Mengenal Duan “Candice” Yushuang, Host Turnamen League of Legends Terbesar Dunia

League of Legends Pro League (LPL) adalah liga League of Legends di Tiongkok. Dengan total view mencapai 30 miliar view, LPL merupakan liga LoL terbesar di dunia. Riot Games menggunakan model franchise untuk LPL, yang berarti, tim harus membayar setidaknya 80 juta yuan (sekitar Rp161,1 miliar) untuk dapat berlaga di turnamen bergengsi tersebut. Saat ini, sumber pendapatan terbesar LPL adalah hak siar media, yang dijual pada berbagai perusahaan seperti Huya, DouYu, Penguin Esports, BiliBili, WeChat Live, Weibo, Tencent Video, dan Tencent Sports.

Duan “Candice” Yushuang merupakan host dari LPL. Satu hal yang unik dari Yushuang adalah karena karirnya di esports League of Legends masih sangat pendek. Dia lulus sebagai sarjana English Broadcasting and Anchoring dari Communication University of China pada 2015. Satu tahun setelah itu, dia mulai masuk ke dunia esports. Itu artinya, dia baru memiliki pengalaman sekitar tiga tahun. Sebagai perbandingan, esports host terkenal lainnya, seperti Eefje “sjokz” Depoortere atau Paul “Redeye” Chalone memiliki pengalaman sekitar 6 sampai 20 tahun. Di Indonesia, Gisma Priayudha Assyidiq yang dikenal dengan nama “Melon” mulai terjun ke dunia penyelenggaraan turnamen esports sekitar tahun 2012.

“Pada April 2016, saya melihat lowongan pekerjaan dari Riot Games sebagai esports host di Shanghai, dan saya coba untuk melamar posisi tersebut,” kata Yushuang pada The Esports Observer. “Itu adalah pekerjaan paruh waktu dan saat itu, saya sudah memiliki pekerjaan tetap sebagai DJ di stasiun radio di Beijing. Setiap akhir pekan, saya harus terbang dari Beijing ke Shanghai pada pukul 6 pagi di hari Jumat dan mengambil penerbangan terakhir untuk kembali ke Beijing pada hari Minggu. Semua biaya transportasi saya tanggung sendiri.” Dia mengaku, dia tidak terlalu memperhitungkan untung-rugi dari keputusannya. Dia rela melakukan semua itu karena dia memang senang dengan game dan komunitas League of Legends.

Yushuang mencium Summoner's Cup. | Sumber: The Esports Observer
Yushuang mencium Summoner’s Cup. | Sumber: The Esports Observer

Pada 2016, League of Legends World Championship diadakan di Amerika Serikat. Turnamen tersebut diadakan di San Francisco, New York, Chicago, dan Los Angeles selama dua bulan. Ini memaksa Yushuang untuk memilih apakah dia akan mempertahankan pekerjaan tetapnya atau berhenti dari pekerjaannya sebagai DJ dan fokus pada esports League of Legends. Dia memilih untuk mengejar karir di esports. Satu tahun kemudian, dia bergabung dengan Shanghai Dominion, perusahaan produksi dan perencanaan esports milik Riot Games. Di tahun yang sama, Riot mengadakan LWC di Tiongkok. Sebagai host, Yushuang diingat berkat pakaiannya yang mencerminkan budaya Tiongkok dan kemampuannya untuk melakukan wawancara dengan Bahasa Inggris yang lancar.

“Saya percaya, jika cukup cakap, Anda akan mendapatkan perhatian,” kata Yushuang. Pada 2018 dan 2019, popularitas LPL terus naik. Jumlah tim yang berpartisipasi dalam LPL bertambah menjadi 16 tim, lebih banyak dari jumlah tim di liga-liga LoL regional lainnya. Tak hanya itu, sponsor LPL juga bertambah menjadi 13, termasuk perusahaan internasional, seperti Nike, KFC, Intel, dan Mercedes-Benz. Salah satu alasan esports League of Legends menjadi populer di Tiongkok adalah karena performa tim lokal yang sangat baik. Pada 2018, Royal Never Give-Up memenangkan Mid-Season Invitation (MSI) sementara Invictus Gaming memenangkan League of Legends World Championship. Pada tahun ini, FunPlus Phoenix memenangkan LWC 2019. Ketiga tim adalah tim asal Tiongkok.

Dengan semakin banyak perusahaan yang menjadi sponsor LPL, pekerjaan Yushuang pun bertambah. Dia tak hanya menjadi host turnamen, tapi juga ikut serta dalam berbagai kegiatan bersama fans, perusahaan sponsor, dan bahkan pemerintah kota di Tiongkok. Salah satu acara yang dia ikuti adalah LPL Go on World, tur international hasil kerja sama Mercedes-Benz dengan LPL. Tur ini mencakup Beijing, Hangzhou, Chongqing, Chendu, Xi’an, Moscow, Stuttgart, dan Berlin.

Sumber: The Esports Observer
Sumber: The Esports Observer

“Menjadi host dari acara sponsor berbeda dari menjadi host dari kompetisi LPL,” kata Yushuang. “Lebih sulit menjadi host dari kompetisi karena acara disiarkan secara live, dan saya harus memilih kata dan pertanyaan yang saya lontarkan dengan sangat hati-hati. Untuk acara perusahaan, satu hal yang paling penting adalah engagement antara merek dan fans, membuat konten yang menarik bagi fans, merek, dan pemerintah kota.” Dia menambahkan, dia merasa senang karena pemerintah Tiongkok mulai melihat pentingnya esports sebagai industri. Memang, pemerintah Shanghai bahkan berencana menjadikan kota Shanghai sebagai “ibukota esports” dalam waktu beberapa tahun ke depan.

Karir Yushuang tidak sepenuhnya mulus. Dia juga menghadapi masalah, seperti kritik dari komunitas, khususnya di internet. Namun, dia mengaku tidak mau ambil pusing. “Di internet, tidak peduli sehebat apa Anda, akan tetap ada orang yang tidak suka dengan Anda. Terkadang, orang akan mengubah pendapat mereka dan melupakan kritik mereka. Saya hanya ingin menunjukkan bagian terbaik dari pekerjaan saya pada orang-orang yang mendukung saya, untuk menunjukkan bahwa dukungan mereka tidak sia-sia,” katanya.

Sementara untuk rencananya ke depan, Yushuang mengaku dia ingin fokus pada apa yang dia miliki sekarang. “Saya senang dengan League of Legends dan saya ingin memberikan semua semangat dan energi yang saya miliki ke pekerjaan saya sekarang. Saya tidak seperti orang lain yang memiliki rencana jangka panjang. Saya percaya, emas akan tetap bersinar, tak peduli dimana ia berada. Jadi, saya akan menikmati apa yang saya punya sekarang.”

ESL Collegiate Gandeng Dua Asosiasi Olahraga Kampus Untuk Kompetisi League of Legends

ESL mengumumkan kerja samanya dengan West Coast Conference (WCC) untuk ESL Collegiate Fall 2019 Season. Ini akan semakin melengkapi jajaran tim kampus untuk mengikuti program kompetisi tingkat universitas milik ESL. Ini bukan kali pertama ESL menggandeng asosiasi olahraga tingkat universitas di Amerika Serikat.

Mengutip Esports Insider, ESL malah sudah menggandeng Big East Conference pada bulan Oktober 2019 lalu untuk melaksanakan program percobaan bernama Big East Invitational Powered by ESL, yang mempertandingkan Rocket League.

WCC dan Big East Conference merupakan dua asosiasi besar yang meregulasi kegiatan olahraga tingkat universitas di dua wilayah besar Amerika Serikat, yaitu barat dan timur. Asosiasi tersebut terafiliasi dengan National Collegiate Athletic Association (NCAA), sebuah organisasi yang meregulasi kegiatan olahraga tingkat universitas secara nasional.

Hubungan esports dengan universitas terbilang berjalan dengan cukup baik di Amerika Serikat. Sudah banyak gerakan terkait esports dan universitas, seperti penawaran beasiswa untuk pemain Super Smash Bros di Universitas Kalifornia, ataupun kolaborasi antara klub esports besar dengan universitas untuk memperkuat esports di dunia akademik.

Sumber: Kansascity.com
Sumber: Kansascity.com

Mengutip rilis resmi dari WCC arti kerja sama ini adalah, sekolah yang berada di bawah naungan WCC akan mengikuti pertandingan ESL Collegiate 2019 Pre-season Invitational, yang sudah dimulai sejak 8 Desember 2019 lalu. Mempertandingkan League of Legends, unversitas satu akan berhadapan dengan universitas lain yang ada dalam satu naungan conference.

“Hubungan yang kuat dengan para publisher, ditambah keahlian mereka di bidang esports, membuat ESL jadi partner yang tepat untuk memberikan esports experiences kepada kampus-kampus yang tergabung di dalam WCC.” Ucap Gloria Nevarez, Komisioner WCC, dalam rilis.

Yvette Martinez, CEO ESL Amerika Utara juga menyampaikan pandangannya terkait kerja sama ini. Menurutnya, esports di tingkat universitas adalah bagian penting di dalam ekosistem. “Kami berusaha untuk terus mengembangkan komunitas esports unviersitas di berbagai belahan Amerika Serikat. Dengan menambahkan West Coast Conference dalam daftar kerja sama kami untuk ESL Collegiate, kami berharap bisa memberi kesempatan kepada semua orang untuk turut terlibat di dalam ekosistem esports.”

Hubungan Antara universitas dengan Esports

Seperti tadi sempat dibahas, penerimaan universitas di Amerika Serikat terhadap esports terbilang cukup positif. Terakhir kali Kansas University bahkan mendorong para mahasiswa untuk terjun ke esports dan membuat tim League of Legends tingkat universitas.

Lalu bagaimana dengan Indonesia? Pergerakan esports untuk institusi pendidikan bisa dibilang baru dimulai. Indonesia Esports Association (IESPA) mulai mencoba mengadakan IEL University Series, sebuah kompetisi esports tingkat universitas. Selain itu ada juga SMA 1 PSKD, yang menyajikan beasiswa dan program esports bagi para siswa.

Kendati demikian, persepsi institusi pendidikan terhadap esports masih cenderung skeptis. Angeline Vivian, General Manager Dranix Esports sempat menceritakan perjuangannya ketika mencoba menginisasi komunitas esports di Universitas Ciputra Surabaya.

Dokumentasi Hybrid - Novarurozaq Nur
Gerakan seperti IEL University Series bisa dibilang hanya baru permulaan saja. Dokumentasi Hybrid – Novarurozaq Nur

Ia menceritakan bahwa komunitas mereka pada awalnya mendapat banyak penolakan dari para petinggi kampus, ketika Toska (sapaan akrab Angeline Vivian) awal menginisiasi UC Esports (sebutan UKM Esports Universitas Ciputra Surabaya).

“Seiring berjalannya waktu, atasan kampus mulai melihat dna menyaksikan esports. Mata mereka mulai terbuka, salah satu petinggi kampus malah mengatakan bahwa esports punya aspek yang bagus untuk dipelajari mahasiswa seperti teamworkpublic speakingcommitment, communication dan lain sebagainya.” ucap Toska kepada redaksi Hybrid.

Maka dari itu, gerakan seperti IEL, High School League, atau inisiatif SMA 1 PSKD memberi beasiswa untuk program esports, bisa dibilang baru merupakan permulaan saja. Jika persepsi institusi pendidikan akan esports jadi semakin positif, bukan tidak mungkin jika gaming menjadi semakin lumrah di masa depan, yang memudahkan ekosistem untuk menciptakan bibit-bibit talenta esports dan membuat regenerasi ekosistem esports jadi semakin lancar.

Riot Games Luncurkan Liga Nasional League of Legends di Belanda dan Belgia

Riot Games baru-baru ini dikabarkan akan meluncurkan liga nasional League of Legends untuk dua negara berbeda, yaitu Belanda dan Belgia. Untuk penyelenggaraannya, Riot menggandeng perusahaan siaran asal Belgia yaitu 4Entertainment, dan menyediakan hadiah sebesar total 25.000 Euro (sekitar Rp390.000.000) untuk masing-masing liga.

League of Legends Belgian League dan League of Legends Dutch League musim pertama akan diikuti oleh enam tim, dan direncanakan untuk berkembang menjadi delapan tim di musim-musim berikutnya. Seperti halnya liga-liga yang sudah ada, liga Belgia dan Belanda ini juga akan dibagi menjadi dua musim dalam setahun, yaitu Spring Split dan Summer Split.

Pertandingan perdana kedua liga akan digelar pada tanggal 20 Januari 2020, kemudian tim-tim peserta akan menjalani musim selama delapan minggu. Empat tim teratas berhak maju ke babak playoffs, kemudian juara liga akan maju ke turnamen European Masters serta membawa pulang hadiah senilai 7.500 Euro (sekitar Rp116,9 juta).

Di samping liga reguler ini, Riot juga berencana menggelar turnamen National Finals dengan hadiah 10.000 Euro (sekitar Rp155,9 juta) setelah masing-masing Split berakhir. Ini masih ditambah dengan program Open Tour, yaitu wadah kompetisi untuk para pemain dan tim League of Legends amatir atau semiprofesional. Informasi lebih lanjut tentang Open Tour akan diumumkan di tahun 2020.

Sebelum adanya LoL Belgian League dan LoL Dutch League, Riot Games menggabungkan negara Belanda dan Belgia sebagai satu wilayah kompetisi yaitu Benelux (Belgium, Netherlands and Luxembourg), dengan liga yang bernama Benelux Premier League (BPL). Kini BPL ditiadakan, dan dengan dua liga baru tersebut akan menjadi jalur kualifikasi pengganti untuk European Masters. Laga European Masters selama ini dikenal sebagai “batu loncatan” bagi tim atau pemain yang ingin naik kelas ke League of Legends European Championship (LEC).

Menariknya, pemain-pemain dari wilayah Benelux dibebaskan untuk memilih liga mana yang mereka ikuti. Jadi jangan kaget bila ada pemain Luksemburg di liga Belgia, atau ada pemain Belgia di liga Belanda. Riot Games juga akan menghadirkan konten-konten bernuansa lokal, termasuk menyiarkan liga dalam bahasa Belanda, bahasa Flandria/Flemish (bahasa resmi Belgia), dan bahasa Perancis.

“Kami berharap dapat menghadirkan pengalaman esports yang mendebarkan lewat ekosistem yang sustainable kepada para tim dan fans. Dua liga bari ini akan mewakili level kompetisi tertinggi dari masing-masing negara dan akan membantu memperkokoh ekosistem esports Benelux dengan cara memberikan lebih banyak keteraturan dan framework bagi tim-tim untuk meningkatkan level,” ujar Damien Ricci, Head of Esports France & Benelux di Riot Games, dilansir dari Esports Insider.

Ia menambahkan, “Liga-liga ini akan mengikuti kalendar kompetisi internasional kami dan akan memberikan para penggemar kesempatan mengonsumsi konten reguler tentang tim-tim lokal dan talenta-talenta lokal baru. Pengalaman serta keahlian 4Entertainment akan membantu kami memastikan kesuksesan liga-liga ini dalam hal image serta kualitas konten yang diberikan pada komunitas.”

Sumber: Dot Esports, Esports Insider, LoL Esports

Berinvestasi di League of Legends Championship Series, Apakah Menguntungkan?

Sejak 2017, Riot Games menggunakan model franchise untuk League of Legends Championship Series, liga LoL untuk kawasan Amerika Utara. Dalam liga yang menggunakan model franchise, tim yang hendak bertanding harus membayar sejumlah uang untuk membeli slot dari liga tersebut. Echo Fox mengeluarkan US$10 juta untuk membeli slot LCS pada 2017. Belum lama ini, slot tim Echo Fox dibeli oleh Evil Geniuses. Menurut orang yang mengaku tahu tentang transaksi ini, Evil Geniuses mengeluarkan US$33 juta. Ini menunjukkan bahwa harga slot franchise LCS naik 230 persen dalam waktu dua tahun.

Selain itu, Michael Prindiville, CEO Dignitas, mengaku bahwa prioritasnya setelah dia menjabat sebagai CEO Dignitas adalah untuk mendapatkan slot LCS. Dignitas akhirnya bisa kembali ke LCS setelah mereka melakukan merger dengan Clutch Gaming. Nilai merger ini dikabarkan mencapai US$20 juta. Dalam daftar 13 perusahaan esports dengan nilai terbesar menurut Forbes, 9 di antaranya merupakan pemegang slot franchise untuk liga League of Legends di Amerika Utara dan Eropa. Masing-masing perusahaan memiliki nilai lebih dari US$120 juta. Namun, itu bukan berarti organisasi esports yang ikut berlaga dalam LCS atau liga LoL lainnya sudah mendapatkan untung dari liga tersebut.

Menurut Will Hershey, co-founder dan CEO Roundhill Investments, alasan mengapa organisasi esports tertarik berlaga di liga League of Legends adalah karena popularitas dari game buatan Riot Games tersebut. Berbeda dengan olahraga tradisional yang keberadaannya tidak tergantung pada satu perusahaan, keberlangsungan esports sangat tergantung pada sang developer. Jika Riot memutuskan untuk menutup League of Legends, maka liga esports dari game itu juga akan mati. Namun, 10 tahun sejak dirilis, League of Legends masih populer. Pada 2018, Riot mendapatkan US$1,4 miliar dari game yang bisa dimainkan secara gratis tersebut. Ini menjadikan League of Legends sebagai game dengan pendapatan terbesar nomor tiga, menurut data SuperData.

“Jika Anda ingin terlibat dalam satu game, League of Legends adalah pilihan yang paling masuk akal,” kata Hershey, dikutip dari The Washington Post. “Game ini tidak hanya berumur panjang, tapi juga memberikan kontribusi besar pada pendapatan publisher. Pendapatan dari sebuah game adalah faktor paling penting yang harus dipertimbangkan ketika Anda hendak menanamkan investasi.”

Sumber: leagueoflegends.com
Sumber: leagueoflegends.com

Hal lain yang menjadi pertimbangan calon investor adalah hak siar media, menurut Josh Champan, co-founder dan Managing Partner, Konvoy Ventures, perusahaan venture capital yang fokus pada industri game dan esports. “Saya rasa, liga ini akan menghasilkan banyak uang. Apakah ini akan menguntungkan tim esports, tergantung pada besar investasi dari masing-masing tim dan pembagian pendapatan dari hak siar media untuk setiap tim.”

Chapman mengatakan, hak siar media untuk liga esports akan berbeda dari hak siar untuk liga olahraga tradisional seperti NFL, liga american football di Amerika Serikat. NFL memiliki kontrak senilai SU$27,9 miliar selama 9 tahun dengan CBS, NBC, dan FOX. Sebagai perbandingan, pada 2016, Riot menjual hak siar esports League of Legends selama 7 tahun pada BAMTech dengan nilai US$300 juta, menurut Wall Street Journal. Perjanjian ini lalu diperbarui pada 2018, ketika Disney mengakuisisi BAMTech. Hak siar esports LoL kemudian dipindahtangankan ke platform streaming ESPN+. Sayangnya, tidak diketahui berapa besar nilai dari perjanjian hak siar baru tersebut.

Sumber: Geek.com
Sumber: Geek.com

Untuk memperkirakan nilai hak siar esports League of Legends, Chapman menggunakan Overwatch League (OWL) dari Activision Blizzard sebagai perbandingan. Twitch membayar US$90 juta untuk mendapatkan hak siar eksklusif dari OWL selama dua tahun. Sejak September 2017 sampai Agustus 2019, Overwatch memiliki jumlah penonton rata-rata 33.987 setiap bulannya. Itu artinya, Twitch membayar US$1.324 untuk satu penonton. Sementara itu, League of Legends memiliki jumlah rata-rata penonton 116.669 orang. Dengan harga yang sama, maka hak siar eksklusif untuk esports League of Legends akan bernilai US$154,5 juta per tahun.

Namun, Chapman dan Hershey percaya, Twitch membayar harga terlalu mahal untuk hak siar eksklusif akan OWL. Chapman memperkirakan, channel resmi Twitch OWL hanya berkontribusi US$8,2 juta dari total pendapatan iklan Overwatch League selama periode dari September 2018 sampai Agustus 2019. Angka ini jauh lebih rendah dari harga US$45 juta yang dibayarkan oleh Twitch. Meskipun begitu, Hershey tetap percaya bahwa hak siar media akan menjadi sumber pendapatan utama dari sebuah liga, selain dari sponsorship dan penjualan merchandise.

“Ada satu perbedaan besar antara esports dan olahrga tradisional,” kata Hershey. “Penonton harus rela membayar jika mereka ingin menonton pertandingan olahraga tradisional Tapi, selama ini, mereka bisa menonton esports dengan gratis. Jadi, ini adalah salah satu masalah besar yang harus diselesaikan oleh penyelenggara industri esports.”

Sumber: The Esports Observer
Sumber: The Esports Observer

Saat ini, setidaknya 35 persen dari total pendapatan LCS masuk ke kantong pemain, 32,5 persen untuk tim, dan 32,5 persen sisanya untuk Riot. Menurut Hershey, pada 2018, masing-masing tim mendapatkan hampir US$1 juta. Pada tahun ini, dia memperkirakan angka itu naik menjadi sekitar US$1 juta sampai US$2 juta. “Masih jauh lebih rendah dari jumlah yang mereka bayarkan untuk mendapatkan slot franchise LCS,” katanya. “Tapi, sekarang, kita masih ada di tahap awal dalam memonetisasi liga esports.”

Chapman berharap, para pemilik slot LCS mengerti bahwa investasi mereka tidak akan berbuah dalam waktu dekat. Dia memperkirakan, diperlukan waktu bertahun-tahun sebelum para peserta LCS bisa mendapatkan untung. Hal ini tidak hanya terjadi pada esports League of Legends, tapi juga pada Activision Blizzard, yang menggunakan sistem franchise untuk menyelenggarakan Overwatch League dan Call of Duty League pada tahun depan.

Ini tidak membuat Prindiville dari Dignitas gentar. Dia mengatakan, dia tidak memiliki rencana untuk keluar dari scene esports League of Legends dalam waktu dekat. “Kami rasa, esports ini masih bisa bertahan selama 50 tahun lagi,” katanya. “Dalam waktu pendek, pendapatan akan datang dari sponsorship dan hak siar media. Dalam jangka panjang, kami ingin memiliki slot ke sejumlah franchise penting seperti LCS, karena nilainya akan naik seiring dengan waktu. Dalam 10-20 tahun lagi, siapa yang tahu berapa harga dari slot LCS? Begitulah cara Anda membangun perusahaan besar, inilah cara untuk mendapatkan kembali jutaan dollar yang telah Anda keluarkan.”

Sumber header: Business Insider

Demi Kembangkan Esports League of Legends, Riot Keluarkan Rp1,4 Triliun per Tahun

Riot Games selalu berusaha untuk membuat acara pembukaan League of Legends World Championship (LWC) yang megah, seperti menggunakan teknologi Augmented Reality untuk membuat seekor naga raksasa mengitari stadion pada 2017. Global Manager Riot Games, Derric Asiedu mengatakan bahwa setiap tahun, mereka menghabiskan US$100 juta (sekitar Rp1,4 triliun) untuk mengembangkan esports League of Legends dan mereka tidak akan mendapatkan untung dalam waktu dekat. Meskipun begitu, Global Head of Esports, Riot Games John Needham tetap optimistis tentang prospek esports di masa depan. Salah satu alasannya adalah karena semakin banyak perusahaan yang mendukung LWC dalam jangka panjang, seperti OPPO dan Axe.

“Pendapatan kami tumbuh 50 persen pada tahun ini, dan kemungkinan, akan kembali tumbuh 50 persen pada tahun depan,” kata Needham pada The Esports Observer. “Kami menargetkan esports bisa menjadi sustainable pada tahun ke-10. Saya tidak tahu apakah hal ini sudah pernah dilakukan di olahraga tradisional, tapi saya sangat percaya diri tentang bisnis esports di masa depan.” Satu hal yang Needham tonjolkan adalah fakta bahwa pemain dan penonton League of Legends masih sangat muda. Kebanyakan penonton esports memang memiliki umur di bawah 35 tahun. Inilah yang membuat semakin banyak perusahaan non-endemik tertarik untuk menjadi sponsor liga atau tim esports.

Dari pengalaman Riot dalam mengadakan, LWC, tampaknya, tak hanya perusahaan yang tertarik untuk masuk ke dunia esports, tapi juga pemerintah. Tahun ini, babak final LWC diadakan di Paris, Prancis, dan Riot mendapatkan dukungan penuh dari pemerintah kota Paris. Konferensi pers dari LWC diadakan di Eiffel Tower dan sejumlah politikus penting hadir dalam acara tersebut. Dan ini tak hanya terjadi pada turnamen League of Legends, tapi juga turnamen esports lain seperti Rainbow Six. Mengingat turnamen esports bisa menumbuhkan perekonomian lokal sebuah kota, tak heran jika pemerintah juga berlomba-lomba untuk mengadakan turnamen esports di kotanya.

John Needham, Global Head of Esports, Riot Games | Sumber: The Esports Observer
John Needham, Global Head of Esports, Riot Games | Sumber: The Esports Observer

Menurut data dari Esports Charts, babak final dari LWC, yang mempertemukan FunPlus Phoenix dari Tiongkok dan G2 Esports dari Eropa ditonton oleh 104 juta orang di Tiongkok dan 3,7 juta orang di dunia. Walau jumlah penonton ini terdengar banyak, tapi jumlah penonton babak final kali ini hanya mencapai setengah dari jumlah penonton babak final LWC pada tahun lalu, seperti disebutkan oleh Abascus News. Tahun lalu, penonton dari Tiongkok mencapai 200 juta. Tidak heran, karena tahun lalu adalah kali pertama tim dari Tiongkok — Invictus Gaming — lolos babak kualifikasi LWC dan bahkan membawa pulang Summoner’s Cup. Menariknya, pertandingan antara FunPlus Phoenix dan G2 Esports lebih populer secara global. Tahun lalu, jumlah penonton di dunia hanya mencapai 2 juta, sementara tahun ini angka itu naik hampir dua kali lipatnya.

Needham percaya, dukungan akan esports akan terus tumbuh. Tahun depan, babak final LWC akan diadakan di Shanghai, Tiongkok. Sebelum memutuskan untuk memilih Shanghai, Needham berkata bahwa ada sejumlah kota yang menawarkan diri untuk menyelenggarakan LWC. “Kami telah melakukan proses bidding. Memang, proses ini tidak seperti proses bidding Olimpiade, tapi kami sedang menuju ke tingkat itu,” ujarnya. Sayangnya, Riot biasanya hanya mengadakan babak final LWC di empat kawasan: Tiongkok, Korea Selatan, Amerika Utara, dan Eropa. Keempat kawasan ini memang kawasan dengan tim tim League of Legends terkuat.

Inilah yang mendorong Riot melakukan konsolidasi turnamen di sejumlah kawasan, seperti di Asia Tenggara. Mulai tahun depan, League of Legends Master Series untuk kawasan Hong Kong, Taiwan, dan Macau akan digabungkan dengan League of Legends Southeast Asia Tour menjadi Pacific League Championship Series. Diharapkan, dengan melakukan konsolidasi liga, ini akan mendorong terciptanya tim-tim yang lebih tangguh, seperti yang terjadi di Eropa dengan League of Legends European Championship (LEC).

Sumber header: Dexerto

FunPlus Phoenix Menangkan League of Legends World Championship

FunPlus Phoenix (FPX) keluar sebagai juara League of Legends World Championship setelah mengalahkan G2 Esports di babak final yang diadakan di Accorhotels Arena, Paris, Prancis. Tim asal Tiongkok itu menang telak dengan skor 3-0. Padahal, G2 Esports dijagokan sebagai juara setelah mengalahkan SK Telecom T1 di babak semifinal. Sementara itu, di babak semifinal, FPX mengalahkan Invictus Gaming, yang menjadi juara dari LWC 2018. Meskipun begitu, FPX tak dijagokan sebagai juara karena tim Invictus dianggap telah melemah. Menurut laporan InvenGlobal, FunPlus Phoenix tak hanya menang dari G2 Esports dalam kemampuan individual para pemainnya, FPX juga memiliki strategi yang lebih baik. Tim Tiongkok itu berhasil menekan G2 Esports yang menjuarai League of Legends European Championship sepanjang permainan.

Perjalanan FunPlus Phoenix untuk menjadi juara tak mulus. Dalam League of Legends Pro League Summer 2018, mereka kalah dari JD Gaming. Namun, mereka berhasil menjadi juara dalam LPL Summer 2019. Menurut ESPN, performa FPX pada group stage dari LWC juga tak terlalu mengagumkan. Meskipun begitu, mereka tetap berhasil meraih kemenangan di babak perempat final serta babak semifinal dan melaju ke babak final. Jungler FPX, Gao “Tian” Tian-Liang, menunjukkan kemampuannya dengan menekan Marcin “Jankos” Jankowski dari G2, membuatnya memenangkan gelar MVP. Tian juga memiliki peran penting dalam setiap strategi FPX untuk menekan G2. “Ketika saya di Tiongkok, saya sering membaca komentar di forum komunitas, dan banyak orang yang berkata bahwa Tian bermain seperti pemain ini atau pemain itu,” kata Tian, seperti dikutip dari InvenGlobal. “Saya rasa, saya telah menunjukkan pada dunia gaya bermain saya sendiri.”

Sayangnya, kemenangan FPX diiringi dengan kabar bahwa salah satu pemainnya, Midlaner Kim “Doinb” Tae-sang, berencana untuk pensiun. Memang, sebelum ini, Doinb telah mempertimbangkan untuk mengundurkan diri. “Saya rasa, saya telah membuktikan kemampuan saya,” kata Doinb, menurut laporan Dexerto. “Banyak orang yang berkata bahwa midlaner dengan gaya bermain seperti saya tidak akan bisa memenangkan LWC, tapi saya telah membuktikan bahwa saya bisa menang. Kami telah menunggu selama 40 hari untuk mengatakan ini, dan akhirnya kami bisa mengungkapkannya. Kamilah sang juara!”

Doinb menjelaskan bahwa saat ini, dia masih berjuang untuk pulih dari cederanya. Dia juga mengungkap sedikit rencananya jika dia memang akan pensiun, yaitu menghabiskan lebih banyak waktu bersama istrinya, Li “Umi” Youzi. “Sebelum Worlds, saya berkata pada Umi bahwa saya akan membawanya ke Worlds, tapi saya tidak bilang saya akan bisa menang… Saya ingin berterima kasih padanya karena selalu mendukung saya. Sebelum ini, saya telah mempertimbangkan untuk mengundurkan diri, tapi dia bilang, saya harus lebih percaya pada kemampuan saya sendiri, dan mencoba untuk terakhir kalinya. Saya tidak akan bisa mengangkat tropi ini tanpa dukungannya,” kata pemain asal Korea Selatan ini.

Umi yang selalu mendukung Doinb. | Sumber: MICHAL KONKOL FOR RIOT GAMES via Dexerto
Umi yang selalu mendukung Doinb. | Sumber: MICHAL KONKOL FOR RIOT GAMES via Dexerto

Doinb mengaku, Umi hampir memintanya untuk tak ikut dalam World Championship karena dia masih cedera. Namun, pada akhirnya, Umi justru mendorong Doinb untuk ikut dalam LWC, yang berakhir manis dengan kemenangan FPX. “Dia sangat khawatir, pada awalnya, mengingat kondisi saya. Secara fisik, kondisi saya tidak prima, jadi dia khawatir, tapi dia merasa, sangat sayang jika saya mengundurkan diri sekarang. Saya ingin meminta maaf padanya. Semua orang tahu ini, tapi saya jarang pulang bahkan ketika tim tengah rehat. Dan jika saya pulang, saya terus bermain. Saya ingin meminta maaf pada Umi. Saya akan menghabiskan waktu lebih banyak denganmu nanti. Kita telah menikah, jadi kita bisa hidup bersama sekarang.”

Pembukaan League of Legends World Championship

Dengan valuasi lebih dari US$1 miliar, esports kini tak lagi dipandang sebelah mata. Total hadiah yang diberikan dalam turnamen esports juga bisa menyaingi kompetisi olahraga tradisional. Tampaknya, Riot Games juga ingin menunjukkan bahwa acara pembukaan League of Legends World Championship tak kalah dengan ajang olahraga bergengsi lain, seperti Olimpiade atau Super Bowl. Pada 2017, saat babak final LWC diadakan di Beijing, Riot menggunakan Augmented Reality untuk membuat naga raksasa terbang mengitari di stadion. Sementara pada tahun lalu, mereka mengadakan konser yang menggabungkan penyanyi asli dengan band K-Pop virtual. Tahun ini, Riot menggunakan teknologi hologram yang mereka sebut holonet. Adam Mackasek, Associate Manager of Esports Event, Riot Games, menjelaskan, holonet memiliki bentuk serupa “layar bioskop, tapi ada banyak lubang untuk membuat gambar terlihat seperti 3D.”

Mackasek menjelaskan, mereka mencari inspirasi untuk pembukaan LWC dari berbagai acara olahraga besar. “Kami menonton Super Bowl Halftime Show, dan kami mengamati setiap detailnya: Hei, saya suka cara mereka menyajikan momen ini,” kata Mackasek, pada CNN Business. “Begitu juga dengan Olimpiade. Selama setahun, kami mencoba untuk mengerti bagaimana cara mereka menyajikan konten.” Mackasek mengaku, timnya sempat mempertimbangkan untuk kembali menggunakan teknologi AR seperti yang mereka lakukan pada tahun lalu. Namun, dia mengungkap, mereka selalu ingin menggunakan teknologi baru. “Kami tidak ingin penonton bisa menebak akan apa yang akan mereka saksikan. Menantang bagi kami untuk membuat rencana yang sama sekali baru,” katanya.

Sumber header: MICHAL KONKOL FOR RIOT GAMES via Dexerto

Jelang Final LWC 2019, G2 Esports Umumkan Kerja Sama dengan Mastercard

G2 Esports dan Mastercard mengumumkan kerja sama tepat sebelum pertandingan final League of Legends World Championship yang akan diadakan pada akhir pekan ini. Dalam pertandingan final yang diadakan di Paris, Prancis, G2 Esports akan bertanding melawan tim asal Tiongkok, FunPlus Phoenix. Dalam satu tahun belakangan, G2 Esports berhasil menorehkan berbagai prestasi. Mereka sukses memenangkan turnamen untuk kawasan Eropa, League of Legends European Championship (LEC) pada musim semi dan musim panas. Tak hanya itu, mereka juga menjuarai Mid-Season Invitational 2019 dan membawa pulang US$400 ribu setelah mengalahkan Team Liquid di babak final. Jika G2 Esports berhasil menjadi juara LWC, maka organisasi esports asal Jerman itu akan menjadi tim Eropa pertama yang membawa pulang Summoner’s Cup. Tak hanya itu, mereka juga akan menjadi tim pertama yang menjuarai empat turnamen premier dalam satu tahun.

Di situs resminya, G2 Esports mengatakan bahwa tujuan dari kerja sama mereka dengan Mastercard adalah untuk mendekatkan diri dengan fans, salah satunya dengan mengadakan meet-and-greet. Selain itu, Mastercard juga akan mendapatkan akses ke fasilitas G2 Esports, sehingga mereka bisa membuat konten “behind the scene” terkait kegiatan anggota tim G2, seperti pertandingan G2 sepanjang LEC. Tak hanya itu, Mastercard juga mensponsori pembuatan konten digital “Priceless Moments” yang akan disiarkan setiap minggu.

Tim League of Legends G2 Esporst | Sumber: Red Bull
Tim League of Legends G2 Esporst | Sumber: Red Bull

Menurut laporan The Esports Observer, konten Priceless Moments akan fokus pada Michael Winther, ayah dari Rasmus “Caps” Winther. Michael menjadi tenar di komunitas League of Legends karena dia sering mendatangi pertandingan dan menunjukkan dukungan pada anaknya. Mengingat umur atlet esports yang relatif sangat muda, biasanya orangtua memang memiliki peran penting. Christine Yankel, ibu dari pemain profesional Overwatch League menceritakan bahwa dia mencoba untuk memahami Overwatch agar dia bisa mengerti pekerjaan yang ditekuni sang anak.

“Ketika G2 mempersiapkan diri menghadapi babak final League of Legends World Championship, kami dengan bangga memberikan pengalaman eksklusif pada komunitas League of Legends untuk mendekatkan para fans dengan tim yang mereka kagumi,” kata Jeannette Lindo, SVP Marketing and Communications Europe, Mastercard, dikutip dari situs resmi G2 Esports. “Dengan bekerja sama dengan G2 Esports, kami bisa memperdalam keterlibatan kami dalam esports dan memperkuat visi kami untuk menyediakan konten dan pengalaman yang tak terlupakan pada para fans.” Mastercard sudah melibatkan diri dalam industri esports sejak cukup lama. Pada akhir Agustus lalu, mereka mengumumkan bahwa mereka akan menjadi rekan finansial eksklusif dari League of Legends Championship Series (LCS), liga League of Legends di kawasan Amerika Utara. Sementara sebelum itu, mereka juga telah menjadi sponsor dari berbagai turnamen League of Legends, seperti Mid-Season Invitational, All-Star Event, dan bahkan World Championship.

Nobar Final Worlds 2019 Bersama Hasagi dan Armored Project

World Championship 2019, turnamen dengan kasta tertinggi di dunia untuk League of Legends (LoL), akan menggelar babak pamungkasnya antara jagoan lama dari Eropa (G2) melawan jagoan baru asal Tiongkok (FunPlus Phoenix) di hari Minggu tanggal 10 November 2019.

Pertandingan antara kedua tim tadi di final mungkin memang tak banyak diprediksi sebelumnya. Pasalnya, masing-masing kandidat harus bertarung melawan tim-tim yang, di atas kertas, lebih diunggulkan. SK Telecom T1, tim yang paling sering juara Worlds, yang diperkuat oleh Faker dan Khan harus menelan kekalahan pahit kembali setelah tahun sebelumnya bahkan absen dari kejuaraan ini.

Sumber: G2 Esports
Sumber: G2 Esports

Di sisi lainnya, Invictus Gaming yang jadi juara bertahan (pemenang Worlds 2018) juga harus menanggung malu karena kalah dari FPX yang baru pertama kali merasakan megahnya panggung Worlds. Pertarungan final nanti akan sangat mendebarkan karena jadi pertaruhan gengsi antara wilayah barat melawan timur.

Untuk turut memeriahkan acara ini, HASAGI bekerja sama dengan Armored Project menggelar event nonton bareng final Worlds 2019. Selain itu, ajang ini juga akan jadi tempat berkumpulnya para pemain LoL.

Buat para pemain LoL dari Indonesia, tentunya Anda sudah tidak asing dengan nama HASAGI. Sebelumnya, HASAGI merupakan media sekaligus komunitas di bawah Garena yang memang khusus membahas soal LoL. Sekarang, meski esports LoL di Indonesia sudah diasingkan — termasuk oleh yang ‘berwajib’ — HASAGI kembali muncul dan berjalan sendiri.

Sedangkan Armored Project adalah salah satu organisasi esports yang memang berangkat dari game LoL dan digawangi oleh Florian “Wolfy” George yang juga mencuat namanya dari LoLa

Nobar final Worlds 2019 akan digelar pada tanggal 10 November 2019 (pukul 15:00 WIB) di Ballroom MAQNA Residence, Kembangan Jakarta Barat. Jika Anda tertarik untuk ikut, Anda bisa membeli tiketnya via daring atau langsung di tempatnya.

Ada 2 jenis tiket yang tersedia:

Dokumentasi: HASAGI
Sumber: HASAGI
  • Standar: Rp40 ribu, yang termasuk tiket nobar, makanan, dan 1 buah skin gratis
  • Bundle: Rp120 ribu, yang termasuk tiket nobar, makanan, 1 buah skin gratis, dan 1 kaos eksklusif HASAGI.

Selain itu, akan ada undian berhadiah kaos dan jaket persembahan dari SK69, action figure LoL, dan kaos HASAGI. Tak lupa juga, akan ada lelang action figure Caitlyn; yang hasil pendapatan lelangnya akan digunakan sepenuhnya untuk membiayai nobar kali ini.

Acara yang didukung oleh beberapa sponsor (Seteduh Kopi, SK69, dan Garena) ini, benar-benar acara komunitas untuk komunitas. Muasalnya, setiap anggota komunitas LoL bekerja sama melakukan tugasnya masing-masing dari mulai mencari tempat, mengurus konsumsi, promosi, desain, dan lain-lainnya. Acara ini bisa jadi bukti bahwa komunitas LoL di Indonesia memang masih kompak dan solid meski esports-nya sudah di… (Isi sendiri ya…)

Deutsche Telekom Sponsori League of Legends Premier Tour

Deutsche Telekom menjadi sponsor terbaru dari League of Legends Premier Tour, liga untuk kawasan Jerman, Austria, dan Swiss. Sebelum ini, Premier Tour telah mendapatkan sejumlah sponsor, baik perusahaan teknologi seperti HyperX maupun perusahaan yang tak ada sangkut pautnya dengan gaming dan esports, seperti perusahaan minyak dan gas Shell, perusahaan asuransi BARMER dan R+V Versicherung, merek snack NicNac’s dan juga merek pizza La Mia Grande.

Ini bukan pertama kalinya Deutsche Telekom mendukung dunia esports dengan menjadi sponsor. Sebelum ini, Deutsche Telekom telah menjadi sponsor dari salah satu organisasi esports asal Jerman, SK Gaming. Sama seperti kebanyakan organisasi esports, SK Gaming berlaga di berbagai game esports, salah satunya League of Legends. Tim League of Legends mereka turut berlaga dalam liga Eropa, League of Legends European Championship (LEC). Selain League of Legends, mereka juga memiliki tim dan pemain yang berlaga di Clash Royale, FIFA, Hearthstone, dan SMITE.

SK Gaming Prime | Sumber: Twitter
SK Gaming Prime | Sumber: Twitter

Premier Tour Winter Cup akan diadakan pada 30 November 2019 di Ratiopharm Arena. Dalam turnamen tersebut, akan ada 12 tim Jerman yang bertanding. Salah satunya adalah SK Gaming Prime, yang merupakan tim akademi dari SK Gaming. Tim League of Legends tersebut dibuat pada 2014. Pada Premier Tour Winter Berlin tahun lalu, SK Gaming Prime hanya berhasil menjadi juara empat. Namun, mereka berhasil menjuarai Summoner’s Inn League Season 2 dan menjadi juara dua di European Masters 2019 Spring pada April lalu. Sepanjang 2019, mereka telah memenangkan hadiah sebesar US$45.500.

Premier Tour pertama kali diadakan pada 2018. Liga yang secara khusus menargetkan kawasan Jerman, Austria, dan Swiss ini merupakan bagian dari European Regional Leagues (ERL). Riot Games, developer League of Legends mengadakan ERL dengan tujuan untuk mencari pemain berbakat di negara-negara Eropa. Ini akan memudahkan organisasi esports yang bertanding di liga Eropa LEC untuk mencari pemain baru. Memang, regenerasi pemain masih jadi salah satu momok di dunia esports. Pada Juli lalu, Riot Games, Freaks 4U Gaming, dan Lagardère Sports mengumumkan kerja sama untuk mengadakan liga baru sebagai pengganti Premier Tour. Namun, tujuan dari diadakannya liga tersebut masih sama, yaitu untuk mengembangkan ekosistem bagi para pemain League of Legends di negara-negara berbahasa Jerman.

Sumber: The Esports Observer

Misi Besar Nike untuk Memperpanjang Masa Karier Para Atlet di Dunia Esports

Ketika Nike masuk menjadi sponsor eksklusif League of Legends Pro League (LPL) di Tiongkok, banyak pihak yang bertanya-tanya, akan seperti apa perang Nike di dunia esports. Ada yang merasa bahwa Nike hanya mengejar keuntungan, ada juga yang menebak bahwa Nike akan menyediakan perlengkapan seperti jersey atau sepatu tim. Tapi kenyataannya, Nike punya rencana yang lebih besar dari semua itu.

Nike merilis sebuah video dokumenter di bulan September 2019 lalu, dengan judul “Unlock the Legends”. Di sana mereka buka-bukaan terkait kerja sama yang mereka lakukan dengan LPL, dan seperti apa kontribusi yang bisa mereka berikan ketika masuk ke dalamnya. Untuk menemukan jawaban atas pertanyaan itu, Nike melakukan apa yang pernah mereka lakukan ketika baru didirikan dulu: berbicara dengan para atlet.

Unlock the Legends - Sleeping
Atlet esports sangat rawan terjerumus ke gaya hidup tak sehat | Sumber: Nike

Nike mengidentifikasi satu masalah yang jadi momok utama banyak gamer profesional, yaitu masalah kesehatan. Di Tiongkok, para atlet esports biasa duduk di depan komputer dari bangun tidur hingga akan tidur lagi. Dalam sehari mereka bisa menghabiskan lebih 10 jam untuk berlatih, dan ini pada akhirnya memunculkan masalah tersendiri.

Mengapa mereka harus berlatih sekeras itu? Manajer Top Esports (TES), Hao Guo, berkata, “Rasio jumlah pro gamer dengan orang-orang yang ingin menjadi pro itu kurang lebih 1:10.000, atau mungkin lebih dramatis lagi, 1:100.000, saya tidak akan kaget.” Persaingan ketat menuntut para atlet bekerja keras, dan ini sangat membebani kondisi fisik maupun mental mereka.

Unlock the Legends - Tired
Meski secara fisik low impact, jam latihan yang panjang tetap melelahkan | Sumber: Nike

Statistik LPL menunjukkan bahwa rata-rata masa karier seorang atlet esports di sana adalah sekitar 2,6 tahun, dengan puncak karier di usia awal 20an. Ini angka yang luar biasa singkat dan sangat mengkhawatirkan. Bayangkan bila atlet olahraga konvensional, seperti Cristiano Ronaldo atau LeBron James, hanya bisa bermain di liga profesional selama 2,6 tahun sepanjang hidupnya. Tak hanya buruk bagi sang atlet, tapi ini juga buruk bagi liga keseluruhan sebab mereka jadi tidak bisa membangun citra superstar di dalamnya. Padahal pemain-pemain bintang itu adalah daya tarik penting untuk membangun ekosistem profesional yang berkelanjutan dan terus diminati banyak orang.

Eric Wei, VP of Category Marketing di Nike Greater China, bercerita, “Saya terkejut sekali. Karena bila kita pikir-pikir, apa yang mereka lakukan adalah aktivitas sangat low impact, dibandingkan dengan olahraga yang biasa kita tonton di TV. Kalau itu bola basket, American football, lari, semua yang mereka lakukan adalah kegiatan olahraga high impact. Dan bahwa para atlet esports ini, umur mereka, karier mereka di olahraga dan aktivitas mereka lebih pendek dari atlet yang lain (olahraga konvensional), itu mengejutkan!”

Nike kemudian mengundang beberapa atlet esports untuk hadir di fasilitas riset olahraga mereka di Amerika Serikat. Di sana mereka melakukan sejumlah tes untuk melihat seperti apa kondisi fisik para atlet ini, serta hal apa yang bisa mereka lakukan untuk memperbaikinya. Hasilnya ditemukan bahwa atlet-atlet ini buruk bahkan di tes-tes fisik dasar, dan itu artinya mereka rawan terkena cidera.

Unlock the Legends - Uzi
Uzi (Zi Hao Jian), pemain RNG yang turut menjalani tes di fasilitas riset Nike | Sumber: Nike

Mayoritas kegiatan para atlet esports dikerjakan sambil duduk, jadi mereka umumnya lemah di tubuh bagian bawah (kaki). Sakit punggung, leher, serta pergelangan tangan juga merupakan keluhan-keluhan yang kerap muncul di kalangan mereka. Tapi ketika mereka menjalani tes reaksi visual, atau koordinasi mata, hasilnya luar biasa bagus.

Kondisi fisik atlet yang demikian timpang merupakan tantangan baru bagi Nike. Mereka kini mengembangkan program-program perbaikan kondisi fisik atlet esports yang melibatkan para master trainer di Nike. Masalahnya, di olahraga konvensional, ketika atlet berlatih maka mereka otomatis berolahraga juga. Sementara untuk atlet esports, olahraga harus dilakukan di luar jam latihan dan itu berarti mereka harus mengeluarkan waktu serta tenaga ekstra. Di tengah kegiatan yang begitu padat, tidak semua atlet punya waktu dan tenaga itu.

Melihat kendala tersebut, Nike memasang target yang tidak terlalu muluk: membuat para atlet menguasai tubuhnya sendiri. “Saya rasa yang bisa kita lakukan dalam waktu cepat adalah meningkatkan kesehatan dan kebugaran para atlet secara keseluruhan. Jika mereka lebih selaras dengan tubuh mereka, mereka akan lebih selaras dan bisa bermain di level yang lebih tinggi,” kata Ian Muir, Director of Sport Performance Insights di Nike Sport Research Lab.

Unlock the Legends - Training
Latihan fisik disesuaikan dengan kondisi tubuh serta rutinitas atlet | Sumber: Nike

Para master trainer Nike langsung turun ke markas tim-tim LPL, seperti Royal Never GiveUp (RNG) dan Dominus Esports (DMO), untuk memberikan pelatihan pada atlet-atletnya. Pelatihan ini disesuaikan dengan kondisi tubuh para atlet, serta rutinitas yang biasa mereka lakukan.

Bagi atlet esports yang tak terbiasa berolahraga, latihan-latihan ini sangat berat. Hasilnya pun mungkin tak instan, bisa jadi baru terlihat setelah beberapa bulan atau bahkan setahun kemudian. Tapi bila ingin menjadi profesional yang lebih baik lagi, memang harus ada yang dikorbankan. Tujuan akhirnya, lewat program peningkatan kesehatan seperti ini, Nike berharap para atlet esports bisa berkarier di dunia profesional untuk waktu yang lebih lama.

Sumber: Nike, Adweek