Melalui Smartphone Spesialis Selfie F1, Oppo Prakarsai Konsep ‘Camera Phone’

Fakta bahwa kata ‘sefie‘ resmi masuk di kamus Oxford menunjukkan besarnya dampak dari kapabilitas kamera smartphone. Rasanya belum lama, video call merupakan alasan mengapa orang memilih handset dengan kamera depan yang handal, tapi kini selfie menjadi daya tarik tersendiri. Smartphone spesialis self-portrait bukanlah pemandangan baru, namun ada hal menarik dari produk seri F milik Oppo.

Di awal Januari silam, produsen consumer electronics Tiongkok ini memublikasikan teaser keluarga baru di deretan produk smartphone-nya, dinamai seri F. Dan Oppo sepertinya tidak ingin membuat Anda menanti terlalu lama. Pada tanggal 3 Februari 2016, mereka resmi meluncurkan Oppo F1 ke pasar Indonesia. Device dideskripsikan sebagai ‘Selfie Expert’ dan bersamanya, Oppo mencoba menggagas konsep Camera Phone.

Oppo F1 02

Ranah fotografi mobile ialah aspek pertama yang Oppo bahas dalam presentasinya. Saya melihat ilustrasi menarik mereka tampilkan pada layar: seolah-olah F1 merupakan kotak make-up. Kamera depan dibekali sensor 8-megapixel sebesar 0,25-inci dengan lensa ber-aperture f/2.0. Produsen bilang, komposisi tersebut memungkinkan lebih banyak cahaya masuk – lebih cerah 44 persen dari f/2.4 di kondisi temaram. Ia juga 30 persen lebih jernih dibanding kamera 5-Mp.

Oppo F1 12

Di sisi perangkat lunak, kamera depan dilengkapi fitur Beautify 3.0. Bagi Anda yang sering menggunakan smartphone untuk ber-selfie, fungsinya terdengar cukup familier: mencerahkan kulit wajah dan menyingkirkan keriput serta bekas jerawat. Anda dipersilakan menentukan tiga mode beautification berbeda atau menambahkan filter.

Oppo F1 03

Tak seperti ZenFone Selfie, F1 memang tidak mempunyai dual LED flash di sisi depan. Sebagai gantinya, Oppo membubuhkan kemampuan Screen Flash. Fitur ini mengubah seluruh layar handset menjadi flash, dioptimalkan sedemikian rupa supaya hasil tak cuma jelas dan cerah, tapi juga natural. Oh, Anda bisa mengaktifkan shutter tanpa menekan tombol: cukup lewat gerakan tangan atau perintah suara ‘cheese‘.

Oppo F1 09

Kamera utama di belakang mengusung sensor ISOCELL 13-megapixel, ditopang teknologi Pure Image 2.0+ untuk memberikan Anda keleluasaan berkreasi. Berkat phase detection autofocus, proses pencarian fokus diklaim hanya memakan waktu 0,1 detik. Handset memanfaatkan fitur anti-shake optimization, secara otomatis menyortir gambar terbaik dari foto-foto yang diambil secara berurutan. Selain Beautify 3.0, mode-mode Pure Image 2.0+ meliputi Colorful Night, Expert Mode, Double Exposure serta After Focus.

Oppo F1 04

Oppo F1 05

Oppo F1 11

Desain turut menjadi perhatian utama Oppo. Tubuh F1 tersusun atas material logam aluminium, ‘diolah’ bersama zircon, lalu coating diaplikasikan dalam tekanan serta suhu rendah. Langkah-langkah rumit itu katanya diambil agar smartphone tampil atraktif dan lembut saat disentuh. Berkat struktur unibody, Oppo bisa meminimalisir ketebalan smartphone; F1 mempunyai ukuran 143,5x71x7.3mm dan bobot 134-gram.

Oppo F1 10

Oppo F1 13

Layar melengkung 2.5D selebar 5-inci di sana berperan sebagai ruang Anda mengakses konten mobile. Display IPS tersebut menyimpan resolusi sebesar 720p berkepadatan 294ppi. Untuk menjaganya dari goresan, panel diproteksi lapisan Corning Gorilla Glass 4. Oppo menghadirkan teknologi bernama screen self-refresh, di mana F1 secara otomatis dapat menyesuaikan frekuensi refresh layar demi memaksimalkan daya tahan baterai.

Oppo F1 07

Oppo F1 06

Oppo F1 08

Di dalam, terdapat system-on-chip Qualcomm Snapdragon 616 dengan prosesor octa-core Cortex-A53 1,7GHz dan chip grafis Adreno 405. Selain itu ada RAM 3GB, memori internal 16GB, slot microSD buat ekspansi (kompatibel sampai 128GB), serta baterai non-removable 2.500mAh. Oppo berjanji, “F1 mampu menjalankan berbagai aplikasi secara bersamaan dan melakukan banyak hal”.

Dalam diskusi singkat bersama CEO Ivan Lau, ia menjelaskan bahwa tema Camera Phone adalah arahan utama bagi seri F. Handset-handset Oppo sebelumnya (terutama varian high-end) memang mempunyai kemampuan selfie/fotografi yang tak kalah apik, namun seri F sendiri ditargetkan bagi konsumen berusia ‘muda’. Ada indikasi juga, pengenalan Camera Phone akan memengaruhi strategi Oppo ke depan.

Oppo F1 14

Gerbang pre-order Oppo F1 sudah dibuka lewat situs Blibli.com, dan berlangsung sampai tanggal 8 Februari nanti. Oppo menyediakan dua pilihan warna, yaitu gold dan rose gold. Setelah periode penjualan online rampung, F1 akan mulai dipasarkan secara offline. Satu unit smartphone itu dijajakan di harga Rp 3,5 juta.

Dengan kisaran harga yang tak jauh berbeda, akan seru melihat duel antara Oppo F1 dan ZenFone Selfie.

Olympus Coba Hidupkan Kembali Sejarah Mereka Lewat PEN-F

Entah kenapa kamera dengan desain yang retro tampak begitu manis di mata. Padahal seandainya ada smartphone yang desainnya terinspirasi ponsel lawas, saya kira penampilannya belum tentu menarik, malah bisa jadi kelihatan jelek.

Dalam beberapa tahun terakhir ini, pabrikan kamera memang sedang gencar-gencarnya menerapkan konsep desain retro pada produk-produk terbarunya. Kendati demikian, apa yang dilakukan Olympus baru-baru ini bisa dibilang sangatlah tidak umum. Mereka mencoba menghidupkan kembali salah satu kamera analognya di era 1960-an.

Kamera tersebut adalah Olympus PEN-F. Namanya sama persis seperti yang mereka rilis di tahun 60-an tersebut, dan desainnya pun juga sangat mirip, sanggup mengelabui orang-orang sampai mereka mengira bahwa ini merupakan kamera lawas.

Olympus PEN-F

Namun tentunya kesamaan PEN-F baru dengan versi lamanya ini hanya terbatas pada desainnya saja. Fitur dan teknologi yang disematkan sangat-sangat 2016. Salah satunya adalah sensor Micro Four Thirds 20 megapixel yang dibarengi oleh sistem image stabilization 5-axis. Perpaduan ini bisa dipastikan akan sangat membantu menghasilkan gambar berkualitas di kondisi minim cahaya.

Olympus pun turut membekali PEN-F dengan kemampuan pemotretan “Hi-Res” seperti yang diperkenalkan OM-D E-M5 Mark II tahun lalu. Pada dasarnya fitur ini akan memotret sejumlah gambar dan mengolahnya menjadi satu gambar beresolusi 50 megapixel ketika kamera ditempatkan di atas tripod.

Untuk urusan video, yang mendambakan opsi perekaman 4K mungkin akan sedikit kecewa – PEN-F hanya bisa merekam dalam resolusi maksimum 1080p. Namun paling tidak kamera ini sangat cekatan dalam membekukan aksi-aksi super-cepat berkat shutter speed maksimumnya yang bisa mencapai angka 1/8.000 detik.

Olympus PEN-F

Kembali bicara soal fisik, panel atas PEN-F dipenuhi oleh sederet kenop berbahan logam. Yang cukup menarik adalah sebuah kenop yang terletak di depan, di sisi kanan lensa. Kenop ini akan memberikan akses cepat ke sejumlah mode pemotretan kreatif seperti black and white maupun filter lainnya ala Instagram.

Di belakang, Anda akan disambut oleh layar sentuh 3 inci yang dapat diputar-putar sedemikian rupa. Layar ini turut ditemani oleh sebuah viewfinder elektronik yang mengemas panel OLED beresolusi tinggi.

Olympus PEN-F

Secara keseluruhan, apalagi jika menimbang dari segi fitur dan performa, PEN-F ini sangat mirip seperti kamera mirrorless unggulan Olympus, yakni OM-D E-M1. Harganya pun juga mirip ketika siap dipasarkan pada bulan Maret mendatang, yakni $1.200 body only – ia kompatibel dengan semua lensa Micro Four Thirds besutan Olympus, Panasonic maupun pabrikan-pabrikan lainnya.

Satu-satunya perbedaan paling menonjol adalah, bodi PEN-F tidak weatherproof. Pun begitu, desainnya yang kelewat retro pasti bisa menjadi nilai plus tersendiri.

Sumber: Engadget dan Olympus.

Leica X-U Adalah Kamera Pertama Leica yang Siap Diajak Menyelam

Mendengar nama Leica, Anda pasti membayangkan sebuah kamera dengan harga selangit yang harus dirawat dengan penuh kasih sayang. Pastinya tidak ada orang yang cukup ‘gila’ untuk mengajak kamera seharga puluhan juta berenang dan mengambil potret dalam air begitu enaknya.

Namun Leica sepertinya ingin mengubah anggapan bahwa kamera-kamera besutannya tidak sanggup menahan keganasan cuaca maupun lingkungan di sekitarnya. Mereka pun merilis Leica X-U (Typ 113), kamera pertamanya yang dirancang secara khusus untuk keperluan fotografi outdoor dalam cuaca ekstrem maupun di dalam air.

Leica X-U (Typ 113)

Proses desain X-U tidak main-main. Guna menciptakan kamera yang benar-benar tahan banting namun tetap tampak minimalis dan elegan, Leica berkolaborasi dengan tim desain dari Audi. Hasilnya cukup fenomenal. Mau di padang pasir, atau ketika sedang ada hujan badai, atau malah saat Anda ajak mengabadikan taman laut Bunaken – ia bisa menyelam hingga kedalaman 15 meter selama satu jam – X-U siap digunakan kapan saja dan di mana saja.

Di balik keperkasaannya menantang alam tersebut, X-U masih menyimpan nilai khas Leica, yakni kualitas gambar tanpa kompromi. Sensor APS-C CMOS 16,2 megapixel miliknya berpadu manis dengan lensa Summilux 23 mm f/1.7 ASPH, yang menyimpan sebuah LED flash di atasnya. Ukuran sensor serta aperture lensa yang sangat besar ini menjadi jaminan akan keandalan performanya di kondisi minim cahaya.

Leica X-U (Typ 113)

Untuk urusan video, sayangnya X-U hanya terbatas pada 1080p atau 720p dalam kecepatan 30 fps. Padahal seandainya Leica turut menyematkan mode slow-motion, X-U bisa saja merangkap tugas action cam, apalagi mengingat bodi aluminiumnya tahan air dan debu, serta tidak keberatan Anda jatuhkan dari ketinggian 1,2 meter.

Leica X-U (Typ 113)

Leica X-U tidak punya viewfinder. Semua pengaturan komposisi dilakukan lewat LCD 3 inci beresolusi 920 ribu dot yang tertanam di belakang. Sejumlah tombol untuk mengubah setelan secara cepat turut tersedia, lengkap dengan kenop shutter speed dan aperture di panel atasnya.

Akhir Januari ini, Leica akan mulai memasarkan X-U seharga $2.950. Belum ada informasi kapan ia akan diboyong ke sini oleh Leica Store Indonesia.

Berikut adalah contoh hasil jepretan Leica X-U yang diambil oleh fotografer Jody MacDonald. Selengkapnya bisa Anda lihat langsung di situs resmi Leica.

Leica X-U (Typ 113) Sample Image

Leica X-U (Typ 113) Sample Image

Sumber: PetaPixel.

Kiba Camera Siap Abadikan Momen Tak Terduga di Rumah Secara Otomatis

Sehari-harinya, pasti ada momen berkenang yang terjadi secara tidak terduga di dalam rumah. Namun karena cuma di kediaman sendiri, kemungkinan kita tidak siap mengabadikannya dalam bentuk video. Kalau ada kamera pengawas, tidak masalah, meskipun kita masih harus mencari bagian yang diinginkan secara manual dari seluruh video yang direkam.

Tidak demikian untuk Kiba Camera. Kiba menolak untuk disebut sebagai kamera pengawas. Ia lebih nyaman diperlakukan sebagai sebuah sistem dokumentasi otomatis yang tidak akan melewatkan momen-momen tidak terduga tadi, tanpa harus menunggu instruksi dari Anda.

Kiba memanfaatkan petunjuk visual maupun suara guna menentukan kapan ia harus merekam dan kapan harus berhenti. Teknik ini diklaim sanggup memangkas hingga 90 persen rekaman yang kurang berarti, yang biasanya hanya menampilkan ruangan kosong tanpa ada peristiwa menarik sama sekali.

Setiap harinya, Kiba akan mengirimkan lima video berdurasi 20 detik ke smartphone pengguna. Video-video tersebut adalah momen-momen menarik yang ia tangkap dengan sendirinya. Ia pun juga dapat menggabungkan kelima video tadi menjadi sebuah video rumahan yang siap Anda bagikan ke berbagai media sosial.

Kendati demikian, pengguna juga memegang kontrol penuh atas Kiba. Yang menarik, pengguna bisa mengontrol Kiba dengan perintah suara, menyuruhnya untuk memulai perekaman video, atau memintanya menjadi juru potret saat Anda sekeluarga ingin mengambil foto selfie. Lebih lanjut, pengguna juga bisa menjadwalkan Kiba untuk mulai merekam pada jam-jam tertentu lewat aplikasi pendampingnya.

Semua video yang direkam Kiba punya resolusi 1080p 30 fps, sedangkan foto still-nya 13 megapixel. Pengguna bisa memilih untuk menyimpan hasil rekamannya di dalam perangkat maupun di cloud. Semuanya dijamin terenkripsi sehingga pengguna tak perlu khawatir soal keamanan privasinya.

Dari segi fisik, Kiba tergolong ringkas. Dimensinya tanpa dudukan hanya 90 x 90 x 75 mm, dengan bobot 270 gram. Anda bisa saja membawanya selagi bertamasya karena Kiba juga dilengkapi baterai berdaya tahan sekitar 3 jam. Konektivitasnya sendiri mencakup Wi-Fi, Bluetooth 4.0 dan USB 3.0.

Sejauh ini Kiba baru menerima pre-order. Harga yang ditawarkan adalah $199, tapi akan naik menjadi $329 setelah masa pre-order usai. Meski belum siap dipasarkan, Kiba sempat memenangi dua penghargaan di bidang inovasi pada ajang CES 2016 kemarin.

Fujifilm Luncurkan X70, Kamera Saku dengan Sensor APS-C dan Layar Sentuh

Setelah Panasonic, kini giliran Fujifilm yang menghadirkan rival sepadan buat Sony RX100 IV. Didapuk Fujifilm X70, ini merupakan kamera paling mungil dari lini X-Series yang mengemas sensor APS-C – memang ada yang lebih mungil, yakni XQ2, tapi ukuran sensornya tidak sebesar ini.

Dimensi X70 cuma berkisar 112,5 x 64,4 x 44,4 mm, dengan bobot total 340 gram. Memang masih sedikit lebih bongsor dibandingkan Sony RX100 IV, akan tetapi ukuran sensornya juga lebih besar – RX100 memakai sensor 1 inci, sedangkan X70 mengusung sensor APS-C, seukuran dengan yang dimiliki kamera mirrorless milik Fuji maupun kamera DSLR kelas entry.

Lalu apa manfaat dari sensor besar ini? Jawabannya adalah performa di kondisi minim cahaya. Semakin besar ukuran sensor, semakin baik hasil foto yang diambil pada kondisi remang-remang. Apalagi ditambah sensor milik X70 ini memakai teknologi X-Trans II yang sudah terbukti keandalannya lewat kamera-kamera seperti Fujifilm X-T1, X-T10, X-E2 dan lain sebagainya.

Fujifilm X70

Sensor ini punya resolusi 16,3 megapixel dan sensitivitas ISO maksimum 51.200. Hasil gambarnya bisa dipastikan sama persis dengan lini mirrorless Fuji, sedangkan video bisa ia rekam dalam resolusi maksimum 1080p 60 fps. Untuk urusan video, saya rasa Sony RX100 IV masih belum tertandingi. Tapi soal foto, sepertinya saya lebih menjagokan X70 ini.

Menemani sensor tersebut adalah lensa wide-angle 18,5 mm f/2.8. Lensa ini memang fixed, alias tidak bisa di-zoom, akan tetapi Fuji menjanjikan hasil jepretannya akan tampak tajam dari tengah hingga ke bagian ujung. Mengitari lensa ini adalah sepasang cincin berbahan aluminium untuk mengatur fokus maupun aperture sehingga pengoperasian bisa menjadi lebih mudah.

Bicara soal fokus, kinerja autofocus X70 juga tidak kalah dibanding kakak-kakak mirrorless-nya. Fuji turut menyematkan teknologi phase-detection ke dalam X70, memungkinkannya untuk mengunci fokus pada objek-objek bergerak dalam hitungan 0,1 detik. Singkat cerita, kecil kemungkinan Anda akan kehilangan momen, apalagi mengingat X70 bisa langsung digunakan 0,5 detik setelah tombol On/Off ditekan.

Fujifilm X70

Yang membuat X70 semakin menarik adalah kehadiran layar sentuh 3 inci di bagian belakangnya, yang berarti pengguna bisa menetapkan fokus hanya dengan menyentuh bagian layar. Ini merupakan pertama kalinya ada layar sentuh pada lini kamera X-Series Fujifilm. Dan lagi layar ini bisa diputar 180 derajat menghadap ke depan. Selfie, selfie, selfie dan selfie!

Fujifilm X70

Di panel atasnya, terdapat sepasang kenop untuk mengatur kecepatan shutter dan exposure compensation. Di saat yang sama, terdapat tuas berlabel Auto dimana kamera akan menyesuaikan kondisi pencahayaan dengan sendirinya saat mengambil foto, sangat ideal buat pengguna yang masih awam dengan teknik-teknik fotografi.

Di angka $700, Fujifilm X70 bisa menarik perhatian konsumen umum maupun para fotografer profesional yang tengah mengincar kamera cadangan untuk dipakai saat travelling – atau mereka bisa saja langsung melirik Fujifilm X-Pro2 yang juga baru saja dirilis. Fuji berencana untuk memasarkannya mulai bulan Februari mendatang.

Sumber: Fujifilm.

Leica Luncurkan Tiga Lensa Baru untuk Lini Leica M

Kabar gembira buat para pemilik kamera mirrorless Leica. Brand kenamaan asal Jerman tersebut belum lama ini menghadirkan tiga lensa baru yang pada dasarnya merupakan penerus modern dari versi lamanya. Ketiganya adalah Leica Summicron-M 28 mm f/2 ASPH, Leica Elmarit-M 28 mm f/2.8 ASPH dan Leica Summicron-M 35 mm f/2 ASPH.

Leica mengklaim ketiga lensa baru ini mengemas konstruksi yang lebih kokoh. Sebagai bukti, semuanya bakal disertai penutup lensa berbahan logam serta lens hood yang juga terbuat dari logam sepenuhnya. Di saat yang sama, ketiga juga bisa menghasilkan kualitas gambar yang lebih baik berkat optimalisasi desain optiknya.

Lensa yang pertama, yakni Summicron-M 28 mm f/2 ASPH, ditakdirkan untuk menjadi senjata andalan fotografer ketika berhadapan dengan kondisi cahaya yang menyulitkan, alias gelap. Meski aperture-nya begitu besar, Leica menjamin hasil tangkapannya akan tetap tajam dari ujung ke ujung.

Yang kedua, Elmarit-M 28 mm f/2.8 ASPH, bakal mengundang banyak perhatian karena ia merupakan yang paling mungil dari ketiganya – meski dua lainnya juga masih tergolong cukup ringkas. Leica beranggapan lensa ini akan sangat ideal bagi para street photographer atau jurnalis, terlebih mengingat resolusinya jauh lebih baik dari versi sebelumnya sekaligus bebas distorsi.

Terakhir, Summicron-M 35 mm f/2 ASPH sengaja dibuat bagi para penggemar bokeh. Lensa ini punya 11 bilah aperture, sanggup menghasilkan biasan titik-titik cahaya yang lembut dan berbentuk bulat melingkar, bukan oktagonal seperti yang biasa dihasilkan oleh lensa kit kamera-kamera mirrorless atau DSLR kelas standar.

Ketiga lensa baru untuk lini kamera Leica M ini bakal tersedia di Leica Store Indonesia. Sayangnya, belum ada keterangan terkait kapan dan berapa harga pastinya. Kalau mengacu pada harganya di Amerika Serikat, Summicron-M 28 mm f/2 ASPH dibanderol seharga $3.995, Elmarit-M 28 mm f/2.8 ASPH seharga $2.195 dan Summicron-M 35 mm f/2 ASPH seharga $2.795.

Fujifilm X-Pro2 Dirilis, Usung Sensor Baru, Hybrid Viewfinder dan Performa di Atas Rata-Rata

Setelah dinanti-nanti selama beberapa tahun, Fujifilm akhirnya merilis suksesor dari kamera mirrorless pertamanya. Bernama Fujifilm X-Pro2, kamera ini masih mempertahankan segala kebaikan pendahulunya selagi membawa peningkatan yang begitu signifikan.

Yang paling utama adalah penggunaan sensor APS-C CMOS X-Trans III yang benar-benar gres. Secara garis besar, sensor ini sama jagonya dengan varian X-Trans terdahulu. Hanya saja, resolusinya kini meningkat drastis menjadi 24,3 megapixel, dan sensitivitas ISO-nya ikut naik menjadi 12.800.

Keandalan sensor gambar ini turut didukung oleh sebuah prosesor baru yang diklaim empat kali lipat lebih gesit daripada sebelumnya. Alhasil, Fujifilm tak segan menyebut X-Pro2 sebagai kamera mirrorless-nya yang paling responsif saat ini.

Fujifilm X-Pro2

Segesit apa memang? Hanya 0,4 detik sejak dinyalakan, ia sudah bisa dipakai untuk mengambil gambar. Interval pengambilan gambar tentu juga bertambah cepat, tepatnya di angka 0,25 detik. Dan yang pasti, performa autofocus-nya kini juga semakin kencang, dapat mengunci fokus dalam waktu 0,06 detik saja.

Kinerja autofocus yang dimiliki X-Pro2 semakin sempurna dengan bertambah banyaknya titik fokus yang bisa dijangkau. Total ada 273 titik fokus yang bisa dipilih, 77 di antaranya mengadopsi teknologi phase-detection agar pengguna dapat mengunci fokus pada objek bergerak.

Kinerja autofocus yang cepat dan akurat ini bahkan masih bisa diandalkan ketika memotret dalam mode continuous dengan kecepatan 8 fps. Semuanya akan kian lengkap berkat kemampuan shutter mekanik X-Pro2 yang kini bisa mencapai angka 1/8.000 detik, sangat cocok untuk ‘membekukan’ aksi-aksi dalam kecepatan tinggi.

Fujifilm X-Pro2

Sensor baru, prosesor baru, X-Pro2 juga mengemas viewfinder yang sangat canggih. Viewfinder ini mengadopsi sistem hybrid, yang artinya pengguna bisa berganti antara viewfinder optik atau elektronik beresolusi 2,36 juta dot dengan cepat. Terdapat pula mode khusus dimana pengguna bisa menggunakan keduanya secara bersamaan; optik, tapi di ujung bawah kanan ada tampilan viewfinder elektronik untuk mengecek fokus maupun pengaturan exposure.

Dari segi fisik, di sinilah X-Pro2 banyak mempertahankan elemen-elemen positif yang diusung pendahulunya. Desainnya masih sangat retro, tapi juga terasa premium berkat rangka magnesium dan sederet kenop yang terbuat dari aluminium. Tapi yang lebih penting, bodi X-Pro2 tahan terhadap cuaca ekstrem; bisa dipakai saat hujan deras atau ketika berada di lokasi dengan suhu -10 derajat Celsius.

Fujifilm X-Pro2

Di belakang, Anda akan disambut oleh LCD 3 inci dengan resolusi 1,62 juta dot. Sayangnya, LCD ini bukan layar sentuh dan tidak bisa dimiringkan. Untuk menutupi kekurangan ini, Fujifilm menyematkan sebuah joystick kecil di sisi kanan atas layar, yang bisa dimanfaatkan untuk mengatur letak titik fokus dengan mudah dan cepat.

Secara keseluruhan, X-Pro2 bisa dipastikan semakin oke dalam hal pengoperasian, apalagi mengingat handgrip-nya sedikit lebih gemuk ketimbang sebelumnya. Keunikan lain X-Pro2 ada pada sisi kanannya, dimana untuk pertama kalinya buat kamera Fujifilm, terdapat slot SD card ganda.

Penggemar kamera mirrorless maupun para fotografer profesional tentunya sudah tidak sabar menanti kehadiran Fujfilm X-Pro2. Pemasarannya akan dimulai bulan Februari mendatang, dengan banderol harga $1.700 untuk bodinya saja. Namanya saja “Pro”, jelas harganya juga ikut pro.

Sumber: Fujifilm.

Cuma $200, Action Cam Terbaru Sony Mudah Digunakan

Persaingan GoPro dan Sony di ranah action cam terus berlanjut sampai ke kelas budget. Kalau GoPro punya Hero+, Sony belum lama ini memperkenalkan rival sepadan buatnya, yakni HDR-AS50. Menurut Sony sendiri, ini merupakan action cam-nya yang paling mudah untuk dioperasikan.

Kemudahan pengoperasian itu disampaikan dalam wujud tampilan menu kamera yang lebih rapi, dengan iconicon berukuran besar yang amat jelas maksudnya. Tombol pengoperasian di bagian sisinya pun ikut membesar. Hal ini rupanya didasari oleh banyaknya masukan yang diterima Sony dari para konsumen.

Sony HDR-AS50

Dari segi desain, HDR-AS50 tampak begitu minimalis. Sony telah menyematkan sensor Exmor R 11,1 megapixel, dengan kemampuan merekam video dalam resolusi maksimum 1080p 60 fps, sama persis seperti GoPro Hero+. Kendati demikian, Sony turut membubuhkan opsi perekaman dalam format XAVC S demi menghasilkan kualitas gambar yang lebih baik dalam ukuran file yang lebih kecil.

Peningkatan kualitas ini turut didukung oleh teknologi image stabilization yang diklaim tiga kali lipat lebih efektif dari sebelumnya. Sony pun tak lupa membekali HDR-AS50 dengan lensa f/2.8 besutan Carl Zeiss. Uniknya, lensa ini bisa diatur sudut pandangnya antara lebar dan sempit, serta bisa melakukan zooming.

Sony Live-View Remote for action cam

Melengkapi semua itu adalah aksesori opsional Live-View Remote. Aksesori ini bisa dipasangkan ke strap lalu dikenakan di pergelangan tangan, memberikan pengguna akses ke seluruh fungsi action cam itu sendiri, mulai dari memulai dan menghentikan perekaman sampai menyala-matikan kamera. Keberatan mengeluarkan dana lebih? HDR-AS50 masih bisa dikontrol dari kejauhan menggunakan smartphone atau tablet.

Sony HDR-AS50 rencananya akan dipasarkan mulai bulan depan seharga $200 saja, sudah termasuk casing anti-air yang akan melindunginya sampai kedalaman 60 meter. Bersamaan dengan itu, Sony juga akan memasarkan bundle HDR-AS50R seharga $350 yang mencakup aksesori Live-View Remote.

Sumber: Sony.

Dengan Soloshot 3, Anda Tak Lagi Butuh Juru Kamera Saat Merekam Video

Bakat skateboarding ada, action camera ada, tapi mana juru kameranya? Ketika Anda sendirian seperti ini, mungkin bakal kesusahan menciptakan video aksi akrobatik yang super keren. Pasalnya, kalau hanya mengandalkan tripod, Anda harus mondar-mandir memindah posisi tripod dan kamera guna mengambil gambar dari sudut yang berbeda.

Kalau ada teman yang bisa ditunjuk sebagai juru kamera, semuanya pun akan jauh lebih mudah. Akan tetapi ini bukan satu-satunya opsi yang tersedia. Jika Anda bersikeras mengabadikan aksi Anda sendirian, Anda mungkin butuh perangkat bernama Soloshot 3 ini.

Soloshot 3 pada dasarnya merupakan sebuah robot yang ‘menyamar’ menjadi sebuah kamera. Mengapa robot? Karena ia bisa beroperasi dengan sendirinya tanpa bantuan Anda sama sekali. Di saat yang sama, pandangannya akan terus fokus ke Anda selagi perekaman tengah berlangsung.

Soloshot 3 Tag

Rahasianya terletak pada komponen yang bernama Soloshot Tag. Ukurannya sangat kecil, bisa Anda simpan di dalam saku dengan mudah. Selanjutnya bagian utama Soloshot yang merupakan komponen kamera itu sendiri akan mengikuti ke mana pun Tag Anda bawa. Selama Anda berada dalam jangkauan sekitar 600 meter, Soloshot akan terus mengarahkan kameranya ke Anda.

600 meter? Apakah Anda bakal kelihatan begitu kecil di video? Tidak, karena Soloshot 3 telah didampingi oleh dua pilihan lensa dengan jangkauan yang amat panjang: Optic25 (25x optical zoom) atau Optic65 (65x optical zoom). Keduanya sekaligus mengemas sensor gambar 1/2,3 inci beresolusi 12 megapixel. Namun bedanya, Optic65 sanggup merekam video dalam resolusi 4K 30 fps maupun 1080p 120 fps.

Bagian utama Soloshot disebut dengan istilah Base. Dalam kasus ini juga ada dua opsi yang bisa dipilih konsumen: standar atau Pro. Keduanya sama-sama bisa dipasangi lensa Optic25 atau Optic65 tadi maupun kamera lain via bantuan adapter. Namun khusus versi yang Pro, pengguna bahkan bisa memasangkan kamera yang berukuran lebih besar seperti DSLR.

Soloshot 3 Pro Base

Namun kalau menggunakan kamera lain, sejatinya kita bakal membatasi kemampuan sebenarnya dari Soloshot 3. Mengapa? Karena yang Anda perlukan benar-benar cuma memasangnya di atas tripod lalu menyalakannya. Ketika Anda mulai menjauh darinya, zooming pun akan dilakukan secara otomatis.

Ingin mengambil dari sudut yang berbeda? Pindahkan Soloshot sekaligus bersama tripod-nya, maka ia tetap akan terus mengarahkan kameranya menuju Anda yang tengah mengantongi komponen Tag.

Lebih hebat lagi, Soloshot 3 telah mendukung fungsi livestreaming. Atau kalau Anda mau menyelesaikan sesi perekaman terlebih dahulu, nantinya aplikasi pendamping milik Soloshot pun juga bisa melakukan penyuntingan secara otomatis berdasarkan momen-momen yang ia tandai selama perekaman berlangsung – Anda juga bisa menandai secara manual dengan mengetuk Tag sebanyak tiga kali.

Soloshot 3 sendiri sebenarnya merupakan iterasi ketiga. Tim pengembangnya mengaku telah menerima banyak masukan dari pengguna versi pendahulunya guna menciptakan robot kamera yang lebih sempurna lagi.

Soal harga, ada tiga macam bundle yang ditawarkan: 1) Soloshot3 + Optic 25 seharga $599, 2) Soloshot 3 + Optic65 seharga $899, dan 3) Soloshot 3 Pro + Camera Adapter seharga $ 699, belum termasuk komponen kameranya. Pemasaran akan dimulai pada musim semi tahun ini juga.

Panasonic Lumix TZ100 Adalah Rival Sepadan untuk Sony RX100 IV

Tahun kemarin, Sony RX100 IV semakin membuktikan dirinya sebagai salah satu kamera pocket terbaik yang pernah ada; performanya di kondisi minim cahaya luar biasa, diimbuhi dengan kemampuannya merekam video 4K yang amat tajam. Namun Sony harus awas, karena Panasonic baru-baru ini menghadirkan kamera baru yang siap menandingi RX100 IV.

Kamera tersebut adalah Panasonic Lumix TZ100. Seperti milik Sony, dirinya juga mengemas sensor berukuran 1 inci yang jauh lebih besar ketimbang standar kamera saku, dengan rentang ISO berkisar antara 80 sampai 25.600. Ukuran penampang sensor yang lebih luas ini sudah terbukti sanggup menghasilkan gambar yang lebih jernih dan mendetail di kondisi remang-remang.

Tak cuma itu, sensor 20,1 megapixel ini juga siap merekam video dalam resolusi 3840 x 2160, baik di kecepatan 24 maupun 30 fps. Satu-satunya kelemahan ZS100 dibanding Sony RX100 IV adalah, ia tak punya mode perekaman slow-motion dalam kecepatan yang sangat tinggi; opsi perekaman full-HD miliknya cuma terbatas di kecepatan 60 fps saja.

Panasonic Lumix TZ100

Namun kelemahan itu rupanya masih bisa ditutupi oleh dua fitur lain yang unik buatnya sendiri: hybrid optical image stabilization 5-axis serta lensa zoom f/2.8-5.9 dengan jangkauan yang amat jauh, yakni 25-200 mm (10x zoom) – bandingkan dengan milik RX100 IV yang cuma 24-70 mm. Soal optiknya, kalau Sony mengandalkan rancangan Carl Zeiss, Panasonic masih setia dengan buatan Leica.

Di sisi lain, performa TZ100 juga tak bisa dibilang lamban. Dalam mode burst, ia dapat menjepret foto secara kontinyu dalam kecepatan 10 fps, atau 5 fps dengan autofocus. Panasonic turut membekalinya dengan fitur Post Focus yang inovatif sekaligus sangat bermanfaat.

Dari segi fisik, ukurannya memang sedikit lebih besar daripada RX100 IV, tepatnya di angka 110,5 x 64,5 x 44,3 mm – masih cukup kecil untuk disimpan di dalam saku. Selain layar sentuh 3 inci beresolusi 1,04 juta dot, panel belakangnya juga dilengkapi oleh electronic viewfinder (EVF) beresolusi 1,17 juta dot.

Panasonic Lumix TZ80

Bersamaan dengan itu, Panasonic juga memperkenalkan kamera Lumix TZ80, yang merupakan versi lebih terjangkau dari TZ100. Model ini juga bisa merekam video 4K, tapi ukuran sensornya jauh lebih kecil, yakni standar 1/2,3 inci dengan resolusi 18 megapixel. Kendati demikian, jangkauan lensa f/3.3-6.4 miliknya justru lebih jauh, tepatnya 24-720 mm, atau sekitar 30x zoom.

Kedua kamera ini rencananya bakal segera meluncur ke pasaran mulai Maret mendatang. Panasonic Lumix TZ100 dihargai $700, sedangkan TZ80 $450.

Sumber: Panasonic dan Gizmag.