Startup Logistik Indonesia Tunjukkan Traksi Luar Biasa, Peroleh Investasi 8,4 Triliun Rupiah Selama Tiga Tahun Terakhir

Ada banyak sektor penunjang dalam pertumbuhan ekonomi digital di Indonesia. Logistik menjadi salah satu yang memiliki peran krusial menjadi tulang punggung bisnis e-commerce, yang menyumbang GMV terbesar pada ekonomi digital nasional.

Menurut data Asosiasi Perusahaan Jasa Pengiriman Ekspres, Pos, dan Logistik Indonesia (Asperindo), saat ini ada 561 bisnis logistik yang terdaftar, terdiri dari beragam jenis layanan, dengan mayoritas berfokus pada jasa pengiriman [penyedia armada]. Pada kenyataannya, kebutuhan logistik Indonesia belum sepenuhnya terpenuhi – belum mengimbangi laju bisnis e-commerce yang mencapai ~14,8% CAGR antara 2020-2023.

Jika melihat isu yang lebih spesifik, masih banyak friksi di vertikal bisnis ini. Ambil contoh soal bagaimana angkutan barang dapat meningkatkan efektivitas. Sejauh ini, ketika sebuah armada berangkat ke tujuan membawa angkutan penuh, pulangnya harus mendapati bak yang kosong. Padahal. jika dapat terisi ketika pulang dan pergi, biaya operasional yang dikeluarkan dapat lebih efektif.

Belum lagi masalah klasik pebisnis, yakni menemukan solusi logistik yang tepat dan paling murah. Secara geografis, Indonesia menghadirkan tantangan unik bagi bisnis logistik – tidak jarang proses pengiriman harus menggunakan lebih dari satu moda transportasi. Pebisnis mendapatkan tantangan tersendiri untuk menemukan mitra logistik yang tepat, khususnya menangani pengiriman di penjuru daerah.

Isu-isu tersebut kemudian melahirkan gebrakan dalam industri logistik yang berwujud inovasi teknologi. Selama tiga tahun terakhir, DailySocial mengamati adanya tren pertumbuhan yang konsisten dari perusahaan logistik berbasis teknologi, baik yang dikembangkan oleh inovator lokal maupun ekspansi layanan luar negeri untuk menyelesaikan permasalahan yang sangat spesifik.

Dukungan kapital yang kuat

Sejak awal tahun 2019 hingga Juli 2021, tim riset DailySocial mencatat ada sekitar 16 transaksi pendanaan yang diumumkan melibatkan perusahaan logistik berbasis teknologi. Investasi ini berhasil membukukan total nilai dana $586 juta (Rp8,38 triliun dengan kurs hari ini).

Setidaknya ada 4 startup logistik yang memiliki valuasi di atas $100 juta, yaitu SiCepat, Waresix, Shipper, dan GudangAda.

Perusahaan Putaran Tahun
ASSA (induk AnterAja) Convertible Bond 2021
Andalin Series A 2021
Deliveree Series A 2017
Finfleet Series A 2019
GudangAda Series A 2020
Series B 2021
Kargo Technologies Seed Funding 2019
Series A 2020
Logisly Series A 2020
Pakde Seed Funding 2018
Ritase Series A 2019
Shipper Seed Funding 2019
Series A 2020
Series B 2021
SiCepat Series B 2021
Triplogic Seed Funding 2019
Waresix Seed Funding 2018
Pre-Series A 2018
Series A 2019
Series A+ 2020
Series B 2020
Webtrace Seed Funding 2020

Dukungan kapital ini menjadi pembuktian tersendiri bagi pemain teknologi logistik di Indonesia. Sejauh ini pemodal ventura lokal menjadi yang paling aktif berinvestasi di vertikal ini.

Investor Putaran Investasi
East Ventures 6
AC Ventures 5
Insignia Ventures Partners 4

Ukuran pasar yang besar

Managing Partner AC Ventures Adrian Li mengatakan, saat ini sektor logistik di Indonesia diperkirakan telah bernilai $275 miliar, tumbuh pada ~16% CAGR antara 2015-2020. Institusinya terlibat dalam pendanaan Shipper dan Kargo — termasuk di jajaran investor awal.

Ia berpendapat, saluran e-commerce memang menjadi aspek penting dalam pertumbuhan industri logistik. Secara khusus ia menyampaikan adanya peningkatan pesat pengiriman ke kota tier-2 dan 3 yang mengharuskan perluasan saluran logistik.

“Pertumbuhan konsumsi, perdagangan, dan pengembangan infrastruktur akan mendorong inovasi logistik untuk menghadirkan solusi yang lebih efisien dan hemat biaya […] Kami memproyeksikan sektor ini akan menghasilkan gelombang unicorn berikutnya. Dan kami memiliki keyakinan kuat bahwa ruang ini akan menunjukkan pertumbuhan substansial dalam dekade berikutnya,” ujar Adrian.

Di kesempatan terpisah, Co-Founder & COO Shipper Budi Handoko menyampaikan, empat tahun lalu ketika menginisiasi Shipper ia melihat permasalahan yang nyaris dihadapi semua pelaku UMKM ketika berdagang secara online. Shipper hadir menjadi sebuah aplikasi agregator logistik dan layanan warehousing, membantu pebisnis melakukan manajemen pengiriman secara tepat.

Menyinggung soal investasi di bisnis logistik, Budi menilai saat ini selain investor lokal, banyak pemodal ventura global yang juga tertarik berinvestasi ke startup Indonesia. Hal ini dibuktikan Shipper dengan keterlibatan sejumlah investor luar negeri di setiap tahapan pendanaannya. Ia menegaskan, permasalahan logistik Indonesia memang unik dan inovator lokal punya posisi kuat untuk menyelesaikan masalah ini.

Tren pendanaan logistik

Selama tiga tahun terakhir, nilai investasi untuk startup logistik di Indonesia juga terus mengalami pertumbuhan pesat. Hingga Juli 2021, artinya baru 7 bulan, nilai pendanaan yang dikucurkan investor meningkat hampir 2x lipat dibanding pendanaan sepanjang tahun 2020. Dari $182,9 juta menjadi $364 juta. Keyakinan investor masuk mendanai startup di late stage didasari traksi yang kuat di bisnis ini.

Hal ini diharapkan menjadi indikasi baik bagi ekosistem dan menjadi pemicu inovasi untuk memecahkan berbagai permasalahan logistik di negeri ini.

Pandemi nyatanya tidak menyurutkan ekspansi bisnis dan produk dari startup logistik di Indonesia. Menurut Budi, pandemi justru menjadi turning point karena jasa logistik meningkat seiring banyaknya permintaan pengiriman dari layanan e-commerce.

Gambar Header: Depositphotos.com

What Later-Stage Startups Expect When They’re Expecting Investors

Aside from capital, there are many other inquiries and criteria that startup founders look for in investors. It particularly happens for later-stage startups in Series A, B, and C. This is the finding that DailySocial obtained from a mini survey of some startup founders in the particular stage. We also conduct short polls on this topic on Twitter and LinkedIn.

Why do we narrow it down to Series A, B, and C startups? It is because the startups in this phase have gained traction, secured customer base, and are starting to plan for scale-up or business expansion. It means that they will have more complex criteria along with business growth, and are no longer glued to capital alone.

A different hypothesis might arose as it is compared to the early-stage startups, where capital is necessary to develop products/services. The goal is to get customers and find out whether the product/service has been accepted by the market (market-fit).

The following are the summarized results of our mini survey.

Global investment network

Some startup founders participated in our mini survey, including those engaged in e-logistics, edtech, agritech, and musictech. Apart from capital, their expectations lie down for access to global network (85.7%), technology advisory (42.9%), business advisory (28.6%), and mentoring for founders (14.3 %).

In line with the above statement, as many as 48% have high expectations for access to global investor networks, followed by business advisory (40%), technology advisory (7%), as well as VC brand name and experience (4%)

LinkedIn polling regarding startup expectations towards investors / DailySocial
Polling Twitter mengenai ekspektasi startup mencari investor / DailySocial
Twitter polling regarding startup expectations towards investors / DailySocial

In this survey, Shipper‘s Co-founder, Budi Handoko said that investors already have a lot of experience in managing a business. The role of investors is very important in providing input regarding trends and business models to be explored in the future.

In the context of VC as an investor, eFishery‘s Founder, Gibran Huzaifah added that they can help with the access to global investor network, especially for funding in the next round with a bigger size check.

Track record as the main factor

Next, what are the criteria that respondents looking for in investors? The partners’ track record is at the top of 85.7%, followed by personalities and portfolio ranks with 57.1% respectively, managed funds 42.9%, also portfolio feedback and aligned vision and mission 14.3%.

Budi said, it is important to know the track record and positive feedback of the portfolio before accepting an investment. This is because some investors may act persuasive during the ‘approach’, then turn into controlling moed as they made the investment.

Gibran agreed to the statement, it is important to know how investors work ethic and how they determine the funding hypothesis. These criteria can be the key to considering whether investors and startups can collaborate together.

“Another important consideration is the track record of investors’ managed funds, regarding the fund cycle in what year and the total fund size in particular. This will affect their exit expectations and how strong they can continue in the next funding round,” Gibran said.

For Zenius’ Co-founder, Sabda PS, another equally important criterion is finding investors who have an understanding of how to sustainably create a deep and broad impact. This point becomes very relevant to the extend of the Indonesian education with all the great challenges.

Struggling for investors

All respondents stated that it is difficult to find investors who understand the startup business in certain sectors, the intricacies of the Indonesian market, along with work ethics. According to respondents, it is not easy to find investors with the same value and believe that there are lots of other things besides numbers.

“We believe that good product sells itself. The agreement of time to pocket a return on investment (ROI) is tough if it is forced. This is as long as we prefer to [seek funding] through bootstrapping,” told one respondent.

Gibran added that it was difficult for him to find investors as few people understood the business model he was running in the agritech sector. Due to this condition, he admitted that he had experienced difficulties in convincing investors, especially in appreciating progress. The benchmarks in the agritech sector was not really build then, therefore, it was difficult to find a round size comparison and valuation.

VCs set more focus on managing business growth

Regarding startup funding sources, Venture Capital (VC) is the investor category most chosen by respondents at 71.4%, followed by Corporate Venture Capital/0CVC, private equity, corporations with 28.6% each, and the rest was angel funds at 14.3%.

One respondent said, corporations are considered to be more mature, calm and stable in terms of business. However, there are also respondents who think that VC is more suitable for long-term, lighter, and generic investments.

On the other hand, Gibran believed that VC is more focused on business growth, there is no takeover and strategic collaboration efforts like CVC. In addition, VCs with experience and a strong team can provide insight into strategy, organizational design, and business models.

“From technology support, some VCs provide channels to tech talent and best practices. Some also have internal teams that can support development. As a startup, technology becomes defensibility. VCs who can provide this support will bring a lot of value to the company,” Gibran explained.

Most of our respondents also have a high tendency to seek foreign investors (42.9%), especially investors who have networks or specific interests in more niche industries, such as sustainable innovation. There are also those who are interested in trying to invest through crowdfunding (14.3%).

When you get investors, founders has other expectations include business advisory by 85.7%, then participation for the next round and to be linked to a global investor network of 57.1% respectively, and for investors get into the advisory ranks of 14.3%.

“I don’t think there is a ‘certain type’ of investor that is sought after, it’s rather the person and what is the best funding strategy for the startup. Therefore, it can be a match between goals and long-term relationships as a whole. For example, SME enabler startups will be very strategic to join Sembrani and received investment from BRI Ventures,” Kuassa’s Co-Founder, Grahadea Kusuf said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Ekspektasi Startup Tahap Lanjut saat Mencari Investor

Selain dukungan permodalan, ada banyak kebutuhan dan kriteria yang dicari para founder startup pada investor. Hal ini terutama dialami startup tahap lanjut (later stage) di Seri A, B, dan C. Temuan ini diperoleh DailySocial dari survei kecil-kecilan terhadap sejumlah founder startup di tahapan tersebut. Kami juga melakukan polling singkat terkait topik ini di Twitter dan LinkedIn.

Mengapa kami kerucutkan pada startup Seri A, B, dan C? Startup di fase tersebut rata-rata sudah memperoleh traction, mengantongi customer base, dan mulai memikirkan scale up atau ekspansi bisnis. Artinya, kebutuhan mereka semakin kompleks seiring dengan pertumbuhan bisnis, dan tak lagi sebatas pada dukungan permodalan.

Hipotesisnya tentu berbeda jika dibandingkan dengan startup tahap awal (early stage), di mana mereka membutuhkan modal untuk mengembangkan produk/layanan. Tujuannya adalah memperoleh pelanggan dan mengetahui apakah produk/layanannya sudah diterima pasar (market-fit).

Berikut ini hasil survei yang telah kami rangkum.

Jaringan investor global

Sejumlah founder startup berpartisipasi dalam mini survey kami, antara lain yang bergerak di bidang e-logistic, edtech, agritech, dan musictech. Selain permodalan, ekspektasi yang paling banyak mereka cari adalah jaringan investor global (85,7%), pedoman/bimbingan teknologi (42,9%), pedoman/bimbingan kewirausahaan (28,6%), dan pendampingan untuk founder (14,3%).

Senada dengan di atas, sebanyak 48% memiliki ekspektasi besar terhadap akses jaringan investor global, kemudian diikuti dengan bimbingan/pendampingan untuk bisnis (40%), bimbingan/pendampingan untuk teknologi (7%), serta nama VC dan pengalaman (4%)

Polling LinkedIn terkait ekspektasi startup saat mencari investor / DailySocial
Polling Twitter mengenai ekspektasi startup mencari investor / DailySocial
Polling Twitter mengenai ekspektasi startup saat mencari investor / DailySocial

Di survei ini, Co-founder Shipper Budi Handoko mengatakan bahwa investor telah memiliki pengalaman banyak dalam mengelola bisnis. Peran investor sangat penting untuk memberikan masukan terkait tren dan model bisnis yang dapat dieksplorasi di masa depan.

Dalam konteks VC sebagai investor, Founder eFishery Gibran Huzaifah menambahkan bahwa mereka dapat membantu menghubungkan ke jaringan investor global, terutama untuk pendanaan di putaran selanjutnya dengan size check yang lebih besar.

Rekam jejak jadi kriteria utama

Selanjutnya, apa kriteria yang paling dicari oleh responden pada investor? Rekam jejak partner berada di urutan teratas sebesar 85,7%, diikuti oleh kepribadian dan jajaran portofolio yang masing-masing 57,1%, dana kelolaan 42,9%, serta feedback portofolio dan kesamaan visi-misi 14,3%.

Menurut Budi, penting untuk mengetahui rekam jejak dan feedback positif dari portofolio sebelum menerima investasi. Hal ini karena ada potensi investor berlaku manis di masa ‘pendekatan’, lalu malah berubah menjadi controlling ketika sudah berinvestasi.

Hal ini turut diamini Gibran yang menambahkan bahwa penting untuk mengetahui bagaimana gaya investor bekerja dan cara mereka menentukan hipotesis pendanaan. Kriteria ini dapat menjadi kunci untuk melihat apakah investor dan startup dapat berkolaborasi bersama.

“Kriteria penting lainnya adalah rekam jejak dana kelolaan investor, terutama soal fund cycle di tahun ke berapa dan total fund size-nya. Hal ini akan berpengaruh pada ekspektasi exit mereka dan seberapa kuat mereka bisa berlanjut di putaran pendanaan berikutnya,” ujar Gibran.

Bagi Co-founder Zenius Sabda PS, kriteria lain yang tak kalah penting adalah menemukan investor yang memiliki pemahaman tentang bagaimana menciptakan dampak yang dalam dan luas secara sustain. Poin tersebut menjadi sangat relevan jika bicara konteks pendidikan di Indonesia yang memiliki tantangan besar.

Tantangan mencari investor

Seluruh responden menyatakan bahwa sulit mencari investor yang memahami bisnis startup di sektor tertentu, lika-liku pasar Indonesia, serta memiliki etika dalam bekerja. Menurut responden, tak mudah menemukan investor yang memiliki value yang sama dan meyakini bahwa ada hal lain di luar angka.

“Kami meyakini bahwa good product sells itself. Kesepakatan mengenai kapan bisa mengantongi return of investment (ROI) ini berat jika dipaksakan. Ini asalan kami prefer untuk [cari pendanaan] lewat bootstrapping saja,” tutur salah satu responden.

Gibran kembali menambahkan, pihaknya sempat kesulitan mencari investor karena masih sedikit yang paham model bisnis di sektor agritech yang dijalankannya. Karena kondisi ini, ia mengaku sempat mengalami kesulitan dalam meyakinkan investor, terutama mengapresiasi kemajuan. Benchmark di sektor agritech juga saat itu belum banyak sehingga sulit mencari perbandingan round size dan valuasi.

VC lebih fokus kelola pertumbuhan bisnis

Bicara sumber pendanaan startup, Venture Capital (VC) menjadi kategori investor yang paling banyak dipilih responden sebesar 71,4%, diikuti Corporate Venture Capital/CVC, private equity, korporasi masing-masing 28,6%, dan sisanya adalah angel fund sebesar 14,3%.

Menurut salah satu responden, korporasi dinilai lebih mature, tenang, dan stabil secara bisnis. Namun, ada juga responden menganggap bahwa VC lebih cocok untuk investasi jangka panjang, lebih light, dan generik.

Di sisi lain, Gibran menilai VC lebih fokus ke pertumbuhan bisnis, tidak ada takeover dan upaya kolaborasi strategis seperti CVC. Selain itu, VC yang memiliki pengalaman dan tim yang kuat sehingga dapat memberikan insight soal strategi, desain organisasi, hingga model bisnis.

“Dari dukungan teknologi, beberapa VC memberikan channeling ke tech talent maupun best practice. Beberapa juga punya tim internal yang bisa support untuk development. Sebagai startup, teknologi menjadi defensibility. VC yang bisa kasih dukungan ini akan banyak bawa value ke company,” jelas Gibran.

Kebanyakan responden kami juga memiliki kecenderungan besar untuk mencari investor luar negeri (42,9%), terutama investor yang memiliki jejaring atau ketertarikan spesifik di industri yang lebih niche, seperti sustainable innovation. Ada juga yang tertarik untuk mencoba investasi lewat crowdfunding (14,3%).

Ketika sudah mendapat investor, ekspektasi lainnya yang diharapkan oleh para founder antara lain dukungan untuk membantu bisnis sebesar 85,7%, lalu bergabung ke putaran selanjutnya dan dihubungkan ke jaringan investor global masing masing 57,1%, dan investor masuk ke dalam jajaran penasihat sebesar 14,3%.

“Saya pikir tidak ada ‘jenis’ investor yang lebih banyak dicari, tetapi lebih ke siapa personalnya dan apa strategi funding terbaik buat si startup. Jadi bisa lebih match antara goal dan hubungan jangka panjang secara keseluruhan. Misal UKM enabler startups akan sangat strategis untuk ikutan Sembrani dan mendapat investasi dari BRI Ventures,” ungkap Co-Founder Kuassa Grahadea Kusuf.

Shipper Announces Series B Funding Worth 923 Billion Rupiah

Shipper Logistics aggregator startup announced series B funding worth $63 million or equivalent to 923 billion Rupiah. This round was led by DST Global Partners and Sequoia Capital India with the participation of previous investors, including Prosus Ventures, Floodgate, Lightspeed, Insignia Ventures, AC Ventures and Y Combinator. Previously, the Y Combinator W19 graduate secured series A funding in mid-2020 and was led by Proses Ventures.

Fresh funds will be focused on developing technology and massively expanding its logistics network, serving MSMEs throughout Indonesia. Shipper Services provides fulfillment and delivery services through a network of fulfillment centers, delivery partners, and digitally managed retail points. According to the statistics, the company currently serves thousands of e-commerce businesses that distribute millions of products every day.

“The funding will significantly help Shipper increase its technological and operational capacity, while continuing to expand the company’s service network. We are proud of the achievements of our customers who use our services, and we are excited to continue to achieve success with our customers and logistics partners,” Shipper’s Co-Founder & CEO, Phil Opamuratawongse said.

The pandemic that has driven an increase in delivery packages volume purchased online, which has topped up Shipper’s transaction value. Several strategic efforts over the past year, including partnering with Dana to present logistics solutions in the digital payment application. To expand its business model, Shipper also acquired two logistics startups Porter and Pakde.

“We started Shipper four years ago, starting from personal experience when we observed difficulties in packaging and shipping as online merchants. In building Shipper, we always used an approach from MSME players perspective as it is our identity. We are very happy to be able to contribute and strengthen the MSME segment as well as to help strengthen the national logistics ecosystem,” Shipper’s Co-Founder & COO, Budi Handoko added.

Based on the 2020 Startup Report, there were 8 funding transactions involving logistics startups. The large market demand encourages various related businesses to rapidly accelerate and expand. Apart from Shipper, logistic startup Andalin has secured series A funding from BRI Ventures.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Shipper Umumkan Pendanaan Seri B Senilai 923 Miliar Rupiah

Startup agregator logistik Shipper mengumumkan telah menerima pendanaan seri B senilai $63 juta atau setara 923 miliar Rupiah. Putaran ini dipimpin oleh DST Global Partners dan Sequoia Capital India dengan partisipasi investor sebelumnya, meliputi Prosus Ventures, Floodgate, Lightspeed, Insignia Ventures, AC Ventures, dan Y Combinator. Sebelumnya jebolan Y Combinator W19 ini telah membukukan pendanaan seri A pada pertengahan 2020 lalu dipimpin Proses Ventures.

Dana segar akan difokuskan untuk pengembangan teknologi dan memperluas jaringan logistiknya secara masif, melayani UMKM di seluruh Indonesia. Layanan Shipper menyediakan jasa pemenuhan dan pengiriman melalui jaringan fulfillment center, mitra pengiriman, dan titik ritel yang dikelola secara digital. Statistik yang disampaikan, saat ini perusahaan melayani ribuan bisnis e-commerce yang mendistribusikan jutaan produk setiap harinya.

“Pendanaan yang kami dapatkan akan sangat membantu Shipper dalam meningkatkan kapasitas teknologi dan operasional, seraya terus memperluas jaringan layanan perusahaan. Kami bangga terhadap pencapaian para pelanggan yang menggunakan jasa kami, dan kami sangat antusias untuk terus meraih kesuksesan bersama pelanggan dan mitra logistik kami,” ungkap Co-Founder & CEO Shipper Phil Opamuratawongse.

Pandemi yang terjadi juga mendorong peningkatan volume pengiriman paket yang dibeli online, menjadikan nilai transaksi di Shipper turut terdongkrak naik. Beberapa upaya strategis juga dilakukan sepanjang tahun lalu, termasuk bermitra dengan Dana menghadirkan solusi logistik di aplikasi pembayaran digital tersebut. Untuk memperluas model bisnisnya, Shipper juga melakukan akuisisi dua startup logistik Porter dan Pakde.

“Kami memulai Shipper empat tahun lalu berangkat dari pengalaman pribadi saat melihat banyaknya kesulitan dalam melakukan pengemasan dan pengiriman paket sebagai pedagang online. Dalam membangun Shipper, kami selalu menggunakan pendekatan dari sudut pandang pelaku UMKM karena itu adalah jati diri kami. Kami sangat senang untuk dapat berkontribusi dan memperkuat segmen UMKM sekaligus untuk ikut mendorong penguatan ekosistem logistik nasional,” imbuh Co-Founder & COO Shipper Budi Handoko.

Berdasarkan Startup Report 2020, tahun lalu ada 8 transaksi pendanaan yang melibatkan startup logistik. Besarnya permintaan pasar mendorong berbagai bisnis terkait untuk mengakselerasi dan melakukan ekspansi secara lebih cepat. Tahun ini, selain Shipper startup logistik Andalin juga membukukan pendanaan seri A dari BRI Ventures.

Application Information Will Show Up Here

5 Paparan Adopsi Digital di Industri Logistik Indonesia

Pandemi Covid-19 memaksa banyak pelaku bisnis di Indonesia untuk mengadopsi layanan digital, tak terkecuali industri logistik, baik di first mile, mid mile, maupun last mile. Dengan situasi saat ini, bagaimana upaya ekosistem digital dalam mendukung tren logistik ke depan?

Diskusi menarik di sesi #SelasaStartup bersama Co-Founder dan CEO Shipper Budi Handoko dan Startup Account Manager Amazon Web Services Nicolas Tjioe mencoba memahami upaya mempercepat laju industri logistik menuju digital selama pandemi dan pasca pandemi.

Tantangan pelaku logistik

Pasar logistik Indonesia diestimasi bernilai $221 miliar, di mana e-commerce menjadi salah satu pendorong pertumbuhan. Sementara, nilai industri e-commerce Indonesia di 2020 mencapai $40 miliar dan diprediksi meroket menjadi $88 miliar di 2025. Inipun baru kontribusi dari e-commerce saja yang diprediksi tumbuh 4-6 kali lipat.

Dengan melihat tren jasa logistik di Indonesia, pelaku startup logistik berupaya menjangkau cakupan rantai logistik di Indonesia mengingat kondisi geografis masih menjadi salah satu tantangan besar bagi pelaku bisnis.

Budi Handoko menilai bahwa saat ini pemerintah tengah menggenjot pembangunan infrastruktur dan akses internet di seluruh Indonesia. Para pelaku logistik di Indonesia juga mulai mengadopsi teknologi dan solusi berbasis digital dengan tujuan untuk memberikan kemudahaan akses kepada mitra dan konsumen.

“Salah satunya melalui solusi cloud yang dapat memudahkan mitra dan konsumen untuk mengakses produk kami. Dengan begitu, semua jarak dapat tereleminasi baik dari sisi infrastruktur utama maupun produknya,” ujar Budi.

Momentum pandemi dan hari raya

Ada insight menarik lainnya yang ditangkap Shipper dan AWS, yaitu tren logistik di masa pandemi dan hari raya Lebaran. Menurut Budi, pandemi memberikan blessing in disguise terhadap industri logistik secara keseluruhan, termasuk Shipper. Permintaan terhadap pengiriman makanan, barang, dan alat-alat kesehatan memicu kenaikan jasa logistik selama masa pembatasan sosial.

Selama situasi ini, Budi mengaku tidak mengembangkan inovasi baru karena Shipper sudah lebih dulu membangun infrastruktur dan teknologi sebelum pandemi, termasuk mempersiapkan strategi untuk menekan kemungkinan cost yang lebih besar. Dengan kesiapan tersebut, pihaknya mengaku dapat mengakomodasi lonjakan permintaan yang tinggi.

“Pandemi menjadi turning point bagi kami karena jasa logistik meningkat seiring banyaknya permintaan pengiriman dan penjual yang beralih ke alat-alat kesehatan. Teknologi yang kami bangun sebelumnya menjadi berguna di masa pandemi,” ujar Budi.

Dari sisi adopsi digital, Nicolas Tjioe mengakui bahwa pandemi memunculkan tantangan efisiensi bagi pelaku bisnis. Dari situasi ini, AWS turut berperan untuk mengakomodasi kebutuhan pelaku logistik yang banyak berkutat dengan proses bisnis manual.

“Selama ini banyak bisnis logistik menggunakan invoicing secara manual. Untuk menyelesaikan hal itu, mereka sebetulnya tidak perlu bangun tim IT atau data karena bisa pakai solusi managed services dari AWS. Solusi ini bantu mendigitalkan data menjadi softcopy. Ada banyak managed services yang dapat membantu tim logistik fokus di business growth tanpa perlu urus operasional,” jelas Nicolas.

Demikian juga di momentum Lebaran yang dapat memicu peningkatan pengiriman sebesar 5-10 kali lipat. Solusi yang ditawarkan AWS masih relevan dengan momentum tersebut. Dalam pengalamannya membantu pelaku bisnis, Nicolas menyebutkan bahwa solusi autoscaling dapat memprediksi tren scalability. 

Artinya, setiap ada lonjakan trafik, solusi ini secara otomatis dapat membaca tren kebutuhan yang diperlukan pelaku logistik secara akurat. Dengan solusi ini, time to market menjadi lebih cepat dan customer experience terhadap pelanggan tidak terganggu.

Teknologi untuk logistik

Dari sisi teknologi, Budi juga berbagi tentang inovasi yang dikembangkan Shipper. Pertama, inovasi untuk segmen retail. Menurutnya, teknologi ini dapat membaca tren logistik di area tertentu dan membantu pelaku bisnis untuk menemukan jasa pengiriman logistik yang sesuai dengan kebutuhan, tetapi tetap terjangkau.

Kedua, teknologi untuk fasilitas pergudangan. Pihaknya mengembangkan solusi yang sekiranya dapat membantu pengiriman barang dari jarak jauh, Makassar ke Jakarta misalnya, dengan biaya yang lebih murah. Ketiga, mengembangkan teknologi forecast kepada merchant ketika stok barang di gudang sudah mulai menipis.

Mencari pendanaan dari investor

Di industri manapun, termasuk logistik, investor akan selalu memikirkan return of investment (ROI). Dalam kasus investor yang sudah berinvestasi di perusahaan logistik dan mendapatkan keuntungan, tentu ada kemungkinan besar investor akan tertarik berinvestasi kembali.

Namun, Budi menilai mencari investor jangan hanya terbatas di dalam negeri saja. Menurutnya, penting untuk mencari investor luar karena skala bisnis logistik tidak hanya di Indonesiaa, tetapi juga di global. Artinya, ketika ingin melakukan ekspansi ke luar, pelaku bisnis dapat memanfaatkan jaringan investor global yang dimiliki.

“Masuknya Shipper ke Y Combinator membuat kami menjadi dikenal oleh global. Kendati begitu, saat ini kami masih fokus di Indonesia karena negara kita luas sekali. Bahkan cakupan logistik di Indonesia mungkin masih seperti piramida, masih banyak di atas,” tambahnya.

Apabila mendapat investor yang baru masuk ke logistik, ia menyebut bahwa open communication menjadi kunci penting untuk menjalankan bisnis ke depan.

Memulai transformasi digital

Bagi pelaku logistik yang ingin memulai transformasi digital, saat ini sudah banyak layanan cloud yang mengakomodasi kebutuhan ini. Di AWS, Nicolas memberikan contoh tiga opsi program yang dapat dipertimbangkan oleh pelaku logistik untuk memulai adopsi digital.

Pertama, opsi founder portoflio atau ditujukan bagi pelaku bisnis yang baru membangun minimum viable product (MVP). Kedua, opsi VC portfolio atau ditujukan bagi pelaku bisnis yang sudah menerima pendanaan dari investor. Dan ketiga, program SaaS factory yang menawarkan solusi bagi pelaku bisnis yang sudah masuk ke tahapan diversifikasi produk.

“Efisiensi dan menaikkan daya saing adalah manfaat yang dapat diperoleh dari transformasi digital. Dalam konteks industri logistik, transformasi ini dapat mengurangi biaya dan membangun long-term growth. Yang ingin kami tekankan, tidak semua harus dibangun dari scratch karena AWS support dari sisi inovasi,” tutupnya.

Application Information Will Show Up Here

Adaptasi dan Peluang Pertumbuhan Bisnis Logistik di Tengah Pandemi

Bisnis logistik sempat mengalami masa surutnya di awal pandemi Covid-19 melanda tanah air. Ketidakpastian pada sektor transportasi dan pembatasan aktivitas sosial sempat menjadi penghalang untuk industri ini bisa bertumbuh pesat. Namun seiring waktu, para pemain mulai bisa beradaptasi dan menemukan peluang di tengah situasi pandemi.

Budi Handoko, selaku Co-Founder dan COO Shipper, startup pengembang platform agregator logistik, mengakui timnya cukup kewalahan menghadapi keterbatasan yang tercipta karna pandemi, yang juga dipengaruhi oleh pemangku kebijakan. Di samping itu juga harus menjaga kelangsungan bisnis tanpa melanggar peraturaan serta kesehatan para karyawan.

Di tengah tantangan yang terus bermunculan, berbagai inovasi diciptakan demi beradaptasi dan mencari peluang untuk bisa tetap bertumbuh di tengah kondisi “yang tidak pasti. Dalam sesi #SelasaStartup, Budi berbagi beberapa insights menarik tatkala pandemi menggangu bisnis logistik di Indonesia.

Mutualisme di tengah pandemi

Semakin berkembang industri e-commerce di suatu negara, akan berdampak juga bagi pertumbuhan bisnis logistik di negara tersebut. Dari sisi ritel, banyak sekali penjual tradisional yang beralih ke pangsa pasar “online” untuk beradaptasi dengan situasi pandemi. Kesuksesan e-commerce pun erat kaitannya dengan dukungan dari industri logistik.

Hubungan timbal-balik ini juga menciptakan lingkaran konsumen yang beririsan antara e-commerce dan logistik. Maka dari itu, ketika perilaku konsumen di e-commerce mengalami pergeseran, industri logistik pun juga akan mendapat “feeling” yang tidak jauh berbeda.

Budi mengungkapkan, tiga hal menarik yang ia temukan ketika mengamati perilaku konsumen di masa pandemi. Pertama, banyak penjualan di sektor tersier yang anjlok pada masa awal pandemi. Hal ini menciptakan animo penjualan alat kesehatan. Kedua, banyak para penjual online yang cenderung memilih untuk membatasi interaksi dengan kurir. Terakhir, banyak yang mulai melirik bisnis di food industry. Ketiga hal tersebut menciptakan peluang yang bisa dimanfaatkan oleh bisnis logistik tanah air.

Pengembangan SDM

Pertumbuhan yang pesat pada industri logistik akan  menciptakan kebutuhan yang semakin banyak akan talenta di bidang terkait. Pihak Shipper menyadari hal itu dan sudah menyiapkan inisiatif untuk mendukung pengembangan SDM logistik di Indonesia.

Terdapat tiga skenario yang ditawarkan, yaitu Shipper Trainee Program, pihaknya akan merekrut intern/fresh graduate yang akan diberi pelatihan mengenai industri logistik. Kedua, Shipper Academy, merupakan program beasiswa untuk pihak-piak yang tertarik di bidang logistik untuk diberi pelatihan selama 3 minggu mengenai teori dan praktik. Untuk hasil terbaik akan disertakan penawaran kerja di perusahaan. Terakhir, ada Shipper Hack, diperuntukkan bagi talenta IT yang tertarik bekerja di bidang logistik dan menciptakan inovasi terkait.

Selain itu, Shipper juga memaparkan rencana bisnisnya di 2021 yang ingin mengembangkan jaringan pergudangan dan first-mile atau proses penjemputan barang dari customer.

Pendanaan sektor logistik

Terkait investasi, sudah banyak investor yang melirik industri logistik dengan harapan bisa memecahkan masalah e-commerce. Tahun lalu, sudah ada beberapa nama yang mengumumkan perolehan pendanaan, termasuk Shipper, Logisly, dan Andalin. Budi berpendapat tahun ini akan tidak jauh berbeda melihat pertumbuhan industri logistik yang akan terus naik di tahun 2021.

Selain itu, Shipper merupakan alumni dari program akselerator Y Combinator yang berbasis di AS. Dalam diskusi ini, Budi turut membagikan beberapa tips untuk startup early-stage yang juga ingin ikut mengakselerasi pertumbuhan bisnisnya dengan mengikuti program seperti ini.

Sebelumnya, Budi menegaskan bahwa para penggiat startup dianjurkan untuk fokus terlebih dahulu dengan produknya, serta seberapa besar masalah yang ingin diselesaikan. Bahwa semua hal yang diperoleh dari program akselerator merupakan “ekstra” yang bisa mempercepat pertumbuhan bisnis, bukan semata-mata sebagai jalan keluar dan sebuah pencapaian.

Selain itu, proporsi saham, susunan perusahaan [founder & team member] serta potensi pasar juga menjadi salah satu yang sangat dipertimbangkan untuk bisa mengikuti program akselerator.

Terkait pendanaan, Shipper masih aktif berkomunikasi dengan investor hingga saat ini. Budi menegaskan bahwa menjalin relasi yang baik dengan investor tidak hanya ketika mencari pendanaan, karna tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi di masa depan.

Shipper Acquires Porter and Pakde

Shipper, a logistics aggregator platform developer startup, announced to complete its acquisition of Porter and Pakde. Details of the agreement value is undisclosed. Porter is a startup with short-distance delivery solutions, similar to services offered by GoSend or GrabExpress. While Pakde is known as a fulfillment service provider, they operate warehouses to provide logistics solutions for businesses.

Yesterday (29/9) we just spoke with Shipper’s Co-Founder & COO, Budi Handoko regarding his company’s initiative to enter the warehousing business. He said Shipper has the ambition to be a provider of logistics technology from upstream to downstream. To date, his team still finds challenges in the warehousing system and its role in supporting the growth of the e-commerce industry. These challenges are structural in nature, some are behavioral, and some are caused by technology.

The acquisition of Porter and Pakde is clearly in line with that vision. Moreover, the three companies, including Shipper, have the same customer segmentation. Budi said, “Porter’s joining Shipper will strengthen the Shipper network, therefore, we can get closer to consumers. On the other hand, Pakde’s presence allows us to serve all the needs of consumers in Indonesia, not only in terms of shipping but also in warehousing services.”

Business growth

The pandemic serves its own blessings for logistics startups in Indonesia. Consumers who increasingly rely on online buying/selling and ordering are directly contributing to increasing traction in the logistics business. With this foundation, several startups in related fields received funding this year, including Shipper.

June 2020, Shipper announced a series A funding led by Prosus Ventures (formerly Naspers Ventures) with the participation of Lightspeed, Floodgate, Y Combinator, Insignia Ventures, and AC Ventures. The value raised is estimated to be around $20 million or around 283 billion Rupiah. The company closed its seed round in September 2019, securing $5 million in funding.

Pakde (Paket Delivery) debuted in 2016, just received seed funding in October 2018 worth of around 6 billion Rupiah. Since its inception, it has provided operational services for online merchants, including inbound services such as stock reports and stock management. Pakde also provides warehousing services at its own warehouse and outbound services in the form of packaging and delivery of goods to partners from clients.

Meanwhile, Porter has been operating since 2015. They had a pivot a year later, focusing their target market on small business owners or merchants. The business then developed, not only serving food orders from restaurants but also facilitating the delivery of groceries from retailers and e-commerce.

Logistics potential

In terms of geography, the Indonesian market requires a unique approach. Online consumers always demand to get fast logistics services that yet affordable.

The transformation also occurred in the logistics sector, service providers do not only provide conventional delivery models – sellers deliver goods to logistics kiosks, then deliver them – now the fulfillment concept is starting to be more popular.

Fortunately, in today’s digital era, every business can use data to see trends in user consumption patterns. As an example of its use, this data can be a valuable insight for merchants or brands selling their products in e-commerce, so that they can find out which specific items are in-demand by users in which areas.

Based on this data, merchants or brands can take advantage of warehousing services provided by startups such as Shipper to accommodate fulfillment in cities that are far from their business area. Therefore, when consumers order, the delivery of goods is closer and costs tend to be cheaper.

Such solutions have also been developed by other companies; some came from logistical players, e-commerce, and e-commerce enablers. For enabler players who have expanded their services to fulfillment systems, there are TokoTalk, Sirclo, GudangAda, and Jet Commerce. Of the e-commerce players, such as TokoCabang from Tokopedia, Dikelola Shopee, following the footsteps of JD.id, and Lazada which have first developed a similar solution.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Shipper Akuisisi Porter dan Pakde

Shipper, startup pengembang platform agregator logistik, mengumumkan telah merampungkan akuisisinya terhadap Porter dan Pakde. Tidak diumumkan terkait detail nilai kesepakatan. Porter sendiri merupakan startup dengan solusi pengiriman jarak dekat, mirip layanan yang dijajakan GoSend atau GrabExpress. Sementara Pakde dikenal sebagai penyedia layanan fulfillment, mereka mengoperasikan gudang untuk memberikan solusi logistik bagi bisnis.

Kemarin (29/9) kami baru berbincang dengan Co-Founder & COO Shipper Budi Handoko terkait inisiatif perusahaannya masuk ke bisnis pergudangan. Ia mengatakan Shipper berambisi untuk menjadi penyedia teknologi logistik dari hulu ke hilir. Sejauh ini pihaknya masih melihat ada tantangan dalam sistem pergudangan dan peranannya dalam menyokong pertumbuhan industri e-commerce. Tantangan tersebut ada yang bersifat struktural, beberapa bersifat perilaku, dan beberapa disebabkan oleh teknologi.

Akuisisi terhadap Porter dan Pakde jelas sejalan dengan visi tersebut. Terlebih ketiga perusahaan, termasuk Shipper, memiliki segmentasi pelanggan yang sama. Budi berujar, “Bergabungnya Porter dengan Shipper memperkuat jaringan Shipper sehingga kami dapat semakin dekat dengan para konsumen. Di sisi lain, hadirnya Pakde memungkinkan kami untuk melayani seluruh kebutuhan konsumen di Indonesia, tidak hanya terbatas dalam sisi pengiriman, namun juga dalam jasa pergudangan.”

Perkembangan bisnis

Pandemi memberikan berkah tersendiri bagi startup logistik di Indonesia. Konsumen yang semakin mengandalkan layanan jual-beli dan pemesanan online, secara langsung turut meningkatkan traksi bisnis logistik. Dengan landasan tersebut, beberapa startup di bidang terkait terima pendanaan di tahun ini, tak terkecuali Shipper.

Juni 2020, Shipper umumkan perolehan pendanaan seri A dipimpin oleh Prosus Ventures (sebelumnya Naspers Ventures) dengan dukungan Lightspeed, Floodgate, Y Combinator, Insignia Ventures, dan AC Ventures. Nilai yang berhasil dibukukan diperkirakan berkisar $20 juta atau sekitar 283 miliar Rupiah. Perusahaan menutup seed round mereka pada September 2019, bukukan dana senilai $5 juta.

Pakde (Paket Delivery) debut di tahun 2016, baru bukukan pendanaan awal di bulan Oktober 2018 dengan nilai sekitar 6 miliar Rupiah. Sejak awal mereka menyediakan jasa operasional untuk pedagang online, mencakup layanan inbound seperti stock report dan stock management. Pakde juga menyediakan layanan warehousing di gudang milik sendiri dan layanan outbound berupa pengemasan dan pengiriman barang ke partner dari klien.

Sementara Porter sudah hadir sejak tahun 2015. Mereka sempat pivot setahun kemudian, memfokuskan target pasarnya ke pemilik bisnis kecil atau merchant. Bisnisnya kemudian berkembang, tidak hanya melayani pengiriman pesanan makanan dari restoran, tapi juga memfasilitasi pengiriman belanjaan dari peritel dan e-commerce.

Peluang bisnis logistik

Dengan kondisi geografisnya, pasar Indonesia membutuhkan pendekatan yang unik. Konsumen online selalu menuntut untuk mendapatkan pelayanan logistik yang cepat, namun tetap terjangkau.

Transformasi pun terjadi di sektor logistik, penyedia layanan tidak hanya menyediakan model pengiriman konvensional –penjual mengantarkan barang ke kios logistik, lalu dilakukan pengiriman–kini konsep fulfillment mulai banyak digarap.

Untungnya, di era digital seperti saat ini, setiap bisnis dapat memanfaatkan data untuk melihat tren pola konsumsi pengguna. Contoh pemanfaatannya, data tersebut bisa menjadi insight berharga untuk merchant atau brand yang menjajakan produknya di e-commerce, sehingga mereka bisa mengetahui barang tertentu paling banyak diminati pengguna di daerah mana.

Berbekal data tersebut, lantas merchant atau brand dapat memanfaatkan layanan pergudangan yang disediakan startup seperti Shipper untuk mengakomodasi pemenuhan di kota-kota yang letaknya jauh dari basis bisnisnya. Sehingga saat konsumen memesan, pengiriman barang jadi lebih dekat dan biaya cenderung lebih murah.

Solusi seperti itu turut dikembangkan oleh perusahaan lainnya; ada yang datang dari pemain logistik, e-commerce, dan e-commerce enabler. Untuk pemain enabler yang sudah perluas layanan mereka ke sistem fulfillment ada TokoTalk, Sirclo, GudangAda, dan Jet Commerce. Dari pemain e-commerce ada TokoCabang dari Tokopedia, Dikelola Shopee, mengikuti jejak JD.id, dan Lazada yang sudah lebih dahulu.

Shipper Masuki Bisnis Pergudangan, Sasar Penjual Online

Startup agregator logistik Shipper melebarkan sayap bisnisnya ke area pergudangan (fulfillment) melalui unit barunya “Gudang Shipper”. Ekspansi ini sudah berjalan sejak tahun lalu dan sekarang sudah tersebar di 10 kota besar di Indonesia.

Kepada DailySocial, Co-Founder & COO Shipper Budi Handoko menerangkan, ekspansi ini merupakan ambisi perusahaan sebagai penyedia layanan teknologi logistik secara end-to-end, tanpa menghilangkan jati diri perusahaan sebagai agregator logistik. “Kami memulai menyiapkan solusi pergudangan ini pada tengah tahun lalu dan meresmikannya tepat pada akhir tahun,” katanya.

Alasan perusahaan terjun ke sektor ini karena dinilai ada banyak tantangan dalam sistem pergudangan dan peranannya dalam menyokong pertumbuhan industri e-commerce. Tantangan tersebut ada yang bersifat struktural, beberapa bersifat perilaku, dan beberapa disebabkan oleh teknologi.

Budi cukup percaya diri bahwa solusi yang ditawarkan Shipper dalam menyelesaikan tantangan tersebut. Kendati, ia tidak merinci lebih jauh seperti apa layanan yang ditawarkan. “Industri pergudangan dan logistik secara keseluruhan akan melihat pertumbuhan yang sangat positif dan kami bersemangat untuk berperan di dalamnya.”

Dalam blog perusahaan, diterangkan Gudang Shipper adalah solusi bisnis bebas repot untuk memudahkan operasional bisnis online dari berbagai skala bisnis, dari UKM sampai perusahaan. Semakin tumbuhnya suatu bisnis, umumnya proses logistik akan menjadi tantangan tersendiri.

Konsep yang ditawarkan ini tidak jauh berbeda dengan apa yang ditawarkan oleh pemain fulfillment kebanyakan. Shipper akan mengurus aktivitas logistik, mulai dari penyimpanan barang, pengepakan barang sesuai order, sampai pengiriman barang melalui ekspedisi yang dipilih semua sudah diurus sekaligus.

Buat pebisnis, tentunya mereka dapat mengurangi biaya operasional tanpa harus berinvestasi besar di awal untuk menyewa gudang atau menambah karyawan. Selain praktis, pebisnis dapat memanfaatkan platform reporting untuk memantau stok dan penjualan demi meminimalisir kesalahan perhitungan stok atau keterlambatan pengisian stok.

Lokasi Gudang Shipper telah tersebar di Jadetabek, Bandung, Surabaya, Semarang, Yogyakarta, Solo, dan Medan. Menurut Budi, Shipper bermitra dengan mitra penyedia gudang untuk pengadaan lokasinya, namun seluruh teknologi dibangun sendiri oleh perusahaan.

Solusi pergudangan ini juga dilakoni oleh perusahaan lainnya ada yang datang dari pemain logistik, e-commerce, dan e-commerce enabler. Untuk pemain e-commerce enabler yang sudah perluas layanan mereka ke sistem fulfillment, ada TokoTalk, Sirclo, GudangAda, dan Jet Commerce. Dari pemain e-commerce ada TokoCabang dari Tokopedia, Dikelola Shopee, mengikuti jejak JD.id, dan Lazada yang sudah lebih dahulu.

Ekosistem bisnis logistik penyokong e-commerce
Ekosistem bisnis logistik penyokong e-commerce

Terkait inovasi selama pandemi, perusahaan baru saja digandeng oleh DANA sebagai mitra agregator logistik untuk solusi DANA Delivery. Di samping itu, Budi mengaku saat ini terjadi peningkatan permintaan logistik selama beberapa bulan terakhir. Meski tidak disebutkan dalam angka, ia mengklaim secara keseluruhan ada pertumbuhan yang lebih cepat dari perkiraan dalam situs e-commerce untuk kategori existing dan baru.

Shipper sendiri sudah berdiri sejak 2017 dan bekerja sama dengan belasan perusahaan logistik, mulai dari JNE, SiCepat, RPX, Popbox, DHL, Aramex, Grab, Gojek, J&T Express, Wahana, Pos Indonesia, TIKI, Lalamove, dan masih banyak lagi.

Pada Juni lalu, perusahaan baru mengumumkan pendanaan Seri A dengan nominal dirahasiakan yang dipimpin oleh Prosus Ventures, diikuti Lightspeed, Floodgate, Y Combinator, Insignia Ventures, dan AC Ventures.