EVOS Buat Program Membership untuk Dekatkan Diri dengan Fans

Setelah sukses menjual merchandise, EVOS Esports kini meluncurkan program membership atau keanggotaan. EVOS menawarkan dua paket membership, yaitu EVOS Basic dan EVOS+. Anda bisa mendaftarkan diri ke EVOS Basic secara gratis di situs resmi EVOS. Ada dua keuntungan yang ditawarkan jika Anda menjadi anggota EVOS Basic, yaitu masuk dalam daftar prioritas undangan acara dan diskon 20 persen untuk semua produk EVOS, kecuali produk hasil kolaborasi.

Sementara untuk menjadi bagian dari EVOS+, Anda harus membayar Rp450 ribu. Tentu saja, keuntungan yang didapat juga lebih banyak. Salah satunya adalah Anda akan mendapatkan berbagai produk EVOS, seperti Coach Jaket 2.0, Official Jersey 2020, lanyard, claw wristband, dan lain sebagainya. Selain merchandise, ornag-orang yang menjadi anggota EVOS+ akan mendapatkan beberapa keuntungan lain, seperti konten eksklusif dari EVOS, giveaway khusus, harga spesial di in-game credits, dan promosi khusus dari merek-merek yang bekerja sama dengan EVOS. Beberapa merek yang telah mendukung EVOS sampai sekarang antara lain AXIS, Top Coffee, Axe, Pop Mie, Sukro, dan Lazada.

EVOS membership
Coach jacket yang akan didapatkan oleh anggota EVOS+. | Sumber: EVOS Esports

“Kami senang karena inisiatif ini menjadikan EVOS sebagai tim esports pertama di Asia Tenggara yang memiliki program membership,” kata Co-founder dan CEO EVOS Esports, Ivan Yeo, seperti dikutip dalam pernyataan resmi dari EVOS. “Program ini merupakan bentuk komitmen kami untuk lebih mendekatkan para atlet, influencer, dan penggemar EVOS, yang bisa kami sebut keluarga besar EVOS di seluruh Asia Tenggara.”

Tujuan lain EVOS meluncurkan program membership adalah memudahkan merek untuk terlibat lebih dalam jika mereka ingin memenangkan hati para generasi milenial dan gen Z. Mereka menjelaskan, saat ini, mereka menggunakan strategi marketing closed loop. Jadi, mereka akan menganalisa perilaku konsumen dan mencari tahu tren pasar. Setelah itu, data ini akan diberikan ke tim marketing, yang akan membuat strategi marketing baru sesuai dengan tren di pasar. Dengan menerapkan strategi ini, EVOS berharap, sebuah brand akan bisa mengidentifikasi calon konsumen berdasarkan minat dan preferensi mereka.

Pandemi virus corona beberapa bulan belakangan tidak menghentikan EVOS mencari peluang baru. Dalam dua bulan terakhir, mereka berhasil mendapatkan kontrak kerja sama baru. Pada April 2020, mereka mengumumkan kerja sama dengan Lazada. Sementara pada Mei 2020, mereka berkolaborasi dengan TikTok dengan tujuan untuk mengembangkan bisnis influencer mereka.

Antara Prestasi dan Konten Tim Esports, Mana yang Lebih Penting?

Memiliki tim esports papan atas mungkin menjadi salah satu mimpi besar dari para penggemar esports. Aktualisasi diri sebagai gamers terbaik, banyak uang, dan dikagumi banyak orang, jadi beberapa alasan kenapa punya tim esports menjadi hal yang diimpikan. Tetapi membangun organisasi esports bukanlah perkara yang mudah.

Nyatanya butuh modal yang besar untuk mencapai kejayaan tersebut. Misal jika Anda bercita-cita punya tim yang menjadi juara Dota 2 The International, Anda butuh modal pada kisaran ratusan juta rupiah untuk PC High-End, internet, gaji pemain, gaming house, dan berbagai tetek-bengek biaya operasional lainnya.

Namun, selain mengejar prestasi, konten mungkin bisa dibilang menjadi alternatif yang relatif murah-meriah untuk mengumpulkan modal. Kisah sukses ini sempat saya bahas saat menulis profil FaZe Clan, sebuah organisasi esports yang mengawali hidupnya sebagai clan hura-hura dengan channel YouTube berisikan sajian konten trickshot keren.

Pada sisi lain ada juga kisah sukses tim esports lain yang mengawali perkembangannya dari prestasi. Kisah sukses tersebut datang dari Team Liquid, yang sedari awal memang diciptakan sebagai clan gaming kompetitif, dan menuai sukses dari dominasinya di ragam skena esports di dunia.

Prestasi vs Konten, jadi juara atau menjaring exposure, apa sebenarnya resep membangun organisasi esports yang sukses? Berikut pembahasan saya.

Biaya Untuk Mengelola Sebuah Tim Juara

Mengumpulkan prestasi, mungkin jadi satu resep paling umum yang dilakukan organisasi esports untuk menjadi sukses. Contoh saja T1, yang selama tahun 2020 dapat banyak sekali sponsor karena prestasi, mulai dari Nike, Logitech G, sampai monitor Samsung. Memang sih, sepertinya agak muluk-muluk jika kita ingin seperti T1 yang juara dunia 3 kali berturut-turut di salah satu skena esports paling populer di dunia, League of Legends.

Supaya tidak kejauhan, mari kita coba intip dari kacamata lokal saja. Sebagai contoh kasus di skena lokal, saya menggunakan divisi AOV milik EVOS Esports, yang pencapaiannya mirip T1, cuma saja di tingkat nasional… Hehe.

EVOS AOV mencatatkan rekor juara 3 kali berturut-turut di turnamen tingkat nasional lewat gelaran AOV Star League Musim pertama, kedua, dan ketiga.

Kemenangan ini menjadi pundi-pundi pendapatan yang cukup besar bagi manajemen EVOS Esports. Tercatat EVOS AOV menerima Rp500 juta dari ASL Season 1 juga 2, dan Rp355 dari ASL Season 3. Jika hanya menghitung hadiah ASL saja, maka EVOS AOV sudah mengumpulkan pundi-pundi sebesar Rp1,3 miliar. Kami juga pernah menuliskan total pendapatan EVOS dari hadiah kemenangan selama tahun 2019.

Jumlah yang besar?

Sepertinya sih lumayan, tapi coba kita lihat berapa biaya operasional untuk mengelola tim tersebut. Untuk mengetahui hal ini, saya mewawancarai sahabat saya, Hilmy Khairy yang juga dikenal sebagai Hiruma, Deputy of Esports di EVOS Esports. Sebelum menempati jabatannya sekarang, ia merupakan manajer tim EVOS AOV.

Lalu saya bertanya, kira-kira berapa biaya operasional yang dibutuhkan oleh tim EVOS AOV? “Wah ini rahasia sih, tapi setiap bulan kurang lebih ada total puluhan juta rupiah dikeluarkan untuk operasional tim.” Jawabnya.

Lebih lanjut, Hilmy lalu menjelaskan apa saja biaya yang dikeluarkan oleh manajemen EVOS untuk mengelola divisi AOV. “Yang pasti gaji pemain dan staf, biaya gaming house, internet, pemeliharaan rumah, air dan listrik, serta biaya sehari-hari, dan biaya katering.”

Itupun belum semua, masih ada biaya-biaya tak terduga, yang biasanya muncul ketika tim tersebut menjalani pertandingan tatap muka. “Kalau tanding offline biasanya ada biaya tambahan, seperti uang transpor untuk datang ke menuju ke dan pulang dari event, ada juga cemilan untuk mood booster ketika tanding. Kalau hotel dan akomodasi untuk pertandingan di luar kota atau luar negeri biasanya ditanggung oleh penyelenggara acara.” Tambah Hilmy.

Dari apa yang dijelaskan, mari kita kira-kira berapa biaya operasional untuk tim seperti EVOS AOV. Pertama-tama, gaji pemain. Hilmy memang tidak memberikan angkanya, namun ia mengatakan bahwa gaji tim EVOS AOV bervariasi mulai dari lebih dari UMR sampai 2 kali UMR.

UMR Jakarta saat ini adalah Rp4.276.349.906, kita bulatkan jadi Rp4,3 juta. Supaya lebih mudah, anggap saja semua gaji pemain EVOS AOV adalah 2 kali UMR yang berarti Rp8,6 juta dikalikan 5 orang. Baru menghitung gaji saja, kita sudah menyentuh angka pengeluaran sebesar Rp43 juta setiap bulannya.

Ini kita belum menghitung biaya sewa gaming house, internet, listrik dan air, laundry, katering, serta operasional bulanan lainnya. Anggap saja, jika ditotal semua, angka kasarnya bisa mencapai kisaran Rp80 juta setiap bulan. Dengan angka tersebut setiap bulannya, maka biaya operasional dari tim juara seperti EVOS AOV adalah Rp960 juta per tahun.

Dokumentasi Hybrid - Akbar Priono
EVOS AOV saat memenangkan gelarn juara nasionalnya yang ketiga dalam gelaran ASL Indonesia Season 3. Dokumentasi Hybrid – Akbar Priono

Angka yang cukup mengejutkan, apalagi pendapatan turnamen EVOS AOV dari turnamen AOV Star League cuma Rp1,3 miliar. Itupun didapatkan selama 3 musim yang berjalan selama satu setengah tahun. ASL Season 1 dan 2 diadakan pada tahun 2018, yang berarti EVOS AOV mendapatkan Rp1 miliar selama seathun dari turnamen.

Manajemen tim tidak mengambil semua hadiah turnamen, mereka hanya mengambil sebagian saja dari hadiah yang didapatkan. Hilmy menceritakan, organisasi esports punya sistem potongan hadiah yang bervariasi mulai dari 20% hingga 40%. Dengan asumsi EVOS menggunakan potongan yang terbesar, ini berarti manajemen hanya mendapat Rp400 juta saja. Jika hanya mengandalkan hadiah turnamen, sudah pasti manajemen tidak dapat menutup biaya operasional tahunan tim tersebut.

Tetapi memang pada kenyataannya pendapatan bagi organisasi esports sebesar seperti EVOS Esports tidak terbatas pada satu tim saja dan juga tidak berasal hanya dari satu muara saja. Pembahasan singkat tadi mungkin bisa menjadi gambaran yang sangat kasar, bahwa biaya operasional tim itu besar dan hadiah turnamen tidak dapat menutupnya.

Namun itu harusnya tidak masalah. Menurut asumsi saya, semua biaya yang dikeluarkan tersebut lebih bersifat investasi, yang timbal baliknya bisa sangat beragam bagi sang organisasi di masa depan nanti.

Mengintip Sumber Pemasukan Tim Esports

Sebelum kita melaju ke pembahasan berikutnya, mari kita bahas dulu, sebenarnya apa saja ladang bisnis dari tim esports. Memang sebenarnya asumsi bahwa organisasi esports hanya mengandalkan hadiah turnamen sebagai satu-satunya sumber pendapatan adalah penyederhanaan yang kelewatan. Mungkin hanya tim amatir atau semi-pro yang melakukan praktik seperti itu.

Organisasi esports sebesar seperti EVOS Esports, Rex Regum Qeon, BOOM Esports, atau Bigetron Esports, biasanya punya lebih dari satu sumber pendapatan. Bahkan, hadiah turnamen mungkin bukan dianggap sebagai sumber pendapatan, melainkan hanya bonus atas kerja keras yang dilakukan manajemen dan pemain saja.

Dalam sebuah artikel blog milik penasihat investasi asal Amerika Serikat, Roundhill Investment, disebutkan bahwa setidaknya ada 6 sumber pemasukan lain dari sebuah organisasi esports. Dalam artikel berjudul “How Esports Teams Make Money”, dikatakan bahwa sumber pemasukan organisasi esports termasuk sponsorship, advertising, merchandise, league revenue sharing, dan ticket sales.

Sponsorship mungkin jadi satu pemasukan terbesar. Anda pembaca setia Hybrid.co.id mungkin sadar akan hal ini. Berita soal sponsorship menjadi salah satu berita yang paling sering berseliweran di portal kami. Dari ekosistem lokal terakhir kali kita melihat EVOS disponsori oleh Lazada pada 15 April 2020 lalu. Dari ekosistem internasional biasanya lebih banyak lagi berita-berita sponsorship terhadap tim esports.

Mengutip data dari Newzoo, sponsorship ternyata memang sumber pemasukan terbesar esports, baik bagi organisasi esports atau penyelenggara turnamen esports. Menurut catatan sponsorship menyumbangkan pemasukan sebesar US$636,9 juta (sekitar Rp9,3 triliun) sampai Februari 2020 kemarin. Jumlah tersebut merupakan jumlah yang terbanyak, dibanding sumber pemasukan lainnya.

Lalu penjualan merchandise. Ini juga menjadi satu sumber pemasukan yang menggiurkan, terutama jika tim esports tersebut punya derajat yang tinggi di dalam skena, dan dilengkapi dengan ragam rancangan busana yang mencerminkan personalita para penggemarnya.

Di luar negeri, FaZe Clan jadi organisasi esports yang giat menjalankan bisnis merchandise. Mereka bahkan dengan berani menyatakan ambisinya untuk menjadi Supreme-nya esports. Di Indonesia, EVOS jadi salah satu organisasi esports yang meraup cukup banyak dari bisnis merchandise. Menurut laporan terakhir, EVOS dikabarkan menerima Rp150 juta hanya dari penjualan merchandise selama M1 dan MPL ID Season 4.

Selanjutnya, bagi hasil kompetisi liga dan penjualan tiket mungkin jadi sumber pemasukan yang masih gelap di kancah lokal. Sejauh ini, belum ada pertandingan esports dalam negeri yang berhasil untung besar dari penjualan tiket. Sehingga kita masih belum bisa membahas penjualan tiket sebagai sumber pemasukan tim esports.

Lalu kalau soal bagi hasil, MPL Indonesia menerapkan sistem liga franchise pada musim keempat yang juga menerapkan sistem bagi hasil antara tim-tim yang berlaga.

Jumlahnya tidak diketahui, namun Senior Editor Hybrid Esports, Yabes Elia sempat berbincang dengan Chandra Wijaya, Managing Director ONIC Esports membahas buah investasi slot MPL ID Season 4. Jika Anda penasaran bagaimana dampak franchise league MPL ID S4 kepada aspek bisnis sebuah tim esports, Anda bisa menyaksikan video interview tersebut di bawah ini.

Dari semua beragam sumber pemasukan tim esports, bagaimana konten berperan dalam perkembangan tim esports? Mari kita bahas pada bagian berikutnya.

Konten Sebagai Sumber Pemasukan Tim Esports

Sebelum membahas lebih jauh, mari kita samakan persepsi terlebih terhadap apa yang dimaksud dengan konten. Dalam pembahasan ini, kita akan membatasi pembahasan konten kepada konten kanal media sosial Instagram, konten video kreatif pada platform YouTube, dan juga konten video live-streaming.

Dari sumber pemasukan tim esports yang kita bahas sebelumnya, pemasukan yang bisa didapatkan oleh konten mungkin bisa dibilang di dalam irisan pemasukan advertising dan juga sponsorship. Mengapa demikian? Karena sponsorship bisa menyertakan kerja sama konten di dalamnya dan konten juga bisa mendapat pemasukan khusus berupa advertising atau iklan brand dalam satu konten milik tim esports.

Jika kita berkaca kepada esports di luar negeri, FaZe Clan mungkin bisa dibilang menjadi contoh paling ideal dari bagaimana sebuah organisasi esports memanfaatkan konten sebagai sumber pemasukan mereka. Jika kita merujuk kepada situs analitik media sosial, Socialblade, kita bisa melihat bahwa channel YouTube milik FaZe Clan merupakan salah satu yang terbesar dalam kategori gaming. Tercatat channel YouTube FaZe Clan sudah di-subscribe oleh 7 juta orang dan bisa menghasilkan sampai dengan US$1,5 juta (sekitar Rp22 juta).

Namun estimasi penghasilan tersebut sebenarnya baru berasal dari Google AdSense saja. Terlebih, walau terlihat sangat besar, jumlah tersebut sebenarnya belum seberapa bagi organisasi esports yang, menurut Forbes, memiliki nilai valuasi sebesar US$240 juta (sekitar Rp3,5 triliun).

Walau secara estimasi pemasukan Google AdSense tidak sebegitu besar, namun sajian konten menghibur yang dinikmati oleh banyak orang dari FaZe Clan membuka peluang bisnis lain. Seperti yang saya sebut di awal, yaitu sponsorship dan advertising. Contoh nyata dari hal ini adalah kolaborasi antara FaZe Clan dengan Manchester City.

Dalam kerja sama Co-Branding tersebut dikatakan bahwa penggunaan jersey Manchester City dengan elemen brand Faze Clan menjadi salah satu hal yang dilakukan dalam kerja sama ini. Namun selain itu, ada juga kerja sama konten yang dilakukan oleh keduanya. Dengan jutaan view dari setiap konten yang diungga oleh FaZe Clan, tak heran jika sponsor berebut ingin dapat kesempatan berkolaborasi dengan organisasi esports yang mengawali perjalanannya dari Call of Duty tersebut.

Melihat industri gaming dan esports yang sedang “panas” belakangan. Tak heran jika berbagai brand, baik endemik dan non-endemik, ingin merebut perhatian sebagian dari seluruh penonton esports yang menurut Newzoo mencapai 495 juta orang di dunia.

Selain konten di YouTube, bidang lain yang tak kalah menjanjikan dari aspek konten bagi organisasi esports adalah live-streaming. Twitch sebagai platform yang paling menonjol dengan total waktu tonton mencapai 3 miliar jam pada Q1 2020 lalu, menjadi wadah terbaik bagi organisasi esports untuk menjangkau para penggemarnya.

Pada ekosistem esports luar negeri, tak heran jika kita melihat organisasi esports memiliki seorang streamer yang melakukan streaming dengan menggunakan nama organisasi tersebut. Team SoloMid misalnya, punya Ali Kabbani (Myth) sebagai kreator konten serta streamer untuk mewakili brand organisasi esports asal Amerika Serikat tersebut. FaZe Clan juga, yang dahulu memiliki Turner Tenney (tfue) sebagai streamer serta konten kreator andalan mereka, walaupun akhirnya ditinggal karena skandal kontrak yang eksploitatif.

Dari contoh kasus di atas, kita melihat bagaimana konten juga menjadi sumber pemasukan yang menjanjikan bagi organisasi esports. Lalu bagaimana dengan organisasi esports di Indonesia? Jika bicara live-streaming, satu perbedaan yang paling terasa adalah posisi Twitch yang tidak relevan bagi pasar gaming Indonesia.

Mengutip laporan Esports Markets Trend yang dirangkum oleh DSResearch pada September 2019 lalu, 84,6 persen dari 1.445 total responden masih memilih YouTube sebagai platform favorit untuk menonton konten gaming.

Untuk melihat peran konten bagi organisasi esports Indonesia, saya mengmbil contoh Rex Regum Qeon, yang punya kanal YouTube dengan 1,49 juta subscriber, salah satu yang terbanyak di Indonesia. Jika mengutip data Socialblade, channel milik salah satu tim esports papan atas Indonesia ini ternyata bisa menghasilkan paling banyak sebesar US$17,4 ribu (sekitar Rp258 juta) per bulan dengan total US$208,5 ribu (sekitar Rp3 miliar) per tahun dari Google AdSense.

Lucunya angka tersebut ternyata bersaing dengan total hadiah kemenangan yang didapat RRQ sepanjang tahun 2019 yang setidaknya mencapai Rp5,7 miliar. Apalagi, seperti yang sudah kita bahas di awal artikel tadi, tim esports biasanya tidak mengambil semua hadiah turnamen, melainkan paling banyak hanya 40% bagian saja.

Jadi, jika dengan asumsi RRQ memotong 40% bagian dari hadiah turnamen yang didapat pemain, manajemen RRQ berarti hanya menerima Rp2,2 miliar, Rp800 juta lebih kecil dibanding dari pendapatan Google AdSense YouTube Channel yang mereka miliki.

Lalu bagaimana soal pengeluaran untuk membuat konten? Gaji untuk seorang streamer bisa jadi lebih mahal atau lebih murah ketimbang gaji yang dibutuhkan untuk satu tim esports. Anggaplah tadi gaji untuk tim AOV untuk EVOS ada di kisaran Rp43 juta sebulan atau gaji minimal untuk tim MPL ID adalah Rp45 juta sebulan (Rp7,5 juta x6), nominal ini juga bisa jadi sama besarnya untuk membayar gaji bulanan streamer beserta tim produksinya (video editor, videografer, dkk.). Belum lagi jika kita berbicara soal alat-alat yang dibutuhkan, seperti kamera, webcam, PC untuk editing video. Modal awal untuk kebutuhan peralatan tadi mungkin saja mencapai Rp50-100 jutaan untuk sebuah kanal konten video. Untungnya, modal untuk peralatan ini mungkin memang tidak rutin — kecuali setiap bulan banting kamera.

Meski pengeluaran untuk tim esports dan tim kreator konten bisa jadi sama besar atau bahkan lebih mahal tim konten-nya (tergantung dari prestasi para pemain tim esports-nya), satu hal yang tak bisa dipungkiri adalah membangun tim juara itu mungkin lebih sulit dilakukan ketimbang membangun tim konten yang populer.

Sumber: PUBG Mobile Esports
Sumber: PUBG Mobile Esports

Kenapa? alasannya ada 2. Pertama, industri konten sudah jauh lebih matang dan tua ketimbang industri esports. Para profesional yang piawai merekam video atau mengedit bisa ditemukan dari industri-industri hiburan di luar esports. Demikian juga peralatannya. Misalnya, Anda bisa saja menemukan setiap komponen untuk merakit desktop PC kelas proletar sampai kelas sultan di Indonesia. Sedangkan di esports, para pemain yang masuk di kategori papan atas masih sangat terbatas. Demikian juga dengan pelatihnya, misalnya. Anda tidak bisa merekrut pelatih sepak bola untuk melatih tim Dota 2 dan berharap ia bisa dengan mudah beradaptasi — tidak seperti videografer atau video editor dari industri hiburan di luar esports.

Alasan kedua kenapa membangun tim juara lebih sulit karena memang caranya cuma satu; yaitu memiliki kemampuan yang hebat agar bisa jadi juara. Kemampuan ini kemungkinan besar tidak akan bisa didapat dengan cara instan. Kekompakan tim saat bertanding juga demikian.

Sedangkan popularitas konten? Ada banyak cara untuk bisa mencari popularitas. Para streamer perempuan bisa saja memanfaatkan eksplorasi tubuh dan wajah. Faktanya, wajah cantik ataupun bodi ciamik bisa didapatkan dengan mudah — jika Anda beruntung dalam undian genetik. Ada juga streamer yang lebih suka memanfaatkan perilaku menyimpang dan kata-kata kasar untuk memancing popularitas. Kenyataannya, popularitas itu memang seringnya tidak berbanding lurus dengan kapabilitas. Anak kecil makan bakso saja bisa jadi populer tanpa perlu ribuan jam berlatih layaknya tim esports. Sebaliknya, Anda tidak bisa jadi juara kompetisi hanya dengan menunjukkan belahan dada — kecuali mungkin memang kompetisinya soal itu…

Batasan etika dari definisi juara itu memang jauh lebih sempit, ketimbang populer. Faktanya, organisasi esports juga memanfaatkan gadis-gadis cantik untuk mendulang popularitas — yang sebelumnya juga pernah kami bahas.

Kesimpulan

Melalui pembahasan yang telah kita lakukan, kita setidaknya bisa mendapat gambaran kasar, apa yang bisa didapatkan organisasi esports atas prestasi yang mereka kejar dan konten-konten kreatif yang mereka produksi.

Jadi, prestasi atau konten? Sepertinya keduanya seperti dua sejoli yang tak terpisahkan dan saling melengkapi dalam proses perkembangan sebuah organisasi esports.

Toh tim yang berat ke konten seperti FaZe Clan, pada akhirnya juga berambisi menjadi juara, sampai-sampai rela keluar US$700.000 pada tahun 2016 hanya untuk membeli roster CS:GO. Team Liquid yang gencar mengejar prestasi juga tetap membuat konten agar mereka tetap eksis di dunia maya.

Bahkan RRQ yang punya orientasi menjadi juara, tetap memanfaatkan popularitas atas kemenangan mereka sebagai konten agar tetap menghasilkan pundi-pundi untuk membantu membawa RRQ kepada kesuksesan.

Apalagi, faktanya, membangun tim juara itu tetap butuh waktu yang panjang — setidaknya tidak sesingkat menemukan gadis-gadis berparas menarik ataupun streamer yang lucu dan kontroversial.

League of Legends Mid-Season Streamathon Jadi Ajang Galang Dana Penanggulangan COVID-19

Memasuki pertengahan tahun, penggemar esports League of Legends biasanya sudah gegap gempita dengan kehadiran kompetisi internasional paruh-tahun, Mid-Season Invitational. Namun demikian, pandemi COVID-19 mengubah segalanya. Walau LoL Worlds 2020 dikabarkan akan tetap berjalan pada Oktober 2020 mendatang, namun Mid-Season Invitational 2020 yang seharusnya diadakan bulan Juli 2020 harus tetap dibatalkan.

Namun, Anda penggemar esports League of Legends tak usah khawatir, karena sebagai gantinya Riot menyiapkan sajian Mid-Season Streamathon untuk mengisi kekosongan. Seperti namanya, Mid-Season Streamathon menampilkan tayangan League of Legends selama 48 jam dengan jadwal non-stop.

Sumber: VCS Official
Selain sajian LPL vs LCK, aksi EVOS Esports dari liga VCS Vietnam juga jadi hal lain yang patut disaksikan dari tayangan League of Legends Mid-Season Streamathon. Sumber: VCS Official

Selama jadwal tersebut, Anda bisa menikmati berbagai macam tayangan pertandingan League of Legends dari berbagai regional, termasuk sajian rivalitas dua regional terpanas di League of Legends antara LPL vs LCK.

Tidak hanya itu saja, bagi penikmat skena kompetitif League of Legends Asia Tenggara, Mid-Season Streamathon juga menyajikan pertandingan antara dua liga besar di wilayah Asia Pasific, yaitu pertandingan antara liga PCS (SEA-APAC) melawan liga VCS (Vietnam). Liga PCS diwakili oleh Talon Esports asal Hong Kong dan Machi Esports asal Taiwan, sementara liga VCS akan diwakili oleh EVOS Esports dan juga Team Flash.

Mid-Season Streamathon diselenggarakan mulai tanggal 27 hingga 31 Mei 2020, berikut jadwalnya.

Sumber: Riot Games
Sumber: Riot Games

Gelaran Mid-Season Streamathon juga akan menjadi ajang galang dana untuk meringankan beban perjuangan melawan wabah pandemi COVID-19. Para penggemar bisa turut berpartisipasi, yang mana donasi tersebut nantinya akan didistribusikan oleh Riot Games Social Impact Fund kepada beberapa organisasi yaitu ImpactAssets COVID Response Fund dan GlobalGiving Coronavirus Relief Fund. Nantinya dana tersebut akan digunakan untuk membantu para pekerja medis yang bertarung di lini depan melawan pandemi yang sudah menjangkiti hampir 5 juta orang di seluruh dunia.

Ini bukan kali pertama Riot Games turut berpartisipasi dalam meringankan beban perjuangan melawan pandemi COVID-19. Sebelumnya, Riot Games juga sempat menyumbangkan 1,5 juta dolar AS kepada pemerintah kota Los Angeles untuk membantu meringankan beban perjuangan melawan pandemi COVID-19.

Semua pertandingan Mid-Season Streamathon nantinya dapat Anda saksikan pada laman resmi esports League of Legends yaitu watch.lolesports.com, mulai 27 Mei 2020 pukul 07:00 WIB hingga 31 Mei 2020 pukul 11:00 WIB.

Sudah siap untuk menyaksikan aksi permainan League of Legends terbaik dari berbagai regional?

Antara TikTok dan Esports: Bagaimana Keduanya Berpeluk Mesra Merenda Tawa

Tim olahraga tradisional, seperti kesebelasan sepak bola, biasanya punya kota yang mereka sebut sebagai rumah. Misalnya, Jakarta adalah markas Persija sementara Persib di Bandung. Ini memudahkan tim-tim tersebut untuk mendapatkan penggemar di kota asalnya, seperti Persija dengan The Jakmania. Namun, tidak begitu dengan organisasi esports. Fans tim atau organisasi esports bisa datang dari mana saja, terlepas dari kota atau negara asal tim atau organisasi tersebut. Tentu saja, lain ceritanya ketika tim esports membawa nama negara, seperti dalam Asian Games atau SEA Games.

Hal lain yang membedakan esports dengan olahraga tradisional adalah pertandingan esports diadakan secara digital dan biasanya disiarkan di platform streaming seperti YouTube, Facebook, atau Twitch. Karena itu, bagi organisasi esports, media sosial adalah cara paling sesuai untuk mengumpulkan dan berinteraksi dengan fans. Pertanyaannya, media sosial yang mana? Kini, ada beberapa media sosial populer, seperti Facebook, Instagram, Twitter, dan  TikTok. Masing-masing platform memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing.

Dari semua media sosial itu, TikTok adalah yang paling baru. Lalu, bagaimana peran TikTok dalam industri gaming dan esports saat ini?

Apa Uniknya TikTok?

TikTok adalah platform media sosial buatan ByteDance, perusahaan asal Beijing, Tiongkok. TikTok mengkhususkan diri untuk menyajikan konten berupa video pendek dengan durasi 3 sampai 60 detik. Satu hal yang membedakan TikTok dari media sosial lainnya adalah cara mereka menggunakan artificial intelligence. Kebanyakan media sosial, seperti Facebook dan Instagram, menggunakan algoritma untuk menentukan konten yang tampil di lini masa pengguna.

TikTok kini menjadi semakin populer. | Sumber: 9to5mac
Cara TikTok menggunakan AI menjadi salah satu keunikannya. | Sumber: 9to5mac

Sementara itu, TikTok akan menganalisa ketertarikan dan preferensi pengguna berdasarkan interaksi mereka dengan konten. Jadi, video yang muncul di lini masa TikTok Anda ditentukan berdasarkan pada berapa lama Anda menonton sebuah video. Semakin lama Anda menonton, itu berarti ketertarikan Anda semakin tinggi. Ini bukan berarti TikTok adalah satu-satunya platform yang menggunakan AI. Jangan salah, media sosial atau platform streaming seperti YouTube dan Spotify juga tetap menggunakan AI. Hanya saja, biasanya pengguna tetap diminta untuk memilih genre atau tipe konten yang mereka sukai.

Oke, reputasi TikTokmemang tidak sepenuhnya cemerlang. Maaf saja, saya sendiri masih sering mengidentikkan TikTok dengan konten alay. Saya yakin saya bukan satu-satunya yang berpikir begitu. Namun, tak bisa dipungkiri TikTok digemari begitu banyak orang. Menurut data dari Sensor Tower per April 2020, TikTok telah diunduh sebanyak 2 miliar kali di Apple App Store dan Google Play Store. Pandemi virus corona menjadi salah satu pendorong pertumbuhan jumlah install TiKTok. Sepanjang Q1 2020, TikTok telah diunduh sebanyak 315 juta kali di App Store dan Google Play. Sementara menurut Datareportal, jumlah pengguna aktif bulanan TikTok mencapai 800 juta orang.

Jumlah pertumbuhan donwload TikTok. | Sumber: Sensor Tower
Jumlah pertumbuhan donwload TikTok. | Sumber: Sensor Tower

India menjadi negara dengan total install TikTok terbesar, mencapai 611 juta download atau sekitar 30,3 persen dari total unduhan. Sementara Tiongkok duduk di posisi nomor 2 dengan total install mencapai 196,6 juta (9,7 persen). Amerika Serikat ada di posisi ketiga dengan total unduhan 165 juta (8,2 persen). Sementara itu, untuk kawasan Asia Tenggara, Sensor Tower memperkirakan bahwa total install aplikasi TikTok mencapai 190 juta pada Mei 2019, menurut laporan Strait Times. Untuk kawasan Asia Tenggara, Indonesia menjadi negara dengan jumlah install TikTok terbanyak. Mengingat Indonesia adalah negara dengan populasi terbanyak ke-4 di dunia, hasil itu tidak aneh.

TikTok di Dunia Gaming dan Esports

Setelah sukses mendapatkan audiens dengan TikTok, ByteDance — perusahaan induk TikTok — mulai tertarik untuk masuk ke industri game. Beberapa tahun belakangan, ByteDance telah merilis game-game kasual yang menggunakan iklan sebagai sumber pemasukan. Biasanya, game-game tersebut dipopulerkan melalui TikTok. Namun, pada Januari 2020, ByteDance dikabarkan akan membuat divisi game. Pasalnya, mereka ingin menggarap game yang lebih serius. Lewat game ini, ByteDance hendak menyasar kalangan gamer hardcore yang rela mengeluarkan uang untuk membeli item dalam game.

Masih pada Januari 2020, TikTok juga bekerja sama dengan Fortnite untuk menyelenggarakan acara #EmoteRoyaleContest. Sementara pada April 2020, TikTok menggandeng Collegiate StarLeague (CSL) untuk mengadakan turnamen esports bertajuk TikTok Cup. Dalam turnamen tingkat universitas ini, ada 4 game yang dipertandingkan, yaitu Fortnite, League of Legends, Counter-Strike: Global Offensive, dan Rocket League.

Sementara itu, di Indonesia, TikTok menggandeng WHIM Indonesia, perusahaan manajemen yang mengelola organisasi esports EVOS Esports dan influencer mereka. Hartman Harris, Chief of Business Operation EVOS Esports mengatakan bahwa melalui kerja sama ini, EVOS ingin mengembangkan bisnis influencer mereka. “Kita yakin bahwa TikTok akan lebih menarik untuk fans kami, termasuk EVOS Esports, terutama mereka yang berasal dari Gen Z yang suka dengan lagu hits tapi dengan penyajian format konten yang berbeda,” kata Hartman.

Hartman menjelaskan, masing-masing platform media sosial memiliki market dan fungsi yang berbeda-beda. Meskipun begitu, dia mengaku pasti ada audiens yang overlap antara satu media sosial dengan yang lain. “Karena itu, kita harus bikin setiap konten menarik dan bikin penasaran,” ujarnya. “Fungsi setiap platform berbeda-beda, sehingga mood orang juga berbeda-beda saat pakai platform yang berbeda. Instagram kebanyakan untuk image, YouTube untuk video panjang, TikTok untuk video pendek dengan lagu yang hits dan lucu.”

Mengingat setiap platform media sosial memiliki fungsi yang berbeda, para kreator konten, termasuk influencer di WHIM, tidak bisa serta-merta membuat satu konten yang dibagikan ke seluruh media sosial. “Karena setiap platform itu berbeda-beda, kita harus customize setiap konten juga, untuk dicocokkan dengan audiensnya, tapi semua ada benang merahnya,” jelas Hartman.

Emperor jadi salah satu influencer di bawah EVOS. | Sumber: Esports.id
Emperor jadi salah satu influencer di bawah EVOS. | Sumber: Esports.id

WHIM Indonesia membawahi sejumlah influencer ternama di dunia gaming, seperti Jonathan “Emperor” Liandi, Dyland Maximus Zidane alias Dyland PROS, Anastasia “Angel” Angelica, dan Jeanice Ang aka Jeanice. Masing-masing influencer tentu memiliki daya tarik yang berbeda-beda. Hartman mengungkap, ciri khas masing-masing influencer di WHIM biasanya memang sesuai karakter mereka sendiri. “Setiap orang punya khas sendiri, kita hanya bantu memoles,” ungkapnya. Sementara soal pembuatan konten, semua melalui tim kreatif WHIM. “Diawalin dengan process planning, lalu production, lalu edit.”

Ketika ditanya soal tujuan kerja sama antara WHIM Indonesia dan TikTok, melalui pesan singkat, Hartman menjawab, “Untuk bisa menjalin hubungan yang lebih erat dan membangun industri kreator konten di Indonesia melalui TikTok, platform yang sangat besar.” Lebih lanjut dia berkata, “Kami ingin bisa menghubungkan lebih banyak konten kreator dengan para brand. Agar konten kreator mudah mendapat brand, dan para brand bisa mendapat kreator yang tepat.” Selain itu, melalui kerja sama ini, WHIM Indonesia juga akan mendapatkan berbagai insight dari TikTok, mulai dari cara membuat video yang lebih engaging sampai tren konten TikTok di luar negeri yang bisa diterapkan di pasar lokal.

Seperti Apa Konten di TikTok?

EVOS Esports memiliki akun resmi di TikTok, lengkap dengan centang biru. Mereka sudah mengunggah 141 video dan mengumpulkan 249,9 ribu pengikut. EVOS bukanlah satu-satunya tim esports Indonesia yang punya akun TikTok. Dua tim seports lain yang juga memiliki akun di TikTok adalah Bigetron Esports yang telah mengunggah 41 video dan mendapatkan 49,9 ribu pengikut, serta Onic Esports dengan 21 video dan 8 ribu pengikut.

EVOS, Bigetron, dan Onic juga memiliki akun Instagram, yang fokus pada gambar dan video. Lalu, konten seperti apa yang disajikan di TikTok? Hartman menyebutkan bahwa EVOS membedakan konten yang mereka unggah di akun media sosial yang berbeda-beda. Untuk memastikan kebenaran pernyataan itu, saya lalu mencari tahu tentang konten buatan EVOS di TikTok dan membandingkannya dengan konten di Instagram. Di akun Instagram resmi EVOS, Anda akan menemukan konten seperti ucapan selamat ulang tahun untuk anggota tim, video kilas balik pada momen-momen menarik, give away, atau pengumuman pengunduran diri pemain. Namun, di TikTok, konten buatan EVOS jauh lebih… nyeleneh santai.

Salah satu video dengan view terbanyak di akun TikTok EVOS adalah video dari Dyland PROS saat dia melakukan Lalala Challenge. Video pendek tersebut berhasil mendapatkan 159,5 ribu view dan lebih dari 4,5 ribu komentar. Bagi Anda yang tidak tahu (seperti saya sebelum menulis artikel ini), Lalala Challenge menantang Anda untuk membuat gerakan tangan sesuai dengan serangkaian emoji. Tentu saja, gerakan yang Anda buat harus sesuai dengan ritme lagu.

Contoh orang-orang yang melakukan Lalala Challenge. | Sumber: YouTube
Contoh orang-orang yang melakukan Lalala Challenge. | Sumber: YouTube

Contoh konten lainnya di akun TikTok resmi EVOS adalah Pass the Brush Challenge. Di sini, para ML Ladies menunjukkan tampilan mereka sebelum dan sesudah menggunakan makeup sebelum mereka “menyerahkan” kuas makeup ke rekan mereka. Jika Anda berpikir konten-konten tersebut nirfaedah, saya tidak akan menyalahkan Anda. Tapi, tak bisa dipungkiri itu menghibur banyak orang. Di tengah pandemi seperti sekarang, kita tahu betapa pentingnya hiburan.

Dan jangan salah, organisasi-organisasi esports yang membuat akun TikTok tak terbatas pada organisasi esports lokal. Organisasi esports global sekalipun juga punya akun di TikTok. Ini beberapa daftar organisasi esports global yang memiliki jumlah pengikut hingga puluhan atau bahkan ratusan ribu di TikTok.

  • Team SoloMid – 544,9 ribu pengikut
  • 100 Thieves – 286,5 ribu pengikut
  • G2 Esports – 286,1 ribu pengikut
  • Spacestation Gaming – 100,1 ribu pengikut
  • Cloud9 – 42,6 ribu pengikut
  • FaZe Clan 30,5 ribu pengikut
  • Fnatic R6 – 10 ribu pengikut

Tak hanya organisasi esports, beberapa streamer ternama juga memiliki akun TikTok, seperti Tyler “Ninja” Blevins yang memiliki 2,5 juta pengikut atau Imane “Pokimane” Anys dengan 2 juta pengikut. Para penyelenggara turnamen juga bekerja sama dengan TikTok untuk mempopulerkan turnamen mereka. Misalnya, dalam League of Legends World Championship 2019, Riot Games bekerja sama dengan TikTok untuk merilis lagu original berjudul “GIANTS”. Lagu tersebut bisa digunakan oleh pengguna TikTok sebagai latar belakang musik dari konten yang mereka buat.

“Sebagai tambahan, para influencer di TikTok juga menghadiri turnamen secara langsung, mendorong terciptanya konten yang otentik, sehingga jumlah view naik dengan cepat dan kini telah menembus 1 miliar view,” kata Alay Joglekar, Social Media Lead, Riot Games pada The Esports Observer. Dia merasa, Riot mendapatkan pelajaran berhraga dari kerja sama tersebut. “Setelah kerja sama pertama, kami berencana untuk menjalin kerja sama yang lebih erat lagi dengan TikTok agar kami bisa memberikan pengalaman yang lebih menarik bagi fans lama dan baru kami.”

Pada April 2020, ESL juga bekerja sama dengan TikTok. Perusahaan penyelenggara turnamen itu membuat dua channel. Satu channel untuk menunjukkan highlight dari pertandingan Counter-Strike: Global Offensive dan satu channel lain untuk konten esports umum. Selain itu, ESL dan TikTok juga membuat dua tagar khusus: #progamer dan #mygaminglife. ESL mengatakan, dua channel mereka mendapatkan total view 2,3 juta hanya dalam waktu 4 hari. Sementara dalam waktu 10 hari, mereka berhasil mendapatkan 2,5 miliar view. ESL mengaku, melalui kerja sama ini, mereka memang menargetkan generasi Z, yang terlahir pada sekitar pertengahan 1990-an sampai awal 2010-an.

Kesimpulan

Pada awalnya, TikTok mungkin memiliki reputasi sebagai media sosial untuk anak-anak alay. Sampai sekarang, reputasi itu mungkin belum sepenuhnya menghilang. Tapi, tak bisa dipungkiri bahwa TikTok kini menjadi media sosial yang sangat populer, khususnya di kalangan gen Z. Dan coba tebak industri apa yang penontonnya juga datang dari generasi milenial dan gen Z? Esports. Jadi, jangan heran jika para pelaku esports bekerja sama dengan TikTok, mengingat audiens keduanya memiliki kemiripan.

Besides, if you can’t beat them, join them!

Sumber header: CNET/Angela Lang

Sejarah Esports: Evolusi Laga Adu Skor Jadi Ajang Kompetisi Global

Esports jadi satu fenomena besar yang menarik mata banyak pihak. Investor dan pelaku bisnis berlomba-lomba menjajaki industri baru yang menggiurkan ini. Para gamers jelas tidak mau ketinggalan, menjadi yang terhebat demi mendapat hadiah ratusan juta dolar.

Mendapat uang dari bermain game memang adalah fenomena baru. Jika kita melihat beberapa dekade ke belakang, boro-boro mendapat uang, yang ada kita dimarahi orang tua jika bermain game terlalu banyak. Bahkan saat Counter-Strike mulai populer dan menjadi kompetisi di awal tahun 2000an saja, belum ada karir untuk bermain game, istilah esports pun masih jarang terdengar.

Lalu dari mana mulainya esports? Sejak kapan ini menjadi suatu peluang ekonomi yang menjanjikan? berikut sejarah perkembangan esports.

Dimulai dari Spacewar dan Space Invader

Jika ingin menelusuri secara lebih jauh, budaya berkompetisi di video game sudah dimulai sejak tahun 1970, masa yang bisa disebut awal dekade industri video game. Jangankan teknologi internet, komputer pada zaman itu saja masih sangat purba yang punya kemampuan komputasi yang sangat lemah.

Pada zaman itu komputer masih menjadi barang mewah, tidak semua orang punya akses terhadap teknologi tersebut. Sementara itu video game biasanya menjadi pengisi waktu luang para pegawai korporat, ataupun akademisi, karena komputer biasanya hanya ada di perkantoran atau laboratorium belajar universitas.

Semua dimulai pada Oktober 1972. Mengutip dari Kotaku, 19 Oktober 1972 disebut sebagai turnamen video game pertama di dunia. Universitas Stanford menjadi saksi bisu atas kejadian bersejarah ini, ketika para mahasiswa ilmu komputer bertanding video game Spacewar. Tidak ada hadiah ratusan juta dolar AS, para mahasiswa bertanding dalam kompetisi bertajuk Intergalatic Spacewar Olympic, hanya untuk mendapatkan paket langganan majalah Rolling Stone selama satu tahun.

Sumber: Reddit
Potret turnamen space Invader yang diadakan oleh Atari pada tahun 80an. Sumber: Reddit

Game yang dibuat oleh Steve Russel dan 5 kolega dari Massachusetts Institute of Technology, ini memang favorit di masa itu. Spacewar sudah dimainkan seantero laboratorium komputer Universitas di Amerika Serikat dan Kanada selama 11 tahun lamanya. Seorang lulusan Stanford menceritakan kepada Kotaku, bahwa pada masa itu para teknisi komputer bisa terpaku ke layar Cathode Ray Tube (CRT) selama berjam-jam, memainkan game ini di malam hari usai mereka kerja.

Setelah dari itu, 8 tahun kemudian, Atari melaksanakan turnamen Space Invaders. Spacewar tercatat sebagai turnamen video game pertama di dunia, sementara Space Invaders Championship tercatat sebagai turnamen video game skala besar pertama di dunia. Rilis tahun 1978, Space Invader merupakan salah satu game terpopuler di masa itu, ketika game hanya bisa dimainkan di mesin Arcade atau tempat yang kita kenal sebagai ‘ding-dong’. Turnamen ini berhasil menarik perhatian banyak gamers, diikuti oleh 10 ribu lebih peserta, dan membuat bermain video game jadi hobi arus utama.

Kendati turnamen game sudah mulai marak pada masa itu, tapi jangan bayangkan ini sebagai pertandingan satu lawan satu. Kebanyakan game di zaman itu bersifat Single-Player. Lalu bagaimana game single-player bisa dipertandingkan? Jawabannya tentu saja dengan membandingkan skor yang bisa didapatkan antar pemain.

Ini mungkin terdengar tidak masuk akal di zaman sekarang, ketika game multiplayer (baik online atau offline) sudah menjadi budaya yang umum. Namun demikian perebutan skor tertinggi menjadi satu ajang unjuk gigi terbaik pada masa itu.

Satu bukti popularitas turnamen video game di Amerika Serikat zaman itu adalah terciptanya Twin Galaxies, organisasi yang bekerja mencatat rekor skor tertinggi dari para pemain, yang dibentuk oleh seorang pengusaha bernama Walter Day.

Sumber: VentureBeat
Billy Mitchell, pencetak skor tertinggi untuk jajaran game Nintendo terpopuler pada tahun 80an. Sumber: VentureBeat

Satu yang membuat usaha Walter Day begitu terasa ketika itu adalah usahanya untuk menyetor catatan tersebut kepada Guinness World Records. Karena Guinness World Records mencatat semua rekor yang bisa dicapai oleh manusia, kehadiran Twin Galaxies berperan membawa budaya gaming menjadi mainstream di Amerika Serikat.

Berkat Twin Galaxies, masyarakat awam jadi bisa kenal Billy Mitchell, gamers yang mencatatkan rekor skor tertinggi pada game Pac-Man, Ms. Pac-Man, Donkey Kong, Donkey Kong, Jr., Centipede, dan Burger Time, yang membuatnya masuk dalam buku Guinness World Records di tahun 1985.

Pada tahun 80an, fenomena turnamen video game tidak hanya jadi monopoli Amerika Serikat saja. Pasalnya pada tahun itu Indonesia juga sudah kenal turnamen video game. Bukti akan hal tersebut mencuat lewat sebuah foto yang diunggah seorang pengguna media sosial.

Foto itu menggambarkan suasana keramaian di tangga suatu bangunan, dengan spanduk bertuliskan “Selamat datang para peserta lomba Nintendo tingkat Jatim 1989, di THR Surabaya Mall.”

Memang pada tahun itu, Nintendo sedang melakukan promosi lewat kompetisi. Tahun itu ada Nintendo Challenge Championship, dan satu tahun setelahnya ada Nintendo World Championship di tahun 1990. Tetapi, dua helatan akbar konsol asal Jepang itu diadakan di Amerika Serikat.

Sampai saat ini belum ada satu media pun yang membahas lebih lanjut soal foto lomba Nintendo tingkat Jatim tadi ataupun dokumentasi yang lebih detail. Akhir tahun 80an menutup satu lembar sejarah esports dan melanjutkan kita ke era berikutnya di tahun 90an.

Kemunculan Street Fighter II dan Munculnya Laga Digital 1 lawan 1

Awal tahun 1990 membuka babak baru dari perkembangan esports. Setelah kurang lebih satu dekade adu kemampuan main game hanya bisa ditakar dari skor, tahun 90an memberikan gamers cara baru dalam menentukan siapa yang terbaik, yaitu lewat laga digital satu lawan satu. Ini terjadi berkat Capcom, yang merilis mesin Arcade berjudul Street Fighter II: The World Warrior pada tahun 1991.

Dalam artikel Hybrid yang ditulis oleh Ayyub Mustofa membahas soal sejarah fighting games, dikatakan bahwa fighting games pada masa itu biasanya hanya melawan komputer saja. Tapi Street Fighter II merevolusi semua itu dengan menciptakan sistem permainan player vs player. Sontak Street Fighter II menjadi favorit pemain Arcade.

Menurut catatan dari Gamerevolution, Street Fighter II diperkirakan mendatangkan pemasukan hingga kurang lebih 10 miliar dolar AS (sekitar Rp153 triliun), dengan total 200.000 mesin arcade, dan 15 juta unit software terjual di seluruh dunia.

Banyaknya jumlah pemain Street Fighter II menciptakan budaya kompetitif di kalangan para pemain. Orang jadi berlomba-lomba untuk jadi yang terbaik, karena ada harga diri, uang, dan waktu yang dipertaruhkan oleh pemainnya ketika bermain Street Fighter II di tempat Arcade. Walhasil budaya kompetitif ini menyebar dengan liar namun belum ada tempat yang mewadahi hasrat kompetitif ini pada masa itu.

Sampai pada akhirnya terciptalah cikal bakal kompetisi fighting games terakbar di dunia, Evolution Championship Series. Kompetisi ini digagas oleh empat sekawan dengan nama awal Battle by the Bay, yang diciptakan tahun 1996. Empat sekawan itu adalah Tom Cannon (inkblot) dan Tonny Cannon (Ponder) yang dikenal sebagai Cannon bersaudara, Joey Cuellar (MrWizard), dan Seth Killian (S-Kill).

Battle by the Bay tercipta sebagai cara bagi para pemain untuk menentukan siapa yang terbaik. Di Amerika Serikat pada zaman tersebut, ketika internet baru mulai ada, pusat dari persaingan Street Fighter berada di daerah California. Tom Cannon sendiri berkuliah di North California (NorCal), yang menjadi tempat kompetisi Street Fighter paling panas pada masanya.

Sumber: Kotaku.com
Potret keseruan turnamen fighting game pada awal-awal perkembangannya. Sumber: Kotaku.com

Belum lagi ketika itu juga ada rivalitas antar kelompok, terutama antara pemain NorCal dengan pemain SoCal (South California). Masing-masing pemain ini bisa saja asal klaim bahwa dirinya yang terbaik, karena belum ada satu kompetisi yang menjadi penentu hal tersebut. Sampai akhirnya Battle by the Bay tercipta, untuk menjadi penentu, siapa pemain Street Fighter terbaik seantero pantai California.

Selain kelahiran ajang adu kemampuan satu lawan satu, periode ini juga menandai penggunaan internet dan komputer yang semakin umum di masyarakat. Ini kembali mengevolusi cara orang berkompetisi dalam video game. Selain Street Fighter, game lain yang juga jadi ikon awal tahun 90an adalah Doom.

Game ini segera menuai kesuksesan, yang dikabarkan berhasil mendapatkan penjualan sebesar US$100.000 setiap harinya. Namun game ini menjadi kontroversi karena kekerasan yang dihadirkan. Kehadiran Doom jadi pembuka bagi genre FPS yang membombardir pecinta game di periode ini.

Doom menginspirasi kehadiran Quake, dan Half-Life. Pada akhir 90an, tepatnya pada 1999. Half-Life 2 juga menjadi basis custom-game FPS yang masih eksis hingga saat ini, Counter-Strike. Di Amerika Serikat, Quake menjadi fenomena kompetisi game komputer, karena mode multiplayer yang variatif.

QuakeCon pertama yang digelar Agustus 1996 menjadi penanda munculnya Quake sebagai satu pertandingan game yang digandrungi oleh banyak gamers. Acara tersebut berawal sebagai gathering komunitas, namun berkembang menjadi satu ajang kompetisi Quake paling bergengsi pada masanya.

Setelah laga adu skor, Street Fighter, dan Quake terjadi di Amerika Serikat, perkembangan esports berikutnya membawa kita ke Timur, ke negeri ginseng, Korea Selatan.

Cikal Bakal Esports Menjadi Fenomena Global Dari Korea Selatan

Selain Amerika Serikat, Korea Selatan bisa dibilang menjadi kiblat perkembangan esports lainnya. Bagi Korea Selatan, awal mula semua itu adalah ketika terjadi krisis finansial di Asia pada tahun 1997. Menanggapi keadaan itu, pemerintah Korea Selatan fokus melakukan pengembangan infrastruktur telekomunikasi dan internet.

Dampak hal tersebut adalah komunitas gamers yang berkembang pesat, karena PC bang (sebutan untuk warnet di Korsel) menggunakan koneksi internet baru yang lebih cepat sehingga menyedot perhatian para gamers untuk main game online. PC bang akhirnya bertindak seperti lapangan kosong yang digunakan oleh anak-anak untuk bermain bola, entah untuk sekadar bersenang-senang, atau uji kemampuan.

StarCraft, game besutan Blizzard jadi sangat populer di Korea Selatan sana. Ditambah lagi, pemerintah juga mendukung dan berinvestasi terhadap industri baru ini. Pemerintah Korea Selatan menciptakan Korea E-Sports Association (KeSPA) pada tahun 2000, semakin mendorong perkembangan esports di sana.

Sumber: DotEsports
Sumber: DotEsports

“14 tahun lalu, dengan dukungan pemerintah, turnamen diselenggarakan secara profesional, dan gelaran ditayangkan di televisi, wajar jika esports menjadi mainstream di sana. Layaknya sepak bola jadi olahraga yang diterima masyarakat secara umum.” Ucap Jonathan Beales, seorang komentator esports kepada New York Times pada artikel terbitan tahun 2014 lalu.

Tak hanya game komputer saja, Street Fighter 2 dan komunitas fighting game juga terus berkembang di masa awal 2000an, walau tren mesin Arcade sudah mulai tergantikan konsol. Periode awal 2000an menjadi momen besar bagi komunitas fighting game, ketika kompetisi mereka tak lagi lokal, tapi menjadi ajang unjuk kemampuan internasional.

Turnamen besutan Capcom yang mempertemukan jagoan barat, Alex Valle, dengan jagoan timur, Daigo Umehara, berhasil menjadi katalis perkembangan esports fighting game. Alhasil Battle by the Bay tahun 2001 kedatangan banyak pemain dari Jepang. Perkembangan ini membuat Battle by the Bay berubah nama menjadi EVO di tahun 2002.

Lalu, awal tahun 2000 juga menjadi momen saat Counter-Strike hadir dan menjadi fenomena global. Pada masa ini Indonesia juga turut mencicipi perkembangan tersebut, dan menjadi salah satu yang berpengaruh di dalam perjalanan sejarah esports.

Ini semua karena World Cyber Games. Kompetisi yang digagas oleh pengusaha Korea bernama Yoseeop Oh, dan didukung secara finansial oleh Samsung itu, berhasil menjadi ikon esports sebagai kompetisi global karena diikuti peserta dari 55 negara.

Kualifikasi menuju panggung dunia WCG mulai hadir di Indonesia pada tahun 2002. Puncak prestasi Indonesia dalam gelaran ini adalah pada tahun 2003, ketika tim XCN berhasil mencapai babak Semi-Final. Walau akhirnya terhenti oleh tim asal Denmark, namun mencapai peringkat top 8 dalam turnamen internasional adalah pencapaian besar bagi Indonesia.

Lompat beberapa tahun ke depan, periode awal 2010 menjadi cikal bakal dari dua turnamen yang jadi fenomena besar dalam perkembangan esports. Riot Games mengadakan turnamen bertajuk Season One Championship pada 2011, yang menjadi cikal bakal LoL Worlds, ajang esports terbesar di dunia yang ditonton oleh 21,8 juta orang pada tahun 2019 lalu.

Pada tahun yang sama, Valve juga mengadakan The International. Ini merupakan turnamen tingkat dunia pertama bagi Dota 2, versi standalone dari custom-game Warcraft terpopuler, Defense of the Ancient. The International juga menjadi fenomena besar bagi dunia esports. Dengan total hadiah sebesar 10,9 juta dolar Amerika Serikat (sekitar Rp154 miliar), gelaran ini berhasil mencetak rekor sebagai turnamen game dengan hadiah terbesar di tahun 2013.

Berkat sistem crowdfunding yang diterapkan, The International terus memecahkan rekor total hadiah di skena esports setiap tahunnya sejak tahun 2013. Terakhir kali, The International 2019 bahkan memiliki total hadiah sebesar 34 juta dolar Amerika Serikat (sekitar Rp523 miliar).

Mobile Games Sebagai Tren Baru dan Dominasi Indonesia di Peta Persaingan Esports Global

Ketika kita mengira bahwa perkembangan esports akan stagnan, ternyata esports memasuki babak baru lagi pada tahun 2014. Perkembangan ini didorong oleh sekelompok pengembang berpengalaman yang ingin mendorong teknologi mobile lebih jauh lagi. Di bawah perusahaan bernama Super Evil Megacorp (SEMC), Vainglory diluncurkan pada November tahun 2014 lewat sesi presentasi teknologi API grafis bernama Metal untuk iPhone 6.

Pada masa itu, Vainglory bisa dibilang menjadi pionir MOBA untuk mobile. Walau mereka bukan yang pertama, namun SEMC menjadi pengembang pertama yang berhasil menciptakan MOBA di mobile secara sempurna, dan punya konsep 3v3 yang unik. Setelah melalui fase beta, game ini ternyata diterima dengan sangat baik, dan berhasil mencatatkan 1,5 juta pemain aktif bulanan.

Vainglory pada masa itu juga menjadi pionir esports mobile game tingkat global. Tahun 2015 mereka menyelenggarakan Vainglory World Invitational yang cuma diikuti oleh 8 tim saja. Sukses di tahun pertama, gelaran ini berlanjut untuk kedua kalinya pada tahun 2016 dengan jumlah tim peserta dan perwakilan negara yang lebih banyak.

Do SEMC capable to repeat the victory in Vainglory Worlds 2017 that breaks the record of Twitch spectators. Source: redbull.com
Vainglory Worlds 2017, menjadi gelaran dunia terakhir dari Vainglory. Source: redbull.com

Sayang Vainglory malah meredup di tahun-tahun setelahnya. Pada tahun 2017, Indonesia diwakili oleh Elite8 mengikuti Vainglory World Championship 2017. Berbarengan dengan itu, Vainglory merilis mode 5v5, namun perkembangan Vainglory setelah itu malah terhambat yang diikuti dengan berbagai masalah yang membuat skena esports game ini jadi menurun.

Tahun 2017, kompetisi menjadi MOBA di mobile paling populer kedatangan pendatang baru. Dibesut pengembang asal Tiongkok, Moonton, Mobile Legends menjadi fenomena baru di Indonesia. Berbarengan dengan panasnya esports Vainglory lewat gelaran Indonesia Games Championship, Mobile Legends juga menunjukkan taringnya lewat gelaran Mobile Legends SEA Cup 2017.

MSC ketika itu bisa dibilang menjadi salah satu gelaran esports dengan jumlah penonton terbanyak. Berhasil membuat venue gelaran Grand Final, Mall Taman Anggrek, jadi penuh sesak sembari menunjukkan potensi skena esports bagi Mobile Legends: Bang-Bang.

Pada tahun berikutnya PUBG Mobile rilis. Game ini juga mendapat penerimaan yang baik secara global, dengan total pemain lebih dari 200 juta orang dan jumlah pemain aktif mencapai 30 juta orang per bulan di tahun yang sama dengan tahun perilisan. Dibesut oleh Tencent, PUBG Mobile segera mendapat kompetisinya tersendiri di skena lokal lewat PUBG Mobile Indonesia National Championship (PINC 2018).

Bigetron saat juara PMCO 2019. Sumber: Twitter PUBG Esports
Bigetron saat juara PMCO 2019. Sumber: Twitter PUBG Esports

Masih di tahun 2018, Mobile Legends memulai liga profesionalnya di Indonesia yang bertajuk Mobile Legends Professional League (MPL ID Season 1). Kompetisi tersebut segera mendapatkan penerimaan yang sangat baik sampai akhirnya sistem kompetisi diubah jadi franchise model pada tahun 2019.

Tahun 2019 saat esports mobile games menjadi semakin umum, membuat Indonesia banyak memetik buah prestasi dari hal ini. Pada tahun itu Bigetron RA menjadi juara dunia kancah PUBG Mobile lewat gelaran PUBG Mobile Club Open Global Finals 2019. ONIC Esports menjadi tim terkuat di Asia Tenggara lewat gelaran Mobile Legends Southeast Asia Cup 2019, dan terakhir ada EVOS Esports yang menjadi juara dunia Mobile Legends pertama lewat gelaran M1 World Championship.

Esports berhasil menjadi industri yang berkembang berbarengan dengan perkembangan teknologi. Ini belum menjadi akhir dari perkembangan esports. Bahkan untuk saat ini saja, esports mobile games masih belum menemukan bentuk terbaiknya, karena popularitasnya yang masih terpusat di daerah Asia saja.

Di masa depan, mungkin akan muncul evolusi baru lagi dari esports, yang hadir lewat teknologi terbaru. Mungkin bisa saja teknologi virtual reality dan augmented reality mungkin akan menjadi evolusi berikutnya dari esports. Satu hal yang pasti, di dunia digital yang terus berkembang ini, kita dituntut harus cepat beradaptasi dengan zaman agar tidak tertinggal dengan perkembangan teknologi.

Jajaki Esports, Lazada Gandeng EVOS Esports

Secara global, industri esports diperkirakan akan bernilai US$1 miliar pada tahun 2020. Sementara di Indonesia, pemasukan dari industri mobile game diperkirakan mencapai US$624 juta. Menurut data Newzoo, dari 82 juta pengguna smartphone di Tanah Air, sekitar 52 juta merupakan mobile gamer. Ini menunjukkan besarnya potensi esports dan tingginya minat masyarakat Indonesia akan mobile game. Jadi, tidak heran jika Lazada tertarik untuk mendukung ekosistem mobile game dan esports. Untuk melakukan itu, mereka memutuskan untuk bekerja sama dengan EVOS Esports.

Lazada mengumumkan kerja samanya dengan EVOS Esports pada hari ini, Rabu, 15 April 2020. Melalui kerja sama ini, EVOS akan membuka official store di Lazada. Selain itu, EVOS juga akan mengisi program livestreaming Lazada Cyber Combat. Di sini, para penggemar esports akan bisa bertanding melawan tim EVOS. Pertandingan tersebut akan disiarkan di channel LazLive setiap hari Selasa. Program Cyber Combat akan dijalankan mulai 12 Mei 2020 sampai 28 Juli 2020.

Tak hanya itu, Lazada dan EVOS juga akan melakukan pencarian bakat. Dalam pencarian bakat ini, pertama-tama, EVOS dan Lazada akan memilih 250 orang yang tertarik menjadi pemain profesional Mobile Legends dan 250 orang lain di Free Fire. Dari 250 orang tersebut, akan dipilih satu pemenang. Masing-masing pemenang berhak untuk masuk ke divisi Mobile Legends Academy dan divisi Free Fire dari EVOS setelah melalui masa tryout selama satu bulan.

Sawitri Hertoto, VP Marketing of Lazada Indonesia menjelaskan, Lazada ingin mendukung esports karena memang sesuai dengan misi mereka. Selain itu, esports juga mulai dipertandingkan dalam acara olahraga bergengsi, seperti SEA Games 2019. “Kalau dilihat, peminat esports, baik pengamat, pemain profesional dan amatir, kebanyakan itu dari kalangan generasi muda, milenial dan gen Z. Ini sesuai dengan target market Lazada,” ujar perempuan yang akrab dengan panggilan Pipi ini dalam konferensi pers online.

lazada evos esports
Sawitri Hertoto – VP Marketing of Lazada Indonesia.

Sementara itu, Hartman Haris, EVOS Esports Co-Founder and Chief Business Officer menjelaskan, industri esports di Indonesia memang sudah semakin maju. Salah satu tolok ukurnya adalah jumlah penonton. Dia bercerita, sekitar tiga tahun lalu, pada saat EVOS baru dibentuk, jumlah penonton pertandingan esports biasanya tidak mencapai 1.000 orang. Sebagai perbandingan, pada babak final MPL Season 5 — yang mempertemukan EVOS dan RRQ — peak viewer mencapai 1 juta orang.

Menurut Hartman, salah satu alasan mengapa ekosistem esports berkembang di Indonesia adalah karena jumlah pengguna smartphone yang terus bertambah. Namun, ekosistem esports di Indonesia masih tertinggal jika dibandingkan dengan negara-negara maju. “Salah satunya adalah dalam jaringan telekomunikasi atau internet. Sekarang memang sudah jauh lebih baik, tapi masih kalah jauh dari negara berkembang. Kedua, masalah payment. Ketiga, ecommerce,” ujarnya. “Yang dua hal pertama, itu di luar kendali saya. Tapi, yang ketiga, inilah alasan kami bekerja sama dengan Lazada.”

Bagi Lazada, melalui kerja sama dengan EVOS yang berlangsung selama satu tahun, mereka berharap akan bisa menambah konsumen mereka. “Kita memang selalu mau menambah pelanggan kami. Dan kalau soal pelanggan kan tidak cuma melihat dari umur. Kami juga ingin mendekatkan diri dengan komunitas gaming yang selalu mengikuti tren industri, seperti esports,” ujar Sawitri.

Di tengah pandemik virus corona, EVOS masih bisa menjalankan bisnisnya. Terkait hal ini, Hartman menjelaskan, “Kita beruntung karena pola bisnis kita memang kebanyakan online, menggunakan internet.” Namun, dia mengaku, EVOS terpaksa harus menunda berbagai kegiatan offline yang hendak mereka jalankan. “Kita juga mengalami banyak kendala. Tapi, setidaknya kita bisa melakukan kegiatan online.”

Moonton Tunjukkan Gambar Pertama Skin MLBB EVOS Esports. Bagaimana Tanggapan EVOS?

Kemarin (30 Maret 2020), Moonton mengirimkan gambar pertama dari skin EVOS Esports untuk Mobile Legends: Bang Bang (MLBB) lewat siaran pers mereka via email.

EVOS Esports mendapatkan skin di MLBB berkat kemenangan mereka di M1 World Championship di penghujung tahun 2019 silam. Harith menjadi hero yang dipilih untuk mendapatkan skin EVOS karena hero tersebut menjadi kunci kemenangan di banyak pertandingan EVOS di gelaran M1.

Sumber: Moonton Press Release
Sumber: Moonton Press Release

Adrian J. Alpin, Marketing Manager Moonton Indonesia, lewat rilis yang sama menjelaskan bahwa ada beberapa proses penting sebelum akhirnya Harith yang terpilih menjadi hero yang dipersembahkan untuk EVOS.

“Berdasarkan data kami, Harith sangat sering dipilih oleh tim EVOS di M1 dengan win rate yang sangat tinggi. Jadi kami awalnya menyampaikan kabar bahagia ini ke EVOS dan berdiskusi dengan mereka dari proses drafting design sampai testing di dalam game agar para pemain bisa menggunakan Harith dengan skin EVOS dencan lancar”, terang Adrian.

“Awalnya ada beberapa pilihan, maka kami juga mengajak para penggemar untuk melakukan voting. setelah itu akhirnya kami umumkan skin Harith yang terpilih.” Tambah Adrian saat kami hubungi lewat WhatsApp.

Head of Esports EVOS ID, Aldean Tegar Gemilang juga mengatakan yang senada saat kami hubungi lewat WhatsApp. “Iya, dilihat dari statistik dan Moonton juga diskusi dengan manajemen kita hero apa yang bagusnya untuk dibuatkan skin.” Ujar Aldean.

Anehnya, hanya 1 hero yang mendapatkan skin EVOS. Buat yang belum tahu, tradisi pemberian skin kepada juara dunia gelaran esports ini berawal dari game dan esports League of Legends (LoL). Namun di LoL, setidaknya ada 5 Hero yang mendapatkan skin tim pemenang World Championship setiap tahunnya; mengingat memang satu timnya terdiri atas 5 pemain dan 5 Hero di setiap pertandingan. Sebagai juara World Championship 2018 , Riot malah memberikan 6 skins kepada Invictus Gaming.

Skin untuk SKT di 2015. Sumber: Riot Games
Skin di LoL untuk SKT di 2015. Sumber: Riot Games

Lalu kenapa hanya 1 hero yang mendapatkan skin EVOS?

Adrian pun mengatakan, “untuk kali ini, kami memang baru memulai tradisi untuk mengapresiasi sang juara. Tim Moonton, baik pusat dan di Indonesia mengerahkan banyak resources untuk membuat skin dengan kualitas terbaik. Ini adalah salah satu alasan kenapa kami hanya membuat 1 skin untuk EVOS. Tentunya ke depannya kami akan memberikan kejutan serta terobosan yang lebih banyak lagi.”

Meski hanya 1 hero yang mendapatkan skin, Aldean tetap mengapresiasi langkah tersebut. “Iya Moonton ambil keputusan cuma kasih 1 hero. Kita juga expect awalnya memang 5 sih.  Terlepas dari itu, menurut gua bagus kok. New look aja buat Harith dengan sentuhan-sentuhan EVOS.” Terang Aldean menutup perbincangan kami.

Terakhir, buat yang penasaran dengan skin ini, saya pun menanyakan tentang kategori skin tersebut kepada Adrian. Apakah masuk kategori Special, Legendary, Epic, atau yang lainnya (karena kategori ini nanti akan berkaitan dengan harga yang harus dibayar buat para pemain yang ingin memilikinya)? Apakah ada event khusus buat para pemain yang ingin mendapatkannya?

Adrian pun menjawab, “untuk masuk kategori apa, ini masih rahasia tentu harganya juga. Dan, untuk misi in-game pasti juga ada untuk skin ini. Jadi stay tune di game dan social media kami!”

Saat kami cek ke halaman Facebook MLBB, Moonton nampaknya sudah memulai event untuk para pemain yang ingin mendapatkan skin ini. Pada event ini, Moonton akan memberikan skin EVOS gratis pada para pemain yang bisa bertengger di peringkat pertama papan City Leaderboard untuk hero Harith. Setiap kota pun berhak mendapatkan 1 skin MLBB EVOS.

Antara Venture Capital dan Esports Asia Tenggara: Kemesraan di Masa Penjajakan

Perusahaan venture capital sekarang tidak hanya melirik startup untuk didanai, tapi juga organisasi esports. Memang, industri esports dunia ataupun Indonesia, berkembang dengan pesat belakangan ini. Pada Mei 2019, Skystar Capital mengaku mereka akan menanamkan investasi di salah satu tim esports lokal. Pada awal November 2019, EVOS Esports mengumumkan bahwa mereka baru saja mendapatkan pendanaan sebesar US4,4 juta atau sekitar Rp61 miliar. Insignia Venture Partners menyumbangkan US$3 juta dari total pendanaan Seri A ini.

Menurut CrunchBase, Insignia adalah perusahaan venture capital yang memfokuskan diri pada investasi startup. Sementara di situs resminya, Insignia mengklaim bahwa mereka mendedikasikan diri untuk mendukung perusahaan paling berpengaruh di Asia Tenggara. Dengan menanamkan investasi pada EVOS, secara tidak langsung, Insignia menyatakan bahwa EVOS merupakan perusahaan yang berpengaruh yang cukup besar di Asia Tenggara. Perusahaan VC itu mengatakan, mereka mencoba untuk berkontribusi dalam mengembangkan industri esports dan karir pemain profesional di Asia Tenggara dengan berinvestasi di EVOS. Sementara alasan mereka ingin mendukung esports adalah karena mereka merasa industri ini memiliki potensi besar dalam beberapa tahun ke depan. Menurut survei Goldman Sachs dan Newzoo, saat ini, valuasi industri esports telah mencapai US$1,1 miliar dan akan mencapai US$2,9 miliar pada 2022. Jadi, ya, esports telah menjadi industri yang besar dan tampaknya, masih akan terus tumbuh.

Proyeksi total pendapatan industri esports | Sumber: Goldman Sachs
Proyeksi total pendapatan industri esports | Sumber: Goldman Sachs

Lalu, kenapa harus EVOS? Oke, EVOS memang terbukti memiliki prestasi dan reputasi. Tapi, di Asia Tenggara, ada banyak organisasi esports yang tidak kalah pamor. Misalnya, RRQ dari Indonesia, ataupun Mineski, dan TNC dari Filipina.

“EVOS tidak hanya memiliki roadmap yang jelas, mereka juga memiliki kemampuan untuk mengeksekusi rencana tersebut dan membawa gamer di Asia Tenggara ke level berikutnya,” kata Insignia pada Hybrid. “Kami percaya dengan pendekatan yang mereka lakukan dan dengan pencapaian mereka sejauh ini dalam membuat ekosistem esports yang mandiri untuk mendukung para gamer di Asia Tenggara.” Lebih lanjut mereka mengatakan, EVOS berhasil menjalin kerja sama dengan sejumlah platform, publisher, dan merek ternama. Semua ini, ditambah dengan divisi entertainment EVOS, memungkinkan tim dengan logo harimau putih itu untuk menyokong tim esports mereka. “Divisi entertainment mereka dapat memanfaatkan influence mereka untuk menarik perhatian banyak gamer dan enthusiasts. Dari sini, mereka akan dapat menemukan talenta baru,” ujar Insignia.

Memang, investasi yang diberikan oleh Insignia justru akan digunakan untuk mengembangkan divisi entertainment EVOS dan bukannya tim esports mereka. Menurut Insignia, keputusan EVOS untuk mengembangkan divisi influencer mereka bukan berarti mereka menganaktirikan tim esports mereka. Ini justru dianggap sebagai cara EVOS untuk menyokong tim esports mereka. “Hubungan antara divisi EVOS layaknya anggota tim dalam game MOBA. Tim esports EVOS mengambil midlane sebagai carry atau tank, sementara divisi entertainment mereka merupakan jungler atau support, yang akan mendukung kesuksesan dari tim esports mereka. Lebih mudah bagi para pemain hebat untuk menjadi influencer dan dengan bantuan influencer, EVOS dapat menciptakan ruang untuk mencari talenta baru,” ungkap mereka.

Hanya karena EVOS memiliki divisi entertainment memang bukan berarti mereka tak lagi mendorong tim esports mereka untuk meraih kemenangan. Tahun ini, mereka telah memenangkan sejumlah turnamen besar termasuk Mobile Legends Professional League Season 4 (dengan hadiah sebesar US$150 ribu atau sekitar Rp2,1 miliar) dan Mobile Legends M1 World Championship 2019 (dengan hadiah US$80 ribu). Secara total, hadiah yang mereka menangkan sepanjang tahun 2019 telah mencapai sekitar Rp6 miliar.

Tren perusahaan venture capital mendukung organisasi esports tampaknya masih akan terus berlanjut. EVOS bukan satu-satunya organisasi esports asal Indonesia yang telah mendapatkan dukungan dari perusahaan venture capital. ONIC Esports, yang menjuarai Piala Presiden 2019 dan MPL Season 3, juga didukung oleh perusahaan venture capital, yaitu Agaeti Venture. Beberapa waktu lalu, venture partner, Agaeti Venture Carey Ticoalu mengatakan bahwa alasan mereka mendukung ONIC adalah karena tim esports tersebut dianggap memberikan dampak sosial yang besar, terutama pada generasi muda Indonesia.

Seberapa besar potensi esports di Asia Tenggara?

Saat ini, semakin banyak perusahaan yang tertarik untuk menjadi investor pelaku esports. Hal ini dianggap sebagai salah satu bukti bahwa industri esports telah semakin matang. Satu hal yang membuat perusahaan — termasuk yang tidak ada kaitannya dengan dunia game atau esports — tertarik masuk adalah karena jumlah penonton esports yang terus naik. Menurut survei yang dilakukan oleh Goldman Sachs dan Newzoo, jumlah penonton esports pada 2022 akan naik menjadi 276 juta dari 194 juta pada 2019. Tak hanya itu, hampir 80 persen dari penonton esports memiliki umur di bawah 35 tahun, generasi milenial dan gen Z, yang memang dikenal sulit untuk ditargetkan pengiklan karena mereka sudah jarang menonton televisi dan menggunakan ad blocker saat menjelajah internet. Karena itulah, esports jadi salah satu jalan bagi perusahaan untuk mendekatkan diri dengan generasi milenial tersebut.

Sementara itu, menurut Niko Partners, industri game di kawasan Asia Tenggara dan Taiwan (Greater Southeast Asia) akan memiliki nilai US$8,3 miliar pada 2023, naik dari US$5 miliar pada tahun ini. Salah satu pendorongnya adalah bertambahnya jumlah gamer PC dan gamer mobile. Esports juga dianggap menjadi alasan lain industri game di kawasan GSEA akan berkembang pesat.

Pertumbuhan penonton esports. | Sumber: Goldman Sachs
Pertumbuhan penonton esports. | Sumber: Goldman Sachs

“Audiens esports untuk kawasan Asia Tenggara diperkirakan akan mencapai 31,9 juta orang pada tahun ini. Dan esports juga akan masuk ke dalam cabang olahraga SEA Games pada akhir bulan November. Dua hal ini membuktikan bahwa esports telah menjadi semakin mainstream,” jawab Insignia ketika ditanya soal potensi pasar esports di Asia Tenggara. “Namun, masih banyak kesempatan untuk gamer yang belum direalisasikan, terutama dari segi karir jangka panjang. EVOS telah memanfaatkan kesempatan ini. Dan mereka akan terus merealisasikan potensi yang ada berkat jutaan follower dan subscriber, prestasi mereka di turnamen regional, dan ekosistem infrastruktur yang mendukung pertumbuhan komunitas di platform mereka.”

Insignia mengatakan, ke depan, tim-tim esports asal Asia Tenggara akan masuk ke kancah global. “Memasuki kompetisi global berarti, talenta esports harus diasah untuk dapat bertanding tidak hanya di kawasan Asia Tenggara. Ini bisa dilakukan dengan memanfaatkan kesempatan yang ada di masing-masing negara,” kata Insignia. Mereka menambahkan, kemampuan EVOS untuk bekerja sama dengan platform, komunitas, dan perusahaan Indonesia membuka jalan bagi gamer Indonesia untuk bertanding di tingkat regional. “Tiongkok dan Korea Selatan memanfaatkan jaringan internet cepat dan jumlah gamer yang banyak. Sementara Asia Tenggara memiliki talenta yang bervariasi. Ini akan membuka kesempatan bagi industri esports untuk tumbuh di kawasan ini.”

EVOS adalah salah satu organisasi esports Indonesia yang tak hanya beroperasi di Indonesia. Dengan total pemain sebanyak 62 orang, EVOS terbagi ke dalam 13 tim yang berlaga di 6 game. EVOS memiliki tim di beberapa negara tetangga seperti Thailand, Malaysia, Singapura, dan Filipina. EVOS bukan satu-satunya organisasi esports yang telah merekrut pemain di negara tetangga. RRQ juga memiliki tim di luar Indonesia. Faktanya, RRQ Athena dari Thailand merupakan salah satu tim RRQ yang memberikan kontribusi besar pada total hadiah Sang Raja pada tahun 2019.

Sumber: Dokumentasi Hybrid
Co-founder EVOS dan CEO RRQ dalam panggung SMW | Sumber: Dokumentasi Hybrid

Dalam acara Social Media Week yang digelar pada minggu lalu, Andrian Pauline (AP), yang hadir sebagai Ketua Federasi Esports Indonesia (FEI), tapi juga merupakan CEO RRQ, mengatakan bahwa dia percaya, pada akhirnya esports akan menembus batas negara. “Esports sendiri kan medium yang universal. Semua orang bisa berpartisipasi, berkembang bareng,” katanya. Ke depan, dia merasa bahwa tim esports akan menyerupai tim sepak bolah Eropa. Anggota tim esports mungkin tak semua berasal dari Indonesia, tapi di bawah bendera tim asal Tanah Air, maka nama Indonesia yang akan dikenal. Dia memberikan contoh RRQ Athena, yang berisi pemain Thailand. “Itu mereknya adalah merek lokal. Ini menunjukkan bahwa tak hanya talenta Indonesia, tapi secara merek, kita diterima kok (di luar Indonesia),” ujarnya.

Pada akhirnya…

Semakin banyak organisasi esports yang mendapatkan dukungan dari perusahaan venture capital. Di Indonesia, ada EVOS Esports dan ONIC Esports. Secara global, sejumlah organisasi esports juga mendapatkan investasi dari berbagai pihak. Misalnya, pada November 2019, Gen.G mengumumkan bahwa mereka mendapatkan investasi dari akselerator asal New York. Sementara investor 100 Thieves menyiapkan US$100 juta sebagai dana investasi khusus untuk industri esports. Astralis bahkan tengah menyiapkan untuk melakukan penawaran saham perdana (IPO). Semakin banyak investor yang masuk ke ranah esports adalah kabar baik karena ini berarti ranah competitive gaming semakin matang.

Pada saat yang sama, masuknya perusahaan venture capital sebagai investor berarti pelaku industri esports akan dituntut untuk dapat bertanggung jawab atas modal yang mereka terima. Jadi, mereka harus bisa menghadapi berbagai masalah yang ada di dunia esports, seperti regenerasi dan ketiadaan regulasi, setidaknya di Indonesia. Masalah lain yang harus dihadapi di industri esports adalah kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM) yang kurang mumpuni jika dibandingkan dengan industri lain yang lebih tua. Tak aneh, karena biasanya, pelaku esports mulai membuat tim profesional karena mereka memang senang bermain game. Passion. Walau terdengar romantis, tapi passion saja tak lagi cukup. Para pelaku esports tak lagi bisa sekadar mengejar kesenangan mereka. Sekarang, mereka dituntut untuk menjadi businessman dan mulai memperhitungkan apakah bisnis esports memang akan mendapatkan untung.

After all, money makes the world go round…

Sumber header: Twitter

Kata Sang Analis Soal Kemenangan EVOS Legends di M1 World Championship

Gelaran MLBB M1 World Championship sudah cukup lama berlalu. Namun demikian, perjalanan EVOS Esports sepanjang musim 2019 ini tetap memunculkan decak kagum tersendiri. Bagaimana tidak, tiga musim cuma bisa berharap menjadi juara, mereka akhirnya mendapatkan kemenangan yang gemilang di MPL ID Season 4.

Kemenangan ini jadi tambah lengkap setelah mereka juga memenangkan gelaran M1 World Championship 2019. Proses kemenangan EVOS pada gelaran M1 juga jadi menarik untuk dibahas. Bagaimana tidak, EVOS Esports yang sudah ketinggalan 1-3 bisa bangkit kembali dan mengalahkan RRQ 3 kali berturut-turut dari seri best-of-7.

M1 Front Venue
Sumber: Dokumentasi Hybrid – Yabes Elia

Membahas cerita manis kemenangan EVOS Esports dalam gelaran M1, Ade Setiawan Pamungkas selaku Data Analyst tim Mobile Legends EVOS Esports pun angkat bicara. Membahas persiapan Ade mengatakan bahwa EVOS Legends memang sudah mempersiapkan beberapa strategi untuk brebagai macam musuh. “Apalagi lawan yang kita hadapi pada gelaran M1 adalah negara yang belum kita ketahui strategi serta gameplay yang dimainkan. Dokumentasi pertandingan mereka juga sangat minim, membuat kami cukup kesulitan untuk mengulas permainan musuh-musuh.”

Memang, gelaran M1 berhasil membuka potensi dari negara lain dalam kancah kompetitif MLBB Internasional. Selama ini, kita mungkin hanya tahu Filipina sebagai negara paling berbahaya untuk dihadapi MLBB Indonesia, terutama dalam gelaran Mobile Legends SEA Championship 2019. M1 menunjukkan potensi dari wakil Jepang, 10Seconds Gaming Plus, yang sukses memberikan perlawanan berarti kepada tim-tim besar.

“Mungkin bukan sulit, tapi lebih karena keunikan gameplay tim 10s Gaming Plus yang merupakan tim yang baru terlihat. Tapi tetap saja, mereka memang cukup mengejutkan, karena mampu mengalahkan beberapa tim favorit di M1.” Ade menjelaskan soal 10s Gaming Plus.

Pembahasan lalu berlanjut kepada comeback mengagumkan dari EVOS Legends, berhasil kalahkan RRQ 4-3 setelah sebelumnya terdesak dengan skor 1-3. Apa faktor yang membuat kemenangan tersebut terjadi? “Kunci comeback mungkin bisa dibilang dari pengambilan hero Harith. Selain dari itu peran lain yang memegang adalah soal semangat, dan kepercayaan mereka dengan pelatih, tim, serta kepercayaan mereka bahwa komunikasi yang baik bisa membalikkan keadaan.”

Sumber: Dokumentasi Hybrid - Akbar Priono
Rekt (ketiga dari kiri) kapten tim EVOS Legends. Sumber: Dokumentasi Hybrid – Akbar Priono

Harith muncul di awal comeback EVOS, tepatnya pada game kelima. Wann berhasil memainkan Harith dengan optimal, menyumbang damage dealt terbesar, dan membuat fokus RRQ teralih menjadi melakukan ban kepada Harith. Keputusan pengambilan Harith juga berhasil membuat RRQ jadi terpaku pada hero yang digunakan oleh Wann dan Rekt, dibanding fokus pada permainan mereka sendiri.

Menyinggung soal Rekt, kapten EVOS Legends, Ade memberikan pujian terhadap andil penting sosok dengan nama asli Gustian ini dalam mengatur emosi dan tempo permainan seluruh tim EVOS.

“Rekt punya peran cukup banyak di dalam tim. Yang perlu disorot adalah Rektiitu sosok yang sangat profesional dan merupakan penengah yang baik jika tim mengalami kesalahan dalam strategi maupun gameplay.” pungkas Ade membahas peran Rekt.

Dominasi Indonesia membuat Moonton menempatkan Indonesia sebagai tuan rumah gelaran M2 tahun depan. Dengan segala kemenangan gemilang yang didapatkan EVOS tahun ini, Rekt dan kawan-kawan mengemban beban berat untuk mempertahankan prestasi tersebut. Dapatkan mereka melakukannya? Atau justru akan ada nama baru yang bisa menggeser dominasi EVOS di MPL ID dan menggeser dominasi Asia Tenggara di M2 2020 mendatang?

Berapa Total Hadiah Kemenangan EVOS Esports Tahun Ini?

Minggu lalu, tim Hybrid mengumpulkan data tentang total hadiah turnamen yang telah dimenangkan oleh RRQ sepanjang tahun 2019. Kali ini, kami akan membahas tim esports besar lainnya, EVOS Esports. Jika dibandingkan dengan tim-tim esports besar lain di Indonesia, strategi bisnis EVOS Esports cukup unik. Mereka tak hanya ingin dikenal sebagai tim esports, tapi juga merek lifestyle. Inilah yang mendorong mereka untuk bekerja sama dengan merek streetwear, Thanksinsomnia. Tak hanya itu, mereka bahkan membuka toko di One Belpark, Fatmawati, Jakarta Selatan, yang menjual merchandise mereka, seperti jaket dan jersey.

Dalam Hybrid Talk, Merch Manager EVOS GOODS, Yansen Wijaya menjelaskan bahwa pada awalnya, alasan EVOS menyediakan merchandise adalah karena memang ada permintaan dari fans. Karena permintaan ini ada terus-menerus, akhirnya mereka memutuskan untuk membuka toko sendiri. Berkaca dari klub olahraga tradisional, seperti sepak bola atau basket, penjualan merchandise memang bisa jadi salah satu sumber pemasukan klub. Tak heran jika EVOS kini juga mulai tertarik untuk menyediakan merchandise sendiri, terutama jika memang ada permintaan dari fans.

Selain itu, EVOS juga memiliki manajemen untuk talenta, seperti streamer. EVOS diklaim membawahi sekitar 50 influencer secara eksklusif dan telah bekerja sama dengan 250 talent. Ketika mendapatkan kucuran dana sebesar sekitar Rp61 miliar, EVOS juga menggunakan dana ini untuk manajamen influencer mereka. Hanya karena bisnis mereka beragam bukan berarti EVOS tak berprestasi. Justru sebaliknya, organisasi esports dengan ikon macan putih ini cukup sering unjuk gigi. Sepanjang 2019 (setidaknya sampai artikel ini ditulis), mereka telah mengumpulkan hadiah dari berbagai turnamen sebesar sekitar Rp6 miliar.

Sumber: Dokumentasi Hybrid - Akbar Priono
Sumber: Dokumentasi Hybrid – Akbar Priono

Sebagian besar data yang kami kumpulkan adalah tim EVOS Indonesia, walau mereka juga beroperasi di empat negara lain di Asia Tenggara. EVOS Singapura memberikan berkontribusi yang cukup besar pada total hadiah yang dimenangkan EVOS tahun ini berkat kemenangan mereka di Mobile Legends Professional League untuk kawasan Singapura dan Malaysia. Menjadi juara satu, mereka berhasil membawa pulang US$25 ribu atau sekitar Rp350 juta.

Sementara berdasarkan data di Liquipedia, cabang EVOS di Thailand, EVOS Burnout, telah membawa pulang hadiah turnamen sebesar sekitar Rp72 juta. Satu hal yang menarik dari EVOS, tim ladies mereka juga cukup sering juara. Tim EVOS Galaxy Sades bahkan pernah membawa nama Indonesia ke kancah internasional dengan menjadi runner up dari Point Blank International Women Championship yang diadakan di Rusia pada Mei 2019. Sayangnya, total hadiah turnamen esports khusus perempuan biasanya tak sebesar turnamen esports kebanyakan. Sebagai runner-up PBIWC, EVOS Galaxy Sades hanya membawa pulang US$2,5 ribu atau sekitar Rp35 juta. Sebagai perbandingan, tim RRQ yang menjadi juara satu Point Blank International Championship membawa pulang US$30 ribu, atau sekitar Rp423 juta.

Inilah sejumlah turnamen besar yang dimenangkan oleh EVOS Esports.

1. Mobile Legends Professional League Season 4 — Rp2,1 miliar (US$150 ribu)
2. M1 World Championship 2019 — Rp1,1 miliar (US$80 ribu)
3. Arena of Valor Star League (ASL) Season 2 — Rp500 juta
4. PUBG Mobile Indonesia National Championship (PINC) 2019 – Rp400 juta
5. ESL Clash of Nations — Rp350 juta (US$25 ribu)
6. Mobile Legends Professional League SG/MY — Rp350 juta (US$25 ribu)
7. AOV Star League Season 3 — Rp300 juta

Menurut Head of Esports, EVOS, Aldean Tegar Gemilang total hadiah yang dimenangkan oleh para pemain EVOS memiliki kontribusi yang cukup signfiikan pada total pendapatan EVOS sebagai organisasi esports. “Tapi, sumber utama pendapatan tim masih dari sponsor sih,” ujarnya saat dihubungi melalui pesan singkat. Dia mengatakan, kebanyakan tim esports di Indonesia memang masih menggantungkan diri pada sponsor. Begitu juga dengan RRQ. Memang, menurut data dari Goldman Sachs dan Newzoo, tahun ini, sponsorship masih menjadi sumber utama pendapatan dari industri esports. Di industri esports global, sponsorship menyumbangkan 38 persen dari total pendapatan. Iklan menjadi penyumbang terbesar kedua dengan total kontribusi sebesar 22 persen

Pembagian sumber pendapatan esports 2019 | Sumber: Goldman Sachs
Pembagian sumber pendapatan esports 2019 | Sumber: Goldman Sachs

Sementara ketika ditanya soal persentase pembagian hadiah antara tim dan pemain, Dean enggan untuk menjawab. “Sudah rahasia kontrak dengan masing-masing player kita,” ujarnya. Satu hal yang pasti, dia mengatakan, mayoritas hadiah yang dimenangkan tim diberikan pada pemain. Ini sama seperti dengan ketetapan yang ditentukan oleh RRQ.