR/VR terus mengalami evolusi, kini jadi kian ringkas dan mudah digunakan, namun mayoritas dari mereka tetap punya wujud yang eksentrik.

Kondisi ini mendorong startup bernama Human Capable untuk memampatkan teknologi augmented reality ke produk berdesain minimalis. Setelah proses pengembangan selama lebih dari empat tahun, tim resmi mengumumkan Norm Glasses. Dengannya, developer menawarkan segala macam kecanggihan head-mounted display AR serta deretan fitur penunjang dalam perangkat berpenampilan ‘normal’.

Sekilas, Norm Glasses terlihat seperti kaca mata biasa. Lensanya berukuran cukup lebar, lalu tidak ada bagian aneh atau modul yang menonjol canggung. Human Capable menyiapkan perangkat dalam tiga opsi warna serta ukuran – dibedakan dari panjang lensa, jarak antar bingkai, dan panjang tangkai. Jenis lensa juga bisa dipersonalisasi: bening, berwarna, polarized, atau bisa berubah warna – dan semuanya dapat disesuaikan dengan ukuran mata.

Norm 3

Namun meski simpel, sejatinya Norm Glasses ialah sebuah komputer berukuran mini. Ia dibekali CPU, unit penyimpanan, baterai, microphone, speaker, kamera serta sistem head-up display. Developer juga menyiapkan banyak cara buat berinteraksi dengan fitur dan fungsnya: lewat perintah suara, gerakan kepala, sentuhan di sisi luar tangkai, atau via aplikasi pendamping di smartphone.

Berbeda dari Magic Leap One dan Google Glass Enterprise Edition, Norm Glasses dirancang untuk penggunaan sehari-hari. Headset AR berwujud kacamata itu mempersilakan Anda buat mengambil foto, merekam video atau menyiarkan live peristiwa yang tengah Anda saksikan, memindai barcode atau QR code, semuanya dapat dilakukan tanpa bantuan tangan.

Norm

Bukan itu saja. Berkat kehadiran speaker, Norm Glass juga memperkenankan kita mendengarkan musik, podcast atau audio book secara nyaman. Bahkan sebelum telepon diangkat, pengguna bisa melihat siapa yang melakukan panggilan pada display/HUD.

Sejak eksistensinya diinformasikan ke publik dan media, Norm Glasses mendapatkan banyak tanggapan positif, bahkan memperoleh gelar Honoree CES Innovation Awards 2019. Tapi seperti Google Glass, semua kapabilitas Norm Glasses lagi-lagi berpeluang besar memunculkan kekhawatiran soal privasi dan keamanan saat perangkat tersedia nanti.

Norm 2

Norm Glasses bisa Anda pesan sekarang di situs crowdfunding  Kickstarter seharga mulai dari US$ 340. Proses distribusi (diprioritaskan buat backer) rencananya akan dilakukan pada bulan Maret 2020.

Spectacles 3 Resmi Dirilis, Unggulkan Sepasang Kamera Demi Mewujudkan Kapabilitas AR

Rumor mengenai Spectacles generasi ketiga yang sempat beredar rupanya benar. Snap baru saja menyingkap kacamata pintar versi terbarunya, dan jika dibandingkan dengan versi sebelumnya, Spectacles 3 membawa penyempurnaan yang cukup signifikan.

Yang paling utama, versi terbarunya kini mengemas dua kamera sekaligus. Satu untuk mengambil gambar dan video, satu lagi untuk merekam informasi depth, persis seperti yang dirumorkan sebelumnya. Kehadiran kamera kedua ini secara langsung mewujudkan kapabilitas AR pada Spectacles 3.

Selain filter AR dan 3D Lens, kapabilitas AR-nya turut mencakup 3D Snap, yakni foto dengan efek tiga dimensi yang seakan-akan bisa tampak berbeda jika dilihat dari sudut yang berbeda pula. Ke depannya, Snap bakal mempersilakan para developer untuk merancang beragam efek depth demi memaksimalkan kamera ganda milik Spectacles 3.

Spectacles 3

Dari segi estetika, Spectacles 3 terkesan lebih elegan ketimbang dua pendahulunya, dengan frame yang terbuat dari bahan stainless steel. Sayang bentuk lensa yang tersedia cuma satu, tidak seperti varian Veronica dan Nico pada Spectacles 2. Bisa jadi Snap masih menyimpan variasi style Spectacles 3 untuk lain waktu.

Yang tidak berubah adalah cara mengoperasikannya. Sama seperti sebelumnya, Spectacles 3 siap memotret atau merekam video dengan satu klik tombol pada tangkai sebelah kanannya, dan lampu indikator akan menyala saat perekaman sedang berlangsung. Juga belum dibenahi adalah kekurangan terbesarnya: foto dan video yang diambil menggunakan Spectacles 3 masih harus disinkronisasikan ke akun Snapchat secara manual.

Spectacles 3

Fotonya sendiri disimpan dalam resolusi 1642 x 1642 pixel, sedangkan videonya dalam resolusi 1216 x 1216 pixel. Dalam paket penjualan Spectacles 3, Snap turut menyertakan perangkat sejenis Google Cardboard sehingga pengguna dapat menyelipkan ponsel dan menikmati koleksi 3D Snap-nya secara lebih ideal.

Berbekal storage internal sebesar 4 GB, Spectacles 3 dapat menyimpan hingga 100 video atau 1.200 foto. Urusan baterai, satu kali charge diperkirakan cukup untuk mengambil sekitar 70 video atau lebih dari 200 foto. Charging-nya sendiri mengandalkan sejenis pouch berbahan kulit, yang sendirinya dapat diisi ulang via sambungan USB-C.

Rencananya, Spectacles 3 bakal dipasarkan mulai bulan November mendatang dalam jumlah yang agak terbatas. Harganya pun melambung drastis menjadi $380 (bandingkan dengan Spectacles 2 yang cuma $150), sedangkan warna yang tersedia ada dua: Carbon (hitam) dan Mineral (mirip rose gold).

Sumber: The Verge.

Sedikit Mengulik Headset Vivo AR Glass yang Disiapkan Untuk Gaming dan Bekerja

Perangkat AR dan VR kelas konsumen boleh dikatakan terlahir di saat yang hampir bersamaan. Palmer Luckey memamerkan purwarupa Oculus Rift di tahun 2011, lalu setahun setelahnya Google mengumumkan Glass ke publik. Namun cara kerja dan penyajian konten yang berbeda membuat laju pengembangan kedua teknologi cross reality ini tak sebanding. Kita tahu, adopsi produk AR lebih lambat dibandingkan VR.

Saat ini sebagian besar headset augmented reality ditujukan bagi kalangan enterprise. Namun satu perusahaan yang lama berkecimpung di ranah penyediaan perangkat komunikasi mencoba sesuatu yang berbeda. Di ajang MWC Shanghai bulan lalu, Vivo menyingkap head-mounted display AR pertamanya, Vivo AR Glass. Produsen asal Tiongkok itu merancangnya agar ia siap mendukung lima kegunaan: gaming, bekerja, ‘teater 5G’, serta mengenal wajah dan objek.

Versi purwarupa Vivo AR Glass mempunyai penampilan seperti versi besar kacamata hitam. Di sana ada tangkai dan frame yang tebal, terpasang ke bagian lensa transparan yang berfungsi pula sebagai display. Selain itu, terdapat dua buah modul kamera di sisi depannya. Dari keterangan The Verge, Vivo AR Glass ditopang olth kapabilitas pelacakan 6DoF. Itu berarti, HMD AR ini mampu mendeteksi enam gerakan di ruang tiga dimensi: maju-mundur, atas-bawah, kiri-kanan, pitch ke depan-belakang, roll ke kiri-kanan, dan menoleh (yaw) dari kanan ke kiri.

Vivo AR Glass 1

Untuk bekerja, unit prototype Vivo AR Glass mesti terhubung secara fisik ke smartphone via kabel. Dan ponsel pintarnya juga tidak sembarangan. Vivo AR Glass baru dapat beroperasi ketika disambungkan ke smartphone 5G buatan Vivo sendiri yang buat sementara belum memiliki nama. Saya menduga, proses pengolahan data bersandar pada handset, walaupun ada kemungkinan Vivo AR Glass juga menyimpan unit processing mandiri.

Begitu Vivo AR Glass mulai memproyeksikan konten, smartphone 5G tersebut akan berperan menjadi unit kendali. Dengannya, Anda dipersilakan memilih atau mengganti aplikasi/software. Ketika Anda memilih konten berupa game, handset punya fungsi sebagai ‘console-nya’; lalu saat opsi mobile office diaktifkan, input dapat dilakukan via smartphone lewat sistem keyboard virtual.

Saya pribadi penasaran dengan bagaimana Vivo AR Glass menyajikan ‘teater 5G’ atau istilah lain yang digunakan Vivo: video tiga dimensi berkualitas tinggi. Saya juga punya banyak pertanyaan terutama mengenai bagaimana perusahaan mengembangkan ekosistem kontennya.

Mengingat untuk sekarang status Vivo AR Glass masih berupa prototype, belum diketahui kapan perangkat ini akan dihadirkan sebagai produk konsumen dan berapa harganya. Vivo sendiri berniat buat melepas smartphone 5G-nya terlebih dulu, rencananya dilakukan di kuartal ketiga tahun ini.

Tambahan: PR Newswire. Gambar: Value Walk.

Vivo Pamerkan Smartphone 5G Versi Konsumen, Kacamata AR, dan Teknologi Charging Generasi Terbaru

Ajang MWC Shanghai tahun ini mengambil tema “Intelligent Connectivity”, dan itu Vivo manfaatkan untuk mendemonstrasikan sejumlah inovasinya terkait konektivitas 5G. Yang pertama tentu saja adalah smartphone 5G yang siap menembus pasar komersial mulai kuartal ketiga nanti.

Vivo sejauh ini belum menamai smartphone tersebut, dan spesifikasinya pun juga sama sekali belum dirincikan. Vivo memilih menggunakan kesempatan ini untuk memberikan gambaran terkait faedah-faedah yang bisa konsumen nikmati dari teknologi 5G.

Yang paling menarik menurut saya adalah penggunaan 5G untuk konteks cloud gaming atau game streaming. Nantinya, smartphone 5G ini dapat menjalankan beragam game tanpa perlu mengunduh apa-apa. Semuanya berjalan di cloud (server) dan di-stream oleh smartphone dalam kecepatan sangat tinggi sekaligus latency yang amat rendah.

Vivo 5G smartphone for cloud gaming

Berhubung yang diandalkan hanya sebatas koneksi saja, tentunya game bisa berjalan dengan mulus tanpa harus terbatasi oleh performa smartphone itu sendiri. Menariknya kalau menurut saya, kita mungkin membayangkan bahwa konektivitas 5G yang begitu cepat bakal semakin memudahkan kita untuk mencoba banyak game, mengingat waktu download yang dibutuhkan sangat pendek.

Namun skenario yang lebih ideal justru adalah dengan metode streaming seperti ini, sebab kapasitas penyimpanan smartphone jadi bisa dimaksimalkan untuk hal lain, semisal koleksi foto dan video. Menurut saya ada korelasi yang cukup kuat antara dimulainya implementasi teknologi 5G dan maraknya layanan cloud gaming macam Google Stadia.

Vivo AR Glass

Produk kedua yang Vivo pamerkan adalah sebuah prototipe kacamata augmented reality yang dijuluki Vivo AR Glass. Perangkat ini mengemas sepasang display, serta teknologi tracking 6DoF (six degrees of freedom) yang sudah bisa dianggap sebagai standar di ranah ini.

Vivo tidak berbicara terlalu banyak soal perangkat ini, tapi yang pasti mereka memproyeksikan kegunaan kacamata AR-nya di lima skenario yang berbeda: mobile gaming, mobile office, “5G theatre”, facial recognition dan object recognition.

Vivo Super FlashCharge 120W

Terakhir, MWC Shanghai 2019 juga menjadi saksi atas pengungkapan teknologi Vivo Super FlashCharge 120W. Sesuai namanya, teknologi charging ini sanggup menghasilkan output sebesar 120 W (20V/6A) via sambungan USB-C yang telah dimodifikasi.

Dalam konteks sehari-hari, Vivo mengklaim teknologi charging ini mampu mengisi ulang 50% dari baterai smartphone berkapasitas 4.000 mAh dalam waktu 5 menit saja, atau 13 menit untuk charging hingga penuh. Jujur saya pribadi sama sekali tidak tertarik dengan wireless charging kalau memang proses pengisian ulang ponsel bisa dilakukan secepat ini.

Sumber: Vivo via Mashable.

YouTube Luncurkan Fitur AR Supaya Penonton Bisa Mencoba Makeup Secara Virtual Selagi Menonton Video Tutorialnya

Dewasa ini, seorang perempuan bisa bergaya di media sosial tanpa perlu mengandalkan riasan wajah. Cukup manfaatkan filter AR yang ada di Instagram maupun aplikasi serupa lainnya, maka wajah sang perempuan sudah bisa penuh dengan makeup. Namun tentu saja itu semua hanya berlaku di dunia maya.

Di dunia nyata, makeup jelas masih sangat dibutuhkan. Itulah mengapa tutorial makeup merupakan salah satu jenis video paling populer di YouTube. Menariknya, belakangan ini tren mencoba makeup secara virtual juga terus bertambah populer, dan YouTube pun ingin ikut andil dalam menggalakkan tren tersebut.

Mereka baru saja memperkenalkan fitur bernama AR Beauty Try-On. Sejauh ini masih dalam tahap pengembangan awal, fitur tersebut memungkinkan para penonton untuk mencoba berbagai produk makeup secara virtual selagi menonton video tutorial yang melibatkan produknya.

Saat fitur ini aktif, tampilan aplikasi YouTube bakal dipecah menjadi dua bagian: bagian atas memutar video tutorialnya, sedangkan bagian bawah menampilkan wajah penonton via kamera depan ponsel, diikuti oleh palet warna yang dapat dipilih, semisal untuk produk lipstick.

YouTube sejatinya merancang fitur ini sebagai salah satu alternatif beriklan buat brandbrand kosmetik. Mereka sudah mencobanya bersama sejumlah brand, dan terbukti sekitar 30% penonton memutuskan untuk mencoba fiturnya, dan rata-rata sesi coba-mencoba lipstick virtual itu pun berlangsung lebih dari 80 detik.

Yang diuntungkan di sini tentu bukan cuma brand, melainkan juga para kreator video via program sponsorship. Di samping itu, para penonton pastinya juga ikut diuntungkan mengingat mereka bisa mencoba terlebih dulu sebelum membeli produknya secara online.

Sumber: TechCrunch.

Angry Birds Versi Augmented Reality Siap Meluncur ke iOS

Sebagai seorang penggemar game first-person shooter alias FPS, sudah sejak lama saya memiliki fantasi untuk bermain Angry Birds dari sudut pandang orang pertama. Hingga akhirnya saya dibuat girang sekaligus sedih oleh Rovio pada bulan September tahun lalu.

Kala itu, mereka mengumumkan game baru berjudul Angry Birds FPS: First Person Slingshot untuk AR headset Magic Leap One. Video trailer-nya berhasil membuat saya lompat kegirangan, tapi di saat yang sama, saya juga sedih menghadapi fakta bahwa saya sama sekali tak punya akses ke AR headset tersebut.

Perasaan sedih ini sedikit terobati sebulan yang lalu, tepatnya ketika Angry Birds VR: Isle of Pigs diumumkan. Saya bilang “sedikit”, sebab saya pun tak punya Oculus Rift maupun HTC Vive untuk dapat memainkannya. Namun harapan rupanya belum sepenuhnya hilang.

Angry Birds AR: Isle of Pigs

Di ajang Game Developers Conference (GDC) yang sedang dihelat di kota San Francisco, Rovio menyingkap Angry Birds AR: Isle of Pigs. Ya, ini merupakan game yang sama seperti yang dirilis untuk Oculus Rift dan HTC Vive sebelumnya, akan tetapi label “AR” pada judulnya mengindikasikan bahwa ia dibuat untuk dimainkan menggunakan smartphone.

Benar saja, game bikinan mitra Rovio, Resolution Games, ini sekarang sudah berstatus pre-order di platform iOS, dan kebetulan ponsel yang saya pakai (iPhone 6S) masih tercantum sebagai perangkat tertua yang sanggup memainkannya. Selain di iPhone, tentu saja kita juga bisa memainkannya di iPad.

Angry Birds AR: Isle of Pigs

Tidak seperti game mobile pada umumnya yang bisa kita mainkan kapan dan di mana saja, Angry Birds AR akan lebih ideal dimainkan di kediaman sendiri, atau sejatinya di mana saja ada permukaan datar yang lowong. Memanfaatkan platform ARKit, game akan lebih dulu mendeteksi area di sekitar pemain, lalu struktur kompleks yang menjadi level permainan akan langsung dibangun di atas permukaan datar (meja atau lantai).

Yang membuatnya kurang ideal jika dimainkan di luar adalah, tubuh kita juga harus ikut bergerak untuk bisa mengamati level permainan dari segala sudut. Bermain selagi duduk atau berdiri di satu tempat saja berarti kita bakal kesulitan menemukan titik-titik lemah dari struktur yang harus dihancurkan untuk bisa melanjutkan ke level berikutnya.

Angry Birds AR: Isle of Pigs

Seperti halnya Angry Birds FPS maupun Angry Birds VR, Angry Birds AR juga dikembangkan oleh mitra Rovio, Resolution Games. Pada awal peluncurannya, akan ada 40 level yang bisa dimainkan. Game-nya sendiri baru akan tersedia dan bisa diunduh pada tanggal 11 April, berdasarkan estimasi yang tertera di lamannya di App Store.

Bagaimana dengan versi Android-nya? Sejauh ini belum ada informasi sama sekali, namun tidak ada salahnya berharap mengingat Android juga punya platform ARCore. Catatan terakhir: Angry Birds AR merupakan game free-to-play, akan tetapi seperti apa konten in-app purchase yang bakal tersedia masih belum dirincikan.

Sumber: TechCrunch dan Rovio.

Litho Adalah Sejenis Cincin untuk Mengontrol Aplikasi AR pada Ponsel Maupun Perangkat Smart Home

Perangkat wearable dengan kemampuan mengontrol berbagai perangkat berbasis gesture bukanlah gagasan baru. Jauh sebelum ini, sudah ada Myo Armband, meski eksistensi Myo sendiri pada akhirnya terhenti selagi pengembangnya beralih ke segmen kacamata AR.

Namun kisah Myo untungnya tidak mencegah startup lain untuk memikirkan perangkat serupa yang potensi pengaplikasiannya begitu luas. Salah satu startup yang saya maksud adalah Litho yang bermarkas di dataran Inggris. Produk mereka baru saja diluncurkan, sejenis cincin yang sanggup menjadi pusat kendali atas beragam perangkat lain.

Secara teknis, Litho sebenarnya kurang pantas dikategorikan sebagai cincin, sebab ia terpasang pada dua jari sekaligus, dengan bagian atas dan bawah yang memanjang. Permukaan di bagian bawahnya ini merupakan trackpad, yang berarti pengguna bisa mengombinasikan gesture menunjuk, mengusap sekaligus menyentuh.

Litho

Pada awalnya, desainer Litho melihat potensi perangkat ini sebagai controller untuk AR headset macam Microsoft HoloLens. Namun berhubung AR sekarang juga sudah menjangkiti platform mobile, Litho pun pantas-pantas saja digunakan sebagai controller ketimbang harus menutupi sebagian layar dengan jari ketika memanipulasi objek AR pada ponsel.

Mengendalikan objek AR baru sebagian dari cerita utuh Litho, sebab ia juga mudah sekali dimanfaatkan untuk mengontrol perangkat smart home. Semua itu tergantung keputusan para developer nantinya, dan kabar baiknya, development kit Litho sudah bisa dibeli seharga $199 saja.

Versi ritelnya nanti diharapkan bisa dijual dengan banderol di bawah $100. Produk ini memang bukan untuk semua orang, akan tetapi harga yang terjangkau setidaknya bisa menarik perhatian banyak kalangan konsumen untuk mencobanya.

Sumber: The Verge.

VR Headset Varjo VR-1 Andalkan Teknologi Dual Display Demi Menyajikan Visual yang Amat Tajam dan Detail

Dua tahun lalu, sebuah startup ambisius bernama Varjo mengumumkan bahwa mereka sedang mengerjakan VR headset dengan resolusi display setara mata manusia. Sesumbar itu akhirnya terealisasi dalam wujud Varjo VR-1, yang saat ini sudah mulai dipasarkan meski meleset setahun lebih dari estimasi yang dijadwalkan.

Kalau dilihat dari luar, sebenarnya tidak kelihatan ada yang istimewa dari VR-1. Desainnya banyak terinspirasi Oculus Rift, akan tetapi kesamaannya hanya sebatas itu saja. Di dalamnya, ada teknologi Bionic Display yang layak menjadi sorotan utama.

Varjo VR-1

Teknologi ini pada dasarnya melibatkan dua panel display sekaligus. Satu panel AMOLED konvensional beresolusi 1440 x 1600 pixel, lalu satu lagi panel micro-OLED 1920 x 1080 dengan tingkat kepadatan sekitar 3.000 pixel per inci yang diposisikan persis di tengah-tengah pandangan pengguna.

Field of view dari display micro-OLED ini memang terbatas, akan tetapi pada dasarnya selama pengguna VR-1 menghadap ke depan, ia akan melihat visual yang begitu tajam dan detail, dan inilah yang Varjo maksud dengan frasa “resolusi setara mata manusia”.

Pada display Vive Pro, teks nyaris tidak terbaca, tidak demikian pada VR-1 / Varjo
Pada display Vive Pro, teks nyaris tidak terbaca, tidak demikian pada VR-1 / Varjo

Setajam apa visual yang dihasilkan Bionic Display? Coba lihat gambar perbandingan antara display HTC Vive Pro (kiri) dan Varjo VR-1 (kanan) di atas. Jujur perbedaannya sangat jauh, dan ini sangat mengesankan mengingat Vive Pro sendiri merupakan salah satu VR headset dengan resolusi display tertinggi yang ada saat ini.

Tingkat detail sekelas ini tentunya bakal sangat menarik perhatian kalangan profesional, semisal tim desainer pabrikan otomotif yang hendak menggunakannya untuk fase prototyping. Kalangan profesional juga merupakan target pasar yang tepat mengingat VR-1 pastinya membutuhkan PC berspesifikasi dewa untuk menenagainya.

VR-1 sebenarnya juga bisa dipakai untuk gaming, apalagi mengingat secara teknis ia merupakan headset SteamVR, dengan fitur positional tracking yang mengandalkan base station eksternal. Kendati demikian, yang membuatnya kurang pantas adalah harganya.

Varjo membanderol VR-1 seharga $5.995, dengan biaya lisensi layanan tahunan sebesar $995. Bahkan biaya lisensinya saja sudah melebihi mayoritas VR headset, dan ini jelas berada di luar jangkauan konsumen secara umum.

Detail speedometer pun kelihatan jelas pada display VR-1 / Varjo
Detail speedometer pun kelihatan jelas pada display VR-1 / Varjo

Uang bukan masalah? Coba pertimbangkan faktor berikut: karena mengusung display ganda beserta kipas pendingin yang terintegrasi, bobot VR-1 mencapai 905 gram. Itu jelas bukan bobot yang ideal untuk dipakai gaming berlama-lama.

Hal lain yang menarik adalah rencana Varjo untuk meluncurkan aksesori tambahan guna mewujudkan kapabilitas AR pada VR-1. Jadinya nanti pelat bagian depannya akan diganti dengan pelat yang mengemas kamera, sehingga penggunanya jadi bisa melihat area di sekitarnya.

Sumber: Ars Technica.

Fitur Terbaru Pokemon GO Ajak Pemain Menjadi Fotografer

Mungkin tidak banyak dari kita yang sadar, akan tetapi sejak tahun lalu, pengalaman AR yang ditawarkan Pokemon GO jauh lebih realistis ketimbang sebelumnya. Ini dikarenakan fitur AR+ yang Niantic kembangkan demi memaksimalkan potensi platform ARKit di iOS dan ARCore di Android.

Kehadiran AR+ pun secara tak langsung mendorong para pemain untuk berkreasi lebih banyak selagi bermain. Screenshot demi screenshot beragam Pokemon di berbagai lokasi di dunia terus bertebaran, hingga akhirnya Niantic merasa diperlukan satu fitur yang dikhususkan untuk ini saja.

Fitur tersebut akhirnya tiba. Dinamai GO Snapshot, fitur ini bisa kita bayangkan sebagai kamera virtual yang selalu dibawa ke mana-mana oleh karakter kita, siap digunakan kapan saja untuk mengabadikan koleksi Pokemon yang kita miliki. Ada dua cara untuk mengakses GO Snapshot: membuka kamera yang ada di dalam tas karakter, atau ketika sedang melihat suatu Pokemon tertentu.

Dari situ pemain tinggal mengaktifkan kepribadian keduanya sebagai fotografer Pokemon profesional. Pilih Pokemon yang hendak dijadikan model, lempar Poke Ball-nya ke titik lokasi yang diinginkan, lalu mulailah mencari angle terbaik demi menghasilkan foto yang paling menarik.

Seumpama Pokemon yang menjadi model teralihkan perhatiannya, pemain bisa mengelusnya untuk membuatnya kembali fokus. Semua foto yang dijepret akan langsung disimpan di galeri foto perangkat secara otomatis, dan tentunya Niantic tak lupa menyediakan akses termudah untuk membagikan foto-fotonya ke media sosial.

Fitur ini kesannya memang sangat sepele, tapi saya yakin hampir semua pemain Pokemon GO akan menggunakannya, atau paling tidak mencobanya selagi ada waktu luang. Tagar #GOSnapshot di Instagram sejauh ini sudah cukup menghibur buat saya, dan saya pun juga sudah menemukan foto favorit saya.

Sumber: SlashGear dan Niantic.