Arip Tirta: Teknologi Bisa Mengubah Orang dan Bisnis Secara Cepat dan Signifikan

Artikel ini adalah bagian dari Seri Mastermind DailySocial yang menampilkan para inovator dan pemimpin di industri teknologi Indonesia untuk berbagi cerita dan sudut pandang.

Silicon Valley menjadi ‘surga’nya industri startup dan Arip Tirta sempat menjajal kawasan ini selama hampir 7 tahun, menganalisis pasar untuk perusahaan pasar modal terkemuka yang berbasis di AS yang memberikan pinjaman kepada perusahaan teknologi, ilmu hayati, dan teknologi berkelanjutan.

Pada tahun 2011 ia memutuskan untuk pulang dan membangun usahanya sendiri. Ia memulai debut di bidang properti bersama UrbanIndo, sebuah layanan online yang membantu penggunanya untuk memasarkan, menjual, dan membeli properti di Indonesia. Setelah diakuisisi oleh startup proptech lain 99.co, Arip melanjutkan berjalanan bisnisnya di sektor akomodasi, Bobobox. Selain membangun usaha, dia juga aktif berinvestasi di startup, termasuk terlibat langsung dalam operasional perusahaan di beberapa startup.

Saat ini, Arip sedang fokus pada Evermos, sosial commerce pertama yang memberdayakan Usaha Kecil Menengah dan individu, dengan menghubungkan pemilik merek ke pengecer hingga konsumen akhir melalui platform. Ia memiliki semangat yang luar biasa dalam mengembangkan ekosistem UKM, juga berperan menjadi bagian dari komisaris BRI Ventures untuk membantu membangun ekosistem VC di Indonesia.

Selain pengalamannya di Silicon Valley, Arip Tirta memiliki spesialisasi di bidang modal ventura, pinjaman ventura, perusahaan ekuitas, start-up, wirausahawan, manajemen keuangan, dan model bisnis. Tim DailySocial berkesempatan untuk berdiskusi mengenai bisnis dan ekspektasi masa depan industri teknologi Indonesia.

Kapan pertama kali Anda menyadari ketertarikan pada industri teknologi?

Saya memiliki latar belakang pendidikan di bidang komputasi ilmiah. Sebuah ilmu kombinasi dari matematika terapan, statistik, dan ilmu komputer. Selama di kampus, saya selalu bermimpi untuk masuk ke Wall Street dan menjadi seorang trader. Namun, hidup tak selalu berjalan sesuai rencana. Di tahun terakhir kuliah saya, saya mendapat kesempatan wawancara dengan salah satu perusahaan modal ventura & ekuitas swasta yang berbasis di Palo Alto. Saat itu, sudut pandang saya tentang industri teknologi masih terbatas, namun, akhirnya saya diterima karena kemampuan teknis.

Perjalanan awal saya di industri teknologi adalah menjadi analis untuk perusahaan pasar modal terkemuka yang berbasis di AS yang memberikan pinjaman kepada perusahaan teknologi, ilmu hayati, dan teknologi berkelanjutan. Selama beberapa tahun pertama, saya adalah generalis sampai pada akhirnya memutuskan untuk fokus pada industri teknologi di tahun ketiga. Saat itu, semuanya mulai terasa lebih menarik. Selama hampir 7 tahun menganalisis pasar di Silicon Valley, saya memutuskan untuk pulang serta mengaplikasikan apa yang sudah saya pelajari di sana.

Pertemuan tahunan Hercules Capital tahun 2008

Setelah menghabiskan waktu cukup lama di Silicon Valley, apa yang meyakinkan Anda untuk meninggalkan kawasan itu dan pulang ke Indonesia?

Jika ada satu hal yang saya pelajari di Silicon Valley, teknologi dapat mengubah orang dan bisnis secara cepat dan signifikan. Contohnya, dalam hal pemasaran. Pada era ketika internet sangat eksklusif, orang harus mengeluarkan banyak uang untuk iklan. Saat ini, pilihan semakin banyak, banyak hal yang bisa dilakukan bahkan dengan keterbatasan finansial. Teknologi mengubah cara kerja pemasaran dan hal ini akan terus berkembang.

Pada tahun 2010, Indonesia mengalami era ledakan internet yang pertama, salah satu momen bersejarah adalah akuisisi Koprol oleh Yahoo! Saya menyaksikan pertumbuhan perusahaan teknologi Indonesia dari jauh dan cukup terkesan. Dengan beberapa pertimbangan serius, saya akhirnya mengambil keputusan besar dan meninggalkan Silicon Valley untuk berkontribusi dalam kapasitas saya dengan pengalaman saya ke pasar Indonesia.

Bagaimana pengalaman pertama Anda dalam membangun startup?

Ketika kita ingin memulai sesuatu, tidak yang namanya perfect timing. Beberapa bulan sebelum berangkat ke kampung halaman, saya sudah mengerjakan beberapa ide dan rencana bisnis, salah satunya adalah industri real estate.

Penampakan Indonesia di tahun 2010 adalah seperti wild wild west dimana infrastruktur dasar sangat terbatas. Oleh karena itu, kami [penggiat teknologi] secara kolektif berusaha mengembangkan fondasinya. Saya melakukannya di sektor properti, lalu yang lain juga melakukannya di berbagai sektor. Pada saat yang sama, kita pun perlu mengedukasi pasar. Dalam kasus ini, pasar tidak hanya mewakili pengguna akhir tetapi juga pemerintah, termasuk keluarga alias masyarakat.

Ketika menginjakkan kaki kembali di tanah air, saya sadar bahwa tidak seharusnya membandingkan kultur kerja di sini dengan yang ada di Silicon Valley. Oleh karena itu, semua saya lakukan tanpa ekspektasi tinggi, yang penting bisa berjalan lancar. Kami mendirikan UrbanIndo pada tahun 2011, layanan online yang membantu pengguna memasarkan, menjual, dan membeli properti di Indonesia.

Kegiatan akhir tahun UrbanIndo tahun 2014

Pertama, saya melihat dunia properti Indonesia kekurangan data pasar dan memutuskan untuk melakukan disrupsi agar lebih banyak orang dapat memiliki lebih banyak wawasan di sektor ini. UrbanIndo dibangun untuk menjadi situs properti terbaik di Indonesia dengan mendefinisikan ulang cara pandang masyarakat Indonesia terhadap properti. Dengan demikian, seluruh masyarakat Indonesia dapat mengambil keputusan terbaik terkait investasi properti. Kami fokus pada wawasan pasar, perubahan harga, proyeksi, undervalued property yang tersedia, dan sebagainya.

Kami melakukan segalanya dalam kapasitas kami untuk membangun platform ini, didukung oleh Gree Ventures, IMJ Fenox, East Ventures, dan angel investor terkemuka. Sebuah masa yang menyenangkan selama hampir 7 tahun membangun bisnis sampai pada akhir tahun 2017, kami akhirnya memutuskan untuk menerima unsolicited offer dari startup pencarian properti Singapura 99.co.

Diketahui aktif sebagai angel investor, Anda juga salah satu Co-Founder Bobobox serta secara langsung berkontribusi dalam operasionalnya sebagai Managing Director selama hampir satu tahun. Bagaimana Anda mengelola waktu dan kepentingan?

Ketika di UrbanIndo, saya juga menjalankan angel investing. Ada beberapa sektor yang rentan disrupsi. Dengan bobobox, saya terlibat sejak awal. Saya melihat industri travel sedang dalam puncak kejayaan. Banyak orang bepergian, sekedar untuk konten atau dengan harapan mendapat ketenangan pikiran. Lalu kami menemukan bahwa akomodasi yang memakan banyak biaya menjadi masalah besar di segmen ini. Salah satu cara untuk mengatasi masalah ini adalah dengan memaksimalkan ruang sehingga menghasilkan penawaran harga yang hemat biaya.

Bobobox didirikan pada tahun 2018, solusi akomodasi baru, muda, ramping, gesit, dan cerdas untuk semua orang. Bobobox menjadi akomodasi alternatif bagi para pelancong milenial dan smart traveler yang ingin mencoba sesuatu yang baru dan berbeda. Platform ini dibangun untuk merevolusi kebiasaan tidur dan membantu orang tidur lebih baik dan menyajikan pengalaman lebih banyak melalui teknologi.

Angel Investing di Indonesia semakin populer karena banyak pendiri startup telah exit dan individu dengan kekayaan berlimpah yang semakin tertarik untuk berinvestasi langsung di startup. Berbeda halnya dengan Silicon Valley, karena di sana sudah terjadi siklus penuh dari pendirian startup hingga exit. Sementara di Indonesia, tahun ini bisa terjadi full cycle ketika unicorn/decacorn nasional berhasil exit di bursa luar negeri.

Sebagai social commerce, Evermos fokus untuk memberdayakan UMKM dan individu pada platformnya, secara khusus brand-brand Muslim. Mengapa anda memutuskan menggunakan pendekatan seperti ini?

Kilas balik ke Silicon Valley, dulu saya sempat berpikir untuk memulai usaha di ranah e-commerce. Di setiap daerah, sektor yang biasanya lebih dulu take off adalah e-commerce, juga yang pertama menjadi unicorn. Namun, ketika saya melihat situasi di Indonesia saat itu, sudah ada beberapa pemain papan atas dan jika harus menambahkan, tidak akan ada perbedaan yang signifikan dalam hal value proposition.

Melaju ke 2018, saya melihat ada banyak pain points di industri ritel. Ada banyak perantara yang dibutuhkan untuk menyelesaikan siklus dari pemilik merek hingga pengguna akhir. Dan saya berpikir, bagaimana mendisrupsi pasar ritel ini? Bertahun-tahun telah berlalu sejak e-commerce berkembang di seluruh Indonesia, tetapi persentase pembelian online masih terhitung tidak cukup besar. Ada beberapa alasan, salah satunya adalah manusia sebagai makhluk sosial dan budaya.

Saat itu, perdagangan sosial belum menjadi sesuatu. Bahkan, kami juga berusaha membawa dampak positif e-commerce ke pasar yang lebih besar. Didirikan pada November 2018, Evermos menjadi social commerce pertama yang memberdayakan Usaha Kecil Menengah dan individu, dengan menghubungkan pemilik merek ke pengecer hingga konsumen akhir melalui platform kami.

Kami ingin menciptakan ekonomi dan kesejahteraan yang inklusif dengan memberikan akses, kesempatan, dan pelatihan bagi individu dan UKM untuk lebih mandiri secara finansial.

Indonesia adalah negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, oleh karena itu, kami memutuskan menjadi platform yang berbasis syariah. Namun, ini tidak eksklusif dan terbuka untuk semua jenis pedagang terlepas dari basis syariah tersebut. Pendekatan ini semata-mata demi membuat platform lebih inklusif.

Saya memutuskan fokus dengan UKM karena industri ini telah menyumbang 60% dari PDB kita dan menyerap sekitar 97% tenaga kerja domestik. Belum dihitung dengan pekerja unskilled. Evermos dianggap mengambil jalan yang sulit, jauh lebih mudah menjangkau merek global dengan pola pikir yang berkembang dan teknologi yang canggih. Namun, kami mempertanyakan diri sendiri, dampak seperti apa yang ingin diberikan, apakah itu menghasilkan keuntungan jangka pendek atau keuntungan jangka panjang. Oleh karena itu, kami memutuskan untuk fokus pada merek lokal yang dapat memberikan dampak bagi perekonomian bangsa.

Kami percaya sekelompok orang atau UKM yang bekerja sama dengan platform dan insentif yang tepat, dapat mencapai sesuatu yang substansial. Itulah mengapa kami menaruh kepercayaan pada social commerce, karena ini adalah ekonomi kerakyatan, di mana kami dapat menjadi jembatan bagi UKM di tahap awal. Dengan Evermos, mereka dapat fokus pada produksi untuk menciptakan harga yang kompetitif dengan pemain global. Saluran penjualan kami tersebar di seluruh Indonesia, sehingga merek lokal otomatis akan memiliki jangkauan nasional. Inilah yang menjadi proposisi nilai kami.

Ketakutan terbesar saya dari sisi startup teknologi atau UKM adalah negara kita menjadi konsumen tunggal. Kita harus bisa membangun nilai, bukan menjadi pedagang tunggal. Perekonomian Indonesia harus memiliki dampak positif, itu adalah bagian penting dari bangsa ini.

Perjalanan pitching pertama Evermos di 2018

Anda telah mengarungi sektor properti, akomodasi, lalu social commerce. Apa yang menjadi tantangan terbesar atau pelajaran berharga dari semua pengalaman tersebut?

Setiap industri memiliki masalah yang berbeda. Sebenarnya, ada beberapa masalah serupa yang harus kita waspadai dan tingkatkan secara kolektif. Di Indonesia, beberapa startup biasanya mengalami kesulitan dalam monetisasi. Kesalahan kami sebelumnya adalah memikirkan pangsa pasar dan menjadi yang terdepan lebih dulu, lalu memikirkan tentang monetisasi. Strategi ini telah terbukti di banyak negara. Nyatanya, Indonesia adalah bangsa yang unik, banyak orang berpendapat solusi internet seharusnya gratis. Strategi seperti ini mungkin berhasil di negara lain tetapi di Indonesia adalah sebuah peruntungan.

Kedua, sumber daya manusia. Hingga saat ini, Indonesia masih mengalami krisis karena kurangnya pekerja di lapisan tengah. Dari sisi suplai, talenta masih cukup langka, terutama yang berlatar belakang teknologi. Saya pikir kedua masalah ini terjadi di hampir semua sektor.

Berpengalaman sebagai venture capitalist serta venture builder, bagaimana Anda melihat iklim investasi di Indonesia serta proyeksi pertumbuhan industri teknologi Indonesia beberapa tahun terakhir?

Seperti yang saya katakan sebelumnya, Indonesia belum pernah menciptakan satu siklus penuh dalam hal investasi ventura. Mulai dari investasi hingga panen. Tahun ini akan menjadi tahun validasi bagi unicorn/decacorn yang sudah memiliki rencana IPO. Semoga exit tersebut juga bisa menjembatani startup lain untuk kegiatan M&A. Indonesia sudah menjadi pasar yang sangat menarik, ini adalah cara kita untuk memicu lebih banyak kisah sukses yang berdampak pada seluruh ekosistem.

Di era pandemi, banyak orang mencari modal, sementara VC semakin selektif dengan investasinya. Melalui dua perspective, bagaimana menurut Anda sebuah bisnis layak mendapat investasi serta apa value utama yang dicari investor dari sebuah bisnis/seorang founder?

Pandemi ini adalah sebuah anomali dan yang menjadi reaksi pertama adalah menunggu dan mengamati. Seiring berjalannya waktu, investor semakin beradaptasi dan menyesuaikan dengan kondisi saat ini, melihat beberapa perusahaan dapat melewatinya dengan pertumbuhan yang sehat. Lagipula, ada sejumlah uang yang harus dikucurkan ke perusahaan. Ketika masa menunggu dan mengamati berlalu, para investor mulai masuk secara selektif.

Saat ini, banyak startup yang juga sedang menggalang dana, dan situasinya diharapkan semakin membaik. Mengenai penilaian VC, itu sangat tergantung pada pasar dan pengalaman pribadi. Ada kalanya pertumbuhan menjadi hal yang mendasar,  dewasa ini, bukan lagi perihal pertumbuhan dengan cara apapun, tetapi pertumbuhan yang sehat.

Sebagai salah satu komisaris di BRI Ventures, saya pribadi memiliki dua hal. Pertama, perusahaan ingin membangun ekosistem VC di Indonesia. Karena banyak VC membangun kantor di negara ini, uangnya tidak tinggal di sini. Hal ini adalah tentang bagaimana membuat VC dan uangnya bisa tinggal untuk membangun ekosistem. Kedua, BRI sebagai bank yang fokus pada UKM sangat selaras dengan passion saya terhadap UKM.

Para direktur dan komisaris BRI Ventures di 2020

Sebagai salah seorang yang layak disebut seasoned entrepreneur, apa hal yang dapat Anda sampaikan untuk para penggiat teknologi yang saat ini sedang berjuang membangun bisnis di era pandemi?

Untuk membuat startup teknologi, diperlukan pola pikir tertentu serta tidak menunggu waktu yang tepat. Selalu pikirkan jalan keluar terbaik dari situasi apa pun. Bagaimana kita bisa membuat kartu yang jelek bisa bekerja. Faktanya, ketika kita memutuskan untuk membangun usaha, tantangan adalah sesuatu yang sudah diantisipasi. Jika Anda harus menunggu waktu yang tepat, bagaimana Anda bisa menghadapi lebih banyak tantangan di depan.

Saya pribadi suka tangan saya kotor, itulah mengapa saya selalu terlibat di level operasional. Namun, saya mengerti bahwa inilah saatnya bagi kaum muda untuk berkembang. Saat ini saya sedang memfokuskan energi saya untuk membimbing dan sudah waktunya untuk menyerahkan tongkat estafet ini. Kita hidup di masa yang sangat menyenangkan. Sekitar 400 tahun yang lalu, hampir tidak mungkin menciptakan dampak besar dalam waktu sesingkat itu. Teknologi menciptakan kesempatan yang sama dan menarik kesenjangan lebih dekat bagi orang-orang untuk menciptakan dampak yang besar.


Artikel asli dalam bahasa Inggris, diterjemahkan oleh Kristin Siagian

Arip Tirta: Technology Can Change People and Business in a Fast and Significant Way

This article is a part of DailySocial’s Mastermind Series, featuring innovators and leaders in Indonesia’s tech industry sharing their stories and point of view.

Silicon Valley is the paradise of the startup industry and Arip Tirta spent nearly 7 years analyzing the market for the US-based leading capital market company that lends to technology, life sciences, and sustainable technology companies. He has specialties in venture capital, venture lending, private equity, start-ups, entrepreneurs, financial structuring, and business models.

In 2011 he decided to come home and built his own venture. His startup debut is in the property sector, with UrbanIndo, an online service that helps its users to market, sell, and buy property in Indonesia. After being acquired by another proptech startup 99.co, Arip moved to the next venture in the accommodation sector, Bobobox. Aside from building a venture, he also actively invest in startups, he also directly involved in some of the startups.

Arip’s current focus now lies in Evermos, the first social commerce to empower Small Medium Enterprises and individuals, by connecting brand owners to resellers to end consumers through the platform. He’s currently very passionate about cultivating the SME ecosystem, also become a part of BRI Ventures’ commissioner to help to build the VC ecosystem in Indonesia.

Aside from his experience in Silicon Valley, Arip Tirta has specialties in venture capital, venture lending, private equity, start-ups, entrepreneurs, financial structuring, and business models. DailySocial team has an opportunity to discuss his venture and future expectations of the Indonesian tech industry.

When was the first time you realize that you’re in the tech industry?

I have an educational background in scientific computing. It’s a combination of applied math, statistics, and computer science. During my campus life, I always dreaming about making it into Wall Street and become a trader. Then, life got in the way. In my last year of college, I got an interview with one of the venture capital & private equity-based in Palo Alto. My viewpoint of the tech industry was limited at that time, however, I managed to pass the interview with my technical skill.

My first attempt in the tech industry was being an analyst for the US-based leading capital market company that lends to technology, life sciences, and sustainable technology companies. During my first few years, I was being a generalist until I decided to focus on the tech industry in my third year. I think that was when it all started to become more interesting. I spent 7 years analyzing the market in Silicon Valley and leaving with the finest seeds to plant in the home country.

Hercules Capital annual meeting circa 2008

You’ve had the time of your life in Silicon Valley, what makes you leave the “it” city and decided to come home?

If there is one thing I’ve learned in Silicon Valley, technology can change people and business in a fast and significant way. In terms of marketing, back in the day when the internet is very exclusive, people have to pay loads of money for ads. Nowadays, when there are options, everything is made possible even with just a little money. Technology is changing the way marketing works and still counting.

In 2010, Indonesia was having its first internet boom, one of the historical moments was Koprol’s acquisition by Yahoo! I was watching Indonesian tech companies’ growth from afar and quite impressed. With some serious considerations, I finally pull the trigger and leave Silicon Valley to contribute more in my capacity with my experience to the Indonesian market.

How was your first experience building a startup?

When we want to start anything, there is no such thing as perfect timing. Few months before leaving for my hometown, I’ve already worked on some ideas and business plans, one of which is the real estate industry.

Indonesia circa 2010 is like a wild wild west where basic infrastructure is very limited. Therefore, we [tech enthusiasts] collectively trying to develop the foundation. I did it in the property sector, there are others in different sectors. At the same time, we need to educate the market. Market in this sense not only stands for end-users but also the government, including families a.k.a societies.

When I set my foot back in this archipelago, I’m aware that I shall not compare how things work in here with the way things are in Silicon Valley. Therefore, I did it all without high expectation, just try to make it work. We founded UrbanIndo, an online service that helps users market, sell, and buy property in Indonesia in 2011.

UrbanIndo year-end event circa 2014

First, I see the Indonesian property lacks market data and decided to disrupt this industry for more people can have more insights on this sector. UrbanIndo was build to become the best property site in Indonesia by redefining the way Indonesians looking at properties. Therefore, all Indonesian people can make the best decision regarding investment in property. We’re focused on market insights, changing prices, projections, available undervalued property, and so on.

We did everything in our capacity to build this platform, it was backed by Gree Ventures, IMJ Fenox, East Ventures, and prominent angels. It was an exciting nearly-7-years time of making business work until in late 2017, we finally decided to accept an unsolicited offer from Singapore’s property search startup 99.co.

It is said that you are also an active angel investor. With Bobobox, you become the Co-Founder and directly contribute to managing day-to-day operations as Managing Director for almost a year. How did you manage?

While I was working with UrbanIndo, I also did some angel investing. There are several sectors that are worth disrupting. With bobobox, I was involved since the beginning. I see the travel industry is at its peak. Many people are traveling a lot, despite for content or just for peace of mind. We then found out that accommodation becomes a big cost-related issue in this segment. One of the ways to solve this problem is to maximize space resulting in cost-effective price.

Bobobox was founded in 2018, a new, young, sleek, nimble, and smart accommodation solution for everyone. Bobobox becomes the alternative accommodation for millennial adventurers and smart travelers who crave something new and refreshing. The platform was built to revolutionize sleeping habits and help people sleep better and experience more through technology.

Angel investing in Indonesia is getting popular as many startup founders have exited with high net worth individuals growing interested to invest directly in startups. In Silicon Valley, it’s different indeed as they have passed some full cycle from startup founding to exit. Meanwhile in Indonesia, it’ll make its full cycle this year when the nation’s unicorn/decacorn succeeded to exit in the overseas stock exchange.

As social commerce, Evermos focuses to empower SMEs and individuals on its platform, especially Muslim brands. Why do you take this approach?

Throwback to Silicon Valley, I used to think I would start my venture with e-commerce. In every region, the sector that is usually taking off first is e-commerce, the first one to make it into a unicorn. However, when I examine the current situation in Indonesia, there are already some leading players and if I added one more, there will not be a significant difference in terms of a value proposition.

Fast forward to 2018, I see the there are lots of pain points in our retail industry. It requires many middlemen to complete the cycle from brand owners to end-users. And I think to myself, how to disrupt this retail market? Years have passed since e-commerce expanding all around Indonesia, but the percentage of online purchasing is considered not big enough. There are several reasons, including people as a social being and culture.

Back then, social commerce is yet to be a thing. In fact, we also tried to bring the positive impact of e-commerce to a bigger market. Founded in November 2018, Evermos is the first social commerce to empower Small Medium Enterprises and individuals, by connecting brand owners to resellers to end consumers via our platform.

We want to create inclusive economy and prosperity by giving access, opportunity and training for individuals and SMEs to become more financially independent.

Indonesia is a country with the largest Muslim population in the world, therefore, we decided our platform be sharia compliance. However, it is not exclusive and it’s open for all kinds of merchants regardless of the sharia compliance. The approach is to make the platform more inclusive.

SME becomes one of my focus since it contributes to 60% of our GDP and absorbs around 97% of domestic employment. Try counting the unskilled workers, too. Evermos is considered to take the hard road as it is easier to deal with global brands with a growth mindset and sophisticated technology. However, we did questioning ourselves about the impact we want to create, is it to make a short term gain or long term gain. Thus, we decided to focus on local brands that can create an impact on the nation’s economy.

We believe whether the group of people or SMEs work together with the right platform and incentives, we can achieve something substantial. That is why we put our trust in social commerce because this is people’s economy, where we can be the bridge for SMEs in the early stage. With Evermos, they can focus on production to create a competitive price with global players. Our sales channels are distributed throughout Indonesia, therefore, the local brands automatically become national companies. This has become our value proposition.

My biggest fear in terms of tech startups or SME is that our country became a sole consumer. We have to be able to build the value, instead being a sole trader. Indonesian economy should have the positive impact, it’s an essential part of this nation.

Evermos first pitch to investor trip circa 2018

You’ve been venturing in the property sector, accommodation, and now the social commerce, Evermos. What is the biggest challenge or the lesson learned from all your experiences?

Every industry holds different issues. In fact, there are some similar concerns we should be aware of and collectively improve. In Indonesia, some startups are usually having difficulty with monetization. Our previous blunder was thinking of market share first and being the leading one, then we can turn on monetization. This strategy has proven in many countries. After all, Indonesia is indeed a unique nation that some people are not willing to pay a certain amount for an internet solution. It might work in other country but it’s a leap of faith in Indonesia.

Second, it’s the human resources. To date, Indonesia still experiences a crisis due to the lack of a middle layer. In terms of supply, talent is still quite rare, especially in a tech background. I think both issues are happening in almost every sector.

You’ve had experience as a venture capitalist and venture builder, what do you think of Indonesia’s investment climate, and how do you see the Indonesian tech industry’s growth for the past few years?

As I said previously, Indonesia is yet to create one full cycle in terms of venture investment. From investing to harvesting. This year will be the year of validation for the unicorn/decacorn which already have plans for IPO. Hopefully, the exit can also bridge other startups for M&A activities. Indonesia is already a very attractive market, it’s how we trigger more success stories to impact the whole ecosystem.

In this time of the pandemic, people are looking for capital everywhere, and VCs have been tight and selective with their investment. Using both perspectives, what do you think a business can do to get funding and what kind of value most investors are seeking for in a founder/business.

The pandemic is an anomaly and people’s first reaction is to wait and see. In time, investors are getting adapt and adjust to the current condition seeing some companies can make it through with healthy growth. Also, there’s a certain amount of money to be planted to companies. When the wait-and-see season is finally passed, they started to chip in selectively.

There are also lots of startups fundraising at this moment, hopefully, the situation gets better. Regarding VC’s assessment, it’s really depend on the market and personal experience. There are times when growth becomes the fundamental, today, it’s not really about growing at any cost, but growing in a healthy way.

As one of the commissioners in BRI Ventures, I personally have two things. First, the company wants to build VC ecosystem in Indonesia. As many VCs build offices in this country, the money did not stay here. It’s about how to make VCs and its money can stay to generate the ecosystem. Second, BRI as an SME-focused bank is very aligned with my passion for SMEs.

BRI Ventures directors and commissioners circa 2020

As a seasoned entrepreneur, do you have anything to say to those tech enthusiasts who tried to start something in this time of pandemic?

In order to create tech startup, it requires certain mindset and no perfect timing. Always think of the best way out of any situation. How can we make an unfortunate card works. In fact, when we decided to venture, challenge is something expected. If you have to wait for the perfect timing, how can you face the more challenges ahead.

I personally like my hands dirty, that’s why I involved in the operation level. However, I understand that this is the time for young people to blossom. I’m currently focusing my energy to mentor and it’s already time to pass the baton. We live in a very exciting time. About 400 years ago, it’s almost impossible to create big impact in such short time. Technology creates equal opportunity and pulling the gap closer for people to create a big impact.

Aplikasi Manajemen Penyewaan RentBook Meluncur di Indonesia

Bertujuan untuk memudahkan perusahaan persewaan peralatan yang ingin mendigitalkan bisnis mereka, startup asal Silicon Valley, RentBook, meresmikan kehadirannya di Indonesia. RentBook didukung oleh Tenderd yang berbasis di Uni Emirat Arab, dan didukung oleh investor seperti Peter Thiel (pendiri Paypal), dan Y Combinator.

Kepada DailySocial, Country Launcher RentBook Indonesia Riky Hartaman mengungkapkan, aplikasi RentBook gratis untuk digunakan dan telah tersedia di Kanada, Uni Emirat Arab, Arab Saudi, India, Nigeria, Indonesia, Malaysia, dan Filipina.

“Rentbook adalah platform untuk manajemen bisnis sewa secara praktis dan full digitalized. Aplikasi ini dapat membantu pengguna untuk melakukan inventori aset, pencatatan aktivitas sewa. dan promosi.”

Fitur unggulan

Untuk memudahkan pengguna, RentBook mengklaim memiliki beberapa fitur andalan. Di antaranya pengaturan file inventory untuk mengorganisir kerapihan berbagai berkas yang dibutuhkan. Fitur lain yang tersedia adalah, pencatatan semua aktivitas persewaan dan pengingat pembayaran melalui SMS gratis untuk pelanggan, serta Store Front (website toko sewa) untuk mempromosikan bisnis sewanya. Semua data dan transaksi sewa juga dapat disimpan secara aman dan tanpa batas di aplikasi.

Secara khusus RentBook memiliki model bisnis yang serupa dengan Shopify. Aplikasi ini gratis untuk digunakan, ke depannya layanan baru akan tersedia dengan model berlangganan. Secara global, RentBook memiliki lebih dari 30 ribu pengguna, kebanyakan bisnis skala kecil dan menengah telah mendaftar.

“Kami telah mengoperasikan marketplace persewaan alat berat di Uni Emirat Arab dan Arab Saudi selama 2 tahun terakhir, kami yakin bahwa pembelajaran kami telah memungkinkan kami untuk membangun platform yang lebih praktis,” kata Riky.

Pada umumnya, Rentbook sangat cocok digunakan untuk rental alat berat dan konstruksi seperti excavator, bulldozer, dan forklift; rental di bidang logistik seperti trucking dan kendaraan angkut lainnya; rental di bidang properti seperti apartemen, kos, ruko, tanah, gedung, atau pun rumah; dan rental mobil atau motor serta aset bergerak lainnya. Namun, RentBook juga tidak menutup kemungkinan digunakan untuk menyewakan barang koleksi pribadi seperti buku, kamera, atau perlengkapan bayi yang masa pakainya terbatas lalu teronggok di rumah.

“Aplikasi ini mudah digunakan, sesuai untuk semua kalangan khususnya UKM yang belum melibatkan dalam keseharian bisnisnya. Rentbook telah tersedia pada platform android, iOS, dan website, dalam Bahasa Indonesia, Inggris, Arab, Urdu dan Hindi, dan lebih banyak lagi yang akan datang,”kata Riky.

Upaya RentBook saat pandemi

Karena pandemi, calon pelanggan kesulitan untuk bertemu dengan pemilik aset. Potensi calon pelanggan baru jadi berkurang atau bahkan menghilang. Komunikasi dengan pelanggan, pelacakan persewaan, serta pengumpulan pembayaran yang secara tradisional mengandalkan dokumen dan interaksi tatap muka, kini telah terganggu.

Peluncuran Store Front baru-baru ini diharapkan akan memungkinkan pemilik aset lebih mengontrol bisnis mereka, karena mereka dapat menyiapkan situs web dalam waktu kurang dari 1 menit, dan mempromosikannya di mana saja, terutama di media sosial. Sejauh ini, RentBook menargetkan 100 ribu bisnis baru tahun ini.

Covid-19 benar-benar memengaruhi orang dari semua lapisan masyarakat di seluruh dunia. Kami di RentBook merasakan panggilan yang kuat untuk membantu bisnis UKM dan berhasil dengan baik melalui digitalisasi bisnis mereka,” kata Riky.

Application Information Will Show Up Here

StartupIndonesia.co Bermitra dengan Draper University, Hubungkan Startup Lokal dengan Program Inkubator di Silicon Valley

Sejak diluncurkan pada akhir tahun lalu, StartupIndonesia.co platform hub online untuk pengusaha rintisan lokal terus menambah kapabilitas dan memperluas jaringan. Teranyar, mereka baru umumkan kolaborasinya dengan program pra-akelerasi dari Silicon Valley, Draper University.

Melalui kolaborasi ini, StartupIndonesia.co menjadi official partner bagi Draper University untuk menjaring startup dari Indonesia. Memungkinkan para startup di StartupIndonesia.co mendapatkan akses untuk bergabung dengan program tersebut, termasuk terkoneksi dengan para investor dari Silicon Valley. Program kerja sama ini resmi dibuka mulai 11 Juni 2020.

“Dengan kerja sama ini, kami berharap bisa memberikan kesempatan yang sama bagi semua startup yang ada di Indonesia, bahkan yang di luar Jakarta untuk terhubung dengan Silicon Valley. Harapannya, partnership dengan Draper University bisa mengangkat visibility startup dari Indonesia,” ungkap Head of StartupIndonesia.co Erwin Arifin.

Sementara itu Chairman StartupIndonesia.co Shinta Dhanuwardoyo juga menambahkan, “Kami mengajak para startup dan founder dari seluruh Indonesia untuk berpartisipasi dalam kerja sama ini, karena merupakan kesempatan yang bagus untuk bisa terhubung dan belajar dari salah satu hub inovasi dunia di Silicon Valley.”

StartupIndonesia.co diluncurkan untuk membantu founder mendapatkan informasi dan akses ke jaringan mitra strategis, seperti mentor atau investor. Platform online ini diinisiasi oleh KADIN dan didukung oleh Kementerian Riset & Teknologi, Kementerian Telekomunikasi & Informatika, Asosiasi Modal Ventura Indonesia, dan BUBU.com.

Didirikan pada tahun 2012 oleh Tim Draper, Draper University telah memiliki lebih dari 1000 alumni dari 89 negara yang tergabung dengan Techstars, 500 Startups, dan YCombinator. Selain itu, startup lulusan Draper University juga telah mendapatkan venture funding lebih dari US$240 juta dan masuk ke dalam Forbes 30 Under 30.

Sebagai pengenalan, StartupIndonesia.co akan mengadakan webinar pada tanggal 20 Juni 2020 mendatang. Beberapa pemateri dari Draper University dan StartupIndonesia.co akan berbagi ide inovatif dan solusi untuk para startup sebagai persiapan new normal dalam Webinar bertajuk “Live from Silicon Valley: Innovation for the New Normal”.

SID x Draper - DailySocial

Disclosure: DailySocial merupakan strategic partner StartupIndonesia.co

Studi Banding ke Program Akselerator Y Combinator

Pada Oktober 2019, Y Combinator (YC) membuat daftar 100 startup binaan yang berhasil mencapai growth dan membukukan total valuasi mencapai US$155 miliar plus membuka lebih dari 50 ribu lapangan kerja. Dua dari Indonesia, yakni Payfazz (peringkat 66) dan Xendit (peringkat 53) – kebetulan keduanya bergerak di bidang fintech.

Secara terpisah, tim DSresearch mendapatkan konfirmasi bahwa kedua startup tersebut saat ini sudah menggaet status centaur, alias membukukan pendanaan lebih dari US$100 juta, dan terus menggalang pendanaan baru untuk mendukung ekspansi bisnis. Pertumbuhannya memang terus meningkat pasca keikutsertaannya dalam program akselerasi.

Kepada DailySocial, Co-Founder & CEO PayFazz Hendra Kwik memaparkan saat ini perusahaannya tengah alam penggalangan pendanaan seri B. “Ada banyak [investor], kebanyakan adalah strategic financial sector. Gabungan dari investor hedge fund, ada late stage investor dan strategic financial service investor. Prosesnya masih berjalan karena belum kita tutup.”

Pasca meluncur pada 2016 dan mengikuti akselerasi di tahun 2017, bisnis PayFazz tergolong tumbuh eksponensial. Berbasis keagenan, saat ini mereka telah memiliki 450 ribu anggota aktif dengan 2,5 juta unduhan aplikasi. sebarannya di seluruh Indonesia, dengan 40% terpusat di Pulau Jawa. Y Combinator dan MDI Ventures jadi investor awal PayFazz.

Perjalanan menuju Y Combinator

Pada dasarnya YC merupakan program akselerasi yang menyasar startup di tahap awal. Dengan mekanisme seleksi dan pengajaran yang dianggap relevan dengan model bisnis digital, para startup peserta dibina untuk memastikan solusi yang ditawarkan mendapatkan pangsa pasar yang tepat.  Docker, Reddit, Stripe, DoorDash, Airbnb dan Dropbox juga merupakan alumni program akselerasi yang digadang-gadang sebagai yang terbaik di dunia tersebut.

Untuk bisa masuk ke sana, ada serangkaian tahapan yang harus dilalui. Co-Founder & CEO Vahanalytics Shivalik Sen menceritakan pengalamannya ketika tergabung dalam YC Summer 2017. Setidaknya ada 5 tahap yang harus dilalui, dimulai dari yang paling awal yakni membuat akun di situs YC. Kedua, akan ada serangkaian formulir yang harus diisi. Selain berisi tentang informasi data diri, di sana turut disuguhkan beberapa pertanyaan yang “tricky” mengenai startup dan model bisnisnya.

Contoh pertanyaan:

  • Why did you pick this idea to work on? Do you have domain expertise in this area? How do you know people need what you’re making?
  • Who writes code, or does other technical work on your product? Was any of it done by a non-founder? Please explain.
  • Please tell us something surprising or amusing that one of you has discovered. (The answer need not be related to your project.)

Kendati hanya formulir online, menurut Shivalik bagian ini justru yang paling banyak menghabiskan waktu. Jawaban yang diharapkan untuk setiap pertanyaan adalah detail, founder diminta bercerita sekaligus meyakinkan tim YC melalui data-data pendukung. Konon setiap pertanyaan yang diajukan memang sudah didesain sedemikian rupa, sehingga ada berbagai aspek –termasuk teknis dan psikologis—yang dapat ditangkap oleh juri dari setiap isian yang diberikan.

Setelah proses sebelumnya selesai, semua peserta terdaftar tinggal menunggu beberapa waktu setelah tenggat waktu pendaftaran. Setiap peserta yang dinyatakan lolos tahap “screening” akan mendapatkan email untuk melakukan wawancara melalui video call. Waktunya kurang lebih 10 menit, meminta founder menjawab pertanyaan yang menegaskan kembali mengenai pemahamannya tentang visi startup, model bisnis dan founder.

Proses seleksi program Y Combinator
Proses seleksi program Y Combinator

Panggilan video tersebut hanya merupakan proses wawancara awal, karena selanjutnya bagi peserta yang lolos akan mendapatkan undangan untuk mengikuti wawancara langsung dengan mitra YC di Mountain View, California. Beberapa mitra akan bertemu untuk bertanya, beberapa bahasan umum yang disodorkan meliputi:

  • Tell us about what you’re building.
  • Tell us about your clients.
  • Who are these people specifically (referring to the clients)?
  • It seems like you’ve got a solid team, a working product and your first paying clients, what’s next?
  • Have you thought about the XXX [country] market?
  • So there are competitors in the XXX [country] already?
  • Why haven’t XXX [competitor] started using this?
  • What about XXX [competitor] in the XXX [country] ?
  • How are you going to accelerate growth?
  • What kind of sales cycle are you looking at for this?
  • How can you shorten this sales cycle and grow fast?

Kendati sudah di Silicon Valley, tidak menjamin startup pasti diterima. Setelah wawancara tersebut mitra YC masih akan mendiskusikan hasilnya. Bagi yang masih lanjut, maka akan diberitahu untuk mengikuti rangkaian proses setelahnya, mulai dari akselerasi sampai dengan demo day.

Panduan mencapai pertumbuhan

Di YC, startup tidak dianjurkan mengadopsi growth hack. Menurutnya, pendekatan salah saut misi penting program tersebut mengarahkan startup pada pertumbuhan jangka panjang. Growth hack dikesampingkan agar meminimalkan startup dengan aksi-aksi serampangan demi matriks eksponensial di jangka pendek. Bekerja sama dengan 25 pakar pertumbuhan bisnis yang bekerja di perusahaan teknologi dunia, YC telah meramu pendekatannya sendiri dalam mendidik startup binaannya mencapai pertumbuhan.

Untuk mencapai pertumbuhan tentu perlu investasi –baik dalam bentuk uang, sumber daya dan lain-lain. Di YC, setiap founder didorong untuk memeriksa retensinya masing-masing. Misalnya dengan memilih serangkaian metrik yang sesuai dengan model bisnis. Matriks yang dipilih harus berimplikasi pada pendapatan dan traksi, bukan unduhan aplikasi dan sebagainya. Retensi ini mencakup pada tiga hal, yakni stabilitas di jangka panjang, sesuai dengan tolok ukur rata-rata di vertikal bisnis, dan selalu menumbuhkan kelompok pelanggan baru.

Untuk startup tahap awal, pada dasarnya setiap orang bertanggung jawab untuk menjaga pertumbuhan bisnis. Namun di YC, melalui pendanaan awal yang diterima, startup akan diminta untuk membentuk tim growth-nya sendiri selama sudah membuktikan poin-poin retensi yang didefinisikan bersama oleh founder dan mentor. Untuk tahun pertama, YC menyarankan tim growth terdiri dari 1 product manager, 2-3 engineer dan 1-2 data scientist.

Rata-rata tim growth khusus ini dibentuk setelah startup memiliki setidaknya 15 engineer dan mendapati retensi yang kuat. Kesalahan paling umum yang dilakukan CEO adalah mendukung terlalu lama untuk merekrut PM yang difokuskan pada pertumbuhan.

Tim growth yang baik juga memainkan peran “pertahanan” yang mumpuni. Ini juga terkait dengan peluncuran dan peningkatan fitur layanan, biasanya pengembangan sering melewatkan faktor terkait pengguna. Tim growth yang ideal memiliki kemampuan untuk memahami akar permasalahan dalam hitungan menit, sembari memperhitungkan antisipasi untuk setiap dampak negatif yang terjadi. Sehingga perekrutan PM menjadi hal krusial. Standardisasi perekrutan PM di YC adalah harus menemukan orang yang berorientasi pada data, memiliki pengalaman di bidang terkait, dan jika memungkinkan sebelumnya pernah menjadi founder startup.

Strategi pertumbuhan di program Y Combinator
Strategi pertumbuhan di program Y Combinator

Setelah memiliki tim, YC akan mendorong startup binaannya melakukan serangkaian inisiatif terpadu di tahun awalnya. Pertama, menentukan tujuan absolut dan metrik kunci bisnis. Tujuan absolut ini diartikan sebagai sasaran yang benar-benar didefinisikan secara terukur, berupa angka-angka yang pasti. Misalnya untuk startup O2O, alih-alih mengatakan target peningkatan konversi 10%, lebih baik meletakkan target menambah 5 juta mitra retail baru. Jika perlu tujuan tersebut dibuat menjadi sub-bagian yang lebih rinci agar setiap poinnya memiliki takaran yang lebih realistis.

Langkah berikutnya startup diminta mengidentifikasi saluran pertumbuhan didasarkan perilaku pengguna yang ada. Biasanya dengan menjawab pertanyaan seperti:

  • How do customers find solutions/solve this issue today?
  • How do your best users use your product today? Can you do something to get more such users to discover the product quickly?

Untuk memantau pertumbuhan, penggunaan alat-alat seperti data set, segmentation tools, dasbor eksperimen, dan proses peer review sangat disarankan. Dasbor membantu tim untuk menjalankan berbagai percobaan dan menguji hasilnya sebelum mengusulkan setiap gagasan untuk ditambahkan ke produk. Berikut contoh dasbor yang diterapkan di internal Airbnb pada awal perkembangan mereka:

Contoh dasbor analisis yang dimiliki Airbnb / Y Combinator
Contoh dasbor analisis yang dimiliki Airbnb / Y Combinator

Untuk menguatkan seluruh hipotesis yang dimiliki, user research juga perlu dilakukan. Prinsipnya seperti ini, 10 ribu pengguna pertama akan memiliki karakteristik berbeda dengan 10 ribu pengguna kedua. Kadang detail keduanya tidak dapat ditemukan instan melalui data saja, melainkan harus benar-benar meminta umpan balik. Banyak pendekatan yang bisa dilakukan, mulai dari yang manual seperti meminta masukan sampai ke yang semi otomatis dengan menerapkan track UX aplikasi.

Kegiatan growth adalah aktivitas berulang. Jadi akan ada serangkaian iterasi hingga capaian bisnis terus meningkat. Ketika dilakukan dengan benar, program pertumbuhan akan menyebar ke seluruh organisasi, menjadikan evidence-based mindset sebagai bagian dari DNA perusahaan.

Mengupayakan pendanaan seri A

Pada dasarnya YC hanya akan memberikan pendanaan awal sebagai modal dasar startup menggali potensi pertumbuhan – merealisasikan materi-materi yang telah didapat dalam 3 bulan masa pendidikan. Namun demikian program akselerator tersebut juga mempersiapkan startup untuk memasuki pendanaan tahap lanjut, baik dengan menghubungkan/mempromosikan ke jaringan investor global yang dimiliki maupun membekali dengan teknik-teknik bisnis.

Para pakar di YC telah merumuskan jangka waktu yang tepat untuk startup dalam menggalang pendanaan seri A. Pertama, selama 6-12 bulan sebelum penggalangan, pastikan founder telah menjalankan metrik yang tepat untuk bisnisnya. Kuncinya adalah menunjukkan data tren perkembangan bisnis yang mengesankan. Setelah itu buat cerita tentang startup, tujuannya untuk membuat investor percaya dan selaras dengan visi-visi yang ingin dicapai.

Kemudian di fase ini founder juga disarankan untuk mulai rajin berjejaring. Kendati program seperti YC memfasilitasi jaringan investor, namun peran aktif founder akan sangat menentukan.

Tahapan proses pendanaan awal yang diterapkan Y Combinator
Tahapan proses pendanaan awal yang diterapkan Y Combinator

Kemudian di dua bulan sebelum fundraising benar-benar diluncurkan, founder harus menentukan secara pasti berapa besar dana yang ingin dikumpulkan, termasuk rencana-rencana yang akan digalakkan. Lalu, YC juga selalu menyarankan startup untuk membuat backup plan, berisi aksi yang akan dilakukan ketika penggalangan dana gagal. Karena bisa jadi investor membutuhkan waktu lebih untuk melihat pembuktian kinerja startup dan komitmen founder terhadap bisnis. Di tahap ini founder juga perlu mulai belajar presentasi, untuk mengartikulasikan tujuan dan harapan dalam sebuah pitch-deck.

Mendekati waktu pitching, kira-kira satu bulan sebelum proses penggalangan dana benar-benar dimulai, founder harus benar-benar fokus untuk melakukannya. Bahkan YC merekomendasikan, jika tugas sebagai CEO terlalu sibuk, bisa mendelegasikan sebagian kepada profesional atau anggota tim lain yang bisa menggantikan, sebagai co-CEO.

Hitung juga pro-ratas, juga terkait dengan saham yang akan diberikan dan tersisa pasca penggalangan. Bagian ini biasanya membutuhkan bantuan tim legal untuk merumuskan, sembari mempersiapkan dokumen-dokumen penunjang yang diperlukan. Lantas setelah siap, mulai jadwalkan agenda pertemuan dengan investor untuk melakukan pitching.

Kemudian lakukan pitching, mungkin beberapa kali sembari melakukan improvisasi jika menemukan aspek-aspek yang kurang. Berikan masing-masing investor informasi yang cukup tentang status penggalangan dana untuk mempertahankan rasa urgensi dan membuat mereka berani maju dalam proses. Proses tindak lanjut menjadi penting, jadi jangan ragu untuk menanyakan.

Cerita tentang kegiatan akselerasi

Ragam kegiatan selama program akselerasi Y Combinator
Ragam kegiatan selama program akselerasi Y Combinator

Program akselerasi YC berjalan selama tiga bulan, dua kali per tahun. Sesi pertama berjalan antara Januari-Maret, kemudian yang kedua Juni-Agustus. Proses seleksi biasanya dibuka di bulan-bulan sebelumnya melalui situs web. Setiap startup yang terpilih dan didanai akan diwajibkan hadir ke Silicon Valley untuk menjalankan proses pendidikan. Bersama mitra dan mentor, startup akan bekerja secara intensif dalam menemukan bentuk bisnis terbaik.

Selama siklus program berjalan, YC menyelenggarakan acara makan malam bersama seminggu sekali, mengundang berbagai tokoh bisnis di dunia startup. Para pendiri didorong untuk melakukan “mini demo day”, sembari meningkatkan koneksi dengan orang-orang yang mungkin dapat membantu pertumbuhan bisnis. Acara makan malam ini juga menjadi tenggat waktu mingguan bagi setiap startup untuk menyelesaikan tugas tertentu, dan harus dibicarakan saat pertemuan.

Startup juga akan memiliki jam kerja, menempati ruang-ruang yang disediakan. Termasuk untuk melakukan kegiatan mentoring secara individu. Waktunya cukup fleksibel, layaknya jam kerja startup masa kini. Setiap hari pembicaraan yang dilakukan akan fokus pada isu dan fase pertumbuhan startup.

Kemudian acara puncaknya pada demo day, bisa dihadiri sampai 1000 investor. Fokusnya mempresentasikan produk atau layanan mereka, meyakinkan yang dikerjakan dapat menuai traksi yang baik. Pasalnya pasca proses akselerasi tidak jarang startup mengubah ide atau fitur di layanan mereka. Di sesi itu juga menjadi kesempatan bagi founder untuk berbaur dengan investor, sembari memperkenalkan diri dan memikat ketertarikan untuk putaran pendanaan berikutnya.

Setelah demo day, tim YC tetap berhubungan erat dengan startup untuk membantu bernegosiasi penggalangan dana lanjutan. Alih-alih saat demo day, YC memang menyarankan penggalangan dana dilakukan di waktu terpisah, bukan terlalu dini. Selain itu sebenarnya juga ada acara seperti prototipe day dan rehearsal day dengan format yang lebih santai. Demo day juga dijalankan untuk para alumni YC dalam kerangka waktu yang terpisah.

Testimoni peserta Y Combinator dari Indonesia
Testimoni peserta Y Combinator dari Indonesia

Karena jaringan alumni juga terus dijaga, dan YC dinilai sebagai yang paling kuat untuk jejaring di dunia startup. Bukan hanya karena ukurannya, tapi komitmen yang kuat untuk saling membantu.

Cerita Startup Indonesia yang Ikut Program Akselerasi Y Combinator

Menjelang akhir tahun 2017, Y Combinator (YC) sebagai program akselerasi startup kenamaan asal Mountain View menyambangi Jakarta untuk memperkenalkan diri. Di acara tersebut hadir Partner YC Gustaf Alströmer menyampaikan beberapa informasi, mendorong startup yang hadir untuk mendaftarkan diri ke program.

Nama-nama seperti PayFazz, Xendit, Nusantara Technology, Shipper sampai yang terbaru Eden Farm akhirnya bergabung ke YC. Kami turut mengamati perkembangannya pasca akselerasi. Sejauh ini yang bisa disimpulkan, para startup berhasil memikat investor (minimal) untuk meningkatkan seed round mereka. Lantas kami tertarik untuk mendalami, sebenarnya apa yang didapat para startup dari pendidikan di Silicon Valley tersebut?

Terlebih dulu kami menghubungi pihak YC untuk menanyakan dasar-dasar program mereka. Director of Communications Lindsay Amos secara singkat menjelaskan bahwa program tersebut memberikan dukungan kepada menyeluruh. Misalnya melalui “Startup School“, para founder diajarkan tentang cara mengembangkan bisnis yang relevan di era digital seperti saat ini. Mereka juga mengarahkan kepada startup untuk memanfaatkan kanal YC Network guna menemukan pengguna produk mereka.

Proses pendaftaran akselerasi

Steven Wongsoredjo adalah Founder & CEO Nusantara Technology, melalui produknya SuperApp.id ia bergabung pada program YC di periode Winter 2018. Ada juga Co-Founder & CEO Eden Farm David Gunawan yang berpartisipasi dalam YC periode Summer 2019. Mereka bercerita kepada DailySocial tentang mekanisme teknis yang harus dilalui untuk bergabung.

Eden Farm
Para founder Eden Farm saat mengikuti rangkaian acara Y Combinator di Mountain View / Dok. Pribadi David

Pada dasarnya, ketika startup dinyatakan lolos seleksi awal –melalui formulir online—mereka akan diwawancara daring melalui sambungan video call. Jika lolos, akan diadakan wawancara yang lebih intensif di Silicon Valley –di tahap ini YC akan membantu akomodasi perjalanan. Wawancara kadang dilakukan secara paralel oleh mentor/pakar dari berbagai bidang untuk memastikan penilaian menjadi lebih objektif.

Setelah tahap tersebut dilalui dan startup lolos, mereka akan bersiap untuk melanjutkan program akselerasi selama 3 bulan di Silicon Valley. Bagi startup tahap awal, mereka diwajibkan untuk mendirikan badan usaha di Amerika Serikan (US INC) dan Indonesia (PT), sehingga perlu mencari pengacara atau firma hukum yang dapat membantu mematuhi aturan hukum tersebut.

Jaringan bisnis yang luar biasa

Turut bergabung dalam wawancara Co-Founder Shipper Budi Handoko yang tergabung di YC periode Winter 2019. Ketiga founder memaparkan bahwa salah satu hal signifikan yang mereka dapat dari YC adalah tergabung ke jaringan bisnis global yang kuat dan partisipatif. David menceritakan, setiap alumni dididik untuk dapat saling mendukung, berbagi kepada startup lainnya dalam berbagai hal –termasuk pengalaman penanganan isu bisnis ataupun teknis.

“Orang-orang di YC itu semuanya entrepreneur. Dengan bergabung di program itu kita makin banyak dikenal mitra, investor. Ini kesempatan bagi kami untuk memvalidasi bisnis kepada top entrepreneurs. Di sana kami belajar cara presentasi bisnis dengan sangat efisien dan efektif,” ujar Budi menambahkan.

Budi Handoko
Budi Handoko saat singgah di Silicon Valley untuk mengikuti pelatihan selama 3 bulan / Dok. Pribadi Budi

Terkait jaringan bisnis Steven turut berujar, “Para alumni YC sangat membantu. Kami saling menjaga dan berbagi sumber daya untuk tumbuh bersama. Selain itu, para mitra memberikan dukungan besar setelah kami mencapai tonggak bisnis, khususnya saat melakukan penggalangan dana.”

Setiap startup yang sudah melalui tahap pendidikan akan melakukan presentasi di acara Demo Day. Menariknya, hampir setiap startup selalu mendapatkan pendanaan awal dari sana. Panggung tersebut memang difokuskan untuk menghubungkan para peserta dengan investor potensial di jaringan YC. Sekarang mereka juga mengadakan program khusus “YC Series A”, “YC Growth”, dan “YC Continuity” untuk para lulusannya, guna meningkatkan bisnis mereka ke tahap lanjutan.

Pelatihan intensif pengembangan produk

Selama tiga bulan program akselerasi, banyak pelatihan yang diberikan oleh mentor-mentor bisnis kenamaan. Mulai dari materi bisnis, kepemimpinan, hingga teknis pengembangan produk disampaikan.

“Slogan YC dari Paul Graham adalah ‘membuat sesuatu yang diinginkan orang’. Dalam 3 bulan pelatihan, mereka mendidik kami tentang cara membangun versi produk yang sangat sederhana tetapi dapat dengan cepat mendapatkan penilaian tentang kecocokan pasar,” terang Steven.

Para mentor selalu menegaskan, perusahaan besar seperti AirBnB atau Drobox juga dimulai dari kecil. Sehingga untuk fase awal tidak perlu membuat produk menjadi rumit, karena justru akan membuat pengguna sulit memahami tujuannya.

“Selama agenda YC, kami punya 2 jam kantor dengan mitra yang ditugaskan untuk mengawasi kami setiap minggu. Setelah itu kami bisa juga memesan kepada mitra yang dipilih untuk memberikan umpan balik. Para mitra hadir dari perusahaan papan atas, misalnya ada Creator Gmail dan Google AdSense [Paul] Buchheit atau ex-CEO Twitch Michael Seibel,” lanjut Steven.

Steven Wongsoredjo
Steven Wongsoredjo bersama mentornya yang juga merupakan CEO AirBnB Brian Chesky / Dok. Pribadi Steven

Pembentukan mental founder juga menjadi hal yang dirasakan betul manfaatnya, tak terkecuali oleh David. Pelatihan di Silicon Valley benar-benar membuat setiap partisipan selalu berorientasi dengan produk dengan pengukuran berbasis data.

Direkomendasikan, bagi startup tahap awal yang mau tumbuh besar

Shipper adalah startup asal Singkawang Kalimantan Barat, keterlibatannya di YC memberikan dampak yang sangat signifikan. Menurut Budi, pasca program ia memiliki lebih banyak referensi mengenai bisnis serupa di luar negeri. Ini penting digunakan untuk studi banding maupun kesempatan perluasan kemitraan. Kesempatan bergabung di program akselerasi tersebut juga membuat startup lebih banyak dikenal, tidak sekadar level nasional tapi juga global.

Steven juga merekomendasikan bagi startup –khususnya di tahap awal untuk bergabung di program ini. Sebelum bergabung, ia mengaku seorang pendiri yang idealis, sangat perfeksionis terhadap pengembangan produk. Sebelum diluncurkan, ia harus selalu memastikan semua berjalan sempurna. Namun padahal tidak demikian prosesnya, validasi pasar justru perlu dilakukan sedini mungkin. Pengajaran YC memberikan perspektif baru yang diterapkan pada SuperApp.id.

“Pengalaman YC benar-benar mengubah pola pikir saya. Mereka mengajarkan untuk membuat versi paling sederhana dari produk dan meluncurkan secepat mungkin. Tujuannya untuk menguji apakah tesis kami memiliki kecocokan di pasar. Waktu adalah komoditas paling berharga, jadi kita harus secepat mungkin memastikan itu semua, bukan sekadar berasumsi,” tutup Steven.

Global Venture Summit | Silicon Valley Tours The World 2019 Stops in Bali this March!

The Global Ventures  Summit (GVS) event returns to Indonesia for the third edition. It will be held in Bali on March 27-29, 2019. As the previous event, GVS 2019 will focus on venture capital funding-for  stages from seed up to growth equity, and aims to make global capital more accessible around the world. GVS is the #1 global gathering with the highest chance of venture capital fund raising. With over 25 nationalities, 150 exhibitors this year and over 70 sepaking sessions. This GVS Bali 2019 edition is coming back strong.

During the GVS Tour in the last 10 months, 9 companies have raised over USD $25M during the days of the summit. More than 50 US venture funds will attending and over 150 global venture funds.

The Tour has stops in Mexico City, Los Angeles, Dubai, Riyadh, Luxemborug and Bali this year at the Sofitel Nusa Dua. Notable guests in GVS Jakarta 2018 included the Hollywood Actor and Investor Billy Zane, Lo Toney from Google Ventures and many more.

Ticketing Available on https://www.gvsummit.co/indo-tickets

All related parties in startup business will be invited, from venture capital, government, corporate, and media. Some guests are on the list, including Guy Kawasaki and Billy Zane (Sillicon Valley Venture Capitalist), Lisa Nelson (Microsoft Ventures), Yinglan Tan (Insignia Ventures), Nicko Widjaja (MDI Ventures), Jefrey Joe (Alpha JWC Ventures) and many more.

Regarding conference session, there are many interesting themes. First, focusing on the digital economy to have escalated by 2020 — compared to the current ecosytem. In addition, there is special session to discuss fostering more unicorns funding in Inonesia.

Some sectors are to be explored deeper, from fintech, edutech, logistics, to deep tech. Those sessions will be explained by Managing Partner of investor specialist who often raise funding for related startups.

GVS was started by Parkpine Capital and acts as an open platform for all funds to participate to connect the world’s fast growing tech companies with different sources of capital.

For those startup enthusiasts interested in this event, ticket is on sale, for participants or exhibitor. Register yourself to get a chance to meet and making network with global investors from Silicon Valley.

Further information: https://www.gvsummit.co/indo-tickets

Disclosure: DailySocial is a media partner of GVS 2018 Bali

GVS 2018 Hadir Kembali, Bawa Investor dari Silicon Valley untuk Startup Lokal

Global Ventures Summit (GVS) 2018 akan diadakan di Jakarta. Ini adalah kali kedua GVS singgah di sini, setelah kesuksesannya di tahun 2017 lalu di Bali, acara ini diprakarsai oleh Parkpine Capital. GVS merupakan rangkaian kegiatan tur untuk mempertemukan startup potensial dengan investor pilihan dari Silicon Valley. Acara ini akan diselenggarakan pada tanggal 25-27 April 2018, bertempat di JW Marriott Jakarta.

Acara terbagi ke dalam dua agenda utama, yakni pemaparan workshop oleh pemateri ternama, dari kalangan investor, dan pitch battle yang memperebutkan total hadiah US$50.000 dan kunjungan ke Silicon Valley untuk bertemu dengan investor potensial. Acara ini turut menghadirkan pemateri dari dalam negeri untuk memberikan insight kondisi bisnis startup terkini, baik dari sudut pandang investasi, bisnis, dan regulasi.

Tahun ini GVS membawa tema besar “Empowering Scalable Technologies in High Growth Markets”, menghubungkan 100+ venture capital dan 200+ angle investor di empat kota yang disinggahi, yakni Meksiko, Los Angeles, Dubai, dan Jakarta. Beberapa lineup investor yang akan hadir termasuk Lo Toney (Google Ventures), Joshua Slayton (AngelList), Jay Eum (TransLink Capital), dan beberapa pemateri lainnya.

GVS Pitch Battle

Rangkaian acara pitch battle di GVS dapat diikuti oleh tim yang terdiri minimal dua orang. Pitching yang dikumpulkan berupa business plan yang berhubungan dengan teknologi. Masing-masing kota akan dipilih satu pemenang. Dalam sesi ini akan ada lima juri yang terdiri dari investor, pelaku startup dan figur bisnis lainnya. Setiap tim akan diberikan waktu 6 menit untuk mempresentasikan idenya, dan 3 menit untuk sesi tanya jawab dengan juri.

​Selain itu peserta juga dapat mengikuti workshop khusus bertajuk “Silicon Valley Deck Workshop: Perfect Your Pitch” yang akan membahas hal-hal apa saja yang perlu dipersiapkan dalam sebuah kegiatan pitching, mulai dari materi presentasi sampai dengan cara menyampaikannya.

Informasi lebih lanjut dan pendaftaran untuk acara Global Ventures Summit 2018 dapat disimak melalui situs resminya: http://www.gvsummit.co/tickets.

Disclosure: DailySocial merupakan media partner Global Ventures Summit 2018

Ambisi Menaklukkan Ekonomi Digital Lewat Wacana “Silicon Valley”

Beberapa kali mungkin kita pernah mendengar inisiatif untuk mengangkat kota tertentu di Indonesia untuk menjadi pusat kewirausahaan digital, atau istilah kerennya “Silicon Valley-nya Indonesia”. Di Bandung dan Yogyakarta misalnya, pemerintah setempat mencanangkan kehadiran hub industri digital, dimulai dengan membangun fasilitas dan mencoba memberikan akses bisnis yang dibutuhkan.

Di Yogyakarta, dua lokasi di daerah Piyungan (Bantul) dan Sentolo (Kulon Progo) disiapkan dengan luas total wilayah mencapai 25,86 hektar untuk hub seperti ini. Asisten Bidang Perekonomian dan Pembangunan Setda DIY Budi Wibowo menyebutkan bahwa dua area tersebut akan menjadi Silicon Valley-nya Indonesia. Investasi yang digelontorkan tidak sedikit, yakni senilai 7 triliun Rupiah.

Kondisi di Indonesia

E-Commerce menjadi salah satu industri yang sudah dalam tahap matang di Asia Tenggara dan di Indonesia. Perkembangannya kini dapat menjadi sebuah tolok ukur tentang bagaimana para pemainnya mampu menguasai pasar internet. Menariknya, pangsa pasar e-commerce di Indonesia didominasi kekuatan pemain lokal.

Top 2 Shopping App in SEA / DailySocial
Top 3 Shopping App in SEA / DailySocial

GO-JEK, Tokopedia, Traveloka, dan Bukalapak menjadi startup yang telah mencapai gelar “unicorn”. Tahun ini beberapa startup juga tengah merencanakan untuk melakukan IPO (Initial Public Offering) untuk memperkuat permodalan guna melakukan ekspansi. Tahapan tersebut dibutuhkan, karena jika melihat data, pemain lokal telah mampu menjadi “raja” di Indonesia untuk beberapa lanskap penting, termasuk on-demand, hospitality, dan digital technology.

Sayangnya permasalahan justru hadir dari ketidaksiapan pasar. Sebagai contoh, setelah isu seputar persaingan layanan transportasi berbasis aplikasi dan konvensional mereda, kini permasalahan justru datang dari dalam. Mitra pengemudi menuntut upah yang lebih layak. Lagi-lagi ini tentang bagaimana regulasi selayaknya berperan menjadi kanopi bisnis digital itu sendiri.

Inovasi berjalan kencang, regulasi selalu berusaha untuk mengiringi, walaupun tidak mungkin secepat itu. Perbedaannya adalah seberapa fleksibel pemerintah menanggapi berbagai dinamika perubahan dari digitalisasi itu sendiri.

Silicon Valley sebagai role model

Kunjungan Presiden Jokowi ke Silicon Valley / Facebook Mark Zuckerburg
Kunjungan Presiden Jokowi ke Silicon Valley / Facebook – Mark Zuckerburg

Pada pertengahan Februari 2016 lalu, Presiden Joko Widodo menyambangi daerah selatan San Francisco Bay Area untuk melihat secara langsung geliat ekosistem digital di sana. Jokowi bertemu dengan beberapa petinggi perusahaan teknologi, termasuk Mark Zuckerburg dan Sundar Pichai. Selain menjajal Oculus Rift untuk permainan virtual di kantor Facebook, kunjungan tersebut membawa pulang beberapa inisiatif, salah satunya upaya peningkatan kuantitas developer di Indonesia dan kegiatan akselerasi startup.

Pemerintah sendiri mencanangkan di tahun 2020 mendatang Indonesia akan menjadi negara dengan kekuatan ekonomi digital terkuat di Asia Tenggara. Area digital dinilai penting menjadi ujung tombak ekonomi Indonesia, didasarkan pada kondisi populasi pengguna internet yang terus merangkak naik. Harapannya, persentase konsumen digital yang besar dapat diakomodasi dengan produk dan inovasi dari dalam negeri.

Indonesia Internet Market Overview / DailySocial
Indonesia Internet Market Overview / DailySocial

Inovasi, regulasi, dan akses menjadi sebuah sinergi yang kini tengah terus diupayakan berbagai pihak di Indonesia untuk mewujudkan cita-cita Silicon Valley tersebut. Penguatan inovasi dilakukan dengan berbagai program berbentuk inkubasi dan akselerasi. Di sisi lain, kendati belum sempurna, kebijakan pemerintah sudah mulai mengarah ke dukungan perkembangan teknologim misalnya aturan soal fintech, transportasi daring, atau investasi startup.

Beberapa pemain lokal tengah bersiap melakukan ekspansi ke wilayah regional. Hal ini menjadi kabar baik, karena ekspansi berarti menunjukkan operasi bisnis tersebut sudah menancapkan akar yang kuat di basis utamanya. Namun ekonomi digital tidak bisa ditopang melalui segelintir pemain saja. Definisi ekosistem adalah ketika banyak pemain terlibat di dalamnya untuk mendongkrak kemapanan industri digital itu sendiri.

Ada dua hal yang menjadi pusat perhatian ketika ingin mengadopsi “konsep Silicon Valley”, yaitu penataan industri digital dan kultur pengembangan bisnis yang ada di sana. Desain area bisnis di Silicon Valley memperlihatkan tentang bagaimana keteraturan diciptakan, memungkinkan kolaborasi dan kompetisi beradu bersama. Implikasinya dapat menciptakan pergerakan inovasi dan adopsi yang cepat untuk tren-tren digital terbaru.

Akhir-akhir ini “kerasnya” hidup dan bisnis di Silicon Valley membuat banyak startup hengkang. Salah satunya disebabkan gaya dan biaya hidup yang dirasa makin memberatkan para pelaku bisnis startup di sana.

Yang perlu dilakukan

Dalam laporan tahunan DailySocial, beberapa isu dipetakan sepanjang tahun 2017. Ada empat hal yang digarisbawahi, yakni Talent Shortage, Regulatory Hurdles, Matchmaking between Investors & Founders, dan Paradox of Unicorn. Terkait dengan talenta misalnya, permasalahannya bukan soal jumlah ketersediaan, melainkan soal kualifikasi. Hal ini menjadi PR bersama, khususnya pemerintah harus mengupayakan sistem pendidikan (kurikulum) yang mampu menunjang kebutuhan SDM yang berkualifikasi.

Jika melihat semangat yang dicetuskan pemerintah tentang “Silicon Valley”, ada kecenderungan hanya pada penyediaan infrastruktur tempat berkumpulnya para pelaku digital. Di luar fasilitas megah yang diciptakan, ada hal-hal fundamental yang perlu dioptimalkan terlebih dulu. Blok industri megah untuk bisnis teknologi tidak akan menunjukkan kemajuan tanpa diimbangi oleh hasil inovasi yang menakjubkan. Inovasi tersebut baru dapat tercetus jika isu mendasar, seperti SDM, regulasi, atau akses terhadap bantuan yang mendukung sudah berproses dengan baik.

Konten VR Serial TV Silicon Valley Akhirnya Dirilis untuk HTC Vive

Oktober lalu, diberitakan bahwa serial TV populer Silicon Valley sedang dibuatkan konten virtual reality yang interaktif. Konten berjudul lengkap Silicon Valley: Inside The Hacker Hostel itu sudah dirilis resmi hari ini, khusus untuk VR headset HTC Vive.

Rupanya HBO menunggu sampai season kelima Silicon Valley siap tayang pada tanggal 25 Maret 2018 sebelum merilis konten VR ini, yang sejatinya dimaksudkan sebagai salah satu medium promosi. Seperti yang diberitakan sebelumnya, di sini kita tidak hanya diajak untuk melihat-lihat markas para karakter dalam serial tersebut, tapi juga bermain-main dengan ratusan objek di dalamnya.

Para penggemar Silicon Valley pasti bakal takjub melihat begitu mendetailnya rekreasi markas tim Pied Piper dalam konten VR ini. Itu dikarenakan pengembangnya, Rewind, secara langsung mengambil deretan gambar 360 derajat pada lokasi syuting aslinya, termasuk mengakses blueprint yang disediakan HBO.

Selain berinteraksi dengan bermacam objek, pemain juga akan dihadapkan dengan sejumlah tantangan yang diberikan oleh karakter dalam film, spesifiknya Dinesh dan Gilfoyle. Lakon utamanya sendiri, Richard, bakal meminta bantuan dalam kegiatan coding-nya, dan di sepanjang permainan, pemain bisa melacak pesan rahasia dari Jared.

Seperti filmnya, Silicon Valley versi VR ini sama sekali tidak cocok untuk anak-anak, mengingat ada banyak konten berbau dewasa di dalamnya. Saya pribadi sebagai penggemar berat serial ini sangat tertarik mencobanya, namun dalam hati saya juga berpikir bahwa ini bakal lebih menarik lagi andai bisa dimainkan bersama teman (multiplayer).

Sumber: TechCrunch dan Fast Company.