BoWL Dapatkan Hak Siar Street Fighter League Japan 2020 Untuk Penonton Indonesia

Street Fighter League Pro Japan akan tayang dengan bahasa Indonesia mulai Jumat, 9 Oktober 2020 . Hal ini terjadi karena Battle of Warriors League (BoWL) baru saja mendapatkan hak siar resmi dari Capcom, untuk menayangkan Street Fighter League Japan 2020 dengan bahasa Indonesia. Mengutip rilis, tayangan SF League: Pro-JP bahasa Indonesia akan tayang pukul 19:30 WIB pada tanggal yang disebutkan di atas.

Zaky Nurahman selaku PR & Social Media Specialist BoWL menjelaskan, bahwa tayangan bahasa Indonesia SF League Japan 2020 hanya akan menggunakan subtitle bahasa Indonesia untuk sementara waktu. “Untuk SFL Japan, Capcom tidak dapat memberikan clean feed atas turnamennya, karena sudah pre-recorded dalam bahasa Jepang. Maka dari itu, BoWL hanya akan mengganti subtitle SF League: Pro-JP menjadi bahasa Indonesia saja.

“Karena BoWL memiliki tujuan untuk dapat merangkul komunitas esports dan game seluas-luasnya, dan menyediakan entertainment berkualitas bagi penikmat game dan esports dari berbagai genre. Maka dari itu, pengambilan hak siar ini menjadi bentuk komitmen terhadap visi yang ingin kami capai tersebut.” Tulis Zaky lewat surel kepada redaksi Hybrid.co.id, memberikan komentarnya terhadap penayangan SF League Pro-JP oleh BoWL.

“Perihal komunitas SF di Indonesia, kami merasa Street Fighter sebagai salah satu game fighting dengan sejarah, dan fans yang luas, bahkan mencapai lintas generasi. Untuk itu, kami merasa merangkul komunitas game Street Fighter menjadi sesuatu hal yang perlu, dan penayangan SFL Japan menjadi langkah pertama untuk mencapai hal tersebut.” Lanjut Zaky mengomentari soal komunitas pecinta Street Fighter di Indonesia.

Sumber: BoWL Official
Sumber: BoWL Official

Nantinya, BoWL akan menayangkan SF League: Pro-JP dengan subtitle bahasa Indonesia sampai babak final, yang direncanakan akan digelar Januari 2020 mendatang. Lebih lanjut terkait rencana BoWL terhadap tayangan esports Street Fighter lainnya, Zaky Nurahman menjelaskan. “Capcom sebenarnya juga menawarkan CPT US, namun karena jadwalnya bertabrakan dengan SF League: Pro-JP, maka kami coba ambil SFL JP lebih dulu, lalu dilihat hasilnya bagaimana. Jika hasilnya memuaskan, kami berniat untuk mengambil hak siar atas SFL US, dan berusaha untuk mendapatkan clean feed atas tayangan tersebut, agar  bisa disajikan dengan menggunakan komentator lokal.”

Street Fighter League Pro Japan 2020 sudah berjalan sepanjang 2 pekan, sejak 25 September 2020 lalu. Mempertandingkan pemain-pemain Street Fighter terbaik dari Jepang dalam format 3 vs 3, terakhir kali SF League Pro-JP menyajikan pertarungan sengit antara tim dari Daigo Umehara, dan Nemo di pekan kedua. Jika Anda ingin menyaksikan keseruan SF League Japan pekan ketiga dengan bahasa Indonesia, Anda dapat mampir ke kanal YouTube resmi BoWL, yaitu @BoWLeague.

Yoshinori Ono Mengundurkan Diri dari Manajemen Capcom

Komunitas fighting game di seluruh dunia baru saja dikejutkan dengan mundurnya salah satu penggawa dari Capcom yaitu Yoshinori Ono. Di tahun 2020 seolah-olah badai sungguh menghantam ekosistem fighting game esports.

Dalam sebuat tweet dari aku pribadinya, Ono menyampaikan salam perpisahannya dan berencana akan meninggalkan Capcom di musim panas tahun ini. Ono adalah pribadi terbilang sudah sangat-sangat merasakan setiap asam dan garam dalam menghidupkan kembali game berjudul Street Fighter yang bermula dari ketiadaaan.

Awal mula perjalanan Ono bersama Capcom adalah ketika ia bergabung di pertengahan tahun 1998. Pada saat itu game Street Fighter masih mengisi ruang-ruang arcade game center dan belum sebesar seperti saat ini.

Yoshinori Ono | via: PCinvasion.com
Yoshinori Ono | via: PCinvasion.com

Ono mengucapkan banyak terima kasih kepada komunitas fighting game terutama komunitas Street Fighter yang telah bertumbuh bersama sepanjang perjalanan Ono di Capcom.

Hingga berita ini diturunkan masih belum jelas apa yang menjadi alasan utama dari Ono sehingga harus mengundurkan dri dari posisinya. Seperti ayng sedang menjadi perbincangan, bahawa saat ini Capcom tengah mengembangkan game Street Fighter seri terbaru.

Dampak pandemi yang kian merebak juga disinyalir sebagai faktor yang cukup berat untuk dihadapi bagi studio game dan tentu saja bagi atlet esports. Batalnya event EVO di tahun ini seolah belum cukup menambahkan kesedihan bagi komunitas pecinta game Street Fighter. Pemindahan pertandingan secara online sebenarnya menuntut koneksi internet yang stabil. Kekacauan sempat terjadi dari komunitas gamer Street Fighter di saat pertandingan resmi tertimpa dampak dari parahnya koneksi internet yang tidak stabil dan mundurnya beberapa player dari turnamen.

Terlepas demikian karya dan apa saja yang bisa diraih Ono bersama Capcom hingga saat ini adalah yang diberikan Ono sebagai bentuk dedikasinya. Dengan situasi yang tidak memungkinkan seseorang bepergian ke offline event, fitur matchmaking dan online match pada sebuah game seharusnya mendapatakan perhatian khusus di tengah meningkatanya aktivitas online para gamers. Semoga di masa depan akan ada lebih banyak perubahan lebih baik bersama jajaran generasi baru di pengembangna proyek Street Fighter.

Di sisi lain jika memang benar seri game terbari Street Fighter VI tengah dikerjakan, kita masih bisa menunggu sejenak untuk dapat menikmati keseruan pertarungan yang baru.

 

Street Fighter V Summer Update Umumkan 4 Karakter dan SF League

Tanggal 5 Agustus 2020 lalu, Capcom membagikan lanjutan perkembangan game Street Fighter V dalam sebuah tayangan bertajuk Street Fighter V Summer Update. Dalam acara tersebut Takayuki Nakayama, Street Fighter V Director, dan Shuhei Matsumoto, Street Fighter V Producer, mengumumkan beberapa proses pengembangan Street Fighter V selama musim panas ini.

Takayuki dan Shuhei mengumumkan akan ada 4 karakter baru yang diperkirakan akan rilis mulai Winter 2020. Empat karakter tersebut adalah Dan Hibiki, Rose, Oro, dan Akira Kazama. Tak hanya itu, rangkaian Street Fighter League diumumkan dalam acara tersebut, yang dibawakan oleh dua sosok shoutcaster ternama di komunitas Street Fighter, Vicious dan Tasty Steve.

Soal karakter, Takayuki dan Shuhei juga turut membahas alasan =hadirnya karakter tersebut pada DLC berikutnya, serta bagaimana kira-kira karakter tersebut akan dimunculkan di Street Fighter V. Dan Hibiki pertama kali muncul di Street Fighter Alpha dengan membawa gaya bertarung yang unik. Dalam Street Fighter V, Dan Hibiki akan tetap membawa gaya bertarung “Saikyo-ryu”, juga tentunya salah satu gerakan khas miliknya yaitu “Taunt”.

Proses pengembangan Dan Hibiki sudah berjalan cukup jauh, sehingga Capcom sempat menunjukkan Alpha Footage karakter ini. Namun, sayangnya Capcom belum bisa menunjukkan apapun untuk 3 karakter lainnya.

Rose sendiri adalah guru dari Menat, sehingga Capcom mengatakan bahwa dia akan punya gaya bertarung yang mirip-mirip, yaitu gaya tarung dengan Soul Power. Pada PlayStation Blog Capcom juga menjelaskan bahwa karakter ini awalnya dirancang memiliki tools anti-projectile serta anti-air yang kuat. Namun kehadirannya di SFV nanti tentu akan diikuti dengan beberapa penyesuaian.

Oro, karakter unik lain yang juga ditampilkan dalam Summer Update. Uniknya Oro adalah gaya bertarungnya yang hanya menggunakan satu tangan. Orang-orang mungkin menyangka bahwa Oro memang cuma punya satu tangan, ketika ia muncul pertama kali di Street Fighter III: New Generation. Dalam Summer Update, diungkap bahwa sebenarnya ia punya dua tangan, namun tangan satunya memegang kura-kura. Kenapa kura-kura? Diceritakan bahwa ini adalah gaya bertarung dari Oro, yang mana ia menantang dirinya untuk menjaga kura-kura di tangannya seimbang. Mungkinkah ini akan menjadi bagian dari gerakan baru nantinya?

Karakter terakhir adalah Akira Kazama. Karakter ini sebenarnya datang dari seri game Rival Schools. Tapi secara cerita, Akira Kazama adalah temannya Sakura. Sayangnya, belum ada informasi lebih lanjut soal bagaimana Akira akan disajikan di dalam game, dan Capcom hanya menyajikan sketsa penampilan karakter ini saja.

Terakhir dan tak kalah menarik ada SF League! Sajian pertarungan Street Fighter 3v3 kembali lagi tahun ini untuk region Jepang dan Amerika Serikat. SF League US dikabarkan akan hadir bulan Oktober mendatang, sementara SF League Jepang akan hadir musim Fall 2020 ini. Menariknya, Tasty Steve mengatakan akan ada gelaran SF League tingkat dunia, yang artinya mempertarungkan petarung Street Fighter dari belahan dunia lain selain AS dan Jepang. Namun belum ada informasi lebih lanjut juga seputar hal ini.

Sumber: Capcom
Sumber: Capcom

Semua karakter tersebut direncanakan hadir dari Winter 2021, dimulai dengan karakter Dan, dilanjut Rose pada Spring 2021, Oro dan Akira Kazama di Summer 2021. Terakhir, ada satu karakter rahasia yang belum diungkap oleh Capcom akan hadir Fall 2021, yang mungkin akan diberitahu pada Summer Update tahun depan.

Pemasukan Capcom Naik 32 Persen Pada Q1 Tahun Fiskal 2020

Capcom baru saja mengumumkan laporan keuangannya untuk Q1 tahun fiskal 2020. Dalam triwulan yang berakhir pada 30 Juni 2020, pemasukan bersih Capcom mencapai 23,72 miliar yen (sekitar Rp3,3 triliun), naik 32 persen jika dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun lalu.

Tak hanya itu, pendapatan operasional Capcom juga mengalami kenaikan sebesar 30 persen, dari 7,7 miliar yen (sekitar Rp1,06 triliun) pada Q1 2019 menjadi 10,71 miliar yen (sekitar Rp1,48 triliun) pada Q1 2020. Sementara keuntungan Capcom mengalami kenaikan 44 persen dari tahun lalu, menjadi 7,81 miliar yen (sekitar Rp1,08 triliun).

Salah satu alasan mengapa pendapatan Capcom naik pesat pada tahun ini adalah berkat penjualan game digital mereka yang melonjak naik. Jika dibandingkan dengan tahun lalu, penjualan game digital Capcom naik 53,7 persen, menjadi 21,48 miliar (sekitar Rp2,97 triliun) pada Q1 2020. Secara spesifik, Capcom menyebutkan bahwa penjualan Resident Evil 3 “cukup baik”. Memang, selama beberapa bulan belakangan, berbagai perusahaan game melaporkan bahwa penjualan game digital mereka naik.

laporan keuangan capcom Q1 2020
Monster Hunter: Iceborne jadi salah satu game Capcom yang masih menarik pemain. | Sumber: Steam

Dalam laporan keuangannya, Capcom juga menyebutkan, ada beberapa game mereka yang jumlah pemainnya terus bertambah. Dan hal ini membuat total pemasukan mereka naik. Salah satu game yang Capcom sebutkan adalah Monster Hunter World: Iceborne, yang dirilis pada September 2019 untuk konsol dan tersedia untuk PC pada Januari 2020. Selain itu, mereka juga menyebutkan Resident Evil 2 yang diluncurkan untuk PC, PlayStation 4, dan Xbox One pada Januari 2019.

Sayangnya, meskipun penjualan game digital Capcom mengalami kenaikan, tidak begitu dengan bisnis arcade mereka. Karena pandemi, banyak pusat arcade yang tutup. Dan hal ini menyebabkan pemasukan divisi arcade Capcom mengalami penurunan yang signifikan. Pada Q1 2020, pemasukan divisi arcade Capcom hanya mencapai 1,18 miliar yen (sekitar Rp168 miliar). Sebagai perbandingan, pada tahun lalu, pemasukan Capcom dari arcade mencapai 2,71 miliar yen (sekitar Rp3.74 miliar).

“Banyak pusat arcade yang terpaksa harus ditutup karena terkena dampak COVID-19,” tulis Capcom dalam laporannya, menurut Dot Esports. “Dan meskipun pada akhirnya pusat arcade tersebut kembali dibuka, bisnis mereka tidak pulih seperti sebelum pandemi. Bisnis arcade mengalami penurunan yang signifikan, baik dalam penjualan dan laba.”

Sementara itu, Capcom tidak melakukan perubahan apapun pada perkiraan keuangan mereka untuk tahun fiskal yang berakhir pada 31 Maret 2021. Mereka memperkirakan, untuk tahun fiskal itu, mereka akan mendapatkan pemasukan bersih sebesar 85 miliar yen (sekitar Rp11,73 triliun) dan pendapatan operasional sebesar 25,5 miliar yen (sekitar Rp35,2 triliun).

Sumber: Dot Esports, TweakTown

Sumber header: GameRant

Sejarah Street Fighter, Fighting Game yang Telah Berumur Lebih dari 3 Dekade

Jika Anda mengklik artikel ini, kemungkinan, Anda merupakan fans dari Street Fighter atau setidaknya, fans dari fighting game. Kemungkinan besar, Anda pasti mengenal Street Fighter. Dengan begitu, saya berasumsi saya tak lagi perlu memberikan penjelasan tentang apa itu Street Fighter. Sebagai gantinya, saya akan memberikan satu saran. Artikel ini agak panjang, jadi, silahkan Anda cari posisi enak terlebih dulu. Anda juga bisa menyiapkan kudapan atau minuman jika mau.

Jika sudah, silahkan membaca…

 

Awal Mula Street Fighter: Dari Rasa Bosan

Neccessity is the mother of invention. Dalam kasus Street Fighter, bukan “kebutuhan” yang menjadi alasan di balik game ini diciptakan. Awal dari game Street Fighter adalah dari rasa bosan. Ialah Takashi Nishiyama, yang pernah menjabat sebagai Street Fighter Director di Capcom Jepang.

Dalam satu waktu, dia merasa pertemuan antara tim developer dan tim sales berjalan sangat lama, membuatnya bosan. Untuk mengatasi kebosanannya, dia mengkhayal. Saya yakin, Anda juga pernah mengalami hal serupa. Mungkin saat Anda masih duduk di sekolah atau universitas. Mungkin juga, hal serupa terjadi saat Anda sudah bekerja. Sebagai seorang developer game, khayalan Nishiyama tentu saja masih seputar game.

“Saya ingat saya tidak terlalu memerhatikan meeting yang berlangsung dan justru mencorat-coret ide di kertas,” kata Nishiyama. “Ketika ide Street Fighter muncul di kepala saya, saya menuangkannya di kertas selama meeting.” Kebetulan, dia duduk di sebelah Yoshiki Okamoto, yang merupakan seorang Producer di Capcom. Dia lalu menunjukkan corat-coretnya pada Okamoto, meminta pendapatnya. Okamoto menjawab bahwa ide Nishiyama menarik.

Nishiyama mengungkap, dia mendapatkan inspirasi untuk Street Fighter dari game Spartan X alias Kung-Fu Master, yang ketika itu memang sedang dia garap. “Saya sedang memikirkan boss fight di game Spartan X dan saya pikir, menarik kalau membuat game tentang pertarungan melawan bos tersebut,” ujarnya. “Bisa dibilang, Spartan X adalah dasar dari konsep Street Fighter.”

Spartan X alias Kung-Fu Master jadi sumber munculnya ide untuk Street Fighter. | Sumber: YouTube
Spartan X alias Kung-Fu Master jadi sumber munculnya ide untuk Street Fighter. | Sumber: YouTube

Nishiyama mengaku, corat-coret yang dia buat selama meeting tidak tersusun rapi. Namun, dia kemudian mengumpulkan semua catatannya dan menjadikannya sebagai dokumen yang koheren. Dia lalu menggunakan dokumen itu untuk meyakinkan para bos Capcom agar mereka mau membuat game Street Fighter.

“Saya lalu menunjukkan dokumen itu pada Matsumoto. Dialah yang merapikan ide saya setelah itu,” ujar Nishiyama. Matsumoto yang dia maksud adalah Hiroshi Matsumoto, Street Fighter Planner, Capcom Jepang. “Setelah itu, dia bertanggung jawab atas semuanya. Saya memang mengawasi proses pengembangan game itu, tapi, Street Fighter adalah game Matsumoto.”

Matsumoto bercerita, setelah Nishiyama menunjukkan idenya akan Street Fighter, dia mulai membayangkan karakter-karakter yang bisa dimasukkan dalam game tersebut. “Saya memikirkan karakter-karakter yang harus kami buat, gaya bertarung dan gerakan mereka,” ungkapnya. “Ketika itu, saya sangat tertarik dengan seni bela diri, walau hanya sebagai hobi. Saya banyak membaca tentang itu. Jadi, saya sangat bersemangat.”

Menurut Nishiyama, salah satu hal yang membuat Street Fighter unik jika dibandingkan dengan game-game lain pada eranya adalah keberagaman karakter yang ada. Selain itu, para karakter di Street Fighter juga memiliki gaya bertarung yang berbeda-beda. “Kita punya tinju, kickboxing, bojutsu, shorinji kempo, dan lain sebagainya,” ujarnya.

Masing-masing gaya bela diri punya teknik yang unik. | Sumber: Swedish Shorinji Kempo Federation
Masing-masing gaya bela diri punya teknik yang unik. | Sumber: Swedish Shorinji Kempo Federation

“Jika Anda membuat fighting game dan Anda hanya mengadu dua petinju, game itu akan jadi sangat sederhana, tapi juga membosankan. Lain halnya, jika Anda mengadu petinju melawan kickboxer, misalnya, atau seseorang yang belajar shoroinji kempo, Anda akan melihat berbagai kombinasi unik,” kata Nishiyama. Setelah itu, dia bekerja sama dengan Mtasumoto untuk membuat cerita yang lebih kompleks dari para karakter.

 

Tantangan Dalam Fase Pengembangan

Street Fighter V: Arcade Edition memiliki 28 karakter yang bisa Anda mainkan. Setiap karakter memiliki jurus khusus yang bisa Anda gunakan. Game Street Fighter pertama tidak secakap itu. Selain dari segi grafik, karakter yang bisa Anda mainkan dalam game itu juga jauh lebih sedikit. Faktanya, dalam Street Fighter pertama, Anda hanya bisa memainkan dua karakter: Ryu dan Ken. Sementara karakter-karakter lainnya hanya muncul sebagai musuh. Memang, ketika itu, Ryu dan Ken sudah memiliki special moves. Hanya saja, gerakan para karakter masih sangat kaku.

“Menurut saya, salah satu masalah terbesar dalam membuat game Street Fighter disebabkan karena programmer utamanya bukanlah seorang game programmer,” kata Matsumoto. Dia bercerita, sang programmer utama Street Fighter dulunya adalah seorang teknisi sistem dan bukannya game programmer. Karena itu, dia tidak terlalu paham tentang cara membuat game, bahkan hal-hal dasar sekalipun.

Matsumoto bercerita, hal ini membuatnya kesulitan untuk menyampaikan ide yang dia miliki. Komunikasi begitu sulit sehingga pada akhirnya, dia memutuskan untuk menulis sendiri sebagian kode dari game Street Fighter. “Daripada saya mencoba untuk mengajarkannya cara menulis kode yang saya inginkan, akan lebih cepat jika saya membuat kode itu sendiri,” akunya.

“Sekarang, kita bisa menggunakan berbagai tools untuk membuat animasi. Namun, saat itu, kita harus menggunakan tabel untuk melihat setiap frame animasi dari tiap karakter,” ujar Matsumoto. “Membuat animasi adalah pekerjaan yang membosankan karena Anda harus mengatur setiap frame secara manual. Jika Anda ingin membuat animasi yang bergerak dari satu titik ke titik lain, Anda harus memasukkan semua data secara manual. Dan jika ada revisi, hal itu berarti Anda harus mengulang pekerjaan Anda. Semua itu bukan tugas saya. Tapi, saya tidak punya pilihan lain. Jauh lebih cepat jika saya melakukan semuanya sendiri.”

Game pertama dari Street Fighter. | Sumber: Kotaku
Game pertama dari Street Fighter. | Sumber: Kotaku

Meskipun sukses membuat game Street Fighter, Nishiyama masih memiliki satu penyesalan. Dia kecewa karena idenya dan Matsumoto untuk membuat banyak karakter yang bisa dimainkan tak bisa direalisasikan. Karena keterbatasan dana dan waktu, Street Fighter hanya memiliki dua karakter yang bisa dimainkan, yaitu Ryu dan Ken. “Saya ingin menampilkan lebih banyak karakter yang bisa dimainkan,” ujar Nishiyama. “Sayangnya, kami hanya bisa membuat dua.”

Matsumoto memiliki cerita yang sama. Ada banyak karakter yang ingin dia masukkan dalam Street Fighter. Sayangnya, Okamoto lalu memutuskan untuk tidak memasukkan sejumlah ide Matsumoto karena keterbatasan waktu. “Okamoto tertarik dengan pengembangan Street Fighter, walau dia tidak terlibat langsung,” kata Matsumoto. “Dia begitu tertarik dengan proyek itu sehingga dia ikut turun tangan dalam diskusi tentang sensor tekanan yang kami ingin gunakan dalam mesin arcade untuk Street Fighter.”

 

Mesin Arcade Khusus untuk Street Fighter

Nishiyama bercerita, pada tahun 1980-an, Sega dan Namco mendapatkan untung besar dari bisnis mesin arcade. Ketika Capcom mengetahui hal ini, mereka juga ingin mencoba masuk ke bisnis tersebut. Memang, saat itu, Capcom sudah membuat game dan menjualnya pada operator arcade yang ingin mengganti game pada mesin arcade mereka. Hanya saja, Capcom juga mulai tertarik untuk menjual mesin arcade bersamaan dengan game buatan mereka. Street Fighter dibuat dengan tujuan untuk menunjukkan para operator arcade bahwa Capcom dapat membuat mesin arcade dan game yang unik.

Masalahnya, Capcom tidak mengetahui rahasia Sega dan Namco dalam membuat mesin arcade berukuran besar, yang menjadi produk spesialisasi dari kedua perusahaan itu. Alhasil, Capcom memutuskan untuk membuat mesin arcade yang lebih sederhana dengan fitur unik: tombol yang sensitif pada tekanan. Sayangnya, membuat sensor tekanan tidak mudah. Jadi, Capcom lalu meminta bantuan Atari.

Mesin arcade untuk Street Fighter pertama. | Ilustrasi: Ken Hata/Atari via The Strong Museum of Play via Polygon
Mesin arcade untuk Street Fighter pertama. | Ilustrasi: Ken Hata/Atari via The Strong Museum of Play via Polygon

Pada Mei 1987, Capcom mengumpulkan distributor arcade di sebuah gym di Philadephia, Amerika Serikat. Di hadapan para distributor tersebut, Capcom memamerkan Street Fighter beserta mesin arcade dengan desain yang berbeda dari mesin arcade kebanyakan. Mereka sukses membuat para distributor arcade tertarik dengan Street Fighter beserta mesin arcade-nya.

Ketika Street Fighter diluncurkan di arcade, game tersebut hadir dengan mesin khusus. Mesin arcade untuk Street Fighter dilengkapi dengan sebuah joystick dan dua tombol lebar yang sensitif terhadap tekanan. Anda bisa menekan kedua tombol itu untuk melakukan tendangan atau pukulan.

“Idealnya, sensor pada tombol akan bisa mendeteksi seberapa kuat sang pemain menekan tombol tersebut,” kata Nishiyama. “Dan para pemain akan bisa mengeluarkan jurus yang berbeda tergantung pada seberapa kuat mereka menekan tombol itu.”

Masalah Pada Mesin Arcade Street Fighter

Capcom sukses membuat Street Fighter beserta mesin arcade khusus dari game itu. Sayangnya, hal itu bukan berarti Capcom tak menemui masalah baru. Kali ini, masalah Capcom adalah memainkan Street Fighter pada mesin arcade dengan tombol yang sensitif pada tekanan menghabiskan banyak tenaga.

“Tujuan Capcom untuk masuk ke bisnis arcade adalah untuk menjaring banyak konsumen, yang rela menghabiskan uang untuk memainkan game kami sehingga kami bisa mendapatkan untung,” ujar Nishiyama. “Dan kami tidak akan bisa mencapai tujuan itu jika memainkan game yang kami buat membuat para gamer lelah.”

Pada akhirnya, Capcom memutuskan untuk mengubah desain mesin arcade untuk Street Fighter. Mereka mengganti dua tombol yang sensitif pada tekanan dengan enam tombol. Dengan begitu, untuk mengeluarkan jurus yang berbeda, Anda cukup menekan kombinasi tombol yang sama sekali berbeda, tanpa harus mempertimbangkan seberapa kuat Anda menekan tombol tersebut. Keputusan Capcom untuk mengubah desain mesin arcade mereka juga sempat mengalami masalah, khususnya terkait peletakan tombol. Pasalnya, ketika Street Figter pertama kali dirilis, kebanyakan game hanya memerlukan joystick dan dua tombol.

“Kami ingin membuat mesin arcade dengan enam tombol. Kami mendapatkan banyak protes dari tim sales karena mereka khawatir orang-orang tidak akan tahu cara untuk memainkan game dengan enam tombol,” ujar Nishiyama. “Meskipun begitu, pada akhirnya kami tetap meluncurkan mesin arcade dengan enam tombol. Dan kami justru mendapatkan banyak komentar positif dari para konsumen.”

SNK “Membajak” Developer Capcom

Street Fighter pertama memang jadi awal mula dari franchise fighting game tersebut. Namun, ekosistem esports dari Street Fighter baru muncul saat Street Fighter 2 diluncurkan pada 1991. Hanya saja, lagi-lagi, jalan Capcom tak mulus. Tidak lama setelah Street Fighter dirilis, seorang headhunter berhasil meyakinkan Nishiyama untuk meninggalkan Capcom dan bergabung dengan SNK. Seolah itu tidak cukup buruk, Nishiyama juga mengajak Matsumoto dan sebagian besar timnya ke SNK. Hal ini membuat hubungan antara kedua perusahaan memburuk.

Dalam beberapa tahun ke depan, persaingan antara Capcom dan SNK memanas. Kedua perusahaan tidak hanya mengembangkan game yang mirip, mereka juga menyelipkan ledekan dalam game mereka. Menariknya, hubungan antara pekerja Capcom dan SNK justru tidak mengalami masalah. Ada banyak developer dari kedua perusahaan yang berasal dari sekolah yang sama atau bermain di arcade yang sama. Tak hanya itu, sebagian dari mereka juga masih sering hang out setelah kerja. Bahkan ada seorang developer SNK yang menikah dengan seseorang yang bekerja di Capcom.

“Saya pikir, memang ada persaingan antara SNK dan Capcom pada era 1980-an,” ungkap Nishiyama. “Tsujimoto dari Capcom dan Kawasaki dari SNK pada awalnya merupakan teman. Namun, hubungan mereka memburuk karena ada sesuatu yang terjadi.” Dua orang yang Nishiyama bicarakan adalah Kenzo Tsujimoto, CEO Capcom dan Eikichi Kawasaki, pendiri SNK.

Setelah Nishiyama bekerja di SNK, dia membuat fighting game baru, Fatal Fury. Dia berkata, jika dia bertahan di Capcom, kemungkinan, sekuel dari Street Fighter akan mirip dengan Fatal Fury. Timnya juga terus berusaha untuk mengeksplor cerita dari masing-masing karakter dalam game itu. Dia juga memperkenalkan konsep baru dalam fighting game, misalnya, kemampuan untuk melompat dari background ke foreground atau sebaliknya.

Ultra Street Fighter 2. | Sumber: RedBull
Ultra Street Fighter 2. | Sumber: RedBull

Sementara itu, Capcom membuat sekuel dari Street Fighter. Tim developer untuk Street Fighter 2 dipimpin oleh Yoshiki Okamoto. Dalam sekuel Street Fighter, dia berhasil memperbaiki hampir semua aspek dari game pertama, mulai dari tampilan game, gameplay, sampai jumlah karakter yang bisa dimainkan.

Bagaimana Street Fighter Jadi Game Esports?

Komunitas esports dari Street Fighter mulai muncul setelah Capcom merilis Street Fighter 2. Game itu diluncurkan untuk arcade pada 1991. Satu tahun kemudian, game tersebut bisa dimainkan di konsol. Turnamen grassroots mulai muncul di berbagai arcade lokal, khususnya di Jepang dan pesisir Barat dan Timur dari Amerika Serikat.

Pada 2004, muncul dua pemain bintang di scene esports Street Fighter, yaitu Justin “Marvellous” Wong dan Daigo “The Beast” Umehara. Pertarungan antara keduanya sempat menjadi viral, membuat turnamen Street Fighter menjadi semakin populer. Ketika itu, Daigo menggunakan Ken sementara Justin memainkan Chun-Li. Justin berhasil mendesak Daigo, yang health bar-nya sudah sangat tipis. Namun, Daigo berhasil membalikkan keadaan. Dia tidak hanya berhasil menangkis serangan Justin, dia juga dapat meng-KO lawannya.

Banyak orang percaya, pertarungan antara Daigo dan Justin tersebut membuat banyak orang kembali tertarik tidak hanya dengan turnamen Street Fighter, tapi juga scene esports dari fighting game.

Pada 2008, Capcom merilis Street Fighter 4 untuk arcade  di Jepang. Saat itu, banyak fans Street Fighter yang mengira bahwa Capcom tak lagi tertarik dengan franchise tersebut. Tak heran, mengingat terakhir kali Capcom merilis game Street Fighter adalah pada 1999, yaitu Street Fighter III: 3rd Strike. Namun, Producer Capcom, Yoshinori Ono berhasil meyakinkan perusahaan untuk menghidupkan kembali franchsie Street Fighter. Pada 2009, Capcom merilis Street Fighter 4 untuk konsol. Keputusan Capcom tersebut berhasil menghidupkan kembali scene esports dari game tersebut.

“Alasan utama mengapa kami meluncurkan Street Fighter 4 adalah karena banyak media yang membahas game tersebut dan minat fans akan game Street Fighter yang tidak ada habisnya,” kata Ono. “Ketika itu, saya hanya ingin membuat game yang bisa ditonton oleh keluarga saat saya memainkannya. Scene esports Street Fighter sekarang mungkin terlahir dari konsep ini. Namun, ketika itu, saya tidak memiliki rencana sejauh itu.”

Sementara itu, Matt Dahlgren, Product Manager, Capcom mengatakan, melalui Street Fighter 4, Capcom mencoba untuk mengembalikan fitur-fitur dalam Street Fighter 2 yang membuat game itu sangat disukai oleh banyak orang, seperti sistem Focus Attack.

Sejak peluncuran Street Fighter 4, komunitas fighting game terus tumbuh. Evolution Championship Series alias Evo kini menjadi salah satu turnamen fighting game terbesar. Jumlah penonton Evo, baik yang menonton secara langsung langsung maupun secara online, terus naik. Seiring dengan semakin populernya Evo, semakin banyak pula perusahaan yang tertarik untuk menjadi sponsor dari turnamen itu.

Semakin populernya turnamen fighting game menarik perhatian sejumlah publisher game. Sebagian dari mereka memutuskan untuk memasukkan game mereka dalam kompetisi seperti Evo. Dan ketika Capcom mengumumkan bahwa mereka akan meluncurkan penerus dari Street Fighter 4, para pemain profesional dan penyelenggara turnamen sibuk untuk mengembangkan scene esports dari fighting game agar menjadi semakin profesional.

Pada 2013, Capcom mengungkap bahwa mereka akan meluncurkan liga profesional premier sendiri, yaitu Capcom Pro Tour. Kompetisi tersebut akan melibatkan sejumlah turnamen internasional yang disponsori oleh Capcom. Saat Capcom merilis Street Fighter 5 pada 2016, Capcom memanfaatkan momentum untuk mengembangkan komunitas Street Fighter.

 

Penutup

Street Fighter sukses menjadi salah satu franchise game paling sukses. Sekarang, komunitas esports dari game ini juga terus berkembang. Berbagai turnamen Street Fighter ada di skala global, menarik banyak sponsor. Hal ini akan membuat ekosistem esports Street Fighter dapat bertahan. Dan esports bisa menjadi alat marketing yang baik bagi sebuah game untuk menarik gamer baru.

Sumber: Polygon, RedBullThe Esports Observer

Sumber header: PlayStation

Buat Tweet Rasis, Pemain Pro Ini Dilarang Ikuti Capcom Pro Tour Seumur Hidup

Pada hari Sabtu, 13 Juni 2020, pemain profesional Ryan “FChampion” Ramirez mengunggah foto semangka ke Twitter dengan tagar #WatermelonLivesMatter. Tweet itu mengundang kemarahan fans fighting game karena dianggap meremehkan gerakan Black Lives Matter, yang memperjuangkan kesetaraan hak untuk orang-orang berkulit hitam di Amerika Serikat. Dia lalu menghapus tweet tersebut dan meminta maaf. Meskipun begitu, Capcom tetap memutuskan untuk melarang Ramirez ikut serta dalam Capcom Pro Tour dan Street Fighter League.

“Dengan ini, kami menyatakan bahwa Ryan ‘FChamp’ Ramirez dilarang untuk ikut serta dalam semua kegiatan esports di bawah Capcom, termasuk Capcom Pro Tour dan Street Fighter League karena telah melanggar peraturan yang telah kami tetapkan terkait perilaku pemain,” kata Capcom melalui Twitter. “Larangan ini bersifat global dan berlaku untuk semua turnamen dan kegiatan esports yang kami adakan di seluruh dunia.”

pemain pro rasis
Ryan “FChamp” Ramirez pernah memenangkan EVO 2012. | Sumber: Liquipedia

Dalam dunia esports, Ramirez menggunakan julukan “FChamp”, yang merupakan singkatan dari “Filipino Champ”. Dia adalah salah satu pemain Marvel vs. Capcom paling sukses dalam sejarah. Pada 2012, dia memenangkan Evolution Championship Series (EVO) untuk game Ultimate Marvel vs. Capcom 3, yang dibuat oleh Capcom. Dia juga mencoba untuk berkompetisi di Street Fighter IV dan Street Fighter V. Pada 2016, dia lolos babak kualifikasi dari Capcom Cup untuk Street Fighter V. Pada tahun berikutnya, dia duduk di posisi 7/8 dalam EVO 2017 untuk game Street Fighter V.

Sepanjang karirnya, Ramirez memang dikenal dengan kebiasaannya untuk menghina musuhnya. Terkait larangan Capcom ini, Ramirez percaya, hal itu tidak lebih dari PR stunt dengan tujuan untuk menunjukkan bahwa perusahaan game itu peduli akan isu kesetaraan. Pasalnya, dia mengaku, dia tidak pernah ikut serta dalam Capcom Pro Tour selama dua tahun belakangan.

Kematian George Floyd, seorang pria berkulit hitam, pada akhir Mei 2020 mendorong warga Amerika Serikat untuk melakukan protes, menuntut kesetaraan hak bagi orang-orang berkulit hitam. Gerakan ini mendorong sejumlah publisher game berjanji untuk lebih aktif dalam mengatasi masalah rasisme di komunitas game mereka. Selain itu, sejumlah perusahaan game memiliki inisiatif untuk memberikan donasi bagi kaum minoritas.

Sumber: ESPN, GamesIndustry

Sumber header: PCMag

Bos Esports Capcom Bicarakan Masa Depan Street Fighter V

Selama ini, perkembangan Fighting Game sebagai esports besar salah satunya berkat komunitasnya. Namun demikian, peran developer tetap menjadi penting untuk agar komunitas tidak kehilangan semangatnya untuk terus mengembangkan semangat kompetisi dari para pemain game tersebut.

Dalam beberapa kasus, beberapa pengembang terbilang “lepas tangan” terhadap apa yang dilakukan komunitas. Salah satunya mungkin seperti perilaku Nintendo terhadap komunitas Super Smash Brawl. Meski mereka sudah mencoba menjelaskan alasannya tidak sokong esports, namun hal ini tetap sulit untuk diterima komunitas. Mereka juga sempat diprotes oleh salah seorang pemain Smash profesional, Juan DeBiedma (HungryBox).

Tapi dalam kasus lain, ada juga Capcom yang semangat terus mendukung gerakan esports di dalam komunitas pada salah satu game fighting terpopuler besutannya, Street Fighter V.

Dalam sebuah wawancara resmi dari Capcom, Nobuhiko Shimizu, Head of Esports Business Division sempat berbagi pandangannya terhadap FGC Street Fighter V. Wawancara tersebut dibuka dengan pengakuan Shimizu soal keterlambatan Capcom untuk terjun ke dalam esports.

Sumber: Capcom
Sumber: Capcom

Namun itu semua terjadi karena hukum di Jepang yang sempat menganggap kompetisi game sebagai perjudian. “Jepang mungkin terbilang terlambat dalam esports. Namun kami di Capcom berkomitmen sangat tinggi untuk membuat sebuah lingkungan yang sehat untuk para atlit (pro player) dan juga sponsor potensial.”

Lebih lanjut Capcom lalu membahas soal sistem kompetisi terbuka dan peran komunitas. Anda pembaca setia Hybrid mungkin sadar akan perkembangan tren sistem kompetisi tertutup atau Franchise Model. Model ini sudah diadaptasi banyak penyelenggara karena dianggap akan jadi tren masa depan. Yang terbaru ada Liga LoL Korea yang akan mengadaptasi model ini di tahun 2021.

Namun demikian Shimizu mengaku bahwa mereka menyokong penuh ide soal kompetisi terbuka. “Menciptakan lingkungan yang jadi tempat berkembang bagi semua elemen mulai dari atlit, penonton, developer, sponsor, dan penyelenggara, adalah hal yang vital untuk mencapai kesuksesan.” ucap Shimizu.

Membawa analogi ibarat laut pasang akan membawa naik semua kapal, Shimizu menjelaskan bahwa memiliki ekosistem yang memberikan kesempatan bagi semua orang, baik pelaku bisnis atau penonton adalah hal yang vital bagi Capcom.

Shimizu juga berbagi soal Capcom Pro League yang menyajikan pertarungan 3v3. Ia menjelaskan salah satu tujuan liga tersebut adalah untuk memberi kesempatan anggota tim untuk berkembang bersama. Makanya iterasi pertama Capcom Pro League menyajikan pertarungan dengan tim yang berisikan pemain pro, pemain amatir tingkat tinggi, dan pemain biasa. Hal ini juga, yang mungkin bisa dibilang sebagai bentuk dukungan Capcom terhadap para pemain dalam ekosistem esports ideal yang dibayangkan oleh mereka.

Menutup bincang-bincang tersebut, Shimizu juga memberikan pandangan masa depannya. “Satu hal yang dipercaya oleh presiden Capcom, Haruhiro Tsujimoto juga, bahwa esports punya potensi untuk menjadi lebih dari sekadar kompetisi saja.” Ucapnya.

“Capcom telah menyelenggarakan turnamen Street Fighter selama 30 tahun, sejak turnamen di Ryogoku Kokugikan di tahun 1992 sampai sekarang. Kami merasa memiliki kewajiban yang kuat untuk terus membantu perkembangan esports, baik sebagai komoditas ekonomi atau budaya.”

“Kami paham, masih banyak hal yang perlu diperbaiki. Namun semua dari kami, termasuk manajemen atas sangat bersemangat melihat masa depan. Kami bekerja keras untuk membawa esports kepada kalian semua, baik itu Amerika Utara, Eropa, Jepang, ataupun Asia.” tutup Shimizu dalam sesi tanya jawab tersebut.

Pandemi COVID-19 memang masih menjadi masalah yang berat bagi semua pihak, termasuk bagi esports. Dalam kasus FGC, awal April lalu kita menemukan kompetisi Combo Breaker 2020 akhirnya terpaksa digagalkan.

Namun ini bukan berarti kita harus pesimis dengan masa depan. Melihat apa yang disampaikan Capcom, mari kita berharap semoga esports Street Fighter V bisa terus berkembang, dan bertahan di masa depan.

Versi Demo Resident Evil 3 Remake Bisa Dimainkan pada 19 Maret

Setelah sukses menghidangkan remake Resident Evil 2 yang menuai banyak pujian tahun lalu, Capcom kini sedang bersiap untuk merilis remake Resident Evil 3. Berdasarkan pengumumannya, RE3 dijadwalkan hadir pada tanggal 3 April 2020, namun sebelumnya, Capcom bermurah hati merilis versi demo-nya terlebih dulu.

Versi demo-nya ini siap dimainkan pada tanggal 19 Maret melalui PlayStation 4, Xbox One, maupun PC (Steam). Mengapa harus ada versi demo-nya? Sepertinya Capcom ingin menekankan sekali lagi bahwa RE3 bukanlah game shooter tradisional yang bertemakan zombie, melainkan game horor dengan elemen survival yang amat kental.

Resident Evil 3 Remake

Capcom sendiri bilang bahwa RE3 bakal menyajikan lebih banyak elemen action ketimbang RE2, tapi itu bukan berarti kita bisa asal memberondong begitu saja. Sama seperti di RE2, pemain harus memanfaatkan amunisi seefisien mungkin, dan itu sudah bisa kita rasakan lewat versi demo-nya ini.

Sekadar mengingatkan, game ini merupakan remake dari Resident Evil 3: Nemesis yang dirilis di tahun 1999. Narasi yang diangkat kurang lebih sama, dan masih mengisahkan perjuangan salah satu tokoh lama franchise Resident Evil, Jill Valentine, di Raccoon City.

Resident Evil 3 Remake

Kabar baiknya, versi demo RE3 dapat kita mainkan tanpa batas waktu. Kalau mau, kita bebas memainkan versi demo-nya sampai berkali-kali sebelum versi penuhnya dirilis tidak lama kemudian.

Dalam kesempatan yang sama, Capcom juga mengumumkan bahwa Resident Evil Resistance akan memasuki fase open beta pada 27 Maret. RE Resistance merupakan game co-op multiplayer yang akan dibundel bersama remake RE3.

Sumber: Eurogamer.

Daftar Publisher Game Terbaik di 2020 Versi Metacritic

2019 merupakan tahun gaming mengagumkan. Di kuartal pertama saja, bermunculan banyak kandidat Game of the Year. Respons positif gamer dan pers terhadap judul-judul tersebut tentu saja mengangkat kepopuleran perusahaan yang memublikasikannya. Dan selama satu dekade terakhir, situs agregat review Metacritic berupaya untuk terus mengapresiasi para publisher berprestasi dengan menyingkap ranking tahunan.

Meneruskan tradisinya, Metacritic baru saja mengumumkan daftar publisher terbaik di 2020 berdasarkan tinggi rendahnya review game yang dirilis di tahun lalu. Namun berbeda dari sebelumnya, Metacritic tak lagi membagi publisher dalam dua kelompok (besar dan kecil), namun memasukkan nama yang memublikasikan lima judul permainan atau lebih. Jika kurang dari itu, Metacritic tidak mencantumkannya.

Metode ini ternyata membuahkan hasil menarik dan tidak diduga. Ada sedikit catatan penting di sini: Metacritic tidak menyertai game yag dirilis publisher untuk iOS, kemudian mungkin susunannya sedikit membingungkan Anda – karena ada publisher dengan nilai rata-rata game lebih tinggi yang berada di urutan lebih rendah. Hal ini disebabkan oleh eksistensi dari permainan ber-Metascore 90 lebih serta judul-judul yang mempunyai ‘rapor merah’.

Berikut daftar 20 besarnya:

1. 505 Games

Rata-rata skor review game: 80

Metascore 90+: 0

Judul terbaik: Control, Bloodstained: Ritual of the Night

2. Activision Blizzard

Rata-rata skor review game: 79,9

Metascore 90+: 1

Judul terbaik: Sekiro: Shadows Die Twice

3. Nintendo

Rata-rata skor review game: 80

Metascore 90+: 0

Judul terbaik: Fire Emblem: Three Houses, Super Mario Maker 2

4. Paradox Interactive

Rata-rata skor review game: 77,8

Metascore 90+: 0

Judul terbaik: Age of Wonders: Planetfall

5. Capcom

Rata-rata skor review game: 79,1

Metascore 90+: 2

Judul terbaik: Resident Evil 2, Monster Hunter: World – Iceborne

6. Annapurna Interactive

Rata-rata skor review game: 80,5

Metascore 90+: 0

Judul terbaik: Outer Wilds, Telling Lies

7. Xbox Game Studios (Microsoft Studios)

Rata-rata skor review game: 76,4

Metascore 90+: 0

Judul terbaik: Ori and the Blind Forest (Switch)

8. Humble Bundle

Rata-rata skor review game: 76,2

Metascore 90+: 0

Judul terbaik: Slay the Spire

9. Square Enix

Rata-rata skor review game: 76,1

Metascore 90+: 3

Judul terbaik: Final Fantasy XIV: Shadowbringers, Dragon Quest XI S: Echoes of an Elusive Age (Switch), NieR: Automata – Game of the YoRHa Edition

10. Devolver Digital

Rata-rata skor review game: 76,0

Metascore 90+: 0

Judul terbaik: Downwell, GORN, Ape Out

11. Focus Home Interactive

Rata-rata skor review game: 74,7

Metascore 90+: 0

Judul terbaik: A Plague Tale: Innocence

12. Take-Two Interactive

Rata-rata skor review game: 74,9

Metascore 90+: 1

Judul terbaik: The Outer Worlds, Red Dead Redemption 2 (PC)

13. Electronic Arts

Rata-rata skor review game: 75,2

Metascore 90+: 0

Judul terbaik: Apex Legends

14. Ubisoft

Rata-rata skor review game: 73,3

Metascore 90+: 0

Judul terbaik: Trials Rising, Tom Clancy’s The Division 2

15. Team17

Rata-rata skor review game: 74,7

Metascore 90+: 0

Judul terbaik: Yooka-Laylee and the Impossible Lair, Blasphemous

16. Spike Chunsoft

Rata-rata skor review game: 75,3

Metascore 90+: 0

Judul terbaik: Steins;Gate Elite

17. Koei Tecmo Games

Rata-rata skor review game: 74,7

Metascore 90+: 0

Judul terbaik: –

18. Sega

Rata-rata skor review game: 73,4

Metascore 90+: 0

Judul terbaik: Total War: Three Kingdoms

19. Bandai Namco

Rata-rata skor review game: 71,4

Metascore 90+: 0

Judul terbaik: Ni no Kuni: Wrath of the White Witch Remastered

20. Konami

Rata-rata skor review game: 69,9

Metascore 90+: 0

Judul terbaik: eFootball PES 2020

Ada total 40 publisher yang masuk dalam daftar Metacritic. Lewat dari grup 20 besar, nama-nama yang muncul di sana mungkin mulai terdengar kurang familier – kecuali Sony, THQ Nordic dan Bethesda.

Ini Dia Para Pemenang Golden Joystick Awards 2019, Resident Evil 2 Rebut Gelar Paling Bergengsi

Golden Joystick Awards juga dikenal sebagai People’s Gaming Awards karena ajang pemberian penghargaan gaming tersebut mempersilakan khalayak untuk berpartisipasi langsung dalam proses pemilihan judul permainan terbaik. Event tahun ini (Golden Joystick Awards ke-37) kembali diikuti oleh jutaan peserta dan seremoninya telah dilangsungkan di Bloomsbury Big Top di kota London minggu lalu.

Seperti biasa, para gamer dipersilakan memilih permainan favorit mereka selama 12 bulan ke belakang. Game-game di Golden Joystick Awards 2019 terbagi ke lebih dari 20 kategori, termasuk pemberian penghormatan pada sosok yang berjasa pada industri, aktor/aktris, streamer, hingga hardware terbaik. Tentu saja, di sana ada pula pemilihan permainan terfavorit di 2019, jatuh pada remake salah satu game survival horror fenomenal.

Daftar lengkap pemenang Golden Joystick Awards ke-37 bisa Anda simak di bawah:

  • Best Storytelling – Days Gone
  • Best Multiplayer Game – Apex Legends
  • Still Playing Award – Minecraft
  • Best Visual Design – Devil May Cry 5
  • Best Indie Game – Outer Wilds
  • Esports Game of the Year – Fortnite
  • Best Audio – Resident Evil 2
  • Best Game Expansion – GTA Online: Diamond Casino Update
  • Best VR/AR Game – Beat Saber
  • Best Gaming Hardware – Nvidia 20-Series Super Graphics Card
  • Best Performer – Logan Marshall-Green
  • Studio of the Year – Epic Games
  • Best New Streamer/Broadcaster – Soleil ‘Ewok’ Wheeler
  • Breakthrough Award – House House
  • Mobile Game of the Year – BTS World
  • Outstanding Contribution – Life is Strange
  • PC Game of the Year – World of Warcraft Classic
  • PlayStation Game of the Year – Days Gone
  • Xbox Game of the Year – Gears 5
  • Nintendo Game of the Year – Super Smash Bros. Ultimate
  • Most Wanted Game – Cyberpunk 2077
  • Critics’ Choice Award – Control
  • Lifetime Achievement – Yu Suzuki

Gelar paling bergengsi sendiri – Ultimate Game of the Year – diperebutkan oleh tidak kurang dari 12 permainan. Game-game di sana merupakan judul-judul terkuat di 2019, menyajikan gameplay berbeda dan dijagokan oleh penggemar beratnya masing–masing. Ini dia daftar nominasinya (lengkap dengan nama publisher serta developer-nya).

  • Apex Legends (EA / Respawn Entertainment)
  • Call of Duty: Modern Warfare (Activision Blizzard / Infinity Ward)
  • Control (505 Games / Remedy Entertainment)
  • Disco Elysium (Studio ZA/UM / Studio ZA/UM)
  • Fire Emblem: Three Houses (Nintendo / Intelligent Systems)
  • Gears 5 (Xbox Game Studios / The Coalition)
  • Outer Wilds (Annapurna Interactive / Mobius Digital)
  • Resident Evil 2 (Capcom / Capcom)
  • Sekiro: Shadows Die Twice (Activision / FromSoftware)
  • Telling Lies (Annapurna Interactive / Furious Bee)
  • The Outer Worlds (Private Division / Obsidian Entertainment)
  • Untitled Goose Game (House House / Panic Inc.)

Pada akhirnya, Resident Evil 2  remake-lah yang sukses merebut gelar Ultimate Game of the Year di Golden Joystick Awards 2019. Game ini dirilis di awal tahun dan hingga saat ini Resident Evil 2 terus mengamankan urutan pertama permainan dengan skor rata-rata tertinggi di situs agregat review seperti OpenCritic serta Metacritic. Walaupun penyajiannya sangat berbeda dari versi tahun 1998-nya, Capcom berhasil menghindangkan pengalaman petualangan yang tak kalah mengerikan.

Berkat Resident Evil 2, zombie kembali terasa menakutkan. Dan dengan pemanfaatan perspektif kamera yang berbeda, Capcom mencoba mencari cara baru untuk menyembunyikan musuh – memanfaatkan faktor-faktor seperti pencahayaan dan asap. Desain audio juga memegang peranan penting di game. Suara-suara objek serta bunyi-bunyian yang dikeluarkan oleh mayat hidup jelas membuat permainan jadi lebih mencekam, dan inilah alasannya mengapa Resident Evil 2 sukses pula merebut titel Best Audio.

Via GamesRadar+.