Kenapa Pasar Gaming Asia Tenggara Menjadi Semakin Penting?

Industri game dimonopoli oleh beberapa perusahaan besar asal Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang pada abad ke-20. Namun, sejak tahun 2000-an, industri game mulai berubah. Sekarang, developer indie pun bisa menargetkan pasar global. Pasalnya, keberadaan internet dan perangkat mobile memudahkan developer game untuk menyasar gamer global. Beberapa game yang dibuat oleh sebuah tim kecil atau bahkan seorang developer pun terbukti bisa sukses, seperti Flappy Bird atau Among Us.

Meskipun begitu, belum banyak riset yang membahas tentang perkembangan industri dan budaya gaming di Asia. Karena itu, Phan Quang Anh merilis riset berjudul Shifting the Focus to East and Southeast Asia: A Critical Review of Regional Game Research. Studi tersebut membahas tentang industri dan budaya gaming di kawasan Asia, khususnya Asia Timur dan Asia Tenggara.

Industri dan Budaya Gaming di Asia Timur

Ada beberapa alasan mengapa Asia menjadi semakin penting bagi pelaku industri game. Salah satunya adalah besarnya pasar game di Asia. Baik dari segi pendapatan atau jumlah pemain, Asia merupakan kawasan yang sangat menguntungkan untuk perusahaan game. Selain itu, beberapa negara Asia juga memiliki perusahaan-perusahaan game raksasa, seperti Jepang dengan Nintendo dan Sony, Korea Selatan dengan Nexon, serta Tiongkok dengan Tencent. Terakhir, pemerintah di negara-negara Asia juga cukup punya andil yang cukup besar dalam perkembangan industri game di negaranya masing-masing.

Walkman jadi salah satu pendorong terciptanya budaya individualisme di Jepang. | Sumber: SCMP

Hanya saja, Jepang, Korea Selatan, dan Tiongkok punya budaya gaming yang berbeda-beda. Misalnya, gamers di Jepang cenderung lebih individualistik. Budaya individualisme di Jepang sendiri mulai muncul pada tahun 1970-an, ketika Sony meluncurkan Walkman. Ekosistem game di Jepang pun tumbuh sesuai dengan budaya lokal. Alhasil, kebanyakan gamers Jepang lebih suka untuk bermain game single-player. Sementara itu, gamers di Korea Selatan dan Tiongkok justru menganggap game sebagai kegiatan sosial. Mereka senang bermain game bersama teman-teman mereka, baik co-op game ataupun competitive game. Faktanya, hal ini menjadi salah satu alasan mengapa ada banyak atlet esports yang datang dari Korea Selatan dan Tiongkok.

Budaya bermain game online di Korea Selatan mulai muncul pada 1998, ketika Blizzard meluncurkan StarCraft. Dan bermain game online dengan cepat menjadi salah satu hobi favorit generasi muda. Pasalnya, bermain game online memang tidak memakan biaya besar. Selain itu, PC bangs — alias warnet — juga menjamur. Budaya kompetitif Korea Selatan juga membuat industri esports berkembang. Di sana, ada televisi yang menyiarkan konten esports dan menjadi pemain profesional merupakan karir yang bisa ditempuh. Fenomena esports ini lalu menyebar ke negara-negara lain di Asia Timur dan Asia Tenggara.

Sama seperti gamers Korea Selatan, gamers Tiongkok juga senang bermain bersama orang lain. Meskipun begitu, pasar game Tiongkok tetap berbeda dari industri game Korea Selatan. Salah satu hal yang membuat pasar gaming Tiongkok unik adalah besarnya peran pemerintah dalam mengembangkan industri game online. Pemerintah tidak hanya membuat regulasi terkait industri game online, tapi juga berusaha untuk memajukan perusahaan-perusahaan game lokal. Perusahaan game dengan ide inovatif akan dibantu sehingga bisa tumbuh. Alhasil, pada 2020, ada 19 mobile game asal Tiongkok yang masuk dalam daftar 100 game dengan pemasukan terbesar di Amerika Serikat.

Industri dan Budaya Gaming di Asia Tenggara

Selain Asia Timur, Asia Tenggara juga merupakan kawasan yang patut diperhitungkan oleh perusahaan game. Menurut Newzoo dan Niko Partners, pertumbuhan mobile game di Asia Tenggara pada 2014-2017 mencapai lebih dari 180%. Dan dalam lima tahun ke depan, industri game Asia Tenggara diperkirakan masih akan tumbuh. Menurut data dari Shibuya Data Count, dalam periode 2020-2025, Compound Annual Growth Rate (CAGR) dari industri game di Asia Tenggara akan mencapai 8,5%. Sementara enam negara yang kini menjadi pasar game terbesar di kawasan Asia Tenggara adalah Indonesia, Malaysia, Thailand, Vietnam, Singapura, dan Filipina.

Salah satu faktor pendorong pertumbuhan industri game adalah pembangunan infrastruktur internet. Dan hal ini terjadi karena kemunculan teknologi 5G pada 2020. Tidak heran, mengingat 5G diperkirakan akan memberikan performa hingga 100 kali lebih baik dari jaringan 4G. Faktor lain yang mendorong pertumbuhan industri game di Asia Tenggara adalah naiknya popularitas esports. Seiring dengan semakin populernya konten esports di platform seperti YouTube dan Twitch, pemasukan perusahaan-perusahaan game pun akan naik. Buktinya, Free Fire berhasil menjadi game yang paling banyak diunduh pada 2019.

Free Fire jadi game yang paling banyak diunduh pada 2019.

Selain itu, keberadaan game free-to-play juga punya peran dalam mendorong pertumbuhan industri game di Asia Tenggara. Dan jika cloud gaming berhasil diadopsi secara besar-besaran di Asia Tenggara, ia akan menumbuhkan industri mobile game di kawasan tersebut. Menariknya, lebih dari 55% mobile gamers di Asia Tenggara berumur lebih dari 55 tahun dan hanya 8% yang merupakan remaja. Alasannya, banyak mobile game yang mengusung genre kasual atau bahkan hypercasual. Kedua genre itu bisa dimainkan oleh semua orang.

Hanya saja, mobile game kasual biasanya tidak bertahan lama. Popularitas mobile game kasual sangat rentan. Padahal, model monetisasi yang biasa digunakan developer adalah iklan. Popularitas mobile game kasual bisa memudar hanya dalam waktu beberapa minggu atau bahkan beberapa hari. Karena itu, memperkirakan tren mobile game di masa depan bukanlah sesuatu yang mudah untuk dilakukan.

Industri Game di Indonesia

Sama seperti Tiongkok, pemerintah dari negara-negara Asia Tenggara juga peduli akan industri game. Hanya saja, peraturan yang ditetapkan oleh negara-negara Asia Tenggara tidak seketat regulasi dari Tiongkok. Dan hal ini bisa menguntungkan perusahaan-perusahaan game asing yang ingin masuk. Tren ini juga berlaku untuk Indonesia.

Indonesia merupakan negara dengan populasi terbesar ke-4 di dunia. Dan jumlah populasi serta pekerja di Tanah Air didominasi oleh generasi muda. Tak hanya itu, para generasi muda ini juga aktif dalam membangun komunitas online. Menurut Newzoo, hal ini merupakan kelebihan pasar game Indonesia. Di Indonesia, mobile game mendominasi pasar game. Kabar baiknya, sekitar 49% dari mobile gamers tidak segan untuk mengeluarkan uang demi membeli item dalam game. Menurut data Newzoo, per tahun, mobile gamer Indonesia rata-rata menghabiskan US$9. Sementara itu, strategi menjadi genre favorit gamers Indonesia. Para pemain game strategi juga merupakan gamers dengan spending terbesar. Sekitar 41% dari mereka rela untuk membeli item dalam game.

Biaya untuk membuat mobile game jauh lebih murah dari game PC online.

Popularitas mobile game merupakan kesempatan emas bagi developer lokal. Alasannya, membuat mobile game membutuhkan dana yang jauh lebih sedikit dari membuat game PC online. Untuk membuat satu mobile game, biaya yang dibutuhkan hanyalah sekitar US$1 ribu. Sementara biaya untuk membuat game PC online lebih dari 10 kali lipat dari biaya tersebut. Karena itu, tidak heran jika kebanyakan developer game di Indonesia memilih untuk membuat mobile game.

Potensi industri game disadari oleh pemerintah Indonesia. Salah satu bentuk dukungan pemerintah pada perusahaan game lokal adalah dengan mengadakan berbagai event game, seperti Game Prime. Selain itu, sejumlah menteri juga menyatakan dukungan pemerintah pada industri game dan esports, seperti Menteri Komunikasi dan Informasi serta Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Sebelum ini, Indonesia juga sukses untuk melobi negara-negara ASEAN untuk memasukkan esports sebagai cabang olahraga eksibisi di Asian Games 2018 dan menjadikan esports sebagai cabang olahraga bermedali pada SEA Games 2019.

Industri Game di Singapura

Menurut Darang S. Candra, Director for Southeast Asia Research, Niko Partners, besar spending gamers di negara-negara Asia Tenggara berbanding lurus dengan besar Pendapatan Domestik Bruto (PDB) per kapita di masing-masing negara. Negara-negara dengan PDB per kapita yang relatif rendah, seperti Indonesia dan Filipina, punya Average Revenue per User (ARPU) sekitar US$4-6 untuk game PC dan US$5-8 untuk mobile game. Sementara negara-negara dengan PDB per kapita tinggi, seperti Malaysia dan Singapura, punya ARPU yang lebih tinggi, mencapai US$15-20 untuk game PC dan US$25-60 untuk mobile game.

Memang, selama ini, Singapura dianggap sebagai pusat ekonomi di Asia Tenggara. Walau jumlah populasi Singapura jauh lebih sedikit dari populasi Indonesia, penetrasi internet di negara itu sangat tinggi, mencapai 80% dari total populasi. Sementara 60% pengguna internet Singapura merupakan gamers yang tidak keberatan untuk menghabiskan US$189 per tahun. Tak hanya itu, kebanyakan warga Singapura juga paham Bahasa Inggris dengan baik. Jadi, bukan hal yang aneh jika Singapura menjadi negara Asia dengan tingkat penetrasi game-game Barat tertinggi.

Pemerintah Singapura sendiri sudah tertarik untuk mengembangkan industri game sejak 1995. Sejak saat itu, mereka mendukung startup yang bergerak di bidang game. Tak hanya itu, mereka juga membuka dan mebiayai berbagai laboratorim riset terkait game. Pemerintah Singapura bahkan meminta bnatuan Jepang untuk melatih Sumber Daya Manusia mereka. Mereka juga menetapkan regulasi yang ketat, termasuk terkait pembajakan. Hukuman yang berat dan denda yang besar membuat masyarakat enggan untuk menggunakan produk bajakan. Hal ini membuat perusahaan-perusahaan asing lebih tertarik untuk berinvestasi dan membuka kantor di Singapura. Beberapa perusahaan game besar yang membuka kantor cabang di Singapura antara lain Ubisoft dan Electronic Arts.

Niko Partners: Jumlah Gamers di GSEA Capai 381 Juta Orang

Tahun lalu, ketika lockdown diberlakukan karena pandemi virus corona, banyak orang yang menjadikan game sebagai hiburan dan media untuk berkomunikasi dengan teman dan keluarga. Karena itu, bermain game menjadi hobi yang semakin diminati oleh orang-orang. Dari segi bisnis pun, industri game terlihat semakin menarik. Pasalnya, ketika banyak industri mengalami masalah karena pandemi, industri game justru tetap bisa tumbuh.

Memang, menurut data dari Niko Partners, industri game dan esports di Greater Asia Tenggara — mencakup Asia Tenggara dan Taiwan — akan mengalami pertumbuhan pesat dalam beberapa tahun ke depan. Pada 2019, nilai industri game di GSEA adalah US$5 miliar. Angka itu diperkirakan akan naik menjadi US$8,3 miliar pada 2023. Salah satu alasan mengapa jumlah pemasukan industri game di GSEA bisa naik pesat adalah karena jumlah gamers yang juga terus naik.

“Berdasarkan riset Niko Partners pada 2020, terdapat 381 juta gamers di kawasan Greater Southeast Asia,” kata Director for Southeast Asia Research, Niko Partners, Darang S. Candra pada Hybrid.co.id melalui email. “Di masing-masing negara tersebut, jumlah gamer diperkirakan mencapai sekitar 40-50% dari total populasinya.” Indonesia memiliki jumlah penduduk sebesar 273,5 juta pada 2020. Hal itu berarti, jumlah gamers di Indonesia berkisar sekitar 109,4 juta sampai 136,7 juta orang.

Data populasi berdasar Worldometers. Data GDP berdasar dari Statista.

Selain jumlah gamers, tolok ukur lain yang bisa digunakan untuk mengetahui seberapa besar industri game di sebuah negara adalah total pemasukan di negara tersebut. Dan total pemasukan industri game punya kaitan langsung dengan Average Revenue Per User (ARPU). Darang mengungkap, ARPU dari masing-masing negara Asia Tenggara berbeda-beda. Biasanya, besar ARPU  di sebuah negara berbanding lurus dengan besar Pendapatan Domestik Bruto (PDB) per kapita. Jadi, semakin besar PDB per kapita dari sebuah negara, semakin besar pula ARPU game di negara tersebut.

Jika dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara, Indonesia memang memiliki PDB paling besar, mencapai US$1.09 triliun. Sebagai perbandingan, PDB Thailand hanyalah US$509,2 miliar, Singapura US$337,5 miliar, dan Malaysia US$336,3 miliar. Meskipun begitu, jumlah penduduk Indonesia juga jauh lebih banyak dari tiga negara tersebut. Alhasil, nilai PDB per kapita Indonesia lebih rendah, hanya mencapai US$3,9 ribu. Sementara itu, PDB per kapita di Thailand mencapai US$7,3 ribu, Singapura US$57,7 ribu, dan Malaysia US$10,4 ribu.

“Negara dengan PDB per kapita yang relatif rendah, seperti Indonesia dan Filipina, juga memiliki ARPU yang realtif rendah,” ujar Darang. “ARPU untuk game PC di Indonesia dan Filipina berkisar antara US$4-6. Sementara untuk negara dengan PDB per kapita tinggi, seperti Malaysia, Thailand, dan Singapura, ARPU berkisar antara US$15-20. Demikian pula untuk ARPU dari game mobile. ARPU untuk game mobile di Indonesia berkisar antara US$5-8, sementara Malaysia, Thailand, dan Singapura berkisar antara US$25-60.”

Bicara Soal Tantangan dan Peluang Pasar Game di Asia

Apabila kita melihat peta perkembangan game dan esports, besarnya potensi pasar Asia mungkin memang sudah diakui banyak pelaku industri. Pada Agustus 2020 lalu saja misalnya, dikabarkan bahwa pemasukan industri esports di Asia menembus angka Rp7,6 triliun. Selain itu, perkembangannya di Asia secara umum juga tergolong cukup pesat yang didorong oleh perkembangan mobile gaming.

Karenanya, tidak heran apabila beberapa developer game asal negara barat seperti Riot Games mulai melakukan penetrasinya ke pasar game di Asia, termasuk Indonesia. Dalam satu kesempatan, Daniel Ahmad selaku Senior Analyst dari Niko Partners sempat berbagi soal potensi dan juga beberapa hal yang patut dipahami soal pasar game di Asia dalam salah satu seri artikel The Collective yang dibuat oleh Lewis Silkin.

Dalam hal skala pasar game di Asia, Daniel sendiri mengatakan bahwa Asia merupakan salah satu kawasan gaming terbesar di dunia. Ada total sekitar US$80 juta pemasukan yang didapatkan dari industri game, 1,5 miliar gamers, dan lebih dari 500 juta orang penggemar esports di Asia.

Esports yang juga menjadi salah satu fenomena di Indonesia. Sumber: MPL Official

Lebih lengkap soal demografi, Daniel Ahmad pun menjelaskan. “Sebagai contoh demografi, kami ada data gamers di negara Tiongkok. Dari 720 juta orang pemain games, rata-ratanya berada di usia 18 hingga 35 tahun dengan 90% di antaranya bermain game setidaknya 60 menit selama 1 bulan. Lalu 18% di antaranya bermain game selama 30 jam lebih per pekan dan 80% dari gamers menonton video orang bermain game (rekaman ataupun live stream) di waktu senggang.”

Lalu dalam hal esports, Daniel Ahmad juga menjelaskan sedikit alasan kenapa esports bisa berkembang pesat dan sangat berarti bagi gamers di wilayah Asia.

“Saya rasa alasan perkembangan popularitas esports yang eksplosif di Asia pada dasarnya adalah karena ada persimpangan antara kompetisi dan komunitas di dalam esports. Kehadiran esports juga memberikan kesempatan bagi pemain untuk berinteraksi dengan sebuah game secara lebih mendalam, lebih berarti, seraya membagikan pengalaman tersebut kepada kawan.” Tutur Daniel.

Bergerak ke arah bisnis, pembahasan lalu berlanjut soal peluang monetisasi dari in-app purchases dalam ranah pasar Asia. Sejauh ini game free-to-play memang terlihat menunjukkan perkembangan yang pesat. Beberapa contohnya mungkin bisa kita lihat dari jajaran game mobile yang pemasukannya menembus angka US$1 miliar lebih. Selain itu, perkembangan esports hingga saat ini sebenarnya juga bisa dibilang jadi salah satu kausalitas dari kehadiran game free-to-play.

Lebih lanjut ia juga menjelaskan bahwa model free-to-play memang menjadi salah satu model bisnis yang paling diandalkan oleh industri game di Asia.

“Asia adalah yang paling terdepan dalam hal model bisnis dan model distribusi di dalam video game. Free-to-play adalah salah satu yang populer sebagai model distribusi di Asia selama kurang lebih dua dekade belakangan. Ditambah besar dan cepatnya perkembangan mobile gamers juga telah menjadi lahan yang subur bagi para developer untuk bereksperimen dengan model monetisasi free-to-play seperti in-app purchases dan mekanik ‘gacha’. Meski gacha dan loot boxes memang diregulasi di kawasan Asia, namun game seperti Genshin Impact telah menjadi bukti bagaimana model free-to-play ternyata juga bisa sukses di pasar barat.”

Kesuksesan PUBG Mobile juga bisa dibilang jadi salah satu bukti penerapan model free-to-play yang tepat. Sumber: Tencent

Menutup perbincangan, Daniel Ahmad lalu juga membicarakan soal tantangan dan peluang bagi developer game yang ingin sukses di pasar Asia. Dalam hal peluang, Daniel membicarakan soal pentingnya memahami siapa sosok gamers yang ingin dituju. “Ada beragam sub-kebudayaan di antara para gamers di Asia sehingga ada berbagai cara untuk menjangkau dan bekerja sama dengan mereka.” Ucap Daniel Ahmad.

“Dalam laporan Niko Partners yang membahas soal gamers di Tiongkok, kami membuat catatan bahwa kebanyakan gamers cenderung lebih percaya dengan Key Opinion Leaders (disebut juga influencers) dalam hal memilih produk yang tepat, ketimbang dengan iklan tradisional ataupun orang marketing.” Tambah Daniel.

Membicarakan tantangan, Daniel mengatakan soal regulasi, terutama apabila ingin mencoba masuk ke pasar Tiongkok. “Masalah regulasi adalah salah satunya, terutama di Tiongkok karena seorang developepr harus mendapatkan izin pemerintah terkait konten yang akan disajikan dari sebuah game. Selain Tiongkok, Vietnam juga memiliki regulasi ketat tersebut.” Ucap Daniel.

Melihat Viewership Esports Wild Rift dari SEA Icon Series: Preseason

Setelah membuka fase beta regional sejak tanggal 18 September 2020 lalu, League of Legends: Wild Rift (atau Wild Rift) kini telah banyak berkembang. Berbagai fitur dan champion baru ditambahkan, serta berbagai perbaikan dilakukan di sana dan sini demi membuat para pemain tetap nyaman.

Lalu bagaimana perkembangan dari sisi esports-nya? Wild Rift Pentaboom Showdown bisa dibilang sebagai inisiatif esports pertama dari Riot Games atas Wild Rift, walau pertandingannya dilakukan antar para influencer. Setelahnya lalu ada Wild Rift SEA Icon Series: Preseason yang bisa dikatakan sebagai turnamen esports pertama yang mempertandingkan tim profesional di Wild Rift.

Walaupun usia game dan esports-nya yang masih sangat muda belia, tetapi kita semua tetap penasaran dengan performa viewership dari Wild Rift Icon Series. Mencoba menilik lebih lanjut, berikut penjabarannya dengan mengutip data-data milik Esports Charts.

Wild Rift SEA Icon Series 2021: Preseason
Sumber Gambar – Esports Charts Blog

Wild Rift SEA Icon Series 2021: Preseason diadakan di 7 negara asia pasifik yaitu Singapura, Filipina,Indonesia, Thailand, Taiwan, Malaysia, dan Vietnam. Dari 7 negara tersebut, Icon Series Singapore berhasil mencatatkan jumlah penonton dan total watch hours terbanyak.

Icon Series Singapore mencatatkan 21 ribu lebih peak viewers dengan 135 ribu lebih total watch hours. Sementara itu pada sisi lain Indonesia tercatat sebagai gelaran Icon Series dengan viewership terendah. Icon Series Indonesia mencatatkan 818 peak viewers dengan 6 ribu lebih total watch hours.

Sebenarnya agak cukup menarik melihat catatan viewership yang ditorehkan oleh masing-masing negara tersebut karena hasilnya yang cenderung kontradiktif. Negara Singapura misalnya. Walaupun Singapura bisa dibilang punya antusiasme tinggi terhadap esports mobile, namun negara tersebut tergolong tidak punya fanbase esports yang besar. Alhasil turnamen esports mobile games di Singapura biasanya jarang mencuat dari angka viewership.

Di sisi lain, Indonesia punya antusiasme tinggi dan fanbase besar terhadap esports game mobile justru mencatatkan angka yang sangat kecil sekali, bahkan mungkin terlalu kecil. Karena Icon Series Indonesia adalah turnamen resmi, saya berpikir akan ada setidaknya ribuan views kalaupun tidak bisa mencapai angka puluhan ribu.

Wild Rift SEA Icon Series 2021: Preseason
Sumber Gambar – Esports Charts Pro Version

Tetapi mungkin memang hal tersebut bisa terjadi karena beberapa faktor, seperti: Mungkin kebanyakan pemain MOBA di Mobile Indonesia sudah terpaku kepada game MOBA lain yang sudah lebih dulu ada di platform mobile. Lalu mungkin juga kurangnya persebaran informasi seputar pertandingan Icon Series yang kurang jadi faktor lain.

Pada salah satu grup media sosial yang tergabung dalam Riot SEA Community, ada beberapa pemain berkomentar bahwa mereka tidak tahu ada pertandingan Icon Series karena informasinya tidak muncul di dalam in-game. Masukan tersebut menurut saya penting juga untuk didengarkan. Game MOBA mobile lain biasanya memberi informasi pop-up seputar pertandingan esports yang sedang berjalan di dalam in-game, sehingga pemain bisa aware dengan kehadiran pertandingan dan meningkatkan jumlah viewers pertandingan.

Selain itu, ada juga beberapa catatan menarik yang tergolong unik dari Wild Rift Icon Series Indonesia. Dari sisi tim dengan catatan total watch hours terbanyak, Bigetron Infinity yang menjadi juara turnamen justru hanya ada di peringkat 3 dalam daftar. Menurut daftar, ONIC Esports adalah tim dengan catatan total watch hours terbesar.

Wild Rift SEA Icon Series 2021: Preseason
Sumber Gambar – Esports Charts Pro Version.

Dari sisi pertandingan, pertandingan babak final antara Bigetron Infinity melawan MORPH Team juga tidak masuk ke dalam daftar top 5. Justru pertandingan antara ONIC vs Aerowolf yang mencatatkan diri sebagai pertandingan paling populer sepanjang turnamen dengan 818 peak viewers.

Secara kualitas pertandingan, memang match grand final tergolong one-sided. Bigetron Infinity mendominasi pertandingan sehingga mereka jadi juara setelah menang 4-0 dari seri best-of 7. Pada sisi lain, pertandingan ONIC vs Aerowolf adalah pertandingan pembuka. Tak hanya itu, pertandingan juga berkualitas baik, dengan menampilkan perlawanan sengit antar keduanya sampai ONIC Esports keluar sebagai pemenang dengan skor 2-1 dari seri best-of 3.

Wild Rift SEA Icon Series 2021: Preseason
Sumber Gambar – Esports Charts Pro Version.
Wild Rift SEA Icon Series 2021: Preseason
Sumber Gambar – Esports Charts Pro Version.

Sementara itu dari sisi statistik viewership secara mendetail, kita bisa melihat sendiri bahwa YouTube masih mendominasi. YouTube menjadi platform dengan peak viewers terbanyak yaitu sejumlah 581 viewers sementara Facebook ada di posisi kedua dengan 239 peak viewers. Dari sisi YouTube, kita juga bisa melihat bahwa tayangan telah mencatatkan 54 ribu lebih total views.

Beberapa dari Anda mungkin akan sedikit murung melihat jumlah penonton Wild Rift Icon Series Indonesia yang terasa kecil sekali. Namun demikian, Icon Series: Preseason sendiri hanyalah permulaan saja. Gelaran Icon Series Indonesia masih akan berlanjut ke Summer Season. Saat ini gelaran kualifikasi sedang diselenggarakan untuk mencari tim-tim terbaik yang akan bertanding di laga final nantinya. Mampukan Wild Rift Indonesia menyaingi perkembangan MOBA mobile lainnya di Indonesia?

PUBG Mobile vs Free Fire: Statistics, Esports Ecosystem, and Their Respective Future

PUBG Mobile and Free Fire are two games that often get compared to each other and one can debate on which of these games are far more superior. However, the metrics in which we rate these games are often very subjective. Therefore, let’s try to be more objective in comparing the two games. In this article, we will use concrete data as well as predict the future of these games and their esports ecosystem.

Without further ado, let’s start discussing these two hottest Battle Royale games in the market.

 

The Surface of PUBG Mobile and Free Fire 

Before discussing the more in-depth aspects of the games, let’s start from the very basic, such as the gameplay of the two games. We already know that the two games are both Battle Royales. But what is Battle Royale and how do you play it?

Battle Royale is a relatively brand-new genre in the gaming world. The concept was first introduced in 2017 and immediately caught the attention of many gamers and developers. In the mobile gaming realm, the two biggest and most popular Battle Royales are PUBG Mobile and Free Fire.

What’s the difference between Battle Royale and other game genres? Competitive games generally use the concept of team vs team of 5 people. This concept applies to MOBA games (Mobile Legends for example) and First-Person Shooter (Point Blank or Counter-Strike). However, Battle Royale is slightly different.

Battle Royale competitive mode pits 14 teams at a single match. Each team usually contains 4 players. The goal is to survive the longest and be the last standing group on the map. Strategies to achieve this objective can vary from hiding passively or playing with full aggression to eliminate teams when they least expect it. In PUBG Mobile and Free Fire, you eliminate teams and their members by shooting them down with weapons scattered around the map.

So, what are the main differences between PUBG Mobile and Free Fire? The difference mostly occurs in the game mechanics. Just like any other shooting game, the player’s ability to aim is of paramount importance.

In Free Fire, the process of aiming and shooting enemies is highly assisted by the game system itself. For example, the crosshair will change color when it is pointing right at an enemy, and the system will sometimes also help you lock on to an enemy (also called aim-assist). The weapon recoil in Free Fire is also relatively predictable, making it easy to hit your targets continuously.

What about PUBG Mobile? The shooting mechanics in PUBG Mobile tends to be more difficult and requires more skill to control. Furthermore, there is far less assistance from the game system provided to the players. For instance, the crosshair color will not change regardless if you are aiming right at an enemy, although it still provides visual feedback (or hit markers) to show that your shot is registered. PUBG also has built-in aim assist systems, but it is far less helpful compared to Free Fire. Moreover, the aim-assist feature in PUBG Mobile can also be turned off, unlike in Free Fire. The weapon recoil in PUBG Mobile also simulates real-world physics and is, therefore, much more erratic.

Due to the difference in the game mechanics, PUBG Mobile and Free Fire tend to attract different player segments. PUBG Mobile tends to be liked by competitive players who like challenges and learning games to a deep level. On the other hand, Free Fire attracts more casual and, sometimes, younger players.

PUBG Mobile and Free Fire also have several differences in visual themes. PUBG Mobile tends to be more realistic and presents a “military” theme in their game. Although they sometimes release colorful skins, the equipment in the game is based on real military weaponry (such as grenades, flashbangs, and various types of firearms that do exist in the real world).

Free Fire has a more colorful or playful visual theme consisting of several futuristic and or fictional equipment. Free Fire actually still has some real-world firearms, but there are also several imaginary weapons. Some examples are the Gloo Wall which allows players to bring up ice walls to survive, characters with special abilities, and futuristic-looking vehicles.

After comparing the game from a basic standpoint, let’s dive into the “in-depth” aspect I mentioned earlier. These are topics such as the esports ecosystem, the growth of the player base, and the revenue generated by both games.

 

The Esports Ecosystem of PUBG Mobile and Free Fire

We have discussed the PUBG Mobile esports ecosystem scheme in an earlier article. What about the Free Fire esports ecosystem? Are there any competitive tournaments in the game? What is the scheme behind their esports sector? Free Fire has four primary competitions in Indonesia. There are the Free Fire Masters League and the Free Fire Indonesia Masters as the two “main cast” of the esports tournaments created by Garena Indonesia, the game developer company. Free Fire Masters League can be interpreted as the Regular Season round of a competitive league, while the Free Fire Indonesia Masters is similar to Playoff rounds.

Apart from these two main competitions, Garena Indonesia also has two other types of tournaments. There is Free Fire The One which is targeted at solo players and Free Fire Royale Combat, a tournament for amateur teams. We can say that Free Fire adopts a mixed system for these two particular competitions.

However, Garena Indonesia implements a closed system for the Free Fire Masters League. The FFML League is classified as a closed system because the selection of teams is incredibly limited. The team that wants to participate in the tournament needs more than just raw skill power. Christian Wihananto, Free Fire Producer from Garena Indonesia, briefly explained the process of entering into FFML at the press conference for the launch of FFML Season 1 held in early January 2020. Chris explained that there are administrative selections and buy-in slots worth IDR 50 million for teams wishing to enter the FFML league.

Skema Esports Free Fire Masters League.
Free Fire Masters League Esports Scheme.

However, there is a slight difference between the closed system applied in the Free Fire Masters League and the Franchise League applied by Mobile Legends: Bang-Bang in the MPL league. The franchise model in the MPL league stipulates 8 teams as permanent participants, without any promotion or relegation systems.

On the other hand, the buy-in slot for the Free Fire Masters League is only valid for a single season. As the league continued to develop into its third season, it introduced FFML Division 2 and included a promotion-relegation system. As a result, FFML Division 2 participants who achieved outstanding performances will have an opportunity to move up to division 1 and vice versa (Division 1 team that performs poorly will get relegated in the following season). Therefore, the FFML league itself cannot be said to be a purely franchise league.

In the interview I conducted, Christian Wihananto mentions that he prefers to call the FFML league a buy-in model. Furthermore, the Free Fire esports scene also includes an open system through the Free Fire Indonesia Masters (FFIM) competition. The FFIM competition brings together the best 12 teams in Indonesia. The 12 teams gathered consist of 6 teams from the Free Fire Masters League and 6 teams from the Play-Ins round.

 

Skema Esports Free Fire Indonesia Masters bagi peserta umum.
Free Fire Indonesia Masters esports scheme for general participants

What about the Free Fire esports business ecosystem? The Free Fire esports ecosystem business model is, in many ways, similar to PUBG Mobile and Mobile Legends: Bang-Bang. The similarities can be observed from the huge role that the developers (Garena Indonesia) play in the Free Fire esports business. FML, FFIM, and even amateur-level tournaments – such as FFRC and FF The One – are all organized by Garena Indonesia themselves.

However, the differences can be seen in the student-level tournaments in the PUBG Mobile and Free Fire scene. In the PUBG Mobile ecosystem, student-level competitions are held by Tencent Games, the game developer, just like all the pro-level tournaments. The tournament is called the PUBG Mobile Campus Championship or PMCC.

Meanwhile, on the other hand, most student tournaments in the Free Fire ecosystem are organized by third parties, some of which even involve government agencies. Some examples are the Dunia Games Campus League (2019) and the IEL University Series (2020).

Furthermore, PUBG Mobile organizes tournaments at the college or the university level whereas Free Fire more often hosts more tournaments at the school level (below university). Apart from the two examples I mentioned above, Free Fire also organized the Student Cup (for high school students) and the Menpora Esports Cup (open to high school and university students). Just like before, these two tournaments are held by third-party organizations.

Sumber Gambar - Piala Menpora Esports Official Website.
Image Source: Piala Menpora Esports Official Website.

I will continue the discussion of the difference between these two games in the next sub-topic. Now let’s take a look at the global presence of the two games in the esports world.

In 2020, both games held online international tournaments. PUBG Mobile held the PUBG Mobile World League from July to August, while Free Fire held the FF Continental Series in November.

The two tournaments equally divide the participants by region to solve several technical problems (such as ping differential) that will occur. PMWL divides the tournament into two regions: East Region (Asia) and West Region (western region). FFCS divides its tournament into three different regions: EMEA (Middle East), Americas, and Asia (SEA).

Even though Free Fire has more competition regions, PUBG Mobile has more country representatives. Quoting from Liquidpedia’s data, there are 31 countries represented through players who are members of the PWML: West Region and 13 countries for the PMWL East Region. Therefore, a total of 44 countries were represented in the PMWL event.

Quoting again from Liquipedia, the number of countries represented in FFCS is much smaller. It is recorded that there are 12 countries represented through the players who are participants in FFCS: Americas, 13 countries in FFCS: EMEA, and 7 countries in FFCS Asia. Therefore, only a total of 32 countries were represented in the FFCS event.

We can also measure the global presence of the two games by counting the number of languages they broadcast in. According to data from the pro features of Esports Charts, PMWL broadcasts in 16 different local languages (excluding English), PMWL East broadcasts in 9 languages, while PMWL West broadcasts in 7 languages.

With regards to Free Fire, FFCS broadcasts in 10 different local languages (excluding English) from the 3 competitive regions (2 languages in FFCS: EMEA, 6 languages in FFCS: Asia, and 2 languages in FFCS: Americas.

Sumber: Esports Charts
FFCS: Asia Viewership Data. Source: Esports Charts
Sumber: Esports Charts
PMWL: East Region viewership data. Source: Esports Charts

What about international viewership? To investigate this matter, we can use data from Esports Charts. According to the data, PUBG Mobile is superior compared to Free Fire in terms of views. However, both their largest fan base is located in Asia. As proof, PMWL: East only managed to record around 1.1 million peak viewers while FFCS: Asia recorded over 2.5 million peak viewers. You can observe the data in detail in the figures above.

 

Player Growth and Revenue Generated by PUBG Mobile and Free Fire

As we mentioned previously, the two games target two different player segments. We can see the evidence on their respective Google Play pages. We can see that PUBG Mobile is rated 16+ while Free Fire only has a minimum age requirement of 12. Therefore, it is not surprising why Free Fire provides much simpler gameplay equipped with colorful and futuristic visual aspects.

Despite targeting different markets, the two games are still undergoing stiff competition. Let’s first observe the player count statistics. Quoting from Invenglobal, which refers to the Business of Apps, PUBG Mobile reached 65 million peak Daily Active Users in 2020.

Sumber: Google Play
Free Fire has a rating of 12+. Source: Google Play
Sumber: Google Play
PUBG Mobile has a rating 16+. Source: Google Play

For Free Fire, we can refer to their SEA’s (Garena’s parent company) financial statements published in August 2020. In the report, it was stated that Free Fire had reached 100 million peak Daily Active Users. The report also mentioned that Free Fire made it to the Top Grossing list in Latin America and Southeast Asia. Furthermore, Free Fire was claimed to be the 3rd most downloaded mobile games globally.

Let’s move the discussion to the revenue generated by each of these two games. Even though PUBG Mobile has a smaller player base, the game developed by Lightspeed & Quantum turns out to be more profitable than Free Fire.

Sumber Data - Sensor Tower.
Source: Sensor Tower.

In December 2020, Sensor Tower reported that PUBG Mobile managed to generate a revenue of US $ 2.6 billion. This figure combines the profit acquired from the global PUBG Mobile game version and the local Chinese version, Peacekeeper Elite. With this total revenue, PUBG Mobile cemented themselves as the highest grossing mobile game, superseding Honor of Kings (Chinese version of AOV), Pokemon GO, and 3 other casual games (Coin Master, Roblox, and Monster Strike).

On the other hand, Free Fire managed to accumulate a revenue of US$ 2.13 billion, according to SuperData. As a result, Free Fire claims the title of the highest grossing free-to-play game in 2020, along with Pokemon GO, Roblox, League of Legends, and so on.

From these statistics, we can conclude that Free Fire and PUBG Mobile have their own respective successes in the Battle Royale genre. Free Fire managed to attract many players through the more casual gameplay and colorful cosmetics. On the flip side, although PUBG Mobile has a smaller player count, they are more likely to attract users that will perform in-app purchases due to the more mature segmentation of players.

With the various successes they have had in 2020, what will be the future of both of these games?

 

The Future of Battle Royale and the Development of PUBG Mobile and Free Fire

Unfortunately, PUBG Mobile might not have the most promising future with regards to its development as the game has experienced a lot of controversies both internationally and locally.

PUBG Mobile is often viewed as a game that inflicts “negative impact” upon its players. The game was blocked in Pakistan for this very reason. It is also blocked in India, though it was for another reason. In the local spectrum, PUBG Mobile has also been labeled haram by the Aceh Ulama Consultative Assembly since last June 2019.

According to Kompas.com, PUBG Mobile got blocked because it was inducing addictive behavior. This exact reasoning is also brought up in the previously mentioned international incidents such as Pakistan. Quoting India.com, the community considered PUBG Mobile to be addictive and had the potential to harm children’s physical and psychological health.

The addiction argument is often used by the community when discussing the impacts of online games. However, game addiction is actually not a very viable argument. You can see why in this Hybrid.co.id article.

Apart from addiction, I feel that the militaristic theme might also be another reason behind the paranoia caused by PUBG Mobile. If you play PUBG Mobile without the skins or cosmetics, the game actually presents you with a somewhat dark, war-filled, and violent world.

PUBG Mobile is also ironically blocked in China, where the game developer company is based, due to the violent content they display. As a result, PUBG Mobile rebranded to Peacekeeper Elite in China and minimized the disturbing content in the game.

Tencent – the game publisher – and Lightspeed & Quantum – as the game developer – may also be aware that their violent content might be the cause of the controversies they received. Therefore, along with its development, PUBG Mobile is also trying to add more color to the PUBG Mobile game. They achieve this by introducing various futuristic-themed cosmetics, which you can see in the recently released Royale Pass Season 18.

pubgm royale pass 18

What about Free Fire? Even though they are both Battle Royales, Free Fire tends to have less controversies. In terms of content, the Free Fire game looks realistic during its release. But over time, Free Fire also continues to develop its content towards the futuristic theme.

Free Fire had collaborated with the Money Heist series from Netflix, soccer player Christiano Ronaldo in presenting the character Chronos, and even the Attack on Titan anime to feature Eren Jaeger into the game. Free Fire had also been blocked by the Indian government, but it was due to the boycott of products made by China as there were some conflict between the two countries.

As a final discussion, what will be the fate of the Battle Royale in the esports realm? Even though the Battle Royale genre did receive criticism as a competitive esports, the rapid development of Free Fire and PUBG Mobile competitions has actually become a proof of some market interest in the genre.

However, along with its development, both PUBG Mobile and Free Fire often make format changes. The current competitive esports state of these two games is far from perfect, considering that they are a relatively new genre. Many changes must be made to make the scene highly competitive.

In the case of PUBG Mobile, for example, there was a discussion on the possibility of using First-Person mode for esports matches. Furthermore, using the First-Person perspective is only one of the aspects that can be improved. There are still other aspects that can also be discussed, such as the tournament formats or for fair point distributions in both games.

Then what about the Battle Royale genre itself? Will the genre die out in the near future?

To answer this matter, I will refer to my discussion about the causality between free games and esports. In the article, we can observe that a healthy esports ecosystem can prolong the lifespan of a particular game. As long as the esports exist in the genre, new players will continue to come, either because they aspire to be a pro or simply attracted from watching the game.

The Battle Royale genre already has the perfect high-action gameplay with a fitting duration. With this notion in mind, we can safely predict that the Battle Royale esports ecosystem is not going anywhere any time soon.

Translated by: Ananto Joyoadikusumo

Kabar Esports Dota 2 Dari Jumlah Penonton Singapore Major 2021

ONE Esports Dota 2 Singapore Major 2021 telah usai digelar tanggal 4 April 2021 kemarin. Invictus Gaming asal Tiongkok berhasil menang gemilang melawan Evil Geniuses asal Amerika Serikat dengan skor 3-2. Terlepas dari pertandingannya yang berjalan dengan sangat sengit, satu hal lain yang cukup mengundang rasa penasaran mungkin adalah bagaimana jumlah penonton esports Dota 2 sendiri dari ONE Esports Singapore Major 2021 kemarin.

Pasalnya Dota 2 kerap dianggap sebagai “dead game” walaupun komunitasnya masih cukup hidup, Valve masih aktif mengembangkan game-nya, bahkan masih mewadahi keinginan berkompetisi para pemainnya melalui esports. Sekarang, mari coba kita menilik kondisi esports Dota 2 berdasarkan dari data viewership Singapore Major yang saya ambil dari fitur pro milik Esports Charts.

Mengutip dari blog Esports Charts, mereka mengatakan Dota 2 Singapore Major sebagai salah satu pertandingan Major terbaik di sepanjang perjalanan esports Dota 2. Pernyataan tersebut tidak salah karena Dota 2 Singapore Major 2021 berhasil mencetak beberapa rekor jika dibandingkan dengan turnamen Dota 2 Major sebelumnya.

Sumber Gambar - Esports Charts Pro Version
Sumber Gambar – Esports Charts Pro Version

Secara umum, ONE Esports Dota 2 Singapore Major berhasil mencatatkan 605 ribu lebih peak viewers dengan sekitar 195 ribu lebih average viewers. Dari 105 jam total tayangan mengudara, Dota 2 Singapore Major 2021 berhasil mencatatkan sekitar 20 juta lebih total watch hours.

Seperti yang dikatakan sebelumnya, ONE Esports Dota 2 Singapore Major 2021 berhasil mencetak rekor apabila dibandingkan dengan turnamen Dota 2 Major sebelumnya. ONE Esports Dota 2 Singapore Major mencetak rekor sebagai turnamen dengan jumlah peak viewers dan total watch hours terbanyak kedua sepanjang sejarah perjalanan turnamen Dota 2 Major diadakan.

Sumber Gambar - Esports Charts Blog.
Sumber Gambar – Esports Charts Blog

Pemegang peringkat pertama masih Kiev Major 2017 yang mencatatkan 842 ribu lebih peak viewers dengan 29 juta lebih total watch hours. Selain itu, Dota 2 Singapore Major 2021 juga mencatatkan rekor sebagai turnamen Dota 2 Major terlama sepanjang sejarah dengan total 105 jam tayangan mengudara. Sebelum Singapore Major 2021, pemegang rekor tayangan terlama adalah EPICENTER XL yang mencatatkan total 94 jam tayangan mengudara.

Lalu bagaimana dengan jumlah penonton esports Dota 2 di Indonesia sendiri? Apabila mengutip dari tulisan blog milik Esports Charts, terlihat bahwa mereka tidak hanya mencatatkan tayangan official saja, tetapi juga termasuk tayangan komunitas. Pasalnya walau PGL selaku penyelenggara Singapore Major 2021 hanya menyediakan tayangan berbahasa Inggris, Russia, Portugis, Spanyol dan Tiongkok saja, namun Esports Charts masih tetap merekam tayangan bahasa lainnya.

Sumber Gambar - Esports Charts Pro Version
Sumber Gambar – Esports Charts Pro Version

Berhubung dua bahasa Inggris dan Rusia memiliki tayangan official, jadi tidak heran kalau keduanya berhasil mencatatkan jumlah penonton paling banyak. Bahasa Inggris mengisi peringkat 1 dengan 303 ribu lebih peak viewers sementara bahasa Rusia mengisi peringkat 2 dengan 177 ribu lebih peak viewers. Apabila dibandingkan dengan catatan peak viewers tersebut, jumlah penonton tayangan pertandingan Singapore Major 2021 berbahasa Indonesia jadi terasa kerdil karena hanya mencatatkan 12 ribu lebih peak viewers saja.

Catatan tersebut bisa jadi tidak sepenuhnya salah. Untuk menelaah lebih jauh, saya menggunakan channel YouTube Ligagame sebagai sampel. Ligagame bisa dibilang sebagai salah satu channel yang getol menayangkan pertandingan-pertandingan Dota 2 dengan shoutcasters bahasa Indonesia. Ligagame pun turut menayangkan pertandingan Dota 2 Singapore Major 2021. Mengutip dari channel YouTube, tayangan babak final Singapore Major 2021 hanya mencatatkan 68 ribu lebih views saja.

Patut diingat bahwa jumlah “views” dengan jumlah “peak viewers” itu berbeda. Peak viewers merupakan catatan jumlah orang paling banyak yang hadir ke dalam stream saat sedang berjalan. Sementara views merupakan total orang yang melihat sebuah video. Melihat dari perbandingan jumlah views dengan jumlah peak viewers tersebut, maka catatan peak viewers tayangan berbahasa Indonesia milik Esports Charts seharusnya tidak meleset terlalu jauh.

Namun demikian, sedikitnya jumlah penonton tersebut juga sebenarnya bukan tanpa alasan. Salah satu alasan yang paling mungkin adalah karena ketidakhadiran tim Indonesia di dalam turnamen tersebut. Harapan tim Indonesia menuju ke Singapore Major 2021 memang sudah kandas, terutama setelah BOOM Esports kesulitan menantang keras tim-tim yang ada di DPC SEA Regional League – Upper Division.

Dalam artikel blog, Esports Charts juga menjelaskan bahwa ketidakhadiran NAVI juga jadi salah satu alasan kenapa jumlah penonton Rusia jadi tidak sebanyak seperti biasanya.

Setelah Dota 2 Singapore Major 2021 selesai, musim kompetisi Dota 2 tahun 2021 akan kembali berlanjut ke babak Regional League Season 2. Berhubung BOOM Esports finish di peringkat 5 dari total 8 tim peserta, Mikoto dan kawan-kawan masih bertahan di Upper Division untuk Season 2 ini. Dengan kembalinya Dreamocel ke dalam line-up, mampukah BOOM Esports menembus sampai ke Dota 2 Major berikutnya nanti?

*Disclosure: Esports Charts adalah Partner dari Hybrid.co.id.

8 Berita Bisnis Esports dan Investasinya Selama Maret 2021

The show must go on. Memang, dunia belum sepenuhnya pulih dari pandemi virus corona. Namun, hal itu bukan berarti segala kegiatan di industri game dan esports harus terhenti. Tak bisa dipungkiri, beberapa turnamen esports dan game events masih harus diadakan secara online. Meskipun begitu, perjanjian bisnis, baik berupa kontrak kerja sama, akuisisi, atau investasi, masih berjalan. Berikut 8 kontrak bisnis yang ditandantangani sepanjang Maret 2021.

 

1. Motorsport Games Akuisisi Developer rFactor 2, Studio 397

Pada awal Maret 2021, Motorsport Games mengumumkan bahwa mereka akan mengakuisisi Studio 397 dari Luminis International. Meskipun begitu, Studio397, developer dari rFactor 2, akan tetap menggunakan nama dan merek mereka. Tak hanya itu, mereka juga perlu mengganti tim manajemen mereka. Akuisisi ini bernilai US$16 juta. Motorsport Games akan membayar US$12,8 juta saat proses akuisisi disetujui. Sementara US$3,2 juta sisanya akan dibayar satu tahun setelahnya.

Studio397 dan Motorsports Games bekerja sama dalam 24 Hours of Le Mans.
Studio397 dan Motorsports Games bekerja sama dalam 24 Hours of Le Mans.

Sebelum ini, Studio397 dan Motorsport Games telah bekerja sama untuk mengadakan berbagai events, termasuk balapan virtual 24 Hours of Le Mans dan Formula E Race at Home Challenge. Berdasarkan laporan The Esports Observer, Studio397 akan tetap mengembangkan rFactor 2. Namun, mereka juga akan bertanggung jawab atas proyek-proyek Motorsport Games di masa depan.

 

2. Enthusiast Gaming Kerja Sama dengan TikTok

Enthusiast Gaming, perusahaan induk dari Luminosity Gaming, mengumumkan bahwa mereka telah menjalin bekerja sama dengan TikTok. Melalui kolaborasi ini, TikTok berharap, platform video pendek mereka akan semakin dikenal di industri game dan esports.

“Comscore mengakui kami sebagai entitas mobile terbesar untuk kategori Gaming Information di Amerika Serikat. Pengakuan ini merupakan validasi akan riset mendalam yang telah kami lakukan pada pasar gaming, yang mencakup generasi Milenial dan Gen Z,” kata Adrian Montgomery, CEO Enthusiast Gaming, lapor Esports Insider. “Kami tidak sabar untuk bekerja sama dengan TikTok.”

 

3. Developer PUBG Investasi di Perusahaan Esports India, Nodwin

Nodwin Gaming, perusahaan game dan esports asal India, mendapatkan investasi sebesar US$22,5 juta dari perusahaan game Korea Selatan, Krafton. Inc. Kepada The Esports Observer, Co-founder dan Managing Director, Nodwin Gaming Akshat Rathee mengungkap, investasi ini akan mereka gunakan untuk melebarkan sayap mereka di India dan Asia Selatan serta Afrika dan Timur Tengah. Selain itu, mereka juga akan menggunakan dana itu untuk membangun infrastruktur mereka yang telah ada serta mendukung para talenta yang mereka naungi.

Rathee mengatakan, dengan kucuran dana tersebut, Nodwin Gaming juga akan mempertimbangkan untuk membuat turnamen esports dengan sistem franchise. Tak hanya itu, mereka juga tertarik untuk mengembangkan ekosistem esports dari game olahraga, seperti sepak bola atau cricket. Sayangnya, dia enggan untuk mengungkap berapa persen saham yang dipegang oleh Krafton setelah menanamkan investasi di Nodwin.

 

4. Sony Akuisisi Evo

Bersama RTS, Sony Interactive Entertainment membuat joint venture partnership untuk mengakuisisi Evo, turnamen yang punya andil besar dalam mengembangkan ekosistem esports game fighting. Sony meyakinkan, setelah akuisisi ini, dua pendiri Evo, Tom dan Tony Cannon akan tetap menjadi penasehat di Evo. Dengan begitu, keduanya akan bisa memastikan bahwa visi dan misi Evo — yaitu untuk mendukung komunitas esports game fighting — tidak berubah.

Bulan lalu, Evo menjadi bagian dari keluarga PlayStatoin.
Bulan lalu, Evo menjadi bagian dari keluarga PlayStatoin.

Salah satu alasan mengapa Sony mengakuisisi Evo adalah karena mereka sadar, game fighting populer di konsol mereka. Pada 2020, total waktu yang dihabiskan oleh pemain PlayStation untuk memainkan game fighting mencapai 1,1 miliar jam. Meskipun begitu, kebanyakan game fighting yang populer bukanlah buatan Sony, seperti Street Fighter yang dibuat oleh Capcom atau Dragon Ball Fighterz dari Arc System Works.

Sementara itu, bagi Evo, salah satu alasan mengapa mereka tidak keberatan diakuisisi oleh Sony adalah karena skandal yang menerpa mereka pada tahun lalu. Pada 2020, Joey Cuellar — yang ketika itu menjabat sebagai CEO Evo — dituduh dalam beberapa kasus pelecehan seksual. Dewan Evo lalu memecat Cuellar, yang berujung pada dibatalkannya turnamen Evo. Bersamaan dengan pengumuman akuisisi oleh Sony, Evo juga menjanjikan bahwa mereka akan meningkatkan keamanan event yang mereka adakan di masa depan.

 

5. Subway Sponsori Guild Esports

Organisasi esports asal Inggris, Guild Esports, mengumumkan bahwa mereka telah menandatangani kontrak sponsorship dengan franchise sandwich, Subway. Melalui sponsorship ini, Subway akan mendukung para gamers muda yang masuk di akademi buatan Guild. Sebagai franchise sandwich, Subway akan fokus untuk memberikan konten edukasi terkait nutrisi.

Kontrak ini berlaku selama dua tahun dan mencakup 55 negara di kawasan Eropa, Timur Tengah, dan Afrika (EMEA). Selain itu, merek Subway juga akan disematkan pada jersey dari para pemain Guild dan di markas Guild, yang terletak di London. Tak hanya itu, merek Subway juga akan tampil dalam konten buatan Guild. Sayangnya, tidak diketahui berapa nilai dari kerja sama ini.

“Kami punya prinsip-prinsip yang sama. Dan hal inilah yang akan menjadi pondasi dari kerja sama antara Subway dan Academy kami. Dengan begitu, kami akan dapat memberikan kesempatan bekerja dan edukasi kesehatan pada generasi muda,” kata Executive Chairman, Guild Esports, Carleton Curtis pada Esports Insider.

 

6. VSPN Akuisisi Famulei

Versus Programming Network (VSPN) baru saja mengakuisisi perusahaan manajemen streamers, Famulei. Meskipun begitu, Famulei masih akan beroperasi secara mandiri. Kepada The Esports Observer, CEO VSPN, Dino Ying mengungkap bahwa VSPN akan bekerja sama dengan Famulei untuk membuat konten esports yang lebih beragam. Dia menjelaskan, mereka ingin membuat konten esports yang bermacam-macam demi bisa memenuhi permintaan para fans berat esports.Tak hanya itu, mereka juga akan mencoba untuk mencari cara monetisasi baru bagi para influencers.

 

7. Evil Geniuses Kolaborasi dengan POINT3, Elysian, dan Bud Light

Bulan lalu, Evil Geniuses, organisasi esports asal Amerika Utara, berhasil mendapatkan kontrak kerja sama dengan tiga perusahaan, yaitu Bud Light, Elysian Brewing, dan POINT3. Dengan Bud Light, Evil Geniuses akan membuat berbagai konten yang akan ditayangkan di channel mereka sendiri dan channel Bud Light. Salah satu serial konten yang mereka buat, Evil Intercepts, menunjukkan komunikasi antar pemain EG ketika mereka bertanding di liga League of Legends Amerika Serikat dan Kanada.

Hasil kerja sama antara Evil Geniuses dengan POINT3. | Sumber: Esports Insider
Hasil kerja sama antara Evil Geniuses dengan POINT3. | Sumber: Esports Insider

Sementara dengan Elysian Brewing, kerja sama Evil Geniuses mencakup pembuatan konten di media sosial serta platform Live Proud. Mereka juga berencana untuk membuat serial konten berjudul Open Space. Terakhir, EG bekerja sama dengan POINT3, perusahaan apparel asal Georgia, Amerika Serikat. Belum lama ini, POINT3 meluncurkan gaming apparel yang menggunakan  “DRYV”, teknologi paten POINT3 yang berfungsi untuk menjaga tangan tetap kering.

 

8. Envy Gaming Dapat Investasi Seri C Sebesar US$40 Juta

Envy Gaming tengah mengumpulkan investasi Seri C senilai US$40 juta. Ronde investasi itu dipimpin oleh Gray Television, perusahaan broadcasting yang terdaftar di New York Stock Exchange (NYSE). Sebagai investor utama, Gray Television menanamkan US$28,5 juta. Dengan itu, mereka berhak untuk menunjuk dua orang dalam dewan direksi Envy Gaming. Selain itu, Gray Television juga akan menjadi salah satu pemilik dari Envy Gaming.

Didirikan pada 2007, Envy Gaming memiliki beberapa tim yang berlaga di berbagai game, termasuk Valorant, Halo, dan Rocket League. Selain itu, mereka juga punya tim yang berlaga di dua liga franchise, yaitu Dallas Fuel di Overwatch League dan Dallas Empire di Call of Duty League.

10 Atlet Esports Perempuan dengan Pendapatan Terbesar

Industri game dan esports memang identik dengan dunia pria. Meskipun begitu, tetap ada beberapa pemain esports perempuan yang berhasil meraih sukses. Berikut 10 pemain esports perempuan dengan pemasukan terbesar, menurut Esports Earners. Menariknya, para pemain yang masuk daftar ini berlaga di game yang berbeda-beda. Padahal, kebanyakan pemain esports laki-laki yang mendapatkan hadiah terbesar merupakan pemain Dota 2, khususnya, para pemenang The International.

Berikut daftar 10 pemain profesional perempuan dengan pemasukan terbesar.

1. Sasha “Scarlett” Hostyn

Sasha "Scarlette" Hostyn. Via: Reddit
Sasha “Scarlette” Hostyn. Via: Reddit

Dengan total pemasukan sebesar US$393,5 ribu, Scarlett merupakan pemain esports perempuan dengan penghasilan terbesar. Tak hanya itu, dia juga merupakan pemain Starcraft perempuan pertama yang berhasil memenangkan turnamen major. Dan belum lama ini, dia menandatangani kontrak dengan tim baru, Shopify Rebellion. Memang, skena esports Starcraft tidak terlalu besar jika dibandingkan dengan game esports lain seperti League of Legends atau Counter-Strike: Global Offensive. Meskipun begitu, turnamen major dari Starcraft masih diminati. Jadi, Scarlett masih akan bisa melanjutkan karirnya.

2. Vi “VKLiooon” Xiaomeng

Xiaomeng Li. Via: Esports Talk
Xiaomeng Li. Via: Esports Talk

VKLiooon duduk di posisi kedua dalam daftar pemain perempuan dengan pemasukan terbesar. Secara total, dia telah mendapatkan penghasilan sebesar US$238 ribu. Dia merupakan salah satu pemain perempuan ternama di skena esports Hearthstone. Dia mendadak menjadi tenar ketika berhasil memenangkan Hearthstone Grandmasters Global Finals pada 2019. Ketika itu, dia menjadi perempuan pertama yang memenangkan kompetisi tersebut.

3. Kat “Mystik” Gunn

Sekarang, Mystik berkontribusi dalam industri game dan esports dengan menjadi streamer dan cosplayer. Namun, sebelum dia dikenal sebagai streamer, dia merupakan pemain profesional CS:GO. Dia berhasil memenangkan hadiah besar berkat kesuksesan timnya, Carolina Core, di Championship Gaming Series (CGS). Dengan total pemasukan US$122,6 ribu, dia merupakan pemain esports perempuan dengan pemasukan terbesar ketiga. Memang, karir Mystik sebagai pemain profesional tidak bertahan lama. Namun, hal itu cukup untuk membuat namanya dikenal di kalangan fans esports sehingga dia bisa ganti haluan menjadi streamer.

Kat "Mystik" Gunn. | Sumber: katgunn.com
Kat “Mystik” Gunn. | Sumber: katgunn.com

4. Rumay “Hafu” Wang

Hafu dikenal sebagai satu streamer terpopuler di Twitch. Dia dikenal berkat kemampuannya dalam bermain Teamfight Tactics. Sejauh ini, dia telah mendapatkan US$84,5 ribu. Belakangan, dia tidak lagi bertanding di kompetisi esports. Meskipun begitu, dia masih aktif di dunia esports sebagai streamer. Pada November 2020, Hafu menjadi streamer perempuan dengan penonton terbanyak setelah Valkyrae.

Rumay “Hafu” Wang
Rumay “Hafu” Wang

5. Ricki Ortiz

Ricki Ortiz, pemain Street Fighter, duduk di peringkat lima dengan total pemasukan sebesar US$81,2 ribu. Memang, sejak awal karirnya, Ricki selalu fokus pada fighting game. Sekarang, dia bermain sebagai perwakilan Evil Geniuses di kompetisi fighting game, khususnya Street Fighter. Dia bahkan berhasil meraih juara dua di Capcom Cup 2016. Dia hanya kalah di babak final dari mantan juara Du “NuckleDu” Dang.

Ricki Ortiz
Ricki Ortiz

6. Nina “Nina” Qual

Sepanjang karirnya sebagai pemain esports, Nina berhasil mendapatkan US$77,9 ribu. Hal ini membuatnya duduk di posisi enam. Sama seperti Scarlett, Nina juga merupakan pemain Starcraft 2. Sampai saat ini, dia masih aktif ikut kompetisi Starcraft bersama Team eXoN. Sebelum itu, dia merupakan bagian dari ROOT Gaming. Dia pertama kali bergabung dengan ROOT Gaming pada 2012. Dia sempat keluar dari tim tersebut karena alasan keluarga pada Oktober 2012. Namun, satu bulan kemudian, dia kembali bergabung dengan ROOT Gaming.

Nina Qual
Nina Qual

7. Kim “Geguri” Se-yeon

Geguri merupakan pemain Overwatch asal Korea Selatan. Dalam tim, dia biasanya berperan sebagai Off-Tank. Beberapa hero yang menjadi ciri khasnya adalah Zarya, D.Va, Roadhog, dan Orisa. Dia bergabung dengan Shanghai Dragons — tim Overwatch League yang mewakili Tiongkok — pada Februari 2018. Bersama Shanghai Dragons, Geguri pernah memenangkan beberapa turnamen bergengsi, seperti Overwatch League 2020 – Asia Playoffs, Overwatch League – 2020 Regular Season, dan Overwatch League 2020 – Countdown Cup. Namun, dia keluar dari Shanghai Dragon pada Oktober 2020. Secara total, Geguri berhasil mendapatkan US$70,1 ribu.

Geguri ketika mengenakan seragam Shanghai Dragons. | Sumber: Liquipedia
Geguri ketika mengenakan seragam Shanghai Dragons. | Sumber: Liquipedia

8. Tina “Tinaraes” Perez

Dengan total pemasukan sebesar US$66,2 ribu, Tinaraes duduk di peringkat delapan. Dia merupakan pemain Fortnite dan bergabung dengan Gen.G pada Oktober 2018. Ketika itu, Gen.G juga menandatangani kontrak dengan Maddie “Maddiesuun” Mann. Bersama dengan Maddiesuun, Tinaraes menjadi duo Fortnite perempuan di Gen.G. Keduanya merupakan pemain Fortnite perempuan pertama yang mendapatkan kontrak dengan tim esports besar. Bersama dengan Rhux dan Pika, Tinarae berhasil menjadi juara pertama dari TwitchCon 2019.

Via: InvenGlobal
Via: InvenGlobal

9. Maureen “Alice” Gabriella

Jika Anda merupakan pemain PUBG Mobile atau fans esports, Anda pasti pernah mendengar nama Maureen Gabriella alias Alice. Sepanjang karirnya, pemain Bigetron Red Alien ini telah mengumpulkan US$57,4 ribu, menjadikannya sebagai pemain esports perempuan dengan penghasilan terbesar ke-9. Berperan sebagai Sniper atau Support, Alice memang sudah memenangkan banyak kompetisi bergengsi bersama Bigetron, seperti PUBG Mobile Pro League – Fall Split 2020: SEA dan PUBG Mobile Pro League – Fall Split 2020: Indonesia League. Dalam PUBG Mobile GLobal Championship Season 0: League, Alice bersama Bigetron berhasil menjadi juara dua.

10. Marjorie “Kasumi Chan” Bartell

Nama Marjorie Bartell dikenal di dunia esports setelah dia mengalahkan Sarah Harrison di Championship Gaming Series, turnamen Dead or Alive. Dalam waktu kurang dari satu tahun, dia berhasil memenangkan lebih dari US$55 ribu, membuatnya menjadi pemain Dead or Alive dengan pemasukan terbesar. Dia mengambil nama “Kasumi Chan” dari salah satu karakter di seri Dead or Alive.

Marjorie menggunakan nama "Kasumi Chan" dari karakter Dead or Alive. | Sumber: Medium
Marjorie menggunakan nama “Kasumi Chan” dari karakter Dead or Alive. | Sumber: Medium

PUBG Mobile vs Free Fire: Data & Fakta, Ekosistem Esports, Serta Masa Depan

PUBG Mobile dan Free Fire adalah dua game yang kerap diperdebatkan soal siapa yang lebih baik atau keren. Namun konotasi “baik” atau “keren” sebenarnya relatif dan subjektif. Maka dari itu mari kita mencoba lebih objektif dalam membandingkan dua game tersebut. Dalam artikel ini kita akan bicara data dan fakta, serta membahas bagaimana perkembangan ekosistem esports-nya, sampai memprediksi nasib masa depan yang mungkin terjadi bagi kedua game tersebut.

Tanpa berlama-lama lagi, mari kita mulai membahas dua game Battle Royale terpanas di mobile tersebut, dimulai dari kulit terluarnya.

 

Mengupas Kulit Luar PUBG Mobile dan Free Fire

Sebelum membahas ke aspek yang lebih “dewasa”, mari kita bahas kulit terluar dari dua game tersebut terlebih dahulu yaitu gameplay. Dua game tersebut sama-sama Battle Royale. Apa itu Battle Royale? Bagaimana cara bermainnya?

Battle Royale adalah genre yang cukup unik, bahkan bagi para gamers sekalipun. Ketika konsep permainan tersebut pertama kali diperkenalkan 2017 lalu, konsep ini segera menjadi tren baru yang diadaptasi ke dalam berbagai bentuk oleh berbagai developer. Dalam ranah mobile, dua yang paling besar dan gencar persaingannya adalah PUBG Mobile dan Free Fire.

Apa bedanya Battle Royale dengan genre game lain? Game kompetitif pada umumnya menggunakan konsep permainan tim vs tim beranggotakan 5 orang. Pertandingan bisa dilakukan dalam permainan MOBA (Mobile Legends contohnya) atau First-Person Shooter (Point Blank atau Counter-Strike). Battle Royale sedikit berbeda.

Mode kompetitif Battle Royale mempertandingkan 14 tim sekaligus. Masing-masing tim berisikan 4 pemain. Tujuan yang harus dicapai masing-masing tim adalah menjadi tim yang bertahan hidup paling terakhir. Cara bertahan hidup bisa bervariasi, bisa dengan bersembunyi, ataupun secara agresif mengalahkan tim lain. Dalam PUBG Mobile dan Free Fire, cara mengalahkan tim lain adalah menembaki musuh-musuhnya dengan menggunakan senjata.

Lalu apa yang jadi perbedaan utama antara PUBG Mobile dengan Free Fire? Perbedaan tersebut datang dari sisi cara memainkan game-nya (disebut juga mekanik permainan). Sebagai game tembak-tembakkan, kemampuan pemain untuk mengarahkan lalu menembakkan senapan ke arah musuh sangatlah diutamakan.

Dalam Free Fire, proses mengarahkan dan menembak musuh banyak dibantu oleh sistem game-nya sendiri. Beberapa contoh bantuannya sendiri adalah: bidikan (crosshair) senjata yang akan berubah warna saat mengarah tepat ke musuh dan bantuan untuk mengarahkan kembali bidikan ke arah musuh apabila melenceng terlalu jauh (disebut juga aim-assist). Hentakan senjata (disebut juga weapon recoil) juga sengaja dibuat lebih bisa diprediksi agar pemain bisa menembaki musuhnya dengan lebih mudah.

Lalu bagaimana dengan PUBG Mobile? Mekanisme menembak di PUBG Mobile cenderung lebih sulit. Mekanismenya jadi lebih sulit karena minimnya bantuan dari sistem game. Bantuan yang seperti apa? Warna bidikan di PUBG Mobile akan tetap sama ke manapun arahnya, walau tetap memberi timbal balik visual apabila tembakan Anda mengenai orang lain atau objek-objek yang bisa dihancurkan (kendaraan misalnya). PUBG Mobile sebenarnya juga punya aim-assist, tetapi bantuan dari sistem game untuk mengarahkan kembali bidikan yang melenceng tergolong minim. Selain itu, fitur aim-assist di dalam PUBG Mobile juga bisa dimatikan, tidak seperti di Free Fire yang bersifat permanen. Hentakan senjata di PUBG Mobile juga dibuat layaknya senjata di dunia nyata sehingga pemain cenderung lebih sulit untuk menembaki musuh.

Karena perbedaan mekanisme perrmainan tersebut, PUBG Mobile dan Free Fire cenderung menciptakan segmentasi yang berbeda. PUBG Mobile cenderung lebih digandrungi oleh pemain yang kompetitif, suka tantangan, dan cenderung lebih dewasa. Pada sisi lain, Free Fire lebih digandrungi oleh pemain tipe casual yang cenderung lebih muda, walau tetap bisa dinikmati secara kompetitif juga.

Di luar dari gameplay, PUBG Mobile dan Free Fire juga punya beberapa perbedaan aspek visual. Tema visual dan perlengkapan persenjataan di dalam PUBG Mobile cenderung lebih realistis dan militaristik. PUBG Mobile tetap menyajikan skin warna-warni, tapi persenjataan di PUBG Mobile tetaplah persenjataan yang lazim digunakan di dunia milier (seperti granat, flashbang, dan berbagai jenis senjata api yang memang ada di dunia nyata).

Free Fire punya tema visual yang lebih berwarna-warni dan dilengkapi dengan beberapa perlengkapan yang bersifat futuristik dan fantasi. Free Fire sebenarnya tetap memiliki senjata yang berasal di dunia nyata, tetapi beberapa persenjataan lain adalah sesuatu yang bersifat fantasi. Beberapa contohnya seperti: Gloo Wall yang memungkinkan pemain memunculkan tembok es untuk bertahan, karakter yang punya berbagai macam kemampuan, ataupun kendaraan-kendaraan yang terlihat futuristik.

Setelah membahas kulit luarnya, mari kita menyelam ke dalam pembahasan “dewasa” yang tadi saya janjikan, yaitu aspek ekosistem esports, perkembangan jumlah pemain, dan pemasukan dari kedua game tersebut.

 

Ekosistem Esports PUBG Mobile vs Free Fire

Skema ekosisstem esports PUBG Mobile sudah sempat kita bahas pada kesempatan sebelumnya. Lalu bagaimana dengan ekosistem esports Free Fire? Ada turnamen apa saja? Bagaimana skema dari sisi kompetitifnya? Free Fire punya empat kompetisi di Indonesia. Ada Free Fire Masters League dan Free Fire Indonesia Masters sebagai dua kompetisi kasta utama yang dibuat oleh pihak pertama yaitu Garena Indonesia selaku publisher game. Free Fire Masters League bisa dikatakan sebagai babak Regular Season dari satu musim kompetisi, sementara Free Fire Indonesia Masters adalah babak Playoff-nya.

Selain dua kompetisi utama tersebut, Garena Indonesia juga punya dua jenis kompetisi lain. Ada Free Fire The One yang menjadi wadah kompetisi bagi solo player dan Free Fire Royale Combat sebagai wadah kompetisi tim-tim amatir. Sistem kompetisi esports yang diadopsi oleh skena Free Fire sendiri sebenarnya bisa dibilang sebagai sistem campuran.

Garena Indonesia menerapkan sistem tertutup untuk Free Fire Masters League. Liga FFML tergolong sebagai sistem tertutup karena seleksi dilakukan secara terbatas. Selain itu, tim yang ingin ikut serta juga tidak bisa cuma modal jago saja. Christian Wihananto selaku Produser Free Fire dari Garena Indonesia sempat menjelaskan proses masuk ke dalam FFML pada konfrensi pers peluncuran FFML Season 1 yang dilakukan pada awal Januari 2020 lalu. Chris menjelaskan adanya seleksi administratif dan keharusan buy-in slot seharga Rp50 juta bagi tim yang ingin masuk ke dalam liga FFML.

Skema Esports Free Fire Masters League.
Skema Esports Free Fire Masters League.

Tetapi ada sedikit perbedaan antara sistem tertutup yang diterapkan di Free Fire Masters League dengan Franchise League yang diterapkan Mobile Legends: Bang-Bang pada liga MPL. Model franchise dalam liga MPL menetapkan 8 tim yang bertanding di dalamnya sebagai peserta tetap, tanpa adanya sistem promosi ataupun relegasi.

Sementara investasi ke dalam Free Fire Masters League hanya berlaku untuk satu musim saja. Seiring perkembangannya, Free Fire Masters League di musim ke-3 bahkan memperkenalkan FFML Divisi 2 dan menyertakan sistem promosi-relegasi. Karenanya peserta FFML Divisi 2 yang memiliki performa baik akan punya kesempatan untuk naik ke divisi 1 dan sebaliknya (Tim divisi 1 yang berperforma buruk akan turun ke divisi 2 pada musim berikutnya). Maka dari itu liga FFML sendiri memang tidak bisa dibilang sebagai franchise league murni.

Dalam wawancara yang saya lakukan, Christian Wihananto mengatakan bahwa dirinya lebih suka menyebut liga FFML sebagai buy-in model. Selain itu, skena esports Free Fire juga menyertakan sistem terbuka lewat kompetisi Free Fire Indonesia Masters (FFIM). Kompetisi FFIM mempertandingkan 12 tim terbaik se-Indonesia. 12 tim yang bertanding terdiri dari 6 tim yang datang dari Free Fire Masters League dan 6 tim sisanya dari babak Play-Ins.

 

Skema Esports Free Fire Indonesia Masters bagi peserta umum.
Skema Esports Free Fire Indonesia Masters bagi peserta umum.

Bagaimana dengan ekosistem bisnis esports Free Fire? Model bisnis ekosistem esports Free Fire sebenarnya bisa dikatakan masih mirip dengan PUBG Mobile ataupun Mobile Legends: Bang-Bang. Kemiripannya terlihat dari besarnya peran publisher (yaitu Garena Indonesia) di dalam bisnis esports Free Fire. FFML, FFIM, sampai turnamen-turnamen tingkat grassroot seperti FFRC dan FF The One, semuanya diselenggarakan oleh Garena Indonesia sendiri.

Namun demikian, salah satu perbedaan cukup terlihat ketika kita membicarakan turnamen tingkat pelajar/mahasiswa di dalam skena PUBG Mobile dan Free Fire. Dalam ekosistem PUBG Mobile, kompetisi tingkat pelajar/mahasiswa juga diselenggarakan oleh Tencent Games selaku publisher game tersebut di Indonesia. Turnamen tersebut adalah PUBG Mobile Campus Championship atau PMCC.

Sementara pada sisi lain, kebanyakan turnamen pelajar di ekosistem Free Fire diselenggarakan oleh pihak ketiga, bahkan beberapa di antaranya melibatkan badan pemerintah. Beberapa contohnya adalah seperti Dunia Games Campus League (2019) dan IEL University Series (2020).

Selain itu, segmentasi dua game tersebut sebenarnya juga cukup terlihat dari penyelenggaraan kompetisi tingkat pelajar/mahasiswa. Seperti yang sebelumnya saya sebut, PUBG Mobile cenderung menyasar anak kuliahan lewat penyelenggaraan turnamen seperti PMCC.

Sementara itu kompetisi Free Fire cenderung menyasar anak sekolah. Selain dua contoh yang saya sebut di atas, Free Fire juga punya turnamen-turnamen yang diikuti oleh anak sekolah. Beberapa contohnya seperti Piala Pelajar (khusus pelajar setingkat SMA) atau Piala Menpora Esports (terbuka untuk pelajar setingkat SMA dan mahasiswa). Sama seperti sebelumnya, dua turnamen tersebut juga diselenggarakan oleh pihak ketiga.

Sumber Gambar - Piala Menpora Esports Official Website.
Sumber Gambar – Piala Menpora Esports Official Website.

Kelanjutan soal segmentasi akan saya bahas pada sub-pembahasan berikutnya. Sekarang mari kita melihat presensi global kedua game tersebut dari segi esports.

Tahun 2020 lalu dua game tersebut sama-sama menyelenggarakan turnamen internasional secara online. PUBG Mobile menyelenggarakan PUBG Mobile World League pada bulan Juli hingga Agustus 2020 lalu, sementara Free Fire mengadakan FF Continental Series di bulan November.

Dua turnamen tersebut sama-sama membagi pesertanya berdasarkan regional agar memudahkan teknis penyelenggaraan turnamen internasional secara online. PMWL membagi turnamennya menjadi dua bagian: East Region (negara-negara Asia dan sekitarnya) dan West Region (negara-negara barat dan sekitarnya). FFCS membagi turnamennya menjadi tiga bagian: EMEA (Timur tengah dan sekitarnya), Americas (Amerika Latin dan sekitarnya), dan Asia (SEA dan sekitarnya).

Walaupun Free Fire punya lebih banyak region pertandingan, tetapi PUBG Mobile ternyata punya lebih banyak perwakilan negara. Mengutip dari data Liquidpedia, tercatat ada 31 negara yang terwakilkan melalui pemain-pemain yang tergabung dalam PWML: West Region dan 13 negara untuk PMWL East Region. Maka dari itu, total ada 44 negara negara terwakili di dalam gelaran PMWL.

Masih mengutip dari Liquidpedia jumlah negara yang terwakilkan di FFCS lebih sedikit. Tercatat ada 12 negara terwakilkan melalui pemain-pemain yang jadi peserta di FFCS: Americas, 13 negara di FFCS: EMEA, dan 7 negara di FFCS Asia. Maka dari itu total ada 32 negara terwakilkan di dalam gelaran FFCS.

Presensi global esports kedua game tersebut juga bisa kita lihat salah satunya melalui jumlah tayangan bahasa lokal yang disajikan kedua turnamen tersebut. Mengambil data menggunakan fitur pro dari Esports Charts, PMWL memiliki total 16 tayangan bahasa lokal (tidak termasuk bahasa Inggris) dengan 9 bahasa untuk PMWL East dan 7 bahasa untuk PMWL West.

Beralih ke Free Fire, FFCS memiliki total 10 tayangan bahasa lokal (tidak menyertakan bahasa Inggris) dari 3 region yang dipertandingkan tersebut. Dari total 10 tayangan bahasa lokal tersebut, pembagiannya adalah 2 bahasa untuk FFCS: EMEA, 6 bahasa untuk FFCS: Asia, dan 2 bahasa untuk FFCS: Americas.

Sumber: Esports Charts
Data viewership FFCS: Asia. Sumber: Esports Charts
Sumber: Esports Charts
Data viewership PMWL: East Region. Sumber: Esports Charts

Lalu bagaimana jika bicara dari viewership secara internasional? Untuk bagian ini saya kembali menggunakan data dari Esports Charts. Secara angka, Free Fire memang punya jumlah viewers yang lebih banyak ketimbang PUBG Mobile. Namun keduanya memiliki kesamaan yaitu sama-sama memiliki basis penggemar terbesar di Asia. Menurut catatan Esports Charts, PMWL: East berhasil mebukukan 1,1 juta lebih peak viewers sementara FFCS: Asia membukukan 2,5 juta lebih peak viewers. Data lebih lengkapnya bisa Anda lihat pada gambar yang saya sajikan di atas.

 

Data Jumlah Pemain dan Pemasukan PUBG Mobile vs Free Fire

Dua game tersebut sedari awal memang sudah membedakan segmentasinya. Hal itu dapat kita lihat buktinya melalui laman Google Play. Dari laman Google Play, kita bisa melihat PUBG Mobile memiliki rating 16+ sementara Free Fire memiliki rating 12+. Karenanya jadi tidak heran juga kenapa Free Fire menyajikan gameplay yang lebih sederhana yang dilengkapi dengan aspek visual yang warna-warni, futuristik, juga bersifat fantasi.

Walaupun punya dua segmentasi yang berbeda, kedua game tersebut menjalani persaingan yang ketat dari segi angka. Mari kita lihat dulu dari segi jumlah pemain. Mengutip dari Invenglobal yang merujuk ke Business of Apps, jumlah pengguna harian PUBG Mobile sempat mencapai angka 65 juta pemain (peak Daily Active Users) pada tahun 2020 lalu.

Sumber: Google Play
Free Fire dipatok dengan rating 12+. Sumber: Google Play
Sumber: Google Play
PUBG Mobile dipatok dengan rating 16+. Sumber: Google Play

Untuk Free Fire, SEA (perusahaan induk Garena) sempat mempublikasikan laporan keuangan perusahaan mereka pada bulan Agustus 2020 lalu. Dalam laporan tersebut dituliskan bahwa Free Fire sempat mencapai 100 juta pengguna harian (peak Daily Active Users). Masih mengutip dari laporan keuangan tersebut, dikatakan juga bahwa Free Fire berhasil masuk daftar Top Grossing di Amerika Latin dan Asia Tenggara. Free Fire juga masuk peringkat 3 most downloaded dalam kategori mobile games secara global.

Setelah membahas jumlah pemainnya, sekarang mari melanjutkan pembahasan dari segi pendapatan dari kedua game. Walaupun PUBG Mobile kalah jumlah pemain, tapi game yang dikembangkan oleh Lightspeed & Quantum tersebut ternyata lebih menguntungkan ketimbang Free Fire, mengutip dari data pemasukan terakhir kedua game tersebut.

Sumber Data - Sensor Tower.
Sumber Data – Sensor Tower.

Sensor Tower melaporkan pada bulan Desember 2020 lalu bahwa PUBG Mobile berhasil mencetak US$2,6 miliar. Catatan pendapatan tersebut merupakan gabungan dari game PUBG Mobile yang dirilis secara global dan pendapatan dari Peacekeeper Elite yang merupakan versi lokal Tiongkok atas game tersebut. Dengan total pendapatan tersebut, PUBG Mobile pun menjadi game dengan pendapatan tertinggi di atas Honor of Kings (AOV versi Tiongkok), Pokemon GO, dan 3 game casual lainnya (Coin Master, Roblox, dan Monster Strike).

Sementara itu, Free Fire sempat berhasil membukukan pendapatan sebesar US$2,13 miliar berdasarkan dari data yang dikeluarkan oleh SuperData. Karenanya Free Fire digolongkan sebagai game free-to-play paling menguntungkan di tahun 2020 bersama dengan Pokemon GO, Roblox, League of Legends, dan lain sebagainya.

Dari kedua data tersebut, kita bisa melihat bahwa Free Fire dan PUBG Mobile tergolong punya kesuksesannya masing-masing di ranah genre Battle Royale untuk mobile. Free Fire berhasil menggaet banyak pemain berkat gameplay yang lebih casual dan beragam skin serta kolaborasi yang dilakukan. Pada sisi lain, walaupun punya jumlah pemain yang lebih sedikit, pemain PUBG Mobile cenderung lebih mudah untuk dikonversi menjadi paid-user yang mungkin terjadi berkat segmentasi pemainnya yang lebih dewasa.

Dengan berbagai kesuksesan yang mereka dapatkan di tahun 2020 lalu, bagaimana iklim perkembangannya di masa depan? Mari kita berlanjut ke sub-topik berikutnya untuk mendiskusikan masa depan kedua game tersebut dari sisi esports ataupun daya tarik masyarakat.

 

Menatap Masa Depan Battle Royale dan Iklim Perkembangan PUBG Mobile vs Free Fire.

Dari sisi iklim perkembangannya, game PUBG Mobile sebenarnya bisa dikatakan kurang beruntung. Game PUBG Mobile sempat mengalami banyak kontroversi secara internasional ataupun lokal.

Secara internasional, PUBG Mobile kerap kali dianggap sebagai game yang memberikan “dampak negatif.” PUBG Mobile sempat diblokir di Pakistan gara-gara hal tersebut. Selain itu, PUBG Mobile juga diblokir di India walau karena perkara yang berbeda. Lalu dari tingkat lokal, PUBG Mobile juga dicap haram oleh Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh sejak bulan Juni 2019 lalu.

Dalam kasus lokal, mengutip dari Kompas.com, PUBG Mobile diblokir karena dianggap menyebabkan kecanduan. Dalam kasus internasional, masalahnya juga sama. Mengutip India.com, dikatakan bahwa salah satu alasan Pakistan memblokir PUBG Mobile adalah karena masyarakat menganggap game tersebut bersifat adikfif dan berpotensi memberi dampak buruk terhadap kesehatan fisik dan psikis anak.

Pandangan negatif tersebut memang sering tercetus di masyarakat, terutama apabila membahas soal game online. Walaupun sering dicetuskan, namun pandangan negatif itu sebenarnya lemah argumentasinya. Pembahasan lebih panjangnya bisa Anda lihat pada artikel Hybrid.co.id yang satu ini.

Di luar dari itu, menurut opini saya pribadi, konten game yang cenderung realistis dan bersifat militaristik mungkin jadi alasan munculnya rasa paranoid atas PUBG Mobile. Apabila Anda memainkan PUBG Mobile tanpa skin, kosmetik, atau konten tambahan yang disajikan Lightspeed & Quantum, Anda bisa lihat sendiri bagaimana PUBG Mobile menyajikan dunia yang kelam, berisi peperangan, dan penuh kekerasan.

Gara-gara konten perang dan kekerasan tersebut, PUBG Mobile sendiri sebenarnya sempat diblokir di negara asal pengembangnya yaitu Tiongkok. Karena hal tersebut, PUBG Mobile pun kini berganti nama menjadi Peacekeeper Elite di Tiongkok dan meminimalisir konten kekerasan di dalamnya.

Tencent selaku publisher dan Lightspeed & Quantum selaku developer mungkin sadar bahwa salah satu alasan banyaknya kontroversi terhadap PUBG Mobile adalah karena konten peperangan yang disajikan. Maka dari itu, seiring perkembangannya, PUBG Mobile pun berusaha untuk memberi lebih banyak warna ke dalam game PUBG Mobile. Salah satu usaha untuk memberli lebih banyak warna ke dalam game adalah dengan menghiasi PUBG Mobile menggunakan berbagai skin bertema futuristik. Salah satu contohnya mungkin bisa Anda lihat dari konten Royale Pass Season 18 yang baru saja dirilis.

pubgm royale pass 18

Bagaimana dengan Free Fire? Walaupun sama-sama Battle Royale, Free Fire cenderung lebih minim kontroversi. Dari sisi konten, game Free Fire memang terlihat realistis pada awalnya. Namun seiring waktu, Free Fire juga terus berusaha mengembangkan kontennya ke arah game fantasi yang bersifat futuristik. Selain itu, Garena selaku publisher juga giat melakukan kolaborasi konten untuk semakin mengedepankan unsur fantasi ke dalam game tersebut.

Free Fire sempat berkolaborasi dengan serial Money Heist dari Netflix, pesepak bola Christiano Ronaldo untuk menghadirkan karakter Chronos, sampai anime Attack on Titan untuk menampilkan karakter Eren Jaeger ke dalam game. Free Fire sebenarnya juga sempat diblokir pemerintah India, namun pemblokiran tersebut lebih ke arah bentuk pemboikotan India terhadap produk-produk besutan Tiongkok yang terjadi karena masalah konflik perbatasan India-Tiongkok.

Sebagai pembahasan terakhir, hal yang menjadi pertanyaan mungkin adalah bagiamana nasib genre Battle Royale dan esports atas game tersebut ke depannya? Dari sisi esports, walaupun genre Battle Royale memang sempat mendapat kritik ketika saat dikompetisikan, namun perkembangan pesat Free Fire dan PUBG Mobile sebagai esports sebenarnya sudah jadi bentuk bukti minat pasar ke esports Battle Royale.

Namun demikian, seiring perkembangannya, baik PUBG Mobile ataupun Free Fire kerap kali melakukan perubahan format. Tetapi perubahan dan evolusi tersebut sebenarnya bisa dianggap positif mengingat posisi genre Battle Royale sebagai esports yang masih belia sehingga terus butuh perubahan untuk menemukan format terbaiknya.

Dalam kasus PUBG Mobile misalnya, saya sempat membuka diskusi membahas kemungkinan penggunaan mode First-Person Perspective untuk pertandingan esports-nya. Dari pembahasan tersebut, kita bisa melihat bahwa memang masih ada ruang untuk membuat esports genre Battle Royale jadi lebih baik lagi. Pembahasan tersebut masih baru satu aspek saja. Masih ada aspek lain yang sebenarnya juga bisa dipertanyakan seperti format turnamen yang tepat ataupun format pemberian poin yang adil baik untuk Free Fire ataupun PUBG Mobile.

Lalu bagaimana dengan genre Battle Royale sendiri? Apakah game dengan genre tersebut akan pudar popularitasnya di masa depan? Sebenarnya agak sulit untuk memprediksi hal tersebut.

Untuk menjawab perkara ini, sepertinya saya akan kembali mengutip pembahasan saya soal kausalitas antara game gratis dengan esportsDari pembahasan tersebut kita bisa menyadari bahwa memang kehadiran ekosistem esports bisa membuat sebuah game (atau genre game) jadi lebih panjang hajat hidupnya. Selama esports game Battle Royale masih ada, maka pemain baru untuk genre tersebut mungkin akan terus muncul, entah karena ingin menjadi pemain esports atau sekadar ingin menjajal gara-gara menonton pertandingannya.

Mengingat gameplay genre Battle Royale yang penuh aksi dan punya durasi yang pas, sepertinya dua game tersebut punya potensi untuk terus bertahan di dalam ekosistem esports sampai bertahun-tahun ke depan.

Benarkah RRQ Hoshi Adalah Tim Mobile Legends Terpopuler?

Kehadiran Mobile Legends: Bang-Bang dan liga MPL di Asia Tenggara memang menjadi pasokan energi tersendiri bagi ekosistem esports setempat. Bukti nyata hal tersebut bisa kita lihat dari banyaknya mantan pemain profesional MOBA lain yang pindah ke skena MLBB demi masuk ke MPL. Bulan lalu kita sudah sempat membahas turnamen esport terpopuler bulan Februari dengan MPL Indonesia sebagai pemuncak daftar tersebut. Pertanyaan berikutnya, siapakah tim esports MLBB yang paling populer sejauh ini?

Esports Charts baru saja menyajikan data yang mengatakan bahwa RRQ Hoshi adalah tim MLBB terpopuler. Tetapi apa benar? Berikut pemaparan datanya dengan analisis lebih dalam menggunakan fitur pro milik Esports Charts.

 

Indonesia Mendominasi Daftar Tim Esports MLBB Terpopuler

MLBB sering dicibir sebagai game yang hanya populer di Indonesia saja. Mungkin cibiran tersebut ada benarnya. Terlepas dari itu, cibiran tersebut juga berdampak positif karena catatan angka fans Indonesia memang cukup fantastis. Sejauh ini, liga yang konsisten berjalan dan menjadi tontonan para fans MLBB adalah MPL. Liga MPL ada di empat negara, Indonesia, Malaysia, Singapura, Myanmar, dan Filipina.

Dari lima negara tersebut, tim-tim dari MPL Indonesia adalah tim dengan total hours watch terbanyak ketimbang tim dari negara lainnya. Seperti yang dapat Anda lihat pada grafik di bawah, hanya ada 3 tim Filipina saja yang masuk ke dalam daftar sedangkan sisanya berisikan tim dari Indonesia.

RRQ Hoshi berhasil menjadi tim yang paling populer dengan total 23,8 juta total watch hours dari 103 juta jam tayang di dalam pertandingan. Dari data tersebut, satu yang cukup mengejutkan mungkin adalah posisi EVOS Esports yang ternyata ada di posisi ketiga, di bawah Alter Ego yang ada di peringkat kedua. Karenanya data tersebut secara tidak langsung juga menjadi cermin tingkat kekuatan tim-tim di skena kompetitif MLBB baik lokal ataupun internasional belakangan ini.

Sumber Gambar - Esports Charts Blog.
Sumber Gambar – Esports Charts Blog.

Kalau Anda adalah penggemar berat esports MLBB Anda mungkin tahu bagaimana kondisi kekuatan tim-tim tersebut belakangan ini. RRQ Hoshi memang cukup konsisten, setidaknya sebelum MPL ID S7 dimulai. Mereka juga mendapatkan gelar MPL Indonesia sebanyak dua kali berturut-turut, di season 5 dan 6. Meski sayangnya RRQ Hoshi terbilang belum beruntung di panggung internasional.

Alter Ego adalah kontestan baru yang sedang panas semangat serta performanya. Walau belum berhasil mendapatkan gelar MPL Indonesia, namun mereka berhasil jadi juara MPL Invitational di tahun 2020 lalu walau terjegal Bren Esports pada M2 MLBB World Championship.

EVOS Legends terlihat masih berusaha keras mencari performa terbaiknya belakangan ini. Namun mereka sempat mengenyam masa jayanya di tahun 2019 lalu. Mereka menyabet dua gelar di tahun itu, gelar juara nasional lewat MPL ID Season 4 dan gelar juara dunia lewat M1 MLBB World Championship. Namun performa mereka mulai tidak konsisten pasca ditinggal oleh senior-seniornya seperti Donkey dan Aura.

 

Benarkah RRQ Hoshi Adalah Tim MLBB Terpopuler?

Sepanjang perjalanan MPL Indonesia sendiri, RRQ Hoshi ternyata memang menjadi tim yang paling ditunggu pertandingannya. Untuk mendapatkan informasi tersebut, saya menggunakan fitur pro milik Esports Charts dan melihat data 5 tayangan pertandingan bahasa Indonesia terpopuler dari MPL Indonesia Season 4, 5, 6, dan 7.

Dari pencarian tersebut saya menemukan bahwa RRQ Hoshi mengisi mayoritas daftar 5 tayangan pertandingan bahasa Indonesia terpopuler di MPL ID. Pada season 4, RRQ Hoshi mengisi 4 dari 5 pertandingan yang ada dalam daftar. Di Season 5 RRQ Hoshi mengisi 3 dari 5 pertandingan yang ada dalam daftar. Pada Season 6, RRQ Hoshi tampil di semua tayangan pertandingan bahasa Indonesia terpopuler. Terakhir pada season 7 (sampai artikel ini ditulis), RRQ Hoshi mengisi 4 dari 5 daftar tayangan bahasa Indonesia terpopuler.

MPL ID Season 4
MPL ID Season 4. Sumber Data – Esports Charts Pro Features.
MPL ID Season 5
MPL ID Season 5. Sumber Data – Esports Charts Pro Features.

Hal tersebut sedikit banyak membuktikan bahwa memang pertandingan RRQ Hoshi adalah pertandingan yang ditunggu oleh penonton esports MLBB. Namun perubahan tim rivalnya dari musim ke musim jadi menarik untuk dibahas.

Seperti yang Anda lihat pada gambar di atas, antusiasme tertinggi penonton MLBB Indonesia di season 4 dan 5 hanyalah pada el clasico (RRQ vs EVOS) saja dengan total 6 pertandingan muncul di dalam daftar. Tetapi memasuki season ke-6, pertandingan lain mulai muncul ke dalam daftar yang juga menjadi bukti meningkatnya level kompetisi di dalam liga.

Pada season ke-6, hanya ada satu pertandingan el clasico saja yang ada di dalam daftar. Empat sisanya justru terdiri dari dua pertandingan RRQ Hoshi vs ONIC Esports dan dua pertandingan RRQ Hoshi vs Alter Ego. Season ke-7 memang masih berjalan, tetapi catatan datanya juga menarik untuk dibahas.

MPL ID Season 6
MPL ID Season 6. Sumber Data – Esports Charts Pro Features.
MPL ID Season 7
MPL ID Season 7. Sumber Data – Esports Charts Pro Features.

Musim ini el clasico jadi menarik lagi karena RRQ Hoshi terlihat sedang mencari-cari line-up terbaiknya. Tetapi selain itu, ada dua tim yang terlihat mulai menanjak kemampuannya sehingga menghasilkan match berkualitas yang ditonton banyak orang. Dua tim tersebut adalah Genflix Aerowolf dan Bigetron Alpha.

Genflix Aerowolf terakhir kali berhasil mengalahkan RRQ Hoshi di pertandingan Week 3 Day 3 kemarin dengan skor 2-1. Sementara itu Bigetron Alpha sebenarnya kalah 0-2 lawan RRQ Hoshi pada week 2 day 3. Namun demikian, Bigetron Alpha menunjukkan perlawanan yang sengit sehingga menarik perhatian banyak orang.

Geek Fam ID sebenarnya juga jadi tim lain yang sedang menunjukkan momentum positif di season 7 ini. Namun Geek Fam ID mengalami musim yang buruk belakangan, yang mungkin sedikit banyak menurunkan popularitasnya.

Tayangan M2 MLBB World Championship bahasa Inggris terpopuler. Sumber Gambar - Esports Charts Pro Features.
Tayangan M2 MLBB World Championship bahasa Inggris. Sumber Gambar – Esports Charts Pro Features.
Tayangan M2 MLBB World Championship bahasa Indonesia terpopuler. Sumber Gambar - Esports Charts Pro Features.
Tayangan M2 MLBB World Championship bahasa Indonesia. Sumber Gambar – Esports Charts Pro Features.

Dalam pertandingan internasional, RRQ Hoshi pun masih mempertahankan popularitasnya walau bukan yang nomor 1. Menggunakan M2 World Championship sebagai sampel, di sana terlihat bahwa RRQ Hoshi hanya ada diperingkat ke-3 dari sisi total hours watched. RRQ Hoshi juga terlihat hanya tampil satu kali saja dari daftar tayangan pertandingan berbahasa Inggris terpopuler. Namun memang, angka penonton bahasa Inggris kalah telak dibanding dengan angka penonton bahasa Indonesia.

Seperti yang bisa Anda lihat sendiri di atas, angka jumlah penonton tayangan bahasa Inggris vs bahasa Indonesia adalah ratusan ribu berbanding dengan jutaan. Karenanya posisi RRQ Hoshi sebagai tim terpopuler jika berdasarkan angka semata sebenarnya tidak salah. Tetapi jika kita juga memperhitungkan asal negara penonton, popularitas RRQ Hoshi bisa dibilang hanya untuk fans lokal saja.

 

Pertandingan Esports yang Menarik: Match Berkualitas atau Pamor Tim yang Bertanding?

RRQ punya fans yang loyal dan cukup fanatik. | Sumber: ONE Esports
RRQ punya fans yang loyal dan cukup fanatik. | Sumber: ONE Esports

Melihat dari data-data di atas membuat saya jadi bertanya soal faktor yang membuat sebuah pertandingan jadi banyak ditonton. Apakah karena match-nya yang berkualitas atau pamor tim yang bertanding? Saya sudah sempat membahas mendalam soal mendahulukan prestasi atau pamor tim dari sisi organisasi esports.

Namun apabila melihat dari sisi pertandingan berdasarkan dari data-data di atas, match berkualitas dan pamor tim pun menjadi dua faktor erat yang saling membantu. Seperti yang Anda lihat sendiri, awalnya hanya pertandingan el clasico saja yang populer di season 4 dan 5. Tetapi beberapa tim lain mulai muncul ke permukaan di musim-musim setelahnya, terutama ketika tim-tim tersebut memberi perlawanan yang menarik.

Pamor RRQ Hoshi sebagai tim kuat mungkin masih sulit dipatahkan. Namun ketika satu tim memberi perlawanan sengit (atau bahkan mengalahkan) RRQ Hoshi, maka pertandingan tersebut pun jadi magnet tersendiri bagi penonton. Ibarat Manchester United di masa jayanya, pertandingan mereka tidak hanya ditunggu oleh para penggemarnya, tetapi juga oleh para haters yang berharap The Red Devils dikalahkan pesaing kuatnya.

*Disclosure: Esports Charts adalah Partner dari Hybrid.co.id