Inisiatif HTC membentuk semacam accelerator bernama Vive X guna memperluas ekosistem aksesori headset Vive rupanya cukup berhasil. Bukti yang pertama adalah TPCAST, dimana startup asal Tiongkok tersebut berhasil menciptakan aksesori yang dapat mengubah Vive menjadi wireless.
Bukti keduanya juga datang dari Tiongkok, kali ini dari startup bernama 7invensun. Kreasinya tidak kalah inovatif dari TPCAST, dimana mereka sukses mengembangkan sebuah aksesori bernama aGlass yang berfungsi menghadirkan fitur eye tracking pada Vive.
Istimewanya, aGlass ini bersifat plug-and-play, yang berarti pengguna bisa memasangkan masing-masing modulnya secara manual ke dalam headset tanpa kesulitan. Kedua modulnya menyambung ke Vive via sambungan USB.
Deretan sensor di dalam aGlass diklaim sanggup mendeteksi pergerakan kedua mata sekaligus kelopaknya. Gunanya apa? Banyak, tapi salah satu yang tergolong paling praktis adalah untuk mewujudkan teknologi foveated rendering.
Foveated rendering ini secara teori dapat menurunkan spesifikasi minimum yang dibutuhkan VR headset seperti Vive secara drastis. Pasalnya, dengan foveated rendering PC Anda hanya perlu me-render dengan detail maksimum pada bagian tertentu saja, tepatnya bagian dimana pandangan kedua mata Anda berada.
Sederhananya, performa yang dirasakan bakal meningkat cukup pesat. 7invensun sendiri sudah membuktikannya lewat Nvidia VR Funhouse, dimana performanya bisa meningkat hingga dua kali lipat, dari hanya 45 fps menjadi 90 fps.
aGlass rencananya akan dipasarkan di Tiongkok terlebih dulu mulai bulan depan, sedangkan di negara-negara barat mulai kuartal ketiga, dengan harga $220. Apakah ke depannya bakal ada versi untuk Oculus Rift? Bisa jadi, mengingat HTC tidak memaksakan 7invensun harus loyal pada platform-nya.
2017 sepertinya bakal jadi tahunnya wireless VR. Yang saya maksud di sini bukanlah Gear VR dan teman-teman sejawatnya, melainkan headset seperkasa Oculus Rift atau HTC Vive, namun yang tidak perlu tersambung ke PC menggunakan kabel, memungkinkan pengguna untuk lebih leluasa bergerak dalam sesi VR gaming.
Indikasi yang pertama adalah tether-less upgrade kit besutan TPCAST, kemudian ada pula Quark VR yang belum lama ini juga mendemonstrasikan prototipe perangkat serupa. Yang ketiga datang dari nama yang jauh lebih besar, yakni AMD.
Produsen prosesor dan kartu grafis tersebut baru saja mengumumkan bahwa mereka telah mengakuisisi Nitero, sebuah perusahaan yang memang tengah mematangkan teknologi wirelessvirtual reality. Menurut AMD, akuisisi ini bertujuan untuk menyajikan solusi terhadap permasalahan yang kerap dijumpai pada VR headset beserta sederet kabelnya.
Teknologi yang dikembangkan Nitero mencakup sebuah transmitter 60 GHz yang sanggup meneruskan konten dari PC ke VR headset secara nirkabel dengan latency yang minimal, alias hampir tidak ada lag. Sejauh ini baik TPCAST, Quark VR maupun Nitero masih belum benar-benar bisa membuktikan seminim apa latency yang bisa dicapai teknologinya masing-masing.
Sampai titik ini belum ada kejelasan terkait produk seperti apa yang akan AMD luncurkan nanti. Apakah berupa aksesori untuk Rift dan Vive – seperti yang dilakukan TPCAST dan QuarkVR – atau malah sebuah headset baru hasil rancangannya sendiri?
Saya pribadi menduga AMD akan lebih memilih opsi yang pertama, spesifiknya untuk HTC Vive. Bukan karena Vive lebih superior atau apa, tapi karena Valve sendiri merupakan salah satu investor utama di Nitero, dan akuisisi ini dapat berujung pada kerja sama antara AMD dan Valve, yang notabene bertanggung jawab atas sistem tracking pada Vive.
Meski belum bisa dikatakan mainstream, jumlah pengguna VR headset terus meningkat secara perlahan. Di mata HTC, ini merupakan peluang bisnis periklanan yang menarik. Mereka pun memutuskan untuk menciptakan layanan iklan VR-nya sendiri.
Menurut HTC, VR merupakan medium iklan yang sangat efektif. Pasalnya, headset seperti HTC Vive punya kemampuan untuk mendeteksi ke mana arah pengguna memandang, dan ini pada akhirnya bisa dijadikan cara untuk mengetahui apakah suatu iklan terkesan menarik dan ditonton oleh pengguna sampai habis.
Yup, tidak seperti di layar biasa (komputer, TV atau ponsel), VR memungkinkan para pengiklan untuk memastikan apakah konten promosi yang mereka buat benar-benar efektif dan bisa memikat perhatian konsumen. Fakta ini pun bisa dimanfaatkan HTC untuk menggaet lebih banyak pengiklan.
Sebagai konsumen, Anda tidak perlu khawatir bakal diserbu iklan demi iklan. Layanan ini hanya berlaku untuk platform Viveport saja, bukan SteamVR (atau mungkin saja belum), dan baru untuk konten yang bersifat free-to-play.
Iklannya sendiri bisa berupa video, banner atau video 360 derajat. HTC bahkan tidak menutup kemungkinan untuk menyematkan iklan langsung pada objek virtual yang ditampilkan.
Kehadiran iklan dalam VR ini sejatinya bisa menambah kesan realistis; kita sudah terbiasa berkelana di dunia nyata yang penuh dengan iklan, jadi kenapa tidak untuk dunia virtual juga?
Masih ingat dengan Quark VR, startup asal Bulgaria yang berambisi menyulap headset HTC Vive menjadi wireless? Meski sedikit terlambat, baru-baru ini mereka merilis sebuah video teaser untuk mendemonstrasikan prototipe buatannya yang digarap bersama Valve.
Dalam video di bawah, tampak CEO sekaligus co-founder Quark VR, Krasi Nikolov, sedang menggunakan HTC Vive tanpa ada kabel yang menyambung ke PC. Pun begitu, Anda pastinya masih bisa melihat seuntai kabel yang menjalar dari belakang kepalanya ke bagian pinggangnya.
Kabel ini menyambungkan Vive dengan prototipe buatan Quark VR, yang pada dasarnya merupakan sebuah komputer single board yang bertindak menjembatani Vive dan PC. Tampak juga sebuah power bank yang menyambung dan menyuplai tenaga ke perangkat berukuran mini tersebut.
Menurut Quark VR, ini semua baru sekadar solusi sementara. Pastinya mereka punya ide yang lebih matang dan lebih elegan ketimbang yang ditunjukkan sekarang. Terlepas dari itu, setidaknya prototipe buatan mereka bisa berfungsi dengan baik.
Namun ini bukan satu-satunya tantangan Quark saat ini. Mereka juga harus berhadapan dengan TPCAST yang malah sudah siap untuk memasarkan produknya yang berfungsi serupa dalam waktu dekat. Namun Quark sepertinya sudah menyiapkan solusinya.
Salah satunya adalah dengan memperluas kompatibilitas. TPCAST hanya mendukung HTC Vive saja, sedangkan Quark VR sedang bersiap untuk mendemonstrasikan produk buatannya dalam skenario multiplayer menggunakan headset yang berbeda. Apakah yang dimaksud itu Oculus Rift? Mungkin, tapi Quark VR sendiri masih bungkam soal itu.
Sejauh ini juga belum ada yang berani memastikan apakah Quark VR berhasil menangani masalah latency. Seperti yang kita tahu, aksesori semacam ini pastinya akan memperburuk problem lag dalam VR, tinggal bagaimana sang developer bisa meminimalkan tambahan latency itu.
Banyak pihak setuju kalau sistem tracking HTC Vive lebih superior ketimbang Oculus Rift, dan HTC sepertinya ingin terus memimpin dalam bidang ini. Dalam dua event sekaligus, yakni MWC dan GDC (Game Developers Conference) 2017, HTC secara resmi meluncurkan sebuah perangkat inovatif bernama Vive Tracker.
Premis yang ditawarkan Vive Tracker adalah Anda bisa memanfaatkan objek sehari-hari sebagai controller VR. Mau itu tongkat baseball, panci atau sarung tangan, selama objek bisa ditempeli Vive Tracker, Anda bisa menggunakannya sebagai controller VR. Singkat cerita, potensi pengaplikasian Vive Tracker begitu luas.
Hal ini turut dibuktikan oleh developer game CloudGate Studio. Dalam game berjudul Island 359 yang mereka kembangkan, mereka berhasil menyuguhkan kontrol pergerakan yang melibatkan satu tubuh secara menyeluruh berkat Vive Tracker. Alhasil, pemain dapat melihat tubuh sekaligus pergerakannya di dalam game secara akurat.
HTC berencana untuk memasarkan Vive Tracker dalam dua tahap. Tahap pertama, dimulai pada 27 Maret mendatang, ditujukan buat kaum developer yang tertarik mengembangkan konten untuk Vive. Tahap kedua adalah penjualan langsung ke konsumen, namun jadwal pastinya di tahun ini masih belum ditetapkan. Harganya sendiri dipatok $100 per unit.
Selain Vive Tracker, HTC juga merilis Vive Deluxe Audio Strap. Perangkat ini sederhananya merupakan headphone yang dirancang dengan memperhatikan integrasinya dengan headset Vive. HTC sepertinya banyak belajar dari Oculus yang dari awal sudah membundel aksesori semacam ini dengan headset Rift.
HTC akan membuka pre-order untuk Vive Deluxe Audio Strap mulai 2 Mei, dengan harga juga $100.
Oculus Rift dan HTC Vive membuka mata publik terkait kapabilitas teknologi virtual reality. Sudah sewajarnya apabila publik kini mendambakan sebuah perangkat yang memungkinkan mereka untuk menikmati konten VR berkualitas di mana saja. Gear VR maupun Daydream View memang sudah tersedia, tapi kita butuh yang lebih superior dari itu selagi mempertahankan aspek portabilitasnya.
Tahun lalu, Oculus sudah mengumumkan bahwa mereka tengah mengembangkan sebuah VR headset bertipe standalone yang dapat digunakan tanpa harus tersambung smartphone maupun PC. Sekarang, giliran HTC yang mengumumkan rencana serupa, berdasarkan paparan CFO HTC, Chia-lin Chang kepada CNET.
Kira-kira sebelum akhir tahun, HTC akan meluncurkan sebuah perangkat mobile VR. Dijelaskan bahwa konsep perangkat ini tidak seperti Gear VR yang mewajibkan pengguna untuk menyelipkan ponsel ke dalam headset. Kemungkinan besar perangkat yang dimaksud adalah standalone VR headset seperti yang sedang dikerjakan Oculus.
Kalau benar, perangkat ini bisa dipastikan bakal menawarkan kapabilitas tracking yang hampir setara HTC Vive, dengan kamera, sensor dan chipset komputasi yang tertanam langsung di headset. Sebelum ini, HTC memang sudah memperkenalkan aksesori yang dapat mengubah Vive menjadi wireless, namun sepertinya perangkat baru ini bakal lebih portable lagi dari itu.
Semua ini baru sebatas spekulasi, terkecuali janji HTC untuk mengungkapnya sebelum akhir tahun. Kita lihat saja nanti siapa yang bisa lebih dulu mencuri perhatian publik dengan VR headset barunya, apakah Oculus atau HTC?
Kehadiran VR/AR di dunia digital di tahun 2016 menyajikan poros baru bagi sebagian aspek industri. Paska ledakan tersebut, ranah hiburan boleh jadi terlihat paling menonjol dalam hal penerapan VR/AR, meski di sisi lain, adopsi teknologi visualisasi ini dapat dinikmati untuk bidang lain seperti pemasaran, periklanan, hingga kemiliteran.
Lingkup pendidikan juga turut mencicipi teknologi VR/AR dalam pengembangannya, seperti dalam metode pengajaran yang dilakukan tenaga pendidik. Nah, untuk menyelaraskan dan mengkaji VR/AR bagi dunia edukasi, OmniVR kembali mengadakan meetup bernama Jakarta XR Meetup 6.0 yang bertajuk “VR/AR and Tech Education”, di Binus fX Campus, fX Sudirman lantai 6.
Nico Alyus, Co-founder OmniVR, dalam presentasinya / DailySocial
“Kenapa bukan VR tapi XR? Karena ‘X’ itu artinya extended. Jadi meetup ini enggak akan cuma membahas dunia virtual reality, tapi juga augmented reality dan mixed reality,” jelas Nico Alyus, Co-founder OmniVR yang secara sederhana menjelaskan perubahan nama dari Jakarta VR Meetup menjadi Jakarta XR Meetup.
Sidiq Permana bersama Project Tango-nya di panggung Binus fX / DailySocial
Dan seperti judulnya, Jakarta XR Meetup keenam ini secara menyeluruh bercerita mengenai pengembangan VR/AR yang dijahit dalam cakupan pendidikan. Hal ini dapat dilihat dari daftar empat pembicara malam itu yang berasal dari latar belakang profesi yang berbeda-beda namun masing-masing memiliki keahlian dan ketertarikan yang besar dalam dunia VR/AR.
Setelah dibuka oleh Nico, Head of Program of Games Application & Technology Binus University Michael Yoseph menjadi pembicara pertama malam itu. Sebagai seorang dosen, Yoseph tentunya menerangkan dari sudut pandang pendidikan, di mana ia berpendapat bahwa VR/AR secara nyata dapat menawarkan metode lain dalam mempelajari sesuatu. “Contohnya saat belajar sejarah atau ekosistem bawah laut. Kita tidak perlu ada di sana namun bisa merasakan pengalaman yang nyata untuk mempelajarinya,” ujarnya.
Sidiq bersama mereka yang antusias dengan Project Tanggo milik Google / DailySocial
Poin tersebut juga diamini oleh pembicara kedua Irving Hutagalung, Audience Evangelism Manager Microsoft Indonesia. Lulusan Teknik Informatika Institut Teknologi Bandung ini beranggapan bahwa AR kini, misalnya, dapat membantu mempelajari organ tubuh dengan real-time interaction.
Membawa perspektif baru bagi VR/AR dalam dunia pendidikan, Dosen dari Telkom University Fat’hah Noor Prawita menjelaskan seputar virtual reality untuk disabilitas. “4,7% dari masyarakat Indonesia adalah penyandang tuna daksa,” ujar Fat’hah. Berdasarkan pengalaman dan pengamatannya, para penyandang tuna daksa dan jenis difabel lainnya seringkali lebih memilih untuk beraktivitas dan bermain di dalam rumah.
Untuk itu, Fat’hah dan mahasiswanya kerap kali berkesempatan membuat proyek akhir studi dan bekerja sama dengan beberapa komunitas difabel dan Sekolah Luar Biasa (SLB) untuk membuat produk VR/AR yang membantu kaum difabel untuk merasakan pengalaman akan banyak hal. “Seperti misalnya, kami membuat proyek virtual reality mengenai flying fox untuk mereka yang tuna daksa,” terangnya.
Merasakan pengalaman virtual reality bersama HTC VIve / DailySocial
Pembicara keempat ialah Sidiq Permana, seorang Google Developer Expert for Android yang malam itu menjelaskan Project Tango dari Google. Menurut Sidiq, saat mengembangkan produk AR, salah satu tantangan yang seringkali dihadapi ialah ketika pengguna melihat suatu objek, kemudian ia mengubah sudut pandangnya, objeknya seringkali hilang atau berpindah (drifting). “Nah, kemampuan ini yang dimiliki Google Tango; kemampuan mengingat dan merekam,” tutur Sidiq.
Sesi terakhir di acara bulanan keenam Jakarta XR Meetup ini merupakan sesi yang biasanya ditunggu-tunggu oleh para peserta meetup ini, yakni mencoba virtual reality device. Malam itu, tiga device tersedia untuk dicoba secara bebas oleh pengunjung Jakarta XR Meetup, antara lain Google Daydream, HTC Vive, dan Lenovo Phab 2 Pro Google Tango.
–
Disclosure: DailySocial adalah media partner dari event Jakarta XR Meetup 6.0.
Industri VR berkembang sangat pesat. Analis memperkirakan bahwa di tahun 2018 nanti, pemasukan dari hardware maupun software berpeluang menyentuh angka US$ 5,2 miliar dengan pengguna aktif mencapai 171 juta orang. Selain hiburan, banyak ranah mulai mengadopsinya: militer, edukasi, interaksi sosial, sampai penyajian iklan. Tak bisa disangkal, VR adalah bagian dari masa depan manusia.
Upaya merangkul dan menyebarkan manfaat dari virtual reality terus dilakukan, salah satunya adalah melalui medium bernama XR Meetup Indonesia, sebuah acara yang disiapkan sebagai tempat bertemunya para antusias VR dan AR di mana mereka bisa saling sharing informasi mengenai pertumbuhan industri ini. Setelah panel VR/AR Recap 2016 & What Next dilangsungkan bulan Desember silam, ajang selanjutnya siap digelar.
Jakarta XR Meetup keenam sebentar lagi akan dilaksanakan, kali ini mengangkat tajuk ‘VR/AR & Tech Education’. Sesuai temanya, acara difokuskan untuk membahas dampak dari perangkat serta konten virtual dan augmented reality terhadap bidang pendidikan lokal. Panitia mengundang para pakar dari lembaga edukasi dan perusahaan teknologi terkemuka sebagai narasumbernya, antara lain: Michael YP (Binus University), Fat’hah Noor Prawira (Telkom University), Irving Hutagalung (Microsoft), dan Adam Ardisasmita (Arsanesia).
Pembahasan VR/AR & Tech Education akan diadakan di kampus Bina Nusantara FX, berada di mall FX Sudirman lantai 6, Jakarta Pusat; pada tanggal 8 Februari 2017, dimulai pukul 17:00 sore. Jadwal lengkap XR Meetup v6.0 adalah sebagai berikut:
Mendekati akhir acara, akan ada demonstrasi teknologi Google Tango dari tim Arsanesia dan Google Developer Expert. Dan selanjutnya, Anda bisa mencoba langsung head-mounted display HTC Vive dan Google Daydream View.
Tertarik buat ikut? Segera daftarkan diri Anda di akun Facebook resmi VR Meetup. Acara ini tidak dikenakan biaya masuk, tapi jumlah kursinya sangat terbatas, jadi Anda sangat disarankan untuk tidak menunda-nundanya. Info lebih lanjut bisa Anda dapatkan dengan mengirim email ke [email protected].
Perhelatan Jakarta XR Meetup keenam didukung oleh Binus University, DailySocial.id (media partner) dan OmniVR.
Oculus Rift dan HTC Vive adalah dua pemain terbesar di ranah virtual reality saat ini. Sebagai konsumen, sebagian dari kita mungkin bertanya-tanya, manakah yang lebih laris di pasaran? Jawabannya malah datang dari founder Epic Games, Tim Sweeney, yang mengklaim Vive terjual lebih banyak dibanding Rift, dengan rasio 2:1.
Tim memang tidak menyebutkan dari mana ia mendapatkan angkanya, akan tetapi alasan yang diungkapkan cukup kuat: Vive mengadopsi platform yang terbuka, dan seringkali open platform selalu menang. Lebih lanjut, Vive juga mengandalkan Steam sebagai medium distribusi kontennya, dan hampir semua gamer PC sudah cukup akrab dengan Steam.
Namun kemenangan Vive tampaknya hanya bersifat sementara, sebab beberapa pabrikan lain dikabarkan juga sedang mengembangkan VR headset yang kompatibel dengan sistem SteamVR Tracking. Kabar ini disampaikan langsung oleh Joe Ludwig, programmer Valve yang menangani SteamVR, dalam rubrik AMA (Ask Me Anything) bersama Gabe Newell selaku founder Valve di Reddit.
Joe mengungkapkan bahwa sudah ada sekitar 500 perusahaan yang mendaftar untuk memanfaatkan teknologi SteamVR Tracking. Sebagian besar mungkin hanya mengembangkan aksesori atau peripheral untuk Vive, namun ternyata beberapa di antaranya ada yang sedang mengerjakan HMD (head-mounted display) buatannya sendiri – meski sejauh ini tidak ada informasi apakah mereka merupakan perusahaan besar atau baru sebatas startup.
Kalau benar, bisa jadi ke depannya bakal ada VR headset dengan spesifikasi dan kemampuan tracking setara HTC Vive, namun dengan harga yang lebih terjangkau. Tentunya ini akan menjadi daya tarik tersendiri bagi para VR enthusiast, sekaligus membuka jangkauan pasar virtual reality ke segmen yang lebih luas.
Tersedianya teknologi canggih membantu berbagai aspek di bidang perfilman, di antaranya shooting, editing, distribusi, hingga preservasi. Tentu saja ranah ini bisa dibilang masih eksklusif buat kalangan sineas saja, namun masuknya kita ke era virtual reality tak cuma mengubah cara konsumen menikmati konten, aspek kreasi juga mengalami transisi.
Jika Anda sudah punya angan-angan membuat film, tapi bingung untuk memulai dari mana, Mindshow bisa jadi solusinya. Mindshow adalah platform penyampaian cerita berbasis virtual reality karya startup asal Los Angeles, Visonary VR. Software ini dapat diibaratkan seperti Project Spark-nya film, dirancang sebagai kanvas dan palet virtual, serta tool buat ber-acting.
Kepada Digital Trends, Jonnie Ross selaku CEO sekaligus CCO Visionary mendeskripsikan pemakaian Mindshow seperti berjalan-jalan di dalam film kartun. Kreasi dilakukan dengan menggunakan ‘tongkat ajaib’ – buat memilih latar belakang, karakter dan prop, serta menempatkannya di lokasi yang Anda inginkan. Visionary VR sudah menyediakan banyak sekali pilihan latar belakang dan tokoh-tokoh preset.
Setelah menciptakan ‘panggungnya’, Anda bisa menikmati bagian terseru dari Mindshow. Pengguna dipersilakan ‘masuk’ ke tubuh salah satu karakter kartun tersebut. Penyajiannya mirip mengenakan kostum raksasa tanpa beban, dan Anda melihat dunia virtual dari perspektif orang pertama. Ia bergerak mengikuti gerakan tubuh Anda, serta mengucapkan kata-kata yang Anda ucapkan. Kita tinggal mengubah ekspresinya lewat sentuhan di touchpad controller HTC Vive.
Setelah menyesuaikan diri dengan karakter tersebut dan siap ber-acting, Anda hanya perlu mengaktifkan fungsi record. Selesai? Tekan tombol stop, dan adegan itu akan disimpan secara otomatis, siap menjadi salah satu bagian film Anda. Pengguna dapat menggunakan sudut pandang first-person atau merekamnya dari sudut mana pun.
Mindshow memberikan kendali penuh dalam berkreasi, memungkinkan Anda berperan jadi aktor, animator, perancang adegan, sutradara serta editor. Di titik mana pun sang pengguna berada, mereka dibebaskan untuk mengakses fungsi start, stop, rewind dan fast forward, serta juga dapat mengulang scene hingga menghentikan waktu.
Meskipun dengan begini ada banyak hal harus dilakukan dan pikirkan, Mindshow tidak membuat Anda kewalahan. Software menangani segala hal teknis untuk Anda, misalnya segi lightning, texturing, animasi dan sistem fisik, sehingga user bisa fokus pada sisi kreatif dan storytelling – semuanya hanya dibatasi oleh imajinasi Anda.
Buat sekarang, Mindshow belum tersedia secara umum, tetapi Anda dapat mendaftarkan diri untuk memperoleh early access.