DJI Mavic Air 2 Usung Peningkatan Kamera dan Kemampuan Mengudara yang Signifikan

Dua tahun setelah Mavic Air dirilis, DJI kini sudah siap meluncurkan penerusnya, Mavic Air 2. Drone lipat ini membawa sederet pembaruan yang signifikan, terutama terkait kapabilitas fotografi dan videografinya.

Secara fisik, Mavic Air 2 rupanya sedikit lebih besar ketimbang pendahulunya, tapi dengan bobot 570 gram, ia masih lebih ringkas ketimbang Mavic 2. Kabar baiknya, jeroan Mavic Air 2 jauh lebih superior daripada sebelumnya.

Sensor yang diusung bukan cuma lebih besar (1/2 inci), tapi juga beresolusi lebih tinggi (48 megapixel). Menariknya, sensor ini merupakan tipe Quad Bayer yang secara default akan mengambil gambar beresolusi 12 megapixel, persis seperti di sebagian besar smartphone terkini.

Sensor itu hadir bersama lensa f/2.8 dengan sudut pandang 84°, dan semuanya duduk di atas gimbal 3-axis seperti biasanya. Urusan video, Mavic Air 2 siap merekam dalam resolusi maksimum 4K 60 fps dan bitrate 120 Mbps, atau 1080p 240 fps saat hendak menciptakan video slow-motion.

Fitur-fitur pelengkap, seperti pemotretan dan perekaman video dalam format HDR, juga tersedia. Demikian pula fitur Hyperlapse yang mendukung resolusi maksimum 8K.

DJI Mavic Air 2

Tidak kalah mencengangkan adalah kemampuan mengudara Mavic Air 2. Dalam sekali pengisian, Mavic Air 2 mampu terbang sampai 34 menit nonstop, bahkan lebih lama ketimbang Mavic 2. DJI tak lupa membekali Mavic Air 2 dengan sederet sensor di sisi depan dan belakang supaya ia dapat mendeteksi dan menghindari rintangan dengan sendirinya.

Sensor beserta lampu di bagian bawahnya ditujukan untuk memuluskan proses pendaratan Mavic Air 2, bahkan di tempat gelap sekalipun. Selagi mengudara, Mavic Air 2 sanggup meneruskan video 1080p 30 fps dari jarak sampai sejauh 10 kilometer. Bandingkan dengan pendahulunya yang cuma bisa meneruskan video 720p dari jarak 4 kilometer.

DJI Mavic Air 2

Juga baru pada Mavic Air 2 adalah controller-nya. Tidak ada lagi sepasang antena yang menjulur di sisi atasnya, digantikan oleh penjepit smartphone yang fleksibel. Controller baru ini diklaim punya daya tahan baterai yang lebih panjang, mampu berfungsi sampai 4 jam dalam sekali pengisian.

Fitur pintar seperti ActiveTrack tentu tetap ada, dan versi terbarunya (ActiveTrack 3.0) di Mavic Air 2 bahkan lebih cekatan lagi dalam mengunci fokus pada subjek. Tidak kalah menarik adalah fitur Spotlight 2.0 yang diwariskan dari lini drone profesional DJI. Berkat fitur ini, pengguna bisa menavigasikan Mavic Air 2 dengan bebas selagi kameranya terus mengunci fokus pada subjek yang dipilih.

Secara keseluruhan, DJI Mavic Air 2 merupakan upgrade yang sangat signifikan terhadap pendahulunya. Kendati demikian, banderol harganya dipatok sama: $799, atau bundel Fly More yang mencakup 2 baterai cadangan, ND filter dan sejumlah aksesori lainnya seharga $988. Pemasarannya dijadwalkan berlangsung mulai pertengahan Mei.

Sumber: DJI.

Autel EVO II Siap Memulai Era Drone Berkamera 8K

Apa tren drone baru yang bakal populer di tahun 2020 ini? Salah satu yang sudah tercium adalah kemampuan merekam video beresolusi 8K. Namun yang memulai rupanya bukan DJI, melainkan Autel Robotics.

Di CES 2020 kemarin, Autel memperkenalkan EVO II, suksesor dari drone bikinannya dua tahun lalu. Seperti halnya DJI Mavic 2, Autel EVO II hadir dalam lebih dari satu model yang dibedakan berdasarkan kameranya: EVO II, EVO II Pro, dan EVO II Dual.

Autel EVO II

EVO II standar inilah yang akan memulai era drone berkamera 8K. Ia mengemas sensor berukuran 1/2 inci yang mampu merekam video beresolusi 7720 x 4320 pixel, serta menjepret foto 48 megapixel. Kameranya juga dapat melakukan zooming hingga sejauh 4x.

EVO II Pro, sesuai namanya, menarget kalangan profesional dengan sensor 1 inci, perekaman video 6K dan pemotretan 20 megapixel. Selain mengemas sensor berukuran besar, kameranya juga istimewa berkat aperture yang dapat disesuaikan dari f/2.8 sampai f/11, tidak ketinggalan juga sensitivitas ISO 100 – 12800.

EVO II Dual di sisi lain ditujukan untuk kebutuhan komersial berkat kamera thermal FLIR Boson beresolusi 640 x 512 pixel yang mendampingi kamera 8K-nya. Ketiga model EVO II ini siap merekam video dengan bitrate maksimum 120 Mbps maupun video berformat HDR.

Autel EVO II

Kemampuan mengudara ketiga model EVO II ini juga tidak kalah mengesankan. 12 sensor optik beserta 2 sensor sonar mewujudkan kapabilitas obstacle avoidance yang menyeluruh (360 derajat). Autel mengklaim EVO II dapat mendeteksi rintangan dari jarak sejauh 30 meter, lalu mengatur sendiri kecepatannya demi menghindari rintangan tersebut sehingga pilotnya bisa tetap berfokus mengendalikan kameranya.

EVO II mampu mentransmisikan sinyal menuju controller-nya sampai sejauh 9 kilometer. Autel pun tidak lupa mempertahankan salah satu keunggulan EVO generasi sebelumnya, yakni remote control yang dibekali layar, sehingga pengguna dapat mengoperasikan EVO II tanpa perlu mengandalkan smartphone sama sekali.

Autel EVO II

Juga mengesankan adalah ketahanan baterai 7.100 mAh yang terpasang pada EVO II. Dalam sekali pengisian, Autel mengklaim EVO II sanggup mengudara hingga 40 menit nonstop. Memang masih kalah dari V-Coptr Falcon yang juga baru dirilis, tapi tetap impresif mengingat drone lain yang sekelas umumnya hanya bisa terbang selama 20 – 30 menit saja.

Semua ini ditawarkan dalam harga yang cukup kompetitif: EVO II seharga $1.495, EVO II Pro seharga $1.795, sedangkan EVO II Dual berdasarkan pesanan.

Sumber: DPReview dan Autel.

Cuma Mengandalkan Sepasang Rotor, Drone V-Coptr Falcon Mampu Mengudara Hingga 50 Menit Nonstop

Drone yang kita kenal selama ini umumnya berjenis quadcopter, alias terbang mengandalkan empat buah rotor. Itulah mengapa drone yang satu ini kelihatan begitu unik. Dinamai V-Coptr Falcon, kemampuan mengudaranya diwujudkan lewat sepasang rotor yang membentang layaknya sayap burung.

Pengembangnya, Zero Zero Robotics (yang juga menciptakan drone sebesar buku bernama Hover Camera), mengambil pesawat tempur Bell Boeing V-22 Osprey sebagai inspirasinya. Kalau drone berjenis quadcopter umumnya memiringkan tubuhnya ke depan untuk bergerak maju, V-Coptr hanya perlu memiringkan kedua rotornya saja.

V-Coptr Falcon

Lalu apa keuntungan dari desain bi-copter semacam ini? Yang pertama adalah desain yang lebih aerodinamis, diikuti oleh konsumsi daya yang lebih efisien mengingat jumlah sistem penggeraknya lebih sedikit. Dalam sekali charge, V-Coptr diklaim mampu mengudara sampai 50 menit nonstop, nyaris dua kali lebih lama ketimbang mayoritas drone lain.

Selagi mengudara, V-Coptr bisa mendeteksi dan menghindari objek yang menghalangi dengan sendirinya berkat sepasang kamera depan beserta sistem Visual Inertial Odometry (VIO). Fitur Autofollow juga memungkinkannya untuk terbang mengikuti objek yang dipilih secara akurat. Transmisi sinyalnya diyakini mampu mencapai jarak hingga sejauh 7 kilometer.

V-Coptr Falcon

Kapabilitas fotografi dan videografinya ditunjang oleh kamera dengan sensor 1/2,3 inci bikinan Sony dan lensa f/2.2 yang duduk di atas gimbal 3-axis. Di samping menjepret foto 12 megapixel, kamera ini juga siap merekam video 4K 30 fps, 2,7K 60 fps atau 1080p 120 fps. Hasil tangkapannya otomatis disimpan ke dalam storage internal sebesar 8 GB, akan tetapi konsumen juga bisa menambahkan kartu microSD hingga yang berkapasitas 256 GB.

Selain diterbangkan secara manual menggunakan remote control, V-Coptr yang dibekali chipset Qualcomm Snapdragon ini tentunya turut menawarkan sejumlah mode semi-otomatis guna menghasilkan rekaman dengan beragam efek sinematik.

V-Coptr Falcon yang saat ini sedang dipamerkan di event CES 2020 rencananya bakal dipasarkan mulai bulan Februari. Harganya dipatok $999, cukup terjangkau jika dibandingkan drone sekelas macam DJI Mavic 2.

Sumber: Engadget.

Firmware Update Sempurnakan Kompatibilitas Fujifilm X-T3 dengan Gimbal dan Drone

Reputasi Fujifilm di ranah kamera mirrorless tentu sudah tidak perlu diragukan lagi. Namun di saat pabrikan-pabrikan lain sudah sejak lama menawarkan kombinasi yang pas antara kapabilitas fotografi dan videografi, Fujifilm baru memulai tren tersebut tahun lalu, tepatnya ketika Fujifilm X-H1 dirilis.

Fujifilm X-T3 yang diluncurkan beberapa bulan setelahnya terus mempertahankan tren tersebut. Selain sangat cekatan dalam memotret, kemampuan merekam videonya pun turut menuai banyak pujian. Ya, kamera mirrorless Fujifilm akhirnya mulai dilirik kalangan videografer, dan sejumlah profesional di bidang ini bahkan tidak segan memakainya untuk kebutuhan komersial dengan bantuan sebuah gimbal.

Masalahnya, saat X-T3 dipasangkan ke gimbal seperti DJI Ronin S atau Ronin SC, skema kontrol via USB-nya jadi amat terbatas. Beruntung Fujifilm merupakan salah satu pabrikan yang paling peduli terhadap suara konsumen, dan mereka baru saja merilis firmware update untuk membenahi masalah tersebut.

DJI Ronin SC / DJI
DJI Ronin SC / DJI

Berkat firmware versi 3.10 ini, pengguna jadi bisa mengoperasikan lebih banyak fungsi selagi kamera tersambung ke gimbal atau drone via USB. Kalau sebelumnya mereka hanya bisa mengaktifkan tombol shutter, sekarang mereka akhirnya dapat memulai dan menghentikan perekaman video, tidak ketinggalan juga mengatur fokus secara manual.

Pengaturan parameter exposure untuk perekaman video juga dapat disesuaikan lewat kontrol pada gimbal atau drone. Jadi tanpa harus menyentuh kamera secara langsung, pengguna sudah bisa mengganti shutter speed, aperture, ISO maupun exposure compensation-nya. Singkat cerita, update ini bakal semakin memudahkan penggunaan X-T3 bersama gimbal atau drone.

Sumber: Cinema5D dan Fujifilm.

DJI Kembangkan Aplikasi Smartphone untuk Mengidentifikasi dan Meninjau Drone yang Terbang di Sekitar

Dua tahun lalu, DJI memperkenalkan AeroScope, sebuah sistem yang dirancang untuk mengidentifikasi dan memantau drone dari kejauhan. Saat ini AeroScope sudah digunakan di berbagai lokasi seperti bandara, stadion, penjara, atau bahkan showroom mobil dengan harapan semua penggunaan drone tanpa izin di area-area tersebut bisa terdeteksi dan langsung ditindak.

AeroScope merupakan sistem profesional yang membutuhkan dukungan perlengkapan khusus. Sekarang, DJI sudah punya alternatif dari AeroScope yang jauh lebih simpel dan hanya memerlukan bantuan sebuah aplikasi smartphone. Kapabilitasnya memang lebih terbatas dibanding AeroScope, akan tetapi fungsi utamanya tetap sama, yakni untuk memantau informasi seputar drone yang sedang mengudara di sekitar.

Menggunakan aplikasi tersebut, siapapun dapat meninjau lokasi, tingkat ketinggian, kecepatan dan arah pergerakan sebuah drone yang tengah terbang di sekitarnya. Lebih lanjut, aplikasi turut menampilkan lokasi dari pilot yang mengoperasikan tiap-tiap drone, sehingga kita bisa langsung menegur seseorang yang menerbangkan drone-nya secara ngawur di taman umum.

Kapabilitas ini dimungkinkan berkat sistem Remote ID yang sudah diajukan menjadi standar oleh sejumlah otoritas penerbangan di berbagai negara. Sesuai namanya, Remote ID berfungsi sebagai tanda pengenal, atau Anda bisa juga menganggapnya pelat nomor elektronik untuk drone. Menerapkan Remote ID bukan tugas yang berat, sebab pabrikan drone seperti DJI hanya perlu meluncurkan firmware update untuk produk-produknya.

Remote ID inilah yang ditangkap oleh aplikasi ponsel yang tengah kita bahas. Selama drone-nya masih berada dalam jangkauan (untuk sekarang hingga sejauh 1 kilometer), kita bisa langsung meninjau informasi lengkapnya melalui aplikasi tersebut. Simpel dan tidak perlu melibatkan infrastruktur tambahan.

Di sisi lain, sistem baru ini juga berpotensi memunculkan masalah baru. Berhubung siapa saja yang mempunyai ponsel dapat memantau keberadaan drone beserta pilotnya, wajar apabila sejumlah pengguna drone merasa tidak aman, terutama apabila yang memantau ternyata adalah seorang pencuri atau perampok.

Idealnya mungkin sistem semacam ini hanya bisa diakses oleh pihak yang berwajib, tapi di situlah AeroScope berperan. Bisa jadi DJI hanya ingin menawarkan solusi yang lebih terjangkau ketimbang AeroScope, namun tetap saja ada potensi sistem ini dapat disalahgunakan.

Sumber: DPReview dan DJI.

DJI Mavic Mini Adalah Drone yang Sangat Mumpuni Meski Ukurannya Cuma Setelapak Tangan

2017 lalu, dunia dikejutkan oleh DJI Spark, drone berbobot 300 gram yang kapabilitasnya tidak kalah dari drone berukuran dua kali lipatnya. Jujur sulit membayangkan drone yang lebih kecil namun lebih mumpuni ketimbang Spark, tapi ternyata itulah yang hendak dibuktikan DJI.

Mereka baru saja mengumumkan Mavic Mini, drone paling kecil dan paling ringan yang pernah mereka buat sejauh ini. Ukurannya pada dasarnya tidak jauh berbeda dari Spark, akan tetapi keempat lengannya bisa ditarik ke dalam, dan dalam posisi ini Mavic Mini benar-benar hanya seukuran telapak tangan orang dewasa.

Bobot Mavic Mini tercatat cuma 249 gram. Begitu ringannya drone ini, DJI mengklaim ia secara otomatis akan dianggap aman oleh regulator di banyak negara, yang sering kali menetapkan bobot 250 gram sebagai batasan maksimum untuk drone yang sama sekali tidak memerlukan izin khusus.

DJI Mavic Mini

Namun yang sangat istimewa adalah bagaimana Mavic Mini bisa lebih kapabel ketimbang Spark. Di sektor kamera misalnya, Mavic Mini mengemas sensor CMOS 1/2,3 inci beresolusi 12 megapixel yang sanggup merekam video 2,7K 30 fps atau 1080p 60 fps. Bandingkan dengan kamera milik Spark yang opsi perekaman videonya terbatas di 1080p 30 fps saja.

Hasil rekamannya juga dipastikan lebih mulus, sebab kameranya terpasang pada gimbal 3-axis, lagi-lagi lebih superior ketimbang milik Spark yang cuma 2-axis. Juga mengesankan adalah konsumsi energinya yang begitu efisien; satu kali pengisian cukup untuk mengudara selama 30 menit.

Bukan cuma hasil rekaman videonya saja yang stabil, kemampuan mengudara Mavic Mini juga diklaim sangat presisi berkat kehadiran sederet sensor sekaligus GPS. Selagi mengudara, komunikasi antara drone dan remote control-nya bisa terus berlanjut sampai sejauh 4 kilometer, demikian pula transmisi videonya.

DJI Mavic Mini

DJI tidak lupa memastikan supaya Mavic Mini tidak terkesan rumit bagi konsumen yang masih awam. Aplikasi pendampingnya, DJI Fly, mengemas konten untuk memandu para pengguna baru, mempersiapkan mereka untuk mulai belajar mengoperasikan dengan mode Position (P) yang mencakup sejumlah fungsi dasar.

Saat sudah mahir, mereka dapat memilih mode Sport (S) untuk memaksimalkan potensi Mavic Mini, atau mode CineSmooth (C) bagi yang hendak menciptakan karya-karya sinematik. Sejumlah manuver otomatis (QuickShots) juga tersedia dan dapat diakses dalam beberapa sentuhan saja.

DJI Mavic Mini bakal segera dipasarkan seharga $399. Bundel standarnya ini sudah mencakup remote control dan baling-baling cadangan, jauh lebih terjangkau ketimbang Spark saat pertama dirilis, yang dihargai $499 tanpa remote control.

Sumber: DJI.

Drone Yuneec Typhoon H3 Unggulkan Kamera Hasil Kolaborasinya dengan Leica

Drone yang menarik tidak selalu datang dari DJI. Karya terbaru Yuneec berikut ini adalah contohnya. Dinamai Typhoon H3, daya tarik utamanya terpusat pada kameranya, yang ternyata merupakan hasil kerja sama antara Yuneec dan Leica.

Kamera ini mengemas sensor CMOS 1 inci beresolusi 20 megapixel, dengan kemampuan merekam video pada resolusi maksimum 4K 60 fps dan bitrate 100 Mbps. Pengaturan-pengaturan parameter seperti auto white balance, reproduksi warna, sharpening, de-noising, dan lain sebagainya Yuneec percayakan kepada Leica.

Mode perekaman ‘mentah’ 10-bit Y-Log dan DNG pun juga tersedia, dan lagi-lagi semuanya disesuaikan dengan standar yang telah ditetapkan oleh Leica. Kamera ini menyambung ke gimbal 3-axis, dan ia siap memutar 360° untuk mengambil gambar panoramik. Video hyperlapse pun juga dapat dibuat berkat interval pengambilan gambar JPEG yang pendek.

Yuneec Typhoon H3

Typhoon H3 melanjutkan jejak Typhoon H yang diperkenalkan lebih dari tiga tahun silam. Yang dibanggakan kala itu adalah teknologi Intel RealSense untuk mendeteksi sekaligus menghindari berbagai rintangan yang ditemui selama mengudara, dan sekarang Yuneec juga ingin kameranya bisa mencuri perhatian.

Drone berwujud hexacopter ini datang bersama remote control besar yang mengemas layar sentuh 7 inci dan sistem berbasis Android. Live view dari kamera drone dapat dilihat dalam resolusi 720p, dan jarak transmisinya sendiri mencapai 1,6 kilometer.

Yuneec Typhoon H3

Typhoon H3 mendukung penggunaan dua remote control sekaligus, sehingga dua orang bisa berbagi tugas mengendalikan pergerakan drone dan kameranya secara terpisah. Kalau tidak mau pusing, tentu saja Typhoon H3 juga dilengkapi sejumlah mode penerbangan otomatis dengan fungsi yang berbeda-beda: Follow Me/Watch Me, Curve Cable Cam, Orbit, dan Journey.

Dalam sekali pengisian, baterai Typhoon H3 bisa menemaninya mengudara hingga 25 menit. Sejauh ini Yuneec belum mengungkap informasi mengenai perilisannya, akan tetapi kalau menurut rumor yang beredar, harganya diperkirakan berkisar $2.200 untuk bundel standarnya.

Sumber: DPReview.

Parrot Anafi FPV Hadirkan Pengalaman Menerbangkan Drone yang Immersive

Parrot belum sepenuhnya meninggalkan ranah consumer drone. Mereka baru saja merilis varian anyar dari drone unggulannya, Anafi. Dinamai Anafi FPV, varian ini sejatinya membundel drone pesaing DJI Mavic Air tersebut dengan sistem first-person view.

Sistem FPV belakangan memang sedang naik daun, bahkan DJI pun sempat merilis Digital FPV System yang ditujukan untuk drone di luar bikinan mereka sendiri. Parrot mengambil jalur yang agak berbeda. Cockpitglasses, head-mounted display (HMD) yang dibundel bersama Anafi FPV, tidak memiliki display-nya sendiri.

Yang menjadi display-nya adalah smartphone pengguna yang diselipkan (dengan ukuran layar maksimum 6,5 inci), mirip seperti cara kerja Google Cardboard maupun Samsung Gear VR. Usai tersambung, pengguna dapat langsung melihat apa yang tengah dilihat oleh drone Anafi dalam resolusi 720p, dengan jarak transmisi maksimum hingga 4 kilometer.

Parrot Anafi FPV

Pengguna bebas mengatur mode tampilan FPV yang diinginkan, apakah mereka menginginkan tampilan yang minimalis atau yang dipenuhi informasi kontekstual macam kecepatan mengudara maupun tingkat ketinggian dan lokasi drone. Pengaturan kamera Anafi juga dapat diakses melalui tampilan FPV yang sama.

Yang menarik, ada satu tombol di bawah Cockpitglasses yang berfungsi untuk mengaktifkan kamera belakang ponsel yang terpasang, sehingga pengguna dapat memantau sekitarnya tanpa perlu melepas headset. Saat fitur ini aktif, sebuah grafik overlay akan ditampilkan di layar sebagai penanda lokasi persis drone-nya.

Parrot Anafi FPV

Drone-nya sendiri tidak berubah, namun Parrot telah menambahkan dua preset perekaman baru, yakni Cinematic dan Racing. Juga menarik adalah mode Arcade, yang akan menyinkronkan arah terbang drone dengan arah pandangan kameranya, cocok untuk pengguna baru yang masih belajar menerbangkan drone.

Parrot Anafi FPV rencananya akan segera dipasarkan seharga $799. Selain unit drone dan HMD, paket penjualannya juga mencakup sebuah controller, baling-baling ekstra, kartu microSD 16 GB, kabel USB-C, serta tas ransel yang merangkap peran sebagai launching pad. Banderolnya ini jauh lebih murah ketimbang Anafi Thermal yang memang ditujukan untuk kebutuhan komersial.

Sumber: CNET dan Parrot.

DJI Digital FPV System Siap Manjakan Para Pembalap Drone Tanpa Mengorbankan Performa

DJI punya suguhan menarik bagi para penggiat balap drone dalam wujud satu paket bernama Digital FPV System. FPV sendiri merupakan singkatan dari first-person view, dan bundel ini memang diciptakan untuk ‘memindah’ pandangan para pembalap drone dari tubuhnya menuju ke drone yang diterbangkan.

Yang sangat menarik adalah bagaimana DJI mengandalkan teknologi digital ketimbang analog. Umumnya, sistem FPV analog lebih dipilih karena sangat unggul perihal performa; apa yang tampak dari sudut pandang drone bisa langsung diteruskan ke pandangan pengguna tanpa jeda sedikitpun. Namun kekurangannya, kualitas visualnya begitu buruk.

Sistem FPV digital di sisi lain dikenal selalu bermasalah soal latency. Gambar yang diteruskan memang bagus, akan tetapi ada jeda cukup signifikan sehingga langsung berpengaruh pada performa masing-masing pembalap. DJI Digital FPV System rupanya tidak demikian.

DJI Digital FPV System

DJI mengaku telah mengembangkan teknologi transmisi video yang sangat efisien dengan Digital FPV System, sanggup meneruskan video dari jarak hingga sejauh 4 km, dengan latency tak lebih dari 28 milidetik. Ya, masih ada jeda memang, tapi 28 milidetik itu bisa dibilang nyaris tidak terasa, sehingga semestinya tidak akan terlalu berpengaruh terhadap kemampuan bermanuver masing-masing pembalap.

Sistem ini terdiri dari empat komponen: 1) sebuah “air unit” yang bertindak sebagai pemancar sekaligus external recorder usai dipasangkan ke drone, 2) sebuah kamera dengan kemampuan merekam video 1080p 60 fps, 3) sebuah HMD (head-mounted display) atau yang dikenal juga dengan istilah FPV goggles, dan terakhir 4) sebuah remote control wireless.

DJI Digital FPV System

Selagi mengudara dan meneruskan video 720p 120 fps ke FPV goggles, drone yang telah dipasangi air unit beserta kamera rupanya juga dapat merekam videonya ke kartu microSD. Sebagai cadangan ekstra, pengguna juga dapat menekan tombol pada FPV goggles untuk seketika itu juga merekam apa yang dilihatnya dan menyimpannya ke kartu microSD yang menancap pada goggles.

Fitur terakhir ini sangat berguna seandainya drone gagal mendarat, atau terlibat kasus lain sehingga microSD-nya tak bisa diselamatkan. Hanya dengan satu klik tombol saja, pengguna sudah mempunyai video rekaman cadangan, meski memang resolusinya hanya terbatas di 720p 60 fps.

DJI Digital FPV System

Ini sebenarnya bukan pertama kalinya DJI mengembangkan sistem FPV digital. Dua tahun lalu, mereka sempat memasarkan DJI Goggles, yang beberapa bulan kemudian bahkan disusul oleh varian balapnya, Goggles RE. Bedanya, kedua perangkat tersebut hanya kompatibel dengan drone bikinan DJI sendiri, sedangkan Digital FPV System yang terkesan lebih rakitan ini bahkan dapat disandingkan dengan sistem FPV analog sekalipun jika perlu.

DJI berencana memasarkan Digital FPV System dalam dua bundel yang berbeda. Bundel yang pertama dihargai $819 dan mencakup dua air unit, dua kamera, dan FPV goggles (tanpa remote control). Bundel yang kedua dibanderol $929 dan mencakup masing-masing satu unit dari keempat komponennya itu tadi.

Sumber: DJI dan The Verge.

Melihat Pengembangan Teknologi Drone di Markas JD.com

Sebagai salah satu peritel terbesar asal Tiongkok yang fokus kepada inovasi teknologi, JD.com telah menciptakan tiga generasi drone buatan sendiri. Saat ini sudah dimanfaatkan untuk pengiriman barang dan telah digunakan oleh perusahaan sebagai kegiatan CSR.

Drone Center JD.com

Saat ini mereka telah memiliki 10 unit “Drone Center” yang tersebar di Tiongkok. Teknologi tersebut dikembangkan secara khusus oleh para engineer JD.com yang tergabung dalam “X-Department JD.com”.

Mereka telah mengembangkan drone generasi ketiga atau yang disebut Y3-Generation. Inovasi tersebut didesain untuk mampu mengirimkan produk dengan berat 10kg dan jarak tempuh 10km.

Selain Y3-Generation, JD.com juga telah mengembangkan teknologi drone dengan bahan bakar dan memiliki kemampuan untuk mengantarkan barang dalam radius 100km. Perangkat tersebut didesain serupa dengan pesawat ukuran kecil. Selama ini kerap digunakan perusahaan untuk keperluan kemanusiaan, termasuk di dalamnya bantuan bencana alam dan keperluan terkait lainnya.

Meskipun masih memiliki keterbatasan regulasi terkait wilayah terbang, namun saat ini pengiriman barang menggunakan drone sudah mulai banyak diterapkan oleh JD.com. Fokus mereka ke daerah terpencil atau yang sulit dijangkau dengan menggunakan transportasi darat.

Salah satu kegiatan yang dihadirkan oleh JD.com saat kunjungan media asal Indonesia ke kantor pusatnya di Tiongkok beberapa waktu lalu adalah mengunjungi Drone Center JD.com yang terletak di Suqian, Tiongkok. Perjalan yang menempuh sekitar 5 jam dari Beijing, mengantarkan awak media untuk meninjau langsung Drone Center yang dilengkapi dengan kawasan lepas landas, ruangan monitoring, hingga ruangan pelatihan untuk masyarakat umum yang ingin mempelajari cara tepat menerbangkan drone.

JD.com juga mengundang awak media untuk melihat proses pengantaran drone. Mulai dari Drone Center hingga lokasi khusus yang digunakan oleh JD.com untuk menampung barang sebelum mengirimkan ke alamat pembeli.

Uji coba drone di Indonesia

Drone generasi ketiga saat uji coba di Indonesia / DailySocial
Drone generasi ketiga saat uji coba di Indonesia / DailySocial

Di Indonesia sendiri teknologi drone generasi ketiga milik JD.com sudah sempat diterapkan di kawasan Parung, Jawa Barat awal tahun 2019 lalu. Dihadiri oleh pejabat dan perwakilan pemerintah Indonesia, proses uji coba drone memiliki rute terbang dari desa Jagabita, Parung Panjang, Bogor ke Sekolah Dasar MIS Nurul Falah Leles dengan tujuan mengirimkan tas ransel dan buku-buku kepada para siswa.

Inisiatif untuk memulai penerapan teknologi drone sendiri muncul pada akhir tahun 2017 lalu. JD.com dan JD.id bersama-sama mulai berdiskusi dengan Direktorat Navigasi Penerbangan Kementerian Perhubungan Republik Indonesia dan AirNav mengadakan penerbangan uji coba teknologi drone untuk layanan logistik yang lebih maju.

Disinggung apakah saat ini JD.com masih fokus untuk menerapkan teknologi drone di Indonesia, perwakilan JD.com mengatakan perusahaan bersama dengan pihak terkait masih berupaya untuk meloloskan peraturan yang relevan. Setelah beres, nantinya bisa diaplikasikan oleh JD.com di Indonesia.

“Sejak tiga tahun terakhir fokus kami adalah bagaimana teknologi yang sudah diterapkan di Tiongkok, bisa diaplikasikan secara global termasuk Indonesia. Uji coba yang telah dilakukan awal tahun 2019 lalu merupakan percobaan pertama kami di Indonesia,” kata Group Strategy & Investment JD.com Xiao Yao.

Application Information Will Show Up Here