Jaybird Vista 2 Adalah TWS Wajib bagi Para Penggila Olahraga yang Membutuhkan ANC

Produsen earphone yang populer di kalangan penggila olahraga, Jaybird, memperkenalkan TWS terbarunya, Vista 2. Produk ini merupakan penerus langsung dari Jaybird Vista yang dirilis di tahun 2019, dan ia menawarkan sejumlah pembaruan yang signifikan meski wujudnya tidak terlihat berubah banyak.

Pembaruan yang paling utama adalah active noise cancellation (ANC) dan mode transparency/ambient, dua fitur yang sepenuhnya absen pada pendahulunya. Untuk mengaktifkan ANC dan memblokir suara-suara di sekitar, pengguna hanya perlu menyentuh sisi luar Vista 2 sebanyak dua kali.

Ulangi gestur yang sama, maka giliran mode ambient yang aktif dan membiarkan suara-suara di sekitar jadi terdengar jelas. Lewat sebuah aplikasi pendamping di smartphone, pengguna bebas mengatur seberapa banyak suara luar yang diperbolehkan masuk ketika mode ambient-nya aktif.

Pembaruan selanjutnya adalah daya tahan baterai yang lebih baik. Dalam sekali pengisian dan dengan fitur ANC yang terus menyala, Vista 2 dapat bertahan selama 6 jam pemakaian, alias satu jam lebih lama daripada generasi pertamanya yang tidak dilengkapi ANC sama sekali. Kalau ANC-nya dimatikan, Vista 2 malah bisa beroperasi hingga 8 jam.

Charging case-nya punya kapasitas yang cukup untuk mengisi ulang Vista 2 hingga penuh sebanyak dua kali. Fitur quick charge turut tersedia, di mana pengisian selama 5 menit saja sudah bisa memberikan daya yang cukup untuk pemakaian selama satu jam. Supaya lebih praktis, charging case-nya juga bisa diisi ulang menggunakan Qi wireless charger.

Seperti yang sudah bisa diekspektasikan dari Jaybird, Vista 2 memiliki fisik yang amat tangguh. Ia tahan air dengan sertifikasi IP68, bahkan charging case-nya pun turut mengusung sertifikasi ketahanan air IP54. Sebagai perbandingan, TWS terbaru Sony, WF-1000XM4, cuma dibekali sertifikasi IPX4, dan itu pun hanya untuk unit TWS-nya saja.

Dari segi desain, Vista 2 kelihatan sangat mirip seperti pendahulunya. Yang sedikit berbeda hanyalah sisi luar earpiece-nya yang dilapisi bahan kain. Menariknya, lapisan kain ini diklaim bisa membantu meredam suara angin sehingga suara pengguna yang ditangkap oleh mikrofonnya dapat terdengar lebih jernih.

Di Amerika Serikat, Jaybird Vista 2 saat ini telah dijual seharga $200 dengan tiga pilihan warna: hitam, abu-abu, biru. Paket penjualannya mencakup tiga ukuran eartip yang berbeda, salah satunya tanpa sirip penyangga.

Sumber: Engadget.

TWS Baru Sony Lebih Ringkas dari Sebelumnya, Tapi Kinerjanya Lebih Baik dan Baterainya Lebih Awet

Pasar TWS saat ini sudah sangat berbeda dari dua tahun yang lalu. Di tahun 2019, TWS dengan active noise cancellation (ANC) masih segelintir dan rata-rata berharga mahal. Sekarang, bahkan TWS dengan banderol di bawah satu juta rupiah pun sudah ada yang menawarkan ANC.

Singkat cerita, TWS murah semakin bagus kualitasnya, dan TWS premium pun sudah seharusnya lebih unggul lagi. Nampaknya inilah yang hendak dibuktikan Sony melalui TWS terbarunya, Sony WF-1000XM4. Sesuai namanya, ia merupakan penerus langsung dari Sony WF-1000XM3 yang dirilis dua tahun silam.

Desain fisiknya sudah berubah cukup drastis, dan ukuran beserta bobotnya telah menyusut sekitar 10% jika dibandingkan pendahulunya. Juga ikut disempurnakan adalah eartip-nya, yang kini terbuat dari bahan busa polyurethane yang lembut sekaligus elastis. Berkat perubahan-perubahan di sektor desain ini, WF-1000XM4 diklaim bisa lebih ‘lengket’ di telinga.

Berbeda dari pendahulunya, WF-1000XM4 telah mengantongi sertifikasi IPX4, yang berarti ia siap digunakan walaupun hujan tengah mengguyur. Perlu dicatat, yang tahan air cuma unit TWS-nya saja, sedangkan charging case-nya tidak. Case-nya sendiri sudah menciut sekitar 40% dibandingkan milik pendahulunya, dan kini kompatibel dengan Qi wireless charging.

Selain menjanjikan ergonomi yang lebih baik, WF-1000XM4 turut mengunggulkan kinerja ANC beserta kualitas suara yang lebih superior, salah satunya berkat penggunaan chip baru bernama V1. Menurut Sony, chip ini mampu menyuguhkan performa pemblokiran suara yang lebih efektif lagi ketimbang chip QN1e milik generasi sebelumnya.

WF-1000XM4 juga mengemas driver 6 mm baru yang memiliki volume magnet 20% lebih besar. Dampaknya bukan cuma reproduksi suara bass yang lebih baik, melainkan juga berpengaruh terhadap kinerja ANC secara keseluruhan berkat kemampuannya menghasilkan sinyal pemblokir yang sangat presisi di frekuensi rendah. WF-1000XM4 juga mendukung LDAC, codec besutan Sony yang mampu mentransmisikan data dalam jumlah tiga kali lebih banyak (maksimum hingga 990 kbps) ketimbang codec Bluetooth konvensional.

Speak-to-Chat, fitur unik yang menjadi unggulan headphone Sony WH-1000XM4, kini juga tersedia di TWS ini. Berkat fitur ini, setiap kali pengguna berbicara dengan seseorang, audio akan dihentikan secara otomatis, dan mode transparency bakal aktif dengan sendirinya sehingga pengguna dapat mendengarkan suara di sekitarnya secara jelas. Saat percakapan telah usai, audio akan kembali diputar secara otomatis.

Sony mengklaim kinerja mikrofon di WF-1000XM4 lebih bisa diandalkan berkat penambahan sensor bone conduction, yang bertugas menangkap hanya getaran yang berasal dari suara pengguna. Alternatifnya, pengguna juga bisa mengaktifkan mode transparency dengan menyentuh dan menahan earpiece sebelah kiri.

Kabar baiknya, semua penyempurnaan ini bisa dihadirkan tanpa mengorbankan aspek yang paling penting, yakni baterai. Pada kenyataannya, WF-1000XM4 justru punya daya tahan baterai yang lebih baik lagi daripada pendahulunya: 8 jam per charge, atau total 24 jam bersama charging case-nya, dan itu dengan fitur ANC selalu menyala. Kalau ANC-nya dimatikan, perangkat malah bisa beroperasi hingga 12 jam per charge, atau total 36 jam.

Di Amerika Serikat, Sony WF-1000XM4 saat ini sudah dijual seharga $280 (± Rp3,99 juta), alias $50 lebih mahal daripada pendahulunya. Pilihan warna yang tersedia ada dua, yakni hitam dan silver. Semoga saja harganya di Indonesia bisa lebih murah daripada kursnya, seperti kasusnya pada Sony WH-1000XM4.

Sumber: The Verge dan Sony.

Google Umumkan Pixel Buds A-Series, Mirip TWS Pertamanya tapi dengan Harga Lebih Murah

Dibandingkan Apple dan pabrikan-pabrikan lain, Google memang agak terlambat bermain di ranah TWS. TWS pertamanya, Pixel Buds 2 diluncurkan di bulan Oktober 2019, sekitar enam bulan setelah Apple mengungkap AirPods generasi kedua. Namun itu rupanya bukan alasan bagi Google untuk tidak mendalami kategori perangkat audio yang sangat populer ini lebih jauh lagi, dan pada akhirnya merambah lebih banyak konsumen.

Mereka baru saja mengumumkan Pixel Buds A-Series, versi lebih terjangkau ketimbang Pixel Buds 2 yang sudah agak berumur itu. Sebagai perbandingan, Pixel Buds 2 dijual seharga $179, sedangkan Pixel Buds A-Series dihargai cuma $99 saja. Tentu saja, ada beberapa fitur yang harus dipangkas agar Google bisa tetap mengambil untung di harga tersebut.

Beberapa fitur yang dipangkas di antaranya adalah dukungan wireless charging untuk case-nya, dukungan gestur yang lebih terbatas (tidak ada gestur swipe untuk mengatur volume), fungsi noise reduction untuk panggilan telepon maupun suara angin, serta fitur Attention Alerts (yang memungkinkan perangkat untuk mendeteksi suara-suara penting seperti sirene atau suara bayi menangis, lalu menurunkan volume secara otomatis).

Jadi seandainya salah satu dari fitur-fitur di atas dirasa penting, maka konsumen bisa memilih Pixel Buds 2 ketimbang Pixel Buds A-Series. Sebaliknya, kalau mereka bisa memaklumi absennya fitur-fitur tersebut, maka mereka bisa menghemat cukup lumayan dengan menggaet Pixel Buds A-Series.

Di luar fitur-fitur tadi, Pixel Buds A-Series cukup identik dengan Pixel Buds 2. Bahkan wujud fisiknya bisa dibilang sama persis, dengan perbedaan hanya pada motif warnanya, serta ukuran sirip penyangganya yang sedikit lebih kecil. Driver yang tertanam juga mempunyai diameter 12 mm, bahkan bentuk charging case-nya pun sama, dan perangkat tetap mempertahankan sertifikasi ketahanan air IPX4.

Dalam sekali pengisian, baterai Pixel Buds A-Series diklaim tahan sampai sekitar 5 jam pemakaian, atau sampai 24 jam kalau dipadukan bersama daya milik charging case-nya. Fitur fast charging tak lupa disediakan, di mana perangkat mampu memberikan waktu pemakaian selama sekitar 3 jam meski hanya di-charge selama 15 menit.

$99 memang belum bisa dikatakan murah, tapi setidaknya Google Pixel Buds A-Series masih lebih terjangkau daripada AirPods ($159) maupun penawaran dari sejumlah pabrikan ternama lainnya.

Sumber: The Verge dan TechCrunch.

Headset Jabra Evolve2 30 Dirancang untuk Mengakomodasi Praktik Kerja Hybrid di Era New Normal

Periode new normal yang sudah berjalan selama lebih dari satu tahun belakangan menciptakan cara kerja baru yang sangat berbeda dari sebelumnya. Kini banyak perkantoran yang mulai menerapkan pendekatan hybrid, atau kombinasi bekerja jarak jauh dan di kantor secara bersamaan.

Namun praktik kolaborasi semacam ini pun tidak bebas dari risiko begitu saja, apalagi jika melihat kompleksitas pekerjaan yang terus meningkat. Alhasil, ketika memilih perangkat pendukung komunikasi seperti headset, perangkat harus bisa mendukung kebutuhan yang sesuai dengan kejadian di lapangan. Ini penting karena tidak semua orang memiliki kondisi area kerja yang sama.

Sebagai perusahaan penyedia solusi audio dan video profesional, Jabra melihat ini sebagai peluang untuk memperkenalkan headset terbarunya, Evolve2 30. Perangkat ini sudah memenuhi sertifikasi UC (Unified Communication), yang artinya fitur-fitur seperti kontrol panggilan atau pengaturan volumenya dipastikan bisa bekerja dengan baik di berbagai software komunikasi bisnis di PC.

Tidak kalah penting adalah fitur supaya pengguna dapat mendengar suaranya sendiri ketika menerima panggilan, sehingga mereka bisa menghindari bicara terlalu keras. Jabra bilang ini merupakan salah satu persyaratan yang harus dimiliki oleh headset bersertifikasi UC, yang tentunya sangat relevan dengan kondisi saat ini.

Brodjo Koesworo Hadiputro, Country Manager Jabra Indonesia, mengatakan Evolve2 30 sangat cocok bagi pekerja modern dengan berbagai kondisi kerja, mulai dari pekerja profesional hingga freelancer yang bekerja di kantor atau di rumah, tanpa harus memikirkan ramai atau tidaknya tempat tersebut. Berkat keberadaan dua mikrofon, headset ini bisa mengenali suara pengguna secara akurat dan meredam suara-suara dari luar. Kualitas audionya pun bisa diandalkan berkat driver berukuran 28 mm yang didukung oleh chipset digital mutakhir.

Jabra Evolve2 30 juga tersedia dalam varian yang tersertifikasi Microsoft Teams. Varian ini dilengkapi tombol khusus untuk Teams, sehingga pengguna bisa mengikuti dan mengakhiri pertemuan virtual hanya dengan satu sentuhan. Keberadaan boom arm berarti mute atau unmute bisa dilakukan secara instan, sehingga pengguna tak perlu khawatir suaranya bocor ketika belum waktunya untuk berbicara.

Secara fisik, Evolve2 30 mengemas konstruksi stainless steel dengan tingkat ketahanan dan fleksibilitas yang lebih tinggi dibanding pendahulunya, tapi di saat yang sama bobotnya sekitar 27 persen lebih ringan (125 gram). Perangkat menggunakan sambungan USB-A atau USB-C, serta dibekali indikator lampu berwarna merah di salah satu sisinya, yang akan menyala secara otomatis ketika pengguna sedang menerima panggilan, atau bisa juga dinyalakan secara manual untuk menandakan bahwa mereka sedang tidak ingin diganggu.

Saat ini Jabra Evolve2 30 sudah tersedia di sejumlah mitra resmi Jabra. Harganya dibanderol Rp1.939.999 sebelum dikenai pajak.

Belkin SoundForm Connect Ubah Speaker Apapun Jadi Speaker Nirkabel dengan AirPlay 2

Speaker baru belum tentu kualitas suaranya lebih bagus daripada speaker lama, dan itu saja sebenarnya sudah cukup untuk menjadi alasan mengapa kita harus menyimpan speaker lama kita dengan baik. Namun tidak bisa dipungkiri, konektivitas nirkabel yang ditawarkan speaker modern sangatlah memudahkan penggunaan sehari-hari, dan ini yang sering kali membuat kita move on dari speaker lawas.

Kabar baiknya, di luar sana ada banyak perangkat yang bisa dipakai untuk menyulap speaker lama menjadi speaker wireless. Contohnya adalah perangkat bernama Belkin SoundForm Connect berikut ini, yang mampu menghadirkan dukungan AirPlay 2 ke speaker apapun yang dilengkapi colokan input 3,5 mm atau optical.

Jadi dengan menghubungkan SoundForm Connect ke speaker via salah satu pilihan input tadi, maka pengguna bisa langsung meneruskan audio dari iPhone, iPad, Mac, maupun Apple TV menuju ke speaker secara nirkabel. AirPlay 2 memanfaatkan sambungan Wi-Fi ketimbang Bluetooth, dan itu berarti latensinya pun jauh lebih minimal daripada menggunakan sebuah adaptor Bluetooth.

Kalau Anda masih ingat dengan Chromecast Audio, premis yang ditawarkan perangkat ini sejatinya tidak jauh berbeda. Yang berbeda hanyalah dukungan ekosistemnya. AirPlay 2 sendiri juga berbeda dari generasi pertamanya. Yang paling utama, AirPlay 2 mendukung teknologi multi-room, yang berarti speaker lama Anda juga bisa diikutkan ke dalam setup multi-room dengan bantuan Belkin SoundForm Connect ini.

Secara teknis, SoundForm Connect mendukung streaming audio dengan resolusi maksimum 16-bit/44,1 kHz. Di resolusi tersebut, audio pada dasarnya sudah bisa dikategorikan lossless. Kebetulan Apple baru-baru ini mengumumkan bahwa Apple Music akan segera kedatangan konten musik lossless, dan ini semestinya bisa menjadi alasan tambahan untuk menggaet perangkat ini dan mengubah speaker lawas menjadi speaker AirPlay 2.

Di Amerika Serikat, Belkin SoundForm Connect saat ini telah dipasarkan seharga $100. Memang jauh dari kata murah, apalagi mengingat HomePod Mini sendiri dijual di harga yang sama persis. Pun demikian, perangkat ini tetap merupakan salah satu opsi terbaik untuk menjadikan speakerspeaker lawas tetap relevan di era serba wireless.

Sumber: 9to5Mac.

Speaker Bluetooth Terbaru B&O Unggulkan Baterai yang Sangat Awet dan Bodi Tahan Air

Bang & Olufsen mungkin lebih dikenal sebagai produsen speaker kelas sultan dengan desain yang elegan sekaligus mewah, akan tetapi sesekali pabrikan asal Denmark itu juga menciptakan speaker portabel yang ditujukan buat mereka yang gemar mengeksplorasi alam. Salah satu contohnya adalah speaker bernama Beosound Explore berikut ini.

Dari namanya sudah bisa kita tebak bahwa perangkat ini mengemas bodi yang tangguh. Rangka aluminiumnya diklaim tahan gores, dan secara keseluruhan ia tahan air serta debu dengan sertifikasi IP67. Jadi seandainya tidak sengaja tercemplung ke kolam, perangkat masih akan tetap bisa beroperasi secara normal. Pada sisi atasnya, terdapat lima tombol fisik.

Bentuk grille-nya mengindikasikan kalau ia dapat mendistribusikan suara ke segala sudut (360°), dan suaranya sendiri berasal dari sepasang full-range driver 1,8 inci, yang masing-masing ditenagai amplifier Class D 30 W. Menurut B&O, suaranya cukup lantang untuk mengisi ruangan berukuran 5 sampai 30 m².

Kalau masih kurang keras, pengguna juga dapat menghubungkan dua unit Beosound Explore sekaligus sebagai sebuah setup stereo. Konektivitasnya sudah menggunakan yang terbaru, yakni Bluetooth 5.2, serta telah mendukung teknologi fast pairing besutan Apple, Google, maupun Microsoft.

Penggunaan Bluetooth 5.2 tak hanya menjanjikan koneksi yang lebih stabil, melainkan juga konsumsi baterai yang sangat irit. Dalam sekali charge, Beosound Explore diklaim bisa beroperasi hingga 27 jam nonstop. Sebagai perbandingan, speaker portabel lain yang cukup populer macam JBL Charge 5 ‘hanya’ mampu bertahan selama 20 jam, demikian pula UE Hyperboom yang tercatat memiliki daya tahan baterai hingga 24 jam.

Lebih mengesankan lagi, ini bisa dicapai oleh Beosound Explore selagi mempertahankan desain yang lebih ringkas ketimbang dua speaker lain tadi. Dimensinya tercatat berada di angka 81 x 124 x 81 mm, sedangkan bobotnya berada di kisaran 631 gram (tanpa karabiner). Charging-nya sendiri membutuhkan waktu sekitar 2 jam dari kosong sampai benar-benar penuh.

Di Amerika Serikat, Beosound Explore saat ini telah dijual dengan harga $199 (± Rp2,85 jutaan). Pilihan warna yang tersedia sekarang ada dua, yakni hitam dan hijau, lalu di musim panas nanti akan menyusul varian berwarna abu-abu.

Sumber: The Verge dan Engadget.

Cell Alpha Adalah Speaker Super-Premium Bikinan Desainer Veteran Apple

iPhone merupakan salah satu produk tersukses Apple, dan ini terkadang membuat sebagian dari kita lupa bahwa mereka sebenarnya juga punya pengaruh besar di industri audio. 20 tahun lalu, Apple memperkenalkan iPod, dan mereka juga berjasa memopulerkan tren TWS dalam beberapa tahun terakhir. Itulah mengapa ketika ada seorang mantan karyawan veteran Apple yang menciptakan perangkat audionya sendiri, dunia perlu menaruh perhatian ekstra.

Beliau adalah Christopher Stringer. Namanya memang tidak terdengar familier sama sekali, akan tetapi ia menghabiskan 22 tahun bekerja sebagai desainer di tim Jony Ive, dan namanya tercantum pada sekitar 1.400 paten yang Apple daftarkan. Mulai dari iPod generasi pertama sampai HomePod, Stringer terlibat langsung dalam pengembangannya.

Sekarang, dia merupakan CEO dari Syng, sebuah startup yang ia dirikan di tahun 2017. Produk pertama Syng adalah Cell Alpha, sebuah speaker super-premium yang dibanderol seharga $1.799. Bentuknya yang membulat dengan diameter 30 cm lebih mirip kamera 360 derajat ketimbang perangkat audio, dan entah kenapa saya langsung teringat pada Death Star dari franchise Star Wars.

Bagian pipih di sisi atas dan bawahnya itu masing-masing dihuni oleh sebuah subwoofer dengan konfigurasi “force-balanced” — bukan referensi Star Wars. Kemudian di bagian tengahnya, kita bisa melihat tiga buah mid-range driver yang diposisikan mengelilingi perangkat. Respon frekuensinya tercatat di angka 30 Hz – 20.000 Hz.

Syng mengklasifikan Cell Alpha bukan sebagai speaker stereophonic ataupun surround, melainkan “Triphonic”. Istilah ini pada dasarnya merupakan sebutan fancy dari teknologi spatial audio. Ini berarti Cell Alpha tak hanya mampu mengisi seluruh ruangan dengan suara surround saja, tetapi juga memberikan kesan bahwa tiap-tiap suara atau instrumen tertentu berasal dari titik-titik yang berbeda di dalam ruangan secara sangat akurat.

Untuk mewujudkannya, Cell Alpha juga memanfaatkan tiga buah mikrofon yang berfungsi untuk mengukur geometri ruangan. Dengan mengamati pantulan-pantulan suara, perangkat pada dasarnya sanggup memetakan ruangan tempatnya berdiri. Kedengarannya mirip seperti kemampuan HomePod mendeteksi posisinya di dalam ruangan. Seperti yang saya bilang tadi, Stringer memang terlibat dalam proses pembuatan HomePod, tapi ia juga menghabiskan waktu sekitar tiga tahun untuk menyempurnakan teknologi yang terdapat pada Cell Alpha.

Cell Alpha juga bakal hadir bersama sebuah aplikasi pendamping untuk perangkat Android dan iOS bernama Syng Space. Lewat aplikasi tersebut, pengguna pada dasarnya bisa memanipulasi lebih jauh lagi titik-titik penempatan suara itu tadi. Menurut laporan Financial Times, Syng juga berencana melisensikan teknologi audionya ke produsen-produsen hardware lain.

Perihal konektivitas, Cell Alpha datang membawa dukungan AirPlay 2 maupun Spotify Connect. Selain memutar audio secara nirkabel, perangkat turut dilengkapi dua port USB-C untuk disambungkan ke sumber-sumber audio lain. Cell Alpha pun juga bisa dihubungkan ke TV yang memiliki port HDMI eARC (Enhanced Audio Return Channel), tapi Anda butuh kabel khusus yang harus ditebus secara terpisah seharga $49.

Bluetooth LE sebenarnya juga tercantum di rincian spesifikasi Cell Alpha, tapi itu cuma berguna ketika pengguna hendak menyambungkan unit lainnya. Ya, kalau Anda punya budget-nya, Anda bisa menempatkan lebih dari satu unit Cell Alpha di dalam ruangan. Menurut Syng, pengalaman spatial audio terbaik bisa didapat dengan konfigurasi tiga unit Cell Alpha.

$1.799 bukanlah harga yang murah untuk sebuah speaker wireless, apalagi jika dikali tiga. Banderol tersebut adalah banderol untuk bundel yang disertai sebuah table stand. Syng juga akan menjual Cell Alpha yang dibekali floor stand seharga $1.969. Kendati demikian, harga ini masih tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan speaker besutan Bang & Olufsen.

Syng bukanlah satu-satunya produsen hardware audio yang pendirinya merupakan alumni Apple. Belum lama ini, saya juga sempat menuliskan tentang VZR Model One, sebuah headset gaming yang pada dasarnya juga menawarkan efek spatial audio, tapi yang dicapai melalui teknik manipulasi akustik ketimbang sepenuhnya bergantung pada software. Seperti Syng, VZR juga didirikan oleh bekas karyawan senior Apple.

Sumber: Fast Company.

Xiaomi Ungkap FlipBuds Pro, TWS Pertamanya yang Dibekali Active Noise Cancellation

Pasar TWS terus bertambah besar di tahun 2021 ini. Apple masih menguasai sebagian besar pangsa pasar, akan tetapi gap-nya sudah tidak sejauh di tahun-tahun sebelumnya. Mengintai di belakangnya adalah Xiaomi, yang sampai kemarin rupanya belum punya TWS dengan active noise cancellation (ANC) sama sekali.

Itu semua berubah dengan diumumkannya Xiaomi FlipBuds Pro. Ini merupakan TWS paling premium dari Xiaomi sejauh ini, dan fitur unggulannya adalah ANC yang mampu meredam suara-suara di sekitar sampai 40 dB, kira-kira sehening di dalam perpustakaan kalau kata Xiaomi sendiri.

Untuk mewujudkannya, Xiaomi membekali FlipBuds Pro dengan tiga buah mikrofon di setiap unitnya: satu untuk menangkap dan mengisolasi suara-suara di sekitar, satu untuk menangkap suara pengguna, dan satu lagi untuk memastikan suara pengguna tidak teredam tanpa disengaja. Untuk output-nya, masing-masing unitnya mengandalkan dynamic driver berdiameter 11 mm.

Guna semakin memaksimalkan kinerjanya, Xiaomi turut membekali FlipBuds Pro dengan chip Bluetooth kelas premium besutan Qualcomm, QCC5151. Secara teknis, chip ini tak hanya mendukung konektivitas Bluetooth 5.2 saja, melainkan juga teknologi-teknologi seperti Google Fast Pair, Qualcomm TrueWireless Mirroring, Qualcomm Adaptive Active Noise Cancellation, maupun codec aptX Adaptive.

Ketika digunakan bersama ponsel-ponsel Xiaomi seperti Mi Mix Fold, Mi 11 Series, Mi 10 Series, Redmi K40 Series, Redmi K30 Series, maupun Redmi Note 9 Pro, perangkat juga bisa beroperasi dalam latensi yang sangat rendah. Dengan kata lain, TWS ini juga cocok untuk dipakai dalam sesi gaming.

Melihat desainnya, tidak bisa dipungkiri kalau TWS ini tampak seperti AirPods Pro versi hitam legam. Baterainya diklaim mampu bertahan sampai 7 jam pemakaian (5 jam kalau ANC-nya dinyalakan terus), atau total 28 jam jika digabung dengan charging case-nya. Selain via kabel USB-C, case-nya juga dapat diisi ulang menggunakan Qi wireless charger.

Di Tiongkok, Xiaomi menjual TWS ini seharga 799 yuan, atau kurang lebih sekitar 1,8 jutaan rupiah. Sayang sekali sejauh ini belum ada informasi terkait kapan Xiaomi bakal membawanya ke negara-negara lain.

Sumber: GSM Arena dan GizmoChina.

Sennheiser Jual Divisi Consumer Audio-nya ke Sonova

Di antara semua merek headphone, nama Sennheiser mungkin adalah salah satu yang paling terkenal sekaligus paling dipandang. Namun siapa yang menyangka kalau perusahaan asal Jerman itu rupanya kesulitan bersaing di ranah consumer audio, hingga akhirnya pada bulan Februari kemarin mereka mengumumkan niatnya untuk menjual divisi Consumer Electronics-nya.

Tiga bulan berselang, Sennheiser rupanya sudah punya pembeli. Mereka adalah Sonova, korporasi asal Swiss yang punya pangsa pasar besar di industri hearing aid. Melalui sebuah siaran pers, Sonova mengumumkan bahwa mereka akan mengakuisisi Sennheiser Consumer Division senilai 200 juta euro, atau kurang lebih setara 3,45 triliun rupiah.

Sennheiser sendiri menggambarkan transaksi ini sebagai kooperasi permanen, sebab brand Sennheiser masih akan terus dipakai oleh Sonova ke depannya. Beberapa karyawan yang selama ini bekerja di Sennheiser Consumer Division juga akan berpindah rumah ke Sonova. Mereka akan tetap mengembangkan portofolio produknya di segmen consumer audio, hanya saja di bawah pemilik baru.

Phonak Virto Marvel, salah satu hearing aid tercanggih dari Sonova sejauh ini / Sonova

Kedengarannya memang cukup aneh; kenapa sebuah produsen alat bantu dengar harus mengakuisisi brand headphone yang terkenal di kalangan audiophile? Namun kalau melihat tren di industri hearing aid, semuanya jadi terkesan masuk akal. Dalam beberapa tahun terakhir, tidak sedikit produsen hearing aid yang mencoba menjejalkan teknologi-teknologi modern ke produk-produk besutannya, seperti misalnya teknologi untuk mengadaptasikan suara dengan kondisi di sekitar.

Di saat yang sama, tren terkini di bidang consumer audio adalah teknologi active noise cancellation (ANC) yang juga dapat beradaptasi dengan kondisi sekitar. Kalau dipikir-pikir, berkat fitur seperti ambient mode atau transparency mode, TWS berteknologi ANC sebenarnya juga bisa berfungsi layaknya sebuah alat bantu dengar, membiarkan kita mendengar suara-suara di sekitar secara jelas tanpa perlu melepas perangkat dari telinga.

Buat Sennheiser sendiri, melepas divisi consumer audio-nya berarti mereka dapat sepenuhnya berfokus pada bidang professional audio, bidang yang sebenarnya sudah menjadi spesialisasi Sennheiser sejak awal berdiri di tahun 1945. Sekadar informasi, produk pertama Sennheiser adalah sebuah voltmeter, diikuti oleh mikrofon (yang pada akhirnya membuat nama Sennheiser jadi mulai terkenal) setahun setelahnya.

Selain professional audio, portofolio produk Sennheiser turut mencakup segmen business communications, dan ini juga akan menjadi prioritas mereka ke depannya setelah melepas divisi consumer audio-nya ke Sonova, yang dijadwalkan rampung transaksinya sebelum akhir tahun 2021.

Sumber: Sennheiser via TechCrunch.

Penjualan TWS Sangat Kuat di Tahun 2020, dan Akan Lebih Kuat Lagi Tahun Ini

Coba amati barang-barang yang ada di meja kerja Anda sekarang. Kalau boleh menebak, kemungkinan besar ada setidaknya satu barang yang baru Anda beli ketika pandemi melanda. Entah itu smartphone baru, laptop baru, keyboard baru, mouse baru, webcam baru, atau TWS baru, barang-barang tersebut umumnya kita beli dengan tujuan untuk melancarkan aktivitas WFH.

Berhubung pandemi masih belum kunjung berakhir, dan kita juga masih harus terus bekerja dari rumah masing-masing, penjualan produk-produk seperti di atas tadi semestinya juga masih akan bertumbuh pesat tahun ini. Untuk kategori TWS misalnya, laporan terbaru Counterpoint memprediksi peningkatan penjualan hingga 33% secara global dibanding tahun lalu, dengan estimasi sekitar 310 juta unit TWS terjual di sepanjang 2021.

Angka tersebut bakal terdengar semakin mengesankan setelah melihat laporan tahun lalu. Di tahun 2020, Counterpoint mencatatkan pertumbuhan pasar TWS global hingga 78% dari tahun sebelumnya. Sebanyak 233 juta unit TWS berhasil terjual di tahun 2020, sebagian besar dari kelas bawah dan menengah.

Salah satu alasan di balik pesatnya pertumbuhan pasar TWS selama tahun 2020 tentu adalah tren WFH itu tadi. Menurut Counterpoint, konsumen tidak segan membeli produk teknologi maupun aksesori lain untuk meningkatkan pengalamannya bekerja atau belajar dari rumah. Meski begitu, penjualannya lebih terfokus di kelas bawah dan menengah karena kondisi ekonomi yang melemah.

Untuk tahun ini, penjualan TWS dari segmen bawah dan menengah diprediksi masih akan tetap kuat. Namun seiring menurunnya penyebaran COVID-19 berkat vaksinasi, demand terhadap TWS high-end diperkirakan bakal meningkat secara drastis mulai akhir kuartal ketiga 2021. Jadi jangan heran kalau beberapa brand ternama bakal meluncurkan TWS baru di kuartal keempat tahun ini.

Menurut Counterpoint, salah satu yang paling diantisipasi adalah TWS anyar dari Apple, yang bakal menjadi yang pertama semenjak AirPods Pro diluncurkan dua tahun sebelumnya. Prediksinya, TWS baru besutan Apple ini bakal menjadi kontributor terbesar terhadap pertumbuhan pasar TWS mulai kuartal keempat 2021 sampai tahun depan.

Apple diprediksi juga masih akan menjadi brand terbesar di kategori TWS dengan pangsa pasar sebesar 27%, disusul oleh Xiaomi di urutan kedua dengan 9%, dan Samsung di urutan ketiga dengan 7%.

Sumber: Counterpoint via GSM Arena. Gambar header: Depositphotos.com