Monument 2 Meluncur di Kickstarter, Tawarkan Solusi Penyimpanan Foto Pintar

Bagi fotografer, manajemen penyimpanan foto merupakan hal yang sangat penting. Meski saat ini tersedia banyak sekali opsi penyimpanan, dari hard drive eksternal hingga cloud storage, namun mengelola file besar bukan pekerjaan yang mudah.

Monument Labs mencoba menawarkan solusi penyimpanan foto pintar yang dilengkapi dengan sejumlah fitur pintar berbasis AI. Mereka meluncurkan perangkat personal cloud storage generasi kedua yaitu Monument 2 di platform crowdfunding Kickstarter.

Monument-2-is-an-AI-Powered-Personal-Cloud-Photo-Storage-Solution-1536x806

Monument 2 berfokus pada privasi pengguna yang secara otomatis akan mencadangkan dan mengatur semua koleksi foto maupun video. Monument Labs menjanjikan pengalaman penggunaan yang simpel dan aplikasinya tersedia di Android, iOS, Mac, Linux, dan juga Windows.

Konsep dari Monument 2 ialah menawarkan layanan serupa seperti Google Photos atau iCloud tetapi di perangkat yang Anda miliki sepenuhnya. Fitur-fitur untuk mengelola foto juga akan disediakan dengan lengkap, termasuk kemudahan berbagi konten sambil menjaga data pribadi tetap pribadi dan tanpa perlu membayar biaya bulanan tetapi cukup bayar sekali.

Monument_all_devices-1536x678 monument-2-iphone-1536x806

File yang disimpan akan secara otomatis dikategorikan berkat fitur facial dan image recognition. Foto orang akan dikelompokkan bersama secara otomatis, pengguna dapat menelusuri menggunakan kata kunci atau berdasarkan subjek.

Monument 2 juga mendukung file RAW dan dapat menemukan konten yang duplikat. Perangkat ini akan hadir dalam dua format, termasuk dengan penyimpanan SSD atau tanpa penyimpanan SSD bawaan.

Monument 2 dengan penyimpanan SSD 1 TB dibanderol mulai dari US$300 atau sekitar Rp4,2 jutaan. Sedangkan versi tanpa penyimpanan SSD bawaan dapat dihubungkan ke perangkat penyimpanan USB-A dan dijual mulai dari US$169 atau Rp2,4 jutaan.

Sumber: PetaPixel

Tips Memotret Menggunakan Lensa Manual

Sistem autofocus di kamera mirrorless generasi terbaru bisa dibilang sangat canggih, tak hanya sekedar cepat tetapi juga akurat dan konsisten dapat diandalkan bahkan untuk keperluan video. Tak diragukan lagi, fitur ini sangat membantu pekerjaan memotret selesai dengan lebih cepat.

Saking praktisnya, di satu titik terus menerus mengandalkan autofocus membuat saya jadi tak sabaran saat memotret. Akhirnya saya memutuskan untuk memisahkan pekerjaan dan membuat personal project, di mana saya bisa mengeksplorasi fotografi sekaligus menikmatinya, salah satunya menggunakan lensa manual dan pakai jendela bidik.

7Artisans 35mm F1.2 menjadi pilihan saya, karena ukurannya ringkas dan harganya juga terjangkau, bersanding dengan Sony A6400. Memotret dengan santai tanpa terburu, atur komposisi dan fokus, lalu tunggu momen dan jepret. Lantas apa saja yang perlu dipersiapkan? Berikut beberapa tips memotret menggunakan lensa manual.

1. Focus Peaking

Mengandalkan layar atau jendela bidik saja, kadang tidak cukup. Untuk membantu kita meraih fokus dengan tepat, kita perlu mengaktifkan fitur focus peaking di pengaturan kamera. Jadi, kita bisa melihat bagian mana yang tajam.

Kebanyakan kamera yang dirilis lima tahun terakhir harusnya sudah dilengkapi fitur ini. Di Sony A6400, level focus peaking-nya bisa dipilih antara tinggi, sedang, dan rendah. Serta ada empat warna, yaitu red, yellow, blue, dan white.

2. Focus Magnifier

Focus peaking memang sangat membantu untuk melihat area mana yang fokus, namun kadang kurang akurat apalagi bila menggunakan aperture besar. Focus magnifier ialah fitur untuk memastikan objek utama yang kita bidik benar-benar tajam.

Fitur yang satu ini bakal sering kita gunakan bila menggunakan lensa manual, oleh karena itu sematkan sebagai shortcut. Di Sony A6400, saya mengaturnya di tombol C1 karena lokasinya dekat dengan tombol shutter dan mudah dijangkau.

Biasanya saya akan merangkai komposisi dulu, setelah itu saya menekan tombol C1 untuk menggunakan focus magnifier dan arahkan ke objek utama. Kemudian tekan tombol di tengah navigasi untuk memperbesar 5.9x, putar cincin fokus dan lepaskan tembakan.

3. Ambil Jangan Sekali

Saat menjalankan project ini, fokus saya bukanlah untuk mendapatkan hasil yang sempurna. Namun lebih ke bagaimana menikmati prosesnya, kamera pun sudah saya atur sedemikian rupa agar bisa fokus mengabadikan momen.

Menurut saya ada dua tantangan utama saat menggunakan lensa manual. Pertama saat menggunakan aperture besar, misalnya F1.2 yang mana depth of field-nya sangat dangkal. Lalu yang kedua, memotret dengan elemen subjek bergerak.

Untuk mengatasinya, jangan melepaskan tembakan hanya sekali, melainkan dua sampai tiga kali bila menggunakan single shooting. Bila perlu gunakan continuous shooting yang rendah, karena tak perlu banyak-banyak nanti bakal repot memilih hasilnya.

Berikut beberapa foto yang diambil menggunakan lensa 7Artisans 35mm F1.2:

Verdict

Memotret dengan lensa manual fokus membuat saya sadar, bahwa betapa premiumnya fitur autofocus. Saat bekerja, jelas dengan senang hati saya menggunakan fitur autofocus karena cepat dan sangat praktis.

Di sisi lain, memotret membantu saya lebih fokus melihat keadaan sekiling, sensasi ini sangat saya nikmati saat hunting. Dengan menggunakan lensa manual, bersusah payah mendapatkan fokus dan mengotak-atik pengaturan sendiri, saya berharap bisa menciptakan karya foto yang lebih berkesan.

Sony Umumkan Kamera Full Frame Cinema Line Profesional FX6

Sony telah meluncurkan kamera Cinema Line profesional terbarunya yang dirancang untuk filmmaker dan content creator, Sony FX6. Kamera ini mengemas sensor full-frame backside-illuminated CMOS Exmor R beresolusi 10,2 MP dengan prosesor gambar Bionz XR yang pertama kali digunakan pada Sony A7S III.

Sensor ini menawarkan dynamic range 15+ stop dan memiliki ISO maksimum 409.600 yang memungkinkan pengambilan gambar di kondisi cahaya sangat rendah. Sony juga menambahkan look profile S-Cinetone untuk fleksibilitas pasca produksi, yang terinspirasi oleh kolorimetri Venice dan juga ditemukan di kamera cinema FX9.

Untuk kemampuan perekamannya, FX6 sanggup merekam video dalam format XAVC All Intra 4:2:2 10-bit pada resolusi DCI 4K (4096×2160 piksel) hingga 60fps, QFHD 4K (3840×2160 piksel) hingga 120fps, dan FHD (1920×1080 piksel) hingga 240p. Serta dalam format XAVC Long GOP 4:2:0 8-bit pada resolusi QFHD 4K (3840×2160 piksel) hingga 120fps dan 4:2:2 10-bit FHD (1920×1080 piksel) hingga 240p.

Bila menggunakan port 12G-SDI onboard, kamera ini dapat menghasilkan rekaman video Raw 16-bit SDI 4K 60fps. Footage yang dihasilkan disimpan ke salah satu atau kedua slot kartu CFexpress Type A, yang juga kompatibel dengan kartu SD UHS-II. Perlu dicatat, perekaman di atas 100fps akan memerlukan penggunaan kartu CFExpress Type A.

FX6 menggunakan sistem Fast Hybrid AF 627 titik yang sama seperti yang ditemukan di FX9 dan kamera mirrorless Sony Alpha, termasuk advanced Face Detection dan Real-time Eye AF. FX6 juga memiliki internal electronic variable ND filter, yang dapat disesuaikan secara manual.

Bodi FX6 dibuat dari sasis magnesium alloy dengan dimensi 116x153x114 mm dan berat 890 gram. Menggunakan dukukan lensa Sony E-mount yang kompatibel dengan lebih dari 50 lensa native dan memiliki LCD viewfinder 3.5 inci yang dapat dipasang ke berbagai lokasi pada bodi berkat desain modularnya.

Kamera cinema full-frame Sony FX6 ini akan tersedia mulai bulan Desember dan dibanderol dengan harga US$6.000 untuk body only dan US$7.200 dengan lensa kit FE 24-105mm F4 G Sony. Sony juga merilis lensa FE C 16-35mm T3.1 G baru pada bulan Desember yang akan dijual seharga US$5.500.

Sumber: DPreview

Leica Q2 Monochrom Adalah Kamera Seharga $6.000 yang Hanya Bisa Memotret dan Merekam Video Hitam-Putih

Di industri fotografi, mungkin cuma Leica yang bisa menciptakan kamera hitam-putih seharga puluhan juta rupiah. Pada kenyataannya, Leica belum menunjukkan tanda-tanda akan berhenti meski sudah menjalani tren absurd tersebut sejak 2012.

Pabrikan asal Jerman itu baru saja memperkenalkan Leica Q2 Monochrom, sebuah kamera mirrorless dengan sensor full-frame yang hanya mampu menjepret gambar hitam-putih. Kalau namanya terdengar familier, itu karena Anda pernah mendengar soal Leica Q2, saudara kandungnya yang mengemas sensor ‘normal’, yang sudah hadir lebih dulu sejak Maret 2019.

Yang mungkin jadi pertanyaan, kenapa harus ada kamera dengan sensor monokromatik? Kenapa tidak memotret menggunakan Leica Q2 standar, lalu menambatkan filter hitam-putih saja pada hasil fotonya? Well, hasil akhirnya bakal berbeda, sebab sensor hitam-putih milik Leica Q2 Monochrom mampu menyerap lebih banyak cahaya meski resolusinya sama persis di angka 47,3 megapixel.

Menurut Leica, sensor milik Q2 Monochrom punya dynamic range 2 stop lebih tinggi daripada milik Q2 standar (13 EV dibanding 11 EV). Tingkat ISO maksimumnya pun telah ditingkatkan menjadi 100.000, dan secara keseluruhan Q2 Monochrom sanggup menangkap gambar dengan tingkat ketajaman yang lebih baik berkat absennya filter warna pada sensornya.

Pertanyaan selanjutnya, apa perbedaan antara Leica Q2 Monochrom dan Leica M10 Monochrom? Keduanya memang sama-sama hanya bisa menjepret gambar hitam-putih, akan tetapi Q2 Monochrom tidak masuk kategori rangefinder, yang berarti pengguna bisa sepenuhnya mengandalkan sistem autofocus, yang kebetulan juga punya kinerja yang sangat gegas. M10 Monochrom juga tidak bisa dipakai untuk merekam video, sedangkan Q2 Monochrom mendukung perekaman dalam resolusi maksimum 4K 30 fps, tentu saja dalam tampilan hitam-putih.

Selebihnya, Leica Q2 Monochrom cukup identik dengan versi standarnya. Ia turut dibekali lensa fixed 28mm f/1.7 ASPH seperti saudaranya, dan pengguna juga masih bisa memanfaatkan crop mode dengan tiga pilihan focal length: 35mm, 50mm, dan 75mm. Layar sentuh 3 inci yang mendominasi panel belakangnya pun sama persis, demikian pula viewfinder elektronik dengan panel OLED beresolusi 3,68 juta dot di atasnya.

Satu-satunya perbedaan fisik yang paling mencolok adalah hilangnya logo merah Leica pada bodi Q2 Monochrom. Penampilannya pun semakin stealthy dengan tidak adanya aksen warna kuning maupun merah sama sekali. Di luar itu, rangka yang digunakan tetap terbuat dari bahan magnesium, serta tahan cipratan air dan debu dengan sertifikasi IP52.

Untuk harganya, Leica melepas Q2 Monochrom ke pasaran dengan banderol resmi $5.995, atau $1.000 lebih mahal daripada harga Q2 standar. Di Indonesia, Q2 standar dihargai Rp81,9 juta, yang berarti harga Q2 Monochrom mungkin bisa mendekati Rp100 juta.

Sumber: DPReview.

Sony A7C Tiba di Indonesia, Mirrorless Full Frame dengan Bodi APS-C

Ketika ingin naik kelas, beralih dari kamera mirrorless dengan sensor APS-C ke full frame. Biasanya ada dua hal yang menjadi pertimbangan utama, yaitu harga dan ukuran.

Nah kalau harga bukan masalah dan membutuhkan kualitas full frame, tetapi mendambakan ukuran yang tetap ringkas. Kamera terbaru Sony yang baru saja mendarat di Indonesia yaitu Alpha 7C bisa menjadi jawabannya.

Embel-embel C ini memiliki arti Compact, bayangkan saja di dalam bodi APS-C sekecil A6600 tetapi mengemas spesifikasi seperti A7 III. Termasuk mewarisi fitur 5-axis in-body image stabilization (IBIS) 5-step dan mekanisme layarnya sudah vari-angle seperti A7S II.

Tampilan Alpha 7C dengan Warna Silver

Kami selalu memperhatikan kebutuhan masyarakat terhadap fotografi dan videografi, serta tren dan perkembangan teknologi dalam menghadirkan produk-produk kami. Kamera terbaru Alpha 7C ini menggabungkan berbagai teknologi pencitraan terdepan, sangat nyaman digunakan dan merupakan perangkat yang cocok untuk seluruh pecinta fotografi dan videografi, mulai dari pemula, para kreator hingga profesional,” ujar Kazuteru Makiyama, President Director PT Sony Indonesia.

Dari sisi desain, sepintas desain Sony A7C memang sangat menyerupai tampilan A6xxx series, terutama A6600. Meski detail tata letak tombol kontrolnya tidak sama persis, tombol video telah diletakan di atas kamera.

Dimensi A7C juga sedikit lebih besar 124x71x60 mm dengan bobot 509 gram, sementara A6600 120x67x69 mm dengan bobot 503 gram. Kamera ini sudah tahan terhadap debu dan kelembaban untuk mendukung kebutuhan pengambilan gambar dalam lingkungan yang menantang.

Tampilan Atas Alpha 7C dengan SEL2860

Layar sentuh vari-angle 3 incinya merupakan tipe touch-sensitive 3.0 beresolusi 921,6k dot, bisa ditarik ke samping dan diputar 180 derajat untuk keleluasaan mencari angle dan kemudahan vlogging. Viewfinder elektroniknya beresolusi 2,36 juta dot dengan tingkat perbesaran di angka 0,59x, dan sudah menggunakan baterai NP-FZ100 berkapasitas besar yang mampu menghasilkan 740 bidikan menggunakan layar atau 680 gambar pakai viewfinder.

Untuk spesifikasinya, Sony A7C mengusung sensor back-illuminated Exmor R CMOS 24MP dengan prosesor Bionz X yang sama seperti A7 III. Ia dapat menjepret gambar berturut-turut hingga 10 fps dengan AF/AE (auto exposure) menggunakan unit shutter baru, mendukung pemrosesan gambar 16-bit dan output 14-bit RAW.

Alpha 7C dengan SEL2860

Sistem autofocus Sony A7C juga cepat dan dapat diandalkan, berkat sistem AF 693-point focal-plane phase-detection yang mencakup sekitar 93% dari area gambar, dengan tambahan 425-point contrast-detection. Fungsi AF pada A7C mencakup fitur Real-time Eye AF untuk subjek manusia dan hewan.

Fitur ‘tracking on + AF-on‘ sekarang dapat dialihkan ke tombol khusus dan diaktifkan berbarengan saat menekan tombol AF-ON. Selain itu, pengguna juga dapat menentukan subjek yang diinginkan hanya dengan menyentuhnya di layar.

Untuk perekam videonya, A7C menangkap lebih dari dua kali jumlah data yang diperlukan untuk video 4K hingga 30 fps berkat pembacaan full-pixel full-frame tanpa pixel binning. Mendukung profil HDR (HLG) dan S-Log/S-Gamut, perekaman full HD 120 fps dan fitur video canggih lainnya.

Tampilan audio digital telah tersedia di Multi Interface (MI) kamera, memungkinkan pengguna untuk menyambungkan Mikrofon Shotgun ECM-B1M atau Kit Adaptor XLR-K3M XLR. Soket headphone dan mikrofon juga disediakan untuk memantau suara yang direkam secara akurat. Untuk menyederhanakan kebutuhan alur kerja, konektivitas WiFi memudahkan pemindahan gambar dan video ke smartphone. Dilengkapi pula port USB tipe-C yang mendukung SuperSpeed USB 5Gbps (USB 3.2).

Lensa Model SEL2860

Bersama A7C, Sony juga mengumumkan kehadiran lensa zoom mungil barunya FE 28-60mm F4-5.6 dan flash HVL-F28RM. Sony A7C akan segera hadir di Indonesia pada bulan Desember 2020 dengan harga Rp26.999.000 untuk body only dan Rp31.999.000 dengan lensa kit FE 28-60mm F4-5.6.

Flash HVL-F28RM akan tersedia pada bulan Desember 2020 dengan harga Rp4.299.000. Sedangkan lensa zoom FE 28-60mm F4-5.6 bisa dibeli secara terpisah dengan harga Rp7.999.000 dan akan hadir pada bulan Januari 2021.

Para konsumen dapat melakukan pemesanan secara pre-order mulai tanggal 6-22 November 2020 di seluruh Sony Authorized Dealers dan toko offline. Sony memberikan penawaran spesial untuk setiap pembelian dalam masa pre-order senilai Rp2.500.000 dalam bentuk memory card SF-M 64T, exclusive leash strap dan exclusive wrapping cloth, serta berkesempatan untuk mendapatkan tambahan cashback untuk beberapa lensa dan grip tertentu.

 

DJI Pocket 2 Resmi Diumumkan, Punya Sensor Lebih Besar dan Lensa Lebih Lebar

DJI telah meluncurkan penerus Osmo Pocket, kamera mini dengan gimbal 3-axis generasi keduanya diberi nama DJI Pocket 2 saja. Meski ukurannya tetap ringkas dengan berat hanya 117 gram, DJI berhasil meningkatkan kinerjanya secara keseluruhan.

Ia mengusung sensor yang lebih besar berukuran 1/1.7 inci yang secara default menghasilkan bidikan 16MP dan hingga 64MP pada mode high-resolution. Memiliki aperture f1.8 dan lensa lebih lebar ekuivalen 20mm, jadi lebih ideal buat nge-vlog. Sebagai pembanding, pendahulunya memiliki sensor 1/2.3 inci beresolusi 12MP dengan lensa ekuivalen 26mm.

Untuk perekaman videonya, kemampuannya masih sama yaitu mendukung resolusi 4K hingga 60fps pada bitrate 100Mbps. Namun DJI telah menambahkan fitur video HDR dan kemampuan memperbesar gambar hingga 8x menggunakan mode high-resolution atau 4x lossless zoom pada mode 16MP dan 1080p.

Selain itu DJI juga telah meningkatkan sistem autofocus-nya, disebut Hybrid 2.0 AF. Fitur ini menggunakan kombinasi kontras dan deteksi fase, sehingga memungkinkan pelacakan subjek yang bergerak lebih cepat dan akurat.

DJI Pocket 2 2

Soal audio, DJI Pocket 2 mengemas sistem audio baru yang disebut DJI Matrix Stereo menggunakan susunan empat mikrofon. Dengan beberapa fitur audio termasuk Directional Audio untuk mengambil detail sebanyak mungkin, SoundTrack untuk menyesuaikan audio berdasarkan di mana kamera menghadap, dan Audio Zoom untuk mempersempit bidang suara saat menggunakan fitur zoom.

Fitur dan mode kamera pada DJI Osmo Pocket juga diwariskan ke DJI Pocket 2. Mulai dari mode Pro, ActiveTrack 3.0, Slow-motion 8x pada 1080p, Timelapse, Hyperlapse, Motionlapse, Panorama, Livestreaming, dan Story Mode. Fitur baru yang tersedia antara lain Fast Wake yang akan langsung mengaktifkan kamera, Drop Aware yang akan ‘mengambil tindakan pencegahan saat mendeteksi kamera jatuh’, dan Pause Recording.

Aksesori DJI Pocket 2

Dengan hardware baru, aksesori yang melengkapinya juga baru termasuk charging case, wireless microphone set, waterproof housing, control wheel yang lebih compact, extension rod, wide-angle lens attachment, dan wireless module. Semua fitur DJI Pocket 2 dapat dikontrol lewat smartphone Android dan iOS dengan aplikasi DJI Mimo.

Bagaimana tertarik dengan DJI Pocket 2? Kamera mungil ini tersedia dalam dua konfigurasi, DJI Pocket 2 dengan Mini Control Stick dan dudukan tripod dibanderol US$349 (sekitar Rp5,1 jutaan). Kemudian untuk DJI Pocket 2 Creator Combo yang mencakup Mini Control Sitck, dudukan tripod, wide-angle lens attachment, wireless microphone dengan windscreen, do-it-all handle, dan micro tripod dijual seharga US$499 (Rp7,3 juta).

Tahun lalu saya sendiri sempat keracunan DJI Osmo Pocket, dengan kamera seringkas ini saya berharap bisa menghasilkan footage sebanyak mungkin. Namun saya butuh beberapa aksesori yang harganya relatif cukup mahal untuk mengoptimalkannya dan karena sensornya kecil performa video low light-nya bikin frustasi. Dengan sensor lebih besar, performa low light DJI Pocket 2 seharusnya meningkat signifikan.

Sumber: DPreview

Canon EOS M50 Mark II Adalah Kamera Mirrorless Kelas Entry-Level untuk Para Vlogger

Belum lama ini, Canon mengumumkan EOS M50 Mark II. Sesuai namanya, kamera ini menawarkan pembaruan yang iteratif terhadap perangkat bernama sama yang diluncurkan dua tahun lalu. Canon EOS M50 sendiri merupakan kamera mirrorless kelas entry-level yang terbukti cukup mumpuni, terutama buat mereka yang hobi vlogging.

Lalu apa saja yang baru dari EOS M50 Mark II? Sayangnya tidak banyak, dan sepintas terkesan bisa ditawarkan melalui firmware update ketimbang harus membeli kamera baru. Pembaruan yang paling utama adalah kehadiran sistem eye tracking autofocus, baik untuk pengambilan foto maupun video.

Ini cukup krusial mengingat pendahulunya tidak bisa mengaktifkan face detection maupun eye detection dalam perekaman video, sekaligus dalam sejumlah mode pemotretan. Sistem Dual Pixel autofocus yang digunakan sebenarnya masih sama seperti sebelumnya, tapi semestinya fitur eye tracking itu bisa lebih memudahkan pekerjaan.

Yang agak mengecewakan adalah, sistem Dual Pixel AF itu tetap saja tidak bisa dipakai saat merekam video dalam resolusi 4K, dan hanya terbatas untuk perekaman dalam resolusi 1080p saja. Crop factor saat merekam video 4K 24 fps juga tetap tinggi di angka 1,5x, sehingga menyulitkan pengambilan dari sudut pandang yang lebar.

Pembaruan lainnya bisa didapati pada interface layar sentuhnya, yang sekarang dilengkapi tombol record dan self-timer untuk memudahkan sesi vlogging. Kalau perlu menyiarkan secara live, EOS M50 Mark II sekarang juga bisa melakukannya dengan bantuan koneksi milik smartphone, tapi cuma ke platform YouTube saja. Merekam video dalam format vertikal pun sekarang juga dimungkinkan.

Selebihnya, EOS M50 Mark II benar-benar identik dengan pendahulunya, terutama dari segi hardware. Bentuk luarnya tidak berubah, demikian pula jeroannya; perangkat masih ditenagai sensor APS-C 24 megapixel yang sama, lengkap beserta prosesor DIGIC 8 yang sama pula. Canon juga sama sekali tidak mengutak-atik layar sentuh maupun viewfinder elektroniknya.

Jelas sekali kamera ini bukan ditujukan buat mereka yang sudah punya EOS M50 sebelumnya, melainkan yang ingin meng-upgrade perlengkapan vlogging-nya saat ini yang masih mengandalkan smartphone.

Kabar baiknya, harga jual Canon EOS M50 Mark II justru jauh lebih rendah daripada harga pendahulunya saat pertama diluncurkan: $600 body only, atau $700 bersama lensa EF-M 15-45mm. Bundel bersama dua lensa sekaligus (EF-M 15-45mm dan EF-M 55-200mm) juga tersedia seharga $930. Pemasarannya sendiri dijadwalkan berlangsung mulai bulan November mendatang.

Sumber: PetaPixel.

Fujifilm X-S10 Adalah Penerus X-T30 dalam Bahasa Desain yang Berbeda

Dari sekian banyak kamera mirrorless bikinan Fujifilm, hampir semuanya memang mengadopsi desain yang terinspirasi oleh kamera analog. Namun ketika menggarap kamera terbarunya yang bernama X-S10 berikut ini, filosofi tersebut seakan tidak lagi berlaku.

Hasilnya adalah sebuah kamera yang fisiknya menyerupai banyak kamera mirrorless lain di pasaran. Panel atas yang biasanya dihuni oleh dial untuk mengatur shutter speed, ISO, dan exposure compensation kini telah digantikan oleh dial PASM dan dua dial generik di ujung kiri dan kanan. Memang X-S10 bukan yang pertama menerapkan arahan desain seperti ini, sebab sebelumnya sudah ada X-T200 yang mengambil jalur yang sama.

Bentuk grip X-S10 juga sangat berbeda dari biasanya, dan lebih menyerupai grip gemuk milik X-H1. Singkat cerita, kalau Anda mengincar desain retro khas Fujifilm biasanya, kamera ini bukan untuk Anda. Namun tentu saja desain baru sebagian dari cerita utuhnya.

Soal spesifikasi, X-S10 menambah jumlah kamera Fujifilm yang mengemas sensor X-Trans generasi ke-4 beserta chip X-Processor 4. Sensor tersebut masuk kategori APS-C, dengan resolusi 26,1 megapixel dan phase detection pixel sebanyak 2,16 juta. Fuji bilang kinerja autofocus X-S10 sangatlah mengesankan, mampu mengunci fokus dalam waktu 0,02 detik saja, serta sudah dibekali dengan kemampuan tracking mata yang amat presisi.

Berbeda dari X-T30 yang tidak dilengkapi sistem in-body image stabilization (IBIS), X-S10 justru mengemas IBIS 5-axis terlepas dari wujudnya yang ringkas, yang bobotnya tak lebih dari 465 gram. Fuji bilang mereka harus merombak ulang IBIS milik X-T4, menyusutkan volumenya hingga sekitar 30% agar cukup dijejalkan ke bodi X-S10.

Sistem IBIS ini juga bisa bekerja selagi X-S10 merekam video. Kebetulan kapabilitas video X-S10 cukup mengesankan; video 4K 30 fps yang dihasilkannya merupakan hasil penerapan teknik oversampling. Ini berarti secara internal X-S10 sebenarnya merekam dalam resolusi 6K, sebelum akhirnya mengonversikan output-nya ke 4K tapi dengan tingkat detail yang lebih baik dan noise yang lebih rendah.

Di panel belakang, pengguna lagi-lagi akan menjumpai layar sentuh 3 inci yang fully-articulating, menjadikannya sebagai alternatif yang cukup menarik buat para vlogger. Di atas layarnya, ada viewfinder elektronik dengan resolusi 2,36 juta dot; standar dan belum setajam milik X-T4.

Kalau saya ditanya di mana posisi X-S10 di lini kamera Fujifilm X-Series, maka saya akan menjawab persis di tengah-tengah X-T30 dan X-T4. Rekan saya, Lukman, yang sempat mengulas X-T30 secara mendalam, bahkan heran kenapa Fujifilm tidak menamai kamera ini X-T40 saja, tapi bisa jadi memang karena bahasa desainnya yang berbeda sendiri.

Kabar baiknya, Fujifilm X-S10 bakal mulai dipasarkan di tanah air pada akhir November 2020, berdasarkan keterangan resmi dari Fujifilm Indonesia. Harga jual resminya di sini belum ditetapkan, tapi di Amerika Serikat kamera ini dibanderol $1.000 (body only). Di AS, X-S10 juga dibundel bersama lensa XF 18-55mm f/2.8-4 seharga $1.400, atau bersama lensa XF 16-80mm f/4 R OIS WR seharga $1.500.

Sumber: PetaPixel.

Nikon Z 7II dan Z 6II Diluncurkan, Bawa Prosesor Sekaligus Slot Memory Card Ganda

Menyusul kesuksesan Nikon Z 7 dan Z 6 dua tahun silam, Nikon pun memperkenalkan penerusnya, yakni Nikon Z 7II dan Z 6II. Label “II” pada namanya mengindikasikan pembaruan yang iteratif, dan ini juga pertama kalinya Nikon memakai model penamaan seperti itu pada lini kamera digitalnya.

Sebagian besar fitur maupun spesifikasi yang ditawarkan tidak berubah sedikit pun. Nikon bahkan tidak mengutak-atik desainnya, yang berarti kalau Anda senang dengan ergonomi Z 7 dan Z 6 sebelumnya, sudah pasti Z 7II dan Z 6II bakal terasa nyaman di tangan Anda. Sensor full-frame yang digunakan pun juga masih sama; Z 7II dengan resolusi 45,7 megapixel, Z 6II dengan 24,5 megapixel.

Yang berubah cukup drastis adalah performanya. Itu dikarenakan Nikon sudah menyematkan satu prosesor Expeed 6 ekstra. Ya, baik Z 7II maupun Z 6II sama-sama mengemas dua buah prosesor, dan itu pada akhirnya mampu mendongkrak kemampuan burst shooting Z 7II menjadi 10 fps dan Z 6II menjadi 14 fps.

Bukan cuma itu, kinerja autofocus kedua kamera pun juga diklaim lebih baik daripada masing-masing pendahulunya, baik untuk urusan tracking maupun untuk mengunci fokus di kondisi minim cahaya. Pada Z 7II dan Z 6II, fitur eye/face detection dapat digunakan selagi dalam mode AF wide-area maupun ketika merekam video.

Keberadaan prosesor kedua juga memungkinkan Z 7II dan Z 6II untuk merekam video dalam resolusi maksimum 4K 60 fps setelah sebelumnya cuma terbatas di 30 fps. Satu hal yang mungkin perlu dicatat adalah, opsi 4K 60 fps ini akan tersedia di Z 7II secara langsung, sedangkan di Z 6II baru menyusul di bulan Februari 2021 melalui sebuah firmware update.

Lalu mungkin pembaruan yang paling dinanti-nanti oleh konsumen Z 7 dan Z 6 adalah slot SD card ekstra. Jadi selain slot untuk kartu XQD/CFexpress Type B, Z 7II dan Z 6II turut mengemas slot SD card yang kompatibel dengan kartu tipe UHS-II. Penambahan ini pastinya bakal membuat kedua kamera jadi lebih fleksibel dalam mengakomodasi workflow masing-masing penggunanya.

Perubahan lain yang tidak kalah bermanfaat adalah, Z 7II dan Z 6II dapat beroperasi dengan mengandalkan suplai tenaga eksternal, dengan catatan ia terhubung via kabel USB-C ke USB-C. Kedengarannya sepele memang, tapi fitur ini jelas sangat berguna terutama buat yang sering mengambil video time-lapse.

Rencananya, Nikon Z 7II akan dipasarkan mulai bulan Desember dengan harga $3.000 (body only), atau $3.600 bersama lensa 24-70mm f/4, jauh lebih terjangkau daripada harga pendahulunya saat diluncurkan pertama kali. Nikon Z 6II di sisi lain akan hadir lebih awal pada bulan November dengan banderol $2.000 (body only), atau $2.600 bersama lensa 24-70mm f/4.


Sumber: DPReview.

Zeiss ZX1, Kamera Compact Full-Frame dengan Integrasi Lightroom, Bakal Dipasarkan Seharga $6.000

Di bulan September 2018, Zeiss memperkenalkan sebuah kamera compact yang sangat unik bernama ZX1. Unik bukan hanya karena kameranya menjalankan sistem operasi Android, tapi juga karena ia dilengkapi aplikasi Adobe Lightroom CC yang dapat langsung dipakai untuk mengedit hasil jepretan menggunakan layar sentuhnya.

Kala itu, Zeiss ZX1 dikabarkan bakal tersedia di pasaran pada awal tahun 2019. Namun seperti yang kita tahu sekarang, janji tersebut meleset. Menariknya, baru-baru ini B&H Photo Video mencantumkan ZX1 sebagai produk yang akan segera hadir dalam waktu dekat. Mereka bahkan sempat membuka pre-order untuk kamera tersebut dengan harga $6.000.

$6.000? Ya, saya bukannya salah ketik, tapi memang ini adalah harga yang bisa kita ekspektasikan dari produsen sekelas Zeiss. Kebetulan spesifikasi ZX1 memang cukup mengesankan, terutama berkat sensor CMOS full-frame beresolusi 37,4 megapixel yang diusungnya, yang ditandemkan bersama lensa prime Distagon T* 35mm f/2.

Kombinasi tersebut tentu bakal sangat menarik untuk street photography, apalagi mengingat ZX1 juga mengadopsi mekanisme leaf shutter yang sangat senyap. Lalu meski panel belakangnya didominasi layar sentuh, pengoperasian ZX1 dipastikan tetap mudah berkat sepasang kenop untuk mengatur shutter speed dan ISO, tidak ketinggalan juga aperture ring yang mengitari lensanya.

Layar sentuhnya ini berukuran masif kalau dibandingkan dengan kamera-kamera lain: 4,3 inci, dengan resolusi 1280 x 720 pixel, krusial mengingat lewat layar inilah pengguna bakal mengedit hasil tangkapannya, dibantu oleh aplikasi Lightroom itu tadi. Di atas layarnya, ada viewfinder elektronik dengan panel OLED 0,7 inci beresolusi full-HD dan tingkat perbesaran 0,74x.

Melengkapi spesifikasinya adalah SSD berkapasitas 512 GB dan konektivitas Wi-Fi sekaligus Bluetooth. Idenya adalah, pengguna bisa memotret, mengedit, dan memublikasikan hasilnya langsung dari kamera. Namun kalau memang masih perlu mengandalkan komputer, setidaknya semua hasil penyuntingan memakai Lightroom tadi bakal tersinkronisasikan secara otomatis dengan yang ada di komputer.

Sejauh ini memang belum ada kepastian kapan tepatnya Zeiss ZX1 bakal mulai dipasarkan. Namun setidaknya ini merupakan kabar baik bagi kaum enthusiast yang selama ini sudah menanti kehadirannya dan khawatir perangkat ini tidak akan terealisasikan.

Sumber: DPReview.