Startup Agrotech Chilibeli Terapkan Pendekatan “Social Commerce” dan Pemberdayaan Komunitas

Sektor pertanian di Indonesia memiliki potensi bisnis yang sangat besar. Pun bagi startup digital yang menggarap solusi di bidang tersebut. Namun tantangannya, para inovator akan dihadapkan pada isu-isu dengan karakteristik yang unik. Pemain baru yang mencoba peruntungan adalah Chilibeli, mengangkat konsep pemberdayaan komunitas dipadukan dengan platform social commerce.

Konsep bisnis Chilibeli menjembatani produk segar dari petani (sepertisayur-mayur, buah-buahan dll) dengan konsumen akhir. Yang membedakan dengan kanal e-commerce lainnya, pemesanan dilakukan per komunitas, bukan secara individu. Alex Feng selaku founder & CEO mengungkapkan, pendekatan ini diusung dari kebiasaan masyarakat Indonesia yang gemar berkumpul dan beraktivitas bersama dengan orang lain di sekitar tempat tinggalnya.

Dengan menggunakan model C2M (customer to manufacturer), Alex meyakini cara ini dapat mengakali tantangan menjual produk segar langsung ke tangan pembeli. Ia mengklaim Chilibeli saat ini adalah satu-satunya agritech yang memakai sistem itu di Indonesia.

“Kita harus membuat pemesanan sebelumnya, mengumpulkan permintaan, menginformasikan ke supplier, lalu mengirim produk ke gudang; dan kami akan mengirimnya ke agen. Dengan demikian kita bisa memastikan kesegaran, mendorong efisiensi dan mengurangi kerugian,” imbuh Alex.

Pendanaan dan target

Sebagai platform yang menghubungkan pembeli akhir dengan penyuplai, Chilibeli mengambil keuntungan dari selisih harga yang mereka peroleh. Dengan beragam jenis pangan yang mereka jual, mereka mengakomodir tiga jalur penyuplai yakni petani, pedagang grosir dan pasar.

Dari skema tersebut, pihaknya menargetkan operasional yang selalu profit. Tahun ini mereka menargetkan memperoleh pendapatan US$120 juta atau Rp1,6 triliun.

Soal pendanaan, startup yang berdiri sejak tahun 2019 tersebut kini sudah mengantongi investasi seri A, persisnya pada Desember 2019 dengan nominal US$10 juta atau sekitar Rp137 miliar. Adapun investor yang berpartisipasi meliputi Lightspeed Venture Partners dan Northstar Group. Tak lama lagi, tepatnya kuartal kedua atau ketiga tahun ini, Chilibeli berniat membuka putaran seri B.

Sebelumnya Chilibeli juga masuk dalam program akselerasi Surge yang diinisiasi oleh Sequoia di tahun 2019.

Alex mengatakan visinya menjadi social commerce terbesar di Asia Tenggara untuk produk pertanian. Untuk itu mereka berniat segera melebarkan area pelayanan mereka ke Jawa Timur dan Jawa Tengah, diikuti dengan penambahan fasilitas gudang di sekitarnya. Seperti diketahui sekarang Chilibeli hanya dapat melayani pelanggan di Jakarta dan sekitarnya.

“Tidak ada pemain lain di negeri ini yang memakai sistem komunitas untuk produk segar, tidak ada baik itu B2B ataupun B2C. Kami memberdayakan ibu-ibu dan komunitas dengan mengombinasikan social commerce dan produk segar,” pungkas Alex.

Application Information Will Show Up Here

Tiga Startup Indonesia Terpilih dalam Surge, Program Akselerasi Milik Sequoia

Surge, program akselerator dari Sequoia India, memperkenalkan tiga startup baru asal Indonesia yang menjadi bagian dari program akselerasi mereka pada 2019 ini.

Surge kini telah menjalankan dua gelombang program akselerasi. Gelombang kedua Surge menghadirkan 20 startup asal India dan Asia Tenggara, tiga di antaranya dari Indonesia yakni Storie, Chilibeli, dan Rukita.

Storie sendiri adalah platform yang berisi review produk gaya hidup untuk memberi referensi bagi konsumen. Sementara Chilibeli adalah platform social commerce yang menghubungkan petani dengan agen dalam memasarkan produknya. Sedangkan Rukita merupakan startup proptech yang membuat solusi co-living untuk milenial di perkotaan.

Gelombang sebelumnya yang diikuti 17 startup, Surge juga memilih dua startup asal Indonesia yakni Bobobox dan Qoala.

Dalam program ini Surge menggelontorkan US$1 juta hingga US$2 juta kepada masing-masing startup. Adapun pembekalan yang diberikan meliputi cara melakukan pendanaan, akses ke mentor kelas dunia, pengembangan talenta, hingga studi banding ke pusat-pusat teknologi dunia.

“Program ini membawa startup terpilih untuk belajar ke kota-kota seperti Singapura, Bengaluru, Beijing, hingga Silicon Valley,” ujar Director Surge Rajan Anandan.

Nama Sequoia Capital sebagai venture capital cukup harum di Indonesia karena sejumlah investasi besar yang ia berikan kepada startup ternama seperti Tokopedia, Gojek, atau Traveloka. Kehadiran Surge sebagai akselerator startup berusia dini jadi taring baru Sequoia.

Namun menurut Rajan, Sequoia sudah lama aktif mendukung startup berusia dini. Adapun alasan mereka membentuk Surge adalah besarnya peluang yang tercipta dari startup baru yang kerap diikuti oleh besarnya kendala yang harus dihadapi.

“Memulai sebuah perusahaan sangat sulit, ada begitu banyak tantangan seperti fundraising, hiring, membangun fondasi perusahaan, mencari mentor yang tepat, hingga menggelar pendanaan baru. Pengumpulan dana jauh lebih berat ketika perusahaan masih berstatus seed,” imbuh Rajan.

Selesai dengan gelombang kedua, Surge mengumumkan pendaftaran program gelombang berikutnya sudah bisa diikuti. Surge tidak menargetkan jumlah startup yang akan mereka bina namun menekankan startup ideal adalah founder yang andal dan industri yang masih punya ruang cukup besar untuk dieksplorasi.

Program akselerasi Surge berlangsung selama sepekan dalam empat bulan. Sistem yang mereka gunakan pun bersifat open architecture, artinya investor lain bisa ikut dalam putaran pendaan Surge yang pertama.

Seperti dalam laporan Google & Temasek 2019, Asia Tenggara masih menjadi kawasan seksi bagi para pelaku ekonomi digital. Dalam laporan terbaru itu, ekonomi yang dimotori internet di kawasan Asia Tenggara mencapai US$100 miliar dan angka itu diprediksi terus meroket hingga US$300 miliar pada 2025.

Vietnam dan Indonesia menjadi poros utama pertumbuhan tersebut dengan tingkat pertumbuhan mencapai 40 persen per tahun.