DBS Foundation Hibahkan Rp8,2 Miliar Bagi Empat Startup Cleantech Asal Indonesia

Bank DBS Indonesia melalui DBS Foundation mengumumkan empat startup asal Indonesia yang terpilih sebagai pemenang dari DBS Foundation (DBSF) Business for Impact Grant Award Programme 2023.

Keempat startup tersebut adalah Plana, Liberty Society, Nafas, dan Magalarva. Sebagai pemenang, mereka berhak mendapatkan dana hibah dengan total nilai 710 ribu dolar Singapura (setara Rp8,2 miliar), yang akan digunakan untuk mengatasi permasalahan lingkungan dan sosial.

Sedikit informasi mengenai masing-masing pemenang, Plana adalah startup yang berfokus pada pengolahan sampah plastik menjadi material baru, yaitu Plana Wood. Produk ini diproyeksikan sebagai alternatif kayu alami yang tahan lama dan dapat digunakan sebagai bahan bangunan.

Liberty Society di sisi lain berfokus pada daur ulang limbah perusahaan (plastik, tekstil, kardus) menjadi merchandise B2B, sekaligus membuka kesempatan bekerja bagi komunitas yang terpinggirkan.

Nafas adalah startup yang menyediakan data kualitas udara (air quality index/AQI) untuk meningkatkan kesadaran tentang polusi udara serta mendorong perubahan kebijakan.

Magalarva menghadirkan layanan pengumpulan limbah dan mengubahnya menjadi tepung lalat tentara hitam (black soldier fly) berkualitas tinggi sebagai bahan baku pakan hewan.

***

Untuk ulasan selengkapnya, kunjungi Solum.id. Solum.id adalah media online yang fokus menyajikan berbagai artikel tentang sektor keberlanjutan dan teknologi masa depan.

Disclosure: Solum.id adalah bagian dari grup DailySocial.id

Pelopor Industrialisasi Larva BSF, Magalarva Reduksi Sampah Organik Jadi Makanan Super untuk Hewan

Rendria Arsyan Labde tidak menyangka, terekspos dengan hal-hal berbau sustainable farming membawanya jadi pelopor larva black soldier fly (BSF) di Indonesia, lewat Magalarva. Dulu ia buta soal BSF, namun kini mampu menemukan formula yang tepat dan efisien untuk produksi larva bahkan diekspor ke berbagai negara.

Sempat ia terjun ke bisnis properti sebagai pengembang perumahan yang berkelanjutan. Setelah dijalani, ternyata dampak yang bisa eskalasi tidak semasif dari yang ia prediksi. Rendria menggali lebih jauh dimulai dari isu di perkotaan, bertemulah dengan isu sampah yang makin parah.

Gerakan kesadaran sampah yang digalakkan sejauh ini hanya berkutat pada sampah non-organik. Padahal sampah organik jumlahnya jauh lebih banyak, sekitar 70% dari data yang ia temukan. Dari serangkaian riset yang dilakukan, ia bertemu pertama kali dengan larva BSF di Jawa Tengah. Belatung jenis ini berbeda dari yang ia ketahui selama ini karena saat makan begitu geragas melahapnya.

Selanjutnya, membaca jurnal ilmiah hingga belajar ke perusahaan di luar negeri untuk mencari tahu apakah ini ada nilai ekonominya. “Saya validasi lagi ini bener scalable dan visible gak sih. Di negara maju sudah ada perusahaannya dan memang bisa. Saya percaya kalau ini ditekuni bisa jadi solusi di Indonesia,” ujar Rendria kepada DailySocial.id.

Co-founder dan CEO Magalarva Rendria Arsyan Labde / Magalarva

Sebagai catatan, Magalarva adalah satu dari perusahaan bioteknologi yang menggeluti bisnis pengolahan limbah makanan menjadi pakan ternak dan pupuk organik berbahan dasar larva BSF.

Saat berdiri di 2017, Rendria mengaku belum ada pengusaha budidaya ini yang sudah masuk tahap industrialisasi. Untuk belajar dari ahli BSF di Indonesia saja belum ada yang benar-benar kuat, beda halnya kalau mau belajar budidaya udang atau jenis ikan lainnya sudah banyak ahlinya.

Sambil menyelam minum air, tak terhitung berapa banyak penelitian dan uji coba untuk menemukan formula budidaya BSF yang tepat. Layaknya makhluk hidup, seringkali BSF atau larva atau belatung ini tidak cocok dengan suhu atau makanan tertentu, maka harus dipelajari lebih dalam agar hasilnya terbaik.

“Sekarang sudah jalan lima tahun, kita percaya bahwa kita ini terbaik di Indonesia karena bisa dapat efisiensi cost paling tinggi.”

BSF dianggap sebagai senjata paling efektif dalam mengurai volume sampah makanan. Binatang ini tidak punya mulut dan organ pencerna. Mereka hanya makan saat masih jadi larva dan hanya memakan sisa hewan atau tumbuhan yang membusuk. Satu larva BSF bisa makan empat kali dari berat badannya, waktu yang dibutuhkan untuk menghabiskan makanan dalam volume kakap sekitar 2-3 hari saja.

Setelah itu, larva akan mengeluarkan kotoran apa yang dimakan menjadi pupuk. Sebagian larva ada yang diternakkan hingga jadi lalat, sebagian lagi dikeringkan menjadi pakan ternak. BSF yang dikeringkan, biasanya digunakan untuk kebutuhan ekspor. Selain bisa diberikan langsung untuk hewan, belatung kering yang telah diperoses lebih lanjut menjadi tepung dan minyak dapat dijadikan sebagai pelengkap pakan.

Siklus metamorfosis dimulai dari telur lalat hingga BSF kawin memakan waktu kurang lebih 41 hari. “Kita panen hidup-hidup belatungnya. Kita proses di pabrik untuk dicuci dan dikeringkan. Hasil belatung kering ini sumber protein tinggi yang sangat dibutuhkan untuk makanan hewan, baik ikan, ayam, udang, bisa dipakai langsung atau jadi bahan campuran.”

Pada tahun pertama, Magalarva mengelola sampah sebanyak 50 kilogram dalam sehari. Kini angkanya sudah berlipat-lipat ganda jadi 200 ton dalam sebulan, semuanya diproses langsung di pabrik pengolahan limbah makanan yang berlokasi di Gunung Sindur, Kabupaten Bogor.

Pabrik pengolahan Magalarva di Gunung Sindur / Magalarva

Akumulasi sampah yang telah diolah sejak 2018 hingga sekarang mencapai 5 ribu ton. Yang terpenting meningkatnya kapasitas ini mampu membuat ongkos produksi Magalarva jauh lebih efisien turun jadi 70% dan bisa menjual BSF dengan harga lebih terjangkau.

Sumber sampah diambil dari mitra perusahaan, seperti produsen susu (Cimory, Indolakto), Dinas Lingkungan Hidup, startup waste management (Rekosistem, Waste4Change), hingga pengelola pasar tradisional (Pasar Induk Kramat Jati). “Beauty-nya di sini. Instead bersaing, kita jadi solusi untuk mereka karena food waste yang dikumpulkan, kita olah. Kita menawarkan service dan value kita ke mereka.”

“Ini sesuai dengan misi kita reduksi sampah sebesar-besarnya, walau angka ini masih belum bisa berikan impact yang besar. Tapi kita sudah melakukan sesuatu yang nyata.”

Rencana perusahaan

Penjualan panen dilakukan oleh tim Magalarva dalam berbagai bentuk, baik itu B2B maupun B2C. Perusahaan bekerja sama dengan pengusaha lokal untuk menjadi distributor/reseller. Biasanya mereka adalah pemilik toko makanan hewan, entah itu untuk penghobi ikan koi, burung, dan ayam.

Di samping itu, juga sudah ekspor ke Korea Selatan, Jepang, dan Singapura. Rendria membidik ke depannya dapat rutin ekspor hingga dua kontainer, masing-masing berkapasitas 15 ton per kontainernya. Negara yang akan disasar, yakni Amerika Serikat, Amerika Latin, dan Asia Tenggara.

Rendria mengaku pihaknya sedang menggalang pendanaan putaran baru untuk beli alat baru dan menambah luas pabrik. “Sekarang kita kebanjiran order tapi kita butuh capital untuk tambah kapasitas karena yang sekarang sudah mentok.”

Selain tambah ekspor, perusahaan berencana untuk masuk ke industri lainnya, seperti tambak udang dan unggas agar penyerapan hasil panen dapat lebih masif. Kedua industri ini juga tak kalah besar potensi pasarnya.

Sebagai catatan, Magalarva telah didukung dengan sejumlah pendanaan dari investor. Pertama kali diperoleh pada Juni 2019 dari Innovation Factory milik Salim Group dan Gree Venture, nominal yang diterima sebesar $500 ribu. Kemudian pada akhir 2022, mendapat tambahan suntikan dari Bali Investment Club.

Pekerjaan rumah Magalarva dan teman-teman sejenisnya masih begitu besar.

Data Pengelolaan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup (KLHK) menyebutkan volume sisa makanan atau food waste mencapai 28,5 juta ton atau 40,6% dari seluruh total timbunan sampah di tanah air pada 2022. Sampah dari rumah tangga jadi penyumbang terbesar dengan persentase sebesar 38,3%.

Data pendukung lainnya dari Bappenas menyebutkan Indonesia membuang 23-48 juta ton sampah makanan per tahun sepanjang periode 2000-2019. Food waste tersebut menimbulkan kerugian ekonomi sebesar Rp231 triliun-Rp551 triliun per tahun. Padahal secara sosial, sebetulnya kerugian ini dapat memberi makan kepada 61-215 juta orang per tahun.

Dari dampak lingkungan, sampah organik merupakan penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca dalam bentuk gas metan. Gas ini memiliki potensi pemanasan global yang efeknya dahsyat, yakni mencapai 28 kali lipat lebih besar dari karbondioksida.

Tren Humanisasi Hewan Peliharaan Cetuskan Startup Baru Bermunculan

Belakangan semakin beragam vertikal bisnis startup di Indonesia yang didanai oleh modal ventura, salah satunya di bidang makanan hewan. Industri mulai dilirik karena dipengaruhi tren global, yakni humanisasi hewan peliharaan, seperti dikutip dari laporan NielsenIQ bertajuk “2023 Pet Trends for Pet Food and Pet Supply Brands”.

Humanisasi hewan peliharaan tidak hanya mendorong industri perawatan hewan secara keseluruhan, namun juga mendorong tren terbesar: personalisasi makanan hewan.

Menurut laporan tersebut, nutrisi yang dipersonalisasi mewakili salah satu tren terbesar dalam ritel online. Ketika pemilik hewan peliharaan menyadari bahwa hewan peliharaannya adalah individu setara seperti manusia, maka mereka akan mencari makanan hewan yang mencerminkan seleranya.

Hasilnya terjadi peningkatan produk premium – dengan meningkatnya jumlah makanan/camilan/suplemen ‘alami’, ‘mentah’, dan ‘organik’ – yang memberikan banyak pilihan bagi pemilik.

Startup

Produk Pendanaan

Jajaran Investor

Compawnion Makanan sehat untuk anjing dari bahan alami Tahap awal, nominal tidak diungkap East Ventures
Pawprints Makanan penuh protein dari larva BSF untuk anjing dan kucing Tahap awal, senilai $1,7 juta Creative Gorilla Capital (lead), Altrui, Tujuh Bersaudara Investindo, dan investor individu
Magalarva Produsen budidaya larva BSF untuk campuran pakan ternak, unggas, dan peliharaan Tahap awal, nominal tidak diungkap Innovation Factory, Strive (sebelumnya bernama Gree Venture), dan Bali Investment Club

Pengalaman ini turut menginspirasi Jacqueline Sulistyo (Founder dan CEO Pawprints) sebelum mantap menyeriusi Pawprints. Jackie, panggilan akrab Jacqueline, terinspirasi untuk membuat makanan hewan karena kucingnya, Leo, yang pemilih dengan menu makannya. Agar Leo lahap makan, ia melewati berbagai uji coba dengan merek dan jenis pet food yang berbeda, sampai akhirnya ia mulai belajar tentang nutrisi hewan peliharaan.

“Di situ saya menemukan manfaat luar biasa dari larva black soldier fly (BSF) dan protein serangga. Ketika saya berikan BSF kering ke Leo, saya kaget ternyata ia benar-benar menyukainya. Itu momen saya menciptakan Pawprints, yang menggunakan sumber protein alternatif yang bernutrisi, tetapi juga ramah lingkungan untuk hewan kesayangan dan bumi,” terang Jackie saat dihubungi DailySocial.id.

Sumber: Pawprints

Dari konsep sampai jadi produk yang sekarang sudah beredar, Jackie melakukan penelitian ekstensif bersama para ahli nutrisi makanan hewan dan dokter hewan di Australia demi memastikan makanan yang dibuat itu bergizi dan lezat untuk kucing. Proses ini penuh tantangan karena Jackie merupakan sole founder Pawprints.

Berkat dukungan para profesional di Jepang dan Indonesia, Pawprints berhasil meluncurkan produk pertamanya untuk kucing (Insect-Based Cat Food) pada Juni 2023.

“Lebih dari sekadar merek pet food, saya ingin membawa inovasi dan meningkatkan kualitas nutrisi hewan peliharaan di Indonesia,” tambahnya.

BSF atau larva lalat tentara hitam ini memiliki kandungan nutrisi yang tinggi, terutama protein yang sangat dibutuhkan dalam industri pakan ternak. Berbeda dengan belatung pada umumnya, BSF memiliki ukuran yang lebih besar dan berwarna hitam menyerupai tawon. BSF punya keunikan, yakni sifatnya yang tidak menularkan bakteri, penyakit, ataupun kuman pada manusia sehingga sangat cocok untuk dijadikan pakan ternak.

Misi Pawprints tidak sekadar menjual makanan hewan yang sehat saja, tapi menekankan pentingnya nutrisi optimal untuk kesejahteraan hewan kesayangan. Agar selaras, timnya gencar mengedukasi para pemilik hewan −dengan menggaet komunitas pecinta hewan− untuk mengetahui informasi penting mengenai kebutuhan diet hewan dan keunggulan gizi protein serangga.

Secara industri, terdapat peraturan yang ketat untuk memastikan keamanan dan kualitas makanan hewan di Indonesia. Kondisi ini memperlihatkan bahwa di pasar saat ini menunjukkan konsentrasi merek di kedua ujung spektrum −merek internasional dan lokal− yang tidak selalu mematuhi standar internasional dalam formulasi dan label pet food.

Maka dari itu, kualitas makanan Pawprints sudah diformulasi sesuai standar ketat yang ditetapkan oleh AAFCO (Association of American Feed Control Officials) demi memastikan keamanan, kualitas, dan kelengkapan gizi. “Standar seperti ini tidak selalu diperhatikan secara seksama.”

Pawprints menggabungkan strategi omnichannel dalam distribusi produknya. Perusahaan telah bermitra dengan lebih dari 500 toko offline yang tersebar di 11 kota di seluruh Indonesia. Di samping itu, juga memasarkan langsung di platform marketplace di Shopee dan Tokopedia.

Founder dan CEO Pawprints Jacqueline Sulistyo / Pawprints

Pada tahun ini, Pawprints akan melanjutkan penelitian untuk pengembangan produk, seperti merilis produk makanan untuk anjing (Insect-Based Dog Food) dan wet food demi mengatasi masalah kesehatan umum pada kucing dan anjing. “Kami sangat antusias tentang perjalanan ke depan dan tetap berkomitmen untuk membuat Pawprints menjadi pet food yang identik dengan nutrisi hewan peliharaan berkualitas di Indonesia.”

Selain Pawprints, terdapat juga Compawnion yang sudah beroperasi dan juga mengantongi pendanaan dari investor. Compawnion memiliki dua merek makanan untuk anjing yakni, Pawmeals dan UGO, masing-masing mengkhususkan diri dalam menyusun makanan segar yang sehat, alami, dan siap saji untuk hewan peliharaan.

Pendekatan berbeda

Sedikit berbeda dengan Pawprints, Magalarva juga memanfaatkan larva BSF untuk makan hewan ternak. Bedanya, mereka adalah pembudidaya belatung yang mengonsumsi limbah organik. Makanya Magalarva memperkenalkan dirinya sebagai startup berdampak yang berfokus pada isu lingkungan.

Melalui Magalarva, Co-founder dan CEO Magalarva Rendria Arsyan Labde mampu menyulap tumpukan sampah menjadi ladang penghidupan. Dari hasil risetnya, ditemukan bahwa penyelesaian solusi sampah yang ada sekarang justru lebih menaruh perhatian pada sampah plastik. Padahal, jumlah sampah organik ternyata lebih banyak dibanding sampah non-organik.

Co-founder dan CEO Magalarva Rendria Arsyan Labde

Sebelum Magalarva hadir, ia sudah terekspos dengan hal-hal berbau sustainable farming. Pandangannya soal hidup pun mulai berubah. Ia pun coba terjun ke bisnis properti sebagai pengembang untuk perumahan yang keberlanjutan. Ternyata ini tidak bisa tumbuh cepat dalam mempengaruhi orang banyak.

“Saya mulai ulik masalah di kota, ternyata sampah jadi masalah yang parah. Saya ikuti alur sampah dari rumah saya ke mana, diurut sampai di ujungnya di Bantar Gebang. Di situ tahu faktanya mengenaskan. 100% sampah dari Jakarta itu 70%-nya organik, tapi banyak orang yang fokus ke sampah plastiknya. Kenapa tidak ada yang urus 70%-nya. Sampah organik ini di ujungnya tidak ada supply chain,” terang Rendria.

Ia dan co-founder lainnya bukan ahli biologi dan agrikultur. Untuk itu, mereka melakukan banyak riset di negara maju sembari mematangkan model bisnis yang scalable dan berkelanjutan. Perjalanan riset ini tidak semulus yang dibayangkan, tak terhitung berapa kali uji coba hingga menemukan formula tepat dan efisien.

“Pemanfaatannya ada tapi rantai tertutup. Saya validasi lagi ini bener scalable dan visible gak sih. Di negara maju sudah ada perusahaannya dan memang bisa. Saya percaya kalau ini ditekuni bisa jadi solusi.”

Sejak uji coba dimulai di 2017, Magalarva mengelola sampah organik sebanyak 50 kilogram dalam sehari. Kini angkanya sudah berlipat-lipat ganda jadi 40 ton dalam sebulan, semuanya diproses langsung di pabrik berlokasi di Gunung Sindur, Kabupaten Bogor.

Sumber: Magalarva

Sumber sampah diambil dari mitra perusahaan, seperti produsen susu, Dinas Lingkungan Hidup, startup waste management, seperti Rekosistem dan Waste4Change, hingga pengelola pasar tradisional. “Beauty-nya di sini. Instead bersaing, kita jadi solusi untuk mereka karena food waste yang dikumpulkan, kita olah. Kita menawarkan service dan value kita ke mereka.”

Larva BSF diketahui memiliki nafsu makan tinggi, bisa makan dua kali lebih banyak dari berat badannya per hari. Belatung ini mampu mengurai sampah organik dalam waktu dua minggu hingga 20 hari. Jarak panennya juga terhitung cepat dari usia 10 hingga 24 hari, yakni di saat telur BSF sudah menetas dan masuk fase larva hingga masuk fase pupa.

Setiap panen, Magalarva akan memrosesnya langsung untuk dicuci sampai dikeringkan untuk diolah jadi berbagai produk siap jual atau dicampur dengan bahan makanan lainnya, seperti varian larva segar, larva kering, larva bubuk, dan sebagainya. Hasil panen ini mengandung sumber protein tinggi yang dibutuhkan untuk pakan hewan ternak ikan, udang, unggas, hingga hewan peliharaan seperti kucing dan anjing.

Penjualan panen ini dilakukan oleh tim Magalarva dalam berbagai bentuk, baik itu B2B maupun B2C, malah sudah diekspor ke Korea Selatan, Jepang, dan Singapura untuk BSF yang sudah berbentuk bubuk. Rendria membidik ke depannya Magalarva dapat rutin ekspor sebanyak 2 kontainer, masing-masing berkapasitas 15 ton per kontainernya.

Saat ini kapasitas produksi Magalarva sudah naik lima kali lipat. Sampah yang bisa dikelola mencapai 200 ton untuk satu bulan. Akumulasi sampah yang telah diolah sejak 2018 hingga sekarang mencapai 5 ribu ton. Yang terpenting meningkatnya kapasitas ini mampu membuat ongkos produksi Magalarva jauh lebih efisien turun jadi 70%.

“Ini sesuai dengan misi kita reduksi sampah sebesar-besarnya, walau angka ini masih belum bisa berikan impact yang besar. Tapi kita sudah melakukan sesuatu yang nyata.”

Sumber: Magalarva

Rendria mengaku pihaknya sedang menggalang pendanaan putaran baru untuk beli alat baru dan menambah luas pabrik. “Sekarang kita kebanjiran order tapi kita butuh capital untuk tambah kapasitas karena yang sekarang sudah mentok.”

Bila sudah rampung, perusahaan akan menggalakkan strategi ekspor. Sudah ada calon pembeli dari Amerika Serikat, Amerika Latin, dan sejumlah negara di ASEAN, seperti Vietnam. Lalu masuk ke industri lainnya, seperti tambak udang dan unggas agar penyerapan hasil panen dapat lebih masif. Kedua industri ini juga tak kalah besar potensi pasarnya.

Sebagai catatan, Magalarva telah didukung dengan sejumlah pendanaan dari investor. Pertama kali diperoleh pada Juni 2019 dari Innovation Factory milik Salim Group dan Gree Venture (kini bernama Strive), nominal yang diterima sebesar $500 ribu. Kemudian pada akhir 2022, mendapat tambahan suntikan dari Bali Investment Club.