Pembaruan TRAFI Perkaya Informasi “Real Time” Moda Transportasi di Jakarta

Aplikasi yang menyajikan informasi layanan transportasi di Jakarta TRAFI, baru-baru ini mengumumkan peluncuran fitur terbarunya yang memungkinkan pengguna mendapatkan informasi real-time kedatangan bus TransJakarta. Ini merupakan output kerja sama antara TRAFI dengan TransJakarta sebagai bagian dari peningkatan layanan smart city ibukota. Selain penambahan fitur tersebut, penyegaran tampilan aplikasi juga disuguhkan untuk meningkatkan pengalaman pengguna yang lebih sederhana.

“Selain strategic partnership, selama satu tahun terakhir ini kami fokus dalam pengembangan produk, yaitu bagaimana membuat TRAFI menjadi highly localized. Walaupun masih terus dilakukan pengembangan, saat ini versi baru TRAFI hadir dengan interface dan tampilan baru yang lebih simple dan lebih mudah digunakan untuk meningkatkan experience pengguna TRAFI,” ujar Country Manager TRAFI Indonesia Dimas Dwilasetio.

Halaman Home Screen di aplikasi TRAFI
Halaman Home Screen di aplikasi TRAFI

Dari pembaruan terakhir, TRAFI memiliki 3 menu utama, yakni Home Screen, Routing dan Timetables. Pada Home Screen aplikasi, pengguna akan disajikan informasi seluruh moda transportasi yang telah terhubung. Saat ini layanan on-demand seperti Go-Jek, Uber dan Grab juga sudah terintegrasi, pengguna dapat langsung melakukan order melalui aplikasi TRAFI. Selanjutnya pada menu Routing, TRAFI telah mengembangkan sebuah routing engine yang meng-aggregate lebih banyak opsi hasil pencarian navigasi.

  

Menu Timetables menampilkan jadwal seluruh moda transportasi dari 500 rute untuk seluruh penjuru Jakarta. Moda transportasi yang terangkum di dalamnya termasuk TransJakarta, bus reguler, angkutan umum, KRL Commuter Line dan Shuttle bandara. Tampilan Timetables ini juga dilengkapi dengan peta untuk mengetahui posisi kendaraan secara real-time. Sedangkan untuk mengetahui halte atau stasiun terdekat, pengguna dapat mencarinya melalui fitur “nearby departure” dan “nearby stops”. TRAFI kini juga bisa dioperasikan dalam mode offline.

“Bentuk kerja sama TRAFI dengan TransJakarta saat ini berupa pengembangan sistem teknologi dan operasional. Sedangkan dengan Jakarta Smart City, kami bekerja sama perihal data sharing, yang berguna untuk menganalisis pola penggunaan transportasi umum di Jakarta guna pengembangan dan perencanaan kota yang lebih baik, demi mewujudkan konsep smart mobility,” lanjut Dimas.

Setelah peluncuran fitur terbaru ini, tahun 2017 TRAFI akan mulai fokus pada peningkatan pertumbuhan pengguna. Targetnya 1 juta pengguna aktif per bulan sampai tahun 2018. Inisiatif pemasaran dan kerja sama dengan beragam pihak akan menjadi manuver besar TRAFI di tahun ini, tak hanya dengan unsur pemerintahan, namun juga dengan startup dan korporasi lokal.

In the future, kami akan mengembangkan payment integration, AI development dan routing engine. Bahkan untuk routing nantinya our intelligent will know whether our users prefer TransJakarta over KRL, or Gojek over Uber, dan menampilkan hasil pencarian sesuai behaviour pengguna. We also have plan to integrate with realtime weather, for example TRAFI will not show walking/motorbike option during rain,” ujar Dimas menceritakan target pengembangan di tahun 2017.

Dimas juga menceritakan bahwa bisnis TRAFI secara global saat ini juga sedang gencar melakukan ekspansi ke negara berkembang. Selain di Indonesia TRAFI juga sedang fokus melakukan pengembangan di India. Dalam waktu dekat negara-negara lain di Asia Tenggara direncanakan akan menjadi tempat singgah selanjutnya.

Application Information Will Show Up Here

Salah kaprah smart city di Indonesia

Dalam dua tahun ke belakang, jargon “smart city” sedang jadi tren di kalangan pemerintahan di Indonesia. Beberapa kota sudah mulai menginisiasi program “smart city” ini dengan berbagai pendekatan dan eksekusi yang juga beragam. Smart city menjadi nilai jual para pemimpin daerah karena menjanjikan suatu hal yang baru dan membuat orang bebas berkreasi. Namun setelah dua tahun, ada beberapa hal yang menjadikan program smart city di beberapa tempat di Indonesia menjadi salah kaprah: Smart city bukan masalah teknologi.

Ada beberapa daerah yang sudah menginisiasi program smart city secara eksplisit maupun tidak, seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Makassar, Semarang, Bogor, Bekasi, dan kota-kota lain sedang bersiap diri, seperti Banjarmasin, Manado, dan lainnya. Saya mencoba mengambil beberapa sampel pendekatan berdasarkan pengetahuan yang saya dapatkan dari beberapa kota yang sudah dan sedang berinisiasi.

Semua berawal dari keinginan membuat pemerintahan yang memberikan pelayanan publik yang lebih baik kepada warganya: kemudahan dalam pengurusan surat atau izin, kemudahan pengaduan masyarakat, transparansi pelayanan, meningkatkan kecepatan pelayanan publik, angkutan umum yang lebih dapat diandalkan, peningkatan keamanan, dan lainnya. Cara yang dilakukan untuk memberikan pelayanan publik yang lebih baik ini adalah dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Simpelnya, kata kunci smart city di Indonesia: IT, pelayanan publik, efisiensi, efektif, transparansi.

Namun ada hal yang terlewat dari pendekatan eksekusi smart city di Indonesia: Inisiasi berfokus pada apa yang terlihat.

Aplikasi, CCTV, ruang command center, pembangunan area berjudul technopolis/technopark, dan hal yang terlihat lainnya menjadi pendekatan yang biasanya dilakukan pemerintah daerah.

Padahal untuk melancarkan program smart city di Indonesia, ada banyak PR yang tak terlihat.  Hal ini adalah fenomena gunung es. Ada banyak persyaratan dan kondisi yang harus dicapai sehingga teknologi dan pembangunan ruangan atau area fisik bisa membantu kinerja dari program smart city.

Berdasarkan pengalaman, ada beberapa hal penting yang biasanya terlewat oleh para inisiator smart city di pemerintahan: Standard operating procedure dan tata kelola IT dan data.

Standard operating procedure

Smart city bukan tentang teknologi. Smart city bukan cuma aplikasi, punya CCTV banyak, command center yang mewah, free Wi-Fi, atau bentuk teknologi kekinian lainnya yang selalu digembar-gemborkan.

Jika dengan program smart city teknologi dianggap solusi. maka program itu pasti gagal. Teknologi bukanlah solusi, namun hanya berbentuk enabler sehingga suatu problem bisa diselesaikan dengan lebih efisien dan efektif.

Yang paling penting justru proses bisnisnya. Jika sepakat bahwa smart city dijalankan untuk memberikan pelayanan publik yang lebih baik, maka PR-nya adalah bagaimana standard operating procedure (SOP) dalam pelayanan publik dapat diselesaikan dengan lebih baik menggunakan teknologi.

Contohnya begini, Bandung Command Center pernah mendemokan penanganan aplikasi pelaporan kedaruratan. Pertanyaannya, sejauh mana prosedur penanganan ini bisa bantu menyelesaikan masalah. Seberapa cepat petugas bisa langsung datang ke tempat kejadian perkara setelah seseorang melaporkan ada kondisi darurat di kota? Siapa saja stakeholder yang terkait dengan penanganan hal ini? Bagaimana pihak polisi terlibat dalam penanganan ini, sedangkan polisi adalah pihak di luar Pemerintah Kota.

Contoh lain, saat kejadian bom Sarinah di Jakarta. Karena belum ada prosedur yang terkait dengan kondisi serangan bom, tim di Jakarta Smart City tidak bisa melakukan apa-apa karena tidak tahu apa yang seharusnya dilakukan secara terstruktur. Pada akhirnya semua berjalan menurut insting dan sebagai evaluasi diperkuatlah SOP sehingga tidak terulang lagi kasus ketidaktahuan ini.

Contoh lain lagi, saat kota punya command center, apa saja yang bisa dilakukan di sana, monitor besar yang ada di ruangan tersebut mau diisi oleh apa? Fungsinya apa saja?

Seharusnya semua ini berawal dari pembuatan SOP. Misalkan dalam pembuatan izin, dibutuhkan 3 proses: proses A, B, dan C. Keseluruhan proses ini membutuhkan waktu 10 hari kerja karena proses B memakan waktu 80% dari total. Lalu dengan adanya teknologi, proses B dapat selesai dalam hitungan menit, sehingga 3 proses ini bisa selesai dalam 1 jam. Baru di sini teknologi masuk sebagai enabler dari proses yang ada. Ini baru cerdas.

Tata kelola IT dan data

Problem klasik pemerintah adalah silo. Belum ada integrasi dan interoperabilitas di level sistem IT dan juga data di pemerintahan yang sudah terstandarisasi.

Data inti pembangunan hanyalah dua. Jika dua data ini sudah dikelola dengan baik, maka data lain yang mereferensi pada data ini juga akan lebih baik dari sisi kualitas. Data inti pembangunan itu: data kependudukan dan data geospasial. Data pendidikan, ekonomi, perpajakan, perizinan, dan lainnya pasti harus punya referensi ke data kependudukan dan geospasial.

Permasalahannya, bahkan dua data inti saja belum dikelola dengan baik. Bagaimana penggunaannya, bagaimana data ini disimpan, bagaimana jika terjadi duplikasi, siapa saja yang boleh mengakses data ini dan sejauh mana sistem IT pemerintahan harus mereferensi data ini. Hal ini biasanya belum ada jawabannya di pemerintah daerah.

Integrasi antar sistem IT yang ada di pemerintahan juga masih sangat minim. Contoh carut marutnya di antara lain: Dinas A membuat Peta X, dinas B membuat peta Y, kedua peta ini ternyata saling konflik karena me-refer pada data yang berbeda. Ada juga kasus suatu sistem informasi pemerintahan mengumpulkan NIK sendiri, sedangkan NIK ini seharusnya mereferensi pada data kependudukan yang dikelola oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil.

Selama belum diatur tata kelola IT dan data di pemerintahan, mau buat 1000 aplikasi sekalipun, aplikasi itu juga tidak akan bermanfaat karena tidak ada integrasi dan interoperabilitas di antara sistem dan data yang ada.

Dua hal ini menurut saya adalah PR besar dari semua pihak yang terlibat dalam inisiasi smart city di Indonesia. Prinsip yang harus selalu dipegang adalah teknologi hadir untuk membantu meningkatkan kualitas proses bisnis, bukan proses bisnis yang mengikuti teknologi. Jangan sampai daerah-daerah lain yang memulai program smart city hanya terpaku pada teknologi kekinian saja. Harus dimulai dari pertanyaan mengapa saya harus menjalankan program ini dan apa tujuan saya harus mencanangkan program smart city.

Saya melihat dinamika inisiasi smart city di Indonesia akan lebih berwarna lagi. Makin banyak pemimpin daerah yang ingin memperbaiki kualitas pelayanan publiknya khususnya dan secara umum memperbaiki kualitas hidup daerahnya. Jangan lupa untuk jangan sampai salah kaprah dan terbuai dengan kecanggihan teknologi semata.


Disclosure: Artikel tamu ini ditulis oleh Prasetyo Andy Wicaksono dan pertama kali dimuat di laman Medium-nya dengan penyuntingan.

Prasetyo adalah Head of IT Development di Jakarta Smart City, unit pengelola kota pintar pemerintah provinsi DKI Jakarta. Ia bisa dikontak via LinkedIn.

Pemprov DKI dan Startup Formalisasi Kolaborasi #KAKI5JKT Memajukan PKL Jakarta

Secara resmi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, melalui pembinaan Dinas Koperasi UMKM dan Perdagangan (KUMKMP), berhasil mengumpulkan 400 pedagang kaki lima (PKL) yang informasi lengkapnya bisa diakses melalui Zomato dan dapat dipesan melalui GO-FOOD (di dalam aplikasi GO-JEK) dan Porter. Semua pedagang kaki lima yang telah tergabung telah mendapatkan sertifikasi oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM).

“Kami mau minta masyarakat Jakarta kalau jajan di PKL, jangan beli di PKL yang tidak ada sertifikat BPOM-nya. Jadi ini akan bantu kami, buat pedagang yang masih buat makanan dengan bahan kimia, lambat laun pasti dagangannya tidak laku dan dia akan terpaksa jual makanan dengan bahan yang baik,” tegas Basuki Tjahaja Purnama, Gubernur Provinsi DKI Jakarta saat formalisasi kolaborasi ini.

Warga Jakarta yang memiliki informasi lengkap dan akurat terkait rekomendasi PKL bersih dan terbaik di masing-masing wilayah bisa juga berbagi informasi dengan memanfaatkan Twitter. Para pengguna yang ingin memanfaatkan situs #Kaki5Jakarta bisa mengabadikan rekomendasinya di smartphone, mengaktifkan GEOTAG di aplikasi Twitter, kemudian men-tweet warung kaki lima tersebut dengan format nama tempat, alamat, masakan yang disajikan, dan dilengkapi dengan tagar #KAKI5JKT.

Proses pemetaan potensi lokasi binaan (lokbin) ataupun lokasi sementara (loksem) melalui analisis heatmap, dilakukan oleh Pulse Lab Jakarta (PLJ) dan Twitter Indonesia.

Aktivitas yang telah dilakukan sejak Agustus 2015 ini telah mengumpulkan 2546 tweet dan 800 titik data yang unik meliputi 244 jajanan kaki lima di Jakarta.

“Kolaborasi dengan berbagai pihak mulai dari startup hingga komunitas seperti yang dilakukan pada aktivitas ini tentunya sangat membantu untuk memaksimalkan pemanfaatan teknologi demi menciptakan Jakarta yang lebih efisien dan informatif bagi masyarakat,” kata pihak pengelola UP Jakarta Smart City.

Peran serta startup membantu misi Jakarta Smart City

Tdak diragukan lagi peran serta dan dukungan yang diberikan oleh startup Indonesia untuk membantu pemerintah DKI Jakarta melalui program KAKI5JKT merupakan potensi yang bisa dimanfaatkan untuk memperluas promosi dan pengetahuan serta edukasi kepada warga Jakarta. Ke depannya program ini ditargetkan Pemprov DKI Jakarta sebagai wadah bagi semua PKL di Provinsi DKI Jakarta dan menjadi contoh bagi Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) lainnya agar dapat memaksimalkan penggunaan teknologi dan kolaborasi melalui dukungan UP Jakarta Smart City.

“Dengan bergabung di GO-FOOD, para PKL diharapkan akan dapat meningkatkan usahanya seiring dengan meningkatnya angka penjualan. Sebagai gambaran, total penjualan Bakso Pak Kumis BLOK S meningkat dua kali lipat dari sebelumnya melayani 100 porsi perhari, menjadi 200 porsi sehari semenjak terdaftar di GO-FOOD. Selain itu, GO-FOOD juga membantu pemerintah dalam menentukan UMKM mana yang layak mendapat pinjaman kredit untuk pembinaan,” kata CEO GO-JEK Indonesia Nadiem Makarim.

Sementara itu, Zomato, sebagai situs dan aplikasi restoran listing favorit di Jakarta, menyambut baik gerakan yang dilancarkan oleh Pemprov DKI sebagai bagian dari Jakarta Smart City, seperti yang ditegaskan oleh Country Manager Zomato Indonesia Karthik Shetty.

“Zomato adalah pilihan yang tepat bagi foodies Jakarta untuk mencari informasi mengenai tempat makan di sekitar mereka. Dengan mempertunjukkan Kaki Lima di koleksi spesial, kami menyadari bahwa para Kaki Lima mendapatkan lebih banyak page view dari pada kebanyakan restoran di area dimana mereka berada. Visibilitas ini akan membantu bisnis mereka. Setelah melihat informasi di Zomato, para pelanggan dapat memilih jika mereka ingin datang dan makan di tempat tersebut, lalu mengunggah foto dan ulasan berdasarkan pengalaman mereka, dan membuat pengguna lain juga ingin mencobanya,” jelas Karthik.

Bagi Porter, pengguna dapat mencari dan memesan makanan dari mana saja tanpa harus mengetahui terlebih dahulu PKL mana yang menjual menu tersebut. Fitur ini sangat berguna bagi PKL yang belum dikenal dan membantu pembeli mencari makanan favoritnya. Saat ini Porter memberikan diskon Rp 10.000 untuk pembelian semua PKL berlogo BPOM.

“Dengan program #KAKI5JKT, bukan hanya pedagang telah dikenal saja yang dapat meraup keuntungan lebih. Platform Porter memiliki fitur pencarian agar masyarakat dapat mencari makanan kesukaan mereka dengan mudah. Bahkan, masyakarat bisa dengan nyaman melihat langsung foto setiap makanan. Hal tersebut sejalan dengan tujuan kami, yaitu mewujudkan keinginan pecinta kuliner dan membantu pelaku usaha UKM untuk berkembang,” kata CEO Porter Richard Cahyanto.

Jakarta Smart City Lounge Diresmikan

Pemprov DKI akhirnya merampungkan ruang Command Center Jakarta Smart City yang diberi nama Jakarta Smart City Lounge. Jakarta Smart City Lounge ini didesain menjadi tempat yang bisa mengakomodasi beragam kepentingan dan menjadi salah satu ruang kreatif yang nantinya dapat dimanfaatkan oleh seluruh pemangku kepentingan kota Jakarta. Continue reading Jakarta Smart City Lounge Diresmikan

Aplikasi Mobile Jakarta Smart City Belum Bisa Diandalkan

Jakarta Smart City Portal yang memiliki banyak pekerjaan rumah / Shutterstock

Niat baik Pemprov DKI Jakarta untuk menjadikan wilayahnya sebagai kota pintar patut diapresiasi. Gencar digagas sejak era Joko Widodo, kini gagasan tersebut dilanjutkan dengan baik oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama. Salah satunya ialah aplikasi mobile Jakarta Smart City yang sayangnya belum bisa diandalkan dengan segera.

Continue reading Aplikasi Mobile Jakarta Smart City Belum Bisa Diandalkan

JakCare Memenangi Kompetisi Hackathon HACKJAK 2015

Malam penganugerahan pemenang HACKJAK2015 digelar Selasa (18/8) di Balai Agung Balaikota DKI Jakarta. Dari tiga kategori yang dikompetisikan, terpilih masing-masing tiga pemenang, dengan aplikasi JakCare yang dibuat Tim Anging Mamiri menjadi pemenang pertama kompetisi Hackathon.

Continue reading JakCare Memenangi Kompetisi Hackathon HACKJAK 2015