Inovasi Selama Pandemi, Frame A Trip Buat Layanan “Virtual Photoshoot”

Frame A Trip, online marketplace jasa fotografer, merilis layanan virtual photoshoot sebagai inovasi teranyar. Tren pemotretan yang tengah menjadi populer selama pandemi ini dilakukan tanpa pertemuan fisik antara fotografer dan model.

“Virtual Photoshoot by Frame A Trip ini merupakan produk pertama kalinya di Indonesia yang empowering para fotografer untuk bisa berkarya dan scale-up tanpa jarak dan waktu travel, sehingga ke depannya pun kami juga akan menambah dan mengundang para fotografer professional untuk bergabung,” ucap CEO Frame A Trip Patricia Rose kepada DailySocial, Jumat (15/5).

Dia menerangkan berbeda dengan sesi foto biasanya, sesi foto virtual ini sangat mengandalkan komunikasi fotografer dan model. Melalui beberapa aplikasi video conference, kedua belah pihak akan mengomunikasikan pencahayaan, latar, busana, riasan wajah, sekaligus tata rambut.

Layanan tersebut memberikan kesempatan unik bagi semua orang untuk merasakan pengalaman sesi foto bersama fotografer dari kalangan selebriti. Di antaranya, Gading Marten, Dion Wiyoko, Tommy Siahaan, Michael Cools, dan Ana Octarina.

“Namun tidak semua fotografer di sini adalah selebriti. Kami juga mengundang fotografer professional untuk bergabung bersama kami, namun kami juga tetap kurasi untuk menjaga kualitas hasil fotonya.”

Model bisnis dari layanan ini tergolong cukup simpel. Patricia menerangkan, pengguna bisa melakukan pemesanan melalui situs resmi atau melalui tim Frame A Trip.

Setelah itu, pihaknya akan memberikan sejumlah panduan singkat sebelum sesi foto dimulai dan beragam tips untuk sesi virtualnya. Sesi foto dilakukan selama satu jam penuh dengan biaya yang dipatok mulai dari 1 jutaan Rupiah.

Personal assistant kami akan menghubungi klien untuk ensure mendapatkan brief yang jelas sesuai dengan request client, sehingga bisa kami sampaikan ke fotografer dan sesi bisa berjalan lancar.”

Patricia juga memastikan bahwa layanan ini akan menjadi produk permanen, yang tidak hanya hadir selama pandemi saja, karena punya nilai jual unik bukan dari hasil fotonya saja. Dari sisi gaya hasil editing dan arahan gaya dari tiap fotografer punya ciri khas masing-masing. “Kami percaya bahwa produk baru Virtual Photoshoot ini bisa menjadi produk permanen kami.”

Cari pendanaan

Patricia menuturkan perusahaan berencana untuk melakukan penggalangan dana. Bukan hanya sekadar cari dana segar saja, perusahaan ingin mencari partner strategis yang bisa mengakselerasi pertumbuhan perusahaan.

Sejak berdiri pada tahun 2017, Frame A Trip belum melakukan penggalangan dana eksternal, alias masih bootstrap dari kantong sendiri para pendirinya. Startup ini dirintis oleh Dian Sastrowardoyo, Michael Tampi, Arief Subardi, Hermawan Sutanto, dan Damon Hakim.

Diklaim perusahaan telah menjaring lebih dari 400 ribu fotografer di seluruh dunia.

Dia juga mengungkapkan dampak pandemi terhadap bisnisnya, terjadi penurunan yang sangat signifikan, selaras dengan industri perjalanan. “Namun, kami juga bersyukur karena sampai saat ini belum mengurangi karyawan,” pungkasnya.

Nasib yang berbeda, dialami pemain sejenisnya yakni SweetEscape. Perusahaan tersebut melakukan pengurangan karyawannya secara besar-besaran karena ada tim in-house, sehingga tidak hanya bersifat marketplace fotografer. Mereka tengah berusaha untuk menghidupkan bisnis dengan merilis layanan fotografi untuk usaha kuliner “Fotto”.

Tujuh Startup Sektor Pariwisata Ikuti Program Akselerasi Digitaraya dan tiket.com

Digitaraya dan tiket.com menggelar demo day untuk startup yang beririsan dengan industri pariwisata. Tujuh startup dari berbagai negara di Asia tercatat mengikuti akselerasi tersebut.

Tujuh startup yang mengikuti demo day tersebut adalah Bobobox (Indonesia), Frame a Trip (Indonesia), Hungry Hub (Thailand), Local Alike (Thailand), Zipevent (Thailand), Luxstay (Vietnam), dan ScoutMyTrip (India). Jumlah ini merupakan hasil kurasi puluhan startup yang mendaftar.

Demo day ini merupakan bagian rangkaian dari program akselerasi yang diusung Digitaraya dan tiket.com. Sejumlah pihak turut hadir dalam ajang itu, mulai dari regulator hingga venture capital.

“Kami berkomitmen untuk terus menghubungkan startup Indonesia dengan pemain global. Bersama tiket.com, kami beraharap program akselerasi ini dapat ikut berkontribusi mendorong industri pariwisata Indonesia lebih dikenal dunia,” ujar Managing Director Digitaraya Nicole Yap.

Turut hadir dalam acara itu adalah Staf Ahli Kementerian Pariwisata Priyantono Rudito. Priyantono menyebut, program akselerasi tersebut diperlukan untuk merangsang pertumbuhan sektor pariwisata yang didorong penggunaan teknologi. Ia mengatakan hal itu selaras dengan rencana strategis Kemenpar yang menitikberatkan paradigma teknologi dalam menggenjot industri pariwisata lokal.

The Travel and Tourism Competitiveness Report 2017 menyebut digitalisasi dalam sektor penerbangan, pariwisata, dan perjalanan, dapat menciptakan nilai keekonomian mencapai $305 miliar dan menghasilkan manfaat senilai $700 miliar untuk konsumen dan masyarakat lebih luas.

Dalam laporan itu juga disebut bahwa daya saing pariwisata Indonesia menempati peringkat 42. Posisi ini di bawah negara tetangga di kawasan, seperti Singapura (13), Malaysia (26), dan Thailand (34).

Banyaknya destinasi wisata menarik, keragaman budaya, dan keterjangkauan biaya wisata, menjadi unggulan Indonesia. Namun laporan tersebut menggarisbawahi Indonesia masih lemah dalam pelestarian lingkungan, infrastruktur pendukung pariwisata, dan ketersediaan kamar hotel. Pemerintah sendiri menargetkan 20 juta pengunjung pada tahun ini.

Meski berasal dari beragam negara, startup yang terpilih dalam program akselerasi ini mengusung ide yang berpotensi menjawab kebutuhan industri pariwisata Indonesia.

“Mereka yang tidak bisa mengintegrasikan teknologi ke dalam industri pariwisata pasti akan tertinggal,” ucap Priyantono.

Tantangan dan Potensi Bisnis Marketplace Fotografer Profesional

Minggu lalu, SweetEscape, platform marketplace yang menghubungkan konsumen dengan fotografer profesional, mengumumkan perolehan pendanaan seri A hampir 85 miliar Rupiah. Hian Goh selaku perwakilan dari Openspace Ventures, investor yang memimpin pendanaan, mengatakan keyakinannya mengenai pangsa pasar yang terus meningkat. Saat ini dianggap terjadi pergeseran kebiasaan yang signifikan di kalangan konsumen terkait kebutuhan mengabadikan momen spesial, baik saat berlibur, mengadakan perayaan, atau mengabadikan capaian.

Menurut data yang dirilis We Are Social per Januari 2018 lalu, ada lebih dari 150 juta pengguna aktif media sosial–setara dengan 54% dari total populasi. YouTube (88%), Facebook (81%), dan Instagram (80%) menjadi kanal yang paling laris digunakan. Kaitannya dengan tren yang disebutkan Goh, platform media sosial yang disebutkan erat kaitannya dengan kebutuhan konten visual, berupa foto atau video. Media sosial juga telah menjadi “galeri digital” yang digunakan untuk mengarsipkan banyak momen yang dianggap spesial oleh masyarakat.

Tak hanya SweetEscape, startup lokal lain yang turut hadir memfasilitasi kebutuhan fotografi berkualitas adalah Frame a Trip. Kedua startup sama-sama efektif beroperasi sejak tahun 2017, dengan pendekatan bisnis yang unik. Alih-alih melakukan fundraising untuk melakukan penetrasi pasar seluas-luasnya, mereka memilih menggunakan “gaya bisnis konvensional”.

Kepada DailySocial, Co-founder & CEO Frame a Trip Endra Marsudi bercerita, “Frame A Trip sejak berdiri hingga saat ini masih memilih opsi bootstrapping dan belum menggunakan kapital dari luar. Oleh karenanya, pendekatan operasional dituntut untuk jadi bisnis konvensional yang mengutamakan profit (EBITDA) positif setiap bulannya agar runway-nya bisa panjang dalam bersaing di pasar. Strategi yang diterapkan juga dituntut untuk lebih efektif dan efisien dalam menghasilkan penjualan dibanding menyebarkan awareness semata.”

Endra Marsudi
Co-Founder & CEO Frame a Trip Endra Marsudi / Frame a Trip

Kendati demikian, startup yang memiliki brand dengan warna khas biru muda tersebut mengaku telah menjangkau lebih dari 300 kota dan mengakomodasi lebih dari 700 fotografer profesional terkurasi. Endra menyebutkan, rata-rata kenaikan penjualan per bulan mencapai 30% dan sudah bisa EBITDA positif sejak Q4 2018.

“SweetEscape adalah gabungan antara marketplace dan platform. Di marketplace murni, konsumen dan pembeli berkomunikasi secara langsung. Kami lebih cocok disebut jaringan pasar. Kami memperkerjakan fotografer sembari membangun komunitas untuk berkolaborasi serta mengembangkan bisnis mereka melalui teknologi,” ujar Co-Founder & COO SweetEscape Emile Etienne mendefinisikan bisnisnya.

Dua startup, satu tipe layanan dan target pasar, dengan pendekatan bisnis berbeda.

Dituntut go global sejak lahir

Salah satu permasalahan orang ketika bepergian ke destinasi wisata atau luar negeri adalah menemukan fotografer yang tepat dan terjangkau. Opsinya mereka bisa membawa dari kota asal yang sudah diketahui kualitasnya, tapi harus menanggung akomodasi, atau mencari secara mandiri di sekitar lokasi agar lebih hemat. Yang terakhir ini prosesnya tidak mudah, harus bertanya dan bernegosiasi. Frame A Trip dan SweetEscape melihat kondisi itu sebagai sebuah peluang.

Layanan mereka memungkinkan orang menemukan fotografer profesional di lokasi yang diinginkan dengan jaminan kualitas hasil jepretan. Cara kerjanya, platform merekrut para juru foto untuk bekerja secara freelance berdasarkan permintaan. Mereka melakukan seleksi berdasarkan track record studio foto dan/atau portofolio hasil karyanya. Pun para fotografer bisa mendaftarkan secara mandiri untuk selanjutnya diseleksi tim internal. Dari sisi konsumen, mereka hanya perlu memasukkan informasi sesuai kebutuhan, seperti destinasi dan layanan fotografi yang dibutuhkan.

“Kami tidak menggunakan mekanisme bagi hasil, melainkan membeli jasa kerja fotografer profesional sesuai rate yang mereka tawarkan dengan satuan per jam. Lalu kami akan mengambil keuntungan dari selisih harga jual (publish rate) ke konsumen dan harga beli jasa ke fotografer,” ujar Endra menjelaskan mekanisme kerja sama dengan mitranya.

Mekanisme serupa juga dimiliki SweetEscape. Fotografer akan dibayar per sesi menyesuaikan harga tawar yang diberikan, biasanya bergantung kota dan jenis layanan mengenai nominal harganya. Mereka juga menyediakan dasbor web dan aplikasi khusus untuk fotografer, untuk berkomunikasi dengan tim operasional, calon konsumen, juga mengatur ketersediaan.

Tantangan layanan tersebut adalah harus memiliki cakupan seluas-luasnya ketika debut di pasar. Sebagai contoh Frame A Trip, di awal kemunculannya mereka langsung tersedia di 45 tujuan wisata dunia. Perekrutan mitra untuk ketersediaan memang jadi hal yang benar-benar dipersiapkan sebelum dirilis ke publik. Namun demikian hadir di pasar global bukan tanpa masalah.

Endra mengatakan, isu paling krusial adalah proses kurasi fotografer berkualitas dan profesional. Frame A Trip menghadirkan 5 juri untuk menyetujui calon mitra yang ingin bergabung di platformnya, 3 berasal dari internal dan 2 dari eksternal.

Sementara Emile punya cerita tersendiri terkait ekspansi layanan, “Dalam banyak hal, kami menghadapi tantangan yang sama seperti Airbnb di masa awal. Karena kami meluncurkan vertikal fotografi liburan, kami harus segera go-global. Memiliki ribuan fotografer lokal di ratusan kota menjadi bagian terbesar dari unique selling proposition kami.”

“Seandainya kami membangun model seperti Uber, kami akan hadir ke kota demi kota tanpa terlebih dulu memiliki fotografer. Tapi karena kami go-global terlebih dulu, tantangannya adalah meningkatkan jaringan fotografer profesional dengan cepat. Tidak hanya di Indonesia, tapi di ratusan kota di seluruh dunia. Sehingga turut membawa serta berbagai tantangan yang harus dipikirkan seperti bahasa, budaya, harga, zona waktu, dukungan pelanggan dan lainnya,” lanjut Emile.

Emile Etienne
(kiri) Co-Founder & COO SweetEscape Emile Etienne / SweetEscape

Sejauh ini tidak ada permasalahan terkait regulasi, misalnya perpajakan atau sejenisnya.

Pangsa marketplace juru foto profesional

Sejak 2,5 tahun beroperasi, Frame A Trip menangkap demografi konsumen yang kerap menggunakan layanannya. Segmentasi pasar terbesarnya adalah generasi milenial, didominasi gender perempuan dan berstatus “baru berkeluarga dengan anak satu (masih kecil)”.

Demografi pengguna layanan Frame a Trip
Demografi pengguna layanan Frame a Trip

“Milenial” jadi kata kunci penting dalam kaitannya dengan potensi pasar. Endra memaparkan berdasarkan data BPS, kurang lebih 33% dari populasi Indonesia ada di kalangan tersebut. Mereka merupakan early adopter teknologi, sebagian native adopter sehingga relatif cepat merespons konsep baru seperti layanan sewa fotografer profesional. Di satu sisi, terdapat kultur social media savvy dan social climber yang peduli akan jumlah “likes” sebagai “social currency”.

“Pola tersebut turut mengubah travel journey menjadi momen mikro, yakni dreaming > planning > booking > experiencing > sharing. Dari sini dapat terlihat generasi milenial saat jalan-jalan tidak hanya mementingkan proses experiencing jalan-jalannya saja tapi juga sudah lebih mewajibkan sharing ke sosial media serta mencari inspirasi jalan-jalan (dreaming) dari sosial media,” ujar Endra.

Pasalnya zaman sekarang kamera ponsel sudah semakin canggih, pun kamera profesional harganya juga banyak yang terjangkau. Emile memiliki jawaban yang cukup logis mengenai ancaman disrupsi tersebut.

“Banyak dari kita yang memiliki dapur indah dan masih memesan makanan. Banyak klien kami yang memiliki kamera profesional, tapi lebih suka memesan jasa di SweetEscape. Dengan menggunakan seorang fotografer, konsumen dapat menikmati momen tersebut, apakah liburan, pesta ulang tahun, pernikahan , kelulusan dan lain-lain. Kami mengurus proses pasca produksi, termasuk menyortir hasil jepretan terbaik dan menyuntingnya. Kamera smartphone akan terus menjadi lebih baik dan memainkan peran penting dalam kehidupan kita, tetapi itu tidak akan menggantikan kebutuhan fotografer.”

Mengabadikan momen penting secara profesional

Mengutip apa yang diketik Emile kepada kami mengenai cita-cita besar yang ingin diraih bersama SweetEscape, “When I think of getting an ojek in Jakarta, I think Gojek. Today, when I think of getting a taxi in NYC I think UBER. In 5 years when people think photography they think SweetEscape.”

Kebutuhan fotografi memang tidak terbatas saat momen liburan saja. SweetEscape sudah memulai dengan memberikan beragam jasa fotografi di luar liburan. Sementara Frame a Trip juga segera meluncurkan variasi layanan serupa.

“Frame A Trip akan menawarkan jasa mengabadikan life moments. Diharapkan dengan produk baru tersebut konsumen akan menggunakan jasa Frame A Trip tidak hanya dengan alasan liburan, tapi juga dengan tujuan ingin mengabadikan momen terbaik keseharian (arisan, acara keluarga, hangout, dst) dan/atau siklus hidup (baby born, birthday, graduation, wedding, dst). Akan di-launch dalam waktu dekat,” terang Endra.

Terkait persaingan bisnis, baik Emile maupun Endra meyakini, inovasi akan memainkan peran penting untuk menumbuhkan kepercayaan konsumen.

“Kami melihat pesaing dengan model bisnis yang sama sebagai faktor penyeimbang. Dengan adanya pesaing maka kita akan terus berinovasi dan bekerja cerdas agar bisa lebih unggul di pasar. Terkait dengan hal ini, maka kami memang lebih fokus menawarkan value yang lebih banyak untuk konsumen dibanding para pesaing yang ada, yakni: better rate, more photos, easy booking worldwide, freedom to choose the photographer, dan giving more in editing,” ungkap Endra.

“Kami fokus pada kebutuhan klien, fotografer dan peningkatan layanan. Selama 6 bulan terakhir kami telah belajar banyak tentang apa yang dituntut pasar dan dalam beberapa bulan mendatang kami akan meluncurkan solusi untuk kebutuhan acara-acara dan bisnis. Nilai unik kami adalah pemesanan yang mudah dalam waktu kurang dari 2 menit, mengobrol dengan fotografer dalam 24 jam untuk merencanakan pemotretan, terjangkau, tersedia di banyak tempat, dan (proses penyampaian) foto yang cepat dalam 48 jam,” pungkas Emile.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Frame A Trip Mudahkan Wisatawan Temukan Fotografer Lokal di Tempat Tujuan

Budaya jalan-jalan ke tempat wisata atau traveling sudah mulai tumbuh di Indonesia, khususnya kalangan remaja. Hal ini membawa peluang usaha tersendiri bagi beberapa sektor. Salah satu yang mencoba peruntungannya adalah Frame A Trip (FRIP). Sebuah bisnis digital yang mempermudah pencarian fotografer profesional untuk traveling.

Bisnis ini merupakan bisnis yang dirintis oleh Dian Sastrowardyo, Michael Tampi, Arief Subardi, Hermawan Sutanto, dan Damon Hakim. Mereka berusaha menangkap kegemaran wisatawan mengabadikan kegiatan liburan mereka dan membagikannya ke situs jejaring sosial.

Konsep FRIP didesain untuk bisa menghubungkan fotografer profesional lokal di tempat tujuan wisata baik di dalam atau luar Indonesia dengan wisatawan. Para fotografer profesional tadi akan mengabadikan momen para wisatawan selama dua jam dengan harga yang sudah ditentukan di awal. Konsep ini akan terasa lebih hemat dibanding membawa fotografer dari negara asal karena akan menambah biaya akomodasi.

Saat ini FRIP yang mulai beroperasi sejak Desember tahun 2016 silam sudah memungkinkan wisatawan untuk memilih fotografer di 45 kota tujuan wisata di dunia. Mereka juga berkesempatan untuk memilih fotografer yang sesuai dengan selera mereka sendiri sebagai bentuk layanan yang dipersonalisasi oleh FRIP.

Nantinya wisatawan yang menggunakan layanan FRIP akan mendapatkan foto dengan kualitas tinggi yang bisa langsung diunduh, dicetak atau dibagikan ke media sosial. Jaminan foto berkualitas ini didapat karena FRIP mengedepankan rekam jejak fotografer dan ketertarikan mereka terhadap dunia traveling.

Selain memberikan kemudahan bagi para wisatawan FRIP ini juga akan berperan sebagai platform bagi para fotografer lokal untuk menawarkan jasa mereka sekaligus memberikan dampak positif bagi tempat-tempat wisata yang dikunjungi. Hadirnya FRIP ini diharapkan mampu mengembangkan ekosistem digital di Indonesia.

“Untuk itu kami pun ingin mengundang para fotografer untuk bergabung dalam platform FrameATrip untuk mengangkat industri fotografi lokal dan wisata secara bersamaan,” terang Dian Sastrowardoyo

Sementara itu dijelaskan co-founder Frame A Trip Michael Tampi di tahun pertamanya ini FRIP akan fokus pada edukasi industri Holiday Photography dan akan lebih banyak lagi bekerja sama dengan para fotografer.