Ismaya Group Terima Pendanaan 266 Miliar Rupiah Dipimpin East Ventures

Perusahaan yang bergerak di industri F&B dan lifestyle Ismaya Group mengumumkan perolehan pendanaan sebesar $18,1 juta atau setara 266 miliar Rupiah dipimpin oleh East Ventures. Investor sebelumnya, Falcon House Partners turut berpartisipasi dalam putaran kali ini.

Rencananya, dana segar ini akan digunakan untuk memperluas jangkauan bisnis di area ritel F&B, produk gaya hidup eksklusif, dan layanan pengiriman makanan. Selain itu, perusahaan juga akan mengoptimalkan pemanfaatan teknologi dalam mengakselerasi pertumbuhan bisnis melalui personalisasi.

Didirikan pada tahun 2003, Ismaya mengawali bisnis dengan membuka gerai pertamanya yang fokus pada industri hiburan di wilayah Jakarta Selatan. Setelah itu, mulai meramaikan sektor F&B secara bertahap dengan restoran-restoran seperti Pizza e Birra, Kitchenette, Publik Markette, Tokyo Belly, dan lainnya.

Kemudian mereka melebarkan sayap ke industri event promotion dengan Ismaya Lieve. Di bawah bendera Ismaya, berbagai artis papan atas telah menunjukkan aksinya di panggung festival musik tanah air. Festival musik seperti Djakarta Warehouse Project dan We The Fest sukses menjadi kegiatan tahunan yang menggaet minat seantero Asia Tenggara.

Hingga saat ini, Ismaya Group telah menjadi salah satu pemimpin pasar dengan lebih dari 100 lokasi termasuk restoran, lounge, dan festival papan atas.

CEO Ismaya Group Bram Hendratta mengungkap fakta bahwa banyak orang yang sudah kehilangan human touch dan interaksi secara fisik selama lebih dari dua tahun dipenjara oleh lockdown akibat pandemi. Hal ini sangat mempengaruhi industri F&B dan lifestyle, terutama pengalaman makan di tempat atau mengikuti festival. Ia melihat sekarang merupakan momentum untuk bisa menghidupkan kembali interaksi ini.

Roderick Purwana selaku Managing Partner East Ventures mengatakan, dirinya percaya pada brand dan kemampuan operasional yang telah dibangun Ismaya selama bertahun-tahun. Mereka telah sukses membangun bisnis lifestyle, tidak hanya di Indonesia tapi juga di luar negeri.

“Kami telah menjadi saksi akan ketangguhan tim dalam menavigasi dan mengatasi krisis; kini di saat kita semua melangkah menuju keadaan yang kembali normal dan keluar dari pandemi, kami yakin akan pertumbuhan dan keseruan yang akan dibawa oleh Ismaya Group ke depannya,” ungkapnya.

Portfolio East Ventures di industri F&B

Telah berdiri sejak tahun 2009, East Ventures yang memiliki kantor pusat di Singapura ini telah berubah menjadi platform holistik yang menyediakan investasi multi-tahap, termasuk seed dan growth untuk lebih dari 200 perusahaan di Asia Tenggara.

Berdasarkan laporan terbaru yang dirilis oleh DSInnovate bertajuk “Startup Report 2021“, East Ventures menduduki peringkat teratas dalam hal kuantitas pendanaan partisipasi di kuartal tahun 2022 dengan 22 putaran pendanaan. Statistik ini tidak jauh berbeda dengan hasil pada tahun 2021.

Sumber: DSInnovate

Sebagai VC yang paling aktif di Asia Tenggara, East Ventures bergerak di sektor agnostik. Hampir semua sektor di industri teknologi tanah air sudah dipenetrasi oleh jaringan EV, termasuk salah satu yang cukup besar juga adalah F&B. Sebelum Ismaya Group, East Ventures sudah mengucurkan dana untuk beberapa nama termasuk YummyCorp, Kulina, Greenly, dan yang belum lama ini mendapatkan pendanaan tahap awal adalah Legit Group.

East Ventures Umumkan Penerapan Aspek ESG dalam Berinvestasi

East Ventures meluncurkan “Sustainability Report 2022” untuk memaparkan dampak yang berhasil diciptakan -bersama ekosistemnya- dengan melibatkan kerangka kerja dan praktik Lingkungan, Sosial, dan Tata Kelola (LST/ Environmental, Social, and Governance/ESG) dalam mencapai masa depan yang lebih berkelanjutan dan inklusif.

Laporan ini salah satunya berbekal kiprahnya lebih dari satu dekade bekerja sama dengan ratusan pengusaha dalam mencapai perbaikan masyarakat secara keseluruhan. Diklaim, East Ventures telah mencatatkan lebih dari $86 miliar GMV tahunan dan $6,7 miliar pendanaan lanjutan.

Pada tahun lalu saja, East Ventures menutup lebih dari 80 kesepakatan investasi, termasuk di antaranya menambah 40 startup baru dalam portofolionya, dua kali lipat dari tahun sebelumnya. Seluruh pencapaian tersebut memperkuat posisi kepemimpinan East Ventures untuk terus memberikan dampak dan menuju keberlanjutan.

“Ini adalah inisiatif dan komitmen kami kepada pemangku kepentingan, memberikan informasi tentang tindakan yang telah kami terapkan dan integrasi SDGs dalam portofolio kami. Selain itu, dituangkan dalam gerakan-gerakan berikut yang akan kita dorong bersama untuk memberikan dampak yang baik dan masa depan yang lebih baik bagi bumi, manusia, dan tata kelola perusahaan,” tulis Founding Partner East Ventures Willson Cuaca dalam laporan.

Managing Partner East Ventures Roderick Purwana menambahkan, dalam mengimplementasikan praktik dan kerangka kerja ESG dalam proses investasinya, pihaknya menyiapkan tim dengan pengalaman global dan regional di multi industri. Di bawah Komite Investasi, kelompok tersebut memperkuat kepemimpinan LST untuk mengawasi kepatuhan, kebijakan, proses investasi, dan standar LST.

Kemudian, mengembangkan Kerangka Kerja Investasi Berkelanjutan (Sustainable Investment Network) untuk mengukur, melacak, dan meningkatkan dampak portofolionya terhadap lingkungan, ekonomi, dan masyarakat. Untuk strategi investasi keberlanjutan, East Ventures menerapkan dua pendekatan – Berbuat Baik dan Menghindari Bahaya (Doing Good and Avoiding Harm).

Berbuat Baik berarti menyediakan dan memungkinkan investasinya tumbuh dalam proposisi pasar yang berkelanjutan untuk mengoptimalkan dampak pada penerima manfaat. Sedangkan, Menghindari Bahaya berarti mengantisipasi dan memitigasi risiko atau potensi dampak sosial dan lingkungan yang merugikan pada praktik bisnis portofolio.

Dia melanjutkan, dalam mengukur dan memantau perbuatan baik dan menghindari bahaya, pihaknya menerapkan pendekatan investasi yang bertanggung jawab dalam proses, standar, dan alat yang digunakan dalam siklus investasi.

“Ada lima fase investasi yang kami rancang: penyaringan, uji tuntas, keputusan investasi, pasca investasi, dan exit. Selain itu, sebagai penandatanganan PRI (Principles for Responsible Investment), East Ventures akan memasukkan keenam prinsip untuk investasi yang bertanggung jawab ke dalam proses investasi dan praktik sehari-hari kami,” ucapnya.

Dicontohkan, dalam proses penyaringan, tim melakukan pra-penyaringan melalui kelayakan EST, daftar pengecualian, dan daftar periksa LST terkait dengan perusahaan portofolio potensial. Lalu, di uji tuntas, tim memverifikasi perusahaan portofolio potensial melalui penilaian risiko LST, kuesioner, untuk memastikan bahwa mereka selaras dengan kerangka peraturan dan standar kinerja IFC. Secara berkala, tim melacak kemajuan dampak berkelanjutan dari portofolio melalui rencana aksi dan pelaporan dan turut terlibat dalam proses penciptaan dampak.

Dalam pengukuran pertama dari calon investee soal risiko LST dan performa kinerja manajemen, East Ventures menyusun Sustainable Investment Toolkit untuk memastikan bahwa manajemen risiko dan kinerja LST mereka memenuhi harapan. Ada empat aspek utama dari toolkit ini, yakni Investment Data, ESG Questionnaire, Impact Questionnaire, dan Dashboard.

“Jika diperlukan dan sesuai, kebijaksanaan East Ventures akan digunakan untuk mengajukan klarifikasi, menafsirkan informasi dari setiap pertanyaan yang mungkin ditandai, dan memengaruhi perubahan positif,” tulis laporan tersebut.

Dampak melalui portofolio existing

Diklaim dari 17 tujuan yang disusun PBB dalam Tujuan Pembangunan Keberlanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs/Global Goals), ekosistem East Ventures telah berhasil mencapai 16 tujuan. Misalnya, di ranah e-commerce, terdapat Aruna, TreeDots, dan WarungPintar.

Aruna mampu menciptakan dampak untuk lebih dari 20 ribu nelayan, termasuk perempuan, dan lebih dari 10 komoditas yang didukung untuk meningkatkan mata pencaharian nelayan melalui akses pasar yang lebih baik dan peluang perdagangan yang lebih adil. Adapun, TreeDots berhasil menyelamatkan 3.500 ton makanan dan menghemat 13,9 miliar liter air.

Berikutnya di ranah fintech, terdapat ALAMI yang berhasil menyalurkan $70 juta pembiayaan untuk 1000 UMKM. Para peminjam tersebut kebanyakan biasanya tidak dapat memenuhi kriteria pinjaman bank tradisional. Skala yang lebih besar ditunjukkan oleh KoinWorks yang menyalurkan pembiayaan untuk 1,5 juta UMKM dan menyalurkan $50 juta pembiayaan per bulannya.

Di ranah healthtech, terdapat Homage yang berhasil beroperasi di empat negara, menjalin kerja sama dengan lebih dari 8.000 pengasuh, dokter dan perawat untuk memberikan perawatan kepada keluarga dan memberikan penghasilan tambahan bagi petugas kesehatan. Sementara, Nalagenetics mencetak pertumbuhan hingga 400% dalam hal peningkatan mitra rumah sakit pada 2021 dan meningkatkan 60% tes pengujian terkait Covid-19 dalam periode yang sama.

Tentunya dalam proses menciptakan dampak ini penuh tantangan, seperti dikutip dari EV-DCI 2022, masih banyak bisnis yang masih berjuang. Maka dari itu, East Ventures melakukan pengembangan kapasitas, termasuk pelatihan terkait ESG kepada perusahaan portofolio sambil memastikan bahwa East Ventures mengungkapkan secara teratur pada dampak dan kemajuan terkait LST.

“Inovasi digital terus membawa dampak positif bagi masyarakat, dan pemodal ventura menjadi lebih berhati-hati untuk tidak hanya membawa keuntungan finansial, tetapi juga dampak positif bagi masyarakat dan lingkungan melalui investasi, kami berharap dapat melihat lebih banyak bisnis mengadopsi kebijakan ESG dan kerangka kerja untuk mengukur kinerja dan memberikan investor informasi yang diperlukan untuk pengambilan keputusan mereka,” tutup laporan tersebut.

Investasi berdampak di Indonesia

Semakin banyak investor berdampak yang telah berinvestasi di Indonesia. Menurut laporan ANGIN di 2020, jumlahnya mencapai 66 investor, dengan rincian 61 dari fund luar negeri dan lima dari Indonesia. Sementara itu, investor mainstream yang telah mengucurkan sejumlah dananya untuk sektor berdampak jumlahnya jauh lebih banyak, hampir dua kali lipatnya sebanyak 107 investor. Dengan rincian 32 investor lokal dan 75 investor dari luar negeri.

Fokus dari tiap investor berdampak juga berbeda. ANGIN mencatat secara tematik, ada 10 jenis usaha berdampak yang menjadi fokus masing-masing, terbagi menjadi inklusi keuangan, kehutanan, energi bersih, kemiskinan, gender lens, ekonomi sirkular, perikanan, iklim, agrikultur, dan media. Masing-masing tema ini mencerminkan peluang dan tantangan di Indonesia. Kondisi ini sangat jauh berbeda dengan kondisi di 2013.

Pun dalam mengukur dampak yang dihasilkan, tiap investor punya formula masing-masing. Partner Patamar Capital Dondi Hananto menuturkan bagaimana metrik dan skalabilitas impact investing di Indonesia secara umum. Dia mengambil contoh pada social impact, menurutnya hingga kini belum ada metrik satu-untuk-semua (one for all) yang dapat digunakan untuk mengukur pertumbuhan bisnis, baik yang bersifat ekuitas maupun non-ekuitas. Semua bergantung dari model bisnis dan dampak yang dikejar oleh startup.

Sementara di segmen environmental impact, Dondi menilai pengembangan bisnisnya belum dapat mengandalkan commercial financing sepenuhnya mengingat pasarnya di kawasan Asia Tenggara belum matang. Maka itu perlu dorongan dari sumber pendanaan lain (blended finance), seperti yayasan, CSR, atau dana sosial.

Ini menjadi salah satu faktor mengapa skalabilitas bisnis pada startup di environmental impact sulit diakselerasi. Belum lagi bicara soal benturan dalam mengejar ‘impact versus profit’ mengingat keduanya sulit untuk dicapai secara bersamaan. Dondi menilai sulit untuk menahan dampak dalam jangka panjang apabila sejak awal bisnisnya sudah profit-oriented.

“Secara business model, saya belum melihat [environmental startup] yang bisa cepat scalable. But, the trend is going there,” ungkap Dondi.

Xurya Confirms the Series A Funding Worth of 308 Billion Rupiah Led by East Ventures and Saratoga

Xurya renewable energy startup announced a $21.5 million (approximately 308 billion Rupiah) series A funding round led by East Ventures (Growth Fund) and PT Saratoga Investama Sedaya Tbk (Saratoga). The confirmed value was much bigger than what we’ve been informed in December 2021, at $14 million.

Schneider Electric and New Energy Nexus Indonesia, Xurya’s former investors, also participated in the round. Last year, New Energy Nexus Indonesia finalized its investment in five renewable energy companies. Meanwhile, Schneider Electric, through Schneider Electric Energy Access Asia (SEEAA) made its investment debut to Indonesia’s renewable energy startup, Xurya.

Xurya will allocate the fresh funds to continue the construction of Rooftop Solar Panel which has tripled in the past year, technology development, and human resources, therefore, efforts to accelerate the clean energy transition can be immediately executed.

“We appreciate the support and trust given by investors, partners and customers to assist us in accelerating the transition to new renewable energy in Indonesia since Xurya was founded three years ago,” Xurya Daya Indonesia’s Managing Director, Eka Himawan said in an official statement, Wednesday (1/12).

East Ventures’ Managing Partner, Roderick Purwana said, “East Ventures believes in the essential of investing in the right companies, not only for profit, but also to provide social and environmental impact. As one of the pioneers of VC applying an ESG approach to investment, we are very pleased to be able to support the Xurya team from the very beginning of their journey to create a clean and sustainable energy revolution in Indonesia, and protect the earth.”

Saratoga’s President Director, Michael Soeryadjaya added, “This investment is a good opportunity for Saratoga to strengthen support in the New & Renewable Energy (EBT) technology sector, which is now one of the government’s priority.”

He said, Rooftop Solar Panel (PLTS) can provide a solution for the clean, environmentally friendly and sustainable energy in Indonesia. The growth of Rooftop PLTS capacity is rapidly significant in the last three years, it proves the NRE technologyis getting higher demand.

As one of the government-supported initiatives, Saratoga can help accelerate the government’s efforts to achieve the NRE mix target of up to 23% by 2025 and 31% by 2050.

Until the end of 2021, Xurya has operated 57 Rooftop Solar Panel and is currently building in 38 other locations from various industries and businesses, such as manufacturing companies (food and beverage, consumer goods, agriculture, automotive, steel, building materials, textiles, etc), cold storage, hotels, and shopping centers across Jakarta, Banten, West Java, East Java, Central Java, Lampung, South and North Sumatra, and South Sulawesi.

Xurya products

Xurya Daya Indonesia (Xurya) offers several products, including solar-based energy solutions, which applied to building roofs. Aside from installation and equipment, the company also develops an application to facillitate owners in managing energy easier.

In addition, Xurya also pioneered the no-investment method to switch to solar power with a monthly fee model. In its implementation, it is a one-stop solution, Xurya will help from the design process, equipment selection, licensing, construction to the selection of financing products for solar electricity customers.

Eka said in tan interview, “Amid the slowdown in PV mini-grid investment, we believe that commercial and industrial customers have become a bright spot for electricity investors in Indonesia, not only in terms of profit, but more importantly from a climate impact perspective.”

Eka admits that consumer education is one of the toughest challenges. Because there are many companies and individuals who do not understand solar panels and many have the wrong idea about the electrical stability of PLTS. “The main target this year is to expand its business throughout Indonesia to offer go green solutions to more companies.”

The opportunity for Rooftop PLTS development in Indonesia is very large, exceeding its potential capacity of 200 thousand megawatts. Currently, the cost of Rooftop PLTS components is lower than other renewable energies, but this market has not been fully utilized so that less than 150 megawatts have been installed throughout Indonesia.

Apart from Xurya, there are already several startups engaged in this segment. Some of those are Warung Energi, Weston Energy, Forbetric, Erenesia, Khaira Energy, and Syailendra Power. Most work on the potential of solar power.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Xurya Konfirmasi Pendanaan Seri A 308 Miliar Rupiah Dipimpin East Ventures dan Saratoga

Startup energi terbarukan Xurya mengumumkan perolehan pendanaan seri A sebesar $21,5 juta (sekitar 308 miliar Rupiah) yang dipimpin oleh East Ventures (Growth Fund) dan PT Saratoga Investama Sedaya Tbk (Saratoga). Nilai yang dikonfirmasi ini lebih besar dari informasi yang DailySocial.id terima pada Desember 2021 sebesar $14 juta.

Schneider Electric dan New Energy Nexus Indonesia, investor sebelum dari Xurya, turut berpartisipasi dalam putaran tersebut. New Energy Nexus Indonesia pada tahun lalu telah menyelesaikan investasinya di lima perusahaan energi terbarukan. Sementara, Schneider Electric, melalui Schneider Electric Energy Access Asia (SEEAA) melakukan debut investasinya di startup energi terbarukan di Indonesia kepada Xurya.

Xurya akan mengalokasikan dana segarnya tersebut untuk melanjutkan pembangunan PLTS Atap yang telah tumbuh hingga tiga kali lipat sepanjang tahun lalu, pengembangan teknologi, dan sumber daya manusia agar upaya akselerasi transisi energi bersih bisa segera terealisasi.

“Kami mengapresiasi dukungan dan kepercayaan yang diberikan oleh para investor, partner, dan customer untuk membantu kami dalam mempercepat transisi energi baru terbarukan di Indonesia sejak Xurya berdiri tiga tahun lalu,” ujar Managing Director Xurya Daya Indonesia Eka Himawan dalam keterangan resmi, Rabu (12/1).

Managing Partner East Ventures Roderick Purwana mengatakan, “East Ventures percaya pentingnya berinvestasi di perusahaan yang tepat, tidak hanya untuk mengejar profit, tapi juga memberikan dampak sosial dan lingkungan. Sebagai salah satu pelopor VC yang menerapkan pendekatan ESG dalam investasi, kami sangat senang bisa mendukung tim Xurya sejak awal perjalanan mereka dalam menciptakan revolusi energi yang bersih dan berkelanjutan di Indonesia, serta melindungi bumi.”

Presiden Direktur Saratoga Michael Soeryadjaya menambahkan, “Investasi ini merupakan kesempatan yang baik bagi Saratoga untuk memperkuat dukungan di sektor teknologi Energi Baru & Terbarukan (EBT) yang kini menjadi salah satu sumber energi prioritas yang akan dikembangkan oleh pemerintah.”

Menurutnya, Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap dapat memberikan solusi bagi tersedianya energi bersih, ramah lingkungan, dan berkelanjutan di Indonesia. Pertumbuhan kapasitas terpasang PLTS Atap sangat pesat dalam tiga tahun terakhir, ini membuktikan bahwa kebutuhan terhadap industri teknologi EBT semakin tinggi.

Sebagai salah satu inisiatif yang didukung pemerintah, Saratoga dapat membantu mempercepat upaya pemerintah dalam mencapai target bauran EBT hingga 23% pada 2025 dan 31% pada 2050.

Hingga akhir 2021, Xurya telah mengoperasikan 57 PLTS Atap dan saat ini sedang membangun di 38 lokasi lainnya dari berbagai industri dan bisnis yang semakin beragam, seperti perusahaan manufaktur (makanan dan minuman, consumer goods, pertanian, otomotif, baja, bahan bangunan, tekstil, dll), cold storage, hotel, hingga pusat perbelanjaan yang tersebar di Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Lampung, Sumatera Selatan dan Utara, serta Sulawesi Selatan.

Produk Xurya

Xurya Daya Indonesia (Xurya) memiliki beberapa produk, meliputi solusi energi berbasis surya, yang diaplikasikan pada atap bangunan. Selain jasa pemasangan dan perangkat, perusahaan juga mengembangkan platform aplikasi untuk memudahkan pemilik aset melakukan pengelolaan energi.

Selain itu, Xurya juga mempelopori metode no investment (tanpa investasi) untuk beralih ke tenaga surya dengan model biaya bulanan. Dalam implementasinya, solusi mereka berbasis satu pintu, Xurya akan membantu dari proses design, pemilihan equipment, perizinan, konstruksi sampai dengan pemilihan produk pembiayaan untuk listrik surya pelanggan.

Dalam sebuah kesempatan wawancara, Eka mengatakan, “Di tengah perlambatan investasi PLTS utilitas, kami percaya bahwa pelanggan komersial dan industri telah menjadi titik terang bagi para investor ketenagalistrikan di Indonesia, tidak hanya dari perspektif keuntungan, tetapi lebih penting lagi dari perspektif dampak iklim.”

Dalam menyajikan produk-produknya, Eka mengakui bahwa edukasi konsumen menjadi salah satu tantangan terberat. Karena masih banyak perusahaan dan individu yang kurang paham mengenai solar panel dan banyak yang salah sangka mengenai stabilitas listrik dari PLTS. “Target utama tahun ini melakukan ekspansi bisnis ke seluruh wilayah Indonesia untuk menawarkan solusi go green ke lebih banyak perusahaan.”

Peluang pengembangan PLTS Atap di Indonesia sangat besar, melebihi potensi kapasitasnya yang mencapai 200 ribu megawatt. Saat ini biaya komponen PLTS Atap lebih rendah dibandingkan energi terbarukan lainnya, namun pasar tersebut belum dimanfaatkan secara maksimal sehingga baru terpasang kurang dari 150 megawatt di seluruh Indonesia.

Selain Xurya, di Indonesia sudah ada beberapa startup yang turut bermain di ranah tersebut. Beberapa di antaranya Warung Energi, Weston Energy, Forbetric, Erenesia, Khaira Energy, dan Syailendra Power. Sebagian besar menggarap potensi tenaga surya.

East Ventures Leads Investment for TreeDots, Providing Social Commerce for Groceries

TreeDots, a Singapore-based social commerce startup for groceries (also maximizing the decent potential of the leftovers), announced a series A funding round of $11 million (over 157 billion Rupiah) led by East Ventures (Growth Fund) and Amasia. There are other investors join this round, including ACTIVE Fund, Seeds Capital, Nir Eyal (writer), and Fiona Xie (actress).

The funds will be used for platform development, the company’s food logistics optimization, TreeLogs and regional expansion, post entering the Malaysian market last year.  The company didn’t mention its next target country.

TreeDots’ Co-founder & CEO, Tylor Jong said to DailySocial that his team is currently in discussion regarding the plan. “We have plans to expand our regional coverage and we are in the middle of comprehensive exploration [the next country] where it will make sense for us,” Jong said.

TreeDots was founded by Tylor Jong, Lau Jia Cai, and Nicholas Lim in 2018. The company is a marketplace for surplus and imperfect groceries, in response to the wasted food isssues, especially decent food that is being thrown away. TreeDots technology helps redistribute unsold inventory from suppliers to businesses such as restaurants and cafes, enabling them to obtain affordable food supplies.

Globally, there is one-third food produced for consumption is wasted. In Asia, most of these problems are caused by inefficient supply chains. Imperfect food in terms of aesthetic is often dumped even though it is considered decent as the ones commonly found on grocery store shelves. This surplus food is often burned or left to rot, producing methane and other greenhouse gases with 86 times more harmful impact on global warming than carbon dioxide.

“We realized that grocery store chains tend not to buy a huge chicken or in the imperfect shape because it would look weird on the shelves. However, F&B outlets could not care less as it will be cut and processed to be served. Therefore, they’ll be very happy to be able to buy the same products for up to 90 percent cheaper than the alternatives. It encourages us to start a surplus food marketplace to match the supply and demand for these products,” Jong explained separately in an official statement, Thursday (11/11).

TreeDots’s target market is F&B franchises and social commerce to accommodate group purchasing. Thus, consumers can buy the same product with much cheaper price. TreeDots sends multiple orders at once to a single address and group buyers can pick up their individual orders from that address. It allows buyers to save on logistics costs, as well as reduce emissions compared to traditional e-commerce models that require a special trip for each order.

In terms of sales. prior to joining TreeDots, suppliers often paid for a delivery service to send their waste to a landfill. In this case, they can now earn additional income from these imperfect products in a way helping to preserve the earth.

TreeDots also helps digitize suppliers’ operations using an app, and they recently launched TreeLogs, a cold-chain logistics to improve the supplier’s operation efficiency. This vertically integrated ecosystem allows upstream suppliers to focus their efforts on their area of ​​excellence, food processing and production.

“Food wasted has becocme a trillion dollar issue, but what excites us is the fact that suppliers are starting to use the TreeDots system for their entire income, not just leftovers. When one of their trucks can make one delivery to an area, TreeDots can make five deliveries on the same trip by working with the entire supplier group. The increased network density allows for lower logistics costs and emission levels,” East Ventures’ Managing Partner, Roderick Purwana said.

TreeDots Gross Merchandise Value (GMV) has grown more than 4 times year on year. “There are a lot of businesses serving the F&B industry that comes with difficulty during the pandemic. However, we are very impressed with the ability of the TreeDots team to drive exponential growth amid difficult circumstances,” Amasia’s Managing Partner, who also led TreeDots’ initial funding round in 2019, John Kim said.

As TreeDots business expands, Janet Sarah Neo, Vice President, Corporate Sustainability & Government Affairs at Lazada and Executive Board Member at Temasek Foundation Liveability, will join TreeDots as a Board Observer.

Startups with resembled energy

With the resembled energy to maximize the potential of surplus food, a local startup called Surplus has launched in Indonesia. The platform allows F&B businesses to sell excees and imperfect yet decent food products at certain hours before closing the shop with a half price discount.

More than 400 Surplus partners come from across Jabodetabek, Bandung and Yogyakarta. Most of them are engaged in businesses that produce a lot of excess food products, such as bakery & pastry, cafes, restaurants, hotels, supermarkets, catering, and agriculture.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

East Ventures Pimpin Pendanaan TreeDots, Hadirkan Solusi “Social Commerce” untuk Bahan Makanan

TreeDots, startup social commerce asal Singapura untuk bahan makanan (termasuk memaksimalkan potensi bahan makanan layak yang tersisa), mengumumkan perolehan pendanaan seri A sebesar $11 juta (lebih dari 157 miliar Rupiah) yang dipimpin East Ventures (Growth Fund) dan Amasia. Beberapa investor lain yang turut bergabung adalah ACTIVE Fund, Seeds Capital, penulis Nir Eyal, dan aktris Fiona Xie.

Pendanaan ini akan dimanfaatkan untuk pengembangan platform, pengoptimalan logistik makanan milik perusahaan, TreeLogs, dan ekspansi secara regional, setelah masuk ke Malaysia pada tahun lalu. Tidak disebutkan negara berikutnya yang dibidik.

Kepada DailySocial.id, Co-founder & CEO TreeDots Tylor Jong menuturkan, pihaknya berada di tengah diskusi lebih dalam terkait rencana tersebut. “Kami memiliki rencana untuk memperluas cakupan regional kami dan kami berada di tengah pemahaman [negara berikutnya] di mana akan masuk akal bagi kami,” kata Jong.

TreeDots didirikan oleh Tylor Jong, Lau Jia Cai, dan Nicholas Lim pada 2018. Perusahaan adalah marketplace untuk bahan makanan yang surplus dan tidak sempurna, dalam menyikapi permasalahan makanan yang terbuang sia-sia, terutama makanan yang dapat dikonsumsi namun dibuang. Teknologi TreeDots membantu pendistribusian ulang inventaris yang tidak terjual dari pemasok kepada bisnis seperti restoran dan kafe, memungkinkan mereka untuk mendapatkan pasokan makanan dengan harga terjangkau.

Secara global, sepertiga dari semua makanan yang diproduksi untuk dikonsumsi terbuang sia-sia. Di Asia, sebagian besar dari masalah tersebut disebabkan oleh rantai pasok yang tidak efisien. Makanan yang tidak sempurna secara estetis sering kali terbuang ke tempat pembuangan akhir padahal masih dalam kondisi segar dan bergizi sebagaimana makanan yang biasa ditemukan di rak-rak toko grosir. Makanan surplus tersebut sering dibakar atau dibiarkan membusuk, sehingga menghasilkan metana dan gas rumah kaca yang memiliki dampak 86 kali lebih berbahaya pada pemanasan global daripada karbon dioksida.

“Kami menyadari bahwa rantai toko grosir mungkin tidak akan membeli ayam yang terlalu besar atau memiliki tulang yang patah karena akan terlihat aneh di rak mereka. Tetapi gerai F&B tidak peduli karena mereka akan memotong dan menata makanan sebelum mereka sajikan. Jadi, jika mereka dapat membeli produk yang pada dasarnya sama dengan harga hingga 90 persen lebih murah daripada produk alternatif, mereka akan sangat senang. Hal tersebut mendorong kami untuk memulai marketplace makanan surplus untuk mencocokkan pasokan dan permintaan produk-produk tersebut,” terang Jong secara terpisah dalam keterangan resmi, Kamis (11/11).

Target pengguna platform TreeDots adalah waralaba F&B dan social commerce untuk mengakomodasi kebutuhan pembelian kelompok. Dengan demikian, konsumen dapat membeli produk yang sama dengan harga diskon yang lebih besar. TreeDots mengirimkan beberapa pesanan sekaligus ke satu alamat dan para pembeli dalam grup bisa mengambil barang pesanan masing-masing dari alamat tersebut. Langkah ini memungkinkan penghematan biaya logistik bagi para pembeli, juga mengurangi emisi jika dibandingkan dengan model e-commerce tradisional yang memerlukan perjalanan khusus untuk setiap pesanan yang dikirimkan.

Dari sisi penjualan, sebelum bergabung dengan TreeDots, para pemasok sering kali membayar layanan pengiriman untuk mengirim barang limbah mereka ke tempat pembuangan akhir. Dengan adanya TreeDots, sekarang mereka dapat memperoleh pendapatan tambahan dari barang bahan tersebut dan merasa puas karena dapat membantu melestarikan bumi.

TreeDots juga membantu digitalisasi operasi para pemasok menggunakan sebuah aplikasi, dan baru-baru ini mereka meluncurkan TreeLogs, penawaran logistik rantai dingin (cold-chain logistics) yang meningkatkan efisiensi proses operasi para pemasok. Ekosistem terintegrasi yang vertikal ini memungkinkan para pemasok di hulu untuk memfokuskan upaya mereka di area keunggulan mereka, yaitu pemrosesan dan produksi makanan.

“Makanan yang terbuang sudah menjadi sebuah masalah bernilai triliunan dolar, tetapi yang membuat kami sangat bersemangat adalah fakta bahwa para pemasok mulai menggunakan sistem TreeDots untuk seluruh pendapatan mereka, bukan hanya produk sisa makanan. Jika salah satu truk mereka dapat menjalankan satu pengiriman ke suatu daerah, TreeDots dapat melakukan lima pengiriman pada perjalanan yang sama dengan bekerja bersama seluruh kelompok pemasok. Kepadatan jaringan yang telah meningkat memungkinkan penurunan biaya logistik dan tingkat emisi,” kata Managing Partner East Ventures Roderick Purwana.

Nilai Gross Merchandise Value (GMV) TreeDots telah tumbuh lebih dari 4 kali lipat dari tahun ke tahun. “Terdapat banyak bisnis yang melayani industri F&B yang mengalami kesulitan selama pandemi. Akan tetapi, kami sangat terkesan dengan kemampuan tim TreeDots untuk mendorong pertumbuhan eksponensial di tengah keadaan yang sulit,” kata Managing Partner Amasia John Kim, yang juga memimpin ronde pendanaan awal TreeDots pada 2019.

Sejalan dengan pengembangan bisnis TreeDots, Janet Sarah Neo, Vice President, Corporate Sustainability & Government Affairs di Lazada dan Executive Board Member di Temasek Foundation Liveability, akan bergabung dengan TreeDots sebagai Board Observer.

Startup dengan semangat yang sama

Dengan semangat yang sama ingin memaksimalkan potensi dari makanan surplus, startup lokal bernama Surplus telah hadir di Indonesia. Surplus memungkinkan para pelaku usaha F&B untuk menjual produk makanan berlebih dan imperfect produce yang masih aman dan layak untuk dikonsumsi di jam-jam tertentu sebelum tutup toko dengan diskon setengah harga.

Mitra Surplus yang telah bergabung disebutkan telah lebih dari 400 yang tersebar di Jabodetabek, Bandung, dan Yogyakarta. Kebanyakan mereka bergerak di usaha yang menghasilkan banyak produk makanan berlebih, seperti bakery & pastry, kafe, restoran, hotel, supermarket, katering, dan pertanian.

Application Information Will Show Up Here

East Ventures Leads 233 Billion Rupiah Funding to Edtech Startup Geniebook

Singapore-based edtech startup Geniebook obtained series A funding of $16.6 million or around 233 billion Rupiah led by East Ventures through Growth Fund and Lightspeed Ventures Partners. This funding will be used to expand team members.

A series of prominent angel investors include John Danner (Dunce Capital), Gaurav Munjal and Roman Saini (Unacademy), Kunal Bahl and Rohit Bansal (Snapdeal), Alvin Tse (Xiaomi), Linh Pham Giang (Hocmai), as well as several senior executives from the leading companies in Southeast Asia, such as Gojek, Grab, and Shopee, were also participated in this funding.

Previously, Geniebook had secured a $1.1 million pre-series A funding round from Apricot Capital in 2019.

For a general note, Geniebook was founded in 2017 by Neo Zhizong and Alicia Cheong. This platform offers various online learning products through personalization by combining blended learning experiences according to student needs. The subjects provided include English, mathematics, and natural sciences (IPA).

The company claims to have achieved more than 2000% revenue growth with 150,000 user base in Southeast Asia. Currently, the Singapore-based company will continue to expand its business regionally in Indonesia, Vietnam and Malaysia.

Geniebook’s CEO & Co-founder, Neo Zhizhong said he would scale the team for a number of strategic positions, from curriculum, engineering, product, to growth to maximize the online learning experience. To date, Geniebook already has 350 employees worldwide.

“We will continue to innovate on existing Geniebook products. For example, GenieSmart or personalized worksheets with AI, GenieClass or teaching and learning spaces through online classes, and GenieAsk which allows students to chat and receive help from experienced teachers in real-time,” he said in an official statement.

Geniebook’s COO & Co-founder, Alicia Cheong said the company is ready to take the leap to the next step with the extra team, product innovation, and a strong focus on providing a more personalized learning experience supported by technology.

Meanwhile, East Ventures’ Managing Partner, Roderick Purwana revealed, the edtech platform played an important role and accelerated the offering of their solutions to users in line with the Covid-19 pandemic situation in its second year. His team also discovered that Geniebook has shown a strong appeal in foreign markets, including in Vietnam, which has experienced growth of up to three times compared to last year.

Edtech momentum

Various edtech players in Southeast Asia continue to benefit from the Covid-19 situation as a momentum to accelerate product and business growth going forward. Especially in Indonesia, face-to-face teaching and learning activities (KBM) in new schools have been opened gradually.

On a separate occasion, East Ventures’ Co-founder and Managing Partner, Willson Cuaca revealed how the pandemic has accelerated digital adoption and boosted investment in Indonesia’s digital sector. Healthtech and edtech are two of the digital sectors playing a significant role since the pandemic first took place.

Sumber: e-Conomy SEA Report 2020
Source: e-Conomy SEA Report 2020

This is also reflected in the increase in services from the East Ventures portfolio, Ruangguru, with an increase of users up to 50%. In addition, Willson highlighted how the pandemic has boosted the investment climate in Indonesia from previously $3.4 million in 2020 to $4.9 million in the third quarter of 2021.

“This number was identified as consumer behavior changed to digital-based or online behavior. All investors became more aggressive and optimistic because digital acceleration happened on top of everything else,” Willson said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

East Ventures Pimpin Pendanaan 233 Miliar Rupiah Startup Edtech Geniebook

Startup edtech asal Singapura, Geniebook memperoleh pendanaan seri A sebesar $16,6 juta atau sekitar 233 miliar Rupiah yang dipimpin oleh East Ventures melalui Growth Fund dan Lightspeed Ventures Partners. Pendanaan ini akan digunakan untuk menambah jumlah timnya.

Sejumlah angel investor terkemuka di antaranya John Danner (Dunce Capital), Gaurav Munjal dan Roman Saini (Unacademy), Kunal Bahl dan Rohit Bansal (Snapdeal), Alvin Tse (Xiaomi), Linh Pham Giang (Hocmai), serta beberapa eksekutif senior dari perusahaan terkemuka di Asia Tenggara, seperti Gojek, Grab, dan Shopee juga ikut terlibat pada pendanaan tersebut.

Sebelumnya, Geniebook telah mengantongi putaran pendanaan pra-seri A senilai $1,1 juta di 2019 dari Apricot Capital.

Sebagai informasi, Geniebook didirikan pada 2017 oleh Neo Zhizong dan Alicia Cheong. Platform ini menawarkan rangkaian produk pembelajaran online melalui personalisasi dengan menggabungkan pengalaman pembelajaran campuran sesuai kebutuhan siswa. Mata pelajaran yang disediakan antara lain bahasa Inggris, matematika, dan ilmu pengetahuan alam (IPA).

Perusahaan mengklaim telah memperoleh pertumbuhan pendapatan lebih dari 2000% dengan basis pengguna sebesar 150.000 di Asia Tenggara. Saat ini, perusahaan yang berbasis di Singapura ini akan terus mengembangkan bisnisnya secara regional di Indonesia, Vietnam, dan Malaysia.

CEO & Co-founder Geniebook Neo Zhizhong mengatakan akan meningkatkan skala tim untuk sejumlah posisi strategis, mulai dari kurikulum, teknik, produk, hingga pertumbuhan demi memaksimalkan pengalaman pembelajaran online. Hingga saat ini, Geniebook sudah memiliki 350 karyawan di seluruh dunia.

“Kami akan terus berinovasi pada produk Geniebook yang sudah ada. Contohnya, GenieSmart atau lembar kerja yang dipersonalisasi dengan AI, GenieClass atau ruang belajar-mengajar melalui kelas online, dan GenieAsk yang memungkinkan murid untuk mengobrol dan menerima bantuan dari guru berpengalaman secara real-time,” paparnya dalam keterangan resmi.

COO & Co-founder Geniebook Alicia Cheong menambahkan, pihaknya siap untuk melakukan lompatan ke pertumbuhan berikutnya sejalan dengan penambahan tim baru, inovasi produk, dan fokus kuat untuk memberikan pengalaman belajar yang lebih personal dan didukung dengan teknologi.

Sementara itu, Managing Partner East Ventures Roderick Purwana mengungkap, platform edtech memainkan peran penting dan mempercepat penawaran solusi mereka kepada pengguna sejalan dengan situasi pandemi Covid-19 di tahun kedua. Pihaknya juga menilai Geniebook telah menunjukkan daya tarik kuat di pasar luar negeri, salah satunya Vietnam yang telah mengalami pertumbuhan hingga tiga kali lipat dibandingkan tahun lalu.

Momentum edtech

Berbagai pemain edtech di Asia Tenggara terus memanfaatkan situasi Covid-19 sebagai momentum untuk mengakselerasi pertumbuhan produk dan bisnisnya ke depan. Khusus di Indonesia, kegiatan belajar-mengajar (KBM) secara tatap muka di sekolah baru dibuka secara bertahap.

Dalam kesempatan terpisah baru-baru ini, Co-founder dan Managing Partner East Ventures Willson Cuaca mengungkap tentang bagaimana pandemi telah mengakselerasi adopsi digital dan mendorong investasi di sektor digital Indonesia. Healthtech dan edtech merupakan dua dari sekian sektor digital yang memainkan peran signifikan sejak pandemi pertama kali berlangsung.

Sumber: e-Conomy SEA Report 2020
Sumber: e-Conomy SEA Report 2020

Dampak ini turut tercermin dari meningkatnya layanan dari portofolio East Ventures, yakni Ruangguru dengan kenaikan jumlah pengguna hingga 50%. Selain itu, Willson menyoroti bagaimana pandemi mendongkrak iklim investasi di Indonesia dari sebelumnya $3,4 juta di 2020 menjadi $4,9 juta di kuartal ketiga 2021.

“Peningkatan ini teridentifikasi karena perilaku konsumen berubah menjadi perilaku berbasis digital atau online. Semua investor menjadi lebih agresif dan optimistis karena akselerasi digital terjadi sebelum hal lain,” kata Willson.

Application Information Will Show Up Here

EV Growth Officially Merges with East Ventures

East Ventures (EV) announced its leadership for EV Growth, a joint venture formed in 2018 with SMDV and ZVC (formerly Yahoo Japan Capital). This restructuring affects the managerial structure in the internal EV and EV Growth and SMDV teams will join the force.

Roderick Purwana will be appointed as Managing Partner of East Ventures. David Tendian will be appointed as Operating Partner at SMDV. Shiniciro Hori will remain on EV Growth’s investment committee.

This merger is said to make EV the largest venture capitalist in Southeast Asia with more than 60 staff members and 8 partners, including Melisa Irene (Seed Partner), David Audy (Operating Partner), Triawan Munaf (Venture Adviser), and Koh Wai Kit (Venture Partner).

Even though EV has controlled all EV Growth funds, the SMDV and ZVC teams will continue to support and work closely with East Ventures and its ecosystem.

East Ventures’ Co-founder & Managing Partner, Willson Cuaca said, his team has a very strong synergy between EV Growth and the East Ventures ecosystem. This new setting will amplify efficiency and allow the EV to run fierce and faster.

“We will be able to help entrepreneurs in a better, smarter, and wiser way – fully focused on unlocking their potential,” he explained in an official statement, Wednesday (10/3).

East Ventures’ Managing Partner, Roderick Purwana added, SMDV has always been a true supporter of East Ventures and has made dozens of joint investments over the years. The two have discussed formalizing their relationship and working closely for more than 5 years.

“In 2018, we took the first big step by launching EV Growth as a joint venture. After that collaboration, we are ready to take it to the next stage. This merger will allow our founders to expand their combined ecosystem, capabilities, and networks,” Purwana said.

ZVC’s Managing Partner, Shiniciro Hori also commented, “We believe that this transformation will further strengthen our presence and accelerate our investment in Southeast Asia. Z Holdings is to commit more to the Southeast Asian market and leverage group assets as part of the SoftBank Group.”

EV Growth was formed in 2018 with EV Growth Fund I raising a total of $250 million, exceeding the initial target of $150 million. The funds have been invested in more than 20 companies in Indonesia and Southeast Asia. Some of the portfolios are Ruangguru, Waresix, KoinWorks, Shopback, Stockbit, Fuse, Tokopedia, Traveloka, Grab and Gojek. This fund has generated an IRR (internal rate of return) of 27% as of 31 December 2020 with an early exit of MokaPOS to Gojek.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

EV Growth Umumkan Peleburan dengan East Ventures

East Ventures (EV) mengumumkan kepemimpinannya untuk EV Growth, perusahaan patungan yang dibentuk pada 2018 bersama SMDV dan ZVC (dulu bernama Yahoo Japan Capital). Dampak dari restrukturisasi ini adalah perubahan struktur manajerial di dalam tubuh EV dan bergabungnya tim EV Growth dan SMDV.

Roderick Purwana akan ditunjuk menjadi Managing Partner East Ventures. David Tendian akan diangkat sebagai Operating Partner di SMDV. Shiniciro Hori akan tetap menjadi komite investasi EV Growth.

Diklaim penggabungan ini menjadikan EV sebagai modal ventura terbesar di Asia Tenggara dengan lebih dari 60 anggota staf dan 8 mitra, termasuk Melisa Irene (Seed Partner), David Audy (Operating Partner), Triawan Munaf (Venture Adviser), dan Koh Wai Kit (Venture Partner).

Meski EV kini mengendalikan seluruh fund EV Growth, tim SMDV dan ZVC akan tetap mendukung dan bekerja sama dengan East Ventures dan ekosistemnya.

Co-founder & Managing Partner East Ventures Willson Cuaca menuturkan, pihaknya memiliki sinergi yang sangat kuat antara EV Growth dan ekosistem East Ventures. Pengaturan baru ini akan memperkuat efisiensi dan memungkinkan EV berjalan dengan lebih berani dan lebih cepat.

“Kami akan dapat membantu wirausahawan dengan cara yang lebih baik, lebih cerdas, dan lebih bijak – bertumpu sepenuhnya untuk membuka potensi mereka,” terangnya dalam keterangan resmi, Rabu (10/3).

Managing Partner East Ventures Roderick Purwana menambahkan, SMDV selalu menjadi pendukung setia East Ventures dan telah melakukan lusinan investasi bersama selama bertahun-tahun. Keduanya telah membahas formalisasi hubungan dan bekerja sama lebih dekat selama lebih dari 5 tahun.

“Di tahun 2018, kami mengambil langkah besar pertama dengan meluncurkan EV Growth sebagai upaya bersama. Setelah kolaborasi itu, kami merasa siap untuk membawa hubungan lebih jauh. Penjajaran ini akan memungkinkan para founder kami memperluas ekosistem, kemampuan dan jaringan secara gabungan,“ ujar Roderick.

Managing Partner ZVC Shiniciro Hori turut memberikan komentarnya, “Kami percaya bahwa transformasi ini akan semakin memperkuat kehadiran kami dan mempercepat investasi kami di Asia Tenggara. Z Holdings akan berkomitmen lebih banyak ke pasar Asia Tenggara dan memanfaatkan aset grup sebagai bagian dari SoftBank Group.”

EV Growth dibentuk pada 2018 dengan meluncurkan EV Growth Fund I yang berhasil mengumpulkan total dana $250 juta, melebihi target awal sebesar $150 juta. Dana tersebut sudah diinvestasikan kepada lebih dari 20 perusahaan di Indonesia dan Asia Tenggara. Beberapa namanya adalah Ruangguru, Waresix, KoinWorks, Shopback, Stockbit, Fuse, Tokopedia, Traveloka, Grab dan Gojek. Fund ini telah menghasilkan IRR (internal rate of return) 27% per 31 Desember 2020 dengan early exit yaitu penjualan MokaPOS ke Gojek.