CVC Telkomsel Pimpin Pendanaan Pra-Seri B untuk Startup Agritech “EdenFarm”

Startup agritech EdenFarm mengumumkan perolehan pendanaan Pra-Seri B sebesar $13,5 juta (lebih dari 202,9 miliar Rupiah). Putaran ini dipimpin oleh Telkomsel Mitra Inovasi (TMI), CVC Telkomsel, didukung dengan investor lainnya, seperti AppWorks, AC Ventures, Decart Ventures, Fubon Capital, Trihill Capital, OCBC NISP Ventura, Nakhla, dan Capria Ventures.

Bila ditotal, jumlah investasi yang diraih EdenFarm mencapai $34,5 juta sejak pertama kali berdiri di 2017. Rencananya dana segar akan dimanfaatkan perusahaan untuk memperkuat penetrasi dalam menjaring lebih banyak mitra petani di Indonesia. Serta, meningkatkan pengalaman pelanggan dalam menghadirkan solusi berbasis teknologi yang dapat mengatasi permasalahan efisiensi pada distribusi guna mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia.

CEO TMI Mia Melinda menyampaikan, pihaknya percaya dengan pentingnya penggunaan “tech for good” dengan tujuan dan dedikasi untuk mendukung pemberdayaan entrepreneur maupun UKM yang dapat berdampak positif bagi ekonomi Indonesia. Menurutnya, jaringan B2B food supply chain milik EdenFarm yang kuat dari hulu ke hilir telah berhasil mendorong pemberdayaan petani lokal untuk memperoleh pendapatan yang lebih baik, sekaligus memberikan dampak positif di pedesaan.

“Oleh karena itu, kami sangat bersemangat untuk mendukung ekosistem pangan EdenFarm melalui pendanaan dan kolaborasi jangka panjang dengan Telkomsel Digital Food Ecosystem (DFE) yang merupakan salah satu inisiatif Telkomsel untuk mendukung digitalisasi sektor pertanian, serta kerja sama strategis lainnya guna memperkuat platform EdenFarm untuk menjangkau seluruh wilayah Indonesia [..],” ucapnya dalam keterangan resmi, kemarin (30/1).

Founder dan Managing Partner AC Ventures Adrian Li menambahkan, EdenFarm beroperasi dengan hampir 0% limbah dari proses distribusi, memberikan dampak yang kuat dan bermakna bagi petani Indonesia, selaras dengan filosofi investasi di ACV yang berfokus pada ESG.

“EdenFarm mampu merevolusi rantai distribusi pangan B2B dengan mengatasi beberapa tantangan paling mendesak, baik yang dihadapi oleh produsen maupun penjual. Kami di AC Ventures yakin dengan bisnis EdenFarm dan bersemangat untuk berpartisipasi dalam putaran pendanaan terbarunya [..],” terang Adrian.

Target EdenFarm

Founder dan CEO EdenFarm David Setyadi Gunawan turut menyampaikan, kemitraan dengan Telkomsel diharapkan dapat memperkuat kapabilitas teknologi pertanian di EdenFarm sebagai solusi tepat guna bagi para petani lokal. Solusinya disebutkan telah melayani setiap aspek di industri agrikultur, mulai dari pertanian hingga distribusi, untuk membantu petani menciptakan bisnis yang menguntungkan dan berkelanjutan.

“Pendanaan terbaru ini akan memungkinkan kami untuk mengembangkan kehadiran sekaligus memperkuat posisi EdenFarm sebagai pemain teknologi terbesar di sektor pertanian dan jasa pangan. Kami yakin kemitraan dengan Telkomsel ini akan memberikan manfaat yang signifikan bagi platform kami,” terang David.

EdenFarm merupakan startup agrikultur yang berfokus membangun ekosistem distribusi pangan (food supply chain ecosystem) nasional untuk lebih menguntungkan bagi para petani dan seluruh pemangku kepentingan di sektor pertanian secara berkelanjutan.

Diklaim, EdenFarm tumbuh hampir 60 kali lipat dalam 40 bulan terakhir. Pencapaian tersebut memperkuat fondasi perusahaan berada di jalur profitabilitas, di tengah pemain sejenis di industri yang justru mengalami kerugian. “Kami bertujuan untuk meningkatkan laba dalam 12 bulan ke depan, seiring dengan pertumbuhan 3,5-4 kali lipat secara YoY. Dari situ, kami akan fokus dalam berekspansi ke pasar yang baru,” pungkas David.

Application Information Will Show Up Here

Inilah Daftar Startup Agritech Indonesia yang Menjadi Solusi Petani

Startup agritech Indonesia adalah salah satu hal yang harus diketahui banyak orang. Karena bisa menjadi fondasi dasar untuk perkembangan ekonomi masyarakat Indonesia. Dilansir oleh BPS (Badan Pusat Statistik), produksi pertanian Indonesia meningkat 2,59% di kuartal keempat 2021. Maka dari itu, pertanian menjadi sumber yang paling besar perannya untuk menjadi salah satu pilar perekonomian.

Kehadiran startup digital di bidang pertanian (argitech) juga dilihat sebagai sebuah harapan baru untuk membawa industri pertanian Indonesia naik level. Dengan cara menghadirkan mekanisme dan model bisnis baru untuk efisiensi produksi sampai dengan distribusi.

Berikut ini daftar startup pertanian di Indonesia yang layak diketahui:

Agriaku

PT Agriaku Digital Indonesia (Agriaku) merupakan startup agritech Indonesia yang menyediakan berbagai perlengkapan dan kebutuhan petani melalui sistem keagenan atau social commerce. Mereka baru saja, memimpin pendapatan awal oleh Arise, dana kelolaan kolaboratif MDI Ventures dan Finch Capital.

Agriaku didirikan pada Mei 2021 oleh Irvan Kolonas dan Danny Handoko. Ivan memang memiliki pengalaman sebagai pengusaha di bidang agribisnis, saat ini juga menjabat sebagai CEO Vasham. Sementara itu, Danny adalah mantan Co-Founder & CEO Airy Indonesia. kolaborasi mereka dapat menggabungkan keahlian di bidang pertanian dan teknologi untuk memberikan layanan yang komprehensif kepada agro-UKM dan petani.

Dengan dana segar yang terkumpul, Agriaku berencana untuk meningkatkan jumlah petani dalam jaringannya agar berhasil menembus pasar senilai $17 miliar di Indonesia. Sejak awal, Agriaku telah memberdayakan lebih dari 6 ribu mitra dan petani kecil di seluruh Indonesia melalui teknologi. Agriaku memiliki mimpi untuk menjadi superapp bagi para pemain agri di Indonesia.

Crowde

Crowde adalah startup fintech didirikan oleh Yohanes Sugihtononugroho pada tahun 2015 yang berfokus pada pertanian yang memberdayakan petani Indonesia dengan teknologi dan permodalan. Ribuan petani dan investor di seluruh Indonesia telah mempercayakan Crowde dengan mencapai apa yang belum pernah dilakukan sebelumnya.

Ekosistem keuangan yang mudah untuk petani dapat terhubung dengan investor yang mencari hal menarik dengan petani yang mengharapkan modal untuk tumbuh, menciptakan lapangan kerja, dan membantu komunitas lokal.

Eden Farm

Eden Farm lebih fokus menyajikan produk-produk terbaik dari petani lokal hingga berbagai restoran dan warung makan di Indonesia. Startup yang didirikan pada tahun 2017 oleh David Gunawan ini memiliki tujuan agar bisnis kuliner Indonesia menggunakan bahan-bahan yang berasal dari petani lokal.

Berdasarkan informasi dari situs resminya, Eden Farm merupakan pemasok berbagai jenis sayuran dan bahan makanan seperti sayuran hidroponik, buah, dan bahan kering.

Etanee

Etanee adalah aplikasi e-commerce yang fokus pada produk pangan dan pertanian. Didesain berawal dari memulai petani dan peternak kita yang tidak mendapatkan hak ekonomi secara layak. Padahal merekalah rantai produksi dengan kerja kerasnya menghasilkan produk terbaik yang kita konsumsi.

Selain itu, rantai logistik dan pengiriman yang tidak efisien menjadi penyebab tingginya harga beli konsumen juga menjadi pemicu lahirnya Etanee yang mulai digagas sejak awal tahun 2017. Maka dari itu, Etanee dibuat sebagai solusi untuk petani dan peternak agar memiliki penghasilan yang sesuai dengan meraka.

Herry Nugraha dan Cecep Mochamad Wahyudin mendirikan Etanee pada tahun 2017 ingin berfokus pada pengembangan bisnis pertanian di Indonesia. Mereka mendapatkan dana awal sebesar 7 miliar Rupiah dari East Ventures untuk mengekspansi ke beberapa daerah di Indonesia.

Habibi Garden

Di Indonesia juga ada startup teknologi pertanian yaitu Habibi Garden. Perusahaan startup agritech Indonesia ini memiliki tujuan untuk membangun peradaban melalui pertanian internet of things (IOT). Perusahaan ini memang menghadirkan solusi perawatan tanaman berbasis IoT. Startup ini membantu menyediakan data up-to-date melalui smartphone.

Ada sensor yang digunakan untuk membantu mendapatkan data tersebut. Data yang diberikan misalnya adalah kondisi tanah dan unsur hara pada tanaman. Ini dapat membantu petani mengurangi biaya, meningkatkan produktivitas, dan mencegah gagal panen.

Startup agritech Indonesia yang satu ini didirikan pada tahun 2016 oleh Dian Prayogi Susanto. Pada awal pendiriannya Habibi Garden mendapatkan 8 miliar Rupiah dibantu oleh beberapa Investor pendanaan seri A.

iGrow

Startup bergerak di bidang pertanian yang memungkinkan pelaku usaha untuk bertani tanpa harus turun ke lahan pertanian sendiri untuk menanam. Cukup dengan mendaftar, memilih tanah dan jenis pohon, maka para pelaku usaha dapat menerima uang atas tanah tersebut.

Setelah lahan diolah dan dipanen, hasil pertanian bisa dijual dengan porsi 40% untuk pengguna, 20% untuk mitra pengelola perkebunan (petani), dan 20% untuk iGrow. Perusahaan yang satu ini didirikan pada tahun 2014. Kini iGrow telah diakuisisi dan masuk ke dalam grup LinkAja.

Kedai Sayur

Layanan startup ini lebih fokus pada pendistribusian produk pertanian berupa sayuran kepada konsumen. Dengan sistem mengundang pedagang sayur konvensional untuk menjadi bagian dari Kedai Sayur sebagai Mitra Sayur.

Mitra sayur ini merupakan satu-satunya layanan utama yang dihadirkan untuk memberikan kemudahan bagi pengguna khususnya ibu rumah tangga yang ingin berbelanja kebutuhan sayur tanpa perlu ribet, namun tetap memiliki kualitas sayur terbaik.

Startup yang pertama kali digagas pada tahun 2016 oleh Adrian Hernanto ini telah mendapatkan dua putaran pendanaan di tahun 2019, yang keduanya dipimpin oleh East Ventures. Pendanaan pertama diperoleh pada bulan Mei sebesar $1,3 juta dan pendanaan kedua dilakukan tiga bulan kemudian yaitu pada bulan Agustus dengan nominal lebih besar yaitu 4 juta dollar AS.

Sayurbox

Didirikan pada tahun 2017, Sayurbox menggunakan konsep bisnis farm-to-table. Konsep ini mendukung konsumen untuk dapat memperoleh berbagai sayuran dan buah segar berkualitas langsung dari petani dan produsen lokal.

Sayurbox, perusahaan rintisan yang menggabungkan teknologi pangan dan bahan-bahan makanan, mengumumkan telah mendapatkan pendanaan seri C sebesar $120 juta atau lebih dari Rp. 1,7 triliun.

Tanihub

Startup pertanian lain yang cukup menonjol adalah TaniHub. Startup ini dikenal membangun ekosistem petani mulai dari pembiayaan, penanaman, hingga pemasaran. Dalam aplikasi ini, produk pertanian masuk ke pasar sehingga membebani petani untuk memasarkan produk tersebut.

TaniHub sendiri merupakan aplikasi yang merupakan bagian dari TaniGroup. Di dalam grup, tidak hanya ada TaniHub tetapi juga TaniFund. Juni tahun 2021 lalu Tanihub mendapatkan pendanaan seri B senilai 945 miliar Rupiah dipimpin oleh MDI Ventures.

Itulah beberapa startup agritech Indonesia yang bisa menjadi solusi bagi mereka. Perkembangan teknologi telah memberikan banyak peluang, termasuk di bidang pertanian.

Eden Farm Announces 271 Billion Rupiah Series A Funding Led by AppWorks and AC Ventures

Agritech startup Eden Farm announced the series A funding of $19 million or equivalent to 271.1 billion Rupiah. The round was led by AppWorks and AC Ventures, with the participation of Trihill Capital, OCBC Ventures, Investible, Corin Capital, and former investor Global Founders Capital.

This funding continues Eden Farm‘s pre-series A round led by investible in February 2021. With the mission of “Feeding the Nation”, Eden Farm has built an integrated food distribution network since 2017. The goal is to simplify the supply chain to increase margins by reducing prices and cutting out middlemen.

In its service, they also provide accurate demand forecasts for farmers by implementing digital acceleration, and achieving production predictability.

According to the statistics, Eden Farm currently serves 53 thousand customers and partners with more than 2 thousand farmers in Java. In order to support the supply chain, they also operate 5 Eden Fulfillment Centers in strategic locations, supported by 400 supplier partners for product availability.

Meanwhile, since 2019 AppWorks has participated in a number of local startup funding, including HarukaEDU series C funding (Nov 2019), Fabelio series C funding (June 2020), InfraDigital series A funding (Jun 2020), and iSeller pre-series B funding (2021).

Apart from Eden Farm, a number of local agritech startups are also trying to solve the same issue. One of them is TaniHub Group. Last May 2021, the platform secured a series B funding of $65.5 million (over 940 billion Rupiah) led by MDI Ventures. This round brought TaniHub’s valuation to over $200 million. Tanihub currently has several business units, including supply chain, financing, and farmer education.

Focus on solving supply chain issue

According to the BPS report, Indonesia has more than 33.4 million farmers, with the agricultural sector contributing 14% of Indonesia’s GDP or a $140 billion market growing 12.93% per quarter (QoQ). However, the agricultural sector still has major challenges related to supply chain efficiency and farmer welfare with many leakages occurring at various levels of the supply chain.

In this case, Eden Farm decided to focus on resolving issues in the supply chain. “We strengthened two important foundations on the supply and demand sides by building Eden Farm Sourcing Center (ESC) and Eden Farm Distribution Network (EDN),” Eden Farm’s Co-founder & CEO, David Gunawan said in an interview with DailySocial.id.

ESC is a program of direct collaboration with farmers to determine cropping patterns, certainty of selling prices, and certainty of the amount of agricultural produce taken every day. Meanwhile, EDN is a distribution network created to empower the community. EDN is spread in various locations and is within a 5 km radius of the customer so that delivery is faster and more efficient.

“Eden Farm is focused on revolutionizing the fresh produce supply chain and creating a strong defense in upstream agricultural technology. As early investors in Eden Farm, we see them growing and achieving their goals as they increase demand channels and build stronger relationships with farmers in the field. We believe Eden Farm can lead the industry towards digitalization and become a leader in B2B agricultural technology,” AC Ventures’ Founder & Managing Partner, Adrian Li said.

Focus on B2B segment

To date, the F&B sector has a market size of $92 billion, with the food sector expected to grow at a CAGR of 8.7%. They are also one of the biggest absorbers of agricultural products.

One of the business processes by Eden Farm is bridging needs on the industrial side, then connecting with farmers. They claim to have a strong operational system by procuring products directly from farmers, creating defenses in upstream agriculture and attracting growth through diversified B2B markets.

Focusing on the B2B market, Eden Farm supplies high quality food ingredients to various customer segments, including hotels, restaurants & cafes (HORECA), traditional markets, and e-commerce.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Eden Farm Umumkan Pendanaan Seri A 271 Miliar Rupiah Dipimpin AppWorks dan AC Ventures

Startup agritech Eden Farm mengumumkan perolehan pendanaan seri A senilai $19 juta atau setara 271,1 miliar Rupiah. Putaran ini dipimpin oleh AppWorks dan AC Ventures, dengan partisipasi dari Trihill Capital, OCBC Ventures, Investible, Corin Capital, dan investor terdahulu Global Founders Capital.

Pendanaan ini melanjutkan perolehan Eden Farm dalam putaran pra-seri A yang dipimpin investible pada Februari 2021 lalu. Mengusung misi “Feeding the Nation”, Eden Farm membangun jaringan distribusi pangan terintegrasi sejak 2017. Tujuannya untuk menyederhanakan rantai pasokan demi meningkatkan margin dengan mengurangi harga dan memotong perantara.

Dalam layanannya mereka juga memberikan demand forecast yang akurat bagi petani dengan menerapkan akselerasi digital, dan mencapai prediktabilitas produksi.

Dari statistik yang disampaikan, saat ini Eden Farm melayani 53 ribu pelanggan dan bermitra dengan lebih dari 2 ribu petani di pulau Jawa. Untuk mendukung rantai pasok, mereka juga mengoperasikan 5 Eden Fulfillment Center di lokasi-lokasi strategis dan didukung oleh 400 rekanan supplier ketersediaan produk.

Sementara itu, sejak 2019 AppWorks telah berpartisipasi ke sejumlah pendanaan startup lokal, di antaranya pendanaan seri C HarukaEDU (Nov 2019), pendanaan seri C Fabelio (Jun 2020), Pendanaan seri A InfraDigital (Jun 2020), dan pendanaan pra-seri B iSeller (2021).

Selain Eden Farm, sejumlah startup agritech lokal juga mencoba menyelesaikan isu yag sama. Salah satunya adalah TaniHub Group. Mei 2021 lalu, mereka dikabarkan telah mendapatkan pendanaan seri B senilai $65,5 juta (lebih dari 940 miliar Rupiah) yang dipimpin oleh MDI Ventures. Putaran ini membawa valuasi TaniHub melambung senilai lebih dari $200 juta. Tanihub sendiri saat ini memiliki beberapa unit bisnis, termasuk di bidang rantai pasok, pembiayaan, hingga edukasi petani.

Fokus menyelesaikan isu rantai pasok

Menurut laporan BPS, Indonesia memiliki lebih dari 33,4 juta petani, dengan sektor pertanian berkontribusi sebesar 14% dari PDB Indonesia atau pasar senilai $140 miliar yang bertumbuh 12,93% per kuartal (QoQ). Namun demikian, sektor pertanian masih memiliki tantangan besar terkait efisiensi rantai pasok dan kesejahteraan petani dengan banyaknya kebocoran yang terjadi di berbagai lapis rantai pasok.

Dari permasalahan tersebut, Eden Farm memang memilih untuk fokus menyelesaikan isu di rantai pasok. “Kami memperkuat dua fondasi penting di sisi pasokan dan permintaan dengan membangun Eden Farm Sourcing Center (ESC) dan Eden Farm Distribution Network (EDN),” terang Co-founder & CEO Eden Farm David Gunawan dalam sebuah wawancara dengan DailySocial.id.

ESC adalah program kerja sama langsung dengan petani untuk menentukan pola tanam, kepastian harga jual, dan kepastian jumlah hasil tani yang diambil setiap harinya. Sedangkan EDN adalah jaringan distribusi yang dibuat dengan memberdayakan masyarakat. EDN tersebar di berbagai lokasi serta berada dalam radius 5 km dari pelanggan sehingga pengiriman lebih cepat dan efisien.

“Eden Farm fokus merevolusi rantai pasok produk segar dan menciptakan pertahanan yang kuat di bidang teknologi pertanian hulu. Sebagai investor awal di Eden Farm, kami melihat mereka telah bertumbuh dan berhasil meraih pencapaian mereka saat mereka meningkatkan demand channels dan membangun hubungan yang lebih kuat dengan petani di lapangan. Kami percaya, Eden Farm dapat memimpin industri ini menuju digitalisasi dan menjadi pemimpin di bidang teknologi pertanian B2B,” ujar Founder & Managing Partner AC Ventures Adrian Li.

Fokus di segmen B2B

Untuk saat ini, sektor F&B memiliki ukuran pasar bernilai $92 miliar, dengan sektor makanan yang diperkirakan akan tumbuh pada CAGR sebesar 8,7%. Mereka pun menjadi salah satu penyerap terbesar produk-produk pertanian.

Proses bisnis yang dilakukan Eden Farm salah satunya menjembatani kebutuhan di sisi industri, lalu menghubungkan dengan para petani. Mereka mengklaim telah memiliki sistem operasional yang kuat dengan pengadaan produk langsung dari petani, menciptakan pertahanan di bidang pertanian hulu dan daya tarik pertumbuhan melalui pasar B2B yang beragam.

Fokus pada pasar B2B, Eden Farm memasok bahan makanan berkualitas tinggi ke berbagai segmentasi pelanggan, termasuk hotel, restoran, & cafe (HORECA), pasar tradisional, dan e-commerce.

Application Information Will Show Up Here

Eden Farm Umumkan Pendanaan Pra-Seri A Dipimpin Investible

Startup argitech Eden Farm mengumumkan telah menutup pendanaan pra-seri A dengan nilai yang tidak disebutkan. Putaran ini dipimpin oleh Investible dengan dukungan AC Ventures, Corin Capital, dan sejumlah angel investor.

Didirikan tahun 2017, startup jebolan Y Combinator (S19) tersebut memiliki misi untuk memaksimalkan pendapatan petani melalui perampingan rantai pasok pangan serta mendistribusikan produk pertanian berkualitas dan terjangkau kepada pengusaha kuliner di Indonesia.

“Pendanaan ini akan digunakan untuk memperluas operasi Eden Farm ke seluruh pulau Jawa dan Sumatera, menambah pilihan SKU, memperluas lahan strategis yang diolah melalui program pendanaan petani, dan melanjutkan pengembangan teknologi untuk mengautomasi sebagian besar proses bisnis […] Kami berada di posisi yang kuat untuk menjalankan seluruh rencana pengembangan 2021 dan selangkah lebih dekat ke tujuan utama kami,” ujar Co-Founder & CEO Eden Farm David Setyadi Gunawan.

Sebelumnya di tahun 2019 mereka telah mendapatkan pendanaan awal senilai $1,7 juta dari sejumlah investor termasuk Y Combinator, Everhaus, Global Founders Capital, Soma Capital, S7 Venture, danangel investor.

Dalam wawancaranya dengan DailySocial menjelang akhir 2020 David mengatakan, bersamaan dengan momentum pertumbuhan permintaan di masa pandemi, mereka tengah menguatkan dua fondasi penting. Yakni di sisi pasokan dan permintaan, direalisasikan dengan membangun Eden Farm Sourcing Center (ESC) dan Eden Farm Distribution Network (EDN).

ESC adalah program kerja sama langsung dengan petani untuk menentukan pola tanam, kepastian harga jual, dan kepastian jumlah hasil tani yang diambil setiap harinya. Sedangkan EDN adalah jaringan distribusi yang dibuat dengan memberdayakan masyarakat. EDN tersebar di berbagai lokasi serta berada dalam radius 5 km dari pelanggan sehingga pengiriman lebih cepat dan efisien.

Dari statistik terbaru yang disampaikan, saat ini Eden Farm telah melayani lebih dari 25 ribu pedagang yang terdiri dari UMKM kuliner, hotel, restoran, kafe, pasar tradisional, reseller, dan startup di 12 kota dan 3 kabupaten di pulau Jawa.

Dari sisi suplai, mereka didukung oleh lebih dari 1500 petani individu dan kelompok dari pulau Jawa dan Sumatera. Jumlah ini diperkirakan akan terus bertumbuh secara eksponensial di tahun 2021. Didukung sistem operasi berbasis data, Eden Farm meyakini bisa menciptakan rantai pasok bahan baku yang sangat efisien dari petani sampai dapur pengusaha kuliner serta menghasilkan margin yang positif dan terus bertumbuh.

Dalam sambutannya, Managing Partner AC Ventures Adrian Li mengatakan, “Eden Farm berhasil menciptakan bisnis yang sulit ditiru karena memiliki jaringan petani yang kuat, jaringan konsumen dengan permintaan yang stabil dan rantai pasok pangan yang efisien. Keunggulan ini memungkinkan para petani untuk mendapatkan penghasilan yang lebih besar dan para pengusaha kuliner mendapatkan bahan pangan dengan harga yang terjangkau dan kualitas yang baik.”

Potensi pertanian di Indonesia memang terus diperbincangkan pemain di ekosistem digital. Menurut data yang disampaikan, saat ini ada lebih dari 30 juta petani di penjuru nusantara. Sektor pertanian menyumbang 14% dari PDB Indonesia atau setara dengan $140 miliar dengan pertumbuhan 8% setiap tahunnya. Kondisi sektor pertanian sangat terfragmentasi sehingga menciptakan rantai pasokan pangan yang tidak efisien dan mengakibatkan pendapatan para petani berkurang dan tidak stabil.

Application Information Will Show Up Here

Penguatan Jaringan Rantai Pasokan Jadi Strategi Pertumbuhan Bisnis Eden Farm

Pandemi yang telah mengubah pola konsumsi sayur dan buah masyarakat membawa angin segar bagi industri bisnis agritech. Penggunaan teknologi yang semakin lumrah juga menjadi salah satu penyebab kebiasaan membeli sayuran dan buah melalui aplikasi kini semakin masif terjadi.

Eden Farm adalah satu dari banyak pemain di industri agritech yang mengalami pertumbuhan signifikan. Mereka adalah pemasok bahan makanan segar, menggunakan teknologi untuk medium transaksinya. Klaim mereka, tahun ini ada 6 kali lipat pertumbuhan jika dibandingkan dengan tahun lalu.

Data internal mereka juga mencatat saat ini sudah melayani 20 ribu UKM, 2 ribu reseller, seribu restoran dan cafe, dan juga 25 startup partner di Jabodetabek dan Bandung. Eden Farm bahkan sudah mulai melebarkan sayap ke produk makanan beku untuk daging dan ikan.

“Kami juga memperkuat dua fondasi penting di sisi pasokan dan permintaan dengan membangun Eden Farm Sourcing Center (ESC) dan Eden Farm Distribution Network (EDN). ESC adalah program kerja sama langsung dengan petani untuk menentukan pola tanam, kepastian harga jual, dan kepastian jumlah hasil tani yang diambil setiap harinya. Sedangkan EDN adalah jaringan distribusi yang dibuat dengan memberdayakan masyarakat. EDN tersebar di berbagai lokasi serta berada dalam radius 5 km dari pelanggan sehingga pengiriman lebih cepat dan efisien,” terang Co-founder Eden Farm David Gunawan.

David lebih jauh menjelaskan bahwa kondisi bisnis mereka tetap baik di masa pandemi. Hubungan baik dengan petani melalui ESC membuat harga dan suplai tetap stabil. Faktor pelanggan yang berada di beragam industri juga menjadi hal lain yang membuat Eden Farm tidak terlalu banyak terpengaruh pandemi.

“Faktor berikutnya adalah karena customer Eden Farm yang tersebar di berbagai sektor. Sehingga ketika salah satu jenis customer terdampak oleh Pandemi, permintaan Eden Farm tidak serta merta anjlok karena masih ada jenis customer lain yang tetap stabil di masa pandemi ini. Harga kami yang bisa dikatakan paling murah di market juga membantu para customer kami untuk tetap menjalankan usaha kulinernya di waktu sulit ini,” imbuh David.

Sejatinya di industri agritech banyak pemain yang mengalami lonjakan. Bahkan sektor ini diramaikan dengan para pemain baru hasil dari pivot atau inovasi mereka yang berada di industri lain. Hal ini disebabkan karena fakta di lapangan bahwa kebutuhan akan buah dan sayuran segar memang tengah naik. Kini tantangannya adalah bagaimana membawa kestabilan kualitas dan stok, mengingat yang dicari tidak hanya buah dan sayuran, tetapi buah dan sayuran yang segar dan berkualitas.

Bagi startup yang tahun lalu mengantongi pendanaan dari  Y Combinator, Everhaus, Global Founders Capital, Soma Capital, S7 Venture dan sejumlah angel investor ini fokus pada peruasan ESC dan EDN adalah salah satu cara untuk tetap menjaga suplai dan kualitas produk mereka.

“Kami terus memperluas jaringan ESC dan EDN untuk memperkuat hubungan dan kualitas petani, infrastruktur permintaan serta membuat proses bisnis kami semakin efisien. Saat ini kami juga sedang mempersiapkan diri untuk melakukan ekspansi ke kota-kota lain di Indonesia. Target tahun 2021 adalah menjadi startup agritech B2B nomor 1 di Indonesia dari segi market share,” tutup David.

Application Information Will Show Up Here

Stoqo’s Shutdown and Survival Strategy for B2B Commerce

The corona pandemic has severed some culinary businesses in the country. The declining situation is inevitable due to the susceptive character of coronavirus disease 2019 (Covid-19) that forces people to do most activities at home.

Since the first Covid-19 case emerged in early March, the food business has reportedly continued to shrink. The loss has affected such players as the upper-middle-class restaurants and micro and small culinary enterprises. Digital platforms providing culinary business needs will also be affected. It happens to Stoqo.

Stoqo officially announced an operational shutdown. A few days before, the startup, which was led by Aswin Andrison as a Co-Founder & CEO, only announced that it had temporarily stopped operating. However, the pandemic finally forced them out of business.

“Since 2017, we have built STOQO to serve and empower SMEs in the culinary field in Indonesia. However, the situation triggered by the COVID-19 pandemic has caused a drastic reduction in revenue for us,” Stoqo wrote on their website.

Pengumuman resmi berhenti beroperasi di situs Stoqo.
Shutdown operation announcement

Upcoming Hazard

Stoqo is a platform that focuses on providing basic food needs for places to eat, especially restaurants, catering cafes, and home-based culinary businesses. Stoqo supplies a variety of foods ranging from meat, vegetables, flour, coffee, and others.

Aswin stated that Stoqo was focused on playing in the B2B segment ever since. They realize the platform as a hub to meet the needs of culinary businesses. With the prospect of being considered quite brilliant, it’s no wonder Stoqo won series A funding from Monk’s Hill Partners and Accel Partners India at the end of December 2018.

However, the reality ended bitterly for Stoqo. The number of restaurants, cafes, and restaurants that stopped operating claimed their income. The Indonesian Hotel and Restaurant Association said that at least thousands of restaurants were closed due to the Covid-19 outbreak.

The unfortunate events of B2B commerce business like Stoqo also happen to Eden Farm and Wahyoo. Although, the scale is yet to worrying. Eden Farm Founder & CEO, David Gunawan said there were two segments they generally served, namely restaurants and grocery stalls. Of the two, David said that the restaurant was hit by the bigger impact.

“It’s true that high-end restaurants and those in the mall are closed or shifting to delivery, half of our clients in the segment are closed,” David told DailySocial.

Meanwhile, Wahyoo Founder & CEO Peter Shearer shared a similar experience. A number of stalls affiliated with Wahyoo have stopped operating, especially those located in office areas. Peter also did not mention the exact number. But he made sure other stalls were not seriously affected by this outbreak, especially those located in residential and settlement areas.

Survival strategy

Although the impact is not as severe as Stoqo’s experience, a prolonged pandemic can be a scourge for the sustainability of the Wahyoo and Eden Farm businesses. Special strategies are needed so that they avoid the same fate of Stoqo.

Peter mentioned the problem is to keep the request ongoing. The trick to Wahyoo’s demand has been to help stalls sell on digital platforms such as Go-Food. At the same time, the implementation of large-scale social restrictions (PSBB) in many regions has shifted shopping patterns in Wahyoo.

“The positive impact is that the PSBB and Covid-19 have forced the food stall owners to adapt faster,” he added.

On the other hand, Eden Farm, which clients are mostly grocery stores, has another strategy to stay afloat during this pandemic. David said they now rely on the agency system to reach buyers who are reluctant to leave the house.

David rejects this new system as B2C. He said that his party only reactivated the group purchasing model, which actually existed since last year but was only revived three weeks ago.

Changes in segment composition also helped Eden Farm from the majority of their clients, restaurants and middle-up restaurants to the majority of SMEs. David said that currently 80% of their clients are middle-to-lower business people.

“We’re still getting new customers, the customer purchase growth is ongoing. Indeed, it was reducing in the early days [the pandemic], but it was back [normal] again after a few weeks,” said David.

PHRI Deputy Chairman for the Restaurant Sector Emil Arifin said there were already thousands of restaurants that had stopped operating throughout Indonesia. The estimated figure comes from the number of restaurants scattered in 327 malls that have been closed out of a total of 700 malls. In other words, more than 8,000 restaurants have closed.

“That does not include restaurants in office buildings, stand alone, in tourist parks and other facilities outside the mall. If you want to add up all of them, I think twice,” Emil explained to DailySocial.

Under this situation, Emil estimates that the culinary business in the country has lost around Rp2.5 trillion per month with 200 thousand people losing their jobs.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Tutupnya Stoqo dan Siasat Bertahan Pelaku B2B Commerce

Pandemi virus korona memukul bisnis kuliner Tanah Air. Redupnya bisnis ini tak terhindarkan lantaran bahaya penyebaran corona virus disease 2019 (Covid-19) yang sangat mudah sehingga memaksa sebagian besar orang hanya bisa beraktivitas dari rumah.

Sejak kasus Covid-19 pertama muncul pada awal Maret lalu, bisnis makanan dilaporkan terus menyusut. Kerugian tak hanya ditanggung para pelaku seperti restoran menengah ke atas dan pengusaha kuliner kelas mikro dan kecil. Platform digital penyedia kebutuhan bisnis kuliner pun kena imbasnya. Hal ini sudah terjadi pada Stoqo.

Stoqo resmi mengumumkan mereka berhenti beroperasi. Beberapa hari sebelumnya, startup yang dinahkodai Co-Founder & CEO Aswin Andrison ini hanya mengumumkan berhenti beroperasi untuk sementara waktu. Namun pandemi akhirnya memaksa mereka gulung tikar.

“Sejak tahun 2017, kami membangun STOQO untuk melayani dan memberdayakan UKM dalam bidang kuliner di Indonesia. Namun, situasi yang dipicu oleh pandemi COVID-19 telah menyebabkan penurunan pendapatan secara drastis bagi kami,” tulis Stoqo dalam situs mereka.

Pengumuman resmi berhenti beroperasi di situs Stoqo.
Pengumuman resmi berhenti beroperasi di situs Stoqo.

Ancaman yang membayangi

Stoqo adalah platform yang fokus menyediakan kebutuhan bahan pokok bagi tempat makan, khususnya restoran, kafe katering, dan usaha kuliner rumahan. Stoqo menyuplai berbagai bahan makanan mulai dari daging, sayur-mayur, tepung, kopi, dan lain-lain.

Sedari awal Aswin memang menyatakan Stoqo fokus bermain di segmen B2B. Mereka mewujudkan platformnya sebagai hub pemenuh kebutuhan pebisnis kuliner. Dengan prospek yang dianggap cukup cemerlang maka tak heran Stoqo berhasil meraih pendanaan seri A dari Monk’s Hill Partners dan Accel Partners India pada akhir Desember 2018.

Namun kenyataan berakhir pahit untuk Stoqo. Banyaknya restoran, kafe, dan rumah makan yang berhenti beroperasi merenggut pendapatan mereka. Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia mengatakan bahwa setidaknya ada ribuan restoran yang tutup akibat wabah Covid-19.

Pahitnya bisnis B2B commerce seperti Stoqo ini juga dirasakan oleh Eden Farm dan Wahyoo. Kendati begitu mereka mengklaim skalanya masih belum mengkhawatirkan. Founder & CEO Eden Farm David Gunawan mengatakan ada dua segmen yang umumnya mereka layani yakni restoran dan warung kelontong. Dari keduanya, David menyebut restoran lah yang kena imbas lebih besar.

“Memang benar restoran mewah dan yang di mal itu pada tutup atau setidaknya jadi delivery, setengah klien kita di segmen itu tutup,” ungkap David kepada DailySocial.

Sementara itu Founder & CEO Wahyoo Peter Shearer bercerita pengalaman serupa. Sejumlah warung yang berafiliasi dengan Wahyoo sudah berhenti beroperasi terutama yang berlokasi di area perkantoran. Peter juga tak menyebut berapa jumlah pastinya. Namun ia memastikan warung-warung lain tak terkena dampak serius dari wabah ini, terutama yang berlokasi di area perumahan dan perkampungan.

Siasat bertahan

Meskipun dampaknya tak separah Stoqo, pandemi berkepanjangan dapat menjadi momok bagi keberlangsungan bisnis Wahyoo dan Eden Farm. Strategi khusus pun diperlukan agar mereka terhindar dari nasib serupa Stoqo.

Peter menjelaskan bahwa masalah yang ada sekarang adalah menjaga permintaan terjaga. Kiat menjaga permintaan dari Wahyoo sejauh ini adalah membantu warung-warung agar dapat berjualan di platform digital seperti Go-Food. Di saat yang bersamaan pelaksanaan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di banyak daerah sudah mengeser pola belanja di Wahyoo.

“Positifnya secara tidak langsung dengan adanya PSBB dan Covid-19 ini memaksa adaptasi pemilik warung makan terhadap digital jadi lebih cepat,” imbuhnya.

Di lain tempat, Eden Farm yang kliennya sebagian besar adalah toko kelontong punya siasat lain untuk tetap bertahan selama pandemi ini. David mengatakan mereka kini mengandalkan sistem keagenan untuk menjangkau pembeli yang enggan keluar rumah.

David menolak sistem baru ini sebagai B2C. Ia menyebut pihaknya hanya mereaktivasi model pembelian secara berkelompok yang sejatinya sudah ada sejak tahun lalu namun baru dihidupkan kembali tiga pekan lalu.

Perubahan komposisi segmen juga membantu Eden Farm dari mayoritas klien mereka restoran dan rumah makan menengah ke atas menjadi mayoritas UKM. David menyebut saat ini klien mereka 80% berasal dari pebisnis menengah ke bawah.

“Kita tetap dapat customer baru, pertumbuhan pembelian customer pun masih berjalan. Memang di awal-awal [pandemi] berkurang, tapi lewat seminggu balik [normal] lagi,” ucap David.

Wakil Ketua Umum PHRI Bidang Restoran Emil Arifin menyebut sudah ada ribuan restoran yang berhenti beroperasi di seluruh Indonesia. Perkiraan angka itu berasal dari jumlah restoran yang tersebar di 327 mal yang sudah tutup dari total 700-an mal. Dengan kata lain sudah 8.000 lebih restoran yang tutup.

“Itu belum termasuk resto di gedung perkantoran, stand alone, di taman wisata dan di fasilitas lainnya di luar mal. Kalau mau ditotal semua, saya kira dua kalinya,” terang Emil kepada DailySocial.

Dengan keadaan itu, Emil memperkirakan bisnis kuliner di Tanah Air sudah merugi sekitar Rp2,5 triliun per bulan dengan 200 ribu orang yang kehilangan pekerjaannya.

Cerita Startup Indonesia yang Ikut Program Akselerasi Y Combinator

Menjelang akhir tahun 2017, Y Combinator (YC) sebagai program akselerasi startup kenamaan asal Mountain View menyambangi Jakarta untuk memperkenalkan diri. Di acara tersebut hadir Partner YC Gustaf Alströmer menyampaikan beberapa informasi, mendorong startup yang hadir untuk mendaftarkan diri ke program.

Nama-nama seperti PayFazz, Xendit, Nusantara Technology, Shipper sampai yang terbaru Eden Farm akhirnya bergabung ke YC. Kami turut mengamati perkembangannya pasca akselerasi. Sejauh ini yang bisa disimpulkan, para startup berhasil memikat investor (minimal) untuk meningkatkan seed round mereka. Lantas kami tertarik untuk mendalami, sebenarnya apa yang didapat para startup dari pendidikan di Silicon Valley tersebut?

Terlebih dulu kami menghubungi pihak YC untuk menanyakan dasar-dasar program mereka. Director of Communications Lindsay Amos secara singkat menjelaskan bahwa program tersebut memberikan dukungan kepada menyeluruh. Misalnya melalui “Startup School“, para founder diajarkan tentang cara mengembangkan bisnis yang relevan di era digital seperti saat ini. Mereka juga mengarahkan kepada startup untuk memanfaatkan kanal YC Network guna menemukan pengguna produk mereka.

Proses pendaftaran akselerasi

Steven Wongsoredjo adalah Founder & CEO Nusantara Technology, melalui produknya SuperApp.id ia bergabung pada program YC di periode Winter 2018. Ada juga Co-Founder & CEO Eden Farm David Gunawan yang berpartisipasi dalam YC periode Summer 2019. Mereka bercerita kepada DailySocial tentang mekanisme teknis yang harus dilalui untuk bergabung.

Eden Farm
Para founder Eden Farm saat mengikuti rangkaian acara Y Combinator di Mountain View / Dok. Pribadi David

Pada dasarnya, ketika startup dinyatakan lolos seleksi awal –melalui formulir online—mereka akan diwawancara daring melalui sambungan video call. Jika lolos, akan diadakan wawancara yang lebih intensif di Silicon Valley –di tahap ini YC akan membantu akomodasi perjalanan. Wawancara kadang dilakukan secara paralel oleh mentor/pakar dari berbagai bidang untuk memastikan penilaian menjadi lebih objektif.

Setelah tahap tersebut dilalui dan startup lolos, mereka akan bersiap untuk melanjutkan program akselerasi selama 3 bulan di Silicon Valley. Bagi startup tahap awal, mereka diwajibkan untuk mendirikan badan usaha di Amerika Serikan (US INC) dan Indonesia (PT), sehingga perlu mencari pengacara atau firma hukum yang dapat membantu mematuhi aturan hukum tersebut.

Jaringan bisnis yang luar biasa

Turut bergabung dalam wawancara Co-Founder Shipper Budi Handoko yang tergabung di YC periode Winter 2019. Ketiga founder memaparkan bahwa salah satu hal signifikan yang mereka dapat dari YC adalah tergabung ke jaringan bisnis global yang kuat dan partisipatif. David menceritakan, setiap alumni dididik untuk dapat saling mendukung, berbagi kepada startup lainnya dalam berbagai hal –termasuk pengalaman penanganan isu bisnis ataupun teknis.

“Orang-orang di YC itu semuanya entrepreneur. Dengan bergabung di program itu kita makin banyak dikenal mitra, investor. Ini kesempatan bagi kami untuk memvalidasi bisnis kepada top entrepreneurs. Di sana kami belajar cara presentasi bisnis dengan sangat efisien dan efektif,” ujar Budi menambahkan.

Budi Handoko
Budi Handoko saat singgah di Silicon Valley untuk mengikuti pelatihan selama 3 bulan / Dok. Pribadi Budi

Terkait jaringan bisnis Steven turut berujar, “Para alumni YC sangat membantu. Kami saling menjaga dan berbagi sumber daya untuk tumbuh bersama. Selain itu, para mitra memberikan dukungan besar setelah kami mencapai tonggak bisnis, khususnya saat melakukan penggalangan dana.”

Setiap startup yang sudah melalui tahap pendidikan akan melakukan presentasi di acara Demo Day. Menariknya, hampir setiap startup selalu mendapatkan pendanaan awal dari sana. Panggung tersebut memang difokuskan untuk menghubungkan para peserta dengan investor potensial di jaringan YC. Sekarang mereka juga mengadakan program khusus “YC Series A”, “YC Growth”, dan “YC Continuity” untuk para lulusannya, guna meningkatkan bisnis mereka ke tahap lanjutan.

Pelatihan intensif pengembangan produk

Selama tiga bulan program akselerasi, banyak pelatihan yang diberikan oleh mentor-mentor bisnis kenamaan. Mulai dari materi bisnis, kepemimpinan, hingga teknis pengembangan produk disampaikan.

“Slogan YC dari Paul Graham adalah ‘membuat sesuatu yang diinginkan orang’. Dalam 3 bulan pelatihan, mereka mendidik kami tentang cara membangun versi produk yang sangat sederhana tetapi dapat dengan cepat mendapatkan penilaian tentang kecocokan pasar,” terang Steven.

Para mentor selalu menegaskan, perusahaan besar seperti AirBnB atau Drobox juga dimulai dari kecil. Sehingga untuk fase awal tidak perlu membuat produk menjadi rumit, karena justru akan membuat pengguna sulit memahami tujuannya.

“Selama agenda YC, kami punya 2 jam kantor dengan mitra yang ditugaskan untuk mengawasi kami setiap minggu. Setelah itu kami bisa juga memesan kepada mitra yang dipilih untuk memberikan umpan balik. Para mitra hadir dari perusahaan papan atas, misalnya ada Creator Gmail dan Google AdSense [Paul] Buchheit atau ex-CEO Twitch Michael Seibel,” lanjut Steven.

Steven Wongsoredjo
Steven Wongsoredjo bersama mentornya yang juga merupakan CEO AirBnB Brian Chesky / Dok. Pribadi Steven

Pembentukan mental founder juga menjadi hal yang dirasakan betul manfaatnya, tak terkecuali oleh David. Pelatihan di Silicon Valley benar-benar membuat setiap partisipan selalu berorientasi dengan produk dengan pengukuran berbasis data.

Direkomendasikan, bagi startup tahap awal yang mau tumbuh besar

Shipper adalah startup asal Singkawang Kalimantan Barat, keterlibatannya di YC memberikan dampak yang sangat signifikan. Menurut Budi, pasca program ia memiliki lebih banyak referensi mengenai bisnis serupa di luar negeri. Ini penting digunakan untuk studi banding maupun kesempatan perluasan kemitraan. Kesempatan bergabung di program akselerasi tersebut juga membuat startup lebih banyak dikenal, tidak sekadar level nasional tapi juga global.

Steven juga merekomendasikan bagi startup –khususnya di tahap awal untuk bergabung di program ini. Sebelum bergabung, ia mengaku seorang pendiri yang idealis, sangat perfeksionis terhadap pengembangan produk. Sebelum diluncurkan, ia harus selalu memastikan semua berjalan sempurna. Namun padahal tidak demikian prosesnya, validasi pasar justru perlu dilakukan sedini mungkin. Pengajaran YC memberikan perspektif baru yang diterapkan pada SuperApp.id.

“Pengalaman YC benar-benar mengubah pola pikir saya. Mereka mengajarkan untuk membuat versi paling sederhana dari produk dan meluncurkan secepat mungkin. Tujuannya untuk menguji apakah tesis kami memiliki kecocokan di pasar. Waktu adalah komoditas paling berharga, jadi kita harus secepat mungkin memastikan itu semua, bukan sekadar berasumsi,” tutup Steven.

Startup Pertanian Eden Farm Dapatkan Pendanaan Awal 24,8 Miliar Rupiah

Eden Farm adalah startup agrotech yang coba menghadirkan layanan distribusi produk sayur segar di restoran dan cafe. Platform yang mereka bangun menghubungkan secara langsung petani dengan pemilik bisnis. Guna mengakselerasi bisnisnya, belum lama ini mereka membukukan pendanaan baru dari Global Founders Capital untuk meningkatkan seed round senilai $1,7 juta lebih (setara 24,8 miliar Rupiah).

Sebelumnya startup yang digawangi oleh David Gunawan ini juga telah mendapatkan partisipasi pendanaan dalam tahap yang sama melalui program Y Combinator, dengan keterlibatan Everhaus, Soma Capital, S7 Venture dan sejumlah angel investor. Saat ini The Duck King, Cruchchaus Salads, OldTown White Coffe, Crystal Jade hingga Gyu-Kaku jadi beberapa nama yang sudah menjadi pelanggan Eden Farm.

Selain sayuran –yang berasal dari kebun petani tradisional dan hidroponik—dan buah segar, mereka juga melayani pemesanan makanan kering dan bumbu dapur. Ke depan juga akan melayani pembelian daging dan ikan dari peternak. Melayani secara end-to-end, selain jaminan kualitas dan harga yang dinilai lebih stabil, Eden Farm turut sajikan jasa pengantaran.

Didirikan sejak 2017, saat ini sudah melayani gerai-gerai di seputaran Jabodetabek. Sudah ada sekitar 60 mitra petani yang menjadi pemasok barang dagangan. Eden Farm meyakini, bahwa dengan solusinya permasalahan pebisnis kuliner selama ini –pasokan, stabilitas dan volatilitas harga yang ekstrem—dapat disiasati.

Mengenai strategi untuk menjamin stabilitas harga, selain mengambil langsung barang dari petani, mereka juga mengaplikasikan pembelian produk secara grosir. Kontrol kualitas selalu diterapkan, sebelum dikirim tim akan memeriksa dan mencuci produk tersebut. Menariknya, Eden Farm siap menampung jika ada produk yang sudah diantar dan tidak bisa digunakan.

Ekspansi juga akan menjadi fokus setelah pendanaan ini. Rencananya mereka akan segera hadir di Bali, Bandung, Malang, Medan dan Surabaya; dengan target ambisius merangkul 25 ribu restoran –termasuk yang berskala UKM.

Application Information Will Show Up Here