Berbekal Konektor USB-C, DxO One Versi Android Siap Meluncur dalam Waktu Dekat

Masih ingat dengan DxO One, aksesori mungil yang berfungsi mengubah iPhone menjadi kamera saku premium? Kabar baik bagi yang sudah lama menanti-nanti versi Android-nya, sebab pengembangnya sedang bersiap untuk meluncurkannya dalam beberapa minggu ke depan.

Tentu saja pembeda yang paling utama dari DxO One versi Android ini adalah konektornya, yang mengandalkan USB-C ketimbang Lightning. Satu hal yang perlu menjadi catatan, ia hanya kompatibel dengan smartphone atau tablet yang mengemas port USB-C, dan pengguna tidak akan bisa mengakali dengan memakai adapter micro USB.

Meski belum ada informasi resmi yang merinci, spesifikasi selebihnya bisa dipastikan sama seperti versi iOS-nya: sensor 1 inci beresolusi 20,2 megapixel, dibantu oleh lensa f/1.8. DxO One datang dengan unit baterainya sendiri, dan pengguna kini dapat meningkatkan daya baterainya lebih lagi berkat bantuan aksesori terpisah.

DxO One Battery Pack / DxO
DxO One Battery Pack / DxO

Aksesori Battery Pack ini datang dengan dua baterai rechargeable yang masing-masing dapat menambahkan daya sebesar satu jam. Aksesori ini bakal dipasarkan seharga $60, sedangkan untuk DxO One versi Android sendiri sayangnya masih belum diketahui banderol harganya.

Bersamaan dengan itu, DxO juga merilis versi 3.0 dari aplikasi pendamping DxO One di iOS. Versi baru ini menghadirkan dukungan live streaming ke Facebook, dan yang menarik, pengguna dapat memanfaatkan dua kamera (kamera bawaan iPhone dan DxO One) sekaligus secara bergantian.

Fitur baru lain adalah Time-Lapse, yang bakal diambil dengan pengaturan exposure maupun white balance yang konsisten. Selain itu, fitur ini rupanya juga mendukung format RAW, dan pengguna dapat menggabungkan hasilnya menjadi video 4K jika mau.

Sumber: DPReview.

Kamera Keamanan Arlo Pro 2 Mampu Rekam Video yang Lebih Bening

Dalam rangka mempertahankan 45% pangsa pasar di ranah kamera keamanan rumah, Netgear menghadirkan iterasi terbaru dari jajaran Arlo Pro yang lebih segar bernama Arlo Pro 2. Kamera indoor dan outdoor yang masih mengadopsi keunggulan pendahulunya, yakni memiliki kompatibilitas dengan aksesoris tambahan seperti baterai atau mount.

Seperti pendahulunya, Arlo Pro 2 dapat dikendalikan dengan aplikasi Arlo dengan pasokan tenaga utama berupa baterai yang diisi ulang melalui base station khusus. Kamera utamanya menawarkan sudut pandang selebar 130 derajat namun dengan kemampuan baru, seperti mode malam dan deteksi gerak. Kamera juga mempunyai dukungan suara dua arah dengan balutan desain identik dengan model Arlo Pro.

Arlo Pro 2_3

Peningkatan paling menonjol dari Arlo Pro 2 adalah kemampuan kameranya untuk membidik objek dalam resolusi 1080p, berbanding 720p di Arlo Pro generasi pertama. Sehingga di atas kertas, video tangkapan Arlo Pro 2 relatif lebih jernih ketimbang pendahulunya.

Arlo Pro 2_1

Meskipun dilabeli sebagai kamera keamanan nirkabel, namun Arlo Pro 2 juga menawarkan konektivitas menggunakan kabel sebagai pilihan ekstra. Opsi ini menjadikan Arlo Pro 2 makin fleksibel dan cocok untuk digunakan oleh berbagai kelas konsumen. Mode ini juga menawarkan fitur tambahan seperti opsi untuk merekam video 24 jam dalam seminggu penuh dan fitur Look Back baru yang memudahkan pengguna memperoleh bukti pembobolan secara akurat.

Arlo Pro 2_2

Arlo Pro 2 juga mempunyai fitur tambahan bernama Activity Zone yang berfungsi untuk menandai area yang ingin diawasi. Ketika zona tersebut sudah ditandai, maka setiap kali kamera mendeteksi gerakan di dalam zona itu, sistem akan mengirimkan notifikasi ke smartphone pemilik rumah. Fitur ini memungkinkan pengguna memilah zona kritis yang dianggap paling terlarang untuk dimasuki oleh orang asing.

Kamera Arlo Pro 2 saat ini ditawarkan dengan banderol dasar di $220, tetapi jika dibeli beserta Arlo system, konsumen dikenakan biaya total sebesar $480. Ada juga paket tertinggi dengan empat buah kamera seharga $800.

Sumber berita Globenewswire dan Arlo.

Yashica digiFilm Y35 Adalah Kamera Digital dengan Cara Kerja Sangat Mirip Seperti Kamera Analog

Comeback Polaroid bulan lalu mendapat respon yang cukup positif dari publik. Hal ini tampaknya menginspirasi produsen kamera lawas lain untuk mengambil langkah serupa, salah satunya adalah Yashica. Pabrikan asal Jepang yang merupakan pionir teknologi shutter berbasis elektronik itu baru saja memperkenalkan kamera yang super-unik.

Namanya Yashica digiFilm Y35. Desainnya sengaja dibuat semirip mungkin dengan Yashica Electro 35 yang populer di tahun 60-an. Secara mendasar ia merupakan sebuah kamera digital, akan tetapi embel-embel “digiFilm” mengindikasikan keunikan tersendiri daripadanya.

Desain Yashica digiFilm Y35 terinspirasi Yashica Electro 35 / @wikupedia (Instagram)
Desain Yashica digiFilm Y35 terinspirasi Yashica Electro 35 / @wikupedia (Instagram)

Y35 mengemas sensor CMOS 1/3,2 inci beresolusi 14 megapixel, plus lensa fixed 35mm f/2.8. Dengan sensor sekecil itu, kualitas gambar jelas bukan aspek yang diunggulkannya. Pada kenyataannya, Y35 memang tidak mengincar titel kamera dengan hasil foto terbaik.

Yang ingin disuguhkannya justru adalah pengalaman memotret menggunakan kamera analog, tapi dengan kepraktisan teknologi digital. Jadi, dengan kata lain, cara menggunakan Y35 sebenarnya sangat mirip seperti kamera analog, tapi semua hasil jepretannya merupakan foto digital.

Yashica digiFilm Y35

Kalau kamera analog membutuhkan rol film untuk beroperasi, Y35 membutuhkan digiFilm, yang pada dasarnya merupakan rol film palsu. Namun sebelum Anda menggaruk-garuk kepala, ketahuilah bahwa digiFilm merupakan bagian terpenting dari keseluruhan kamera ini.

digiFilm sederhananya berfungsi untuk menyetel pengaturan kamera, spesifiknya tingkat ISO, aspect ratio dan mode warna. Jadi ketimbang mengakses menu via layar seperti pada kamera digital biasa, pengguna Y35 harus menukar satu digiFilm dengan yang lain secara fisik untuk mengubah pengaturan-pengaturan tersebut – Anda juga tak akan menemukan layar di belakang Y35.

Yashica digiFilm Y35

Seperti kasusnya di kamera analog, mengganti tingkat ISO di Y35 hanya bisa dilakukan dengan mengganti digiFilm yang terpasang. Total ada 4 jenis digiFilm yang menemani Y35 pada awal debutnya ini: ISO 1600 High Speed, ISO 400 Black & White, ISO 200 Ultra Fine, dan 120 Format (ISO 200, tapi dengan aspect ratio kotak yang dioptimalkan untuk Instagram).

Satu-satunya parameter yang dapat diatur pengguna secara langsung adalah shutter speed; bisa 1 detik, 1/30, 1/60, 1/250 atau 1/500 detik lewat sebuah kenop di panel atasnya – atau pengguna bisa juga mengaktifkan mode otomatis kalau perlu. Juga seperti kamera analog, Y35 beroperasi menggunakan sepasang baterai AA biasa.

Yashica digiFilm Y35

Agar pengalaman fotografi analog yang disuguhkan jadi lebih autentik lagi, Y35 bahkan juga dilengkapi film winder di sebelah tombol shutter-nya. Jadi setiap kali selesai menjepret, pengguna harus menggeser tuas ini secara manual terlebih dulu agar dapat memotret kembali, sama persis seperti di kebanyakan kamera analog.

Tidak cuma itu, pengguna Y35 bahkan tidak memiliki opsi untuk menghapus foto yang diambilnya. Satu-satunya cara adalah memindah hasil jepretannya terlebih dulu dari SD card yang terpasang, atau bisa juga dengan menancapkan kabel micro USB dan menyambungkannya ke komputer.

Yashica digiFilm Y35

Yashica digiFilm Y35 pastinya tidak akan bisa menggantikan kamera analog sejati, tapi menurut saya ini merupakan cara cerdas untuk mengenang atau setidaknya mengenali fotografi analog, tanpa harus meluangkan waktu ekstra yang diperlukan untuk proses pencucian film.

Hal lain yang perlu dicatat, pengembang digiFilm mungkin sudah bukan lagi Yashica yang dunia kenal dulunya, sebab Yashica sebagai perusahaan telah beberapa kali berpindah tuan (dijual) dalam beberapa dekade terakhir. Terlepas dari itu, Anda yang tertarik dapat memesannya lewat situs crowdfunding Kickstarter seharga HK$1.168 (± Rp 2 jutaan), sudah termasuk 4 jenis digiFilm itu tadi.

Sumber: PetaPixel.

Google Clip Bantu Abadikan Momen yang Terlewatkan oleh Smartphone

Bersamaan dengan pengumuman smartphone terbaru Pixel 2, Google juga memperkenalkan beberapa perangkat yang menarik. Salah satunya yang cukup unik adalah kamera mini pintar bernama Google Clip, kamera jenis baru yang mungkin hanya untuk segelintir orang.

Google Clip bukan seperti kamera pada umumnya, melainkan dirancang untuk penggunaan pasif yang menawarkan bantuan untuk menangkap momen yang terlewatkan oleh smartphone atau kamera genggam. Google Clip punya kemampuan menangkap dalam format Motion Photos, format gambar baru yang diciptakan oleh Google yang hampir mirip dengan Live Photo milik Apple. Kamera ini menangkap video singkat tanpa audio, dan dilengkapi teknologi pengenal pintar yang membantu mengabadikan moment secara otomatis. Perangkat juga dapat dihubungkan ke smartphone untuk melihat apa yang sudah ia rekam.

Dibanderol $249, Google Clip duduk di posisi yang unik. Ia bukan kamera utuh tapi juga bukan alat pemantau keamanan, tetapi juga bukan camcorder untuk keperluan vlogging. Posisinya unik, tapi sayang harganya cukup mahal sehingga jujur saja saya berpikir, mungkin Google Clip tak akan memiliki peminat yang besar mengingat di luar sana ada banyak pilihan yang terbilang lebih komplet lagi murah.

Dari sisi bentuk, Google Clip mempunyai wujud kubus dengan sebuah lensa besar dan tombol. Berkat teknologi kecerdasan buatan, kamera di Google Clip terus mengawasi yang terjadi di sekitarnya. Dan begitu AI mendeteksi sesuatu yang menarik, ia akan mengaktifkan kamera untuk menjepret momen ke dalam bentuk foto atau video. Berkas kemudian akan disimpan dan dapat disalin dengan menghubungkan perangkat ke smartphone atau laptop.

Di dalamnya tersemat memori seluas 16GB dan mampu bertahan hidup selama tiga jam pemakaian normal. Kameranya mempunyai sudut pandang 130 derajat, dilindungi pula oleh Gorilla Glass 3, punya USB tipe C dan dukungan WiFi Direct serta Bluetooth LE.

Sumber berita Google.

Nikon Dikabarkan Sedang Menyiapkan Kamera Mirrorless Bersensor Full-Frame

Nikon boleh merajai segmen DSLR bersama Canon, tapi mereka bukan siapa-siapa di kancah mirrorless. Bukan berarti mereka tidak punya lini mirrorless, tapi seri Nikon 1 yang selama ini dipasarkan tidak mampu bersaing menghadapi gempuran dari Panasonic, Sony maupun Fujifilm.

Canon sendiri belakangan mulai menunjukkan keseriusannya dalam ranah mirrorless dengan mengadaptasikan teknologi andalan DSLR kelas atasnya ke bodi mirrorless yang jauh lebih ringkas macam EOS M5 dan EOS M100. Lalu bagaimana dengan Nikon? Apakah ke depannya mereka masih akan bersikukuh dengan DSLR dan mengabaikan pasar mirrorless begitu saja?

Tidak. Pada kenyataannya, bulan Juli kemarin Nikon telah mengonfirmasi bahwa mereka sedang mengembangkan kamera mirrorless baru yang diklaim lebih superior dibanding kompetitornya. Seperti apa jelasnya kamera tersebut masih misteri, tapi baru-baru ini ada indikasi positif yang bisa diambil dari wawancara salah satu petinggi Nikon.

Tetsuro Goto, Nikon Imaging Product R&D General Manager / Xitek
Tetsuro Goto, Nikon Imaging Product R&D General Manager / Xitek

Berbicara kepada media publikasi asal Tiongkok, Xitek, Tetsuro Goto selaku General Manager divisi riset dan pengembangan produk Nikon mengungkapkan sejumlah petunjuk yang cukup menarik terkait kamera mirrorless baru Nikon. Berdasarkan hasil terjemahan NikonRumors, beliau bilang kalau Nikon ingin mendalami mirrorless, maka sensor full-frame harus menjadi syarat yang paling utama.

Tetsuro memang tidak bilang secara eksplisit kalau Nikon sedang mengerjakan kamera mirrorless bersensor full-frame, tapi beliau mengatakan bahwa alasannya mengacu pada tren yang ada sekarang. Seperti yang kita tahu, Sony saat ini adalah satu-satunya pabrikan yang memiliki kamera mirrorless full-frame, dan Nikon percaya kalau full-frame merupakan jalur yang tepat untuk bisa bersaing di kompetisi mirrorless sekaligus memenuhi permintaan konsumen dari kalangan profesional.

Rumor ini semakin diperkuat oleh bocoran hak paten yang diajukan Nikon terkait sepasang lensa baru untuk kamera mirrorless bersensor full-frame, yakni 52mm f/0.9 dan 36mm f/1.2. Meski tidak bisa dijadikan acuan, saya kira eksistensi kamera mirrorless full-frame dari Nikon hanya tinggal hitungan waktu.

Sumber: PetaPixel.

Kamera Superzoom Sony RX10 IV Sanggup Memotret Tanpa Henti dalam Kecepatan 24 fps

Sony baru saja mengumumkan generasi terbaru seri kamera superzoom-nya, RX10. Meski secara fisik RX10 IV identik dengan pendahulunya, performanya telah meningkat drastis berkat pengadopsian sejumlah teknologi yang dipinjam dari kamera mirrorless terbaik sekaligus termahal Sony saat ini, a9.

RX10 IV masih mempertahankan sensor 20 megapixel milik generasi sebelumnya, akan tetapi sensor berukuran 1 inci tersebut kini ditemani oleh prosesor Bionz X yang dipinjam dari Sony a9. Alhasil, RX10 IV sanggup memotret tanpa henti dalam kecepatan 24 fps, dengan posisi AF dan AE menyala. Saking cepatnya, hasil jepretannya bisa diubah menjadi video yang mulus.

Sony RX10 IV

Performa autofocus-nya juga ikut ditingkatkan, dan untuk pertama kalinya dalam seri RX10, Sony menyematkan sistem AF phase-detection. Total ada 315 titik AF yang bisa dipilih oleh pengguna, dan pengguna juga dapat mengoperasikannya via layar sentuh. Tidak hanya itu, kinerja AF Tracking-nya diyakini setara dengan Sony a9.

Mengingat seri RX10 banyak disukai oleh kalangan videografer, wajar apabila kapabilitas videonya turut mendapat perhatian khusus. RX10 IV mampu merekam dalam resolusi 4K 30 fps, atau 1080p 120 fps. Namun yang paling penting, opsi perekaman dalam format S-Log2 dan S-Log3 yang pada dasarnya merupakan format RAW untuk video juga tersedia di sini.

Sony RX10 IV

Lensa yang digunakan masih sama: 24-600mm f/2.4-4 buatan Carl Zeiss. Sony tidak lupa menyematkan optical image stabilization pada lensa tersebut yang mampu mengompensasikan guncangan hingga 4,5 stop. Selain layar sentuh, kamera juga dilengkapi viewfinder elektronik berpanel OLED dengan resolusi 2,36 juta dot.

Sony RX10 IV rencananya akan dipasarkan mulai bulan Oktober mendatang seharga $1.700, dimulai di pasar Amerika Serikat terlebih dulu.

Sumber: DPReview.

Kodak Printomatic Adalah Kamera Instan yang Amat Simpel

Praktis adalah kata kunci yang selalu melekat pada kamera instan. Bidik, jepret, lalu hasilnya bisa langsung dinikmati secara fisik. Premis praktis ini juga menjadi atribut utama kamera instan terbaru Kodak yang bernama Printomatic.

Sulit rasanya menemukan kamera instan yang lebih praktis dan simpel ketimbang Printomatic. Ia datang membawa sensor 10 megapixel dan dua mode pemotretan, yakni warna atau hitam-putih. Selain mencetak foto pada kertas ZINK (Zero Ink) berukuran 2 x 3 inci, Printomatic juga akan menyimpannya di dalam sebuah kartu microSD.

Printomatic mengemas sebuah viewfinder optik, flash, baterai rechargeable beserta indikatornya, plus indikator saat kamera sedang mencetak foto. Desainnya mengingatkan saya pada Polaroid Snap yang dirilis dua tahun silam, dan rupanya kedua kamera instan ini pada dasarnya adalah perangkat yang sama.

Kodak Printomatic

Hal ini dikarenakan yang memproduksi Printomatic adalah perusahaan bernama C+A Global yang mendapat lisensi dari Kodak. C+A sendiri ternyata juga bertanggung jawab atas Polaroid Snap, dan kedua kamera instan ini sama-sama didesain oleh studio bernama Ammunition Group, yang portofolionya mencakup produk seperti Beats Pill+.

Terlepas dari itu, Kodak Printomatic masih terkesan lebih simpel dibanding Snap, terutama berkat panel atas yang hanya dihuni oleh tombol shutter dan tuas mode pemotretan saja. Pemasarannya akan berlangsung mulai akhir September ini, dengan banderol $70 (sudah termasuk satu pak kertas ZINK berisi 10 lembar) dan dua pilihan warna: abu-abu atau kuning.

Sumber: DPReview dan The Verge.

Pertahankan Gaya Rangefinder, Fujifilm X-E3 Lebih Jago Urusan Video Plus Dibekali Layar Sentuh

Fujifilm baru saja memperkenalkan kamera mirrorless baru, X-E3. Tidak seperti X-E2S yang cuma membawa pembaruan minor, X-E3 merupakan suksesor sejati dari X-E2 yang diumumkan menjelang akhir tahun 2013. Hampir semua bagian X-E2 telah disempurnakan di sini, termasuk desain bergaya rangefinder-nya.

Yang paling utama adalah penggunaan sensor APS-C X-Trans III 24,3 megapixel seperti yang terdapat pada Fujifilm X-Pro2, X-T2 dan X-T20. Kualitas gambarnya pun meningkat drastis, dengan sensitivitas ISO 200 – 12800 (bisa di-expand hingga 100 – 51200), terutama dalam kondisi low-light seperti yang sudah dibuktikan oleh X-Pro2.

Fujifilm X-E3

Akan tetapi yang tidak kalah penting juga adalah opsi perekaman video 4K 30 fps yang dipelopori oleh X-T2. Saya sendiri sampai sekarang masih menggunakan X-E2, dan saya hampir tidak pernah memakainya untuk merekam video dikarenakan hasilnya bahkan lebih jelek dari kamera smartphone – ya, sebelum ada X-T2, kualitas video kamera mirrorless Fuji memang seburuk itu.

Semuanya sudah berubah sekarang. Fujifilm tak lagi payah untuk urusan video. Review X-T2 membuktikan kalau hasil rekaman videonya bisa sama bagusnya seperti hasil fotonya, dan pengguna bahkan dapat mengaktifkan efek Film Simulation selagi perekaman berlangsung. Ini saja sebenarnya sudah bisa menjadi indikasi betapa signifikannya kualitas video yang ditawarkan X-E3 dibanding pendahulunya.

Kualitas gambar dan video telah ditingkatkan, demikian pula untuk performa kamera secara keseluruhan. X-E3 mengemas sistem autofocus 325 titik yang sangat cekatan dalam mengikuti objek bergerak. Fujifilm bahkan mengklaim X-E3 bisa mengunci fokus pada objek yang bergerak dua kali lebih cepat ketimbang model sebelumnya berkat penerapan algoritma baru, sedangkan dalam mode burst X-E3 dapat menjepret tanpa henti dalam kecepatan 8 fps.

Fujifilm X-E3

Soal penampilan, sepintas X-E3 tampak mirip seperti pendahulunya tapi dengan dimensi yang sedikit lebih ringkas dan bobot lebih ringan. Panel atasnya hampir tidak berubah, terkecuali ada tuas untuk mengaktifkan mode Auto serta hilangnya pop-up flash – jangan khawatir, Fuji menyertakan flash eksternal yang bisa dipasang di hot shoe pada paket penjualannya.

Hand grip-nya telah disempurnakan, dan tepat di atasnya kini terdapat sebuah dial ekstra. Beralih ke belakang, Anda akan menjumpai layout tombol yang sangat rapi dan minimalis. Begitu minimalisnya, tombol empat arah di sisi kanan sudah tidak ada lagi di sini. Sebagai gantinya, X-E3 dapat dioperasikan menggunakan layar sentuh 3 inci beresolusi 1,04 juta dot.

Swipe ke atas, bawah, kiri dan kanan dapat menggantikan fungsi yang sebelumnya muncul ketika pengguna menekan tombol empat arah pada X-E2, dan semuanya dapat dikustomisasi sesuai kebutuhan. Menetapkan titik fokus dengan menyentuh layar seperti pada smartphone juga mungkin dilakukan di sini.

Fujifilm X-E3

Fuji tidak lupa menyematkan joystick kecil yang dapat dimanfaatkan untuk mengatur titik fokus bagi mereka yang lebih memilih kontrol bergaya konvensional. Di atas layar, viewfinder elektronik beresolusi 2,36 juta dot siap ditugaskan kapan saja pengguna membutuhkannya.

Selain Wi-Fi, X-E3 rupanya turut mengemas konektivitas Bluetooth LE yang memungkinkannya untuk terus terhubung ke smartphone atau tablet sehingga proses memindah gambar bakal terasa jauh lebih mudah. Di bagian samping, terdapat port micro-HDMI dan mikrofon, namun sayang tidak ada jack headphone.

Fujifilm X-E3 dijadwalkan tiba di pasaran mulai bulan September ini juga dalam pilihan warna hitam atau silver, dan dalam tiga konfigurasi: $900 untuk bodinya saja, $1.300 bersama lensa XF 18–55mm f/2.8–4, atau $1.150 bersama lensa XF 23mm f/2 R WR.

Sumber: DPReview.

Masih Simpel dan Praktis, Kamera 360 Derajat Ricoh Theta V Kini Bisa Merekam 4K

Ricoh Theta adalah salah satu kamera 360 derajat terpopuler yang ada di pasaran. Popularitasnya bukan semata karena statusnya sebagai salah satu pionir di ranah ini, tetapi juga karena desainnya yang simpel dan pengoperasiannya yang praktis. Kualitas gambar memang bukan atribut unggulannya, tapi semua itu berubah pada generasi kelimanya tahun ini.

Desain Ricoh Theta V secara garis besar tidak berubah. Yang dirombak adalah jeroannya, yang kini mencakup chipset Qualcomm Snapdragon 625 guna mendongkrak kemampuannya dalam mengolah gambar. Benar saja, Theta V sepasang sensor 12 megapixel-nya kini sanggup menghasilkan video 360 derajat dalam resolusi 4K, atau foto spherical dalam resolusi 14 megapixel.

Sensitivitasnya terhadap cahaya juga ikut naik, dengan ISO maksimum 3200 (6400 untuk video), naik dari 1600 pada Theta S (generasi ketiga). Ricoh bilang kalau dynamic range Theta V meningkat drastis dikarenakan mereka telah menerapkan sejumlah teknologi dari lini DSLR Pentax.

Ricoh Theta V

Bukan cuma kualitas videonya saja yang disempurnakan, audio pun turut dibenahi berkat penggunaan mikrofon omni-directional. Andai suara yang dihasilkan pada video masih kurang surround, Theta V juga bisa dipasangi aksesori opsional berupa mikrofon 3D – tersedia pula aksesori lain berupa casing anti-air untuk dibawa menyelam sampai kedalaman 30 meter.

Koneksi dengan smartphone bisa terus berlangsung secara konstan berkat konektivitas Bluetooth LE, sedangkan proses transfer gambar bisa berlangsung secara lebih cepat berkat Wi-Fi AC. Theta V kini dibekali kapasitas penyimpanan internal sebesar 19 GB, sanggup mengakomodasi sekitar 4.800 foto dan video dengan total durasi 40 menit.

Ricoh saat ini sudah memasarkan Theta V seharga $430. Aksesori mikrofon 3D-nya dibanderol $270, sedangkan underwater case-nya bakal menyusul di bulan Oktober seharga $200.

Sumber: DPReview.

Kecil tapi Tahan Banting, Sony RX0 Adalah Action Cam Unik yang Bisa Dijadikan Solusi Multi-Kamera

Pada perhelatan IFA 2017, Sony memperkenalkan sebuah kamera yang sangat unik. Dinamai RX0, sepintas ia kelihatan seperti sebuah action cam. Namun setelah mengamati fitur-fiturnya, kita akan sadar bahwa ia lebih dari sekadar kompetitor GoPro.

Desainnya memang sangat action cam, berwujud balok mini dengan dimensi 59 x 40,5 x 29,8 mm dan bobot cuma 110 gram. Namun jangan sekali-kali tertipu oleh ukurannya, sebab RX0 telah dirancang dengan ketahanan luar biasa. Jatuh dari ketinggian 2 meter bukan masalah besar baginya, dan ia juga siap diajak menyelam sampai 10 meter di bawah air – 100 meter dengan bantuan casing opsional.

Sony RX0

Di dalamnya bernaung sensor Exmor RS berukuran 1 inci dengan resolusi 15,3 megapixel. Dipadukan dengan lensa fixed Zeiss Tessar T* 24mm f/4, kualitas gambarnya sejatinya tidak perlu diragukan. Performanya juga tidak kalah mumpuni, sanggup memotret dalam format RAW dengan kecepatan 16 fps, dan shutter speed-nya bisa didongkrak sampai 1/32.000 detik.

Opsi perekaman videonya juga sangat beragam. Mode slow-motion bisa diaktifkan dalam kecepatan hingga seekstrem 960 fps, atau 240 fps dengan resolusi nyaris 1080p. Mode S-Log2 pun turut hadir, memungkinkan kamera untuk merekam video dalam format yang sejatinya mirip RAW di mode pemotretan.

Sony RX0

Lalu apa yang membuatnya lebih dari sekadar action cam? Jawabannya adalah potensinya untuk dijadikan sebagai solusi multi-kamera, semisal untuk membuat video 360 derajat. Menggunakan bantuan aksesori opsional, pengguna dapat menyambungkan hingga 15 unit RX0 sekaligus dan mengoperasikan semuanya secara bersamaan – atau hingga 5 unit secara wireless dengan bantuan aplikasi PlayMemories di perangkat mobile.

Kesimpulannya, Sony RX0 bukan sembarang kompetitor GoPro yang dimaksudkan untuk digunakan secara individual saja. Kamera ini dijadwalkan masuk ke pasaran mulai Oktober mendatang dengan harga $700.

Sumber: DPReview dan Sony.