Menghitung Valuasi Startup dan Kaitannya dengan Perusahaan Tradisional

Topik ini merupakan hal yang sering ditanyakan oleh berbagai pihak. Banyak yang menyebutkan bahwa valuasi perusahaan startup itu “ajaib”. Bagaimana mungkin startup yang merugi besar memiliki valuasi yang gila-gilaan? Pada tulisan ini saya mencoba untuk menjabarkan hal-hal yang biasanya digunakan dalam menghitung valuasi startup, serta bagaimana hal tersebut memiliki dasar yang sama dengan menghitung valuasi perusahaan pada umumnya.

Apa itu startup?

Banyak pihak mendefinisikan startup, namun satu definisi yang saya cukup sukai adalah bisnis yang mencoba memecahkan suatu problem dengan solusi yang belum terbukti keberhasilan/skalabilitasnya. Belum berhasil atau belum scalable di sini dapat bermakna belum digunakan oleh banyak pihak (early/seed stage) atau sudah mulai digunakan oleh banyak pihak namun belum sustainable secara bisnis (growth stage).

Baik early/seed maupun growth stage, pada umumnya startup tersebut belum memperoleh keuntungan. Beberapa di antaranya sudah memperoleh pendapatan namun belum sampai memperoleh keuntungan.

Lantas mengapa investor mau mendanai startup yang masih merugi? Jawabannya adalah prospek masa depan, yakni investor menganalisis bahwa startup tersebut akan berkembang dari sisi ukuran maupun pendapatan sehingga di kemudian hari startup tersebut akan menjadi perusahaan besar — dan menguntungkan.

Hal ini digambarkan dengan grafik yang disebut kurva J yang tampak seperti di bawah.

Kurva J
Kurva J

Kurva ini menggambarkan posisi keuangan/kas perusahaan relatif dari titik awal sebelum perusahaan tersebut berdiri. Di awal (titik X), startup berada di bawah titik nol karena startup mengeluarkan modal awal untuk membangun perusahaan. Selanjutnya (antara titik X dan titik Y), startup mulai berjalan namun belum menghasilkan penghasilan. Dengan demikian, keuangan perusahaan akan terus berkurang/turun.

Pada akhirnya, startup mencapai BEP di titik Y, sehingga keuangan perusahaan tidak turun lagi. Jika setelah itu startup mencapai keuntungan, maka keuangan perusahaan akan naik dari titik Y. Titik Y ini dapat dianggap sebagai total investasi sebenarnya yang dibutuhkan oleh startup tersebut.

Apabila ini terus berlanjut, maka keuangan perusahaan akan terus naik hingga di atas titik nol (titik Z), dan setelah itu, keuangan akan perusahaan tumbuh secara eksponensial.

Tentu saja, kurva di atas adalah gambaran secara ideal. Pada kenyataannya, kondisi startup berbeda-beda. Ada yang berhasil mencapai kondisi seperti di atas, ada juga yang gagal (tidak berhasil naik dari titik Y). Keberhasilan suatu startup terletak pada kemampuannya untuk memperoleh keuntungan (naik dari titik Y) namun tetap tumbuh pesat secara ukuran.

Matriks untuk menghitung valuasi startup

Karena kondisi merugi, tentu sulit mengukur valuasi perusahaan berdasarkan laba/rugi (disebut dengan istilah price earning ratio atau PER). Oleh karena itu, biasanya investor akan menilai dari top line startup, yakni Gross Merchandise Value (GMV) atau nilai total transaksi.

Sebagai contoh, pada startup e-commerce, GMV menandakan jumlah transaksi melalui sistem pembayaran startup tersebut. Sementara itu, pada startup transportasi online, GMV menandakan total nilai tumpangan (ride) melalui startup tersebut.

Berapa faktor pengali (multiple) yang digunakan untuk menghitung valuasi berdasarkan GMV? Hal ini akan sangat beragam berdasarkan beberapa faktor, di antaranya:

  • Industri (semakin besar potensi industri, semakin besar multiple)
  • Pertumbuhan (semakin cepat pertumbuhan startup tersebut, semakin besar multiple)

Kaitan dengan perusahaan tradisional

Nah, bagaimana kaitan antara valuasi startup berdasarkan GMV dengan valuasi perusahaan pada umumnya? Jawabannya terletak pada IRR/ROI yang diharapkan oleh investor. Meskipun saat ini startup belum memperoleh keuntungan, namun investor berharap di masa yang akan datang startup akan untung sehingga menghasilkan return bagi investor.

Sebagai contoh, mari kita lihat tabel di bawah ini.

Perbandingan GMV dan keuntungan dua perusahaan
Perbandingan GMV dan keuntungan dua perusahaan

Pada umumnya, pertumbuhan startup mengalami pola seperti pada tabel Company 1. Tentu saja, ini merupakan penyederhanaan, tetapi pada intinya, startup memiliki pertumbuhan yang pesat, dan seiring dengan pertumbuhan tersebut, startup memperkuat model bisnis sehingga pada akhirnya dapat memperoleh keuntungan.

Sementara itu, perusahaan tradisional mengalami pola seperti pada tabel Company 2. Dapat dilihat ciri perusahaan tradisional yang memperoleh keuntungan sejak awal namun memiliki pertumbuhan yang tidak secepat startup.

Selanjutnya, mari kita anggap kedua perusahaan tersebut berada pada industri dan pasar yang sama sehingga kita gunakan PER yang sama, sebagai contoh 10. Dengan demikian, pada tahun 2021 kedua perusahaan ini memiliki valuasi yang sama yaitu 20 juta * 10 = 200 juta dolar.

Nah, apabila kita gunakan tingkat suku bunga 10% dan perhitungan present value, maka valuasi company 1 pada tahun 2017 adalah 136.6 juta dolar (dihitung dari 200/(1+10%)⁴). Apabila kita bandingkan dengan GMV company 1, maka kurang lebih ini setara dengan 1.4x GMV.

Di sinilah kita dapat melihat bahwa menilai startup dari GMV memang memiliki dasar finansial, bukan sesuatu yang mengawang-awang atau ajaib, asalkan startup tersebut diproyeksikan untuk memperoleh keuntungan (besar) di kemudian hari.

Apabila valuasi company 1 pada tahun 2017 ternyata sebesar 1x GMV atau 100 juta dolar, maka dengan asumsi proyeksi ini tercapai, startup ini menghasilkan IRR sebesar rata-rata 19% (dihitung dari (200/100)^(1/4) -1) bagi investor.

Apakah startup yang mengalami pertumbuhan pesat berarti pada akhirnya akan selalu memperoleh keuntungan? Belum tentu! Salah satu contoh paling fenomenal pada saat ini adalah Uber, yang masih diperdebatkan oleh banyak pihak apakah akan mungkin memperoleh keuntungan. Sampai artikel ini ditulis, Uber masih merugi, tepatnya rugi 645 juta dolar. Apakah ini berarti Uber gagal? Belum tentu juga, karena mungkin saja ia akan memperoleh keuntungan dalam beberapa waktu ke depan.

Kuncinya, seperti beberapa kali saya kemukakan sebelumnya, adalah startup harus tumbuh dari sisi ukuran dan juga dari sisi pendapatan. Startup harus mampu memperlihatkan pertumbuhan pendapatan yang lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan top line startup tersebut. Sebagai contoh, Facebook merugi di awal berdirinya hingga tahun 2008 sebelum akhirnya memperoleh keuntungan sejak tahun 2009 hingga sekarang.

Pergeseran matriks top line ke pendapatan atau keuntungan

Fakta bahwa investor menjadikan GMV sebagai tolok ukur dalam menjadikan banyak startup berusaha untuk mengejar GMV dengan cara apa pun termasuk dengan cara yang berkesan kurang masuk akal. Termasuk di dalam hal ini misalnya mensubsidi transaksi (sehingga alih-alih memperoleh keuntungan dari tiap transaksi, startup justru memperoleh kerugian dari tiap transaksinya). Bahkan, ada startup yang berusaha untuk membuat transaksi palsu untuk meningkatkan GMV.

Hal-hal tersebut di atas saat ini cenderung dipandang kurang sustainable oleh investor sehingga selain melihat GMV, investor juga biasanya meminta data-data lain seperti:

  • Breakdown GMV (untuk melihat potensi seberapa besar kemungkinan transaksi palsu di atas)
  • Pendapatan dan keuntungan
  • Jumlah pelanggan baru dan berulang

Meskipun pada akhirnya biasanya GMV tetap dijadikan ukuran, namun hal-hal di atas akan dijadikan pertimbangan terhadap multiple. Dua startup dengan GMV yang mirip, namun startup yang satu memiliki GMV yang sehat besar kemungkinan memiliki multiple yang lebih tinggi dibandingkan dengan startup lain yang memiliki GMV yang sebagian didorong oleh transaksi palsu.

Pada akhirnya, valuasi bisnis adalah kesepakatan antara pembeli/investor dengan penjual/pemilik bisnis, yang berarti bahwa sepanjang terjadi kesepakatan, maka itulah valuasi bisnis yang bersangkutan.

Hal ini sama seperti menghitung harga tanah/rumah — apakah ada rumus untuk menghitungnya? Tidak ada. Harga tanah/rumah tersebut diestimasi berdasarkan harga pasaran tanah/rumah di lokasi sekitarnya, kondisi bangunan, dan semacamnya. Pada akhirnya apabila terjadi transaksi, maka itulah harga rumah/tanah tersebut. Hal ini juga berlaku pada startup.


Disclosure: Tulisan ini dibuat Co-Founder and CFO Bukalapak Fajrin Rasyid dan dipublikasi ulang atas seizin penulis. Artikel aslinya bisa dilihat di sini.

Fajrin dapat dihubungi melalui akun LinkedIn atau Twitter-nya.

Can Local Individual Retail Investors Invest in Indonesia’s Flourishing Tech Startups?

On August 17, 2017, Tokopedia.com, the largest eCommerce marketplace in Indonesia, announced its latest round of investment of USD 1.1 billion from Alibaba Group. month before that, Traveloka, another unicorn and top online travel booking startup, received a USD 350 million investment from Expedia. The list goes on with other startups like Go-Jek and Tiket.com, both of which secured deals with local and regional/global investment firms.

Indonesia has definitely become one of the magnets for key investments by major venture and private equity funds in quest of another country with potential growth after China and India. Indonesia, with a population of 260 million, is the largest among neighboring ASEAN countries. But with more than 16,000 islands, the world’s largest archipelago faces a more challenging logistical coverage in handling its abundant natural resources and a production age group that comprises 60% of the population.

But chances are scant for Indonesian startups to undergo a public offering once they dominate certain sectors and popular business models already favored by regional/global strategic investors. Those strategic investors are likely to have major stakes already in pre-established companies, making it difficult for Indonesian institutional and retail investors to participate.

As of now, no tech startup company is listed in the Indonesian Stock Exchange. Is this an indication of scant interest from local investors to invest in technology companies?

I would say definitely the answer is not like what we have perceived. In fact, most of Ideosource’s limited partners (investors) are from Indonesia. Our LPs are sophisticated investors, but it does not mean that retail investors are not interested. It is just not possible for them to participate due to a minimum check size of investment, length of fund period that usually spans from five to ten years before getting any return, and other aspects involving limited exposure to startup investment.

Even some of my close friends have asked me whether they are able to participate in the Ideosource fund at a smaller amount. Success stories among tech startups are ubiquitous — traditional companies and local conglomerates have set up their own initiatives and funds to dabble into tech startup investments. However, most individual retail investors have no access to participate in any of those great startup successes. They can only hear about them, wondering in awe.

How about the risks?

Nevertheless, those successful startup companies are only a handful among hundreds or even thousands of startups that have existed in Indonesia — failed companies are ubiquitous too. It is not for the fainted hearts to see some of their investments go down the drain, so it is definitely a reason to call them sophisticated investors. Traditional security and asset management companies would not dare to deal with failed companies in numbers that most VCs see as normal; moreover, most of those so-called successful startup companies are not in blue or bleeding to the bone with their marketing spending to boost revenues and user base.

There is no precedence in Indonesia to a public company like Amazon, which had been in the red for 20 years until mid-2016. Amazon investors understood Amazon would need to invest big and re-invest all of its retained earnings to reach a certain stage where they dominate the market putting a (very) high barrier of entry in the sector. As a result:

“Had the average Joe decided to save $5,000 and spend it on Amazon’s stock when it first hit the public markets 20 years ago, they be worth at least $2.4 million today.”

Ideosource is no different during our early years of fund setup. We had failed startups in our list too, and most of those startups failed after not finding the follow-on investors — the ecosystem was not there. So since then, we decided to ensure our startups are cockroaches (resilient creatures) able to stay alive for longer time despite slower follow-on investment process.

It may not be justifiable from the winner-takes-all-type investment thesis, which values only one winner through buying traffic, transaction, and customers. Instead, we look into companies with passionate founders who do not believe in the “blitzkrieg” type of model, most of them believe in winning the space by being a resilient creature, because they are happy doing what they have been doing building the companies from the ground up, creating a strong team, strong culture internally and able to win the customers in the long-term by being trusted and all out to serve.

As a consequence, we have been more selective in our startup investments, but fortunately any investment we made during and after 2015 have flourished and are in a very good stage, primed for next stage exponential growth. We also learned to provide investment with enough runway for them to reach certain numbers attractive for follow-on investors to come in.

Can the risks be mitigated?

The nature of startup investment locally in Indonesia has improved a lot, Ideosource case above is just an example from our internal experience, and other venture capitals even angel investors have matured and have been exposed quite long also having met hundreds of startups and often mingle during startup events giving a much sharper decision on who are investable. Same thing with startups quality now have improved year on year getting into a stage whereby choices are wider and we know the risk to invest on the best among those pool is actually quite save, at least from the eye of an experience and exposed investors. Probably similar to Amazon investors in the early IPO days able to understand and realize Jeff Bezos’ long term goal and they stick to support its vision.

VC investment model can work well in the hand of an experience investment committee and it has to be in quantities to compensate for failed startups, many people have heard the one success or jack-pot investment will provide return and profit for the rest of nine investments or even the whole fund. As in Ideosource Fund I, one financial technology (fintech) startup provided 80x return, normalized to around 8x return as a fund. Although not as a spray and pray model and more of a specific investment thesis, the statistic proved to be true.

So is investing in Indonesian tech startups attractive?

Yes.

And, does it mean that public and individual retail investors can participate freely investing on their own? The answer is better to be “no”, simply due to several factors discussed before:

  1. Liquidity and Investment Size: a five to ten years investment period is common with a minimum check size of $50k to $250k. It may work for angels but probably not for retail and public investors.
  2. Handling the Risks: even sophisticated investors rely on venture capital firms to manage their investment simply to manage the risks. They know that those venture capitals via its investment management team will take care of portfolio screening and due diligence, diversification, and mentoring.
  3. Mentoring: this is one of the most sought after value most startups look for from their institutional and angel investors. They want to speed up the process without:
    • too much trial and error getting advise from veterans, and
    • to be introduced to the right channel and network
    • to get shared resources for back-office administration, accounting, taxation, legal, working space and many others.

How about liquidity issue?

Underwriters, brokers, clearing house, custodian, appraisers, legal firms, trustees and administrators are all part of the ecosystem surrounding the stock exchange to ensure offering and transaction are smooth without glitch and legitimate. However, we certainly know that to list a company publicly assisted by those parties in the ecosystem and to maintain it in the stock exchange are relatively expensive, moreover for smaller cap companies.

The crowdfunding site Kickstarter has radically changed the way creative ventures can raise money in the Internet age. In 2014, 3.3 million people around the world contributed more than $500 million — roughly $1,000 a minute — to finance more than 22,000 projects.

Other equity based crowdfunding startups have also emerged with attractive offering combining researched data and seasoned investor communities such as funnel.com, funderbeam.com, crowdfunder.com and many others.

Can crowdfunding sites be as popular to retail and public investors as the stock-exchange? probably yes if liquidity is there.

We see extreme cases now happening in cryptocurrency trend of raising money via Initial Coin Offering (ICO). The crypto-coin provides instant liquidity, easily tradable via blockchain platform. It is an extreme approach due to many ICOs are not based on real tangible assets, but at the end only a few will sustain its value due to many of them not supported by the right business model suitable for token trading.

A few smart crowdfunding sites now offer extended liquidity via ICO or token creation for easy secondary trading of those crowdfunded assets they have funded, and it is almost like a small private ICO with real assets being appraised and appreciated or depreciated according to the performance of the company. And the ownership of assets that have been tokenized can be traded easily by selling the token/coin to other traders, and this can happen without disturbing the underlying contract of the asset itself.

Conclusion

I truly believe that tech startup investment can be offered to Indonesian retail and public investors as in the case of traditional stock exchanges, perhaps via secondary board implementing a combination of positive factors offered by traditional stock exchanges but agile and efficient as in the new era of cryptocurrency. The key is an ecosystem inviting relevant parties and regulators to contribute according to their roles and responsibilities to ensure checks, re-checks and balances are happening during the process with reasonable costs and ease of participating.


This guest post is written by Edward Ismawan Chamdani, Ideosource Venture Capital’s Co-Founder and Managing Partner.

It’s initially published at Medium and has been republished with permission.

Growing Pains in Indonesia

I am experiencing a déjà vu moment. When I was working in the U.S., I lived through Silicon Valley’s first dot-com bubble in the late 1990s through early 2000s. From those tumultuous times, there emerged big losers and big winners. Ebay, which had been profitable since the early years and received $6.7 million funding, now has a market cap of over $38 billion. Paypal received $217 million funding and now controls a market cap of over $70 billion. On the other hand, Webvan, an online grocery store, received $396 million of world-class venture capital funding (Benchmark Capital, Sequoia Capital, Softbank Capital, Goldman Sachs, Yahoo, etc.), raised $375 million through an IPO then filed for bankruptcy.

Global companies and Venture Capitalists (VCs) have been increasing their investments in Indonesia over the last few years, as the U.S. and China markets have matured. They have been inspired by Silicon Valley’s success, and even more motivated after seeing the success of BAT (Baidu, Alibaba, and Tencent) in China. Indonesia is the fourth most populated country in the world with over 260 million people, and the majority of them are young Millennials. The population is growing rapidly; they are actively engaged in social media using mobile phones, and many of them are coming online for the first time. Indonesia is the digital world’s next big battleground.

Amidst all this excitement, there is news of a few startups receiving big investments with billions in valuations. A handful companies have claimed profitability; others’ statuses remain unknown although they are growing in terms of revenue, the number of employees, the number of customers, and other key metrics. At the same time, numerous startups have declared bankruptcy on a regular basis for the last couple of years.

My other passion, aside from technology, is the game of chess. Chess divides the game into 3 distinct phases: the opening, middle, and endgame. The player must be able to identify the start and end of each of these phases, and evolve their strategies and tactics throughout the transition. Skills relevant to one phase may no longer be relevant to the next.

The Indonesian battlefield has emerged and, in my mind, we have closed out the opening phase. Domestic players are emerging and growing. International companies are placing their own stakes in the ground.

What comes next? It is too early to tell who the eventual winners and losers will be as we now transition to the middle game. Based on my experience living through this game once or twice, this article discusses what to expect as next steps for all the players involved.

Growing Pains

If Indonesia follows a path similar to Silicon Valley, many more Indonesian startups will enter the startup graveyard, while a handful of big winners will find outsized success. Each startup will have to go through growing pains. Growing pains are key factors determining the fate — life or death — of a hyper-growth startup. Recognizing growing pains is the first crucial step in order to take the necessary precautionary measures.

Specifically, startups have to overcome obstacles in these key areas: Technology, Business, and Leadership & Management. Scale these aspects properly in a timely manner, and they will increase the chance to grow into a scalable, profitable, and sustainable business.

Technology

Our industry moves at a single, constant speed: fast. Today’s technology inventions are the foundation of future inventions. The accumulated inventions for the past six decades — Mainframe, PC, Internet, Mobile, Cloud-computing, Networking, Artificial Intelligence, User Interface, and Communication — have increased our productivity and accelerated each subsequent change at a dizzying speed. Companies rise fast and some of them fall even faster if they are complacent and are not reinventing themselves. Companies in the high-tech industry usually have 2 extremes: the successful ones get bigger and stronger, achieving near monopolistic levels of power while others suffer bankruptcy or, perhaps worse, irrelevance.

There are many technical decisions to consider as a startup grows exponentially. I will mention just a few of them.

  • Scalability and Stability. This is one of the most noticeable pains when your startup is growing exponentially. Your system crashes on a regular basis — a few times a day. KASKUS, Twitter, Amazon, etc. have all experienced this blockade and trudged right through it. Rapid growth is a good problem to have. However, you need to address it fast before this “good problem” becomes an irreversible bad problem. The best startups are able to “rebuild the plane mid-air” and architect solutions for sustainable long-term growth.
  • Security. This is one of the most overlooked and neglected issues by most startups. It is mostly due to ignorance, since many of them know little to nothing about security, and have never experienced being hacked. Additionally, many young founders might not even have the skills when they realize that it is important. Startups usually have the most technical debt in this area, especially if your business is related to e-commerce and payment.
  • Internationalization and Localization. This is another area where startups don’t invest much time and resources. Although many Indonesian startups are targeting local markets only, it is amongst software engineering best practices to design and implement your software to be ready to go international when the opportunity arises.

Business

Some wise people have advised that you should use company money as if it were your own and spend frugally. This is even more important in a startup environment, especially when they’re not yet profitable. As startup owners and management team, we legally, ethically, and morally have a responsibility to various stakeholders — employees, customers, shareholders, and the community — when running a company. The VCs are expecting to get their money back in high multiples because they have obligations to their own investors.

Fiscal negligence leads to the fall of startups. When startups receive large new rounds of funding, a common mistake is to overspend — hiring luxury limousines when picking up guests, partying in 5-star hotels, hosting team-building exercises in exotic resorts, etc. This behavior is irresponsible to the stakeholders. I firmly believe startups should live within their means. We must spend frugally yet intelligently.

At the same time, it’s important to double down on the caliber of your people. I used to work for one of the most successful software companies in the world when it was still small. My coworkers and I all worked 12 hours a day and 7 days a week without any complaints because we loved what we did. We found our work was meaningful because we improved people’s lives globally. We were on a mission to make the world to be a better place! The company was rewarded handsomely — making billions in profit — while doing good.

Years later, this company has grown by multiple orders of magnitude. One of the old-timers asked a new employee why he joined the company. The reply was shocking — he joined the company for the free drinks, free food, parties, and benefits — this employee was joining for all the wrong reasons! He had neither the passion nor the fire of the early employees who had made the company into what it was. The mission-driven perseverance of the startup mindset is one of the few reasons startups even have a chance to compete against large companies.

Leadership & Management

As a startup grows, the interactions become exponentially more complex between employees with different educations, experiences, and cultures. Growth means diverse customers, shareholders, and complicated product integrations. Suddenly, founders and management team are dealing with multiple business units and office locations in different time zones. It’s next to impossible to enumerate all the possibilities.

So how do we deal with the above challenges?

Some potential solutions include, but are not limited to the following:

  • People-First. A company will be successful when both its employees and customers are delighted. Employees’ needs should be taken care of so they can focus on their work with undivided attention. Consequently, their exceptional work can exceed the customers’ expectations.
  • Alignment. One of the key reasons many startups fail due to internal conflicts — self-inflicting wound —because they are not aligned internally. All departments — PM, Engineering, Sales, Marketing, Finance, HR, Customer Support, etc — should align their goals with the company’s short and long term goals. This has to be monitored routinely in order to ensure everyone’s work is aligned. There will always be conflicts and disagreements as the company grows. Ideally, it should be “agree & commit”. If not, the next best thing is “disagree & commit” as long as the priorities are in this order: company, team, and individual.
  • Discipline. Silicon Valley is well-known for its casual dress: t-shirts and jeans or even shorts during the summer time. This seemingly relaxed environment is actually deceptive. Silicon Valley startups have grown world-class companies in a decade or so due to their passion, iron-will, naive optimism, foolish confidence, and discipline. People in Silicon Valley refer to this as “duck syndrome”. The companies and people may look calm and relaxed on the surface but are furiously paddling underneath.
  • Back to Basics. As I’ve written about previously, it’s important to revisit and remember your fundamentals.

Conclusion

The list of a startup’s growing pains could fill an entire book. I’m just scratching the surface with this article. Internally at KASKUS and GDP Labs, we take the time to recognize the foundation we have established, but are also now preparing for the next phase. We expect to grow quickly, but at every step of the way, we must maintain our focus on long-term sustainability, on staying humble, and passing onto new team members what has driven us to where we are today.

Building a truly great technology company is a marathon, not a sprint. There’s a tendency to rush forward to the next big milestone. And indeed, as I’ve frequently reminded my team, speed and sense of urgency are a startup’s best tools against well-funded corporate competitors. But I’ve seen too many companies attempt to run before they can walk. The upcoming middle game is a fascinating phase, where much of the action happens; most of the pieces are removed and only the survivors remain. We’re here and we’re ready to play.


This guest post is written by On Lee, Kaskus’ COO & CTO, GDP Labs’ CEO & CTO, and GDP Venture’s CTO

It’s initially published at LinkedIn Pulse and has been republished with permission.

Berinvestasi pada Startup: Kombinasi Bisnis atau Membeli Aset Takberwujud?

Dengan berkembangnya perusahaan startup, semakin banyak investor yang tertarik untuk berinvestasi pada perusahaan startup. Namun keraguan tentang nilai wajar perusahaan startups sering menimbulkan pertanyaan dalam proses investasi ini.

Perusahaan startup adalah perusahaan yang biasanya baru berdiri dengan harapan dapat menjadi perusahaan besar di masa depan. Inovasi produk atau jasa berbasis teknologi menjadi kunci utama perusahaan startup, misalnya dengan menciptakan aplikasi-aplikasi komputer atau aplikasi telepon genggam. Sulit untuk bisa menampikkan peran gojek yang inovatif dalam mempermudah hidup masyarakat perkotaan di Indonesia untuk moda transportasi alternatif. Perusahaan startup yang banyak berkembang saat ini juga didominasi oleh anak-anak muda yang cerdas dan semangat sehingga mendorong pemuda Indonesia menjadi wirausaha.

Para pendiri startup biasanya membutuhkan investor untuk mengembangkan perusahaan mereka. Angel Investor yang masih punya hubungan darah atau perkawanan biasanya menjadi andalan para pendiri perusahaan startup. Namun bahkan seorang investor baik hati juga harus memikirkan risiko dari investasinya terhadap perusahaan startup ini. Artikel ini merangkum beberapa pertanyaan yang sering dimiliki pendiri startup maupun investor terkait dengan investasi pada startup.

Aset Takberwujud (intangible asset) yang dihasilkan sendiri, mengapa tidak bisa diakui?

Perusahaan startup mengandalkan modal intelektual untuk menawarkan nilai tambah kepada pelanggan. Penemuan produk baru yang inovatif biasanya kemudian didaftarkan hak patennya untuk melindungi kekayaan intelektual aset perusahaan. Aset takberwujud seperti paten ini bisa berupa suatu sistem tertentu, produk aplikasi, suatu design (misalnya dalam hal fashion), atau merk dagang. Sayangnya aset takberwujud yang dikembangkan secara internal sulit untuk dapat diakui dalam neraca baik sesuai dengan SAK maupun SAK ETAP.

SAK ETAP pada Bab 16 sudah sangat jelas tidak memberikan ruang untuk pengakuan aset takberwujud yang dihasilkan internal. Biaya-biaya riset dan pengembangan aset takberwujud dibebankan pada perioda berjalan. Sedangkan PSAK 19 Aset Takberwujud masih mengijinkan beban pengembangan aset takberwujud dikapitalisasi apabila sesuai dengan persyaratan yang cukup ketat (Lihat Paragraf 57-62 di PSAK 19 untuk penjelasan bagaimana biaya pengembangan dapat dikapitalisasi)

Penulis banyak menerima kritik terhadap SAK ETAP dari para pendiri perusahaan startup. Perusahaan startup biasanya adalah perusahaan kecil dan memenuhi syarat untuk menggunakan SAK ETAP. Namun aset utama perusahaan startup yang berupa aset takberwujud tidak dapat diakui dalam neraca. Hal ini dapat membuat neraca perusahaan startup dicatat terlalu rendah. Akibatnya banyak perusahaan startup yang melakukan solusi alternatif agar aset takberwujud yang mereka hasilkan dapat masuk ke neraca.

Salah satu cara yang dilakukan oleh perusahaan startup adalah mematenkan penemuan mereka atas nama individual pendiri perusahaan, yang kemudian menjual nya kepada perusahaan startup. Dengan demikian perusahaan startup dapat mencatat paten tersebut sebagai aset takberwujud sesuai dengan harga perolehannya.

Untuk perusahaan startup yang menggunakan PSAK 19, juga bukan hal yang mudah untuk dapat memisahkan biaya-biaya riset dan beban pengembangan. Salah satu kriteria untuk mengakui beban pengembangan adalah keyakinan adanya manfaat ekonomik masa depan yang akan dihasilkan. Pertanyaannya, siapa yang akan menjamin bahwa inovasi atau aplikasi baru yang dihasilkan dapat sukses di pasar? Terlebih dengan ketatnya persaingan yang dapat membuat produk sejenis lain dapat bermunculan. Akibatnya mungkin lebih mudah bagi perusahaan startup untuk membebankan biaya-biaya riset dan pengembangannya.

Berinvestasi pada Startup: Kombinasi Bisnis atau membeli Aset Takberwujud?

Ketika seorang investor ingin menanamkan modal pada perusahaan startup, ia harus menilai berapa nilai wajar dari perusahaan startup tersebut. Valuasi perusahaan startup menjadi tantangan tersendiri karena banyak mengandalkan pendapatan potensial di masa depan. Mengingat perusahaan startup adalah perusahaan yang baru berdiri sehingga perusahaan tidak memiliki data masa lalu yang panjang untuk membantu investor melakukan “forecasting” atas potensi pendapatan di masa depan.

Pertanyaan yang juga muncul adalah bagaimana bila investor ingin membeli suatu perusahaan startup yang bahkan belum menghasilkan pendapatan. Misalnya aset utama yang dimiliki perusahaan startup tersebut adalah paten atas suatu aplikasi telepon genggam namun aplikasi tersebut belum dipasarkan. Juga ada beberapa rancangan aplikasi lainnya yang masih dalam status riset dan pengembangan. Ketika investor memutuskan untuk membeli perusahaan startup seperti ini, apakah transaksinya dicatat sebagai kombinasi bisnis atau pembelian suatu (atau grup) aset takberwujud?

Untuk menjawab pertanyaan ini, maka definisi dari “bisnis” menjadi sangat penting. Apa yang dimaksud dengan suatu “bisnis” di dalam SAK? Suatu bisnis tidak selalu harus mengacu pada suatu badan hukum tertentu. Di dalam Pedoman Penerapan PSAK 22 dijelaskan bahwa suatu bisnis haruslah terdiri dari input dan proses yang diterapkan pada input tersebut dan mampu menghasilkan output. Yang perlu ditekankan disini adalah suatu bisnis tidak perlu memiliki output saat ini untuk dapat didefinisikan sebagai “bisnis”.

Apabila suatu bisnis belum memiliki output, maka investor harus mempertimbangkan faktor faktor berikut ini (PP10 dalam PSAK 22):

  1. Perusahaan telah memulai aktivitas utama yang direncanakan
  2. Memiliki karyawan, kekayaan intelektual serta input dan proses lainnya yang dapat diterapkan pada input
  3. Sedang menjalankan rencana untuk memproduksi output; dan
  4. Akan dapat memperoleh akses kepada pelanggan yang akan membeli output.
    Tidak seluruh faktor-faktor tersebut diatas harus terpenuhi dalam serangkaian aktivitas perusahaan. Dengan melihat penjelasan tersebut maka suatu perusahaan startup yang belum menghasilkan pendapatan dapat dikategorikan sebagai bisnis bila memiliki input (semisal aset takberwujud), serta memiliki proses (karyawan, keahlian teknikal, dsb) untuk mengubah input menjadi output.

Lebih lanjut, apabila proses dalam aktivitas bisnis tidak lengkap namun bisa ditutupi oleh “market participants” lainnya, maka hal tersebut tidak menghalangi suatu usaha disebut “bisnis”. Misalnya suatu perusahaan startup memiliki suatu aplikasi telepon genggam, untuk menghasilkan output (pendapatan), perusahaan harus mampu mengundang pengguna untuk mengunduh aplikasi tersebut. Apabila perusahaan startup tidak memiliki channel distribusi langsung kepada pelanggan, hal tersebut dapat di lakukan oleh pelaku pasar lainnya, seperti Google Play.

Penajaman Definisi Bisnis oleh FASB dan IASB

Sulitnya membedakan antara “bisnis” dan “grup aset” membuat dewan standar akuntansi Amerika Serikat (FASB) menajamkan definisi Bisnis pada bulan Januari 2017. IASB juga telah mengeluarkan exposure draft serupa pada bulan Juni 2016 namun sampai artikel ini diturunkan, proposal tersebut belum disahkan menjadi amandemen IFRS.

Definisi bisnis yang dimiliki IFRS dan standar FASB adalah sama persis karena kedua dewan standar ini memang melakukan konvergensi ketika dahulu membuat standar kombinasi bisnis. Namun ternyata dalam praktiknya, definisi ini diterapkan secara lebih luas dan tidak konsisten di Amerika Serikat dibandingkan pada negara-negara pengadopsi IFRS. FASB mendapatkan masukan bahwa definisi bisnis yang dianggap terlalu longgar membuat banyak transaksi pembelian group aset dicatat sebagai transaksi kombinasi bisnis. Sedangkan penghitungan goodwill, biaya transaksi dan juga dampak terhadap pajak tangguhan berbeda antara pembelian group aset dengan kombinasi bisnis.

FASB kemudian memutuskan adanya suatu “screen test” baru untuk memisahkan kombinasi bisnis atau pembelian group of aset. Disebutkan bahwa apabila nilai wajar dari aset bruto yang diakuisisi terkonsentrasi pada satu jenis aset saja atau pada suatu group aset yang serupa maka suatu “set” itu bukanlah kombinasi bisnis. Apabila perusahaan tidak yakin dengan hasil screen test yang dilakukan, maka amandemen tersebut juga mengklarifikasi definisi bisnis dengan menghilangkan evaluasi mengenai “market participants” dan juga mempertajam definisi output.

Pendeknya, suatu bisnis harus terdiri atas input, proses yang substantive dan output yang berupa barang atau jasa kepada pelanggan, atau pengembalian investasi atau pendapatan (penurunan biaya yang semua termasuk menjadi hilang). Untuk perusahaan startup yang belum memiliki output maka input dan proses dikatakan mampu menghasilkan output HANYA BILA akuisisi juga termasuk karyawan sebagai tenaga kerja teorganisir yang mampu mengubah input menjadi output.

Penekanan pada karyawan ini menjadi penting karena disebutkan bahwa para karyawan ini harus memiliki kemampuan yang memadai untuk mengubah input menjadi output. Sebagai ilustrasi apabila investor membeli sebuah perusahaan startup yang belum menghasilkan, namun akuisisi tersebut tidak termasuk karyawan-karyawan kunci yang mampu mengoperasikan aplikasi/barang/jasa yang akan ditawarkan, maka akan lebih sulit mengakui bahwa itu adalah kombinasi bisnis.

Perusahaan startup yang berkembang pesat banyak melakukan “distruption” terhadap bisnis yang berjalan, seperti fenomena fintech yang memangkas rantai penyaluran dana atau taksi online yang mengganggu bisnis taksi konvensional. Perkembangan perusahaan yang pesat dan biasanya lebih berfokus pada pengembangan inovasi teknologi dapat membuat perusahaan startup kurang perhatian atas aspek akuntansi perusahaan. Pemahaman prinsip-prinsip standar akuntansi akan sangat membantu perusahaan dan investor dalam mengembangkan industri ini.


Disclosure: Artikel tamu ini dibuat oleh Ersa Wahyuni, Dosen Akuntansi Universitas Padjadjaran dan Anggota DSAK-IAI. Tulisan aslinya dibuat di blog pribadi dan dimuat ulang dengan izin penulis. Artikel ini juga telah dimuat di majalah Akuntan Indonesia edisi Juli Agustus 2017.

Penulis dapat dihubungi melalui twitter @ersatriwahyuni dan email [email protected]

Gaet Perhatian Konsumen dengan Video Berdurasi Pendek

Tahukah Anda, bahwa kita hanya punya 8 detik untuk mendapatkan perhatian dari konsumen? Selain itu, dengan adanya sekitar 90 juta masyarakat Indonesia yang sudah terkoneksi internet –dengan penetrasi sebesar 43 persen mengakses internet menggunakan smartphone, pemasar semakin ditantang untuk memikirkan kembali strategi pemasaran.

Salah satu strategi yang dapat dilakukan oleh brand adalah menggunakan video berdurasi pendek (short form video). Biasanya video ini berdurasi kurang dari 10 menit. Berikut adalah tips untuk membuat short form video yang menarik:

Tell Your Story

Bagaimanapun konsumen adalah pemenangnya. Jika Anda hanya fokus pada promosi brand, konsumen tidak akan memilih Anda. Konsumen membutuhkan informasi tentang apa saja yang bisa brand Anda berikan untuk mereka. Hal apa saja yang dapat menguntungkan mereka dari brand Anda. Bukan hanya menampilkan keunggulan, namun juga keahlian.

Brand seperti Tokopedia dalam akun Instagram-nya konstan menampilkan short video yang dapat menunjukkan apa saja yang bisa dilakukannya untuk konsumen mereka. Selain itu juga ada Uber yang membuat short video dengan memberi edukasi mengenai aplikasi terbaru mereka.

Selain itu, kenapa tidak mencoba menampilkan “behind the scene” dari brand Anda? Bukankah konsumen juga bagian dari brand? Sehingga tidak ada salahnya jika konsumen mengetahui apa yang terjadi di dalam sebuah brand dan apa saja yang brand lakukan di dalam. Dari situ Anda bisa menunjukkan personality dari brand Anda. Membawa konsumen untuk lebih terhubung dengan brand agar mereka merasa memiliki brand Anda. Misalnya saja, Anda dapat menayangkan video mengenai apa saja yang karyawan lakukan dan keceriaan mereka saat bekerja dapat menjadi motivasi bagi konsumen untuk selalu terhubung dengan brand.

Seperti perusahaan online marketing Constant Contact berikut yang menampilkan aktivitas pegawainya berkontribusi dalam kegiatan amal yang dilakukan perusahaan tersebut. Tidak ada salahnya menampilkan kebaikan yang ada pada diri Anda. Hal ini dilakukan untuk memperkuat engagement antara konsumen dengan brand. Karena menurut data yang didapat dari mereka, lebih mudah untuk mendapatkan repeat customers ketimbang new customers.

Play with different tools

Begitu banyak keuntungan yang bisa Anda dapatkan dari sebuah short video di media sosial, kenapa tidak untuk mulai mencobanya dengan beberapa platform.

Anda dapat menggunakan aplikasi Hyperlapse yang dapat memberi efek video singkat untuk menceritakan kisah Anda. Bagi Anda yang ingin membawa konsumen melakukan perjalanan singkat di kantor Anda, aplikasi ini jawabannya.

Kemudian ada juga Flipagram yang mampu menghidupkan gambar dari video yang Anda buat dengan memasukkan efek suara yang Anda inginkan. Seperti menambahkan suara teriakan pada event konser musik, dan lain sebagainya. Dan yang sudah tidak asing lagi yaitu aplikasi Stop Motion, dapat membantu Anda membuat short video dengan teknik stop-motion yang menyenangkan. Tidak perlu biaya mahal, Anda sudah dapat mem-posting short video menarik di akun media sosial dari brand Anda.

Short form video memberikan brand kesempatan untuk mengolah story tentang brand dan produk Anda dengan cara kreatif dan berbeda. Di jaman di mana konsumen ingin sesuatu yang berbeda dari brand, kenapa Anda tidak mencobanya?


Disclosure: Tulisan tamu ini ditulis oleh Gina Dwi Prameswari. Gina adalah Content Consultant di BBOX Consulting. Ia bisa dihubungi melalui blog BBOX 

Apakah Bitcoin Legal?

Artikel ini adalah bagian dari seri edukasi Bitcoin oleh Luno (sebelumnya BitX) Indonesia.

Dalam seri edukasi Bitcoin sebelumnya, kami telah menjelaskan mengenai apa itu Bitcoin. Artikel ini akan membahas mengenai aspek legalitas Bitcoin: apakah Bitcoin legal?

Saat ini, banyak pembuat kebijakan di dunia yang telah mengetahui tentang mata uang digital seperti Bitcoin, namun banyak dari mereka yang belum membuat hukum atau aturan legal mengenai mata uang digital karena kompleksitas mata uang digital seperti Bitcoin – apakah Bitcoin harus diatur sebagai salah satu mata uang? Alat pembayaran? Atau aset investasi?

Oleh karena itu, sejak akhir 2013 hingga 2014 banyak peringatan dan arahan dari bank sentral dan otoritas pembuat kebijakan keuangan di berbagai negara yang memperingatkan bahwa Bitcoin belum diakui oleh negara sebagai aset investasi, alat pembayaran, atau mata uang yang sah. Beberapa dari institusi ini cemas akan stabilitas sistem keuangan negara, jika adopsi Bitcoin dalam skala besar terjadi di negara tersebut, sebut Coindesk.

Namun dengan berjalannya waktu, beberapa negara mulai memandang Bitcoin dan mata uang digital dengan perspektif yang berbeda, dan mencoba untuk memberlakukan aturan mengenai mata uang digital tersebut. Biasanya, regulasi bukanlah hal yang didukung semua pihak. Namun dalam kasus Bitcoin, regulasi adalah sebuah anugerah. Regulasi Bitcoin adalah hal yang didukung oleh komunitas Bitcoin yang ada di seluruh dunia.

Legalitas Bitcoin di beberapa negara di dunia

Status legal Bitcoin dan mata uang digital masih menjadi perdebatan panas hingga saat ini, namun progress yang signifikan tampak di beberapa negara.

Jepang adalah salah satu negara yang melegalkan Bitcoin sebagai alat pembayaran yang sah di negara tersebut. Dilansir dari Business Insider, sejak Bitcoin dilegalkan pada April lalu, penerimaan terhadap Bitcoin telah diadopsi oleh beberapa toko besar di Jepang. Recruit Lifestyle, yang memiliki lebih dari 260.000 merchant dan restoran di Jepang, mengumumkan mereka akan mulai menerima Bitcoin. Begitu juga Bic Camera, yang akan mulai melakukan simulasi penerimaan Bitcoin sebagai salah satu metode pembayaran di toko-toko mereka. Kedua perusahaan tersebut adalah retailer besar di Jepang.

New York adalah negara bagian yang membuat aturan khusus untuk regulasi Bitcoin, yang disebut dengan BitLicense. BitLicense adalah dokumen yang terdiri atas 44 halaman yang membahas mengenai lingkup kerja bursa efek/bisnis yang memiliki “mata uang virtual’ sebagai produk. Aturan yang ditetapkan oleh New York sangat penting untuk Bitcoin dan mata uang digital secara umum, karena New York adalah tempat Wall Street berada dan rumah untuk transaksi keuangan di dunia.

Coindesk juga menyebutkan bahwa bank sentral di Filipina, Bangko Sentral ng Pilipinas (BSP) juga merupakan salah satu institusi yang meregulasi Bitcoin sejak 2017. Layanan Exchange (bursa Bitcoin) yang ada di Bitcoin akan diharuskan untuk mendaftarkan perusahaan dan mendapatkan Certifcate of Registration. Aturan ini diberlakukan oleh bank sentral Filipina untuk melawan pencucian uang (money laundering) dan menjaga stabilitas keuangan negara.

Rusia pernah menentang keras Bitcoin pada tahun 2014 lalu karena Bitcoin dianggap dapat digunakan untuk pembayaran tindakan kriminal. Namun pada tahun 2017 ini, Wakil Menteri Keuangan Rusia, Alexey Moiseev, menyebutkan bahwa otoritas keuangan negara Rusia akan membuat aturan mengenai Bitcoin dan mata uang digital lainnya sebagai instrumen keuangan yang legal pada 2018 mendatang, sebagai upaya untuk melawan pencucian uang (money laundering).

Dilansir dari Coindesk, baru-baru ini pemerintah India melalui Kementerian Keuangan India, membuat sebuah komite untuk memeriksa cara kerja mata uang virtual di India. Hal ini didorong oleh adopsi mata uang virtual yang berkembang pesat di India. Begitu juga dengan Swiss, yang saat ini sedang mengatur hukum dan aturan mengenai mata uang digital dan sektor financial technology di negara tersebut, seperti yang disebutkan oleh Reuters.

Apakah Bitcoin legal di Indonesia?

Bank Indonesia (BI) melalui siaran pers yang diterbitkan pada 6 Februari 2014 menyebutkan bahwa:

Memperhatikan Undang-undang No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang serta UU No. 23 Tahun 1999 yang kemudian diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang No. 6 Tahun 2009, Bank Indonesia menyatakan bahwa Bitcoin dan virtual currency lainnya bukan merupakan mata uang atau alat pembayaran yang sah di Indonesia.

Masyarakat dihimbau untuk berhati-hati terhadap Bitcoin dan virtual currency lainnya. Segala risiko terkait kepemilikan/penggunaan Bitcoin ditanggung sendiri oleh pemilik/pengguna Bitcoin dan virtual currency lainnya.

Jakarta, 6 Februari 2014
Departemen Komunikasi

Jika dilihat dari siaran pers tersebut, BI menyebutkan bahwa transaksi menggunakan Bitcoin belum diakui sebagai alat pembayaran yang sah di Indonesia. Namun, Deputi Gubernur Bank Indonesia Bidang Sistem Pembayaran, Ronald Waas, menyebutkan bahwa BI tidak menetapkan peraturan yang secara khusus melarang penggunaan Bitcoin.

Ini berarti para pemilik Bitcoin masih bisa bebas bertransaksi dengan mata uang tersebut. Hanya saja, tidak ada perlindungan hukum apabila terjadi kasus-kasus seperti pencurian atau penipuan yang melibatkan virtual currency itu, sebut Ronald seperti yang dikutip dari Kompas.

Melalui Tempo, Ronald menambahkan masih terlalu dini jika dibilang bahwa BI tak akan pernah mengizinkan penggunaan Bitcoin. Hal ini karena untuk melakukan pelarangan harus memiliki sanksi serta cara pemantauannya.


Seiring dengan perkembangan Bitcoin di seluruh dunia, industri yang bergerak di bidang mata uang digital seperti Luno juga senantiasa berusaha untuk bekerja sama dengan para regulator/pembuat kebijakan. Dengan adanya sistem KYC (Know Your Customer) dan AML (Anti Money Laundering) yang dilakukan, kami berharap bahwa regulasi mengenai mata uang digital akan dilakukan di kemudian hari.

Sebelumnya dikenal dengan nama BitX, Luno adalah platform jual, beli, kirim, terima, dan simpan Bitcoin di Indonesia. Luno tersedia di website, iOS, dan Android.

Strategi Mudah Investasi Bitcoin

Artikel ini adalah bagian dari seri edukasi Bitcoin oleh Luno (sebelumnya BitX) Indonesia.

Sebelumnya, kami telah membahas berbagai cara mendapatkan Bitcoin dan cara memastikan keamanan Bitcoin Anda. Jika Anda telah membeli Bitcoin, lantas strategi apa yang harus Anda ambil sebagai strategi investasi Bitcoin? Kami akan membahasnya lebih lanjut dalam artikel ini.

Pada awal kemunculannya, harga Bitcoin tidak lebih dari $1 atau Rp 10.000. Namun, perkembangan Bitcoin yang sangat pesat dan disertai dengan dukungan tokoh dunia seperti pernyataan Bill Gates, penerimaan Bitcoin di berbagai merchant global seperti Amazon, dan penulisan berita positif dari berbagai media internasional, membawa harga Bitcoin semakin melambung tinggi setiap tahunnya.

Harga Bitcoin yang sangat fluktuatif lalu menarik perhatian para investor. Berbagai ahli dan investor mencoba untuk memprediksi harga Bitcoin di masa yang akan datang, namun sebenarnya memprediksi harga Bitcoin tidak semudah memprediksi harga saham pada umumnya.

Lantas, setiap orang memiliki cara investasi Bitcoin yang berbeda-beda. Ada yang membeli Bitcoin dalam jumlah banyak pada satu waktu, lalu menyimpannya untuk beberapa tahun ke depan sebelum menjualnya kembali untuk mendapatkan keuntungan besar. Ada juga investor yang membeli sedikit Bitcoin dan langsung menjual ketika harga naik sedikit, walaupun keuntungan yang didapatkan tidak terlalu besar. Setelah itu, investor tersebut membeli dan menjual kembali dan mengulangi proses ini untuk terus mendapatkan keuntungan.

Biasanya, salah satu faktor penting yang menentukan strategi investasi Bitcoin seseorang adalah waktu yang dimilikinya.

Strategi investasi Bitcoin yang mudah dan menguntungkan

Bitcoin adalah aset investasi yang menggiurkan, namun tidak semua orang mengetahui cara investasi yang mudah dan menguntungkan. Salah satu metode investasi yang cocok dengan sifat Bitcoin adalah Dollar-Cost Averaging (DCA). Dengan mengikuti metode investasi Dollar-Cost Averaging (DCA), investor dapat melindungi diri dari fluktuasi harga dan resiko kerugian. DCA sendiri bukanlah strategi baru di dunia investasi. Berbagai investor telah menggunakan strategi investasi ini pada berbagai aset lain.

Apa itu dollar-cost averaging?

Dollar-cost averaging (DCA) adalah investasi yang dilakukan dengan membeli aset tertentu dalam jumlah yang tetap dan jadwal yang teratur, tanpa melihat harga aset. Investor membeli dengan modal yang tetap, sehingga investor mendapatkan lebih banyak aset ketika harga rendah, dan lebih sedikit aset ketika harga tinggi.

Misalnya Anda menetapkan Rp 1.000.000 sebagai modal investasi Anda tiap bulan, maka Anda akan tetap menginvestasikan jumlah tersebut setiap bulan, tanpa memperdulikan apakah harga Bitcoin sedang naik atau sedang turun. Jadi, ketika harga Bitcoin sedang turun, Anda akan mendapatkan lebih banyak Bitcoin dengan membayarkan Rp 1.000.000,-, ketika harga sedang naik, Anda akan mendapatkan lebih sedikit Bitcoin.

Dengan dollar-cost averaging (DCA), Anda akan lebih fokus pada strategi investasi jangka panjang. Anda tidak perlu memikirkan harga naik turun yang terjadi tiba-tiba, asalkan Anda tetap bertahan pada rencana investasi yang teratur. Lalu, bagaimana perhitungan keuntungannya? Di bawah ini, kami memberikan contoh perbandingan strategi investasi dengan lump sum dan dollar cost averaging (DCA).

1) Investasi dengan strategi LUMP SUM
Misalkan Anda membeli Bitcoin pada awal tahun dengan uang Rp. 120.000.000,- ketika harga Bitcoin adalah Rp. 5.000.000,- per BTC. Artinya, Anda telah membeli 24 Bitcoin (Rp. 120.000.000 dibagi Rp. 5.000.000).

Pada akhir tahun, harga naik menjadi Rp. 6.000.000 per BTC. Anda memiliki 24 Bitcoin maka total keuntungan Anda adalah Rp 24.000.000,- (24 * Rp 6.000.000 = Rp 144.000.000,- dan modal awal Anda adalah Rp 120.000.000,-).

ROI (Return of Investment) atau keuntungan Anda adalah 20%.

2) Investasi dengan strategi Dollar Cost Averaging (DCA)
Jika Anda menggunakan metode DCA, mari misalkan Anda membeli dengan uang Rp 10.000.000,- setiap bulan selama 12 bulan, tanpa melihat berapa harga pada bulan itu. Ketika harga Bitcoin turun, berarti Anda membeli lebih banyak Bitcoin, dan ketika harga Bitcoin naik, berarti Anda membeli lebih sedikit Bitcoin. Namun jumlah total yang Anda keluarkan adalah Rp. 120.000.000, sama seperti contoh 1.

Investasi jumlah yang sama setiap bulannya
Investasi jumlah yang sama setiap bulannya

Pada kasus ini, Anda membeli total 24.29 Bitcoin, karena Anda secara konsisten melakukan investasi (di contoh ini, membeli ketika harga turun).

Lalu pada akhir tahun, aset Anda bernilai 24.29 x Rp 6.000.000,- = Rp. 145.740.000,-. Anda telah mendapatkan keuntungan sebesar Rp 25.740.000, yaitu ROI sebanyak 22% (2% lebih banyak dari contoh sebelumnya).

Dengan dollar-cost averaging, Anda akan mengurangi resiko pasar dan membangun investasi Bitcoin Anda seiring berjalannya waktu, tanpa terlalu bergantung pada tren pergerakan harga pasar Bitcoin. Anda juga akan menghemat waktu memprediksi dan memonitor harga Bitcoin dari waktu ke waktu.

Hal yang perlu Anda ingat

  • Dollar-cost averaging adalah strategi yang lebih sesuai untuk investor dengan toleransi resiko yang lebih rendah dan visi investasi jangka panjang.
  • Strategi ini lebih sesuai jika digunakan dalam jangka waktu yang lama dengan investasi yang bersifat fluktuatif seperti Bitcoin.
  • Strategi ini tidak menjamin keuntungan besar atas investasi Anda. Intinya adalah untuk tidak menggunakan emosi dan melihat investasi dengan perspektif jangka panjang.
  • Bitcoin adalah aset yang cocok untuk mencoba metode dollar-cost averaging. Harga sedikit lebih fluktuatif dari aset lain dan prospek jangka panjang adalah sifat unik Bitcoin.

Tidak ada strategi investasi yang sempurna, jadi penting bagi setiap investor untuk terbuka akan ide-ide lainnya dan mencoba berbagai metode investasi yang sesuai dengan karakteristik para investor dan juga karakteristik aset investasi.

Selamat melakukan investasi Bitcoin!


Sebelumnya dikenal dengan nama BitX, Luno adalah platform jual, beli, kirim, terima, dan simpan Bitcoin di Indonesia. Luno tersedia di website, iOS, dan Android.

Cara Mendapatkan Bitcoin

Artikel ini adalah bagian seri edukasi Bitcoin oleh Luno (sebelumnya BitX) Indonesia.

Di artikel pertama, kami telah menjelaskan mengenai tiga karakteristik utama Bitcoin agar Anda dapat lebih memahaminya. Lalu di artikel kedua, kami mengulas bagaimana harga Bitcoin ditentukan. Di artikel ini, kami akan menjelaskan berbagai cara untuk mendapatkan Bitcoin.

Ada beberapa cara untuk mendapatkan Bitcoin:

Menerima Bitcoin

Jika Anda memiliki toko atau melakukan usaha online, Anda dapat menerima Bitcoin sebagai metode pembayaran untuk transaksi penjualan produk atau jasa Anda. Anda dapat membuat dompet Bitcoin Anda pribadi di platform penyedia layanan Bitcoin dan menggunakan Bitcoin Wallet Address (alamat dompet Bitcoin) Anda untuk mulai menerima Bitcoin. Biasanya, menerima Bitcoin lebih murah dan mudah daripada metode pembayaran lainnya, dan cara ini adalah salah satu cara termudah untuk mendapatkan sedikit Bitcoin.

Berbagai platform penyedia layanan Bitcoin menawarkan API yang dapat Anda gunakan untuk mulai menerima Bitcoin, seperti Luno. Anda dapat menghubungi Customer Support mereka untuk dibantu dalam penggunaan API untuk merchant Anda.

Beli Bitcoin dari platform jual beli Bitcoin

Cara lain adalah cara yang paling banyak digunakan orang untuk mendapatkan Bitcoin: membeli dari broker Bitcoin terpercaya atau penyedia layanan Exchange, seperti Luno. Cara ini mirip seperti ketika Anda membeli mata uang atau saham asing di bank atau money changer. Bedanya, Anda melakukan pembelian mata uang digital Bitcoin secara online. Ini merupakan cara termudah untuk mendapatkan Bitcoin karena Anda dipastikan akan menemukan seseorang yang akan menjualkan Bitcoin mereka kepada Anda di platform tersebut.

Perhatikan bahwa Anda perlu memastikan platform penyedia layanan jual beli Bitcoin yang Anda pilih adalah platform global yang terpercaya. Selain itu, pastikan platform tersebut memungkinkan Anda membeli dengan mata uang lokal Anda, dan menarik dana ke rekening bank lokal Anda dengan biaya yang ramah.

Menambang Bitcoin/Bitcoin Mining

Anda juga dapat memiliki Bitcoin dengan melakukan penambangan (mining), namun cara ini sangat sulit dilakukan oleh perseorangan.

Penambangan Bitcoin (Bitcoin Mining) adalah salah satu cara untuk mendapatkan Bitcoin. Seperti yang disebutkan sebelumnya, kita dapat melihat Bitcoin sebagai suatu sistem kas global yang besar yang menyimpan sejarah transaksi (atau ‘pergerakan uang’) dari satu orang ke orang lainnya. Ketika transaksi Bitcoin diproses di jaringan Bitcoin, artinya Bitcoin sedang dipindah dari satu orang ke orang lainnya, ada satu peran yang harus dilakukan oleh pihak ketiga. Pihak ketiga ini akan berperan dalam memastikan bahwa semua transaksi telah direkam dengan benar dan sistem kas telah tersinkronisasi di seluruh dunia.

Dalam hal Bitcoin, proses ini bukan dilakukan oleh perseorangan atau perusahaan, namun oleh ribuan komputer di seluruh dunia yang terhubung dengan internet. Komputer ini dikenal sebagai miners atau ‘penambang’. Secara sederhana, mereka adalah ‘komputer yang memproses transaksi’.

Untuk melakukan pemrosesan ini dengan cara yang aman, komputer-komputer perlu melakukan kalkulasi kompleks yang memakan usaha computing yang sangat besar, sehingga dibutuhkan juga energi yang besar serta alat-alat khusus yang canggih. Seseorang — pemilik dari komputer-komputer ini — perlu membayar untuk alat-alat dan listrik tersebut, jadi mereka perlu mendapatkan kompensasi dari seluruh usaha dan uang yang mereka habiskan untuk mendukung jaringan ini.

Mereka mendapatkan kompensasi melalui Bitcoin yang berhasil mereka tambang. Bitcoin baru yang ditambang bertindak sebagai penghargaan dan insentif untuk mereka yang berkontribusi dalam jaringan Bitcoin, karena mereka telah mendukung proses transaksi.

Cara lain untuk mengerti hal ini adalah dengan membayangkan apa yang terjadi jika bank besar membangun sistem pemrosesan transaksi global terbesar di dunia: mereka akan menghabiskan milyaran dollar untuk membuat sistem tersebut. Dengan itu, mereka lalu mengenakan biaya transaksi kecil pada para pengguna untuk menutup biaya yang telah mereka habiskan.

Dengan Bitcoin mining, biaya untuk sistem global ini dibagi ke ribuan komputer, dan mereka menutup biaya operasional mereka dengan Bitcoin yang baru ditambang. Dengan cara ini mereka mendapatkan sedikit Bitcoin. Proses penambangan Bitcoin ini adalah demokratisasi infrastruktur finansial yang sesungguhnya.

Kebanyakan penambangan dilakukan oleh perusahaan besar dengan alat yang canggih dan sangat mahal, sehingga sulit bagi orang atau komputer biasa untuk bersaing dengan perusahaan tersebut. Jadi, jika Anda tidak memiliki keahlian khusus dan uang yang banyak untuk dihabiskan untuk komputer-komputer khusus tersebut, pilihan yang lebih baik adalah dengan membeli Bitcoin atau menerima Bitcoin.


Sebelumnya dikenal dengan nama BitX, Luno adalah platform jual, beli, kirim, terima, dan simpan Bitcoin di Indonesia. Luno tersedia di website, iOS, dan Android.

Cara Menentukan Harga Bitcoin

Artikel ini adalah bagian dari seri edukasi Bitcoin oleh Luno (sebelumnya BitX) Indonesia.

Di artikel pertama, kami telah menjelaskan mengenai tiga karakteristik utama Bitcoin agar Anda dapat lebih memahaminya. Kini, kami akan mengulas mengenai bagaimana harga BItcoin ditentukan. Apakah ada yang mengontrol harga Bitcoin? Mengapa harga Bitcoin berubah setiap menit, bahkan setiap detik?

Analogi penentuan harga jeruk

Pertama-tama, ketahuilah bahwa cara kerja pergerakan harga Bitcoin sama seperti mata uang atau obyek lainnya. Mari kita ambil contoh bagaimana harga suatu obyek ditentukan, misalnya menggunakan jeruk sebagai perumpamaan. Berapa harga jeruk?

Jawabannya: tergantung. Penentuan harga jeruk dipengaruhi oleh dua hal berikut: harga yang diinginkan oleh orang yang menjualnya, dan harga yang diinginkan oleh orang yang membelinya. Jika Budi ingin menjual jeruk dengan harga Rp 3.000,- dan Sarah hanya mau membayar Rp 2.000,- maka deal tidak terjadi. Namun jika Budi dan Sarah sepakat dengan harga tertentu, misalnya Rp 2.500,-, maka deal terjadi dan transaksi berlangsung.

Selain itu, konteks dan lingkungan pasar juga akan mempengaruhi harga jeruk. Pada musim panas, lebih banyak orang mau membeli jeruk, sehingga harga jeruk akan naik. Atau jika ada bencana alam seperti banjir sehingga persediaan jeruk berkurang, semakin banyak orang kesulitan membeli jeruk sehingga harga jeruk juga akan naik.

Perbedaan jeruk dan uang

Penentuan harga Bitcoin sebenarnya sama seperti harga jeruk. Harga penawaran (dari mereka yang menjual) dan harga permintaan (dari mereka yang membeli) menentukan harga barang tersebut. Namun, ada sedikit perbedaan. Bitcoin dan mata uang lain sedikit berbeda dari jeruk karena mereka bersifat ‘homogen’. Satu dollar identik dengan dollar lainnya, satu Bitcoin identik dengan Bitcoin lainnya.

Jeruk, di sisi lain, dapat berbeda-beda tergantung ukuran dan kualitas jeruk tersebut, sehingga harga jeruk juga berbeda mengikuti ukuran dan kualitasnya. Jadi sebenarnya, lebih gampang menentukan harga Bitcoin atau mata uang karena sifat identik yang dimiliki uang tersebut.

Mata uang digital Bitcoin dan mata uang konvensional

Banyak orang tidak menyadari bahwa mata uang lainnya juga bekerja sama persis seperti Bitcoin – jika Anda sedang memegang koin atau uang kertas Rupiah di tangan Anda saat ini, pada saat yang bersamaan ada jutaan orang yang melakukan jual beli Rupiah, baik di dalam negeri maupun luar negeri.

Jadi walaupun Anda merasa harga mata uang Anda cenderung stabil, sebenarnya harga Rupiah berubah secara terus menerus. Jika Anda ingin menukarkan Rupiah Anda ke mata uang lain, misalnya Dollar Singapura, mungkin Anda akan membayar dengan 10 lembar Rupiah Anda hari ini, namun pada hari berikutnya bisa saja Anda memerlukan 11 atau 9 lembar Rupiah.

Bitcoin bekerja persis seperti itu – Anda dapat membayangkannya seperti mata uang jenis baru dari apa yang Anda miliki sekarang. Perbedaan Bitcoin dan mata uang biasa (seperti Rupiah dan Dollar) ada pada entitas yang mengontrolnya. Contohnya, Rupiah dikontrol oleh Bank Indonesia (BI). Dengan begitu, BI akan melakukan kebijakan untuk mencegah adanya inflasi atau perubahan harga atau nilai Rupiah yang signifikan. Berbeda dengan Rupiah, Bitcoin tidak dikontrol entitas apapun.

Jadi, sebenarnya alasan mengapa harga Bitcoin lebih fluktuatif dibandingkan mata uang lainnya adalah tidak adanya satupun entitas yang mengontrol harga Bitcoin. Harga Bitcoin ditentukan oleh semua orang yang memiliki Bitcoin (berapapun jumlahnya). Jika Anda memiliki Bitcoin saat ini, Anda termasuk salah satu orang yang menentukan harga Bitcoin. Jika Anda tiba-tiba menjual semua Bitcoin Anda, maka harga akan bergerak turun (karena penawaran/supply kini bertambah). Begitu juga jika Anda tiba-tiba ingin membeli banyak Bitcoin, Anda telah berkontribusi pada jumlah permintaan (demand) Bitcoin, sehingga harga akan bergerak naik.

Sekarang bayangkan ada jutaan orang yang memiliki Bitcoin di dunia dengan harga jual dan harga beli yang berbeda-beda. Dengan mengumpulkan mereka semua, Anda akan mendapatkan nilai tengah pasar antara harga permintaan dan harga penawaran. Itulah harga Bitcoin pada saat itu.


Sebelumnya dikenal dengan nama BitX, Luno adalah platform jual, beli, kirim, terima, dan simpan Bitcoin di Indonesia. Luno tersedia di website, iOS, dan Android.

Membuat Nyata Blockchain untuk Bisnis

Di era tahun 1990-an, dengan munculnya suatu teknologi World Wide Web dan eBusiness, kita diperkenalkan dengan beberapa kemudahan untuk berkomunikasi dan kemudahan untuk mendapatkan data baik secara internal di dalam satu perusahaan atau eksternal secara global.

Teknologi ini semakin maju, dari mulai berkomunikasi secara individual sampai dengan kolaborasi untuk membentuk suatu ekosistem dalam melaksanakan tugas-tugas bisnis serta kemudahan untuk melakukan integrasi antara satu sistem dengan sistem yang lain, baik internal ataupun eksternal dari satu perusahaan.

Dengan adanya teknologi yang begitu canggih, banyak kebiasaan, bisnis atau proses yang hilang dan digantikan dengan berbagai kemudahan dan kenyamanan bagi semua penggunanya. Sebagai contoh penggunaan email, fasilitas chat, dan social media telah menghilangkan kebutuhan kita untuk pergi ke kantor pos, mengurangi biaya (tidak perlu lagi membeli perangko) dan mengurangi pekerjaan-pekerjaan yang memerlukan kertas (mengurangi administasi dengan kertas). Semua proses ini dilaksanakan dalam waktu yang sangat cepat (hitungan detik). Sebelumnya proses itu memerlukan waktu dalam hitungan hari tergantung pada lokasi tujuan).

Dengan adanya fasilitas berkomunikasi yang lebih baik, hampir semua perusahaan berupaya untuk membentuk suatu model bisnis yang memudahkan pelanggan berinteraksi di dalam ekosistem atau bisnis network-nya untuk memperbaiki penjualan atau proses bisnis.

Di era teknologi e-business ini, integrasi antara masing-masng peserta bisnis di business network-nya masih secara point-to-point. Proses/interaksi antara satu member dengan member lainnya tidak diketahui oleh member lain dan masing-masing member menyimpan data-data transaksi/interaksinya di sistemnya masing-masing.

Proses demikian akan memakan waktu yang lama, tidak efisien, mahal, dan rentan terhadap penipuan untuk setiap tahap proses bisnisnya. Proses tersebut dapat dibantu oleh adanya Blockchain. Analis industri menganggap Blockchain sebagai revolusi teknologi untuk bisnis.

Apakah itu Blockchain dan manfaatnya?

Saat ini kalangan umum lebih banyak mengenal istilah Bitcoin dibanding Blockchain. Bitcoin mulai ditemukan di tahun 2008, merupakan suatu metode ‘cryptocurrency’, mata uang digital yang tidak diatur dan tidak membutuhkan izin dari bank sentral di seluruh dunia. Sistem Bitcoin dilaksanakan untuk melakukan transaksi cryptocurrency di antara para penggunanya secara langsung, tanpa melibatkan pihak penengah.

Bitcoin merupakan implementasi pertama dari teknologi Blockchain. Blockchain merupakan fondasi untuk membentuk suatu aplikasi yang akan membentuk kepercayaan dan transparansi. Para anggota menggunakan Bitcoin (sebagai digital currency) untuk melakukan pembayaran. Setelah transaksi Bitcoin terjadi, data-data transaksi akan dicatat sistem di dalam satu blok yang dilengkapi dengan satu hash data (yang sudah di-encrypt) yang menunjukkan informasi dari transaksi sebelumnya. Data-data transaksi yang tercatat tersebut saling berkaitan satu sama lainnya. Inilah yang merupakan konsep dari Blockchain.

Bitcoin adalah contoh paling dikenal untuk penggunaan Blockchain / Pixabay
Bitcoin adalah contoh paling dikenal untuk penggunaan Blockchain / Pixabay

Blockchain system adalah suatu sistem yang terbuka, yang memiliki shared ledger (mencatat semua transaksi/kegiatan permanen antara dua anggota atau lebih) yang direplikasi dan didistribusikan kepada masing-masing member dari jaringan bisnisnya.

Jaringan bisnis yang dibentuk bersifat tertutup (akses hanya diberikan untuk anggota yang bersangkutan), berizin (hanya anggota yang diberi izin yang bisa bergabung dengan jaringan bisnis), dan rahasia (dengan menggunakan teknologi cryptography, anggota hanya bisa mengakses/melihat data/proses yang diberikan saja).

Di dalam sistem blockchain ini, dibentuk consensus pada jaringan bisnisnya untuk menentukan kebenaran transaksi bersangkutan dan transaksi yang tercatat dianggap final dan tidak bisa diubah.

Pada tahun 2016, sebuah panel yang beranggotakan para pakar dari seluruh dunia berkumpul di World Economic Forum dan memilih teknologi terpenting yang belakangan ini menjadi paling tren. Blockchain terpilih menjadi salah satu tren teknologi dari Top Ten Emerging Technology, yang dianggap cukup disruptive dan bisa merubah cara bisnis di berbagai sektor.

Manfaat penggunaan Blockchain antara lain:
a. Waktu proses menjadi lebih cepat, karena masing-masing transaksi/proses akan dikerjakan mendekati otomatisasi dan dilengkapi dengan proses yang bisa dipercaya
b. Mengurangi biaya berlebihan dan perantara
c. Menghindari risiko kejahatan perusakan dan penipuan
d. Meningkatkan kepercayaan untuk bertransaksi dengan adanya neraca bersama dan concensus

Komponen utama Blockchain

Berikut ini adalah komponen utama sistem Blockchain:

1. Shared Ledger (neraca bersama)
Sistem Blockchain akan mencatat semua transaksi yang terjadi di dalam jaringan bisnisnya. Setiap transaksi yang terjadi akan dicatat dengan menambahkan suatu hash (encrypted data) dari transaksi yang sebelumnya. Transaksi akan didistribusi dan direplikasi ke anggota dari jaringan bisnisnya dan hanya anggota yang diberikan izin akses akan dapat melihat/akses transaksi yang bersangkutan.

2. Smart Contract
Smart Contract adalah suatu business logic yang dibuat menggunakan Programming Language untuk mendefinisikan proses-proses atau kontrak agar transaksi bisa berjalan sesuai dengan kebutuhan, baik dari segi proses bisnis, kondisi bisnis, audit atau yang lainnya.

Sebagai contoh, dalam pengiriman barang dari satu kota ke kota lain, bisa dipasang alat IoT (Internet of Things) untuk memantau temperatur paket yang dikirim. Bila temperatur paket tersebut di luar dari batas yang ditentukan, maka proses pengiriman barang akan dibatalkan dan pembayaran pun tidak akan dilaksanakan. Logika di atas bisa dibuat di dalam Smart Contract, yang akan dilaksanakan setiap kali transaksi pengiriman barang terjadi di dalam jaringan bisnis menggunakan sistem Blockchain.

3. Privacy (Kerahasiaan)
Transaksi-transaksi yang tercatat di Blockchain dibagikan kepada masing-masing anggota di dalam jaringan bisnisnya, tetapi dengan adanya sistem teknologi kriptografi, masing-masing transaksi dan anggota jaringan bisnis memiliki Privacy (kerahasiaan).

Tidak semua anggota jaringan bisnis bisa melihat semua tansaksi yang terjadi di dalam sistem Blockchain-nya. Cryptographic dan certification management akan mengontrol siapa yang bisa melihat apa dan data-data apa yang mereka bisa lihat.

4. Consensus/Trust (Kesepakatan)
Consensus adalah suatu mekanisme untuk melakukan validasi dan komitmen mengenai kebenaran dari transaksi yang terjadi.

Contoh kasus

Contoh kasus bisnis menggunakan solusi Blockchain dari IBM:

  1. Solusi perdagangan internasional menggunakan Blockchain https://ibm.biz/BdijFw
  2. Bagaimana Walmart menggunakan sistem Blockchain untuk meningkatkan pelacakan suplai makanan https://ibm.biz/BdijF5
  3. IBM dan  China UnionPay E-payment Research Institute mendemokan bagaimana poin bonus dapat digunakan secara bersama antar berbagai bank menggunakan Blockchain https://ibm.biz/BdijEc
  4. Raksasa pelayaran Maersk bereksperimen dengan blockchain untuk bills of lading https://ibm.biz/BdijER


Disclosure: tulisan tamu ini dibuat oleh Sianny Gandasasmita. Sianny saat ini bekerja sebagai Banking Technical Advisor di Financial Services Sector – IBM Indonesia. Ia bisa dihubungi melalui email [email protected], LinkedIn, atau Twitter