Michael Saputra: Success and Failure in Building Startups is Part of Career Path

After experiencing ups and downs in his career, Michael Saputra, who was the founder of food delivery service startup Klik-Eat and fast food startup Black Garlic, is now COO at PasarPolis.

With extensive experience working in the Indonesian startup since 2012, Michael is currently reluctant to (re)build a new startup and prefers to work at an established startup such as PasarPolis.

He shared stories of success and failure during his time in the industry.

Corporate working is not enough

Michael Saputra with Black Garlic team / DailySocial

In early days of his return from studies in the United States, he had worked in the corporate ecosystem. The atmosphere and the existing routine were not quite match with Michael’s passion. Along with his friend, Willy Haryanto, and other Co-Founders, he started Klik-Eat in early 2012.

Klik-Eat is a food delivery service to provide a solution for those who want to avoid traffic, but still available to enjoy the delicious food from their favorite restaurants.

“My first experience when I started building Klik-Eat was how the company could scale-up. It’s still very limited in resources and the ecosystem we had before, but we were able to run a business,” Michael said.

In addition to its core food delivery business, Klik-Eat has expanded by releasing the online catering service Papa Bento. Klik-Eat had received an award by representing Indonesia in the 2012 Echelon. Klik-Eat covers delivery in the Jakarta, Tangerang, and Bandung areas.

The success of Kik-Eat attracted a Japanese company. In 2014, the largest food delivery service in Japan, Yume no Machi Souzou Iinkai (currently referred to as Yume no Machi) increased its shareholding in Klik-Eat delivery service from 19% to a majority (above 50%).

Klik-Eat has rebranded to Foodspot and directly owned by the Japan team. Michael Saputra and Willy Haryanto, the two surviving co-founders, left the company and founded a new startup called Black Garlic.

Similar to Klik-Eat, Black Garlic offers ready-to-eat products and ingredients directly delivered by its internal team. They work closely with William Wongso Kuliner’s team — with Olivia Wongso as the company’s Chief Product Officer.

The brand-new concept of online catering made it difficult at that time for Black Garlic to develop and be accepted by the community. Eventually, the company had to shut down the service in 2017.

“I have never had any regrets with the Black Garlic shutdown. […] It seems that what we are offering is too early. It might be different if we developed that today, when the situation and conditions [of the food delivery ecosystem] were supportive,” Michael said.

After Black Garlic, Michael joined the car sharing platform with a special automated system for Jakarta residents, Hipcar. The company was founded by Leo Tanady and debuted in 2015 as the first car sharing transportation service in Indonesia. Michael, as the COO considered the Hipcar services have great potential.

“I always have passion in technology. I can see with Hipcar something good could be created with the concept of car rental using other people. At that time I believed in the concept and decided to join Hipcar,” said Michael.

After two years with Hipcar, Michael decided to join Xiaomi Indonesia as THE Head of Operations. He had only been working for 6 months before returned to the startup industry and joined the insurtech startup PasarPolis.

Being an investor is not his passion

Pasar Polis’ COO Michael Saputra with CEO Cleosent Randing / Source

With his experience on building two startups, Michael currently has no desire to build a new startup. He devoted his current time to develop PasarPolis. He wants to grow the company and make it profitable.

“I am not the type of person who likes to do side projects. When I am involved in one thing, I will focus 100%. It is my ideal strategy in order to be successful, to focus only on one area,” Michael said.

His current position as PasarPolis’ COO is expected to balance other C-levels in the company. Michael really appreciate the founder and CEO of PasarPolis, Cleosent Randing. He said, it is already difficult to build a startup with a co-founder, especially when you do it independently. It takes a strong motivation and vision to be able to build and survive.

When most serial entrepreneurs have “changed quadrants” to become investors, Michael said that he was not interested in following this step. Positioning himself as a builder, not as a visionary, Michael is more motivated in building a startup into a big company and growing positively. However, he opens up to new technologies and trends, and keeps an eye on what investors are currently paying attention to.

“Being asked if I’m interested in becoming a full time investor, the answer is no. It’s not my passion as an investor, I’m more interested in operations and not really into predicting the next big thing,” Michael said.

He said, the process of establishing a startup in previous time and the current era is very different. Before the today’s startup ecosystem developed, the business focus was to present a platform that could sell products from offline to online. Meanwhile, more startups are now looking to complete niche and specific solutions for the wider community.

What startup founders do today is even more challenging and risky than in 2012.

“From the investor’s point of view, I also see that more investors are coming in, offering large capital to startups. The money and the stake are different from investors in the past,” Michael said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Michael Saputra: Kesuksesan dan Kegagalan Membangun Startup adalah Bagian Perjalanan Karier

Setelah mengalami pasang surut perjalanan karier, Michael Saputra yang sempat menjadi pendiri startup layanan pengantaran makanan Klik-Eat dan startup bahan makanan siap saji Black Garlic kini menjadi COO di PasarPolis.

Telah memiliki pengalaman berkecimpung di dunia startup Indonesia sejak tahun 2012, Michael enggan untuk (kembali) membangun startup baru dan lebih memilih bekerja di startup mapan seperti PasarPolis.

Ia berbagi kisah kesuksesan dan kegagalan yang dijalaninya selama menjadi berada di industri.

Tidak puas bekerja di korporasi

Michael Saputra bersama tim Black Garlic / DailySocial

Di awal kembali dari studi di Amerika Serikat, ia sempat bekerja di ekosistem korporasi. Suasana dan rutinitas yang ada ternyata tidak cukup sesuai dengan passion seorang Michael. Bersama temannya, Willy Haryanto, dan Co-Founder lainnya, di awal tahun 2012 ia mendirikan Klik-Eat.

Klik-Eat merupakan layanan pengantaran makanan yang mencoba memberikan solusi bagi mereka yang tidak ingin terjebak kemacetan, tapi tetap bisa merasakan nikmatnya makanan dari restoran-restoran favorit.

“Pengalaman saya saat mulai membangun Klik-Eat dulu adalah bagaimana perusahaan bisa scale-up. Memang masih sangat terbatas sumber daya dan ekosistem yang dimiliki dulu, namun kami mampu menjalankan bisnis,” kata Michael.

Selain bisnis inti pengantaran makanan, Klik-Eat juga melebarkan sayapnya dengan merilis layanan katering online Papa Bento. Salah satu penghargaan yang diperoleh Klik-Eat adalah menjadi wakil Indonesia di ajang Echelon 2012. Klik-Eat melayani pengantaran di kawasan Jakarta, Tangerang, dan Bandung.

Kesuksesan Kik-Eat dilirik perusahaan asal Jepang. Di tahun 2014, layanan pengantaran makanan terbesar di Jepang, Yume no Machi Souzou Iinkai (selanjutnya disebut Yume no Machi) mengumumkan peningkatan kepemilikan saham layanan pengantaran Klik-Eat dari 19% menjadi mayoritas (di atas 50%).

Klik-Eat kemdian berubah nama menjadi foodspot dan dipegang langsung oleh tim dari Jepang. Michael Saputra dan Willy Haryanto, dua co-founder yang masih bertahan, meninggalkan perusahaan dan mendirikan startup baru bernama Black Garlic.

Hampir serupa dengan Klik-Eat, Black Garlic menawarkan produk dan bahan makanan siap saji yang diantar langsung oleh tim internal. Mereka bekerja sama dengan tim William Wongso Kuliner — dengan Olivia Wongso menjadi Chief Product Officer perusahaan.

Masih barunya konsep online catering saat itu menyulitkan Black Garlic untuk berkembang dan diterima masyarakat. Pada akhirnya perusahaan harus menutup layanan pada tahun 2017.

“Saya tidak pernah memiliki rasa penyesalan dengan ditutupnya Black Garlic. [..] Nampaknya apa yang kami tawarkan masih terlalu early. Berbeda mungkin jika kami hadir saat ini, ketika situasi dan kondisi [ekosistem pengantaran makanan] telah mendukung,” kata Michael.

Setelah Black Garlic, Michael bergabung di platform car sharing dengan sistem otomatis khusus untuk warga Jakarta, Hipcar. Didirikan oleh Leo Tanady, Hipcar hadir di tahun 2015 sebagai layanan transportasi car sharing pertama di Indonesia. Sebagai COO, Michael melihat layanan yang ditawarkan Hipcar berpotensi menjadi besar.

“Sejak dulu passion saya selalu di ruang teknologi. Saya melihat dengan Hipcar bisa diciptakan sesuatu yang bagus dengan konsep rental mobil memanfaatkan orang lain. Saat itu saya percaya konsep tersebut dan memutuskan untuk berabung dengan Hipcar,” kata Michael.

Setelah dua tahun bergabung dengan Hipcar, Michael memutuskan untuk bergabung dengan Xiaomi Indonesia sebagai Head of Operation. Hanya bekerja di sana selama 6 bulan, Michael kembali ke industri startup dan bergabung ke startup insurtech PasarPolis.

Tidak tertarik menjadi investor

COO Michael Saputra dengan CEO PasarPolis Cleosent Randing / Source

Setelah berkiprah mengembangkan dua startup, saat ini Michael belum memiliki keinginan membangun startup baru. Pengalaman yang dimiliki saat ini dicurahkan untuk mengembangkan PasarPolis. Ia ingin membesarkan perusahaan dan menjadikannya profitable.

“Saya buka tipe orang yang gemar melakukan side project. Ketika saya terlibat dalam satu hal, saya akan fokus 100%. Idealnya memang harus seperti itu agar bisa sukses, yaitu fokus di satu area,” tutup Michael.

Posisinya sebagai COO PasarPolis saat ini diharapkan bisa melengkapi jajaran C-level lainnya di perusahaan. Michael memberikan apresiasi ke pendiri dan CEO PasarPolis, Cleosent Randing. Menurutnya, sangat sulit membangun startup bersama co-founder, apalagi mendirikan startup secara independen. Diperlukan motivasi dan visi yang kuat untuk bisa membangun dan bertahan.

Ketika kebanyakan serial entrepreneur banyak yang “pindah kuadran” menjadi investor, Michael menyatakan tidak tertarik mengikuti langkah tersebut. Memosisikan dirinya sebagai builder, bukan sebagai visionary, Michael lebih tertarik membangun startup menjadi perusahaan yang besar dan tumbuh secara positif. Namun demikian, dirinya terus membuka wawasan terhadap teknologi dan tren yang baru, serta terus menyimak apa yang menjadi perhatian investor saat ini.

“Jika ditanya apakah saya tertarik untuk menjadi full time investor, jawabannya tidak. Bukan menjadi passion saya sebagai investor, saya lebih tertarik kepada operasional dan tidak terlalu menyukai untuk memprediksi the next big thing,” kata Michael.

Menurutnya, proses mendirikan startup dahulu dan sekarang sangat berbeda. Sebelum ekosistem startup berkembang seperti saat ini, fokus bisnis adalah bagaimana bisa menghadirkan platform yang bisa menjual produk dari offline ke online. Sementara saat ini makin banyak startup yang ingin menyelesaikan solusi yang niche dan spesifik untuk masyarakat luas.

Apa yang dilakukan pendiri startup saat ini semakin besar tantangan dan risikonya dibandingkan tahun 2012 lalu.

“Dari sisi investor saya juga melihat makin banyak investor yang masuk menawarkan kapital yang besar kepada startup. The money and the stake sudah berbeda dari investor saat dulu,” kata Michael.

Rencana dan Ambisi Aplikasi Sewa Mobil HipCar Sepanjang Tahun Ini

Aplikasi sewa mobil HipCar berencana untuk mulai bergerak lebih agresif seiring usianya yang kini memasuki tahun kedua. Salah satu yang gencar dilakukan ialah mulai rajin mengakuisisi mobil sebagai rekanan dan mempersiapkan diri untuk ekspansi ke kota besar lainnya di luar Jakarta. Ambisi yang ingin dicapai dari HipCar adalah meningkatkan utilitas mobil untuk kebutuhan orang lain, mengurangi kemacetan, sekaligus sebagai alat sharing economy layaknya Airbnb.

“Airbnb adalah contoh terdekat dari bentuk nyata sharing economy. Kami ingin menjadikan utilitas mobil yang menganggur jadi lebih meningkat, meningkatkan sumber pendapatan pemilik mobil dengan menyewakan mobilnya secara online,” kata Founder HipCar Leo Tanady, Selasa (16/5).

Leo melanjutkan, “Setelah tahun lalu kami fokus ke perbaikan sistem, layanan, dan mempelajari kondisi pasar, kami mulai yakin untuk memulai meningkatkan volume bisnis dan ekspansi ke kota lainnya.”

Berdasarkan catatan HipCar, sejak tahun lalu hingga kini terjadi kenaikan jumlah unit mobil yang direntalkan dari awalnya 4 unit kini menjadi 10 unit. Lokasi pangkalan pun juga ikut bertambah dari 3 titik menjadi 7 titik, tersebar sekitar Karet, Kuningan, S. Parman, Tanjung Duren, dan lainnya.

Seluruh mobil rental tersebut berstatus full time, sehingga dapat dipakai selama 24/7 oleh semua pengguna. Ke depannya, HipCar akan mulai merambah mobil berstatus part time. Maksudnya pemilik mobil yang hanya sesekali menggunakan kendaraannya dapat digandeng sebagai rekanan HipCar.

Leo mengatakan dari hasil riset yang dilakukan, secara potensi mobil berstatus part time memiliki waktu terbuang minimal 160 jam dalam sebulannya. Angka tersebut didapat dari lama rata-rata seorang karyawan masuk dan keluar kantor, antara jam 10 pagi sampai 6 sore dalam lima hari kerja.

Jumlah jam mobil menganggur akan semakin besar bergantung kebutuhan pemilik mobil itu sendiri. Bila mereka sudah berusia tua dan jarang bepergian dengan mobil pribadi, jumlah jam yang bisa dimanfaatkan pun akan semakin besar.

“Kami akan mulai menyasar mobil rental berstatus part time. Mobil tersebut akan kami bantu kelola dan keamanannya dijaga dengan sistem GPS. Mereka juga bisa mengunci status kendaraannya secara remote meski mobil sedang dipakai orang lain.”

Untuk mobil berstatus part time, setiap penggunaan mobil harus menunggu konfirmasi persetujuan dari pemilik, tidak harus diletakkan di pangkalan. Ini sedikit berbeda dengan mobil berstatus full time yang dapat dipakai kapan saja. Adapun batasan usia produksi mobil yang bisa disewakan antara 5 tahun sampai 8 tahun.

Untuk kisaran tarif yang dibebankan oleh pengguna, setiap pemakaian selama 15 menit besaran tarifnya sebesar Rp15 ribu, satu jam sebesar Rp30 ribu, dan 24 jam sebesar Rp450 ribu. Tarif tersebut diklaim adalah harga bersih tanpa pengguna harus mengisi bensin terlebih dahulu.

Diklaim sekitar 70% pengguna HipCar menyewa mobil selama 2 jam hingga empat jam lebih. Sedangkan 80% pengguna berusia di bawah 28 tahun, belum pernah meminjam mobil dari rental sebelumnya.

Belum terapkan monetisasi

Leo mengklaim saat ini HipCar belum menerapkan proses monetisasi dalam bisnisnya. Sebab pihaknya masih fokus pada peningkatan pengguna. Selama enam bulan pertama sejak mendaftar, pemilik mobil dapat memperoleh seluruh pendapatan dari hasil sewaannya.

Kemudian, setelah itu HipCar baru akan menetapkan besaran komisi yang harus diberikan kepada perusahaan sebesar 20% untuk setiap transaksi.

“Untuk saat ini kami belum lakukan monetisasi. Car owner dapat mengambil seluruh bagian dari pendapatan per transaksinya, tapi setelah enam bulan kami akan menetapkan besaran komisi yang harus diberikan, yakni sebesar 20%.”

Proses transaksi yang dilakukan dalam HipCar harus dilakukan dalam bentuk non tunai. Pengguna diwajibkan mengisi dompet virtual untuk setiap pembayaran atau menggunakan opsi lainnya yakni kartu kredit.

Application Information Will Show Up Here

Hipcar Andalkan Teknologi Canggih untuk Hadirkan Layanan Car Sharing di Indonesia

Satu lagi layanan transportasi on-demand hadir di Indonesia. Kali ini berupa car sharing dengan sistem otomatis khusus untuk warga Jakarta. Didirikan oleh Founder Leo Tanady, Hipcar yang telah hadir sejak akhir tahun 2015 merupakan layanan transportasi car sharing pertama di Indonesia.

“Berawal dari pengalaman pribadi saya saat studi di Amerika Serikat, saya melihat layanan car sharing di sana yaitu Zipcar cukup populer dan terbilang sukses, melihat makin maraknya layanan on-demand di Indonesia kemudian saya coba terapkan teknologi tersebut di Indonesia,” ujar Leo kepada DailySocial.

Secara keseluruhan teknologi yang digunakan oleh Hipcar diandalkan hanya dalam aplikasi dengan sistem remote control yang dibuat dan diterapkan secara khusus dalam Hipcar. Dengan melakukan pemesanan penyewaan mobil dalam aplikasi, pengguna bisa langsung mengambil sendiri mobil yang telah dipesan dengan menggunakan remote control.

“Teknologi yang digunakan oleh Hipcar dibuat secara khusus dari Eropa, dengan menggabungkan sistem yang ada pengguna bisa mengakses mobil tanpa adanya kunci hanya dalam satu sentuhan di aplikasi, mudah, aman dan cepat itulah keistimewaan dari Hipcar,” kata Leo.

Saat ini Hipcar sudah bisa diunduh di aplikasi mobile platform Android dan iOS. Usai pengguna melakukan registrasi nantinya bisa memilih mobil berdasarkan lokasi terdekat atau nearby. Setelah ada informasi ketersediaan mobil pengguna akan diberikan informasi berupa tipe mobil dilengkapi dengan transmisi dan jumlah seat penumpang yang tersedia dan estimasi harga per jamnya.

Setelah proses pemesanan dilakukan timer secara otomatis akan berjalan sampai pengguna tiba di pick-up point Hipcar. Saat ini Hipcar baru memiliki dua lokasi pick-up point, yaitu di sekitar kawasan kampus Universitas Tarumanegara dan Universitas Bina Nusantara.

“Kami sengaja menargetkan kalangan mahasiswa untuk konsumen dari Hipcar, untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan saat melakukan pemesanan pengguna kami minta untuk menyertakan foto diri, KTP dan SIM,” kata Leo.

Untuk pembayaran Hipcar memberlakukan credit point yang bisa ditransfer oleh pengguna melalui bank-bank ternama, nantinya dalam akun masing-masing biaya penyewaan mobil akan di potong credit oleh Hipcar saat check-out atau waktu penyewaan selesai.

“Saat ini Kami memiliki 4 unit mobil yang terdiri dari Toyota Avanza dan Agya, perjamnya untuk Agya kami kenakan biaya Rp 30 ribu sementara untuk Avanza Rp 40 ribu,” kata Leo.

Kebanyakan pengguna yang menyewa mobil di Hipcar menggunakan mobil minimal 2-3 jam dan maksimal sampai satu hari penuh. Jika waktu sudah mencapai lebih dari 24 jam, secara otomatis biaya akan dikenakan hanya Rp 450 ribu saja tanpa adanya tambahan.

“Sejak awal kami telah melakukan monetisasi dan tidak memberikan subsidi, sehingga biaya oprasional bisa kami gunakan untuk mengembangkan produk dan menambah jumlah tim yang ada,” kata Leo.

Menargetkan 2 ribu mobil dalam 5 tahun ke depan

Mencoba untuk menjadi perusahaan teknologi yang menjalankan bisnisnya secara efisien, Hipcar yang mendapatkan pendanaan awal dari angel investor dan saat ini masih menjalani program akselerator dari GnB Accelerator. Hipcar juga masih terus melakukan penggalangan dana yang nantinya diharapkan dapat digunakan untuk menambah jumlah mobil, mengembangkan produk dan menambah fitur terbaru.

“Target kami hingga 5 tahun kedepan telah memiliki 2 ribu mobil, menambah inovasi di fitur dan memperluas layanan lokasi, saat ini kami hanya bisa melayani pengguna di kawasan Jakarta bagian barat saja,” kata Leo.

Tanpa memanfaatkan pemasaran digital seperti Google Ads dan Facebook Ads, saat ini Hipcar mengklaim telah memiliki sekitar 300 pengguna terdaftar dan 50 pengguna aktif setiap harinya. Promosi yang dilakukan sepenuhnya berupa kegiatan offline saja seperti mendirikan booth di kampus hingga menyebarkan brosur saja.

Enggan bermitra dengan kalangan individu dan rental mobil konvensional

Layanan car sharing yang ditawarkan Hipcar sekilas memang mirip dengan layanan yang ditawarkan oleh rental mobil umumnya, namun Leo menegaskan sebagai perusahaan teknologi Hipcar memiliki perbedaan yang cukup signifikan mulai dari layanan, fitur serta pendekatan yang ada kepada pengguna.

“Dengan mengedepankan layanan on-demand tentunya Hipcar mengandalkan kecepatan dan kenyamanan dalam hal ketersediaan mobil, dengan alasan itulah Hipcar melihat tidak akan melakukan kemitraan dengan car rental atau kalangan individu karena kami membutuhkan dedicated car yang selalu siap 24 jam untuk disewa kepada pengguna,” kata Leo.

Leo menambahkan saat ini sudah banyak jasa rental mobil dan kalangan individu yang menawarkan untuk menjadi mitra dari Hipcar, namun untuk saat ini dan diperkirakan seterusnya kemitraan tersebut tidak akan dilancarkan.

Bukan hanya mengembangkan produk dan layanan di Indonesia, produk Hipcar yang saat ini sudah dipatenkan di Dirjen HAKI Hak Kekayaan Intelektual, rencananya akan dikembangkan secara regional. Hal ini dilakukan melihat lanskap dan tren layanan transportasi yang sama dengan Indonesia.

“Untuk ke depannya kita berencana untuk melebarkan ekspansi produk Hipcar ke negara lainnya di Asia Tenggara seperti Thailand dan Filipina, tentunya setelah Hipcar sudah menjadi layanan car sharing favorit di Indonesia,” pungkas Leo.

GnB Accelerator Batch Pertama Diumumkan, Enam Startup Siap Jalani Program Akselerasi

Infocom Corporation perusahaan IT asal Jepang dalam upayanya membantu menciptakan ekosistem startup Indonesia yang baik tengah menjalin kerja sama dengan Fenox Venture Capital, perusahaan pemodalan yang berbasis di Silicon Valley, Amerika. Kerja sama keduanya berbentuk program akselerator GnB Accelerator batch pertama yang akan memberikan startup terpilih fasilitas seperti office space di Jakarta dan kesempatan mentorship dengan para startup founder dan corporate executive dari Silicon Valley, Jepang, Indonesia, Singapura dan beberapa negara lain di Asia Tenggara. Dari total 350 startup yang mendaftarkan diri, enam startup yang dinyatakan terpilih.

Program Manajer GnB Accelerator Kentaro Hashimoto menuturkan di akhir program ini para startup akan diberikan kesempatan untuk mempresentasikan hasil kerja keras mereka di hadapan investor, venture capital, corporate executive dan media melalui acara Demo Day yang akan digelar pada 19 Agustus mendatang.

“Kami percaya, berbagai fasilitas dan akses yang kami siapkan akan menjadi fondasi bagi para startup founders untuk mengembangkan perusahaan rintisan mereka. Demo day dapat menjadi sarana yang tepat bagi para startup dalam memperoleh investasi dari investor lainnya,” ujar Kentaro.

Enam startup terpilih dan mengikuti program akselerator batch pertama ini adalah Ahlijasa, penyedia layanan jasa laundry, service AC dan jasa pembersihan rumah. Yang kedua adalah KlikDaily, startup yang menawarkan kebutuhan sehari-hari seperti air minum isi ulang dan gas LPG.

Startup terpilih selanjutnya ada LocalBrand Asia. Penyedia layanan omni-channel untuk UMKM dan brand di Asia Tenggara ini menyediakan solusi end to end yang memungkinkan penjualan multichannel secara realtime melalui platform yang telah disediakan.

Selanjutnya ada 4Doctor. Sebuah portal yang ditujukan bagi para dokter untuk mendapatkan informasi terkini tentang industri healthcare dan menghubungkannya langsung dengan perusahaan farmasi di Indonesia.

Startup terpilih berikutnya adalah XWORK. Startup ini merupakan penyedia layanan untuk mencari ruang meeting pribadi di Jakarta. Startup terakhir yang terpilih adalah HipCar. Startup ini menawarkan kemudahan dalam menyewa kendaraan. Sistem yang mereka miliki dapat dilakukan secara otomatis dari pemesanan, penguncian hingga pembukaan pintu kendaraan, semua dapat dilakukan melalui aplikasi.

Saat ini, GnB Accelerator juga tengah membuka pendaftaran untuk batch kedua. Para founder startup kini bias mendaftarkan startup mereka dengan mengisi aplikasi di laman http://www.gnb.ac/ sebelum 30 September 2016.