Razer BlackShark V2 Padukan Desain Klasik ala Headset Pilot Helikopter dengan Sejumlah Fitur Modern

Razer punya headset gaming baru, atau lebih tepatnya versi baru dari salah satu headset lawasnya. BlackShark V2 merupakan penerus langsung dari headset bernama sama yang Razer luncurkan sekitar 8 tahun silam, dan kalau Anda ingat dengan perangkat tersebut, bisa kita lihat bahwa Razer masih mempertahankan desain ala headset pilot helikopter pada BlackShark V2.

Desainnya tentu sudah disempurnakan. Dari segi visual, saya pribadi lebih suka generasi pertamanya yang kelihatan klasik, akan tetapi versi barunya ini sepintas terkesan lebih nyaman berkat bantalan kepala yang lebih tebal. Rangkanya terbuat dari bahan stainless steel, dan bobotnya cukup ringan di angka 262 gram.

Lapisan breathable yang membalut bantalan memory foam-nya diyakini dapat meminimalkan panas di sekitar telinga. BlackShark V2 tidak dilengkapi fitur active noise cancelling (ANC), tapi earcup-nya yang besar setidaknya bisa memberikan isolasi suara secara pasif. Satu hal yang paling saya suka dari desainnya adalah adanya kenop untuk mengatur volume di earcup sebelah kiri.

Terkait kualitas suara, BlackShark V2 mengandalkan driver TriForce Titanium berdiameter 50 mm rancangan Razer sendiri. Namanya merujuk pada tuning yang dilakukan secara terpisah di tiap-tiap rentang frekuensi (low, mid, high), dan menurut Razer desain semacam ini mampu bertindak seperti tiga unit driver yang terpisah.

Hadir sebagai pelengkap tentu saja adalah dukungan THX Spatial Audio seperti sejumlah headset Razer yang lain. Pun demikian, yang baru di sini adalah fitur spesifik bernama THX Game Profiles, yang dirancang untuk mengoptimalkan audio di tiap-tiap game yang berbeda. Sejauh ini, Razer bilang sejauh ini sudah ada 18 judul permainan kompetitif yang didukung oleh fitur ini.

THX Game Profiles sendiri dapat diaktifkan dengan dua mode yang berbeda: Environmental Mode atau Competitive Mode. Environmental dirancang untuk meningkatkan kesan immersive yang timbul, kedengarannya cocok untuk permainan singleplayer yang santai macam Red Dead Redemption 2, sedangkan Competitive dimaksudkan untuk positioning suara yang lebih akurat.

Untuk input-nya, BlackShark V2 datang membawa mikrofon tipe cardioid yang dapat dilepas-pasang. Karakter suara yang ditangkap mikrofonnya ini bisa diatur lebih lanjut via software, sebab BlackShark V2 turut dilengkapi sound card USB dalam paket penjualannya. Sayangnya komponen ini cuma kompatibel dengan PC, dan untuk perangkat lain BlackShark V2 cuma bisa disambungkan via jack 3,5 mm.

Razer BlackShark V2 saat ini telah dipasarkan seharga $100. Kalau itu terlalu mahal, Razer juga menyediakan BlackShark V2 X yang dihargai $30 lebih murah di Amerika Serikat. Desain keduanya cukup identik, hanya saja BlackShark V2 X tidak dilengkapi lapisan bantalan yang breathable seperti versi standarnya, dan kabelnya juga terbuat dari bahan karet biasa ketimbang yang sangat fleksibel (SpeedFlex) seperti di BlackShark V2.

Beberapa fitur versi standarnya juga sudah dipangkas. Yang paling utama, BlackShark V2 X tidak dilengkapi sound card USB, dan ia hanya menawarkan fitur virtual surround 7.1 generik ketimbang THX Spatial Audio. Unit driver-nya pun agak sedikit berbeda, tetap TriForce tapi tanpa balutan titanium.

Sumber: Razer.

Logitech Pro X Wireless Padukan Koneksi Rendah Latency dan Kinerja Mic yang Andal

Logitech punya banyak headset gaming, tapi salah satu yang paling unggul baru hadir tahun lalu, yakni Pro X yang dibekali teknologi pengolahan input audio mutakhir besutan Blue, perusahaan yang sudah malang-melintang di industri mikrofon sejak tahun 1995, dan yang sekarang sudah menjadi anak perusahaan Logitech.

Kalau ditanya apa kekurangan Pro X, mungkin sebagian besar konsumennya akan menjawab absennya konektivitas wireless. Keluhan mereka akhirnya terjawab hari ini. Logitech baru saja meluncurkan versi wireless dari Pro X, dan kalau Anda mengikuti perkembangan Logitech dalam satu atau dua tahun terakhir, tentu saja Anda tahu Pro X Wireless ini datang membawa embel-embel Lightspeed.

Sekadar mengingatkan, Lightspeed merujuk pada teknologi wireless racikan Logitech yang diyakini punya latency sangat rendah sekaligus koneksi yang amat stabil – ya asalkan Anda tidak berada lebih jauh dari 13 meter dari PC atau laptop tempat dongle USB-nya menancap – dibanding koneksi wireless 2.4 GHz pada umumnya. Lightspeed selama ini baru tersedia di keyboard dan mouse saja, dan Pro X menjadi debut perdananya di kategori headset.

Logitech tak lupa menjelaskan bagaimana Lightspeed juga berpengaruh positif terhadap efisiensi daya. Dalam sekali pengisian, baterai milik Pro X Wireless diyakini mampu bertahan sampai 20 jam pemakaian. Tentunya angka itu bisa berubah kalau pengguna juga aktif mengubah-ubah volumenya.

Bicara soal mengubah volume, Pro X Wireless dilengkapi kenop volume di earcup sebelah kirinya, di dekat port USB-C dan colokan 3,5 mm tempat mikrofonnya bernaung. Mikrofonnya ini bisa dilepas seandainya pengguna sedang ingin memakai headset hanya untuk mendengarkan musik saja, dan seperti yang saya bilang di awal, kompatibel dengan teknologi Blue VO!CE yang menjadi bagian dari software Logitech G Hub.

Selebihnya, Pro X Wireless tetap mempertahankan semua keunggulan versi berkabelnya, mulai dari konstruksi aluminium dan stainless steel yang premium sekaligus kokoh, serta driver 50 mm yang mendukung fitur surround 7.1 channel DTS Headphone:X 2.0 untuk menyajikan positioning secara presisi.

Terkait ergonomi, Pro X Wireless tetap hadir membawa dua set bantalan telinga yang bisa digonta-ganti seperti versi standarnya; satu yang berbalut kulit sintetis, dan satu lagi berlapis velour. Bobotnya secara keseluruhan cuma berkisar 370 gram.

Logitech Pro X Wireless rencananya akan dipasarkan mulai bulan Agustus. Di Amerika Serikat, harganya dipatok $200, cukup mahal dan terpaut $70 dari Pro X biasa yang sejatinya berfitur sama minus koneksi wireless.

Sumber: Logitech.

Audeze Luncurkan Headset Gaming Wireless Baru, Kali Ini Tanpa Gimmick Head Tracking

Produsen headphone yang populer di kalangan audiophile, Audeze, kembali meluncurkan sebuah headset gaming anyar bernama Penrose. Ini merupakan headset gaming ketiga Audeze setelah Mobius di tahun 2018 dan LCD-GX di tahun 2019.

Secara fisik, Penrose kelihatan mirip seperti Mobius, akan tetapi ada satu faktor pembeda yang sangat signifikan: Penrose tidak mewarisi teknologi head tracking yang dimiliki Mobius. Sebagai gantinya, Penrose lebih berfokus menyajikan performa wireless terbaik dengan latency yang rendah.

Meski kesannya Penrose kalah canggih atau kalah inovatif dibanding Mobius, sebagian konsumen mungkin justru menilai head tracking terlalu gimmicky. Penrose sepertinya juga tidak dimaksudkan untuk menggantikan Mobius, sebab Mobius sampai sekarang masih terpampang di situs Audeze dengan banderol $399, $100 lebih mahal ketimbang Penrose.

Penrose dengan aksen biru, Penrose X dengan aksen hijau / Audeze
Penrose dengan aksen biru, Penrose X dengan aksen hijau / Audeze

Penrose hadir dalam dua varian: Penrose untuk PS4, PS5, PC dan Mac; Penrose X untuk Xbox One, Xbox Series X dan PC. Kedua varian menawarkan fitur dan spesifikasi yang sama persis, dengan perbedaan hanya pada dongle wireless 2,4 GHz-nya, serta aksen warna yang mengitari bagian earcup-nya.

Varian manapun yang konsumen pilih dipastikan kompatibel dengan Nintendo Switch, dan keduanya turut mengemas Bluetooth 5.0 yang mendukung codec SBC maupun AAC sebagai pelengkap. Istimewanya, koneksi 2,4 GHz dan Bluetooth ini bisa berjalan secara bersamaan, yang artinya pengguna bisa mendengarkan audio dari console sekaligus dari smartphone, sangat cocok buat yang rutin berbincang di Discord selama sedang bermain, atau buat yang ingin menyambi mendengarkan podcast.

Audeze Penrose

Sesuai dengan tradisi Audeze selama ini, Penrose hadir mengusung driver planar magnetic berdiameter 100 mm. Mikrofonnya berwujud fleksibel dan bisa dilepas-pasang, serta dilengkapi filter terintegrasi yang diyakini mampu mengeliminasi suara di sekitar pengguna sampai 20 dB. Secara keseluruhan, bobot Penrose tercatat di angka 320 gram.

Dalam sekali pengisian, baterainya diklaim bisa bertahan sampai sekitar 15 jam pemakaian. Charging-nya sudah mengandalkan sambungan USB-C, dan Penrose rupanya tetap bisa dipakai seperti headset biasa menggunakan kabel 3,5 mm.

Audeze Penrose rencananya akan dipasarkan pada bulan September mendatang dengan harga $299. Namun Audeze sudah membuka gerbang pre-order mulai sekarang, dan para pemesan dapat menerima potongan harga senilai $50.

Sumber: Trusted Reviews.

HyperX Luncurkan Dua Headset Gaming Terjangkau dengan Dukungan Suara Surround 7.1

Kingston, melalui divisi gaming-nya, HyperX, adalah salah satu pabrikan headset gaming yang paling produktif. Portofolio mereka sangat lengkap, dan mereka juga belum menunjukkan tanda-tanda hendak berhenti.

Baru-baru ini, mereka memperkenalkan dua headset gaming anyar: HyperX Cloud Stinger Core dan HyperX Cloud Stinger Core Wireless. Keduanya merupakan perangkat yang identik, dengan perbedaan hanya di konektivitas (satu berkabel, satu nirkabel).

Fitur unggulan kedua headset ini adalah virtual surround 7.1 berbasis software. Meski cuma berbasis software, sebelum ini virtual surround cuma tersedia pada lini headset HyperX yang lebih premium dari lini Cloud Stinger. Ya, kedua perangkat ini sama-sama diposisikan di kategori ramah kantong dengan banderol masing-masing $60 (Core) dan $80 (Core Wireless).

HyperX Cloud Stinger Core dan Core Wireless

Secara teknis, Cloud Stinger Core dan Core Wireless dibekali sepasang dynamic driver berdiameter 40 mm, dengan respon frekuensi di kisaran 20 – 20.000 Hz. Input-nya mengandalkan mikrofon uni-directional yang dilengkapi teknologi noise cancelling beserta fitur swivel-to-mute.

Sepintas kedua headset ini tampak bongsor, tapi rupanya bobotnya tidak sampai seperempat kilogram. Fitur pemanis seperti tombol-tombol pengoperasian di sisi luar earcup (termasuk kenop volume) turut tersedia. Khusus Core Wireless, baterainya diperkirakan bisa bertahan sampai 16 jam pemakaian.

Sumber: Business Wire.

Asus ROG Strix Go 2.4 Gunakan AI untuk Memaksimalkan Kinerja Mic Noise Cancelling-nya

Tren terkini menunjukkan bahwa kecerdasan buatan alias AI dapat dimanfaatkan untuk menyempurnakan hampir semua hal. Tidak terkecuali performa mikrofon pada gaming headset, seperti yang ingin dibuktikan Asus lewat produk terbarunya, ROG Strix Go 2.4.

Buat Asus, mikrofon dengan teknologi noise cancelling saja rupanya masih belum cukup. Dua mikrofon milik Strix Go – satu eksternal dan satu tertanam di dalam – sama-sama dibekali algoritma AI yang diklaim telah mempelajari suara-suara yang perlu dieliminasi dari sekitar 50 juta jam rekaman audio dalam sesi gaming.

Mulai dari suara klik keyboard sampai percakapan orang, Asus mengklaim semuanya bakal diblokir oleh teknologi rancangan mereka. Untuk membuktikannya, mereka mencoba merekam audio selagi berada di tengah-tengah event gaming yang begitu ramai. Anda bisa melihat sendiri sesignifikan apa kinerja noise cancelling Strix Go melalui video di bawah ini.

Memang belum bisa dikatakan sempurna, sebab masih ada sejumlah suara yang masuk, terutama suara nafas dari host-nya sendiri. Namun menjelang akhir video, sang host juga sempat melepas headset untuk menunjukkan seberapa ramai suasana di lokasi, dan perbedaannya sangatlah signifikan.

Strix Go 2.4 sendiri mendapat namanya dari dongle USB-C 2.4 GHz RF yang hadir menemaninya, sehingga ia dapat digunakan dengan perangkat seperti Nintendo Switch. Di luar itu, konsumen tetap bisa menggunakannya dengan perangkat lain berkat adaptor USB-C ke USB 2.0 yang tersedia dalam paket penjualan, tidak ketinggalan juga kabel dengan jack 3,5 mm.

Asus ROG Strix Go 2.4

Fisik Strix Go pun cukup ringkas, dengan bobot cuma 290 gram dan earcup yang dapat ditekuk ke dalam. Dalam sekali pengisian, baterainya diyakini dapat bertahan sampai 25 jam nonstop. Dukungan fast charging pun turut tersedia; charging selama 15 menit disebut cukup untuk menenagai perangkat selama 3 jam ke depan.

Satu lagi yang saya suka, desainnya tergolong minimalis untuk standar perangkat gaming dan tidak norak seperti gaming headset pada umumnya. Di Inggris, Asus ROG Strix Go 2.4 rencananya bakal dipasarkan mulai bulan Desember seharga £160.

Sumber: PC Gamer.

Razer Kraken Ultimate Hidangkan THX Spatial Audio Demi Memaksimalkan Performa Gamer Kompetitif

Gamer FPS kompetitif pasti tahu betapa pentingnya audio buat mereka. Menggunakan headset yang mendukung suara surround, mereka dapat bereaksi secara lebih baik, sebab mereka tahu dari mana suara derap kaki musuh berasal, dan secara keseluruhan mereka bisa lebih siaga selama bermain ketimbang saat sedang tidak menggunakan headset serupa.

Tidak semua headset surround diciptakan sama. Ada yang mendukung konfigurasi 5.1 channel, ada yang 7.1, dan ada pula yang dibekali teknologi THX Spatial Audio, salah satu terobosan terbaru di ranah 3D audio. Inilah yang menjadi hidangan utama headset teranyar Razer, Kraken Ultimate.

Razer Kraken Ultimate

Razer bilang THX Spatial Audio punya akurasi yang jauh lebih baik dibanding surround 7.1 biasa. Selain lebih presisi, teknologi ini juga dirancang untuk mencegah pemain terlalu cepat lelah akibat harus berkonsentrasi secara visual maupun aural. Caranya adalah dengan mencocokkan posisi speaker virtual-nya persis dengan jarak sumber suara di dalam game, sehingga pada akhirnya yang lebih banyak bekerja adalah insting pemain ketimbang telinganya.

Yang mungkin menjadi pertanyaan, apakah THX Spatial Audio juga bakal berdampak di luar sesi gaming? Well, pengguna Kraken Ultimate tidak perlu khawatir sebab sudah ada tuas untuk mengaktifkan atau menonaktifkan fitur tersebut kapan saja mereka mau. Tuas tersebut diposisikan di sisi luar earcup, persis di sebelah kenop kecil untuk menyesuaikan volume.

Kraken Ultimate datang membawa sepasang driver 50 mm yang diyakini punya karakter suara yang natural, dan yang diklaim mampu menyuguhkan suara paling mendetail dari seluruh lini Kraken. Selain unggul dari sisi input, Kraken Ultimate juga memprioritaskan output dengan berbekal mikrofon active noise cancelling, yang akan memastikan suara pengguna selalu terdengar jelas dan tidak terganggu suara lain di sekitarnya.

Razer Kraken Ultimate

Fisik headset ini memang tergolong bongsor, akan tetapi bobotnya masih tergolong ringan di angka 390 gram berkat konstruksi yang terbuat dari perpaduan bahan aluminium dan stainless steel. Demi menambah kenyamanan, Razer turut menanamkan gel pendingin di balik masing-masing bantalan telinganya.

Razer Kraken Ultimate saat ini telah dipasarkan seharga $130. Kalau terlalu mahal, Razer juga menawarkan Kraken X USB yang jauh lebih terjangkau ($60), akan tetapi yang hanya berbekal surround 7.1 biasa dan sejumlah pemangkasan lain dibanding Kraken Ultimate.

Sumber: Razer.

Apple Kabarnya Sedang Mengembangkan Headset VR Gaming

Minggu lalu, sebuah kabar menyatakan bahwa Apple telah menggandeng Valve dalam rangka pengembangan headset augmented reality. Langkah ini boleh jadi merupakan kelanjutan dari agenda penggarapan HMD AR yang sudah terdengar sejak dua tahun silam. Teknologi AR biasanya diarahkan ke ranah profesional, tapi Apple sepertinya tetap tertarik untuk menyuguhkan konten hiburan lewat VR.

Kali ini, Bloomberg menginformasikan upaya sang raksasa teknologi asal Cupertino itu menggarap ‘perangkat-perangkat virtual dan augmented reality yang dibekali sistem sensor 3D baru’, berdasarkan laporan sejumlah narasumber. Berdasarkan keterangan tersebut, itu berarti Apple berencana mengembangkan lebih dari satu head-mounted display. Namun sebagai langkah awalnya, perusahaan mencoba mengabungkan VR serta AR lalu memfokuskannya buat kebutuhan gaming.

Salah satu narasumber bilang, Apple berniat untuk mulai mendistribusikan kacamata AR mereka secepat-cepatnya di tahun 2023. Di artikel sebelumnya, saya sempat membahas bagaimana Apple ingin agar teknologi augmented reality mereka matang di 2019 kemudian melepas dalam bentuk produk di tahun 2020. Produsen tampaknya memutuskan buat mengundur agenda mereka. Menurut dugaan Eurogamer, Apple ingin memberi ruang lebih lapan pada peluncuran iPad Pro tahun depan.

CEO Apple Tim Cook sudah lama berbicara serta menunjukkan ketertarikannya pada AR. Segmen ini menjadi fokus Apple setelah sebelumnya mereka mencurahkan perhatian pada iPhone, iPad dan Apple Watch. Tulang punggung dari teknologi ini adalah sistem sensor 3D mutakhir yang tengah digarap selama beberapa tahun. Pada Bloomberg sang narasumber mengaku, sistem ini jauh lebih canggih dari sensor Face ID yang ada di perangkat-perangkat Apple terbaru.

Saat ini, tim teknisi iPhone dan iPad telah mulai berkerja menyambungkan aplikasi-aplikasi serta fitur-fitur di software ke sistem operasi baru (secara internal disebut ‘rOS’). Dengan begini, perangkat-perangkat yang sudah ada sekarang dapat bekerja serta kompatibel dengan headset VR, kacamata AR atau head-mounted display cross reality sejenis yang akan dirilis di masa depan.

Apple kabarnya mengerahkan sekitar 1.000 teknisi demi mengerjakan prakarasa AR dan VR. Proyek besar ini dinahkodai oleh vice president Mike Rockwell. Tim ini terdiri atas pakar dari berbagai macam bidang, dan kepemimpinannya dibagi lagi pada sejumlah eksekutif yang pernah mengerjakan software gaming Apple, hardware iPhone, serta pembuatan software dan manufaktur. Tim juga diperkuat oleh mantan insinyur NASA, mantan developer game, dan pakar grafis.

Sejauh ini memang belum jelas seberapa banyak headset VR dan kacamata AR yang tengah Apple siapkan. Saya juga penasaran bagaimana pada cara perusaahaan memanfaatkan AR/VR di segmen gaming, kemudian akan sejauh apa partisipasi Valve di sana?

NZXT Perkenalkan Ekosistem Produk Audio Perdana Mereka

Didirikan Johnny Hou di 2004, NZXT memulai kiprahnya sebagai produsen case PC, kemudian memperlebar bisnisnya ke ranah penyediaan solusi pendingin, motherboard, unit power supply, hingga aksesori serta sistem pencahayaan LED. Produk-produk NZXT memang sengaja dipasarkan ke gamer, namun ditakar dari aspek kelengkapan, mereka mungkin belum bisa menyamai kompetitor seperti Corsair.

Di minggu ini, perusahaan hardware PC asal Los Angeles itu kembali memperluas portofolio produk melalui peluncuran perangkat audio pertamanya. NZXT menyuguhkannya sebagai ‘ekosistem’, terdiri dari headphone stereo AER, pusat pengendali suara MXER dan stand untuk menaruh headset, STND. Melihat dari cara penyajiannya, NZXT tampaknya mengambil metode penyajian sistem audio secara tradisional.

NZXT AER 2

Mari kita bahas headphone AER terlebih dulu. NZXT menyediakan dua pilihan headset, yaitu varian standar yang dirancang buat mengisolasi suara serta tipe AER Open Headset, menjanjikan fleksibilitas dalam dan ‘kejernihan akustik’. Kedua model mempunyai penampilan hampir serupa (ada rangkaian lubang di sisi luar AER Open Headset) dengan tema minimalis dan bersih. Konstruksinya terbilang konvensional: dua housing speaker ber-earcup over-ear tersambung ke sebuah headband, kemudian terdapat bantalan empuk di sisi dalam.

NZXT AER 1

Yang istimewa dari headset AER adalah struktur semi-modularnya. Bagian microphone serta kabel dapat kita pindahkan sesuai keinginan, dari housing speaker kanan ke kiri atau sebaliknya. Kompatibilitas juga menjadi aspek andalan NZXT AER. Kedua headphone tersebut siap menemani Anda ber-gaming di perangkat apapun, baik itu PC, console PlayStation 4, Xbox One maupun Nintendo Switch.

NZXT AER 3

Selain pemanfaatan desain closed-back dan open-back, saya tidak melihat adanya perbedaan signifikan di sisi spesifikasi dari masing-masing headset. Mereka sama-sama dibekali driver 40mm, mampu mereproduksi suara di rentang frekuensi 20Hz sampai 50KHz, memiliki sensitivitas 90dB +/- 4dB (closed-back) dan 88dB +/- 4dB (open-back), serta mempunyai bobot 291-gram.

NZXT AER 4

Unit mixer-nya sendiri menyimpan DAC Wolfson (24-bit, 96kHz). Ketika MXER dikoneksikan ke STND, output suara secara otomatis akan dipindahkan dari speaker ke headset apapun yang tersambung ke MXER. Selain itu, mixer ditopang oleh fitur Nahimic 7.1 surround sound, lalu Anda bisa mudah mengatur serta mengelola input suara di mic dan audio permainan.

Belum diketahui kapan rencananya NZXT akan mulai memasarkan AER, MXER dan STND – namun mungkin akan dilakukan di waktu dekat. Unit headphone dibanderol US$ 130 (baik varian closed– maupun open-back), mixer dijajakan seharga US$ 100, lalu stand ditawarkan di harga US$ 50. Tersedia pilihan warna hitam atau putih untuk semua jenis produk, plus ungu khusus buat AER closed-back. Saat artikel ini ditulis, gerbang pre-order juga belum dibuka.

Headset Razer Tetra Diciptakan untuk Gamer yang Ingin Menikmati Sistem Audio Surround-nya Secara Maksimal

Berbeda dari PC, console diciptakan untuk bisa dinikmati bersama setup home entertainment yang memuaskan. Umumnya, kriteria memuaskan itu didapat dari sistem audio surround. Di sisi lain, pemain juga harus memperhatikan aspek komunikasi dengan rekan bermainnya, terutama kalau yang dimainkan adalah game multiplayer kompetitif.

Dari situ bisa disimpulkan bahwa pemain harus mengorbankan salah satu. Kalau masih ingin menikmati sensasi immersive, mereka harus mengorbankan aspek komunikasi. Sebaliknya, kalau mementingkan komunikasi dengan rekan setim, sistem audio surround-nya jelas tak bisa dipekerjakan secara maksimal.

Tidak demikian kalau menurut Razer. Mereka sudah menyiapkan solusi supaya tidak ada yang perlu dikorbankan. Solusi tersebut adalah Razer Tetra, sebuah headset berwujud ringkas yang dirancang secara spesifik agar pemain tetap bisa berkomunikasi dengan lancar selagi menikmati kenyamanan aural yang disajikan setup home entertainment-nya.

Razer Tetra

Kuncinya ada pada rancangan Tetra, yang hanya memiliki satu earcup saja. Desainnya juga sengaja dibuat reversible, yang berarti pengguna bebas menempatkan earcup dan mikrofonnya di sisi kiri atau kanan. Bobotnya yang sangat ringan, cuma 70 gram, menjadikannya ideal untuk dipakai dalam durasi yang cukup lama.

Kunci yang kedua terletak di mikrofonnya, yang memiliki karakter kardioid (unidirectional) dan dioptimalkan untuk menangkap suara pengguna sejernih mungkin selagi meminimalkan suara dari sekitar. Sederhananya, Razer yakin mic milik Tetra bisa bekerja dengan baik tanpa harus menyia-nyiakan kinerja sistem audio surround yang dipakai konsumen.

Razer Tetra saat ini sudah dipasarkan seharga $30. Karena cuma mengandalkan jack 3,5 mm, ia pun kompatibel dengan hampir semua perangkat dan console yang dilengkapi colokan tersebut.

Sumber: Razer.

Headset Gaming Wireless Sennheiser GSP 370 Unggulkan Daya Tahan Baterai Hingga 100 Jam

Saya yakin semua setuju bahwa headset wireless jauh lebih praktis ketimbang yang berkabel. Namun sering kali kelemahannya ada pada daya tahan baterai. Jadi setelah belasan atau puluhan jam, sesi gaming terpaksa harus terinterupsi oleh sesi charging.

Kalau ketahanan baterai selama ini menjadi faktor yang membuat Anda urung membeli headset gaming wireless, mungkin penawaran terbaru dari Sennheiser berikut ini bisa membuat Anda berubah pikiran. Dinamai Sennheiser GSP 370, keunggulan utamanya terletak pada daya tahan baterainya yang diklaim mencapai angka 100 jam.

Sennheiser GSP 370

Anggap sehari Anda menghabiskan waktu sekitar 10 jam untuk bermain, maka headset ini masih bisa digunakan setelah seminggu nonstop, dan ia pun masih bisa digunakan selagi dalam posisi di-charge. Sayang sekali charging-nya masih mengandalkan kabel micro USB, meski itu tidak terlalu menjadi masalah kalau memang perangkat jarang perlu diisi ulang.

GSP 370 mengandalkan bantuan dongle USB untuk menyambung secara wireless ke PC, Mac maupun PlayStation 4. Selain irit daya, koneksinya ini juga disebut minim latency, sehingga transmisi audio yang keluar maupun masuk bisa berjalan hampir tanpa delay.

Sennheiser GSP 370

GSP 370 mengemas earcup tipe over-ear yang berukuran besar. Bantalan memory foam-nya dibalut dua jenis material yang berbeda; kulit sintetis di luar, semacam suede di dalam. Di baliknya, bernaung dynamic driver dengan respon frekuensi 20 – 20.000 Hz.

Menyambung ke earcup sebelah kirinya adalah mikrofon unidirectional dengan respon frekuensi 100 – 6.300 Hz dan teknologi noise cancelling. Saat dibutuhkan, mic ini bisa di-mute secara instan dengan melipat lengannya ke atas. Di sisi kanan earcup, ada kenop besar untuk mengatur volume headset.

Terkait desainnya, Sennheiser bilang bahwa headband tipe split milik GSP 370 dirancang untuk mengurangi tekanan pada kepala. Juga menarik adalah engsel ball-joint yang secara otomatis memosisikan earcup agar sudutnya sesuai dengan bentuk kepala masing-masing pengguna.

Bagi yang tertarik, Sennheiser GSP 370 saat ini sudah dipasarkan seharga $200.

Sumber: SlashGear dan Business Wire.