Maxava Sediakan Platform Disaster Recovery untuk server IBM i selama Masa Pandemi

Perkembangan teknologi membuat berbagai vertikal bisnis mulai melakukan kegiatan operasional dan pelayanan secara digital. Peralihan ini membuat data menjadi kunci bagi setiap perusahaan dalam memberikan kepuasan konsumen kepada klien maupun pengguna produk mereka. Di sisi lain, bila terjadi masalah berupa kehilangan atau kerusakan data, operasional bisnis perusahaan tersebut dapat mendadak terhenti. Masalah-masalah seperti server outages, data loss, atau data corruption dapat tiba-tiba terjadi dan seketika menghentikan operasi bisnis. Kendala kerusakan atau kegagalan pemrosesan data tersebut biasanya terjadi di dalam server operasional yang digunakan perusahaan. Salah satu yang juga telah banyak digunakan oleh perusahaan dalam operasional bisnisnya adalah IBM i.

Saat ini, server IBM i sendiri telah digunakan oleh ribuan bank, perusahaan asuransi, lembaga finansial, serta banyak perusahaan lainnya di indonesia dan seluruh dunia. Bank-bank di Indonesia saat ini juga menjalankan aplikasi perbankan dan jaringan ATM mereka pada server IBM i, untuk itu server ini menjadi tempat penyimpanan penting untuk pengelolaan data dan informasi bagi perbankan. Hal ini juga didukung oleh kemampuan server IBM i yang dapat menangani jutaan transaksi dalam satu jam. Jumlah transaksi yang begitu banyak tersebut juga memperlihatkan pentingnya disaster recovery dan high ability untuk proteksi data saat menggunakan server IBM i. Untuk itu, setiap perusahaan kini perlu memberikan perhatian lebih terhadap manajemen proteksi data yang dimiliki, salah satunya adalah dengan memiliki perencanaan disaster recovery yang baik.

Maxava Membantu Menghindari Downtime

Memiliki software atau platform disaster recovery dapat membuat perusahaan memiliki solusi untuk melakukan backup dan recovery pada waktu tertentu. Salah satu penyedia platform disaster recovery tersebut adalah Maxava. Melalui platformnya, Maxava memberikan solusi bagi perusahaan untuk melakukan pencadangan dan pemulihan data secara real-time. Salah satu keunggulan platform ini adalah kemampuannya dalam memproses ratusan juta transaksi per hari. Selain itu, setiap kali database diperbarui karena adanya transaksi baru, maka data transaksi tersebut akan segera direplikasi ke server cadangan di lokasi lain melalui platform ini. Pada umumnya, perusahaan memang melakukan pemeliharaan server cadangan di lokasi lain untuk berjaga-jaga bila suatu waktu terjadi kegagalan pemrosesan data atau bencana di lokasi produksi utama. Pencadangan ini dilakukan untuk menghindari kerugian besar yang dapat terjadi karena downtime. Bisa dibayangkan bagaimana kerugian yang dapat dialami apabila misalnya suatu bank kehilangan ribuan transaksi karena mengalami downtime.

Penyebab terjadinya downtime karena kegagalan operasional ini juga bervariasi, mulai dari bencana alam, malware, human error, hingga perangkat keras yang rusak. Salah satu hal penting yang harus dicermati dalam pemilihan platform disaster recovery adalah kemampuan untuk melakukan role-swap, sebuah fitur yang dapat “menukar” penggunaan komputer perusahaan ke database yang telah dicadangkan secara seamless. Hal ini membuat sistem yang rusak atau mengalami kendala dapat langsung digantikan oleh sistem yang telah dicadangkan. Dengan memiliki disaster recovery software, kehilangan data dapat dihindari serta operasional tetap dapat berjalan 24 jam karena telah dicadangkan sebelumnya.

Mengalami downtime akibat kerusakan data dapat menyebabkan kerugian yang sangat besar bagi bisnis. Menurut Gartner, kerugian ini dapat mencapai rata-rata $5,600 per menitnya. Selain menghindari kerugian karena kegagalan operasional tersebut, memiliki platform disaster recovery berbasis cloud juga dapat lebih menghemat pengeluaran untuk proteksi data secara manual. Perusahaan yang memiliki cabang juga dapat melakukan backup dan recovery secara cepat saat operasional teknis di cabangnya sedang diperbaiki sehingga operasional bisnis tetap dapat berjalan dalam hitungan menit.

Disaster Recovery Dibutuhkan oleh Berbagai Industri selama COVID-19

Memiliki platform disaster recovery sebagai bagian dari manajemen proyeksi data tidak hanya dibutuhkan oleh industri tertentu. Setiap perusahaan yang melakukan pengolahan data dalam operasionalnya jelas membutuhkan sebuah solusi untuk melakukan backup dan recovery. Tujuannya adalah untuk menghindari kehilangan data penting serta dapat dengan cepat kembali menjalankan bisnisnya. Berbagai industri mulai dari perbankan, kesehatan, asuransi, hingga manufaktur dapat menerapkan manajemen proyeksi data menggunakan platform disaster recovery tersebut.

Selama masa pandemi yang diakibatkan COVID-19 ini, dapat dilihat dengan jelas bahwa kemampuan role-swap ke server cadangan IBM i sangat penting bagi perusahaan. Salah satu alasannya karena selama masa pandemi ini banyak perusahaan mengalami kesulitan dalam mempertahankan akses normal ke gedung dan sistem mereka. Salah satu perusahaan yang melihat pentingnya disaster recovery tersebut adalah PT Asuransi Tokio Marine Indonesia. Tokio Marine Indonesia adalah perusahaan asuransi global yang mengusung kepuasan pelanggan, kepatuhan dan komunikasi sebagai core values perusahaannya. Baru-baru ini, perusahaan tersebut mengimplementasikan Maxava untuk server IBM i mereka. Dengan memiliki cadangan sistem dengan database yang terus diperbaharui secara real-time, dapat memberikan perusahaan seperti Tokio Marine Indonesia cadangan pertahanan dari kerusakan dan kegagalan pemrosesan data serta terhindar dari pemulihan sistem tunggal.

Membantu Usaha Kecil Fokus Mengembangkan Bisnis

Tidak hanya korporasi besar yang harus memperhatikan kerberlangsungan bisnisnya, tetapi juga para pelaku UKM dan juga startup. Semua perusahaan kini harus memberikan perhatian lebih terhadap manajemen proteksi datanya untuk menjaga keberlangsungan bisnisnya. Transaksi elektronik yang dilakukan secara digital tidak dapat dipulihkan jika hilang karena terjadi kerusakan. Kegagalan operasional akibat kerusakan atau kehilangan data dapat menyebabkan hilangnya kesempatan menyelesaikan transaksi tersebut. Dengan memiliki perencanaan terhadap proteksi data dengan memanfaatkan platform disaster recovery seperti Maxava, perusahaan tersebut dapat terus fokus dalam mengembangkan bisnisnya menuju skala bisnis yang lebih besar.

Maxava adalah penyedia platform disaster recovery dan system monitoring untuk IBM i yang dapat diimplementasikan di berbagai industri dan berbagai skala bisnis. Melalui platformnya, Maxava menyediakan solusi backup dan recovery untuk melakukan proteksi terhadap kehilangan atau kerusakan data yang dapat mendatangkan potensi downtime terlalu lama, serta kerugian bisnis yang cukup besar bagi perusahaan. Dengan menggunakan Maxava, baik korporasi maupun usaha kecil yang juga menggunakan platform IBM i dapat melakukan penghematan anggaran, waktu, dan juga tenaga sumber daya yang dibutuhkan.

Selain itu, Maxava juga mengembangkan sebuah platform monitoring tools berbasis cloud yang memungkinkan perusahaan untuk memonitor dan mengelola software mereka seperti IBM i, Windows, AIX dan Linux dari jarak jauh. Keunggulan ini menjadi sangat penting selama masa pandemi COVID-19 dimana banyak perusahaan dan staf teknisnya bekerja dari rumah.

Saatnya untuk Meninjau Disaster Recovery Plan Anda

Memang benar bahwa banyak pelaku bisnis harus meninjau kembali strategi pemulihan bencana mereka selama masa pandemi ini. Perlindungan dari kehilangan data dan pemadaman server menjadi hal yang sangat penting dan situasi pandemi ini juga memperlihatkan perlunya semua bisnis untuk meninjau dan memperbarui rencana dan strategi mereka. Dengan pemilihan platform dan strategi yang tepat, operasional bisnis dapat terus berjalan tanpa perlu khawatir meskipun terkendala akses yang terbatas akibat pandemi ini.

Untuk mempelajari lebih lanjut mengenai pentingnya disaster recovery bagi perusahaan, Anda dapat mengikuti New Zealand Fintech Webinar #2 pada Kamis, 2 Juli 2020. Daftar segera lewat tautan berikut ini.

Disclosure: Artikel ini adalah konten bersponsor yang didukung oleh NZTE

Karena di Awan Pun Juga Ada Petir

Cukup ramai beberapa waktu terakhir bertebaran di media sosial sebuah tulisan blog pribadi tentang kekecewaan seorang Founder startup asal Yogyakarta yang disebabkan kegagalan penyedia layanan cloud server kepercayaannya sehingga menyebabkan data bisnis (di server website dan server email) hilang begitu saja. Hal ini sontak membuat banyak pihak menjadi was-was, dari tadinya merasa aman dan nyaman meletakkan produk dan layanan mereka pada brand cloud server ternama, kini mulai dihantui dengan isu yang sama. Penting bagi kita untuk mencoba mengulang kembali bagaimana sebenarnya konsep cloud computing tersebut bekerja.

Cloud computing atau komputasi awan mulai hype sejak awal era millenium. Kehadirannya diawali oleh pesatnya penggunaan VPN (Virtual Private Network) di kalangan pengguna internet – jika jaringan saja bisa dibuat jalur pribadi dengan kepemilikan yang lebih simpel dan murah, bagaimana dengan server – Amazon menjadi pemain kunci di awal kehadiran layanan komputasi awan. Popularitas layanan tersebut kian menjanjikan kala brand besar seperti Microsoft, Google hingga IBM turut meramaikan pasar dengan berbagai variasi layanan dan jaminan kenyamanan pengguna. Produk komputasi awan pun mulai mengerucut untuk sampai ke konsumen, dari berbentuk SaaS (Software as a Services), IaaS (Infrastructure as a Services), dan PaaS (Platform as a Services).

Tujuan konsep komputasi awan semakin jelas, yakni ingin membuat pengembang software memfokuskan pada produk, bukan pada pengelolaan infrastruktur, dalam hal ini server. Sistem server menjadi peran dominan seiring meningkatnya ketergantungan bisnis dengan dunia online. Penumbuhan traksi yang cepat dan dinamika produk menjadi pertimbangan kunci. Alhasil layanan komputasi awan laris-manis di pasaran. Faktanya pun demikian. Layanan komputasi awan benar-benar menyederhanakan proses manajemen dan pemeliharaan infrastruktur server. Menariknya layanan tersebut juga memberikan fleksibilitas dan skalabilitas dalam penggunaan, pun demikian dengan sistem pembayaran. “Pay as you use”.

Komputasi awan tetap disokong server fisik

Jargon Service Level Agreement (SLA) menjadi salah satu yang paling kencang ditawarkan dalam pemasaran layanan komputasi awan. Persentase 99,99% SLA sering disodorkan untuk meyakinkan kepada pengguna agar meletakkan sistem aplikasinya ke layanan tersebut. Diketahui namun sering tak diindahkan bahwa ketika berbicara tentang komputasi awan sebenarnya tetap berbicara tentang server fisik, hanya saja letaknya jarang kita ketahui. Konsep virtualisasi menjadi salah satu yang berperan besar dalam peradaban komputasi awan. Sistem mirroring atau duplikasi server juga.

Perbedaan antara menyediakan server on-premise (mengelola data center secara mandiri) dengan mengandalkan layanan komputasi awan adalah terletak pada jangkauan pengelolaan dan pemeliharaan. Sedangkan persamaannya, keduanya sama-sama mengandalkan pada “kredibilitas” komputer server. Ketika kita mengelola server secara on-premise maka penjagaan sepenuhnya ada di tangan kita, plus pengelolaan. Bedanya ketika berlangganan dengan layanan komputasi awan, kita mempercayakan penjagaan tersebut kepada pihak lain.

Jadi dapat ditarik benang merahnya. Ini hanya masalah letak server dan penjagaan. Bentuknya tetap sebuah komputer server, bukan sebuah kekuatan super yang melayang di atmosfer. Artinya 0,01% di luar SLA bisa jadi mengabarkan kepada kita bahwa komputer server terbakar atau meledak.

Kegiatan membosankan bernama mem-backup

Menyadari komputasi awan tetaplah sebuah bentukan fisik dari komputer server, kekhawatiran tampaknya kembali perlu ditanamkan. Pertanyaan seperti “Bagaimana jika tiba-tiba SSD (Solid State Drive) pada server mengalami corrupt?”, “Bagaimana jika terjadi kerusakan pada CPU di server?”, dan sebagainya penting untuk menjadi pertimbangan, setidaknya untuk membakar kemalasan untuk melakukan sebuah kegiatan membosankan bernama “mem-backup” data. Sayangnya sampai saat ini belum ada brand yang benar-benar bisa memberikan 100% SLA yang mencakup keseluruhan layanan cloud server yang dijajakan.

Jika sekelas Digital Ocean yang banyak dielukan saja tidak bisa mengembalikan data Fitinline yang lenyap di servernya, maka tugas backup menjadi agenda yang seharusnya krusial. Bisa jadi bisnis online yang sudah besar butuh mengalokasikan tim khusus yang bertugas untuk melakukan backup data. Ini layaknya sebuah asuransi. Jika tidak terjadi kecelakaan, maka hanya terkesan sebagai sebuah kegiatan yang menghamburkan sumber daya. Namun jika kembali mengingat bahwa sebuah benda fisik bisa kapan saja terdampak risiko buruk, maka hal tersebut harusnya dapat disiapkan secara lebih matang.

Apa yang diharapkan dari sebuah layanan komputasi awan?

Selain memangkas tuntas kerumitan pengelolaan sumber daya server, pemanfaatan komputasi awan sering dikaitkan dengan kebutuhan yang berjenjang, terlebih untuk startup. Umumnya startup dimulai dengan sistem berkapasitas minim sehingga tidak memerlukan sumber daya yang besar. Seiring dengan bertumbuhnya pengguna suatu layanan, kadang startup perlu melakukan peningkatan (upgrade) sistem server secara cepat, mengimbangi lonjakan yang dihadapi. Komputasi awan memfasilitasi kebutuhan tersebut dengan baik, karena salah satu visi yang ingin didorong adalah skalabilitas yang mudah.

Kecepatan akses juga menjadi pertimbangan tatkala seseorang mempercayakan meletakkan sistem yang dibangun pada sebuah layanan komputasi awan. Umumnya penyedia layanan komputasi awan menawarkan kenyamanan pemilihan data center sesuai dengan target penggunaan, tujuannya agar akses lebih cepat. Saat ini yang dijajakan untuk sebuah layanan – misalnya website – bukan sekedar sistem hosting, namun mengarah ke VPS (Virtual Private Server) atau VM (Virtual Machine). Yang disewakan bukan sebuah ruang kosong dengan kapasitas tertentu, melainkan satu kesatuan sistem server.

Salah satu hal krusial lainnya adalah terkait dengan jaminan akan data-data yang diunggah ke server tersebut. Perlu dipahami betul ketentuan SLA dan batasan tanggung jawab penyedia layanan komputasi awan sebelum memilih, sehingga dari sisi penggunaan kita dapat memastikan tindakan yang perlu dilakukan untuk disaster recovery ketika terjadi kegagalan di sisi penyedia.

Teknologi kini menjadi kunci bisnis digital yang berkembang dan akan terus menjadi ketergantungan. Kesiapan untuk menghadapi berbagai kemungkinan juga menjadi hal yang krusial, karena di awan juga ada petir yang kapanpun bisa menyambar.

Indosat Ooredoo dan Lintasarta Resmikan Disaster Recovery Center 3 Di Jatiluhur

Hari ini Indosat Ooredoo bersama dengan Lintasarta secara resmi meluncurkan Disaster Recovery Center (DRC) 3 di kawasan Jatiluhur, Purwakarta. DRC 3 yang memiliki kapasitas luas total mencapai 6.000 disuplai oleh dua sumber listrik dari dua provider berbeda, yakni, PLN dan Jasa Tirta II dalam rangka untuk meningkatkan availabilitas layanan yang diberikan. Selain itu, DRC 3 ini juga telah lulus sertifikasi Tier III dari Uptime Institure yang menandakan layanan ini siap digunakan sebagai penunjang business continuity perusahaan.

Director and Chief Wholesale & Enterprise Officer Indosat Ooredoo Herfini Haryono mengatakan pembangunan DRC 3 ini menunjukkan bahwa Indosat Ooredoo bersama Linstasarta menjadi pemain utama solusi Data Center dengan pengalaman, kapasitas, dan keandalan melalui teknologi, jaringan luas, dan sumber daya manusia yang berkualitas.

“Pasar Data Center akan terus mencatat pertumbuhan besar dalam dua tahun ke depan, salah satunya didorong keberadaan PP Nomor 82 Tahun 2012, dan kami telah siap menangkap peluang tersebut. DRC 3 yang berada di Jatiluhur menjadi alternatif pilihan terbaik bagi pelaku industri dengan lokasi yang sangat strategis yang memiliki profil risiko bencana yang amat rendah dan berbeda dibandingkan di Jakarta. Jatiluhur juga merupakan hub utama untuk jaringan komunikasi dari Indosat Ooredoo dan Lintasarta,” ujar Herfini.

Di samping itu President Director Lintasarta Arya Damar mengungkapkan pihaknya akan terus melakukan pembangunan Data Center atau DRC baru dengan standar tinggi untuk memenuhi kebutuhan pelaku industri serta pertumbuhan pasar data center.

“DRC 3 di Jatiluhur memenuhi kebutuhan data center perusahaan yang handal dengan memiliki dua sumber power serta desain dan konstruksi mengikuti standar internasional sehingga mampu mengirimkan SLA yang tinggi ke pelanggan,” terang Arya.

DRC 3 ini disiapkan dengan membawa sejumlah keunggulan, di antaranya adalah solusi total data center yang menyediakan layanan colocation, network, dan managed service dengan model bisnis sewa. Solusi ini diklaim mampu membuat para pelaku industri beralih dari capital expenditure (capex) menjadi operational expenditure (opex).

Selain itu kelebihan lain dari DRC 3 adalah working area yang luas dan nyaman baik untuk kebutuhan Disaster Recovery Procedure (DRP) maupun aktivitas IT pelanggan. DRC 3 ini juga disebutkan telah didukung oleh sumber daya manusia (SDM) yang tersertifikasi standar internasional dari Uptime Institute seperti Accredited Tier Designer di bagian design/build, Accredited Tier Specialist di bagian operations.

Dalam rilis pers DRC 3 ini juga disebutkan telah mengantongi sejumlah sertifikat, mulai dari kategori standar Telecommunications Industry, bisnis proses hingga standar keamanan informasi.

“Dalam hal ini, pelaku industri bukan hanya memiliki opsi penempatan data center lebih banyak namun juga comply terhadap standar keamanan internasional yang ditetapkan,” tutup Herfini Haryono.

UKM Seharusnya Memiliki Rencana Disaster Recovery Berbasis Cloud Sejak Dini

Berbeda dengan perusahaan raksasa yang telah sukses, perusahaan kecil hingga menengah membutuhkan perhatian yang lebih besar untuk mengembangkan bisnis mereka. Perhatian-perhatian tersebut mencakup uang, waktu, sumber daya, dan lain sebagainya. Namun banyak dari mereka yang gagal merencanakan dan mempersiapkan dengan baik kondisi perusahaan ketika bencana alam melanda.

Berdasarkan laporan Administrasi Bisnis Mikro (SBA) Amerika Serikat, diperkirakan 25% dari perusahaan kecil yang terkena dampak bencana gagal untuk menyelamatkan nyawa perusahaan mereka. Perusahaan seharusnya mengetahui lantas mempersiapkan backup dari data-data mereka, aplikasi-aplikasi, dan pekerjaan mereka. Langkah ini dilakukan demi meminimalisir kehilangan yang didapatkan kala bencana melanda.

Perusahaan dapat melindungi bisnis mereka dengan terlebih dahulu mengidentifikasi jenis bencana alam atau human error yang kemungkinan akan terjadi, kemudian membuat perincian rencana untuk tindakan yang dapat dilakukan saat bencana terjadi. Tidak perlu menunggu untuk bencana datang terlebih dahulu, perusahaan seharusnya telah mulai kesiapannya sejak dini.

Hal ini menjadikan terbukanya peluang untuk mengembangkan binis berkonsep Disaster Recovery. Disaster Recovery menawarkan keamanan yang jauh lebih baik, mengizinkan klien mereka sebagai perusahaan kecil untuk mengatur titik pembaruan berdasarkan menit atau jam tertentu. Dengan demikian, perusahaan dapat dengan cepat melakukan restart aplikasi ketimbang harus mengembalikannya dari ruang penyimpanan yang berbeda-beda.

Kini, telah banyak perusahaan atau organisasi memanfaatkan cloud untuk membackup data-data mereka, umumnya setiap 24 jam sekali atau lebih. Ketika bencana terjadi, data dari dalam beberapa jam atau beberapa hari dapat hilang kapan saja, namun butuh waktu yang tidak singkat pula untuk mengembalikannya. Meskipun begitu, masih banyak UKM tidak memiliki program Disaster Recovery sama sekali hanya karena implementasinya yang mereka anggap rumit dan berbelit, terlalu mahal, atau keduanya.

Tantangan justru hadir bagi pelayan jasa Disaster Recovery, mereka dituntut untuk menghadirkan backup dengan tidak hanya cepat tetapi juga melalui proses yang simpel. Namun, dalam berbagai kasus mereka sama sekali tidak dapat mempermudah, mereka hanya mengirim kerumitan kepada tim khusus yang secara manual mengelola Disaster Recovery atas nama pelanggan. Hasilnya, layanan ini tetap terhitung mahal karena kerumitan masih saja ada, dan pelanggan terus membayar biaya jasa dan infrastruktur.

Industri Disaster Recovery masih memiliki ruang besar untuk digarap agar lebih cepat, lebih murah, dan lebih sederhana demi melayani pelanggan dengan menerapkan prinsip-prinsip skala besar, standar komputasi awan hybrid untuk masalah ini. Seperti yang dikutip dari VMware, bahwa cloud mengubah cara organisasi TI beroperasi, dan Disaster Recovery seharusnya bukan pengecualian.

Artikel sindikasi ini pertama kali dimuat di DSenterprise dan ditulis oleh Michael Erlangga.