Kerja Sama Antara McLaren dan HTC Lahirkan Vive Pro McLaren Limited Edition

Bulan Mei lalu, McLaren menjalin kerja sama dengan HTC sebagai bagian dari upaya mereka mengembangkan program esport-nya, Shadow Project. Kemitraan tersebut secara otomatis menjadikan HTC Vive Pro sebagai perangkat VR resmi untuk kompetisi esport yang diselenggarakan sang produsen supercar asal Inggris.

Salah satu agenda kolaborasi keduanya adalah merilis edisi khusus Vive Pro. Dijuluki Vive Pro McLaren Limited Edition, logo McLaren beserta aksen oranye khasnya tampak kontras pada headset maupun controller-nya. Yang dibundel sejatinya sama persis seperti Vive Pro full kit, tapi dengan imbuhan dua game bertema balap.

Yang pertama adalah rFactor 2 McLaren Edition, game balap karya Studio 397. Yang kedua adalah McLaren Garage VR Experience, yang pada dasarnya merupakan semacam simulator untuk menjadi kru pit stop pada sebuah tim balap. Kedua game ini sebelumnya hanya bisa didapat secara eksklusif oleh pelanggan layanan Viveport.

Sebagai edisi spesial, harganya tentu lebih mahal: $1.549, dibandingkan dengan Vive Pro full kit biasa yang dihargai $1.199.

Dilihat dari perspektif lain, kerja sama antara McLaren dan HTC Vive ini berpotensi memopulerkan tren VR esport yang sejauh ini masih kalah pamor dari esport ‘normal’. Esport tema balapan sudah cukup laris, jadi sekarang waktunya melangkah lebih jauh lagi ke ranah VR.

Sumber: Engadget.

SteamVR Kedatangan Fitur Motion Smoothing Agar Konten Tetap Berjalan Mulus pada PC Berspesifikasi Menengah

90 fps adalah frame rate minimum yang dibutuhkan agar VR headset seperti Oculus Rift dan HTC Vive dapat menyajikan konten secara mulus dan tidak membuat penggunanya merasa mual. Itulah mengapa VR headset di kelas ini membutuhkan komputer berspesifikasi tinggi.

Kendati demikian, frame rate yang tiba-tiba anjlok terkadang masih menjadi kendala bahkan untuk PC gaming kelas wahid sekalipun. Solusinya, menurut Valve, adalah fitur Motion Smoothing yang baru saja mereka luncurkan untuk versi beta SteamVR.

Prinsip dasar Motion Smoothing sebenarnya mirip seperti Asynchronous Space Warp (ASW) yang ditawarkan Oculus. Bedanya, kalau ASW menggunakan tiruan frame sebelumnya buat mengisi celah yang disebabkan oleh turunnya frame rate, Motion Smoothing menciptakan frame baru dengan metode ekstrapolasi (mengamati dua frame terakhir untuk mengestimasikan animasi dan pergerakan).

Hasil akhirnya kurang lebih sama; frame rate bisa tetap dijaga, dan efek bergetar akibat penurunan frame rate pun dapat dieliminasi. Valve bilang bahwa Motion Smoothing bisa aktif dengan sendirinya ketika frame rate mulai turun, lalu mati dengan sendirinya ketika tidak lagi dibutuhkan.

Motion Smoothing kompatibel dengan HTC Vive maupun Vive Pro / HTC
Motion Smoothing kompatibel dengan HTC Vive maupun Vive Pro / HTC

Valve tak lupa mengemukakan bahwa cara kerja Motion Smoothing di SteamVR sebenarnya mirip dengan fitur serupa yang umum didapati pada TV modern. Kendati demikian, mereka mengklaim Motion Smoothing di SteamVR tidak berakibat pada meningkatnya latency.

Buat para konsumen, kehadiran fitur ini pada dasarnya memungkinkan PC berspesifikasi menengah untuk menjalankan aplikasi VR secara lebih mulus. Di saat yang sama, Motion Smoothing juga memungkinkan PC berspesifikasi tinggi untuk me-render grafis VR dalam resolusi yang lebih tinggi.

Perihal kompatibilitas, Motion Smoothing tersedia untuk HTC Vive, Vive Pro maupun sejumlah headset dari platform OpenVR. Untuk sekarang, fitur ini baru bisa digunakan pada kartu grafis Nvidia saja. Dukungan untuk GPU buatan AMD bakal menyusul ke depannya.

Sumber: Valve via Road to VR.

Versi Terbaru Prototipe Valve Knuckles Dirilis, Jumlah Produksinya Makin Besar

Dua tahun yang lalu, Valve mengungkap prototipe motion controller untuk VR headset bernama Knuckles ke hadapan para developer. Berbeda dari controller standar HTC Vive, Knuckles lebih nyaman digunakan karena dilengkapi strap untuk buku-buku jari, sehingga controller tak akan terjatuh saat pengguna melepas genggamannya.

Sayangnya aksesori tersebut tak kunjung dirilis untuk publik. Valve terkesan tidak mau terburu-buru, dan mereka terus memanfaatkan waktunya dalam dua tahun ini untuk mematangkan Knuckles lewat iterasi demi iterasi.

Versi yang membawa penyempurnaan paling signifikan adalah Knuckles EV2, yang dirilis pada bulan Juni lalu. EV2 menghadirkan perubahan desain yang cukup drastis, terutama pada bagian strap demi memberikan kenyamanan ekstra. Di samping itu, touchpad besar yang tadinya mendominasi telah digantikan oleh touchpad berbentuk ramping yang bisa diklik, plus sebuah stik analog sebagai input tambahan.

Valve Knuckles EV3

Sejumlah sensor ekstra juga menjadi pembaruan yang ditawarkan EV2. Namun sekarang Valve sudah mengungkap Knuckles EV3, yang mematangkan banyak aspek pendahulunya. Utamanya dalam hal efisiensi kinerja sensor, sehingga daya tahan baterai perangkat bisa mencapai 7 – 8 jam dalam satu kali pengisian, naik sekitar dua jam dibanding EV2.

Lewat EV3, Valve juga telah melakukan kalibrasi terhadap force sensor yang tertanam di bagian gagang, sehingga kinerjanya bisa lebih konsisten dari unit ke unit, demikian pula dengan tombol trigger, yang menjadi lebih kokoh pada versi terbaru ini. Aspek ergonomi turut disempurnakan, dengan port USB dan tombol sistem yang lebih menjorok ke dalam.

Namun pertanyaan terpentingnya, kapan Valve Knuckles bakal tersedia secara luas, masih belum terjawab. Valve hanya bilang bahwa mereka sudah meningkatkan kuantitas produksi Knuckles EV3 demi menampung lebih banyak masukan dari lebih banyak developer. Semoga saja tahun depan versi finalnya sudah diproduksi dan bisa dibeli oleh konsumen secara luas.

Sumber: VentureBeat dan Valve.

HTC Vive Wireless Adapter Siap Dipasarkan di Bulan September Seharga $300

Mobile VR dan wireless VR adalah dua hal yang berbeda. Mobile VR yang diwakili oleh perangkat seperti Samsung Gear VR atau Oculus Go memang sudah pasti wireless, akan tetapi performanya tidak akan bisa menyamai VR headset berbasis PC macam HTC Vive Pro.

Wireless VR di sisi lain bertujuan untuk menyajikan kenyamanan dan kepraktisan ekstra bagi pengguna VR headset kelas berat macam Vive Pro itu tadi. Caranya tentu dengan ‘memotong’ kabel yang menjadi perantara headset dan komputer, dan dalam konteks Vive Pro, HTC telah menyiapkan solusinya dalam wujud Vive Wireless Adapter.

Aksesori ini pertama diumumkan bersama Vive Pro itu sendiri, akan tetapi detail lebih lengkapnya baru dibeberkan baru-baru ini, lengkap beserta jadwal rilis dan harga jualnya. Namun sebelumnya, mari membahas sebentar mengenai apa kelebihan yang ditawarkannya, apalagi mengingat aksesori lain dengan fungsi serupa sudah lebih dulu eksis.

Vive Wireless Adapter

Aksesori lain yang saya maksud itu adalah TPCAST. Dibandingkan TPCAST, Vive Wireless Adapter lebih unggul soal performa berkat pemakaian teknologi konektivitas WiGig. WiGig menjanjikan latency yang sangat minim (lag dan delay minim) berkat transmisi sinyal di frekuensi 60 GHz, frekuensi yang ‘sepi’ dari gangguan perangkat-perangkat wireless lain.

Alhasil, HTC mengklaim performa yang ideal bisa dicapai hingga jarak sejauh 6 meter dari PC yang tersambung secara wireless (4,5 meter jika dipakai bersama Vive orisinil). Sebanyak tiga Wireless Adapter sekaligus juga dapat digunakan secara bersamaan di ruangan yang sama.

Untuk skenario multiplayer ini, masing-masing headset yang dilengkapi Wireless Adapter haruslah tersambung ke satu komputer, yang berarti di ruangan tersebut wajib ada tiga komputer. Komputernya juga harus memiliki slot PCIe 1x yang lowong, sebab ada komponen pemancar sinyal (transmitter) yang harus dipasangkan.

Vive Wireless Adapter

Satu hal yang perlu dicatat, pengguna Vive Wireless Adapter masih akan berjumpa dengan kabel, hanya saja bukan kabel yang menyambung ke komputer, melainkan kabel dari Adapter ke sebuah power bank QuickCharge 3.0 berkapasitas 10.050 mAh. Dalam satu kali pengisian, power bank itu bisa menyuplai daya hingga 2,5 jam penggunaan.

Wujud Vive Wireless Adapter sendiri terbilang ringkas, berbentuk seperti huruf “T” dengan bobot cuma 129 gram. Untuk menggunakannya, ia hanya perlu disematkan ke strap bagian atas, dan seperti yang sudah diberitakan sebelumnya, ia kompatibel dengan Vive Pro maupun Vive orisinil.

Kapan konsumen bisa membelinya? Pre-order Vive Wireless Adapter dibuka pada tanggal 5 September mendatang, lalu pemasarannya berlanjut di 24 September. Harganya $300 untuk Vive orisinil, sedangkan untuk Vive Pro harganya $360 sebab ada “compatibility pack” tambahan yang perlu dibeli, semua sudah termasuk gratis langganan Viveport selama 2 bulan.

Sumber: VentureBeat dan Vive.

HTC Demonstrasikan Multi-Room VR dengan Vive Pro dan SteamVR 2.0

Salah satu alasan untuk membeli HTC Vive Pro ketimbang Vive orisinil, di samping peningkatan kualitas visual, adalah antisipasi fitur baru yang akan datang. Salah satunya adalah dukungan atas platform SteamVR 2.0 yang tengah Valve matangkan, yang diklaim mampu mewujudkan tracking dalam area yang lebih luas daripada sebelumnya.

Area yang lebih luas itu pun tidak harus berupa satu ruangan besar, tapi bisa juga yang terdiri dari beberapa ruangan sekaligus. Dan ini telah didemonstrasikan sendiri oleh HTC lewat sebuah video yang diunggah ke Twitter oleh Alvin Wang Graylin selaku petinggi Vive Tiongkok.

Dalam video tersebut, tampak seorang pengguna Vive Pro berpindah dari satu ruangan menuju ke dua ruangan lainnya. Di setiap ruangan telah terpasang masing-masing dua base station SteamVR 2.0, sehingga ketika dilihat dari headset, ketiga ruangan itu membentuk satu area virtual yang luas.

Bisa dilihat juga bahwa sang pengguna Vive Pro mengambil controller baru setiap kali ia berpindah ruangan, membuktikan bahwa ia dapat mengetahui keberadaan controller tersebut secara fisik meski matanya sedang tertutupi headset, sekaligus membenarkan klaim Valve soal kehebatan kinerja tracking SteamVR 2.0.

Itu baru enam base station, sekarang bayangkan apa yang bisa kita lakukan dengan 16 base station, yang menurut Alvin juga sempat mereka uji coba meskipun tidak ada videonya. Kendati demikian, sepertinya kita masih harus menunggu cukup lama sebelum multi-room VR ini dapat terealisasi.

Alan Yates yang mewakili Valve menjelaskan bahwa untuk sekarang SteamVR baru bisa memonitor keberadaan empat base station dalam satu kesempatan. Singkat cerita, masih banyak yang harus dikerjakan Valve sebelum multi-room VR bisa terwujudkan.

Sumber: UploadVR.

Film Ready Player One yang Mengambil Tema VR Rupanya Juga Dibuat Menggunakan Teknologi VR

Tanpa harus mengangkat virtual reality sebagai tema utamanya pun Ready Player One sebenarnya sudah sangat menarik untuk ditonton berkat banyaknya cameo dan referensi pop culture yang muncul di sepanjang film. Nyatanya, film tersebut jadi penuh intrik karena berhasil menggambarkan peran VR di masa depan, meski sedikit menjurus ke arah ekstrem.

Adalah Steven Spielberg yang berhasil meramu formula tersebut menjadi keseruan selama dua jam lebih. Sutradara gaek itu berhasil memvisualisasikan OASIS secara brilian. OASIS, seperti diceritakan dalam novel asli Ready Player One karya Ernest Cline, adalah dunia virtual yang tak hanya berfungsi sebagai game MMORPG, tapi juga sebagai peradaban alternatif.

Lalu yang mungkin memicu pertanyaan, bagaimana cara Spielberg mengarahkan banyak sekali adegan film yang mengambil tempat di OASIS, mengingat OASIS sendiri murni merupakan hasil karya seniman-seniman digital yang tergabung dalam timnya? Jawabannya adalah VR. Ya, teknologi yang menjadi tema utama Ready Player One tersebut rupanya juga memegang peranan penting selama proses pembuatannya.

Steven Spielberg directing Ready Player One using VR headset

Seperti dijelaskan pada video behind-the-scene (BTS) di bawah, VR sudah dilibatkan sejak aset-aset visual (concept art) film selesai dibuat oleh tim Industrial Light & Magic. Berbekal aset-aset tersebut, tim Digital Domain diberi kepercayaan untuk membangun versi virtual-nya (3D), yang kemudian dapat dieksplorasi langsung oleh Spielberg.

Dari situ Spielberg bisa langsung mengenakan VR headset – HTC Vive dalam kasus ini – lalu mulai mengarahkan adegan demi adegan. Ia bahkan bisa langsung merekam adegan menggunakan controller Vive, yang dalam ranah virtual diterjemahkan menjadi sebuah kamera, sebelum akhirnya semuanya dipoles lebih lanjut oleh timnya.

Jadi kalau ada yang beranggapan bahwa fungsi VR tidak lebih dari sekadar medium baru video game, Anda bisa mentontonkannya video BTS Ready Player One ini. VR punya potensi besar dalam pembuatan film, dan ini sudah dibuktikan oleh sosok sekelas Steven Spielberg.

Sumber: CinemaBlend.

Seagate Umumkan Power Bank + Hard Disk Eksternal untuk VR Headset Vive Focus

Konsep standalone yang diusung HTC Vive Focus berarti kita tidak memerlukan lagi perangkat tambahan untuk bisa menikmati virtual reality di mana saja dan kapan saja kita mau. Seperti halnya smartphone, Vive Focus memiliki prosesor dan baterainya sendiri. Namun yang menjadi pertanyaan, seberapa awet baterainya, apalagi mengingat resolusi display yang diusungnya tergolong tinggi (2880 x 1600)?

Dalam satu kali pengisian, HTC bilang Vive Focus bisa beroperasi selama sekitar tiga jam. Lalu apa jadinya kalau kita ingin bermain lebih lama dari itu? Well, HTC sudah menyiapkan solusinya dalam bentuk hasil kolaborasinya bersama Seagate.

Namanya Seagate VR Power Drive. Ia merupakan sebuah perpaduan antara power bank 5.000 mAh dan hard disk eksternal 1 TB. Ini bukan pertama kalinya perangkat semacam ini eksis, hanya saja ia merupakan aksesori resmi untuk Vive Focus, siap menyuplai daya ekstra atau menyediakan kapasitas penyimpanan tambahan dengan berbekal satu kabel USB-C saja.

Seagate VR Power Drive

Supaya tidak mengganggu sesi VR, bagian belakang perangkat dilengkapi penjepit agar bisa dicantolkan ke celana atau ikat pinggang. Karena dikembangkan bersama HTC, panjang kabelnya sudah pasti sangat pas untuk Vive Focus. Sebagai bonus, perangkat rupanya juga kompatibel dengan ponsel HTC U12+ yang dirilis belum lama ini.

Harganya belum diketahui, akan tetapi HTC bilang bahwa pemasarannya bakal dimulai pada kuartal ketiga tahun ini. Bisa jadi, Vive Focus versi global juga akan dirilis di waktu yang bersamaan.

Sumber: Seagate dan Road to VR.

Mencicipi Game VR Kompetitif Pertama Buatan Anak Bangsa, Codename: Mindvoke

Eksekusi sebuah produk teknologi perlu dilakukan secara tepat. Terlalu cepat, biasanya pasar belum siap; tapi jika terlambat, maka peluang untuk jadi pionir lewat begitu saja. Kasus ‘terlalu cepat’ itu sempat terjadi pada platform VR mindVoke kreasi Shinta VR. Platform ini memungkinkan user menciptakan sendiri dunia virtual berbekal PC/smartphone, kemudian mempersilakan kita men-share-nya.

Terlepas dari upaya Shinta VR mendesainnya sebagai platform user-friendly, konsumen ternyata belum siap mengadopsinya. mindVoke dirilis hanya beberapa bulan setelah Oculus Rift dan HTC Vive dilepas, dan mungkin, saat itu belum banyak pengguna menyadari kecanggihan serta potensi VR. Namun semangat Shinta VR meramu produk berbasis virtual reality belum padam. Anda mungkin sudah tahu, mindVoke kini menjelma jadi game kompetitif berjudul Codename: Mindvoke.

Hampir sama seperti strategi yang dilakukan OmniVR, Shinta VR mencoba memperkenalkan karya barunya itu melalui kompetisi offline. Tapi berbeda dari VR League, Codename: Mindvoke menjadi primadona di turnamennya. Dan sebelum babak penyisihan minggu lalu dimulai, saya diberikan kesempatan untuk mencobanya lebih dulu.

 

Hands-on, eyes-on

Layaknya mayoritas game action virtual reality, Codename: Mindvoke mengusung perspektif orang pertama. Penyajiannya sedikit mengingatkan saya pada arena virtual reality EXA Outpost di Kuala Lumpur, Malaysia. Namun ketika EXA fokus pada pengalaman kooperatif, Mindvoke dirancang sebagai permainan kompetitif. Di versi ini, game menyajikan pertandingan antar-tim dua lawan dua.

mindvoke3

Tim Shinta VR menjelaskan bagaimana permainan ini dibangun menggunakan engine Unity. Mereka sempat mempertimbangkan buat memanfaatkan Unreal, tapi memutuskan memilih Unity karena developer lebih memahami tool-nya dan waktu untuk mempelajari Unity jauh lebih singkat dari Unreal. Shinta VR juga mengaku mereka sangat memerhatikan faktor optimalisasi software sehingga game dapat mencapai kriteria resolusi 2160×1200p di 90Hz.

mindvoke2

mindvoke4

Hal lain yang saya tangkap ialah, Codename: Mindvoke berjalan di platform SteamVR, disuguhkan menggunakan head-mounted display HTC Vive beserta controller-nya. Di arena kompetisi yang berlokasi di What’s Up Cafe Kemanggisan ini, Shinta VR memanfaatkan laptop MSI dengan kartu grafis Nvidia GeForce GTX 1060. Dan dari pengalaman saya menikmatinya, game berjalan dengan mulus – saya sama sekali tidak merasakan motion sickness ketika bermain ataupun waktu melepas headset.

mindvoke6

mindvoke1

Sebelum memulai, Mindvoke meminta pemain memasukkan nickname dan nama tim. Setelah itu, game membawa kita ke ruang tunggu virtual di mana Anda bisa beradaptasi dengan sistem kendalinya. Mindvoke menggunakan sistem navigasi berbasis teleportasi, yang segera mengingatkan saya pada Doom VFR. Teleportasi merupakan metode bergerak utama, dan Anda juga dapat mengombinasikannya bersama kemampuan ‘terbang’ yang mengonsumsi energi.

mindvoke13

Karakter-karakter pemain direpresentasikan oleh avatar berupa manusia setengah badan – hanya bagian atas tubuh saja yang ditampilkan. Lalu pemain disajikan tiga pilihan senjata: pistol, pedang dan panah. Pistol merupakan opsi yang paling mudah digunakan, pedang adalah spesialis jarak dekat, sedangkan panah ialah senjata tersulit tapi paling mematikan. Untuk bergerak ke suatu lokasi, Anda perlu menekan touchpad dan menentukan arahnya.

mindvoke12

mindvoke8

Percobaan pertama saya tidak bisa dikatakan sukses. Butuh beberapa kali sesi bermain agar gamer dapat lebih lancar mengombinasikan teknik teleportasi, menembak dan menoleh. Sejumlah hal krusial saya sadari setelah dibuat bertekuk lutut oleh tim Shinta VR: komunikasi dengan rekan satu tim Anda sangat penting, kemudian semakin tinggi posisi karakter, semakin luas juga ruang pengawasan Anda. Itu alasannya pemain berpanah sangat berbahaya ketika menempati posisi tinggi.

mindvoke5

Mindvoke menyajikan art direction khas sci-fi dengan warna-warni yang cerah. Shinta VR mengakui ada banyak aspek di sisi visual yang dapat mereka sempurnakan, namun Anda tidak akan terlalu memperhatikan kekurangan grafisnya ketika sedang sibuk membidik lawan sembari berteriak meminta perlindungan. Selama turnamen berlangsung, peserta akan bertanding di arena surealis bertema makanan.

mindvoke7

mindvoke9

 

Rencana ke depan

Awalnya Mindvoke didesain sebagai permainan multiplayer kooperatif, namun Shinta VR menyadari ada satu faktor yang belum ada di versi awal kreasi mereka itu: tujuan bermain. Menurut developer, ada banyak elemen unik diekspos oleh formula multiplayer. Beberapa yang saya lihat meliputi kerja sama, komunikasi, elemen persaingan, serta lebih seru buat disaksikan. Dan untuk sekarang, game VR kompetitif memang terbilang masih jarang.

mindvoke11

Selanjutnya, Shinta VR punya agenda untuk melepas Codename: Mindvoke di Steam tahun ini (walaupun belum diketahui kapan tepatnya akan meluncur). Di versi baru itu nanti, game kabarnya siap mendukung mode 5 versus 5.

Turnamen Codename: Mindvoke sendiri akan terus dilangsungkan di sepanjang tahun, digelar di gerai-gerai What’s Up Cafe. Shinta VR sengaja memilih lokasi-lokasi yang berdekatan dengan kampus, dan ‘season pertama’ ini dilaksanakan di area Kemanggisan dari mulai tanggal 6 sampai 28 April 2018.

Konten VR Serial TV Silicon Valley Akhirnya Dirilis untuk HTC Vive

Oktober lalu, diberitakan bahwa serial TV populer Silicon Valley sedang dibuatkan konten virtual reality yang interaktif. Konten berjudul lengkap Silicon Valley: Inside The Hacker Hostel itu sudah dirilis resmi hari ini, khusus untuk VR headset HTC Vive.

Rupanya HBO menunggu sampai season kelima Silicon Valley siap tayang pada tanggal 25 Maret 2018 sebelum merilis konten VR ini, yang sejatinya dimaksudkan sebagai salah satu medium promosi. Seperti yang diberitakan sebelumnya, di sini kita tidak hanya diajak untuk melihat-lihat markas para karakter dalam serial tersebut, tapi juga bermain-main dengan ratusan objek di dalamnya.

Para penggemar Silicon Valley pasti bakal takjub melihat begitu mendetailnya rekreasi markas tim Pied Piper dalam konten VR ini. Itu dikarenakan pengembangnya, Rewind, secara langsung mengambil deretan gambar 360 derajat pada lokasi syuting aslinya, termasuk mengakses blueprint yang disediakan HBO.

Selain berinteraksi dengan bermacam objek, pemain juga akan dihadapkan dengan sejumlah tantangan yang diberikan oleh karakter dalam film, spesifiknya Dinesh dan Gilfoyle. Lakon utamanya sendiri, Richard, bakal meminta bantuan dalam kegiatan coding-nya, dan di sepanjang permainan, pemain bisa melacak pesan rahasia dari Jared.

Seperti filmnya, Silicon Valley versi VR ini sama sekali tidak cocok untuk anak-anak, mengingat ada banyak konten berbau dewasa di dalamnya. Saya pribadi sebagai penggemar berat serial ini sangat tertarik mencobanya, namun dalam hati saya juga berpikir bahwa ini bakal lebih menarik lagi andai bisa dimainkan bersama teman (multiplayer).

Sumber: TechCrunch dan Fast Company.

Headset VR Standalone HTC Vive Focus Akan Tersedia Secara Global Tahun Ini

Kompetisi di ranah yang didominasi HTC dan Oculus kembali memanas ketika sejumlah rakasa teknologi mulai mengadopsi konsep untether. Sejak paruh kedua 2017, para produsen mulai melepas dan memperkenalkan headset-headset VR standalone. Dari pengamaan saya, penyingkapan HMD VR ‘referenceSnapdragon 845 mendorong para pemain lama untuk mengeksekusi strategi baru.

Di acara Game Developers Conference 2018 yang tengah berlangsung sekarang, HTC mengumumkan rencana buat menghadirkan headset VR standalone Vive Focus secara global di tahun ini. Vive Focus disingkap perdana di Google I/O bulan Juli 2017, namun waktu itu, perangkat baru difokuskan ke wilayah Tiongkok saja. Efeknya, detail terkait spesifikasi dan teknologi Vive Focus agak sulit diketahui.

Pengumuman ini juga menandai agenda HTC buat menyediakan Vive Focus secara komersial untuk konsumen biasa. HTC menjanjikan pemakaian yang fleksibel serta responsif berkat sistem 6DoF tanpa sensor eksternal tambahan, memungkinkannya membaca gerakan atas/bawah, kiri/kanan, maju/mundur, serta yaw, pitch dan roll. Dan berbeda dari headset Vive standar, Vive Focus mengusung platform Vive Wave.

Vive Wave adalah platform VR terbuka garapan HTC yang diungkap bulan November kemarin. Software ini didesain agar kompatibel dengan aplikasi-aplikasi berbasis Viveport, dan bukan Steam. HTC merasa yakin bahwa kombinasi hardware serta software tersebut membuat Vive Focus bisa digunakan oleh segala jenis kalangan, dari mulai konsumen biasa hingga segmen enterprise yang bermaksud menyajikan konten virtual reality via headset portable.

Headset VR standalone seperti Vive Focus merupakan ‘makhluk’ berbeda dari HMD Vive standar (atau Vive Pro) serta perangkat ala Samsung Gear VR. Ia dapat bekerja mandiri, bisa beroperasi tanpa tersambung ke PC ataupun mengandalkan smartphone. Di dalam, Vive Focus menyimpan system-on-chip yang dikhususkan buat menjalankan konten-konten VR. Di versi yang sempat dipasarkan, HMD kabarnya dipersenjatai chip Qualcomm Snapdragon 835, namun ada kemungkinan kita juga akan memperoleh model baru bertenaga Snapdragon 845.

Tentu saja konten menjadi hal penting penentu sukses atau tidaknya produk. Untuk sekarang, baru tersedia 50 aplikasi buat Vive Focus, dan HTC tengah berusaha menambah jumlahnya lagi – salah satunya dengan mengadakan Viveport Developer Awards di GDC 2018.

Buat saya, penentuan harga juga merupakan faktor krusial. HTC memang belum mengabarkan harga retail global Vive Port, tapi di Tiongkok, produk ini dibanderol US$ 600. Meskipun lebih rendah dari modal yang dibutuhkan buat membeli HTC Vive plus PC VR ready, di mata konsumen awam, US$ 600 mungkin terasa mahal untuk sebuah device dengan fungsi terspesialisasi.

Tambahan: CNET.