The Big Leap: Peran Teknologi Tingkatkan Retensi Pengguna Lewat Personalisasi

Isu tech winter masih hangat dibicarakan, mengingat terus mengalirnya pemberitaan layoff  dari startup teknologi. Perusahaan rintisan kini semakin mengencangkan ikat pinggang dan fokus pada strategi perusahaan untuk mendulang profit. Dimulai dari menjaga retensi pengguna yang sudah ada di platform.

Platform manajemen pelanggan CleverTap berkolaborasi dengan e27 mengadakan Roadshow The Big Leap di 6 kota di Asia Tenggara, termasuk Jakarta. Acara yang bertajuk “The Indonesia Retention Pinnacle: Personalized Customer Journeys with Innovative Technology” ini bertujuan untuk membantu para pemain industri meningkatkan pertumbuhan dan retensi pelanggan.

Beberapa pemain industri yang turut hadir dalam acara ini adalah VP of Brand Communication Kitabisa.com Iqbal Hariadi, Co-Founder & CMO Sociolla Chrisanti Indiana, serta VP of Marketing Rukita Lika Aprilia Samiadi. Mereka mewakili perusahaan rintisan di Indonesia yang juga tengah berjuang mempertahankan retensi pengguna.

Membangun relasi personal

Memberi pengalaman personal kepada pengguna merupakan salah satu strategi bisnis yang sangat penting, agar setiap pengguna merasa mereka dikenal secara personal dan merasa yakin dapat mengandalkan sebuah brand untuk setiap kebutuhan. Bila perusahaan bisa menangkap peluang itu, maka penjualan dan kesetiaan pelanggan secara otomatis akan mengikuti.

Startup retailer kecantikan Sociolla mengungkapkan bahwa mereka memiliki misi untuk menjadi user’s best friend atau sahabat pengguna. Setiap kampanye yang digalakkan juga selalu disesuaikan dengan preferensi para penggunanya. Hal ini sesuai dengan misinya ‘liberating self-care for everyone’, menjangkau semakin banyak beauty enthusiast di seluruh Indonesia.

Terkait pendekatan secara personal ini, Chrisanti angkat bicara, “Kami ingin menciptakan nilai dalam produk-produk yang kami salurkan melalui Sociolla. Kami ingin menjadi merek yang autentik. Hal ini memang membutuhkan waktu yang tidak sebentar, tetapi kami merasa ini penting untuk bisa bertahan di industri.”

Sociolla sendiri saat ini tengah fokus pada solusi omnichannel dengan menggabungkan pengalaman online dan offline yang seamless. Dari situ, perusahaan dapat menghilangkan semua hambatan dan batasan bagi pelanggan untuk berbelanja sesuai keinginan mereka, di mana saja dan kapan saja.

Selain itu, strategi omnichannel menjadi lebih relevan dengan perilaku pelanggan saat ini. Bertahannya preferensi digital dan omnichannel di antara konsumen Indonesia adalah salah satu dari lima tema konsumen baru yang diperkirakan akan terus berlanjut pasca-COVID 19.

Fokus pada solusi

Salah satu startup yang juga hadir dalam acara ini adalah Rukita, yang dikenal sebagai platform penyedia sewa hunian jangka panjang. Perusahaan dinilai memiliki tingkat pertumbuhan yang cukup pesat dengan usia yang masih terbilang belia.

Rukita saat ini berfokus pada banyak hal. Salah satunya adalah tentang bagaimana pengembangan produk teknologi Rukita mampu meningkatkan pengalaman terhadap para pelaku ekonomi di dalam ekosistemnya, mulai dari konsumen (penyewa), agen properti, hingga rekan atau mitra.

Dalam memasarkan brand terkadang pemasar juga terlalu fokus pada kinerja perusahaan. “Fokus pada apa yang dapat dilakukan brand dalam menyediakan solusi bagi pengguna, daripada sekadar apa yang bisa dilakukan brand,” tegas VP of Marketing Rukita Lika Aprilia Samiadi.

Ke depannya, perusahaan memiliki long-term goal untuk bisa menyediakan tempat tinggal yang nyaman, terjangkau, dan assle-free di seluruh Indonesia. Beberapa waktu lalu, Rukita juga baru saja mengakuisisi Infokost yang merupakan startup yang bergerak di bidang online listing untuk sewa hunian seperti indekos dan sejenisnya.

Memanfaatkan data

Terlepas dari industrinya, pemanfaatan data telah diakui menjadi kunci pengambilan keputusan yang cerdas. Selain dapat mengukur tingkat retensi secara akurat dan memperbaiki metrik, data menyediakan semua hal yang dibutuhkan untuk mengukur kinerja serta mengidentifikasi strategi dan fitur yang memberikan dampak.

Kitabisa.com turut berbagi mengenai strategi perusahaan dalam menjaga retensi dan mendorong pertumbuhan penggunanya. Salah satunya adalah dengan mengembangkan donasi otomatis yang bisa dipersonalisasi sesuai preferensi pengguna. Dalam hal ini, Kitabisa fokus pada aplikasi mobile dan menggunakan teknologi pemasaran untuk mengingatkan pengguna memberikan donasi.

Saat ini kecerdasan artifisial (AI) juga menjadi salah satu teknologi yang ramai dikembangkan perusahaan teknologi. Melihat kesuksesan dari ChatGPT, tidak sedikit startup yang berusaha mengaplikasikan teknologi AI terhadap solusi yang ditawarkan perusahaan. Meskipun begitu, beberapa perusahaan masih yakin pada pendekatan personal untuk bisa menjangkau dan menjaga loyalitas pengguna.

Salah satu contohnya adalah chatbot yang sudah banyak digunakan sebagai pengganti customer service (cs). Untuk pertanyaan dasar, teknologi ini sangat membantu, namun untuk pertanyaan yang lebih spesifik, chatbot bukanlah sebuah solusi. “Para pengguna kalian adalah manusia, maka layani mereka layaknya seorang manusia,” tegas COO PT MNC OTT Network Roy Debashis.

“Mulai dari rasa empati untuk bisa lebih dekat dengan pengguna. Dari situ, kita akan mulai mendapatkan data, karena data adalah basis untuk menciptakan solusi. Ingatlah juga untuk berinvestasi pada customer service atau pelayanan pelanggan,” tambah Chrisanti.

The Big Leap: Peran Pemasaran dan Upaya Memahami Gen Z

Beberapa waktu lalu, e27 bersama CleverTap menyambangi Jakarta melalui gelaran “The Big Leap“; bagian dari rangkaian acara yang menghubungkan para growth leader di Asia Tenggara, mulai dari founder, VP, Marketing, hingga Product Director.

DailySocial.id berkesempatan hadir mengikuti diskusi panel yang dipandu oleh CEO e27 Mohan Belani, dengan sejumlah pembicara yang terdiri dari SEA Regional VP Sales CleverTap Marc-Antoine Hager, Chief Marketing Officer BlueBird Mediko Azwar, Head of Marketing Pintu Timothius Martin, dan Chief Marketing Officer Halodoc Felicia Kawilarang.

Diskusi santai ini utamanya menyinggung tentang bagaimana marketing dapat memahami karakteristik Gen Z, tantangan, hingga customer experience dalam implikasi sebuah bisnis di masa pandemi Covid-19. Berikut rangkumannya.

Pencapaian, peluang, dan tantangan

Sedikit gambaran, transportasi merupakan salah satu sektor yang terdampak signifikan saat awal pandemi. Sebaliknya, layanan digital di sektor lain, seperti health dan wealth termasuk yang mencicipi kenaikan trafik pada periode tersebut.

Kebijakan pembatasan sosial dalam skala besar (saat itu disebut PSBB) menurunkan mobilitas masyarakat secara drastis. Orang-orang mengurangi perjalanan ke luar, aktivitas kerja dan sekolah dilakukan dari rumah.

Bagi Mediko Azwar, situasi tersebut sangat sulit bagi bisnis BlueBird yang bermain pada jasa transportasi. Malah, kala itu ia baru bergabung dengan perusahaan berlambang burung biru tersebut saat pandemi terjadi. “Ini menjadi tantangan tersendiri karena saya harus meyakinkan tim, bagaimana kita harus dapat memahami perubahan consumer needs dan memenuhi permintaan mereka.”

Sebaliknya, di sektor kesehatan, situasi ini berbuah manis kala pemerintah memberikan lisensi penggunaan telemedis untuk urgensi penanganan Covid-19. “Tiba-tiba ada lonjakan trafik di platform kami. Di situasi tersebut, secara tak langsung, platform telemedis seolah mendapat ‘free marketing‘ karena pemakaiannya langsung dipromosikan pemerintah,” tutur Felicia Kawilarang.

Namun, lonjakan trafik itu justru memunculkan tantangan selanjutnya bagi Halodoc, yakni memastikan aplikasi dapat bekerja memenuhi permintaan tinggi. Pihaknya bekerja keras untuk membuat platform dapat diakses setiap saat sembari mengedukasi dokter terkait Covid-19, dan memahami target pengguna dan perilakunya.

Di sinilah marketing memainkan peran signifikan. “User knowledge comes from the marketing team, that’s how we build the product. We have done a lot of research and survey,” tambah Felicia.

Mediko juga mengungkap bahwa marketing mendorong BlueBird untuk meningkatkan hubungan dengan customer dan mencari peluang pengembangan layanan baru dari customer journey.

Memahami Gen Z

Timothius Martin mengungkap, situasi pandemi memunculkan peluang dalam membentuk pendekatan marketing, terutama bagi Gen Z. Ia berujar, ada banyak kekhawatiran muncul dari masyarakat tentang bagaimana mengamankan uang atau aset mereka saat pandemi.

“Platform kami meluncur saat pandemi, orang-orang saat itu stay at home. Kami melihat [peluang di mana] karakter [yang ingin disasar] ada pada Gen Z. Mereka cari tempat di mana bisa taruh aset dengan mudah, accessible 24/7, gampang dicairkan, dan volatile enough to give that adrenalin pump,” paparnya.

Belum lagi, saat itu, platform kripto yang ada di Indonesia belum banyak dipahami oleh Gen Z. Di sini lah, ia mengawinkan produk dan marketing agar informasi yang dibutuhkan dapat tepat sampai ke penggun alih-alih hanya sekadar viral saja.

Dalam perkembangannya, Timothius mencatat pentingnya melakukan mind shift dalam menentukan strategi marketing. Tidak ada approach yang bersifat satu untuk semua. Misalnya, bagaimana mengubah mindset atasan terkait bagaimana menggunakan budget marketing pada influencer atau iklan. “[Dalam konteks pemanfaatan influencer atau iklan] rather than number of impression, sebaiknya untuk [capai] conversion rate.

Mark menambahkan, pendekatan marketing menggunakan iklan tidak selalu harus dikesampingkan. Setiap strategi punya pendekatan berbeda. Pada kasus Gen Z, mereka termasuk segmen pengguna yang tidak bisa didekati dengan model penjualan langsung atau gamblang (hard sell), tetapi melalui pemanfaatan sebuah produk.

“Bagi kami, untuk bisa evolve di pasar, perusahaan tidak melulu bicara cost dan profit, tetapi fokus ke pengguna agar dapat memahami pasar. Dan marketing punya peran untuk fokus menyuarakan pesan dari customer bukan perusahaan.”