Pelopor Industrialisasi Larva BSF, Magalarva Reduksi Sampah Organik Jadi Makanan Super untuk Hewan

Rendria Arsyan Labde tidak menyangka, terekspos dengan hal-hal berbau sustainable farming membawanya jadi pelopor larva black soldier fly (BSF) di Indonesia, lewat Magalarva. Dulu ia buta soal BSF, namun kini mampu menemukan formula yang tepat dan efisien untuk produksi larva bahkan diekspor ke berbagai negara.

Sempat ia terjun ke bisnis properti sebagai pengembang perumahan yang berkelanjutan. Setelah dijalani, ternyata dampak yang bisa eskalasi tidak semasif dari yang ia prediksi. Rendria menggali lebih jauh dimulai dari isu di perkotaan, bertemulah dengan isu sampah yang makin parah.

Gerakan kesadaran sampah yang digalakkan sejauh ini hanya berkutat pada sampah non-organik. Padahal sampah organik jumlahnya jauh lebih banyak, sekitar 70% dari data yang ia temukan. Dari serangkaian riset yang dilakukan, ia bertemu pertama kali dengan larva BSF di Jawa Tengah. Belatung jenis ini berbeda dari yang ia ketahui selama ini karena saat makan begitu geragas melahapnya.

Selanjutnya, membaca jurnal ilmiah hingga belajar ke perusahaan di luar negeri untuk mencari tahu apakah ini ada nilai ekonominya. “Saya validasi lagi ini bener scalable dan visible gak sih. Di negara maju sudah ada perusahaannya dan memang bisa. Saya percaya kalau ini ditekuni bisa jadi solusi di Indonesia,” ujar Rendria kepada DailySocial.id.

Co-founder dan CEO Magalarva Rendria Arsyan Labde / Magalarva

Sebagai catatan, Magalarva adalah satu dari perusahaan bioteknologi yang menggeluti bisnis pengolahan limbah makanan menjadi pakan ternak dan pupuk organik berbahan dasar larva BSF.

Saat berdiri di 2017, Rendria mengaku belum ada pengusaha budidaya ini yang sudah masuk tahap industrialisasi. Untuk belajar dari ahli BSF di Indonesia saja belum ada yang benar-benar kuat, beda halnya kalau mau belajar budidaya udang atau jenis ikan lainnya sudah banyak ahlinya.

Sambil menyelam minum air, tak terhitung berapa banyak penelitian dan uji coba untuk menemukan formula budidaya BSF yang tepat. Layaknya makhluk hidup, seringkali BSF atau larva atau belatung ini tidak cocok dengan suhu atau makanan tertentu, maka harus dipelajari lebih dalam agar hasilnya terbaik.

“Sekarang sudah jalan lima tahun, kita percaya bahwa kita ini terbaik di Indonesia karena bisa dapat efisiensi cost paling tinggi.”

BSF dianggap sebagai senjata paling efektif dalam mengurai volume sampah makanan. Binatang ini tidak punya mulut dan organ pencerna. Mereka hanya makan saat masih jadi larva dan hanya memakan sisa hewan atau tumbuhan yang membusuk. Satu larva BSF bisa makan empat kali dari berat badannya, waktu yang dibutuhkan untuk menghabiskan makanan dalam volume kakap sekitar 2-3 hari saja.

Setelah itu, larva akan mengeluarkan kotoran apa yang dimakan menjadi pupuk. Sebagian larva ada yang diternakkan hingga jadi lalat, sebagian lagi dikeringkan menjadi pakan ternak. BSF yang dikeringkan, biasanya digunakan untuk kebutuhan ekspor. Selain bisa diberikan langsung untuk hewan, belatung kering yang telah diperoses lebih lanjut menjadi tepung dan minyak dapat dijadikan sebagai pelengkap pakan.

Siklus metamorfosis dimulai dari telur lalat hingga BSF kawin memakan waktu kurang lebih 41 hari. “Kita panen hidup-hidup belatungnya. Kita proses di pabrik untuk dicuci dan dikeringkan. Hasil belatung kering ini sumber protein tinggi yang sangat dibutuhkan untuk makanan hewan, baik ikan, ayam, udang, bisa dipakai langsung atau jadi bahan campuran.”

Pada tahun pertama, Magalarva mengelola sampah sebanyak 50 kilogram dalam sehari. Kini angkanya sudah berlipat-lipat ganda jadi 200 ton dalam sebulan, semuanya diproses langsung di pabrik pengolahan limbah makanan yang berlokasi di Gunung Sindur, Kabupaten Bogor.

Pabrik pengolahan Magalarva di Gunung Sindur / Magalarva

Akumulasi sampah yang telah diolah sejak 2018 hingga sekarang mencapai 5 ribu ton. Yang terpenting meningkatnya kapasitas ini mampu membuat ongkos produksi Magalarva jauh lebih efisien turun jadi 70% dan bisa menjual BSF dengan harga lebih terjangkau.

Sumber sampah diambil dari mitra perusahaan, seperti produsen susu (Cimory, Indolakto), Dinas Lingkungan Hidup, startup waste management (Rekosistem, Waste4Change), hingga pengelola pasar tradisional (Pasar Induk Kramat Jati). “Beauty-nya di sini. Instead bersaing, kita jadi solusi untuk mereka karena food waste yang dikumpulkan, kita olah. Kita menawarkan service dan value kita ke mereka.”

“Ini sesuai dengan misi kita reduksi sampah sebesar-besarnya, walau angka ini masih belum bisa berikan impact yang besar. Tapi kita sudah melakukan sesuatu yang nyata.”

Rencana perusahaan

Penjualan panen dilakukan oleh tim Magalarva dalam berbagai bentuk, baik itu B2B maupun B2C. Perusahaan bekerja sama dengan pengusaha lokal untuk menjadi distributor/reseller. Biasanya mereka adalah pemilik toko makanan hewan, entah itu untuk penghobi ikan koi, burung, dan ayam.

Di samping itu, juga sudah ekspor ke Korea Selatan, Jepang, dan Singapura. Rendria membidik ke depannya dapat rutin ekspor hingga dua kontainer, masing-masing berkapasitas 15 ton per kontainernya. Negara yang akan disasar, yakni Amerika Serikat, Amerika Latin, dan Asia Tenggara.

Rendria mengaku pihaknya sedang menggalang pendanaan putaran baru untuk beli alat baru dan menambah luas pabrik. “Sekarang kita kebanjiran order tapi kita butuh capital untuk tambah kapasitas karena yang sekarang sudah mentok.”

Selain tambah ekspor, perusahaan berencana untuk masuk ke industri lainnya, seperti tambak udang dan unggas agar penyerapan hasil panen dapat lebih masif. Kedua industri ini juga tak kalah besar potensi pasarnya.

Sebagai catatan, Magalarva telah didukung dengan sejumlah pendanaan dari investor. Pertama kali diperoleh pada Juni 2019 dari Innovation Factory milik Salim Group dan Gree Venture, nominal yang diterima sebesar $500 ribu. Kemudian pada akhir 2022, mendapat tambahan suntikan dari Bali Investment Club.

Pekerjaan rumah Magalarva dan teman-teman sejenisnya masih begitu besar.

Data Pengelolaan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup (KLHK) menyebutkan volume sisa makanan atau food waste mencapai 28,5 juta ton atau 40,6% dari seluruh total timbunan sampah di tanah air pada 2022. Sampah dari rumah tangga jadi penyumbang terbesar dengan persentase sebesar 38,3%.

Data pendukung lainnya dari Bappenas menyebutkan Indonesia membuang 23-48 juta ton sampah makanan per tahun sepanjang periode 2000-2019. Food waste tersebut menimbulkan kerugian ekonomi sebesar Rp231 triliun-Rp551 triliun per tahun. Padahal secara sosial, sebetulnya kerugian ini dapat memberi makan kepada 61-215 juta orang per tahun.

Dari dampak lingkungan, sampah organik merupakan penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca dalam bentuk gas metan. Gas ini memiliki potensi pemanasan global yang efeknya dahsyat, yakni mencapai 28 kali lipat lebih besar dari karbondioksida.

Surplus Kantongi Pendanaan Awal dari SPIL Ventures

Startup pengembang layanan food waste preventionSurplus” mengumumkan pendanaan awal dari Salam Pacific Indonesia Lines (SPIL Ventures). Tidak disebutkan  nilai investasi yang diberikan.

Co-Founder & CEO Surplus Indonesia Muhammad Agung Saputra mengatakan, lewat pendanaan ini perusahaan ingin mengembangkan lebih lanjut model B2B untuk membangun ekosistem end-to-end dalam pencegahan timbulnya food waste.

“Dengan pendanaan awal ini, Surplus Indonesia akan melakukan perluasan market pengguna layanan aplikasi Surplus. Kami juga berharap kolaborasi pentahelix yang melibatkan banyak pihak, antara akademisi, pebisnis, komunitas, pemerintah, dan media dapat terjadi untuk menjadi dasar dalam pencegahan timbulan food waste di Indonesia,” kata Agung.

Sebelumnya Surplus juga sempat melakukan crowdfunding. Namun  kesulitan untuk mendapatkan pendonor karena kurangnya awareness Surplus di mancanegara, target yang mereka inginkan pun tidak tercapai.

Sampai saat ini, Surplus telah bekerja sama dengan beberapa pusat perbelanjaan (seperti Mall Sarinah), perhotelan (meliputi Marriott International Group, Swiss Belhotel International, Ascott Group, Artotel Group), middle-high F&B brand, supplier sayur dan buah, serta industri rumahan maupun UMKM.

“Adapun alasan SPIL Ventures memberikan pendanaan ke Surplus Indonesia dikarenakan kami melihat inovasi pengembangan aplikasi yang tidak hanya dalam bentuk suatu marketplace tetapi juga secara langsung memberikan solusi terhadap dampak lingkungan terutama terkait food waste,” kata VP Investment SPIL Ventures Sumarny Manurung.

Pertumbuhan positif Surplus

Diluncurkan pada Maret 2021, Surplus menjadi food rescue app pertama di Indonesia yang dapat digunakan untuk memesan produk makanan dan minuman overstock dari bisnis F&B dengan harga diskon 50% pada waktu tertentu.

Surplus sudah beroperasi di area Jabodetabek, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Malang, dan Bali. Mereka juga mengaku telah mempunyai sekitar 100 ribu pengguna aktif.

Surplus juga menjadi salah satu green tech startup dengan sertifikasi B-corp yang memiliki misi dalam pencegahan masalah food waste. Dukungan dari pemerintah juga telah didapatkan Surplus Indonesia, antara lain dari Kemenparekraf, KemenkopUKM, Dinas PPKUKM DKI Jakarta, dan Pemda Yogyakarta.

Dampak yang telah dihasilkan dari pemesanan di aplikasi Surplus sampai Desember 2022 meliputi 30 ribu ton makanan terselamatkan, mencegah kerugian hingga $80 ribu, dan mencegah potensi emisi hingga 350 ton CO2 eq.

“Platform ini dikembangkan untuk menjadi solusi dalam memaksimalkan penjualan produk overstock dari bisnis F&B agar tidak tersia-siakan dan hanya berakhir menjadi food waste,” ujar Agung.

Application Information Will Show Up Here

East Ventures Leads Investment for TreeDots, Providing Social Commerce for Groceries

TreeDots, a Singapore-based social commerce startup for groceries (also maximizing the decent potential of the leftovers), announced a series A funding round of $11 million (over 157 billion Rupiah) led by East Ventures (Growth Fund) and Amasia. There are other investors join this round, including ACTIVE Fund, Seeds Capital, Nir Eyal (writer), and Fiona Xie (actress).

The funds will be used for platform development, the company’s food logistics optimization, TreeLogs and regional expansion, post entering the Malaysian market last year.  The company didn’t mention its next target country.

TreeDots’ Co-founder & CEO, Tylor Jong said to DailySocial that his team is currently in discussion regarding the plan. “We have plans to expand our regional coverage and we are in the middle of comprehensive exploration [the next country] where it will make sense for us,” Jong said.

TreeDots was founded by Tylor Jong, Lau Jia Cai, and Nicholas Lim in 2018. The company is a marketplace for surplus and imperfect groceries, in response to the wasted food isssues, especially decent food that is being thrown away. TreeDots technology helps redistribute unsold inventory from suppliers to businesses such as restaurants and cafes, enabling them to obtain affordable food supplies.

Globally, there is one-third food produced for consumption is wasted. In Asia, most of these problems are caused by inefficient supply chains. Imperfect food in terms of aesthetic is often dumped even though it is considered decent as the ones commonly found on grocery store shelves. This surplus food is often burned or left to rot, producing methane and other greenhouse gases with 86 times more harmful impact on global warming than carbon dioxide.

“We realized that grocery store chains tend not to buy a huge chicken or in the imperfect shape because it would look weird on the shelves. However, F&B outlets could not care less as it will be cut and processed to be served. Therefore, they’ll be very happy to be able to buy the same products for up to 90 percent cheaper than the alternatives. It encourages us to start a surplus food marketplace to match the supply and demand for these products,” Jong explained separately in an official statement, Thursday (11/11).

TreeDots’s target market is F&B franchises and social commerce to accommodate group purchasing. Thus, consumers can buy the same product with much cheaper price. TreeDots sends multiple orders at once to a single address and group buyers can pick up their individual orders from that address. It allows buyers to save on logistics costs, as well as reduce emissions compared to traditional e-commerce models that require a special trip for each order.

In terms of sales. prior to joining TreeDots, suppliers often paid for a delivery service to send their waste to a landfill. In this case, they can now earn additional income from these imperfect products in a way helping to preserve the earth.

TreeDots also helps digitize suppliers’ operations using an app, and they recently launched TreeLogs, a cold-chain logistics to improve the supplier’s operation efficiency. This vertically integrated ecosystem allows upstream suppliers to focus their efforts on their area of ​​excellence, food processing and production.

“Food wasted has becocme a trillion dollar issue, but what excites us is the fact that suppliers are starting to use the TreeDots system for their entire income, not just leftovers. When one of their trucks can make one delivery to an area, TreeDots can make five deliveries on the same trip by working with the entire supplier group. The increased network density allows for lower logistics costs and emission levels,” East Ventures’ Managing Partner, Roderick Purwana said.

TreeDots Gross Merchandise Value (GMV) has grown more than 4 times year on year. “There are a lot of businesses serving the F&B industry that comes with difficulty during the pandemic. However, we are very impressed with the ability of the TreeDots team to drive exponential growth amid difficult circumstances,” Amasia’s Managing Partner, who also led TreeDots’ initial funding round in 2019, John Kim said.

As TreeDots business expands, Janet Sarah Neo, Vice President, Corporate Sustainability & Government Affairs at Lazada and Executive Board Member at Temasek Foundation Liveability, will join TreeDots as a Board Observer.

Startups with resembled energy

With the resembled energy to maximize the potential of surplus food, a local startup called Surplus has launched in Indonesia. The platform allows F&B businesses to sell excees and imperfect yet decent food products at certain hours before closing the shop with a half price discount.

More than 400 Surplus partners come from across Jabodetabek, Bandung and Yogyakarta. Most of them are engaged in businesses that produce a lot of excess food products, such as bakery & pastry, cafes, restaurants, hotels, supermarkets, catering, and agriculture.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

East Ventures Pimpin Pendanaan TreeDots, Hadirkan Solusi “Social Commerce” untuk Bahan Makanan

TreeDots, startup social commerce asal Singapura untuk bahan makanan (termasuk memaksimalkan potensi bahan makanan layak yang tersisa), mengumumkan perolehan pendanaan seri A sebesar $11 juta (lebih dari 157 miliar Rupiah) yang dipimpin East Ventures (Growth Fund) dan Amasia. Beberapa investor lain yang turut bergabung adalah ACTIVE Fund, Seeds Capital, penulis Nir Eyal, dan aktris Fiona Xie.

Pendanaan ini akan dimanfaatkan untuk pengembangan platform, pengoptimalan logistik makanan milik perusahaan, TreeLogs, dan ekspansi secara regional, setelah masuk ke Malaysia pada tahun lalu. Tidak disebutkan negara berikutnya yang dibidik.

Kepada DailySocial.id, Co-founder & CEO TreeDots Tylor Jong menuturkan, pihaknya berada di tengah diskusi lebih dalam terkait rencana tersebut. “Kami memiliki rencana untuk memperluas cakupan regional kami dan kami berada di tengah pemahaman [negara berikutnya] di mana akan masuk akal bagi kami,” kata Jong.

TreeDots didirikan oleh Tylor Jong, Lau Jia Cai, dan Nicholas Lim pada 2018. Perusahaan adalah marketplace untuk bahan makanan yang surplus dan tidak sempurna, dalam menyikapi permasalahan makanan yang terbuang sia-sia, terutama makanan yang dapat dikonsumsi namun dibuang. Teknologi TreeDots membantu pendistribusian ulang inventaris yang tidak terjual dari pemasok kepada bisnis seperti restoran dan kafe, memungkinkan mereka untuk mendapatkan pasokan makanan dengan harga terjangkau.

Secara global, sepertiga dari semua makanan yang diproduksi untuk dikonsumsi terbuang sia-sia. Di Asia, sebagian besar dari masalah tersebut disebabkan oleh rantai pasok yang tidak efisien. Makanan yang tidak sempurna secara estetis sering kali terbuang ke tempat pembuangan akhir padahal masih dalam kondisi segar dan bergizi sebagaimana makanan yang biasa ditemukan di rak-rak toko grosir. Makanan surplus tersebut sering dibakar atau dibiarkan membusuk, sehingga menghasilkan metana dan gas rumah kaca yang memiliki dampak 86 kali lebih berbahaya pada pemanasan global daripada karbon dioksida.

“Kami menyadari bahwa rantai toko grosir mungkin tidak akan membeli ayam yang terlalu besar atau memiliki tulang yang patah karena akan terlihat aneh di rak mereka. Tetapi gerai F&B tidak peduli karena mereka akan memotong dan menata makanan sebelum mereka sajikan. Jadi, jika mereka dapat membeli produk yang pada dasarnya sama dengan harga hingga 90 persen lebih murah daripada produk alternatif, mereka akan sangat senang. Hal tersebut mendorong kami untuk memulai marketplace makanan surplus untuk mencocokkan pasokan dan permintaan produk-produk tersebut,” terang Jong secara terpisah dalam keterangan resmi, Kamis (11/11).

Target pengguna platform TreeDots adalah waralaba F&B dan social commerce untuk mengakomodasi kebutuhan pembelian kelompok. Dengan demikian, konsumen dapat membeli produk yang sama dengan harga diskon yang lebih besar. TreeDots mengirimkan beberapa pesanan sekaligus ke satu alamat dan para pembeli dalam grup bisa mengambil barang pesanan masing-masing dari alamat tersebut. Langkah ini memungkinkan penghematan biaya logistik bagi para pembeli, juga mengurangi emisi jika dibandingkan dengan model e-commerce tradisional yang memerlukan perjalanan khusus untuk setiap pesanan yang dikirimkan.

Dari sisi penjualan, sebelum bergabung dengan TreeDots, para pemasok sering kali membayar layanan pengiriman untuk mengirim barang limbah mereka ke tempat pembuangan akhir. Dengan adanya TreeDots, sekarang mereka dapat memperoleh pendapatan tambahan dari barang bahan tersebut dan merasa puas karena dapat membantu melestarikan bumi.

TreeDots juga membantu digitalisasi operasi para pemasok menggunakan sebuah aplikasi, dan baru-baru ini mereka meluncurkan TreeLogs, penawaran logistik rantai dingin (cold-chain logistics) yang meningkatkan efisiensi proses operasi para pemasok. Ekosistem terintegrasi yang vertikal ini memungkinkan para pemasok di hulu untuk memfokuskan upaya mereka di area keunggulan mereka, yaitu pemrosesan dan produksi makanan.

“Makanan yang terbuang sudah menjadi sebuah masalah bernilai triliunan dolar, tetapi yang membuat kami sangat bersemangat adalah fakta bahwa para pemasok mulai menggunakan sistem TreeDots untuk seluruh pendapatan mereka, bukan hanya produk sisa makanan. Jika salah satu truk mereka dapat menjalankan satu pengiriman ke suatu daerah, TreeDots dapat melakukan lima pengiriman pada perjalanan yang sama dengan bekerja bersama seluruh kelompok pemasok. Kepadatan jaringan yang telah meningkat memungkinkan penurunan biaya logistik dan tingkat emisi,” kata Managing Partner East Ventures Roderick Purwana.

Nilai Gross Merchandise Value (GMV) TreeDots telah tumbuh lebih dari 4 kali lipat dari tahun ke tahun. “Terdapat banyak bisnis yang melayani industri F&B yang mengalami kesulitan selama pandemi. Akan tetapi, kami sangat terkesan dengan kemampuan tim TreeDots untuk mendorong pertumbuhan eksponensial di tengah keadaan yang sulit,” kata Managing Partner Amasia John Kim, yang juga memimpin ronde pendanaan awal TreeDots pada 2019.

Sejalan dengan pengembangan bisnis TreeDots, Janet Sarah Neo, Vice President, Corporate Sustainability & Government Affairs di Lazada dan Executive Board Member di Temasek Foundation Liveability, akan bergabung dengan TreeDots sebagai Board Observer.

Startup dengan semangat yang sama

Dengan semangat yang sama ingin memaksimalkan potensi dari makanan surplus, startup lokal bernama Surplus telah hadir di Indonesia. Surplus memungkinkan para pelaku usaha F&B untuk menjual produk makanan berlebih dan imperfect produce yang masih aman dan layak untuk dikonsumsi di jam-jam tertentu sebelum tutup toko dengan diskon setengah harga.

Mitra Surplus yang telah bergabung disebutkan telah lebih dari 400 yang tersebar di Jabodetabek, Bandung, dan Yogyakarta. Kebanyakan mereka bergerak di usaha yang menghasilkan banyak produk makanan berlebih, seperti bakery & pastry, kafe, restoran, hotel, supermarket, katering, dan pertanian.

Application Information Will Show Up Here

Garda Pangan Hadirkan Inovasi Sosial untuk Selesaikan Masalah “Food Waste”

Garda Pangan adalah startup bidang sosial yang ingin menyelesaikan permasalahan “food waste” di wilayah Surabaya. Solusi yang dihadirkan memanfaatkan teknologi untuk dapat terhubung dengan industri terkait – seperti perhotelan, restoran dll—yang acap kali memiliki sisa makanan berlebih. Visi utama Garda Pangan ialah menghadirkan “sustainable and responsible food waste management”.

Founder Garda Pangan Eva Bachtiar menuturkan, Indonesia merupakan negara pembuang sampah makanan terbesar kedua di dunia. Rata-rata tiap orang bisa membuang 300kg makanan per tahunnya.

Dalam melakukan operasionalnya, Garda Pangan memanfaatkan situs sebagai one-stop service. Terdapat beberapa fitur di website, di antaranya permintaan penjemputan makanan, rekomendasi penerima, pendaftaran mitra hingga laporan lokasi distribusi. Untuk memaksimalkan proses bisnis, saat ini pihaknya tengah mengembangkan aplikasi mobile untuk para penjemput makanan.

Mulai beroperasi sejak Juni 2017, Garda Pangan telah berhasil bekerja sama berbagai restoran, tenant makanan, wedding organizer, distributor buah, bakery, dan pasar organik di wilayah Surabaya. Hingga kini Garda Pangan telah mengumpulkan 52.685 porsi makanan — setara menyelamatkan 7,9 ton potensi sampah terbuang. Mereka juga telah berhasil menyalurkan kepada 43.590 penerima.

Permasalahan “food waste” dan dampaknya

Ada tiga dampak dari food waste yang disoroti oleh Garda Pangan. Pertama dampak ekonomi, karena membuang sampah makanan berarti menyia-nyiakan sumber daya yang dibutuhkan untuk membuat makan tersebut. Dampak kedua adalah dampak lingkungan, hal ini tidak terlepas dari sampah makanan yang tertumpuk di tempat pembuangan akhir mengeluarkan gas metana yang merupakan salah satu gas penyumbang emisi rumah kaca.

Dan dampak berikutnya adalah sosial, karena akan menjadi sebuah ironi jika ada yang membuang makanan tapi di sisi lain masih ada yang kelaparan.

Berangkat dari itu semua pada akhirnya Garda ingin meminimalkan sampah makanan dan mengentaskan kelaparan melalui teknologi yang kembangkan. Garda Pangan menawarkan solusi yang disebut dengan “food rescue”, berusaha menyelamatkan makanan dari potensi terbuang.

“Makanan yang layak akan dikemas ulang, lalu dibagikan secara bermartabat kepada masyarakat pra-sejahtera yang membutuhkan, sementara makanan yang sudah tidak layak akan diolah menjadi pakan ternak dan kompos,” jelas Eva.

Dengan inovasi social enterprise yang dihadirkan, Garda Pangan beberapa kali mendapatkan penghargaan, di antaranya Go Startup Indonesia 2018 (Juara 1), Best of the Best Talent Scouting NextDev 2018, dan Startup with Best Social Impact oleh Tempo tahun 2017.

“Tahun 2019 Garda Pangan berencana untuk mengembangkan bisnis dengan menarik sebanyak-banyaknya klien baru dari industri hospitality dan industri makanan. Pendekatan inovatif yang ditawarkan Garda Pangan merupakan hal yang sangat baru, sehingga membutuhkan kanal-kanal promosi yang gencar untuk meningkatkan exposure dan minat dari industri tersebut untuk mulai beralih kepada pengelolaan sampah makanan yang lebih bertanggung jawab,” papar Eva.

Ia lebih jauh menjelaskan bahwa saat ini Garda Pangan terus berupaya untuk bisa melakukan advokasi kepada pemerintah kota Surabaya untuk ikut peduli dengan isu food waste. Eva dan tim Garda Pangan percaya bahwa keterlibatan pemerintah akan bisa mendorong iklim yang lebih kondusif bagi para bisnis akanan untuk ikut bergabung dalam gerakan ini.

Solusi dari Garda Pangan sangat mungkin bisa diterapkan di kota-kota besar lainnya di luar Surabaya. Hanya saja saat ini Eva dan tim tidak ingin terburu-buru melakukan ekspansi, meski ada mimpi untuk membawa manfaat Garda Pangan lebih luas lagi.

“Tentu saja kami punya mimpi bahwa gerakan Garda Pangan ini bisa berkembang di seluruh kota di Indonesia. Akan tetapi kami juga tidak ingin terburu-buru. Kami sadar Garda Pangan masih sangat muda, dan kami ingin memperkuat terlebih dahulu pondasi di Garda Pangan Surabaya sebelum membuka cabang di kota lain. Kami juga masih fokus mengumpulkan best practice yang nantinya bisa diterapkan di kota lain,” tutup Eva.