Dorong Perluasan Ekosistem Konten VR, HTC Umumkan Vive Studios

2016 merupakan babak awal virtual reality dengan diluncurkannya headset Oculus Rift, HTC Vive dan PlayStation VR secara resmi. Ekosistem kontennya jelas belum sebanding console macam Xbox One atau PS4, namun semuanya tengah memperjuangkan semaksimal mungkin untuk memperluas ekosistem konten VR.

Dalam kasus HTC Vive, pabrikan asal Taiwan tersebut baru-baru ini membentuk sebuah divisi baru bernama Vive Studios. Vive Studios pada dasarnya diperlakukan sebagai pilar utama dalam pengembangan konten virtual reality. HTC mengaku terinspirasi oleh Microsoft dan Sony yang punya divisi internalnya sendiri untuk mengembangkan game Xbox dan PlayStation.

Vive Studios akan berperan sebagai publisher konten, baik yang berasal dari tim developer internalnya maupun developer luar yang membutuhkan dukungan. Karya perdananya sudah bisa dinikmati sekarang juga. Berjudul Arcade Saga, game ini dikembangkan oleh studio internal bernama 2 Bears Studios yang dimotori oleh sejumlah developer veteran dari Microsoft Game Studios, Rockstar dan Midway.

Vive Studios bisa dianggap sebagai Microsoft Game Studios-nya HTC / Vive Studios
Vive Studios bisa dianggap sebagai Microsoft Game Studios-nya HTC / Vive Studios

Ke depannya, Vive Studios berharap bisa semakin agresif mengembangkan konten VR dari bermacam kategori, mulai game, edukasi, sinematik, desain, sosial, maupun aplikasi yang bisa dimaksimalkan untuk kepentingan media, retail maupun medis. Game mungkin lebih diutamakan, tapi HTC juga tidak mau melupakan kategori lain yang punya peran besar dalam VR.

Sejauh ini tidak ada informasi apakah Vive Studios juga berniat mengembangkan konten untuk platform selain SteamVR, seperti yang dilakukan oleh Ubisoft. Arcade Saga sendiri dirancang supaya bisa memaksimalkan fitur positional tracking milik Vive, jadi mungkin konten-konten lain nantinya juga akan bersifat eksklusif untuk Vive, setidaknya dalam waktu dekat ini.

Sumber: VentureBeat dan PR Newswire.

HTC Ajak PlayStation, Google dan Oculus VR Kembangkan Ekosistem VR Bersama-Sama

Adopsi perangkat dan konsumsi konten virtual reality memang menunjukkan peningkatan yang stabil, namun masih terlalu dini untuk meramalkan masa depannya. Saat membahas tema ini, tiga nama akan selalu muncul di benak kita: Oculus VR sebagai pionir headset VR konsumen, HTC dengan Vive, dan Sony selaku pencipta PlayStation VR yang diramu eksklusif buat PlayStation 4.

Masing-masing produsen saat ini menonjolkan keunggulan produk mereka; ada yang menjanjikan performa terbaik, controller intuitif, sampai harga terjangkau. Di mata konsumen, tentu saja mereka terlihat bersaing dengan gigih. Tapi kenyataannya tak harus seperti itu, HTC memiliki inisiatif untuk mengajak para raksasa teknologi buat memajukan ekosistem virtual reality secara kompak demi memastikan kesuksesannya.

Menurut perusahaan asal Taiwan itu, ada dua cara menyuburkan pengembangan VR: produsen harus mendukung developer serta menyederhanakan pesan mengenai premis virtual reality pada konsumen. Via Games Industry, presiden Viveport Rikard Steiber menyampaikan bahwa kita baru tiba di hari kelahiran VR, dan sudah sewajarnya semua pemain di industri saling bergandengan tangan dan bekerja sama.

“Alih-alih saling berkompetisi, alangkah baiknya jika kita berupaya untuk membantu developer dalam menciptakan konten istimewa serta mendukung proses monetisasinya,” kata Steiber. “Lalu kita juga harus mempermudah user mengaksesnya, karena aspek ini awalnya cukup membingungkan bagi orang awam.”

Menurut Steiber, virtual reality akan tersedia di hampir semua segmen produk elektronik, seperti yang kita saksikan sendiri: smartphone, console sampai PC. Dan sebentar lagi, VR juga tidak hanya memberi manfaat di ranah gaming dan hiburan saja. Itulah salah satu hal yang memotivasi HTC menggarap Viveport, yaitu platform distribusi digital khusus konten-konten virtual reality non-gaming.

Ada hal menarik dari Viveport: online store ini meluncur pertama kali di Tiongkok, boleh jadi karena layanan Steam tidak tersedia di sana. Kemudian HTC akhirnya memutuskan buat memperluas jangkauan layanannya secara global. Dan meskipun mengusung kata Vive di namanya, Viveport bukan hanya berisi aplikasi-aplikasi eksklusif perangkat VR HTC itu. Tim pengembang berharap agar Oculus VR, Google hingga Sony tak ragu untuk bergabung ke platform tersebut.

Tapi akan seperti apa konten VR non-gaming? Steiber membayangkan virtual reality dimanfaatkan di bidang kreatif dan edukasi, memperkenalkan potensinya ke konsumen jenis baru sehingga ekosistemnya semakin kaya. Intinya, para raksasa tekonologi bisa saling melengkapi, bukan sekedar bersaing.

Sumber: Games Industry.

EyeMynd Coba Sajikan Sistem Kendali Virtual Reality Berbekal Pikiran

Setelah perangkat virtual reality hadir buat publik, para produsen kini bertekad untuk menyempurnakan pengalaman penggunaannya. Mereka melakukannya lewat berbagai cara: menciptakan sistem kendali berbasis gerakan, menyediakan omni treadmill, hingga menyiapkan solusi audio 3D. Tapi inventor bernama Dan Cook mempunyai ide yang sangat tidak biasa.

Bersama tim EyeMynd, Dan Cook mencoba mengintegrasikan teknologi futuristis yang dahulu cuma muncul di film-film sci-fi ke ranah VR. Ketika virtual reality semakin mainstream, Cook percaya sudah saatnya membubuhkan kemampuan membaca pikiran di sana. Buat memenuhi visinya itu, EyeMynd menggarap sistem yang sanggup mengubah gelombang otak jadi input kendali, memungkinkan Anda berinteraksi dengan dunia virtual tanpa controller.

Sebagai langkah awal, EyeMynd berencana untuk meluncurkan headset berbekal 16 unit EEG atau electroencephalography, yaitu sensor pendeteksi aktivitas otak. Perangkat bernama Developer Brainwave VR tersebut sengaja diramu agar kompatibel dengan HTC Vive, dan demi melengkapinya, EyeMynd turut menyajikan sistem operasi Brainwave OS – tugasnya ialah menerjemahkan data EEG menjadi perintah yang dapat dibaca komputer.

Sesuai namanya, versi awal headset tersebut disediakan khusus bagi developer, dimaksudkan sebagai alat pengembangan aplikasi-aplikasi berbasis input gelombang otak. Buat sekarang, EyeMynd memang belum menyingkap info lebih spesifik baik tentang Developer Brainwave VR maupun Brainwave OS. Mereka hanya bilang, perangkat headset-nya merupakan produk ternyaman di kelasnya yang ada di pasar saat ini.

Headset Developer Brainwave VR akan dibundel bersama permainan berjudul Smile with Lucy, berfungsi jjadi tutorial sekaligus proses kalibrasi. Prosesnya membutuhkan waktu kira-kira satu jam, namun di versi retail-nya nanti, prosedur kalibrasi dijanjikan hanya memakan tiga menit saja. Di sana, pemain diminta mengikuti ekspresi wajah karakter game, lalu software akan memantau pola gelombang otak sang user.

Tim EyeMynd berharap penemuan uniknya ini bisa meningkatkan ketertarikan konsumen terhadap aksesori-aksesori penunjang VR. Pengembang juga yakin, sistem seperti ini akan jadi hal lumrah kira-kira 10 tahun lagi. Cook mengestimasi, di masa itu, komputer dapat bekerja sangat cepat sehingga sanggup menginterpretasikan sinyal otak secara real-time, memungkinkannya membaca info pancaindra dan keadaan emosi Anda.

Kecanggihan EyeMynd merupakan hasil dari kerja keras Dan Cook dan timnya selama dua dekade. Pengerjaannya bermula dari proyek sang inventor bersama badan pemerintah buat menciptakan alat pendeteksi kebohongan yang lebih canggih.

Device dan software kreasi EyeMynd itu rencananya akan mulai tersedia untuk developer di musim semi tahun 2017, tapi sang produsen belum menyingkap detail soal harga.

Sumber: The Guardian.

Aplikasi Google Earth VR Resmi Dirilis untuk HTC Vive

Google terus membuktikan komitmennya dalam memperluas ekosistem konten virtual reality. Setelah YouTube VR, sekarang giliran Google Earth VR yang unjuk gigi.

Google menjelaskan bahwa saat Earth pertama dirilis sepuluh tahun silam, tujuannya adalah untuk membantu kita mengeksplorasi seisi Bumi dari mana saja. Earth VR masih mengusung misi yang sama, tapi kini cara penyajiannya jauh lebih menarik sekaligus immersive.

Google memilih HTC Vive sebagai tempat perhentian pertama Earth VR. Alasannya sederhana: sejauh ini baru Vive-lah yang menawarkan fitur tracking posisi paling komprehensif, dimana pengguna tak hanya bisa menggerakkan kepalanya untuk melihat-lihat, tapi juga berpindah posisi untuk menikmati keindahan Bumi dari perspektif yang berbeda.

Google Earth VR membebaskan pengguna untuk bernavigasi via controller / Google
Google Earth VR membebaskan pengguna untuk bernavigasi via controller / Google

Mode lain yang ditawarkan memaksimalkan kapabilitas controller milik Vive, dimana pengguna bisa terbang secara bebas di dalam Earth VR, menikmati pemandangan seperti dari sudut pandang seekor burung rajawali. Terakhir, Earth VR juga menawarkan tur sinematik untuk tujuan-tujuan wisata ternama seperti Sungai Amazon, Grand Canyon dan masih banyak lagi.

Bagi para pengguna HTC Vive, Earth VR saat ini sudah bisa didapat secara cuma-cuma dari Steam. Ke depannya bisa dipastikan Earth VR juga bakal merambah platform lain, sebut saja Daydream dan Oculus, tapi paling cepat baru tahun depan.

Sumber: Google Blog.

The Martian VR Experience Tempatkan Anda Seorang Diri di Planet Mars

Selain gaming, industri perfilman juga sangat diuntungkan oleh eksistensi teknologi virtual reality. Akhir tahun kemarin, kita sudah melihat Disney mencoba mempromosikan Star Wars: The Force Awakens dengan video 360 derajat. Namun hingga sekarang belum banyak yang benar-benar berniat menjadikan VR sebagai lahan bisnis barunya.

Salah satunya adalah 20th Century Fox. Melalui divisi R&D-nya, Fox Innovation Lab, mereka cukup antusias dan berkomitmen untuk mengembangkan konten VR eksklusif yang lebih dari sekadar materi promosi. Hal ini dibuktikan lewat The Martian VR Experience.

Sempat dipamerkan di ajang CES 2016 pada bulan Januari lalu, The Martian VR Experience sekarang sudah siap untuk dinikmati publik. Dalam kurun waktu tersebut, Fox Innovation Lab telah banyak menyempurnakannya, baik dari segi teknis maupun narasi.

Narasinya sendiri merujuk pada film The Martian yang mengisahkan Mark Watney, seorang astronot yang tanpa sengaja ditinggal sendirian oleh krunya di Mars. Selagi menunggu misi penjemputan dilangsungkan, ia harus bertahan hidup melawan ganasnya sang Planet Merah, menerjang badai menggunakan rover bertenaga surya untuk bisa sampai ke titik temu yang sudah disetujui.

Dalam mengerjakan proyek ini, Fox menunjuk Ridley Scott yang merupakan sutradara film The Martian sebagai produser. Totalitas merupakan suatu keharusan, mengingat tujuan dari proyek ini bukanlah untuk mempromosikan film yang sudah dirilis setahun lebih, melainkan sebagai awal dari deretan konten VR yang akan dirilis oleh Fox ke depannya.

The Martian VR Experience saat ini sudah bisa dinikmati oleh pengguna HTC Vive maupun PlayStation VR, sedangkan versi Oculus Rift dikabarkan akan menyusul. Harganya dipatok $20, mengingat ini bukan sekadar video 360 berdurasi pendek. Berikut cuplikan trailer-nya.

Sumber: Variety dan Fox Innovation Lab.

Cek Kemampuan PC Anda Menangani Oculus Rift dan HTC Vive dengan VRMark

Bukan rahasia apabila VR headset Oculus Rift dan HTC Vive mewajibkan konsumen untuk memiliki PC berspesifikasi tinggi. Yang paling diutamakan adalah GPU, dimana opsi minimum yang diminta adalah Nvidia GTX 970 (atau 1060 yang lebih baru) atau AMD Radeon 290 (atau RX 480). Lalu untuk prosesor performanya harus setara Intel Core i5-4590, ditambah dukungan RAM minimal 8 GB.

Semua ini tentu saja bisa membuat calon konsumen enggan untuk melirik kedua VR headset hanya karena mereka tidak mau dibuat pusing oleh tipe-tipe komponen PC yang mereka miliki. Mungkin bagi mereka solusi yang lebih ideal adalah berupa software benchmark yang akan menjawab apakah PC mereka bisa atau tidak menangani Oculus Rift dan HTC Vive.

Valve sebenarnya sudah menyiapkan software simpel bernama SteamVR Performance Test sejak cukup lama. Akan tetapi kini ada alternatif lain yang tak kalah sederhana, namun dengan hasil yang lebih komprehensif. Namanya VRMark, dan ia berasal dari Futuremark, developer yang sama yang mengembangkan software benchmark legendaris 3DMark.

VRMark tersedia dalam dua versi: Basic yang bisa didapat gratis, atau Advanced yang bisa dibeli dari Steam / Futuremark
VRMark tersedia dalam dua versi: Basic yang bisa didapat gratis, atau Advanced yang bisa dibeli dari Steam / Futuremark

Saat menjalankan VRMark, PC Anda akan betul-betul diuji kemampuannya untuk menjalankan game virtual reality, dimana software akan me-render diorama bergerak dengan detail di sana-sini yang amat merinci. Kriteria yang difokuskan tentu saja adalah frame rate, tapi VRMark juga akan memberikan ulasan secara mendalam terkait di titik mana saja frame rate anjlok – dengan catatan Anda membeli versi Advanced-nya.

Pengujian bisa dilakukan tanpa VR headset, sehingga ideal bagi mereka yang belum memiliki Rift atau Vive, tapi tertarik untuk membelinya. VRMark juga menyediakan Experience Mode, dimana pengguna bisa menavigasikan tampilan layar secara bebas untuk menentukan sendiri pengalamannya cukup mulus atau tidak.

VRMark saat ini bisa didapat secara cuma-cuma dari situs Futuremark. Tapi kalau PC Anda punya spesifikasi kelas atas, tersedia versi Advanced yang bisa dibeli dari Steam seharga Rp 102.000 – akan naik menjadi Rp 135.000 setelah 11 November – yang memberikan ulasan secara lebih mendetail sekaligus sejumlah opsi kustomisasi.

Sumber: UploadVR.

HTC Luncurkan Aplikasi Majalah Interaktif Vivepaper untuk VR Headset

Tidak lama lagi, konten virtual reality tidak hanya melibatkan game maupun foto dan video panoramik saja, tetapi juga buku dan majalah dengan diluncurkannya aplikasi Vivepaper. Aplikasi ini dikembangkan oleh HTC bersama penerbit ternama Condé Nast.

HTC mendeskripsikan Vivepaper sebagai aplikasi “augmented virtual reality”, dimana pengguna bisa mendapatkan pengalaman VR yang lebih realistis berkat interaksi dengan objek fisik (dalam kasus ini, semacam brosur atau booklet khusus yang dilengkapi QR code).

Cara kerjanya seperti ini: headset Vive akan memindai QR code tersebut menggunakan kamera depannya, kemudian pengguna akan dibawa ke dunia virtual yang dapat dinavigasikan dengan booklet fisik tersebut. Jadi ketimbang hanya menyimak konten di layar, pengguna juga bisa ‘merasakannya’ di tangan.

Selagi membaca artikel, pengguna akan dikelilingi oleh foto dan video 360 derajat dari lokasi yang tengah dibahas, kalau konteksnya traveling. Beralih ke artikel soal produk tertentu, Vivepaper akan menyajikan hasil rendering 3D dari produk tersebut yang bisa diamati dari segala sudut.

Untuk sekarang, Vivepaper baru tersedia buat pengguna di kawasan Tiongkok saja, namun HTC bertekad untuk membawanya ke kawasan lain selagi kemitraannya bersama penerbit diperluas. Yang menarik, Vivepaper nantinya juga bisa dinikmati menggunakan headset Cardboard, baik dengan ponsel Android maupun iPhone.

Sumber: UploadVR dan PR Newswire.

Gandeng HP, HTC Luncurkan Bundel VR Headset Vive Plus Desktop PC

HTC dan HP baru saja melakukan kolaborasi yang cukup menarik. Keduanya mengumumkan bundel headset Vive bersama sebuah desktop PC yang memenuhi spesifikasi yang dibutuhkan untuk bisa memberikan pengalaman VR secara mulus.

Harga adalah faktor yang paling menarik dari bundel ini. Bagaimana tidak, dengan modal $1.500, konsumen bisa langsung menikmati pengalaman virtual reality menggunakan HTC Vive. Kalau membeli secara terpisah, Vive sendiri dibanderol seharga $800, yang berarti sisa $700 adalah untuk PC-nya.

Desktop PC bernama HP Envy 750 ini mengemas spesifikasi yang cukup mumpuni jika mempertimbangkan harganya; mulai dari prosesor Intel Core i5–6400, RAM 8 GB DDR4, GPU AMD Radeon RX 480, SSD 128 GB dan HDD 1 TB. Turut melengkapi adalah sebuah DVD drive, keyboard, mouse, serta OS Windows 10 Home.

HP Envy 750 yang termasuk dalam bundel mengemas spesifikasi yang cukup untuk menjalankan game VR / HTC
HP Envy 750 yang termasuk dalam bundel mengemas spesifikasi yang cukup untuk menjalankan game VR / HTC

Memang masih ada PC lain dengan spesifikasi yang jauh lebih ganas dibanding Envy 750, tapi ini saja sebenarnya sudah memenuhi standar minimum yang ditetapkan untuk bisa mengatasi semua yang dibutuhkan Vive. GPU Radeon RX 480 sendiri dicap sebagai standar paling minim untuk bisa menjalankan game VR.

HTC mengklaim konsumen sebenarnya akan mendapatkan bundel senilai total $1.700. Berdasarkan pengamatan TechSpot, komponen-komponen milik Envy 750 sendiri kalau ditotal nilainya mencapai $800. Jadi pada dasarnya konsumen akan mendapat potongan $100 dengan membeli bundel ini ketimbang merakit PC sendiri.

Ke depannya, HTC akan menawarkan bundel Vive + PC lain, mungkin yang berspesifikasi lebih tinggi ataupun yang merupakan hasil kolaborasi dengan pabrikan lain. Namun untuk sekarang, setidaknya paket “Vive Starter Kit” ini bisa menjadi opsi ideal bagi mereka yang belum memiliki gaming PC dan hendak menikmati virtual reality.

Sumber: TechSpot dan HTC.

Analis: Di 2020, Konsumen Akan Keluarkan $ 11,2 Miliar Untuk Menikmati Hiburan Berbasis VR

Di akhir September kemarin, Berkarya!Indonesia mengumpulkan para pakar dan praktisi industri teknologi di Indonesia untuk berdiskusi seputar virtual reality. Meski ada banyak potensi pemanfaatannya, peserta setuju, masa depan VR masih misterius dan sulit menerka perkembangannya di masa yang akan datang. Tapi ada kabar gembira bagi mereka yang berniat investasi di ranah ini.

Belakangan, VR menjadi tema studi utama para analis dan firma riset, dan tim IHS Markit mengambil arahan yang sedikit ‘konservatif’ dalam mempelajari potensi teknologinya. Diungkap oleh Games Industry, IHS mengumumkan data Virtual Reality Market Opportunity Report 2016, dan di sana mereka memprediksi bahwa di tahun 2020 nanti, konsumen akan mengeluarkan dana kurang lebih US$ 11,2 miliar demi menikmati hiburan berbasis VR.

Angka itu sudah meliputi perkiraan pembelian hardware dan software, yaitu US$ 7,9 miliar untuk headset ditambah US$ 3,3 miliar buat kontennya. Angka tersebut memang terlihat banyak, namun director of games IHS Technology Piers Harding-Rolls berpendapat, jumlahnya tidak sebesar dugaan kita. Menurutnya, nilai US$ 3,3 miliar hanyalah satu persen dari total yang dikeluarkan konsumen di tahun 2020.

Harding-Rolls menekankan, penciptaan konten premium untuk platform virtual reality perlu ditingkatkan, dan untuk memaksimalkan seluruh teknologinya memang memakan waktu. Ada satu pertanyaan yang juga sering dilontarkan: akan lebih populer mana nantinya, headset VR portable ala Gear VR dan Cardboard, atau ada lebih banyak user mengadopsi device high-end seperti Rift dan Vive? IHS punya jawabannya.

Sang analis memperkirakan, produk-produk mutakhir premium bakal mendominasi monetisasi konten. Penggunanya meningkat drastis empat tahun lagi, berpeluang menyentuh 81 juta pengguna. Pembagian antara produk entry-level dan high-end tetap ada, dan volume pembelian perangkat-perangkat terjakau sudah pasti akan lebih tinggi.

Headset VR berbasis smartphone adalah pilihan favorit user, kemungkinan menguasai 87 persen hingga akhir tahun ini. Gear VR merupakan ‘rajanya’ headset virtual reality terjangkau, diproyeksikan memimpin penjualan dengan 5,4 juta unit. Tetapi IHS percaya, Gear VR akan segera disusul oleh Google DayDream View sebagai produk terpopuler di tahun 2019 berkat harganya yang murah dan dukungan ranah dindustri.

Di segmen premium, IHS mengestimasi besar peluang bagi PlayStation VR untuk melangkahi HTC Vive dan Oculus Rift. Analis yakin, Sony sanggup menjual 1,4 juta unit headset di 2016, mendorong user mengeluarkan uang US$ 134 juta. Alasannya cukup sederhana: karena harga PSVR lebih terjangkau dibanding kedua kompetitornya itu.

Gandeng Valve, Quark VR Kembangkan Prototipe HTC Vive Versi Wireless

Dibandingkan Samsung Gear VR, Oculus Rift dan HTC Vive tentu jauh lebih perkasa dan sanggup menyajikan pengalaman VR yang lebih immersive. Hanya saja kelemahan utamanya terletak pada kabel panjang yang harus menyambung ke PC. Hal ini terasa semakin mencemaskan bagi pengguna HTC Vive, dimana mereka bisa menikmati pengalaman VR selagi berjalan-jalan di ruangan.

Tentunya tidak lucu kalau pengguna sampai tersandung kabel tersebut. Itulah mengapa teknologi wireless akan menjadi batu sandungan selanjutnya di ranah virtual reality. Pertanyaan yang perlu dijawab sederhana saja: bagaimana caranya supaya pengguna bisa menikmati pengalaman VR tanpa takut tersandung kabel?

Sebuah startup asal Bulgaria bernama Quark VR sepertinya punya jawabannya. Mereka tengah bekerja sama dengan Valve dalam pengembangan prototipe HTC Vive versi wireless. Rencananya, prototipe ini akan didemonstrasikan setidaknya sebelum pergantian tahun.

Secara teknis prototipe HTC Vive versi wireless ini tidak benar-benar tanpa kabel. Masih ada seuntai kabel pada headset, hanya saja kabel ini tersambung ke sebuah gadget kecil yang bisa disimpan dalam saku ketimbang unit PC itu sendiri.

Gadget kecil ini bertindak sebagai transmitter, meneruskan dan menerima sinyal dari Vive ke PC dan sebaliknya melalui Wi-Fi. Dengan cara seperti ini, pengguna bisa lebih leluasa dalam bergerak tanpa perlu takut tersandung.

Konsep yang sama sebenarnya juga ditawarkan oleh VR backpack seperti rancangan HP, Alienware maupun MSI. Pun begitu, metode berbasis VR backpack ini masih punya kelemahan, dimana pengguna harus tabah menggotong beban di kedua bahunya selagi bermain.

Prototipe milik Quark VR sendiri tidak luput dari kekurangan, utamanya perihal latency. Quark mengaku akan terus mengoptimalkan prototipenya sehingga saat didemonstrasikan nanti bisa menyuguhkan sesi VR gaming yang berjalan mulus di angka 90 fps.

Bersamaan dengan itu, Quark VR juga berencana untuk bereksperimen dengan teknologi SteamVR Tracking. Tujuan mereka adalah mengadaptasikan teknologi tersebut ke VR headset berbasis mobile seperti Gear VR. Sejauh ini mereka sudah melakukan sejumlah pengujian dan hasilnya disebut cukup menjanjikan.

Sumber: UploadVR dan Quark VR.