Alice Camera Adalah Kamera Mirrorless dengan Kemampuan Computational Photography ala Smartphone

Pesatnya perkembangan teknologi kamera smartphone membuat kita jadi semakin sering membandingkannya dengan kamera mirrorless. Padahal, kedua perangkat tentu punya kelebihan dan kekurangannya sendiri.

Untuk kamera smartphone, kelebihannya jelas terletak pada sederet teknik computational photography yang diterapkan, fitur Night Mode contohnya. Kendati demikian, kamera smartphone masih belum bisa menyaingi fleksibilitas yang ditawarkan mirrorless, terutama terkait kemudahan menggonta-ganti lensa sesuai kebutuhan.

Di luar sana, rupanya ada sebuah startup bernama Photogram yang sedang mencoba untuk menggabungkan kelebihan kedua perangkat tersebut. Buah pemikiran mereka adalah Alice Camera, sebuah kamera unik yang menawarkan keunggulan dari sisi software ala smartphone, sekaligus keunggulan dari sisi hardware ala kamera mirrorless.

Secara teknis, Alice merupakan sebuah kamera mirrorless dengan sensor Micro Four Thirds (MFT) beresolusi 10,7 megapixel. Penggunaan sensor MFT berarti ia kompatibel dengan lensa-lensa bikinan Panasonic, Olympus, Sigma, Voigtlander, maupun dari pabrikan-pabrikan lain yang memang menggunakan jenis dudukan MFT. Lensa dengan jenis dudukan lain pun juga bisa digunakan dengan bantuan adaptor.

Dimensi sensor MFT memang tidak sebesar sensor full-frame, tapi masih jauh lebih besar daripada sensor kamera smartphone pada umumnya. Sederhananya, dari segi hardware saja Alice sudah cukup unggul, tapi ternyata kamera ini turut mengandalkan algoritma-algoritma berbasis AI untuk mengoptimalkan hasil jepretannya lebih jauh lagi layaknya kamera smartphone.

Untuk mewujudkan teknik-teknik pemrosesan yang advanced itu, Alice mengandalkan Edge TPU, chip machine learning yang dirancang oleh Google. Mulai dari autofocus, white balance, dynamic range, sampai noise reduction, semuanya akan dioptimalkan menggunakan algoritma-algoritma berbasis AI tersebut.

Namun sebagai sebuah kamera mirrorless, Alice tentu masih menyediakan mode pemotretan manual bagi pengguna yang sudah berpengalaman. Yang mungkin terkesan agak aneh adalah, Alice tidak mempunyai layar sama sekali. Sebagai gantinya, pengguna dapat menjepitkan smartphone ke bagian belakangnya, dan itu juga berarti semua opsi pengaturannya harus diakses melalui aplikasi smartphone.

Berhubung Alice terhubung langsung dengan smartphone, kegiatan seperti live streaming pun bisa dilangsungkan semudah menggunakan smartphone itu sendiri. Menariknya, Photogram merancang software Alice dengan prinsip open-source, yang berarti siapapun bebas memodifikasi atau menambahkan fitur baru.

Secara fisik, Alice terlihat sangat minimalis dengan gaya desain industrialnya. Bodinya terbuat dari aluminium utuh, dengan hand grip yang menyatu secara seamless. Kendati demikian, bobotnya tergolong ringan di kisaran 350 – 375 gram, dan berhubung ia tidak punya LCD, tebal bodinya pun tidak lebih dari 35 mm.

Alice sejauh ini masih berstatus prototipe, akan tetapi pengembangnya sudah menerima pre-order melalui platform crowdfunding Indiegogo. Di sana, harga paling murahnya (early bird) dipatok £600 (± 11,6 jutaan rupiah). Kalau sesuai jadwal, konsumen bakal menerima pesanannya mulai Oktober 2021.

Sumber: DP Review.

Ini Pemenang Gadget Champions 2020, Total Ada 32 Kategori

Pandemi membuat tahun 2020 ini sangat berbeda dari biasanya, namun hal itu sama sekali tidak mengendurkan persaingan sengit di industri teknologi – terkhusus dunia gadget. Di Indonesia sendiri, tahun ini ada banyak sekali gadget baru yang telah dirilis. Meski sebagian besar acaranya digelar secara virtual, namun antusiasme itu tidak berkurang.

Untuk mengapresiasi beragam inovasi tersebut, DailySocial.id dan YangCanggih.com berkolaborasi dengan e-commerce asli Indonesia Blibli.com menggelar ‘Gadget Champions 2020‘. Ajang ini diselenggarakan untuk memilih smartphone, laptop, tablet, dan kamera digital terbaik yang resmi dijual di Tanah Air mulai dari bulan Desember 2019 hingga November 2020.

Proses Pemilihan Gadget Champions 2020

Gadget yang berhak menjadi nominasi di Gadget Champions 2020 adalah produk yang dijual secara resmi di Indonesia. Pemilihan pemenang setiap kategori dalam ajang ini dilakukan dengan mekanisme tertutup. Penilaian dilakukan oleh tim penilai yang berpengalaman dalam mengulas dan membahas berbagai gadget yang dirilis untuk pasar Indonesia.

Tim penilai tersebut terdiri dari para reviewer dari tim redaksi YangCanggih.com dan DailySocial.id. Proses pemilihan, mulai dari nominasi, penilaian hingga penetapan pemenang, bersifat independen dan tidak dapat dipengaruhi sama sekali oleh brand gadget.

Wiku Baskoro, chief editor DailySocial untuk segmen Gadget memberikan komentar atas awarding ini, “Gadget Champions menjadi salah satu cara kami, sebagai penikmat gadget dan juga media teknologi untuk memberikan apresiasi pada pabrikan atas perangkat yang dirilis. Semoga dengan adanya Gadget Champions ini, selain menjadi benchmark bagi konsumen juga bisa mendorong para brand dan pabrikan untuk terus mengembangkan teknologi agar bisa memberikan manfaat bagi para konsumennya.”

Untuk tahun ini ada empat jenis produk yang masuk dalam Gadget Champions 2020 yaitu kategori smartphone, tablet, laptop dan kamera digital. Dari empat jenis produk ini kami susun berbagai kategori yang disesuaikan dengan perkembangan atau tren yang ada di masyarakat.

Blibli, e-commerce lokal terdepan, mendukung Gadget Champions 2020 karena kami percaya pada kapasitas tim redaksi YangCanggih.com dan DailySocial.id dalam memilih brand dan gadget terbaik dengan seksama dan independen. Sebagai e-commerce dengan ragam smartphone, tablet, laptop, dan kamera yang lengkap demi kepuasan berbelanja pelanggan, Blibli melihat bahwa Gadget Champions 2020 bisa menjadi barometer bagi pelanggan dalam memilih produk sesuai kebutuhan mereka. Kehadiran gadget yang tepat pun semakin esensial di tengah terjadinya transformasi digital, di mana pelanggan semakin bergantung pada teknologi untuk menjaga konektivitas, kreatifitas, dan produktifitas,” kata Amelia Iman, Vice President Computer, Laptop & Camera Category Blibli.

Pionir Ajang Award yang Independen

Gadget Champions juga menjadi pionir untuk ajang awarding yang tidak dipengaruhi brand dalam penyusunan pemenang untuk kategori utamanya. Murni dari penilaian tim redaksi dua media yang telah berpengalaman lebih dari 10 tahun di media digital, Dailysocial.id dan Yangcanggih.com.

Kami sepakat menghadirkan penghargaan yang benar-benar murni dari hasil penilaian tim redaksi yang secara total telah mengulas dan mencoba langsung lebih dari seratus gadget setiap tahunnya. Ini menjadikan Gadget Champions 2020 sebagai award gadget pertama di Indonesia yang benar-benar independen dari campur tangan brand teknologi,“ kata Kristian Tjahjono, Chief Editor Yangcanggih.com.

Selain itu, ciri khas lain dari Gadget Champions adalah fokusnya pada pasar teknologi di Indonesia. Salah satu kriteria utama untuk dinominasikan adalah produk tersebut harus masuk secara resmi di pasar Indonesia. Artinya, produk tersebut harus dipasarkan oleh distributor yang telah ditunjuk langsung oleh brand resmi.

Diadakan Dua Tahap Pemilihan

KV voting1

Gadget Champions 2020 diadakan dalam dua tahap. Selain penentuan pemenang dari tim penilai, juga dibuka pemilihan Gadget Champions 2020 versi pecinta gadget. Jadi para pecinta gadget akan dapat berpartisipasi memberikan suara dan pendapatnya dengan memilih brand dan gadget favorit di laman yangcanggih.com/vote.

Selain menjadi rujukan bagi para konsumen, Gadget Champions 2020 diharapkan dapat mendorong para pemilik brand dan pabrikan gadget untuk terus berinovasi dalam mengembangkan produknya. Serta, berkontribusi dalam memberikan value produk yang lebih tinggi bagi konsumen yang menggunakan produknya.

Gadget Champions 2020 Winners

Lewat proses pemilihan dan penilaian yang tidak mudah, telah terpilih pemenang untuk 32 kategori Gadget Champions 2020 yang terbagi dalam empat kategori besar, yaitu kategori smartphone, laptop, tablet, dan kamera digital. Berikut daftar lengkap pemenang Gadget Champions 2020.

Kategori Smartphone

Best Innovation 

Samsung Galaxy Fold Z2

KV Most Innovation Smartphone (media)

Best for Vlogging

Vivo X50 Pro

 

KV Best for Vlogging (media)

Best Value

Realme C17

KV Best Value (media)

Best Design

Samsung Galaxy Z Flip

KV Best Design (media)

Best Flagship

Samsung Galaxy Note 20 Ultra

KV Best Flagship (media)

Best for Student

Realme 7 Pro

KV Best for Student (media)

Best for Content Creation

Samsung Galaxy Note 20 Ultra

Best for Content Creation (media)

Best Camera

Huawei P40 Pro

KV Best Camera (media)

Best for Gaming

ASUS ROG Phone 3

KV Best for Gaming (media)

Best for Style

Apple iPhone 11 Pro Max

KV Best for Style (media)

Best Under IDR 3 Million

Redmi Note 9

KV Best Under Rp 3 Million (media)

Best Between IDR 3-5 Million

OPPO Reno4

KV Best Between Rp 3-5 Million (media)

Best Between IDR 5-10 Million

ASUS ROG Phone 3

KV Best Between Rp 5-10 Million (media)

Best Beyond IDR 10 Million

Samsung Galaxy Note 20 Ultra

KV Best Beyond Rp 10 Million (media)

 

Kategori Laptop

 

Best Value 

Lenovo Ideapad Slim 3 1YID

KV Best Value (media)

Best Design

HP ENVY x360 Ryzen

KV Best Design (media)

Best Entry-level Gaming (Below IDR 20 Million)

HP Pavilion Gaming 15 – DK1064TX RTX 2060 MAX-Q

KV Best Entry-level Gaming Below Rp 20 Million (media)

Best Gaming Laptop

ASUS ROG Zephyrus S17

KV Best Gaming Laptop (media)

Best for Work

HP Elitebook X360 1040 G6

KV Best for Work (media)

Best Ultra Portable

Lenovo ThinkPad X1 Carbon Gen 8

KV Best Ultra Portable (media)

Best for Content Creation

ASUS ProArt StudioBook Pro 17

KV Best for Content Creation (media)

Best for Student

Acer Swift 3 SF314-41

KV Best for Student (media)

Best for Style

HP ENVY X360 13 AR0170 Wood

KV Best for Style (media)

Best Innovation

Lenovo ThinkBook Plus IML

KV Best Innovation (media)

 

Kategori Tablet

Best for Education

Huawei Matepad T10s

KV Best for Education (media)

Best for Work

Apple iPad Pro 4th gen 2020

KV Best for Work (media)

Best for Entertainment

Samsung Galaxy Tab S7+

KV Best for Entertainment (media)

 

Kategori Kamera Digital

Best for Vlogging

Canon G7x Mark III

KV Best for Vlogging (media)

Best for Professional Photography

Fujifilm X-T4

KV Best for Professional Photography (media)

Best for Videography

Sony Alpha A7s III

KV Best for Videography (media)

Best Mirrorless Entry Level

Fujifilm X-S10

KV Best Mirrorless Entry Level (media)

Best Mirrorless 2020

Sony Alpha A7s III

KV Best Mirrorless 2020 (media)

 

Fujifilm GFX100 IR Dirancang untuk Keperluan Forensik Maupun Pelestarian Budaya

Dengan sensor medium format 100 megapixel dan banderol harga nyaris 160 juta rupiah, Fujifilm GFX100 jelas bukan untuk semua orang. Kendati demikian, Fujifilm rupanya masih punya cara untuk menyulap kamera mirrorless tersebut menjadi lebih spesial lagi.

Mereka baru saja memperkenalkan Fujifilm GFX100 IR, versi khusus GFX100 yang didedikasikan untuk keperluan fotografi inframerah. Bukan cuma 100 megapixel, kamera ini juga dapat menghasilkan gambar inframerah dalam resolusi 400 megapixel dengan memanfaatkan fitur pixel shifting – yang juga tersedia pada GFX100 standar lewat sebuah firmware update.

Menurut Fujifilm, gambar inframerah yang dihasilkan oleh GFX100 IR memungkinkan kita untuk melihat detail yang tidak tampak dengan mata telanjang. Kemampuan semacam ini tentunya dapat membantu para profesional yang bekerja di bidang forensik, semisal untuk mengidentifikasi dokumen yang dipalsukan.

Contoh lainnya adalah di bidang pelestarian budaya, di mana gambar inframerah yang dijepret oleh kamera ini dapat dipakai untuk menganalisis pigmen warna pada sejumlah karya seni maupun artefak bersejarah. Singkat cerita, kamera ini punya skenario penggunaan yang lebih spesifik lagi dibanding GFX100 standar. Berikut adalah dua contoh gambar normal beserta versi inframerahnya.

Fujifilm tidak lupa menambahkan bahwa beragam filter inframerah yang terletak di sisi depan lensa dapat dipakai untuk mengambil gambar di panjang gelombang yang berbeda guna menyingkap detail yang berbeda pula pada sebuah subjek foto. Tentu saja kamera ini juga dapat berfungsi secara normal layaknya GFX100 standar ketika dibutuhkan.

Tidak mengejutkan dari sebuah kamera profesional, GFX100 IR dapat ditempatkan di posisi yang semi-permanen, lalu disambungkan ke laptop atau komputer sehingga pengguna dapat mengambil beberapa gambar yang berbeda dari angle yang sama persis secara efisien.

Melihat sifat dasar GFX100 IR yang bisa dibilang sangat terspesialisasi, tidak heran apabila pada akhirnya kamera ini tidak akan dijual secara umum begitu saja, melainkan khusus untuk pihak-pihak yang memesannya buat keperluan forensik, pelestarian budaya maupun penelitian-penelitian ilmiah.

Fujifilm juga tidak merincikan berapa harganya, tapi bisa kita tebak pasti di atas 160 juta rupiah. Penjualannya sendiri diprediksi bakal berlangsung mulai kuartal pertama 2021.

Sumber: PetaPixel.

Leica Q2 Monochrom Adalah Kamera Seharga $6.000 yang Hanya Bisa Memotret dan Merekam Video Hitam-Putih

Di industri fotografi, mungkin cuma Leica yang bisa menciptakan kamera hitam-putih seharga puluhan juta rupiah. Pada kenyataannya, Leica belum menunjukkan tanda-tanda akan berhenti meski sudah menjalani tren absurd tersebut sejak 2012.

Pabrikan asal Jerman itu baru saja memperkenalkan Leica Q2 Monochrom, sebuah kamera mirrorless dengan sensor full-frame yang hanya mampu menjepret gambar hitam-putih. Kalau namanya terdengar familier, itu karena Anda pernah mendengar soal Leica Q2, saudara kandungnya yang mengemas sensor ‘normal’, yang sudah hadir lebih dulu sejak Maret 2019.

Yang mungkin jadi pertanyaan, kenapa harus ada kamera dengan sensor monokromatik? Kenapa tidak memotret menggunakan Leica Q2 standar, lalu menambatkan filter hitam-putih saja pada hasil fotonya? Well, hasil akhirnya bakal berbeda, sebab sensor hitam-putih milik Leica Q2 Monochrom mampu menyerap lebih banyak cahaya meski resolusinya sama persis di angka 47,3 megapixel.

Menurut Leica, sensor milik Q2 Monochrom punya dynamic range 2 stop lebih tinggi daripada milik Q2 standar (13 EV dibanding 11 EV). Tingkat ISO maksimumnya pun telah ditingkatkan menjadi 100.000, dan secara keseluruhan Q2 Monochrom sanggup menangkap gambar dengan tingkat ketajaman yang lebih baik berkat absennya filter warna pada sensornya.

Pertanyaan selanjutnya, apa perbedaan antara Leica Q2 Monochrom dan Leica M10 Monochrom? Keduanya memang sama-sama hanya bisa menjepret gambar hitam-putih, akan tetapi Q2 Monochrom tidak masuk kategori rangefinder, yang berarti pengguna bisa sepenuhnya mengandalkan sistem autofocus, yang kebetulan juga punya kinerja yang sangat gegas. M10 Monochrom juga tidak bisa dipakai untuk merekam video, sedangkan Q2 Monochrom mendukung perekaman dalam resolusi maksimum 4K 30 fps, tentu saja dalam tampilan hitam-putih.

Selebihnya, Leica Q2 Monochrom cukup identik dengan versi standarnya. Ia turut dibekali lensa fixed 28mm f/1.7 ASPH seperti saudaranya, dan pengguna juga masih bisa memanfaatkan crop mode dengan tiga pilihan focal length: 35mm, 50mm, dan 75mm. Layar sentuh 3 inci yang mendominasi panel belakangnya pun sama persis, demikian pula viewfinder elektronik dengan panel OLED beresolusi 3,68 juta dot di atasnya.

Satu-satunya perbedaan fisik yang paling mencolok adalah hilangnya logo merah Leica pada bodi Q2 Monochrom. Penampilannya pun semakin stealthy dengan tidak adanya aksen warna kuning maupun merah sama sekali. Di luar itu, rangka yang digunakan tetap terbuat dari bahan magnesium, serta tahan cipratan air dan debu dengan sertifikasi IP52.

Untuk harganya, Leica melepas Q2 Monochrom ke pasaran dengan banderol resmi $5.995, atau $1.000 lebih mahal daripada harga Q2 standar. Di Indonesia, Q2 standar dihargai Rp81,9 juta, yang berarti harga Q2 Monochrom mungkin bisa mendekati Rp100 juta.

Sumber: DPReview.

Canon EOS M50 Mark II Adalah Kamera Mirrorless Kelas Entry-Level untuk Para Vlogger

Belum lama ini, Canon mengumumkan EOS M50 Mark II. Sesuai namanya, kamera ini menawarkan pembaruan yang iteratif terhadap perangkat bernama sama yang diluncurkan dua tahun lalu. Canon EOS M50 sendiri merupakan kamera mirrorless kelas entry-level yang terbukti cukup mumpuni, terutama buat mereka yang hobi vlogging.

Lalu apa saja yang baru dari EOS M50 Mark II? Sayangnya tidak banyak, dan sepintas terkesan bisa ditawarkan melalui firmware update ketimbang harus membeli kamera baru. Pembaruan yang paling utama adalah kehadiran sistem eye tracking autofocus, baik untuk pengambilan foto maupun video.

Ini cukup krusial mengingat pendahulunya tidak bisa mengaktifkan face detection maupun eye detection dalam perekaman video, sekaligus dalam sejumlah mode pemotretan. Sistem Dual Pixel autofocus yang digunakan sebenarnya masih sama seperti sebelumnya, tapi semestinya fitur eye tracking itu bisa lebih memudahkan pekerjaan.

Yang agak mengecewakan adalah, sistem Dual Pixel AF itu tetap saja tidak bisa dipakai saat merekam video dalam resolusi 4K, dan hanya terbatas untuk perekaman dalam resolusi 1080p saja. Crop factor saat merekam video 4K 24 fps juga tetap tinggi di angka 1,5x, sehingga menyulitkan pengambilan dari sudut pandang yang lebar.

Pembaruan lainnya bisa didapati pada interface layar sentuhnya, yang sekarang dilengkapi tombol record dan self-timer untuk memudahkan sesi vlogging. Kalau perlu menyiarkan secara live, EOS M50 Mark II sekarang juga bisa melakukannya dengan bantuan koneksi milik smartphone, tapi cuma ke platform YouTube saja. Merekam video dalam format vertikal pun sekarang juga dimungkinkan.

Selebihnya, EOS M50 Mark II benar-benar identik dengan pendahulunya, terutama dari segi hardware. Bentuk luarnya tidak berubah, demikian pula jeroannya; perangkat masih ditenagai sensor APS-C 24 megapixel yang sama, lengkap beserta prosesor DIGIC 8 yang sama pula. Canon juga sama sekali tidak mengutak-atik layar sentuh maupun viewfinder elektroniknya.

Jelas sekali kamera ini bukan ditujukan buat mereka yang sudah punya EOS M50 sebelumnya, melainkan yang ingin meng-upgrade perlengkapan vlogging-nya saat ini yang masih mengandalkan smartphone.

Kabar baiknya, harga jual Canon EOS M50 Mark II justru jauh lebih rendah daripada harga pendahulunya saat pertama diluncurkan: $600 body only, atau $700 bersama lensa EF-M 15-45mm. Bundel bersama dua lensa sekaligus (EF-M 15-45mm dan EF-M 55-200mm) juga tersedia seharga $930. Pemasarannya sendiri dijadwalkan berlangsung mulai bulan November mendatang.

Sumber: PetaPixel.

Fujifilm X-S10 Adalah Penerus X-T30 dalam Bahasa Desain yang Berbeda

Dari sekian banyak kamera mirrorless bikinan Fujifilm, hampir semuanya memang mengadopsi desain yang terinspirasi oleh kamera analog. Namun ketika menggarap kamera terbarunya yang bernama X-S10 berikut ini, filosofi tersebut seakan tidak lagi berlaku.

Hasilnya adalah sebuah kamera yang fisiknya menyerupai banyak kamera mirrorless lain di pasaran. Panel atas yang biasanya dihuni oleh dial untuk mengatur shutter speed, ISO, dan exposure compensation kini telah digantikan oleh dial PASM dan dua dial generik di ujung kiri dan kanan. Memang X-S10 bukan yang pertama menerapkan arahan desain seperti ini, sebab sebelumnya sudah ada X-T200 yang mengambil jalur yang sama.

Bentuk grip X-S10 juga sangat berbeda dari biasanya, dan lebih menyerupai grip gemuk milik X-H1. Singkat cerita, kalau Anda mengincar desain retro khas Fujifilm biasanya, kamera ini bukan untuk Anda. Namun tentu saja desain baru sebagian dari cerita utuhnya.

Soal spesifikasi, X-S10 menambah jumlah kamera Fujifilm yang mengemas sensor X-Trans generasi ke-4 beserta chip X-Processor 4. Sensor tersebut masuk kategori APS-C, dengan resolusi 26,1 megapixel dan phase detection pixel sebanyak 2,16 juta. Fuji bilang kinerja autofocus X-S10 sangatlah mengesankan, mampu mengunci fokus dalam waktu 0,02 detik saja, serta sudah dibekali dengan kemampuan tracking mata yang amat presisi.

Berbeda dari X-T30 yang tidak dilengkapi sistem in-body image stabilization (IBIS), X-S10 justru mengemas IBIS 5-axis terlepas dari wujudnya yang ringkas, yang bobotnya tak lebih dari 465 gram. Fuji bilang mereka harus merombak ulang IBIS milik X-T4, menyusutkan volumenya hingga sekitar 30% agar cukup dijejalkan ke bodi X-S10.

Sistem IBIS ini juga bisa bekerja selagi X-S10 merekam video. Kebetulan kapabilitas video X-S10 cukup mengesankan; video 4K 30 fps yang dihasilkannya merupakan hasil penerapan teknik oversampling. Ini berarti secara internal X-S10 sebenarnya merekam dalam resolusi 6K, sebelum akhirnya mengonversikan output-nya ke 4K tapi dengan tingkat detail yang lebih baik dan noise yang lebih rendah.

Di panel belakang, pengguna lagi-lagi akan menjumpai layar sentuh 3 inci yang fully-articulating, menjadikannya sebagai alternatif yang cukup menarik buat para vlogger. Di atas layarnya, ada viewfinder elektronik dengan resolusi 2,36 juta dot; standar dan belum setajam milik X-T4.

Kalau saya ditanya di mana posisi X-S10 di lini kamera Fujifilm X-Series, maka saya akan menjawab persis di tengah-tengah X-T30 dan X-T4. Rekan saya, Lukman, yang sempat mengulas X-T30 secara mendalam, bahkan heran kenapa Fujifilm tidak menamai kamera ini X-T40 saja, tapi bisa jadi memang karena bahasa desainnya yang berbeda sendiri.

Kabar baiknya, Fujifilm X-S10 bakal mulai dipasarkan di tanah air pada akhir November 2020, berdasarkan keterangan resmi dari Fujifilm Indonesia. Harga jual resminya di sini belum ditetapkan, tapi di Amerika Serikat kamera ini dibanderol $1.000 (body only). Di AS, X-S10 juga dibundel bersama lensa XF 18-55mm f/2.8-4 seharga $1.400, atau bersama lensa XF 16-80mm f/4 R OIS WR seharga $1.500.

Sumber: PetaPixel.

Nikon Z 7II dan Z 6II Diluncurkan, Bawa Prosesor Sekaligus Slot Memory Card Ganda

Menyusul kesuksesan Nikon Z 7 dan Z 6 dua tahun silam, Nikon pun memperkenalkan penerusnya, yakni Nikon Z 7II dan Z 6II. Label “II” pada namanya mengindikasikan pembaruan yang iteratif, dan ini juga pertama kalinya Nikon memakai model penamaan seperti itu pada lini kamera digitalnya.

Sebagian besar fitur maupun spesifikasi yang ditawarkan tidak berubah sedikit pun. Nikon bahkan tidak mengutak-atik desainnya, yang berarti kalau Anda senang dengan ergonomi Z 7 dan Z 6 sebelumnya, sudah pasti Z 7II dan Z 6II bakal terasa nyaman di tangan Anda. Sensor full-frame yang digunakan pun juga masih sama; Z 7II dengan resolusi 45,7 megapixel, Z 6II dengan 24,5 megapixel.

Yang berubah cukup drastis adalah performanya. Itu dikarenakan Nikon sudah menyematkan satu prosesor Expeed 6 ekstra. Ya, baik Z 7II maupun Z 6II sama-sama mengemas dua buah prosesor, dan itu pada akhirnya mampu mendongkrak kemampuan burst shooting Z 7II menjadi 10 fps dan Z 6II menjadi 14 fps.

Bukan cuma itu, kinerja autofocus kedua kamera pun juga diklaim lebih baik daripada masing-masing pendahulunya, baik untuk urusan tracking maupun untuk mengunci fokus di kondisi minim cahaya. Pada Z 7II dan Z 6II, fitur eye/face detection dapat digunakan selagi dalam mode AF wide-area maupun ketika merekam video.

Keberadaan prosesor kedua juga memungkinkan Z 7II dan Z 6II untuk merekam video dalam resolusi maksimum 4K 60 fps setelah sebelumnya cuma terbatas di 30 fps. Satu hal yang mungkin perlu dicatat adalah, opsi 4K 60 fps ini akan tersedia di Z 7II secara langsung, sedangkan di Z 6II baru menyusul di bulan Februari 2021 melalui sebuah firmware update.

Lalu mungkin pembaruan yang paling dinanti-nanti oleh konsumen Z 7 dan Z 6 adalah slot SD card ekstra. Jadi selain slot untuk kartu XQD/CFexpress Type B, Z 7II dan Z 6II turut mengemas slot SD card yang kompatibel dengan kartu tipe UHS-II. Penambahan ini pastinya bakal membuat kedua kamera jadi lebih fleksibel dalam mengakomodasi workflow masing-masing penggunanya.

Perubahan lain yang tidak kalah bermanfaat adalah, Z 7II dan Z 6II dapat beroperasi dengan mengandalkan suplai tenaga eksternal, dengan catatan ia terhubung via kabel USB-C ke USB-C. Kedengarannya sepele memang, tapi fitur ini jelas sangat berguna terutama buat yang sering mengambil video time-lapse.

Rencananya, Nikon Z 7II akan dipasarkan mulai bulan Desember dengan harga $3.000 (body only), atau $3.600 bersama lensa 24-70mm f/4, jauh lebih terjangkau daripada harga pendahulunya saat diluncurkan pertama kali. Nikon Z 6II di sisi lain akan hadir lebih awal pada bulan November dengan banderol $2.000 (body only), atau $2.600 bersama lensa 24-70mm f/4.


Sumber: DPReview.

Zeiss ZX1, Kamera Compact Full-Frame dengan Integrasi Lightroom, Bakal Dipasarkan Seharga $6.000

Di bulan September 2018, Zeiss memperkenalkan sebuah kamera compact yang sangat unik bernama ZX1. Unik bukan hanya karena kameranya menjalankan sistem operasi Android, tapi juga karena ia dilengkapi aplikasi Adobe Lightroom CC yang dapat langsung dipakai untuk mengedit hasil jepretan menggunakan layar sentuhnya.

Kala itu, Zeiss ZX1 dikabarkan bakal tersedia di pasaran pada awal tahun 2019. Namun seperti yang kita tahu sekarang, janji tersebut meleset. Menariknya, baru-baru ini B&H Photo Video mencantumkan ZX1 sebagai produk yang akan segera hadir dalam waktu dekat. Mereka bahkan sempat membuka pre-order untuk kamera tersebut dengan harga $6.000.

$6.000? Ya, saya bukannya salah ketik, tapi memang ini adalah harga yang bisa kita ekspektasikan dari produsen sekelas Zeiss. Kebetulan spesifikasi ZX1 memang cukup mengesankan, terutama berkat sensor CMOS full-frame beresolusi 37,4 megapixel yang diusungnya, yang ditandemkan bersama lensa prime Distagon T* 35mm f/2.

Kombinasi tersebut tentu bakal sangat menarik untuk street photography, apalagi mengingat ZX1 juga mengadopsi mekanisme leaf shutter yang sangat senyap. Lalu meski panel belakangnya didominasi layar sentuh, pengoperasian ZX1 dipastikan tetap mudah berkat sepasang kenop untuk mengatur shutter speed dan ISO, tidak ketinggalan juga aperture ring yang mengitari lensanya.

Layar sentuhnya ini berukuran masif kalau dibandingkan dengan kamera-kamera lain: 4,3 inci, dengan resolusi 1280 x 720 pixel, krusial mengingat lewat layar inilah pengguna bakal mengedit hasil tangkapannya, dibantu oleh aplikasi Lightroom itu tadi. Di atas layarnya, ada viewfinder elektronik dengan panel OLED 0,7 inci beresolusi full-HD dan tingkat perbesaran 0,74x.

Melengkapi spesifikasinya adalah SSD berkapasitas 512 GB dan konektivitas Wi-Fi sekaligus Bluetooth. Idenya adalah, pengguna bisa memotret, mengedit, dan memublikasikan hasilnya langsung dari kamera. Namun kalau memang masih perlu mengandalkan komputer, setidaknya semua hasil penyuntingan memakai Lightroom tadi bakal tersinkronisasikan secara otomatis dengan yang ada di komputer.

Sejauh ini memang belum ada kepastian kapan tepatnya Zeiss ZX1 bakal mulai dipasarkan. Namun setidaknya ini merupakan kabar baik bagi kaum enthusiast yang selama ini sudah menanti kehadirannya dan khawatir perangkat ini tidak akan terealisasikan.

Sumber: DPReview.

Canon PowerShot Zoom Adalah Kamera Unik dengan Bentuk Seperti Teropong

Menjadi salah satu produsen kamera terbesar di dunia tidak mencegah Canon untuk terus bereksperimen dengan kategori-kategori kamera baru. Salah satu yang terbaru dan cukup unik adalah PowerShot Zoom, yang sepintas kelihatan lebih mirip teropong monokular ketimbang sebuah kamera.

Cara penggunaannya memang mirip seperti teropong, dengan ujung belakang yang bertindak sebagai jendela bidik. Di dekat viewfinder tersebut, ada tombol untuk menjepret foto dan memulai perekaman video yang dapat dioperasikan dengan mudah menggunakan ibu jari selagi perangkat ditempelkan ke mata.

Di dekat ujung depannya juga ada beberapa tombol, yakni tombol power, tombol menu, dan tombol untuk zoom in atau zoom out. Seperti yang sudah bisa ditebak melalui namanya, kemampuan zoom kamera ini memang cukup istimewa berkat penggunaan lensa 100-400mm f/5.6-6.3. Andai masih kurang dekat, ada opsi digital zoom untuk melipatgandakan jangkauannya menjadi 800mm.

Di balik lensanya, bernaung sensor CMOS berukuran 1/3 inci dengan resolusi 12,1 megapixel dan ISO maksimum 3200. Ditandemkan dengan prosesor DIGIC 8, kamera ini sanggup merekam video dengan resolusi maksimum 1080p 30 fps, atau menjepret secara terus-menerus dengan kecepatan hingga 10 fps.

Sistem image stabilization (kemungkinan besar elektronik) maupun fitur Face AF juga tersedia pada kamera ini. Semua hasil tangkapannya disimpan ke kartu microSD, atau bisa juga dilihat melalui aplikasi pendampingnya di smartphone mengingat kamera ini menyimpan konektivitas Bluetooth 4.2.

Charging-nya mengandalkan konektor USB-C. Dalam sekali pengisian, baterainya diestimasikan bisa bertahan sampai 150 kali jepretan foto. Secara keseluruhan, bobot perangkat tidak lebih dari 145 gram. Dimensi persisnya sendiri tercatat 103,2 x 50,8 x 33,4 mm.

Satu hal yang paling mengecewakan dari Canon PowerShot Zoom adalah, sejauh ini ia cuma dipasarkan di Jepang melalui situs crowdfunding Makuake, dan semua kuotanya pun telah terjual habis. Di sana, harga paling murah yang tertera adalah 31.460 yen, atau setara dengan Rp4,4 juta.

Sumber: PetaPixel.

Sony a7C Usung Sensor Full-Frame dalam Bodi Seukuran Kamera APS-C

Sony a7S III rupanya bukan satu-satunya kamera mirrorless full-frame yang Sony luncurkan di tahun pandemi ini. Mereka juga baru saja mengumumkan a7C, yang mereka klaim sebagai kamera mirrorless terkecil yang mengusung sensor full-frame.

Oke, sebelum membahasnya lebih jauh, klaim tersebut mungkin perlu agak diluruskan. a7C tercatat memiliki dimensi 124 x 71,1 x 59,7 mm, dengan bobot 509 gram. Bandingkan dengan Sigma fp, yang sama-sama merupakan kamera mirrorless bersensor full-frame, tapi yang dimensinya cuma 112,6 x 69,9 x 45,3 mm, dan beratnya hanya 422 gram.

Sony bukannya bohong, tapi deskripsi terkecil tadi rupanya kurang lengkap. Yang lebih tepat adalah menyebut Sony a7C sebagai kamera mirrorless terkecil yang dibekali sensor full-frame plus in-body image stabilization (IBIS). Sigma fp memang lebih mungil, tapi kamera tersebut sama sekali tidak dilengkapi sistem penstabil.

Ini tentu juga bukan pertama kalinya Sony menyematkan sensor sebesar ini di bodi sekecil ini. Jauh sebelum ini pernah ada seri kamera Sony RX1, akan tetapi bedanya kamera tersebut punya lensa yang fixed, sedangkan a7C bisa dilepas-pasang lensanya. Desainnya sepintas kelihatan mirip seperti Sony a6600, dan ternyata bobot kedua kamera memang hampir sama meski ukuran sensornya berbeda jauh.

Secara teknis, a7C mengusung spesifikasi yang nyaris identik seperti a7 III, yang mencakup sensor full-frame 24 megapixel, IBIS 5-axis, burst shooting dengan autofocus sekencang 10 fps, perekaman video 4K 30 fps dengan dukungan format S-Log2 maupun S-Log3, sampai baterai NP-FZ100 yang berkapasitas besar. Sebagai bagian dari keluarga besar Sony a7, tracking autofocus berbasis AI juga menjadi salah satu suguhan utama di a7C.

Di bagian belakang, Anda akan menemukan touchscreen 3 inci yang bisa dihadapkan ke depan untuk vlogging. Sayang viewfinder elektroniknya lebih inferior ketimbang milik a7 III. Resolusinya memang sama-sama 2,36 juta dot, akan tetapi tingkat perbesarannya lebih kecil di angka 0,59x.

Sony a7C kabarnya akan mulai dipasarkan pada akhir Oktober. Di Amerika Serikat, ia dihargai $1.800 body-only, atau $2.100 bersama sebuah lensa kit. Lensanya kebetulan juga baru: 28-60mm f/4-5.6 dengan model collapsible yang membuatnya jadi lebih ringkas.

Sumber: DPReview.