Agate Perkuat Lini B2B, Bentuk Unit Khusus Pengembangan Game 3D

Startup game developer asal Bandung Agate mengumumkan Vertx Break, sub-brand khusus pengembangan game 3D. Sub-brand ini merupakan yang kedua, setelah Level Up yang diumumkan Agate pada 2019.

Langkah ini merupakan bagian dari strategi Agate memperdalam bisnis B2B2C yang menjadi fokus utama perusahaan, mengingat kontribusinya yang signifikan sebesar 90% dibandingkan segmen B2C dari total bisnis per tahun lalu.

Dalam konferensi pers yang digelar Agate di kantor pusatnya di Bandung pada hari ini (16/1), Co-founder & CEO Agate Shieny Aprilia menyampaikan pembentukan Vertx Break dilatar belakangi oleh naiknya kebutuhan dari perusahaan pengembang game global yang makin bergantung pada pihak ketiga dalam membantu percepat produksi sebuah game.

Demand yang nature paling dicari itu bagian art, sebab dalam lifecycle produksi game butuh partner untuk memenuhi kebutuhan tersebut karena mereka tidak bisa bergantung dari internal saja. Kami melihat kebutuhan tersebut makin besar, terutama untuk 3D dan high quality, ditambah game ready,” ujarnya.

Chief Strategy Officer Agate Cipto Adiguno menambahkan, perkembangan industri game yang pesat secara global, turut menuntut tingginya kualitas konten dari konsumen. Membuat IP (Intellectual Property) baru pun diprediksi makin sulit karena risikonya yang besar. Makanya alternatif tersisa adalah mengembangkan dari IP lama atau membuat sekuel.

Agar mencapai ekspektasi tersebut, perusahaan biasanya membutuhkan kehadiran mitra bisnis dengan kapabilitas dan reputasi baik. Agate menjawab kebutuhan tersebut dengan membentuk Vertx Break yang berfokus pada 3D Stylized Art berkualitas tinggi dan game ready. Layanannya meliputi: 3D Character, 3D Equipment & Outfit, 3D Environment Props, dan 3D Hard Surface.

Kombinasi ini memungkinkan karya yang dihasilkan tidak hanya menawan secara visual, namun juga siap diaplikasikan ke produk game secara keseluruhan. Kelebihan dari Agate ini dinilai belum banyak bisa dihadirkan oleh perusahaan global kebanyakan.

“Umumnya banyak perusahaan yang tidak punya pipeline yang rigid untuk suatu game baru. Harus multi test dan tidak ada struktur untuk memasukkan art secara rigid. Dalam situasi ini kita sudah punya experience yang bisa di-adapt dan di-costumized sesuai kebutuhan mereka,” imbuh Cipto.

Target pengguna yang dibidik adalah perusahaan pengembang game skala AA di Eropa. Menurut Cipto, karakteristik pengembangan dan genre game di kawasan tersebut selaras dengan portofolio game yang selama ini Agate kerjakan, yakni fokus di konsol dan PC.

Sudah ada beberapa klien dari Eropa dan Asia Tenggara yang sedang menggunakan jasa tim Vertx Break. Tim ini terdiri dari delapan orang dengan keahlian teknis dan visi artistik yang memanfaatkan pengalaman Agate dalam membuat sejumlah game menggunakan Unreal Engine dan Unity. Beberapa portofolio game yang telah dikerjakan tim Vertx Break, seperti Street Fighter, Marvel vs Capcom Infinite, World of Tanks, Final Fantasy XIV, dan World Warcraft.

Model bisnis yang dipakai di Vertx Break ini adalah beli putus, paling umum di industri game untuk sebuah external game development. “Namun kami juga sangat terbuka memasukkan services lain milik Agate ke Vertx Break.”

Head of Vertx Break Agate Ar Cahyadi Indra menuturkan, “Fokus ini memungkinkan kami membangun percakapan yang lebih relevan dengan strategi bisnis art outsourcing kami. Melalui pendekatan unik kami sebagai game art development partner yang resourceful dan adaptable untuk kebutuhan 3D Art Development, partner kami dapat menghemat banyak waktu penyesuaian dan perbaikan jika berkolaborasi dengan Agate.”

Rencana Agate

Sebagai bagian dari rencana Agate yang ingin perkuat B2B2C, selain memperkenalkan Vertx Break, perusahaan juga akan melanjutkan ekspansi regionalnya ke pasar Amerika dengan membentuk tim perwakilan di sana untuk perbanyak portofolio bisnisnya (co-development). Sejauh ini, Agate telah hadir di empat negara, yakni Kanada, Jerman, Korea Selatan, dan Jepang.

Di saat yang bersamaan, perusahaan juga terus meningkatkan proses pengembangan internal dan meningkatkan kualitas output melalui inisiatif proyek R&D bersama para mitra sebelumnya yang telah sukses dilaksanakan. Mereka adalah Naver Z, PQube, dan Freedom Games.

Terakhir, Agate berkomitmen mengembangkan keahlian para talenta lokal serta kualitas kepemimpinannya untuk mendorong percepatan pertumbuhan industri game di tanah air melalui Agate Academy. Saat ini karyawan Agate berjumlah 248 orang dengan kantor pusat di Bandung, Jawa Barat.

Pada tahun lalu, Agate secara konsisten berperan aktif dalam mempromosikan industri game lokal. Tercatat ada lebih dari 35 acara di ranah internasional, yang sebagian besar diselenggarakan di Eropa dan Amerika telah dihadiri.

Selain itu, Agate juga menjalin kemitraan baru dengan 5 perusahaan global, yaitu ISKRA, Naver Z (ZEPETO), PQube, Ifland, dan Sekuya. Agate juga merilis 14 proyek global dan memulai 4 proyek game baru, pencapaian ini naik dibandingkan tahun sebelumnya.

Mengutip dari data Statista, memasuki tahun 2024, pasar video game global diproyeksikan akan mencapai pendapatan sebesar $282,30 miliar dengan peningkatan 13%, serta diperkirakan akan tumbuh sebesar 8,76% (YoY) antara tahun 2024 dan 2027, menghasilkan volume pasar yang diproyeksikan sebesar $363,2 miliar pada tahun 2027.

Selain itu, Agate memprediksi beberapa aspek yang akan tumbuh dalam sektor industri game tahun ini, di antaranya franchise games yang akan terus mendominasi; kemungkinan adanya konsol baru yang akan memasuki pasar, sehingga dapat membuka banyak peluang baru bagi para pengembang game di seluruh dunia; serta penggunaan Artificial intelligence (AI) yang dapat membantu mempercepat proses pengembangan game.

Menentukan Masa Depan Industri Game Indonesia

Industri game di Indonesia masih memiliki peluang untuk menguasai pasar sendiri yang terlanjur terkepung pemain dari luar negeri. Mengacu pada hasil riset yang dipublikasi Newzoon dan Kominfo di 2016, industri game Indonesia tumbuh 86,92% menjadi US$600 juta dibandingkan tahun sebelumnya. Di tahun 2014, nilainya baru mencapai US$180 juta.

Hanya saja dari porsi tersebut yang bisa dinikmati pengembang lokal kurang lebih berkisar 10% saja atau sekitar US$60 juta. Sisanya dikuasai pemain asing.

Masih kecilnya porsi pengembang lokal terjadi karena masih adanya pekerjaan rumah yang harus diselesaikan seluruh stakeholder. Salah satu tantangannya adalah lemahnya branding dengan minimnya investasi untuk dorong industri game lokal.

Gambaran Industri Game di Indonesia pada 2015 / Newzoo
Gambaran Industri Game di Indonesia pada 2015 / Newzoo

Cipto Adiguno, Deputi Akses Jaringan dan Permodalan Asosiasi Game Indonesia (AGI), menjelaskan industri game tergolong baru di Indonesia. Branding masih belum kuat untuk bersaing dengan pemain dari luar negeri. Dia menilai branding sangat erat kaitannya dengan investasi karena branding yang lemah berpengaruh pada jumlah investasi untuk industri game saat ini tergolong minim.

“Kita agak susah jual branding game lokal karena industri ini masih baru, karena branding yang belum kuat membuat investor jadi kurang berminat untuk investasi game di sini. Kita tidak bisa branding kalau tidak punya investasi karena tidak bisa buat game yang besar. Di sisi lain, investasi tidak akan datang kalau tidak ada branding. Dua hal ini jadi berkesinambungan,” ucapnya, Kamis (16/3).

Indonesia, sambungnya, belum memiliki branding yang kuat sebagai negara pembuat game, beda halnya dengan Jepang. Indonesia lebih dikenal sebagai negara konsumen, yang akan menggelontorkan uangnya untuk membeli merchandise dari berbagai game luar negeri yang masuk ke Indonesia.

Pilih fokus segmen pengembangan game lokal

Dari sisi asosiasi, lanjut Cipto, pihaknya akan menentukan fokus yang akan dibidik dalam rangka meningkatkan daya saing pengembang lokal. Salah satunya, pertimbangan untuk menentukan segmen industri game Indonesia apakah ingin mengarah ke game untuk smartphone bertipe low end atau game console dan PC. Keputusan ini bakal dibicarakan saat rapat asosiasi esok hari (17/3).

Menurutnya, kedua segmen ini sama-sama memiliki peminat di Indonesia, dan masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Cipto menjelaskan, penetrasi pengguna smartphone di Indonesia dikuasai oleh tipe smartphone low end dengan harga di bawah Rp2 juta. Smartphone tipe tersebut umumnya memiliki keterbatasan memori dan kapasitas maksimal RAM sebesar 2 GB.

Fakta tersebut membuktikan beberapa game lokal seperti Tahu Bulat dan Nasi Goreng cukup diminati masyarakat. Kedua game ini hanya membutuhkan kapasitas memori yang rendah dan konsumsi internet yang terbatas, sehingga bisa digunakan masyarakat di pinggiran kota.

Beda lagi dengan pemain game console dan PC. Penggunanya masih cukup mendominasi, hanya saja produk game untuk jenis ini umumnya masih dikuasai oleh game dari luar negeri.

“Ambil contoh, di Malaysia mereka memilih untuk mendorong perusahaan asing untuk outsource dan menanamkan modalnya ke dalam negeri. Yang terpenting, mereka ingin penggunaan tenaga kerja lokal untuk dipekerjakan, meski produk yang diciptakan tidak dipasarkan di Malaysia. Kami akan tentukan dalam rapat asosiasi, mau tentukan arah mana yang mau diambil untuk memajukan industri game.”

Membuat kegiatan networking game skala internasional

Salah satu upaya lainnya yang dapat dilakukan adalah menggelar lebih banyak acara networking dan konferensi game tingkat internasional yang dapat mempertemukan pemain lokal dengan luar negeri, seperti acara Game Networking Jakarta 2017.

Kali ini, Game Networking Jakarta 2017 dihadiri sejumlah perusahaan besar seperti Square Enix, A Team, Google Play, Pierrot, dan lainnya.

Acara tahunan sudah ketiga kalinya di selenggarakan di Indonesia, jumlah pesertanya pun semakin bertambah. Kegiatan networking seperti ini dapat menjadi pintu antara kedua belah pihak untuk melakukan kesepakatan kerja.

Perusahaan tersebut membuka kesepakatan kerja dengan para pengembang game lokal. Bentuknya kesepakatannya pun bervariasi, ada yang ingin memasarkan produknya ke Jepang atau sebaliknya, perusahaan asing tersebut mencari tenaga outsource untuk dipekerjakan, memberi investasi untuk pengembang lokal yang butuh pendanaan, atau kolaborasi dalam hal pemasaran produk.

“Bentuk deal-nya macam-macam dan rata-rata sifatnya tertutup karena terikat perjanjian. Kegiatan networking ini pada intinya membuka kesempatan pada pengembang lokal bisa berkenalan dengan pemain asing, begitupun dengan pemain asing bisa mengenal lebih banyak pengembang lokal. Mereka bisa dapat sesuatu lewat kegiatan ini,” pungkas Cipto.

Celestian Tales: Old North, JRPG ‘Klasik’ Buatan Talenta Lokal Resmi Dirilis

Mulai digarap berdekatan dengan judul-judul semisal Pillars of Eternity dan Wasteland 2, disadari atau tidak Celestian Tales: Old North meyimpan latar belakang yang hampir sama: keinginan developer untuk menciptakan game modern dipadu pendekatan klasik. Setelah perjalanan panjang dalam proses pengembangannya, proyek Celestian Tales akhirnya rampung. Continue reading Celestian Tales: Old North, JRPG ‘Klasik’ Buatan Talenta Lokal Resmi Dirilis