Rencana Bisnis Quipster Pasca Merger TraktorHub dan Webtrace

Dua startup B2B, Webtrace dan TraktorHub, melakukan merger dan hadir dengan nama baru, Quipster. Quipster menawarkan solusi satu atap untuk industri konstruksi, logistik, dan pertambangan; dari rental dan pasar penjualan, solusi IoT, hingga manajemen aset terintegrasi, dan produk keuangan/asuransi.

Kepada DailySocial, COO Quipster David Hartono, yang merupakan Co-Founder TraktorHub, menyebutkan, proses merger ini berawal dari perkenalan yang dilakukan investor mereka, yaitu Prasetia Dwidharma.

Melihat adanya kesamaan visi dan rencana untuk mempercepat pertumbuhan bisnis, merger akhirnya dilakukan. Selain David, Quipster dipimpin CEO Erwin Subroto dan CFO Denny Tijioe yang mewakili Webtrace.

Quipster akan menjadi entitas baru yang bertindak sebagai perusahaan induk untuk WebTrace dan TraktorHub. Masing-masing entitas akan tetap beroperasi selama proses integrasi berlangsung.

“Karena ada kesamaan visi dan misi dan sesama founder sudah saling mengenal, akhirnya proses merger ini kami lakukan. Dari TraktorHub sendiri kita melihat ada kebutuhan untuk tracking dan monitoring dari alat berat ke depannya,” kata David.

TraktorHub sendiri merupakan platform persewaan alat berat online yang mempermudah proses pencarian, pengadaan, dan logistik bagi para pelanggannya. Sementara Webtrace adalah platform yang bisa dimanfaatkan pengelola armada untuk memberikan solusi teknologi agar usaha logistik bisa berjalan lebih efisien serta meningkatkan produktivitas dan keamanan. Caranya dengan menerapkan sensor dan solusi IoT yang akan menghasilkan berbagai data dan analisis real time.

Setelah masing-masing startup mendapatkan pendanaan awal dari Prasetia Dwidharma, tahun ini Quipster akan menggalang dana untuk tahapan Pra Seri A.

Rencananya dana segar tersebut akan dimanfaatkan untuk melanjutkan ekspansi perusahaan ke 12 kota di Indonesia, termasuk di dalamnya membangun produk baru dan menjalin kemitraan dengan perusahaan keuangan untuk menawarkan pinjaman atau layanan asuransi.

“Hal tersebut sebelumnya sudah menjadi rencana dari TraktorHub, yaitu asset management dan juga pembiayaan untuk pembelian atau penyewaan alat berat. Dengan demikian bisa memberikan solusi dan layanan yang menyeluruh,” kata David.

Integrasi terpadu dua platform

Sebagai platform, TraktorHub menyediakan platform penyewaan alat berat yang biasanya digunakan industri pertambangan dan konstruksi. Masih minimnya platform digital yang mendukung industri tersebut dan belum transparannya proses di lapangan mendorong TraktorHub mengembangkan teknologi yang lebih advanced untuk melayani pelanggan mereka. Bersama Webtrace, fase pertama pasca merger adalah mengembangkan teknologi yang relevan bagi TraktorHub.

“Untuk saat ini kami akan mengembangkan platform baru dengan fitur baru yang nantinya bisa mendorong bisnis TraktorHub. Selain itu, melalui kerja sama ini, baik Webtrace dan TraktorHub bisa saling melayani masing-masing pelanggan,” kata Denny.

Tren leasing alat berat terbukti bermanfaat bagi perusahaan dari semua ukuran di berbagai industri dengan biaya administrasi yang lebih sedikit, seiring dengan pengurangan belanja modal, opex, dan kompleksitas pemeliharaan yang diantisipasi untuk mendorong pasar penyewaan peralatan konstruksi, logistik, dan pertambangan.

“Kami memperkenalkan kedua startup tersebut untuk melihat potensi kolaborasi, yang menghasilkan kolaborasi yang sangat bermanfaat. Kami senang mereka akhirnya setuju untuk melakukan merger dan bekerja lebih baik sebagai satu tim,” kata CFO Prasetia Dwidharma Ardi Setiadharma.

Dukungan Prasetia Dwidharma untuk Ekosistem Startup Global

Sebagai perusahaan modal ventura yang berdiri sejak tahun 2016, Prasetia Dwidharma berinvestasi ke startup Indonesia, startup regional Asia Tenggara, dan bahkan startup yang berpusat di Amerika Serikat. Tercatat terdapat 100 startup yang telah didanai mereka.

Kepada DailySocial, CEO Prasetia Dwidharma Arya Setiadharma mengungkapkan strategi investasi dan harapannya ke pendiri startup yang memiliki passion dan hunger yang cukup besar untuk mengembangkan bisnis mereka.

Fokus ke teknologi

Para pendiri Prasetia Dwidharma Arya, Ardi dan Budi Setiadharma

Didirikan bersama saudara kembarnya Ardi Setiadharma, Prasetia Dwidharma memposisikan diri sebagai CVC. Semua investasi berasal dari balance sheet perusahaan yang didirikan Arya, Ardi, dan sang ayah, Budi Setiadharma.

Salah satu industri yang menjadi fokus Prasetia Dwidharma adalah industri game.

“Gaming merupakan industri di mana teknologi baru banyak digunakan, seperti AR dan VR. Saya melihat akan terus tumbuh ditambah dengan pengalaman pengguna yang semakin baik saat ini. Ke depannya saya melihat semakin banyak teknologi dimasukan ke dalam ekosistem tersebut,” kata Arya.

Setelah sebelumnya berinvestasi ke Touchten, Prasetia Dwidharma tahun ini memberikan dana segar ke pengembang platform mobile gaming Singapura Goama. Goama memungkinkan aplikasi lain memasukkan segmen gaming ke dalam platform-nya, biasanya untuk tujuan user retention.

“Saya melihat angle-nya sangat scalable. Tidak hanya pasar Indonesia, konsep ini juga bisa diterapkan di pasar global. Kita melihat angle yang menarik menyasar segmen B2B hingga B2B2C,” kata Arya.

Selain gaming, Prasetia Dwidharma juga tertarik berinvestasi di sektor robotika. Di tahun 2018 mereka mendanai startup Singapura Ratio. Menurut mereka, pendiri Ratio memiliki pengalaman yang sangat matang. Selain itu, model bisnis dan teknologi yang dihadirkan relevan untuk pasar global.

“Saya mengenal pendirinya saat studi di Universitas Purdue. Melihat pengalamannya yang pernah bekerja di Tiongkok turut membesarkan Yum China, ke depannya dengan teknologi robot yang mereka hadirkan bisa mengatasi masalah sumber daya, seperti tenaga barista di cafe atau coffee shop. Terutama di negara yang memiliki cost labor cukup besar,” kata Arya.

Arya menambahkan, bisnis yang paling sulit untuk di-scale up adalah industri makanan dan minuman. Solusi robotika dari Ratio diharapkan bisa meminimalisir persoalan tersebut.

Diversifikasi kategori startup

Selama pandemi, Prasetia Dwidharma terbilang aktif memberikan pendanaan. Dalam waktu dua tahun terakhir terdapat 14 startup yang telah didanai. Startup yang telah didanai tahun lalu termasuk Neurobit, Traktor, Decentro, Danamart, MyRobin, Brick dan LunaPOS. Sementara tahun ini tercatat Jago Coffee, Populix, Bamms, Dagangan, Goama dan Fresh Factory sebagai portofolionya.

“Untuk Fresh Factory kami tertarik dengan model bisnis yang ditawarkan. Mereka meng-convert ruko yang ada menjadi cold storage. Logistic angle tersebut yang kemudian menjadi perhatian kita, ditambah dengan pendirinya yang sudah sangat berpengalaman,” kata Arya.

Portofolio investasi yang dimiliki Prasetia Dwidharma cukup beragam. Sekitar 60% investasi diberikan untuk perusahaan yang beroperasi di Indonesia. Mereka juga mengalokasikan dana 20% untuk startup Asia Tenggara (di luar Indonesia) dan 20% lagi untuk startup Amerika Serikat.

Meskipun pasar di Indonesia sangat besar potensinya, Arya melihat kebanyakan startup Indonesia masih fokus ke pasar lokal. Berbeda dengan startup asal Singapura atau Amerika Serikat yang kebanyakan menargetkan pasar global.

Investasi di luar negeri biasanya didapatkan tim Prasetia Dwidharma berdasarkan rekomendasi program inkubator, seperti Y Combinator dan Antler. Mereka juga banyak menerima rekomendasi dari berbagai organisasi yang relevan. Cara ini dinilai Arya cukup efektif karena keterbatasan sumber daya untuk melakukan kurasi dan background check.

“Kita berupaya untuk mendiversifikasi tesis investasi dan strategi. Dengan demikian kita makin ter-expose kepada teknologi yang berbeda. Bukan hanya consumer oriented, SaaS dan lainnya,” kata Arya.

Arya juga mengajak lebih banyak korporasi berinvestasi ke startup. Tidak hanya fokus ke pendiri startup yang masih belia usianya, namun juga ke startup yang memiliki passion dan semangat muda, meskipun pendirinya sudah berusia lebih senior (40 tahun ke atas).

“Sebagai investor kita bisa memposisikan sebagai helicopter view. Berdasarkan pengalaman yang dimiliki sebagai korporasi, kita bisa melihat industri mana yang bakal tumbuh dan tentunya memiliki potensi yang baik,” kata Arya.

Kick off in 2019, Prasetia Dwidharma Pours Investment to Startups from Singapore and Malaysia

Starting of 2019, the local investor Prasetia Dwidharma participated in two startup funding. First, the series A funding for Pixibo, a Singapore-based startup focused on developing “customer experience” platform for fashion e-commerce.

Today (1/17), Malaysia-based B2B marketplace platform, Dropee, announces seed funding led by Vynn Capital. Prasetia Dwidharma also participate in this round worth of Rp4.8 billion.

Prasetia Dwidharma is a venture capital founded in 2008 by Arya Setiadharma and Ardi Setiadharma. Both are known to run contractor companies in the telecommunications infrastructure.

The Jakarta-based venture capital started their investment in digital startup per 2013, focused on Southeast Asia’s market – although some startups aren’t. They claim to have more than 60 startup portfolios, some local startups invested on include, HipCar, Pomona, Nodeflux, Ride Jakarta, and Ekrut.

Post Funding, Pixibo plans to uses additional funding for product development and partnership expansion. In the funding release announced a partnership with Indonesian sportswear retailers, MAP Active. Both are to collaborate in delivering footwear product recommendation platform for sport.

Pixibo products for fashion commerce
Pixibo products for fashion commerce

Dropee aims to expand the market to make more SMEs using its digital procurement. Expansion is to be focused on domestic and regional area. What’s interesting is their main focus to provide services for SMEs in rural areas.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Awali 2019, Prasetia Dwidharma Kucurkan Investasi untuk Startup Asal Singapura dan Malaysia

Mengawali tahun 2019, investor lokal Prasetia Dwidharma berpartisipasi dalam pendanaan dua startup. Pertama pada pendanaan seri A untuk Pixibo, startup asal Singapura yang fokus kembangkan platform “customer experience” untuk e-commerce di bidang fesyen.

Sementara hari ini (17/1), platform B2B marketplace asal Malaysia, Dropee, mengumumkan putaran pendanaan awal (seed round) yang dipimpin Vynn Capital. Prasetia Dwidharma turut terlibat dalam pendanaan yang bernilai Rp4,8 miliar tersebut.

Prasetia Dwidharma merupakan venture capital yang didirikan pada tahun 2008 oleh Arya Setiadharma dan Ardi Setiadharma. Keduanya dikenal menjalankan perusahaan kontraktor di bidang infrastruktur telekomunikasi.

Pemodal ventura berbasis di Jakarta ini memulai investasi di startup digital per 2013, fokusnya di pasar Asia Tenggara — kendati ada beberapa startup di luar Asia Tenggara yang turut diberi pendanaan. Pihaknya mengklaim telah memiliki lebih dari 60 portofolio startup, beberapa startup lokal yang diinvestasi termasuk HipCar, Pomona, Nodeflux, Ride Jakarta, dan Ekrut.

Untuk Pixibo, pasca pendanaan, pihaknya berencana menggunakan tambahan modal untuk pengembangan produk dan perluasan kemitraan. Salah satu kemitraan yang turut diumumkan dalam rilis pendanaan ialah bersama peritel pakaian olahraga Indonesia, MAP Active. keduanya akan berkolaborasi melahirkan platform rekomendasi produk alas kaki untuk berolahraga.

Pixibo
Produk yang disajikan Pixibo untuk fashion commerce

Dropee berambisi melakukan ekspansi pasar untuk menyasar lebih banyak UKM yang memanfaatkan layanan pengadaan digital miliknya. Ekspansi akan difokuskan untuk wilayah domestik dan regional. Yang menarik, salah satu fokus utama mereka menghadirkan layanan untuk UKM di wilayah rural.