Investor dan Startup “Climate Tech” Bicara Tantangan Industri

Dalam beberapa tahun terakhir, solusi di ranah hijau yang digarap oleh perusahaan rintisan terus berkembang. Terlepas tingginya investasi VC mengalir, sektor climate tech masih terbilang baru.

Founder mungkin masih terbentur isu pendanaan dan bagaimana menyeimbangkan dampak yang dihasilkan sembari menjalankan bisnis. Sementara, VC mungkin perlu mencari cara untuk memahami penilaian investasinya.

Dalam sesi “Opportunities in climate tech investing: Bridging gap between ambition and action” terungkap bagaimana startup Arkadiah, serta East Ventures dan British International Investment menghadapi isu-isu di atas.

Memanfaatkan pendanaan campuran

Panel diskusi Indonesia PE-VC Summit 2024 terkait investasi “climate tech” / DealStreetAsia

Co-Founder & CEO Arkadiah Reuben Lai menyebut, jika tidak punya bisnis yang solid, semua yang dikerjakan selama ini akan jadi sekadar amal. Dalam perjalanan membangun bisnisnya, ia menemukan sumber pendanaan yang menjadi tantangan signifikan alih-alih bicara pengembangan teknologi baru. Justru pendanaan ini diperlukan agar startup dapat meningkatkan skalanya.

Sekadar informasi, Arkadiah mengembangkan teknologi berbasis AI untuk menghidupkan kembali lahan terdegradasi untuk mengatasi isu penggundulan hutan.

Ia mengakui pendanaan eksternal dan opsi blended finance sangat diperlukan. Tidak ada satu formula yang pakem untuk memanfaatkan keduanya. Maka itu, ia memakai dua pendekatan saat mencari investor, yakni segmen korporat dan segmen yang fokus pada proyek tertentu.

Ia mencontohkan investor berdampak fokus pada dampak lingkungan, sedangkan investor lain fokus pada imbal hasil–misalnya dari penjualan kredit karbon. Kedua pendekatan secara sinergis ini dinilai dapat menguntungkan baik startup maupun investor.

“Menyatukan kedua sumber modal ini memungkinkan kami untuk mendanai proyek-proyek dalam skala besar dan memenuhi kebutuhan pemangku kepentingan. Kami melihat blended finance terjadi, memang diperlukan lebih banyak pendanaan.”

Menilai investasi berdampak

Partner East Ventures Avina Sugiarto mengomentari tentang bagaimana investor melakukan penilaian pada investasi startup climate tech mengingat sektor ini mungkin masih terbilang baru dibandingkan sektor e-commerce atau fintech.

Ia menggarisbawahi perihal langkah mitigasi yang dapat terukur, seperti pengurangan gas rumah kaca. Memang, metrik pengukuran ini di lapangan tidak semudah yang dikatakan, tetapi ia menilai hal itu masih tetap menarik minat investor, terutama startup yang mengakomodasi kebutuhan petani kecil dengan tool untuk prediksi cuaca atau potensi gagal panen karena cuaca

Terlepas dengan itu semua, ia menekankan profitabilitas tetap menjadi faktor kunci investasi climate tech, tak ada bedanya dengan sektor-sektor lain. “Saya pikir saat ini banyak pemodal ventura berbicara tentang profitabilitas, bagian dari profitabilitas dan unit ekonomi. Hal yang sama juga berlaku pada climate tech.”

Dampak dulu atau keuntungan?

Sementara itu, Rohit Anand, Regional Head (SE Asia) & Head of Infrastructure Equity Asia di British International Investment, menekankan pentingnya punya keuangan yang stabil bagi startup climate tech. Tak masalah jika itu berarti pertumbuhan perusahaan bakal melambat, atau target berdampak yang ingin dicapai kurang tercapai (contoh: pengurangan emisi).

Ia berargumen, apapun dampak lingkungan yang ingin diciptakan, bisnis harus layak dulu secara komersial agar dapat memikat investor ke depannya. Dengan begitu, bisnisnya dapat berkelanjutan dalam jangka waktu lama. Penciptaan dampak tak boleh menjadi satu-satunya alasan eksistensi mereka.

Kebijakan dan insentif terhadap kelangsungan bisnis juga sangat penting bagi keberhasilan jangka panjang industri ini. Ia mencontohkan, penjualan kendaraan listrik dapat berhasil karena didukung oleh kebijakan pemerintah.

“Mungkin saja, Anda dapat pendanaan berkat sebuah ide cemerlang, tetapi Anda tidak bisa menciptakan bisnis yang berkelanjutan dari situ. Dampak pengurangan emisi karbon adalah implikasinya, tetapi tidak bisa jadi satu-satunya alasan bisnis Anda ada.”

Menilik Pendekatan SEEDS Capital Lakukan Co-Investasi ke Startup Berdampak

Laporan Intellecap bertajuk “Impact Investing in Southeast Asia 2020-2022” merangkum aktivitas investasi ke sektor berdampak di kawasan tersebut. Dari data yang dihimpun, nilai investasi yang berhasil dibukukan sebagai berikut:

Jenis Investor Nilai Investasi Jumlah Transaksi Jumlah Investor Aktif
Private Impact Investors (PII) $625 juta 226 66
Development Finance Institutions (DFI) $6,04 miliar 147 11
DFI x PII $197,5 juta 6 n/a

Untuk PII, nilai pendanaan terbesar diberikan kepada sektor keuangan, sementara transaksi terbanyak ada di sektor teknologi informasi. Lalu untuk DFI, mayoritas disalurkan ke sektor keuangan — termasuk beberapa di dalamnya fintech yang beroperasi di Indonesia.

Investasi berdampak ditujukan tidak hanya membantu suatu bisnis untuk terakselerasi, namun juga memberikan dampak sosial seluas-luasnya untuk segmen pasar yang ditargetkan.

Sejumlah startup di Indonesia telah menerima investasi ini –salah satunya dari lembaga seperti International Finance Corporation—memberikan dukungan pendanaan (dalam bentuk ekuitas dan debt) kepada GoTo (ride hailing dan e-commerce), Amartha (fintech lending), AnterAja (logistik), Evermos (social commerce), Kitabisa (crowdfunding), dan PasarPolis (insurtech).

Melihat dampak positif yang terus digapai, pendanaan di bisnis berdampak terus diperluas melalui unit investasi yang lebih beragam. Salah satunya SEEDS Capital, salah satu lengan ventura di bawah Enterprise Singapore (bagian dari inisiatif Kementerian Perdagangan dan Perindustrian Singapura).

DailySocial.id berkesempatan berbincang secara virtual dengan General Manager SEEDS Capital Kaixin Tan, membahas bagaimana hipotesis yang mendasari para pemodal ventura di sektor berdampak.

Hipotesis investasi

General Manager SEEDS Capital Tan Kaixin / SEEDS
General Manager SEEDS Capital Tan Kaixin / SEEDS

Mengawali perbincangan, Tan mengatakan bahwa mandat SEEDS Capital adalah mendorong investasi cerdas ke dalam startup inovatif (berbasis) di Singapura yang memiliki konten intelektual kuat dan potensi menembus pasar global. Pendekatan utamanya  dengan melakukan co-investment dengan VC dan CVC di kawasan regional.

“Dengan memberikan leverage investasi dan mengambil risiko bersama private investor, kami menyediakan modal yang dibutuhkan startup untuk menutup putaran awal mereka dan melanjutkan pertumbuhan mereka. Kami cenderung berinvestasi lebih awal pada putaran seed sampai seri A, ketika startup masih melakukan penelitian dan pengembangan atau dalam tahap komersialisasi awal,” ujar Tan.

Berikut ini sejumlah startup portofolio SEEDS yang saat ini punya kehadiran di Indonesia dan/atau turut diinvestasi oleh pemodal ventura yang punya basis di Indonesia:

Startup Sektor Co-Investor (basis Indonesia)
6Estates AI GDP Venture
Aevice Health Healthtech East Ventures
AMILI Biotech East Ventures
CROWDO Fintech Gobi Partners
Ematic Solution Martech AC Ventures
ION Mobility Electric Vehicle GDP Venture
Mesh Bio Biotech East Ventures
Style Theory Fashion Alpha JWC Ventures
Workmate Job Marketplace AC Ventures
Zenyum Healthtech TNB Aura
ZUZU Hospitality Hospitality AC Ventures, Alpha JWC Ventures

Tan melanjutkan, “Kami exit bersama mitra investor ketika ada peluang yang sesuai. Namun, kami juga dapat bertindak sebagai pemodal yang lebih ‘sabar’ jika beberapa startup memerlukan periode pengembangan yang lebih lama untuk mengomersialkan teknologi tersebut,” ujar Tan.

Lebih dari 40 Mitra investasi

Saat ini SEEDS telah bekerja sama dengan lebih dari 40 mitra VC di seluruh vertikal bisnis yang menjadi domain investasi. Ada lebih dari 150 startup yang telah diinvestasi, yang telah melayani pasar di Singapura dan sejumlah negara Asia Tenggara lainnya. Beberapa startup seperti ION Mobility dan CROWDO memiliki fokus di pasar Indonesia dalam debutnya — kendati mereka memiliki kantor pusat di Singapura.

“Kami bekerja sama dengan mitra investasi yang kami yakini mampu menambah nilai strategis yang kuat bagi startup, tidak hanya dalam hal pendanaan, namun juga mampu membantu startup untuk berkembang dengan pengalaman, keahlian, dan jaringan mereka di pasar-pasar utama yang diminati,” imbuh Tan.

Ia mencontohkan, kemitraan SEEDS dengan Real Tech Holdings (RTH), sebuah VC deep tech asal Jepang, memungkinkan startup mereka memanfaatkan jaringan RTH yang luas di Negeri Sakura, termasuk melalui perusahaan dan LP mereka. Secara khusus, RTH membantu startup deep tech portofolio SEEDS mengakses pasar Jepang melalui kemitraan strategis atau proyek percontohan.

Di bidang perawatan kesehatan, SEEDS bermitra dengan Coronet Ventures, sebuah lengan investasi Cedars-Sinai Medical Centre, salah satu grup rumah sakit swasta terkemuka di Amerika Serikat. Kemitraan ini memungkinkan portofolio mereka memanfaatkan sumber daya klinis pusat medis tersebut. seperti paparan infrastruktur penelitian dan sumber daya uji klinis.

“Kemitraan ini juga akan memungkinkan para startup untuk mendapatkan manfaat dari peluang mentoring dari para dokter, peneliti, dan pengusaha layanan kesehatan global terkemuka lainnya,” kata Tan.

Porsi lebih untuk deep tech

Investasi ke sektor deep tech memang tengah menggeliat di dunia. Menurut laporan BCG, tahun ini sekitar 20% dana VC diinvestasikan ke sektor ini. Secara total, pada H1 2023 sekurangnya $40 miliar telah disalurkan ke startup deep tech global.

Dalam 5 tahun terakhir, SEEDS banyak berinvestasi ke startup deep tech khususnya bidang biotech, climate-tech, dan manufaktur tingkat lanjut. Menurut Tan, hal ini disebabkan oleh semakin matanya ekosistem deep tech di kawasan ini, termasuk dari sisi talenta, program akselerator, hingga investor yang masuk ke segmen ini. “Dan tentunya adanya peningkatan pengusaha ‘bilingual’ yang mampu memadukan kemampuan ilmiah yang kuat dengan pola pikir komersial dalam mendirikan usaha tersebut,” ujarnya.

Tan melanjutkan, “Yang lebih penting lagi, pendorong terbesarnya adalah permintaan akan solusi dan teknologi terobosan yang dapat memenuhi sebagian kebutuhan Asia Tenggara dalam melayani kebutuhan penduduknya, seperti layanan kesehatan dan urbanisasi.”

Dicontohkan SEEDS telah berinvestasi ke AMILI, sebuah startup mikrobioma usus presisi, yang melakukan studi untuk memahami kekhususan mikrobioma usus Asia guna menemukan wawasan dan mengembangkan intervensi kesehatan yang disesuaikan dengan kebutuhan dan tantangan populasi Asia. Tahun ini investor East Ventures turut mendanai startup tersebut.

Portofolio lainnya adalah Transcelestial, startup komunikasi laser nirkabel, bekerja sama dengan perusahaan telekomunikasi, ISP, dan mitra perusahaan untuk menerapkan sistem Centauri. Sistem tersebut menyediakan konektivitas 4G di rumah dan kantor secara lebih baik tanpa kabel bawah tanah atau perangkat berbasis frekuensi radio yang memerlukan investasi infrastruktur mahal.

Bawa startup go-global

Ketika berinvestasi, SEEDS juga melihat potensi calon portofolionya untuk bisa berkembang secara global. Tan mengatakan bahwa Asia Tenggara saat ini menjadi bagian penting dari rencana pertumbuhan banyak perusahaan dalam portofolio mereka, mengingat kelas menengah yang berkembang pesat dan permintaan solusi atau produk yang lebih efektif, terjangkau, atau berkelanjutan.

Selain ION Mobility di Indonesia, beberapa startup lain yang pesat di luar Singapura adalah layanan agritech Singrow di Malaysia dan Thailand.

Sebagai bagian dari agensi pemerintah dalam mendukung pengembangan usaha, SEEDS ingin membawa nilai tambah dari jaringan yang dimiliki Enterprise Singapore yang saat ini telah memiliki 37 kantor global termasuk di negara-negara besar di Asia Tenggara. Enterprise Singapore sendiri juga punya mandat untuk menjembatani antara startup dengan investor, mitra, dan pangsa pasar di jaringannya.

“Inisiatif kunci lainnya adalah program Global Innovation Alliance (GIA) yang dijalankan Enterprise Singapore di pusat-pusat inovasi kunci, termasuk 4 kota di Asia Tenggara. Program akselerator GIA bertujuan mempercepat masuknya startup ke pasar dengan bantuan mitra lokal seperti Plug and Play (Jakarta & Manila), Quest Ventures (Ho Chi Minh City), dan RISE (Bangkok),” jelas Tan.

Menutup perbincangan Tan menyampaikan, walaupun fokus utama SEEDS berinvestasi ke startup berbasis di Singapura dengan aktivitas inti di sana (kantor pusat, R&D, dan manufaktur), namun bisa dipastikan para pendiri datang dari berbagai negara dan latar belakang. “Kami menyambut startup dari Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara lainnya untuk mendirikan basis di Singapura dan bekerja sama dengan kami,” tutupnya.

Luna Maya Bergabung di Jajaran Investor Waste4Change

Startup pengelolaan sampah Waste4Change meresmikan kerja sama strategis berbentuk investasi dengan aktris sekaligus pengusaha, Luna Maya, dalam rangka mewujudkan pengelolaan sampah yang bertanggung jawab di Indonesia. Bergabungnya Luna dalam jajaran investor diharapkan bisa mendorong sinergi kedua belah pihak untuk pengelolaan sampah yang lebih optimal.

Sebelumnya, Waste4Change dan brand kosmetik NAMA Beauty milik Luna telah memperoleh suntikan dana dari AC Ventures. Sinergi antar keduanya diharapkan bisa mendorong pertumbuhan layanan Waste4Change di beberapa sektor, termasuk pengembang properti, kawasan komersial, dan pariwisata.

Sebelum bergabung ke dalam jajaran investor, Luna diketahui telah lebih dulu menjadi klien dalam layanan Personal Waste Management Waste4Change. Layanan ini merupakan jasa angkut sampah langsung dari rumah untuk memastikan sampah milik klien diangkut secara aman, terpilah, dan diproses agar daur ulangnya optimal dan mengurangi jumlah sampah yang berakhir ke TPA (Tempat Pembuangan Akhir).

Sejak didirikan pada 2014, Waste4Change fokus menawarkan solusi pengelolaan sampah secara holistik untuk rumah tangga dan perusahaan. Didukung oleh teknologi dan kemitraan, perusahaan aktif menawarkan 4 solusi, yaitu Consult, Campaign, Collect, dan Create.

Rencananya, perusahaan ingin mendorong dan mengaktifkan kembali layanan B2C, sehingga tidak hanya melayani perusahaan dan bisnis saja, namun juga dapat melibatkan peran dari masyarakat secara individual. Waste4Change sendiri memiliki situs bernama Send Your Waste untuk mempermudah individu mendaur ulang sampah anorganik secara bertanggung jawab.

Berdasarkan keterangan dalam situsnya, Waste4Change telah memiliki lebih dari 22 ribu pengguna aktif dan telah mengelola lebih dari 31 ribu ton sampah hingga saat ini. Ke depannya, perusahaan tengah menargetkan peningkatan pengelolaan sampah secara signifikan menjadi 2.000 ton per hari.

Saat ini, layanan pengelolaan sampah Waste4Change telah mencakup wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Surabaya, Sidoarjo, Semarang, Bandung, dan Medan.

Kinerja pengelolaan sampah di Indonesia

Berdasarkan data UNEP (2017), Indonesia diketahui menjadi negara penghasil sampah terbesar di ASEAN di angka 64 juta ton per tahunnya. Dengan populasi penduduk tertinggi ke-4 di dunia dan rendahnya kesadaran masyarakat untuk mendukung budaya daur ulang sampah menjadi tantangan besar yang harus dihadapi bangsa ini.

Mengutip Data Indonesia, kinerja pengelolaan sampah Indonesia disebut semakin membaik pada 2022. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melaporkan, skor Indeks Kinerja Pengelolaan Sampah (IKPS) di Indonesia sebesar 50,25 poin pada 2022. Nilai tersebut mengalami kenaikan 0,38% dibandingkan pada tahun sebelumnya yang sebesar 50,06 poin.

Sumber: Data Indonesia

Capaian ini tidak dapat dipisahkan dari fakta bahwa semakin banyak startup ataupun layanan pengelolaan sampah di Indonesia. Selain Waste4Change, startup yang menawarkan layanan serupa adalah Rekosistem, Kibumi dan Octopus yang baru saja terpilih mengikuti program akselerator besutan Google. Melalui pendekatan yang sedikit berbeda, Rebricks mengolah sampah plastik menjadi bahan bangunan.

Dari sisi pemerintah, KLHK juga telah menerapkan skema pengelolaan sampah dengan pengembangan elaborasi prinsip dasar reduce, reuse, dan recycle (3R), yaitu mengoptimalkan rantai nilai pengelolaan sampah di sumber dengan pemanfaatan teknologi dan peningkatan fasilitas pengolahan sampah yang dikelola secara profesional serta terintegrasi.

Selain itu, pemerintah juga mengoptimalkan fasilitas pengolahan sampah seperti PLTSa, RDF, SRF, biodigester, dan magot untuk sampah biomassa; operasional TPA diperuntukkan khusus sebagai tempat pembuangan sampah residu pada tahun 2050; dan penguatan kegiatan pemilahan sampah di sumber dan pemanfaatan sampah sebagai bahan baku daur ulang.

Tanggal 21 Februari di setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN) yang mengingatkan semua pihak bahwa persoalan sampah harus menjadi perhatian utama. Upaya penanganan dan pengelolaan sampah harus melibatkan seluruh komponen masyarakat yang meliputi Pemerintah baik Pusat dan Daerah, akademisi, aktivis, komunitas, dunia usaha, asosiasi profesional dan bahkan individual.

Startup Smart Energy Powerbrain Tutup Pendanaan Pra-Seed, Dipimpin Achmad Zaky Foundation

Perusahaan pengembang efisiensi energi memanfaatkan smart technology di Indonesia, Powerbrain, mengumumkan perolehan pendanaan tahap awalnya dari Achmad Zaky Foundation (AZF). Tidak disebutkan berapa nilai pendanaan yang disalurkan, namun ini merupakan langkah awal organisasi non-profit yang didirikan Co-Founder Bukalapak Achmad Zaky untuk berinvestasi di sektor impact.

Pendanaan ini diharapkan akan semakin memperkuat fondasi bisnis dan memperluas pangsa pasar Powerbrain di bidang Smart Energy Management. Dana segar tersebut akan difokuskan pada penguatan pengembangan teknologi dan sumber daya manusia untuk memperkuat bisnis sebagai pengembang efisiensi energi.

Didirikan pada tahun 2020, Founder dan CEO Powerbrain Irvan Farasatha mengungkapkan bahwa inisiatif ini berawal dari kecemasan akan isu pemanasan global. Dengan menggabungkan teknologi dan solusi finansial melalui Smart Energy Management, Powerbrain fokus menjangkau bisnis efisiensi energy untuk menjawab kebutuhan manajemen energi pada suatu bangunan di Indonesia yang belum terpenuhi.

Powerbrain menawarkan empat produk unggulan, yakni manajemen energi, energi terbarukan, manajemen aset, dan solusi pengisian kendaraan listrik. Secara keseluruhan, perusahaan membuat pemakaian listrik di tempat usaha mitra menjadi lebih efisien, bahkan mampu mengurangi tagihan listrik hingga 20%-30%. Mereka menggunakan skema profit sharing dari penghematan yang dihasilkan.

Powerbrain menjalankan usaha secara business to business (B2B). Hingga saat ini, perusahaan telah menjalin kemitraan dengan puluhan perusahaan ternama dan telah berpartisipasi di lebih dari 100 proyek bangunan. Beberapa nama yang sudah tidak asing di antaranya adalah Pertamina, Mitsubishi Motors, Bukalapak, Shopee, Net, Kimia Farma, DB Schenker, dan Suvarna Jakarta.

Dalam menjalankan startup yang bergerak di bidang impact, perusahaan memiliki misi untuk menghadirkan layanan efisiensi energi berbasis teknologi yang berdampak positif terhadap kelangsungan bisnis para mitra. Irvan turut mengungkapkan tantangan dari sisi belum siapnya pasar dalam memahami pentingnya konsumsi energi. Namun, perlahan tapi pasti, masyarakat semakin terdorong untuk mau belajar dan memahami.

Selain itu, melalui setiap solusi yang dihadirkan, Powerbrain juga ingin mendukung target Pemerintah Indonesia dalam menurunkan Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060 mendatang, melalui efiensi energi dengan menggunakan teknologi yang dimiliki perusahaan.

Rilwanu Lukman Amrullah, Co-Founder dan Chief Marketing Officer Powerbrain, menambahkan, perusahaan juga akan melakukan pengembangan teknologi dengan menghadirkan produk dan layanan yang lebih inovatif untuk  semakin memudahkan efisiensi energi dan efisiensi finansial bagi para mitra. Untuk saat ini, dengan menggunakan teknologi Powerbrain, para mitra akan mendapatkan 3 manfaat utama, yakni menurunkan biaya operasional, meningkatkan nilai bangunan, dan meningkatkan kesejahteraan mitra.

Achmad Zaky, Founder AZF, mengungkapkan bahwa lini bisnis Powerbrain yang bergerak di bidang Smart Energy Management dengan tujuan membantu masyarakat untuk mengelola konsumsi energi memiliki keselarasan dengan misi dari AZF. Saat ini timnya juga tengah fokus terhadap perusahaan startup yang menghadirkan solusi terkait impact, baik dalam sektor pendidikan, green technology, maupun fintech yang mengarah kepada inklusi.

“Kami sudah melakukan kajian yang komprehensif terhadap Powerbrain dengan
mempertimbangkan kesamaan misi dalam menciptakan dampak sosial yang tinggi. Investasi Achmad Zaky Foundation kepada Powerbrain guna membantu pendanaan perusahaan startup teknologi yang memiliki value dan potensi untuk terus tumbuh secara berkelanjutan menjadi perusahaan yang kompetitif serta berdampak luas bagi kemajuan Indonesia,” tutur Achmad Zaky.

AZF bukanlah kendaraan satu-satunya dari Achmad Zaky dalam berinvestasi. Selain AZF, Ia juga menjalankan init-6, dana kelolaan yang fokus berinvestasi di startup teknologi tahap awal. Sebelumnya, melalui init-6, Zaky telah berinvestasi di platform edtech Eduka, penyedia layanan cloud lokal IDCloudHost, dan Komunitas Developer Showwcase.

Investasi berdampak pada lingkungan

Dalam beberapa tahun terakhir, konsep investasi berdampak atau impact investment kian meraih atensi dari kalangan investor. Menurut Jaringan Investasi Dampak Global (GIIN), investasi dampak adalah investasi yang dilakukan untuk menghasilkan dampak sosial dan lingkungan yang positif dan terukur bersama pengembalian finansial.

Perkiraan terbaru dari International Finance Corporation (IFC) tentang pasar global untuk investasi dampak menunjukkan bahwa sebanyak $2,3 triliun telah  disalurkan untuk investasi berdampak pada tahun 2020, $636 miliar di antaranya memiliki sistem manajemen dampak yang tepat, menurut laporan ‘Investing for Impact: The Global Impact Investing Market 2020″.

DSInnovate belum lama ini menerbitkan hasil riset terbarunya bertajuk “Startup Report 2021-2022Q1“, merangkum dinamika industri dan ekosistem startup digital Indonesia. Dalam survei yang diadakan DSInnovate, sekitar 80% responden mengaku startup Indonesia berdampak positif terhadap lingkungan. Sekitar 45% responden memilih skala 3, yang berarti startup Indonesia memberi dampak yang cukup signifikan pada lingkungan.

Selain Powerbrain, startup yang juga bergerak di bidang impact di ranah lingkungan adalah Xurya, perusahaan ini menawarkan solusi energi berbasis surya, yang diaplikasikan pada atap bangunan. Beberapa startup yang turut bermain di ranah tersebut termasuk Warung Energi, Weston Energy, Forbetric, Erenesia, Khaira Energy, dan Syailendra Power. Sebagian besar menggarap potensi tenaga surya.

Binar Academy Dikabarkan Peroleh Pendanaan Pra-Seri A 51 Miliar Rupiah

Startup edutech yang fokus menyediakan layanan bootcamp dan kelas online bersertifikat “Binar Academy” dikabarkan telah membukukan pendanaan pra-seri A senilai $3,5 juta atau setara 51 miliar Rupiah. Sejumlah impact investor terlibat dalam putaran ini, termasuk iGlobe Partners, Teja Ventres, Cellar Capital Partners, Spaze Ventures, YCAB Ventures, dan sejumlah lainnya.

Investasi ini melanjutkan perolehan seed funding pada April 2020 yang dipimpin Teja Ventures dengan partisipasi sejumlah investor termasuk Indonesia Women Empowerment Fund (IWEF— dana yang bertujuan untuk menciptakan dampak sosial dan dikelola bersama oleh Moonshot Ventures dan YCAB Ventures), Eduspaze, The Savearth Fund, serta beberapa angel investor dari ANGIN.

Terkait kabar ini, kami sudah mencoba meminta komentar dari pihak terkait.

Layanan Binar Academy

Binar memiliki beberapa model bisnis, baik di segmen B2C maupun B2B. Untuk layanan pembelajaran ke konsumer, ada tiga produk yang disediakan. Pertama Binar Bootcamp, yakni program pembelajaran intensif terkait pemrograman dan analisis data yang ditujukan untuk lulusan SMA sederajat dan profesional.

Lulusan program ini juga disalurkan ke perusahaan teknologi yang telah tergabung di layanan Job Connect milik Binar. Dikutip dari situs resminya, saat ini mereka telah meluluskan lebih dari 3000 pelajar dan menyalurkan lebih dari 500 lulusan ke perusahaan mitra.

Kedua, Binar Insight yang merupakan program webinar berbayar dengan speaker ternama. Sesi yang dihadirkan cukup beragam, mulai dari UI/UX, pengembangan web, manajemen produk, hingga business intelligence. Dan ketiga ada BinarGo, layanan pembelajaran on-demand dengan materi digital interaktif.

Binar juga memiliki layanan B2B yang menyasar korporasi. Ada dua layanan yang disuguhkan, yakni untuk perekrutan talenta digital dan program peningkatan kapasitas talenta teknologi melalui pelatihan/workshop.

Kompetisi pasar

Layanan bootcamp telah menjadi opsi pendidikan nonformal yang cukup diminati di Indonesia, apalagi terkait dengan pemrograman dan teknologi yang memiliki demand tinggi dari perusahaan. Selain binar, ada beberapa penyelenggara bootcamp serupa yang telah beroperasi, di antaranya Hacktiv8, Impact Byte, dan Skilvul.

Salah satu opsi menarik yang mereka tawarkan adalah skema “Income Share Agreement“, memungkinkan pelajar untuk terlebih dulu menimba ilmu dan baru membayar biaya akomodasi setelah mendapatkan penghasilan dari keahliannya.

Secara global, menurut riset yang dilakukan Technavio, layanan bootcamp yang fokus di materi pemrograman berpotensi menghasilkan kapitalisasi pasar hingga $772,04 miliar di 2021-2025 dengan CAGR 17%. Pandemi turut mendorong adopsi model pembelajaran ini, apalagi sejumlah pengembang layanan turut menyajikan fasilitas pembelajaran yang bisa dilakukan sepenuhnya online.

Dalam sebuah wawancara, Founder & CEO Binar Academy Alamanda Shantika mengatakan, kombinasi dari pengalaman belajar kontemporer, teknologi, dan komunitas akan menghasilkan pengalaman pembelajaran yang menarik sekaligus berdampak bagi para pelajar. Apalagi jika ditinjau secara demografi, kebanyakan member Binar adalah lulusan SMA, mahasiswa, dan orang-orang yang ingin berganti karier (career shifter).

Untuk meningkatkan cakupan bisnis, Binar juga secara konsisten meningkatkan dengan institusi pendidikan termasuk dengan pemerintah, universitas, dan sekolah vokasi. Selain itu, Binar Academy juga akan berkolaborasi dengan perusahaan yang terdampak oleh digitalisasi untuk upskilling employee agar kemampuannya kembali relevan.

Application Information Will Show Up Here

East Ventures Umumkan Penerapan Aspek ESG dalam Berinvestasi

East Ventures meluncurkan “Sustainability Report 2022” untuk memaparkan dampak yang berhasil diciptakan -bersama ekosistemnya- dengan melibatkan kerangka kerja dan praktik Lingkungan, Sosial, dan Tata Kelola (LST/ Environmental, Social, and Governance/ESG) dalam mencapai masa depan yang lebih berkelanjutan dan inklusif.

Laporan ini salah satunya berbekal kiprahnya lebih dari satu dekade bekerja sama dengan ratusan pengusaha dalam mencapai perbaikan masyarakat secara keseluruhan. Diklaim, East Ventures telah mencatatkan lebih dari $86 miliar GMV tahunan dan $6,7 miliar pendanaan lanjutan.

Pada tahun lalu saja, East Ventures menutup lebih dari 80 kesepakatan investasi, termasuk di antaranya menambah 40 startup baru dalam portofolionya, dua kali lipat dari tahun sebelumnya. Seluruh pencapaian tersebut memperkuat posisi kepemimpinan East Ventures untuk terus memberikan dampak dan menuju keberlanjutan.

“Ini adalah inisiatif dan komitmen kami kepada pemangku kepentingan, memberikan informasi tentang tindakan yang telah kami terapkan dan integrasi SDGs dalam portofolio kami. Selain itu, dituangkan dalam gerakan-gerakan berikut yang akan kita dorong bersama untuk memberikan dampak yang baik dan masa depan yang lebih baik bagi bumi, manusia, dan tata kelola perusahaan,” tulis Founding Partner East Ventures Willson Cuaca dalam laporan.

Managing Partner East Ventures Roderick Purwana menambahkan, dalam mengimplementasikan praktik dan kerangka kerja ESG dalam proses investasinya, pihaknya menyiapkan tim dengan pengalaman global dan regional di multi industri. Di bawah Komite Investasi, kelompok tersebut memperkuat kepemimpinan LST untuk mengawasi kepatuhan, kebijakan, proses investasi, dan standar LST.

Kemudian, mengembangkan Kerangka Kerja Investasi Berkelanjutan (Sustainable Investment Network) untuk mengukur, melacak, dan meningkatkan dampak portofolionya terhadap lingkungan, ekonomi, dan masyarakat. Untuk strategi investasi keberlanjutan, East Ventures menerapkan dua pendekatan – Berbuat Baik dan Menghindari Bahaya (Doing Good and Avoiding Harm).

Berbuat Baik berarti menyediakan dan memungkinkan investasinya tumbuh dalam proposisi pasar yang berkelanjutan untuk mengoptimalkan dampak pada penerima manfaat. Sedangkan, Menghindari Bahaya berarti mengantisipasi dan memitigasi risiko atau potensi dampak sosial dan lingkungan yang merugikan pada praktik bisnis portofolio.

Dia melanjutkan, dalam mengukur dan memantau perbuatan baik dan menghindari bahaya, pihaknya menerapkan pendekatan investasi yang bertanggung jawab dalam proses, standar, dan alat yang digunakan dalam siklus investasi.

“Ada lima fase investasi yang kami rancang: penyaringan, uji tuntas, keputusan investasi, pasca investasi, dan exit. Selain itu, sebagai penandatanganan PRI (Principles for Responsible Investment), East Ventures akan memasukkan keenam prinsip untuk investasi yang bertanggung jawab ke dalam proses investasi dan praktik sehari-hari kami,” ucapnya.

Dicontohkan, dalam proses penyaringan, tim melakukan pra-penyaringan melalui kelayakan EST, daftar pengecualian, dan daftar periksa LST terkait dengan perusahaan portofolio potensial. Lalu, di uji tuntas, tim memverifikasi perusahaan portofolio potensial melalui penilaian risiko LST, kuesioner, untuk memastikan bahwa mereka selaras dengan kerangka peraturan dan standar kinerja IFC. Secara berkala, tim melacak kemajuan dampak berkelanjutan dari portofolio melalui rencana aksi dan pelaporan dan turut terlibat dalam proses penciptaan dampak.

Dalam pengukuran pertama dari calon investee soal risiko LST dan performa kinerja manajemen, East Ventures menyusun Sustainable Investment Toolkit untuk memastikan bahwa manajemen risiko dan kinerja LST mereka memenuhi harapan. Ada empat aspek utama dari toolkit ini, yakni Investment Data, ESG Questionnaire, Impact Questionnaire, dan Dashboard.

“Jika diperlukan dan sesuai, kebijaksanaan East Ventures akan digunakan untuk mengajukan klarifikasi, menafsirkan informasi dari setiap pertanyaan yang mungkin ditandai, dan memengaruhi perubahan positif,” tulis laporan tersebut.

Dampak melalui portofolio existing

Diklaim dari 17 tujuan yang disusun PBB dalam Tujuan Pembangunan Keberlanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs/Global Goals), ekosistem East Ventures telah berhasil mencapai 16 tujuan. Misalnya, di ranah e-commerce, terdapat Aruna, TreeDots, dan WarungPintar.

Aruna mampu menciptakan dampak untuk lebih dari 20 ribu nelayan, termasuk perempuan, dan lebih dari 10 komoditas yang didukung untuk meningkatkan mata pencaharian nelayan melalui akses pasar yang lebih baik dan peluang perdagangan yang lebih adil. Adapun, TreeDots berhasil menyelamatkan 3.500 ton makanan dan menghemat 13,9 miliar liter air.

Berikutnya di ranah fintech, terdapat ALAMI yang berhasil menyalurkan $70 juta pembiayaan untuk 1000 UMKM. Para peminjam tersebut kebanyakan biasanya tidak dapat memenuhi kriteria pinjaman bank tradisional. Skala yang lebih besar ditunjukkan oleh KoinWorks yang menyalurkan pembiayaan untuk 1,5 juta UMKM dan menyalurkan $50 juta pembiayaan per bulannya.

Di ranah healthtech, terdapat Homage yang berhasil beroperasi di empat negara, menjalin kerja sama dengan lebih dari 8.000 pengasuh, dokter dan perawat untuk memberikan perawatan kepada keluarga dan memberikan penghasilan tambahan bagi petugas kesehatan. Sementara, Nalagenetics mencetak pertumbuhan hingga 400% dalam hal peningkatan mitra rumah sakit pada 2021 dan meningkatkan 60% tes pengujian terkait Covid-19 dalam periode yang sama.

Tentunya dalam proses menciptakan dampak ini penuh tantangan, seperti dikutip dari EV-DCI 2022, masih banyak bisnis yang masih berjuang. Maka dari itu, East Ventures melakukan pengembangan kapasitas, termasuk pelatihan terkait ESG kepada perusahaan portofolio sambil memastikan bahwa East Ventures mengungkapkan secara teratur pada dampak dan kemajuan terkait LST.

“Inovasi digital terus membawa dampak positif bagi masyarakat, dan pemodal ventura menjadi lebih berhati-hati untuk tidak hanya membawa keuntungan finansial, tetapi juga dampak positif bagi masyarakat dan lingkungan melalui investasi, kami berharap dapat melihat lebih banyak bisnis mengadopsi kebijakan ESG dan kerangka kerja untuk mengukur kinerja dan memberikan investor informasi yang diperlukan untuk pengambilan keputusan mereka,” tutup laporan tersebut.

Investasi berdampak di Indonesia

Semakin banyak investor berdampak yang telah berinvestasi di Indonesia. Menurut laporan ANGIN di 2020, jumlahnya mencapai 66 investor, dengan rincian 61 dari fund luar negeri dan lima dari Indonesia. Sementara itu, investor mainstream yang telah mengucurkan sejumlah dananya untuk sektor berdampak jumlahnya jauh lebih banyak, hampir dua kali lipatnya sebanyak 107 investor. Dengan rincian 32 investor lokal dan 75 investor dari luar negeri.

Fokus dari tiap investor berdampak juga berbeda. ANGIN mencatat secara tematik, ada 10 jenis usaha berdampak yang menjadi fokus masing-masing, terbagi menjadi inklusi keuangan, kehutanan, energi bersih, kemiskinan, gender lens, ekonomi sirkular, perikanan, iklim, agrikultur, dan media. Masing-masing tema ini mencerminkan peluang dan tantangan di Indonesia. Kondisi ini sangat jauh berbeda dengan kondisi di 2013.

Pun dalam mengukur dampak yang dihasilkan, tiap investor punya formula masing-masing. Partner Patamar Capital Dondi Hananto menuturkan bagaimana metrik dan skalabilitas impact investing di Indonesia secara umum. Dia mengambil contoh pada social impact, menurutnya hingga kini belum ada metrik satu-untuk-semua (one for all) yang dapat digunakan untuk mengukur pertumbuhan bisnis, baik yang bersifat ekuitas maupun non-ekuitas. Semua bergantung dari model bisnis dan dampak yang dikejar oleh startup.

Sementara di segmen environmental impact, Dondi menilai pengembangan bisnisnya belum dapat mengandalkan commercial financing sepenuhnya mengingat pasarnya di kawasan Asia Tenggara belum matang. Maka itu perlu dorongan dari sumber pendanaan lain (blended finance), seperti yayasan, CSR, atau dana sosial.

Ini menjadi salah satu faktor mengapa skalabilitas bisnis pada startup di environmental impact sulit diakselerasi. Belum lagi bicara soal benturan dalam mengejar ‘impact versus profit’ mengingat keduanya sulit untuk dicapai secara bersamaan. Dondi menilai sulit untuk menahan dampak dalam jangka panjang apabila sejak awal bisnisnya sudah profit-oriented.

“Secara business model, saya belum melihat [environmental startup] yang bisa cepat scalable. But, the trend is going there,” ungkap Dondi.

Better Bite Ventures Fokus Danai Startup di Segmen Protein Alternatif, Indonesia Masuk Target Pasar Utama

Dalam pembahasan mengenai degradasi lingkungan, ilmuwan PBB menyatakan bahwa memelihara hewan untuk dimakan adalah salah satu penyebab utama masalah lingkungan yang mendesak di dunia. Setara dengan pemanasan global, degradasi lahan, polusi udara dan air, serta hilangnya keanekaragaman hayati.

Analisis dari Universitas Johns Hopkins menunjukkan bahwa produk protein alternatif dapat menghemat hingga 93% emisi gas rumah kaca, 89% air, dan 98% penggunaan lahan, dibandingkan dengan protein hewani konvensional.

Atas dasar isu dan potensi tersebut, perusahaan modal ventura yang fokus mendukung startup tahap awal Asia Pasifik (APAC) di sektor protein alternatif “Better Bite Ventures” mengumumkan peluncuran dana kelolaan senilai $15 juta. Perusahaan memiliki misi untuk mendukung para pendiri tahap awal mengembangkan alternatif penting ramah iklim untuk protein hewani dalam apa yang digambarkan sebagai ‘pasar makanan terbesar di dunia’.

Perusahaan menargetkan investasi terhadap 20-30 perusahaan di Asia Pasifik. Investasi ini akan fokus menjangkau perusahaan tahap pre-seed dan seed dengan rentang nilai $200-$700 ribu. Dana kelolaan tersebut turut didukung oleh investor impact terkemuka, manajer dana kelolaan  untuk perusahaan tahap lanjut, perusahaan konglomerat, serta pengusaha makanan dan teknologi dari Asia, AS, dan Eropa. LP terbesar datang dari Asia Tenggara.

Better Bite Ventures didirikan oleh Michal Klar dan Simon Newstead, keduanya memiliki latar belakang yang kuat dalam industri protein alternatif dengan pengalaman lebih dari 20 tahun termasuk menjalankan media Future Food Now dan podcast Vegan Startup. Selain itu, mereka juga aktif sebagai angel investor di segmen terkait. Berawal dari kesamaan visi dan misi, mereka memutuskan bahwa sudah saatnya untuk mengambil langkah lebih maju dan fokus membangun ekosistem protein alternatif di Asia Pasifik.

“Kami di sini untuk berinvestasi pada pendiri yang berani membangun unicorn teknologi pangan masa depan Asia,” ujar Michal Klar sebagai General Partner. “Sekarang adalah momentum untuk Asia. Kami percaya perusahaan dengan wawasan lokal akan mengambil peran utama di pasar yang berkembang pesat ini”.

Dalam wawancara singkat bersama tim DailySocial.id, Michal juga mengungkapkan bahwa investasi ini sangat terkait dengan dampak secara keseluruhan, namun juga tetap melihat dari sisi potensi profitabilitas dan pertumbuhannya.

Hingga saat ini, Better Bite Ventures telah berinvestasi di 10 startup regional yang mencakup keseluruhan teknologi protein alternatif, dari pertanian berbasis tanaman hingga solusi rantai pasok. Sejauh ini, dana tersebut telah disalurkan pada para pengembang solusi yang memimpin pasar Green Rebel dari Indonesia.

Fokus di pasar Indonesia

Menurut studi Boston Consulting Group baru-baru ini, pasar protein alternatif global diproyeksikan mencapai lebih dari $290 miliar pada tahun 2035, sekitar 11 persen dari total pasar protein secara keseluruhan, yang dua pertiganya disinyalir adalah kontribusi dari wilayah APAC.

Lembaga nirlaba Good Food Institute menerbitkan data yang menunjukkan bahwa lebih dari $3 miliar telah diinvestasikan ke dalam perusahaan rintisan protein alternatif pada tahun 2020, dengan perusahaan rintisan APAC menyumbang lebih dari $230 juta. Angka 2021 diperkirakan menunjukkan pertumbuhan yang lebih besar lagi.

Melihat angka tersebut, Michal meyakini potensi pertumbuhan di segmen ini ke depannya. Michal juga menyebutkan bahwa jumlah tersebut hanya sebagian kecil dari total potensi keseluruhan. “Pada dasarnya kami percaya bahwa ini adalah saat yang tepat, momentumnya sudah ada, dan Asia akan tumbuh beriringan dengan seluruh dunia. Hal ini membuat kami sangat bersemangat,” ujarnya.

Ia juga mengungkapkan bahwa Indonesia merupakan salah satu pasar terbesar dan paling menarik di Asia. Selain karena pengalamannya yang pernah lima tahun tinggal di negara ini, co-founder yang lain, Simon, juga merupakan keturunan Indonesia. Maka dari itu, mereka merasa memiliki ikatan personal dengan area ini.

Selain itu, Michal juga mengakui bahwa masyarakat Indonesia, utamanya kaum urban, memiliki pikiran yang sudah sangat terbuka untuk adopsi tren baru. Sepuluh tahun yang lalu, ungkapnya, masih sulit untuk menemukan tempat makan vegetarian di area ini. Sekarang, banyak resto yang sudah menawarkan menu tersebut.

“Saya rasa, perlahan tapi pasti, konsumen semakin berkembang. Menurut saya ada dua hal yang akan jadi penggerak industri di segmen ini. Pertama, konsumen semakin menyadari manfaatnya dari sisi kesehatan personal dan juga potensi sustainability di segmen ini,” ujarnya

Salah satu pionir di segmen protein alternatif di Indonesia adalah Green Rebel. Rintisan karya anak bangsa ini didirikan oleh Max Mandias dan Helga Angelina – pasangan aktivis praktisi pola makan sehat dan ramah lingkungan untuk di Indonesia. Mereka menjadi startup teknologi pangan pertama di Indonesia yang memproduksi daging dan keju nabati “Michal dan Simon percaya pada kami dan potensi kami sejak awal, melalui semua pasang surut” ungkap Helga Angelina, salah satu pendiri Green Rebel.

“Satu hal yang paling penting yang kami lihat pada Green Rebel adalah konsep lokal yang ditawarkan. Di antara sekian banyak restoran yang menawarkan konsep protein alternatif dengan gaya western food, Green Rebel hadir dengan pendekatan yang lebih lokal, menggunakan menu-menu tradisional,” ungkap Michal.

Google Umumkan Dana Kelolaan Khusus “Impact Startup” di Asia Pasifik, Indonesia Masuk Radar

Google, melalui lengan nonprofit Google.org, mengumumkan dana kelolaan baru “Sustainability Seed Fund” yang difokuskan pada pendanaan hibah untuk startup impact di kawasan Asia Pasifik. Fund ini memiliki dana kelolaan sebesar $6 juta (lebih dari 86 miliar Rupiah), akan mengincar startup yang menyeriusi sektor-sektor berdampak, seperti polusi udara, keanekaragaman hayati, energi terbarukan, limbah sampah, dan ekonomi sirkular.

Lembaga nonprofit di Indonesia menjadi salah satu negara yang masuk ke dalam radar Google untuk menerima pendanaan hibah tersebut, meski tidak disebutkan alokasi dana yang disiapkan Google.

Kepada DailySocial.id, Lead Google.org APAC Marija Ralic menuturkan, kawasan Asia Pasifik sangat rentan terhadap perubahan iklim, oleh karenanya pihaknya terus mencari cara untuk memajukan keberlanjutan dan memberdayakan orang lain untuk melakukan hal yang sama.

“Melalui Sustainability Seed Fund Google.org, kami berharap dapat mendukung lembaga nonprofit yang inovatif melalui pendanaan hibah dan sumber daya, untuk meningkatkan skala teknologi yang menjanjikan dan mengatasi tantangan keberlanjutan yang paling mendesak di kawasan ini.”

Dia melanjutkan, Google.org telah banyak menyaksikan berbagai organisasi dan lembaga nonprofit nan inovatif di seluruh Asia. Salah satunya, Indonesia menggunakan teknologi untuk mengatasi perubahan iklim. Contohnya adalah Gringgo Foundation, yang sebelumnya telah didukung melalui Google.org.

Sebagai catatan, Gringgo mendapat dana hibah dari Google.org sebesar $500 ribu pada 2019 setelah dinobatkan sebagai salah satu dari 20 peserta Google AI Impact Challenge. Gringgo merupakan yayasan yang didirikan pada 2017 oleh Febriadi Pratama. Yayasan ini mengadopsi teknologi untuk membantu mengatasi permasalahan sampah di Indonesiaa, khususnya Bali dengan pemanfaatan AI.

Ralic melanjutkan, sebelumnya pihaknya menyampaikan di konferensi iklim global COP26 pada tahun lalu, bahwa dalam hal keberlanjutan, swasta, pemerintah, dan masyarakat memiliki tanggung jawab untuk bekerja sama, menjalin kemitraan baru, dan bertindak sekarang. “Untuk alasan ini, kami memberikan $6 juta Google.org Sustainability Seed Fund di Asia Pasifik.”

Dana tersebut akan digunakan untuk membantu lembaga nonprofit lokal di seluruh kawasan untuk mengembangkan teknologi yang menjanjikan, mengatasi tantangan seperti kualitas udara, pelestarian air, dan meningkatkan akses ke energi terbarukan di Asia Pasifik dan sekitarnya.

Melalui dana ini, Google.org tidak hanya akan mendukung lembaga nonprofit dan organisasi dengan dukungan pendanaan dan dukungan dalam bentuk barang seperti kredit iklan gratis, tetapi juga teknologi dan pikiran, untuk mengatasi beberapa tantangan keberlanjutan yang paling mendesak di wilayah ini.

“Kami berharap dapat berbagi lebih banyak detail tentang dana tersebut dan bagaimana lembaga nonprofit dapat mengajukan permohonan dalam beberapa minggu mendatang,” pungkasnya.

Investasi berdampak vs filantropi

Managing Director Angel Investor Network Indonesia (ANGIN) David Soukhasing menerangkan, persamaan mendasar antara filantropi dan investasi berdampak adalah keduanya sama-sama memiliki “niat dampak (impact intention)” dan “pengukuran dampak (impact measurement)”. Namun kita dapat membedakannya berdasarkan dua faktor, yaitu prioritas dan ekspektasi keuntungan finansial.

Filantropi jelas memiliki tujuan sosial dan lingkungan, menempatkan investasi yang diberikan sebagai hibah sehingga tidak mengharap imbal hasil. Tidak seperti filantropi, investor berdampak memprioritaskan dampak dan keuntungan. Dengan demikian, investor berdampak mengharapkan keuntungan finansial. Akan tetapi, ada investor yang mengadopsi pendekatan keduanya yang disebut venture philanthropy.

Pendekatan hibrida ini mengambil sisi terbaik dari kedua sisi. Keuntungan yang didapat adalah penciptaan dampak sosial dan ekspektasi keuntungan finansial. Investor dampak menilai peluang dengan cara yang berbeda dari filantropis. “Penting untuk diperhatikan bahwa tidak setiap dampak (yang sering dibahas oleh para filantropis) selalu cocok untuk investasi berdampak dan sebaliknya,” ujar Soukhasing.

Meski jumlah startup yang memakai pendekatan hijau atau environmental, social, and governance (ESG) masih terbatas, menurut , saat ini terjadi tren positif kehadiran usaha berdampak di ekosistem. Investasi berdampak (impact investment) pun bermunculan, sebagaimana yang juga dibahas di laporan DSInnovate tentang agritech di Indonesia.

Mayoritas mereka hadir untuk mendukung kewirausahaan, memberikan dukungan yang lebih spesifik untuk kelompok wirausaha sosial tertentu, misalnya program akselerator fokus energi, fokus pengelolaan limbah program akselerator, atau dukungan wirausaha yang berfokus pada area geografis tertentu.

Bagi Soukhasing, faktor tersebut mampu mengukur kesiapan Indonesia terhadap investasi berdampak. Indonesia butuh ekosistem menyeluruh untuk siap menyambut investor berdampak. Tidak hanya permodalan, pada dasarnya dibutuhkan pipeline yang kuat dari perusahaan/startup.

“Salah satu ukuran kematangan adalah keseluruhan nilai keanekaragaman permodalan, keragaman investor, tahapan yang berbeda, jenis uang yang berbeda, dan semua fungsi pendukung. Dari segi fungsi pendukung, seperti inkubator, akselerator, co-working space, Indonesia sebenarnya cukup berkembang. Ada cukup banyak jaringan pipeline dan investor ada di sini.”

Menurut laporan ANGIN bertajuk Investing in Impact in Indonesia, pada tahun 2013 konsep investasi berdampak masih sangat jarang di Indonesia. Namun sekarang makin familiar karena mulai ada VC yang membuat fund khusus untuk investasi di sektor berdampak.

Ada sejumlah investor berdampak yang telah berinvestasi di Indonesia, baik itu pemain lokal dan asing. Beberapa telah memiliki tim representatif di Indonesia. Totalnya mencapai 66 investor, dengan rincian 61 dari fund luar negeri dan lima sisanya dari Indonesia.

Sementara itu, investor mainstream yang telah mengucurkan sejumlah dananya untuk sektor berdampak jumlahnya jauh lebih banyak, hampir dua kali lipatnya sebanyak 107 investor. Dengan rincian 32 investor lokal dan 75 investor dari luar negeri.

Fokus dari tiap investor berdampak juga berbeda. ANGIN mencatat secara tematik, ada 10 jenis usaha berdampak yang menjadi fokus masing-masing, terbagi menjadi inklusi keuangan, kehutanan, energi bersih, kemiskinan, gender lens, circular economy, perikanan, iklim, agrikultur, dan media. Masing-masing tema ini mencerminkan peluang dan tantangan di Indonesia.

Dondi Hananto’s Hypothesis on Impact Investment: Scalability is the Key

This article is a part of DailySocial’s Mastermind Series, featuring innovators and leaders in Indonesia’s tech industry sharing their stories and point of view.

There is no doubt that impact investing as a concept has gained more popularity than before. Directing capital to ventures that are expected to yield social and environmental benefits as well as profits provides investors with a way to “do well by doing good.” Dondi Hananto has been trying to do similar work with Patamar for the past seven years.

For over 15 years, Dondi has built specialization in microfinancing, risk, portfolio, and credit management through the banking industry. Although he claimed the intention wasn’t purely passion, he came to find his niche in technology and impact through this industry. His very first private fund, Kinara, relied on curiosity but already used the impact-focus investment concept. It was also several venture experiences until he decided to be better focusing on the investment side of the ecosystem.

One of the biggest questions about impact investing is: “Can funds achieve both social impact and returns at scale?”

In fact, only a small proportion of funds has consistently generated market rate return and measurable social and environmental impact at a large scale, especially in equity. Through this piece, Dondi is to share some stories on the impact investment area and the key to its sustainability.

As a banker-turned-investor, Dondi Hananto has been actively taking part in building the Indonesian entrepreneurship ecosystem, investing in early-stage, scalable companies. DailySocial has an opportunity to have an exclusive interview on his extensive insights on the impact business and investment. Below is an excerpt of his story.

Let’s begin from when you were in the banking industry. How has technology affected your life and shaped your career?

I graduated amidst the financial crisis in 1998. It was very hard for most people to do basically anything. Banking was the first job offer I got, and I took it out of desperation. However, although my intention wasn’t purely passion, I came to find my niche through this industry. There are a few things about banking that I really fit into and support me along the journey. It’s all related to tech.

My educational background is in computer science, but I’m not really digging into coding. In the long run, I was encountered big projects in system implementation. I was quite invested in the retail lending team, such as credit cards or KTA, and I feel good. Not only that I was still working with the IT team on the technology, but it is indeed necessary to have someone being the bridge of tech and business matters. I kinda fit that position.

My second niche was before the term “big data”, but what we did was basically the origin of data science. One of the great projects I’ve worked on is creating a specific scorecard for Indonesia given that I was working in the global bank. We’ve learned so much from the headquarter team and the implementation projects. That’s when my passion grew, on how to utilize technology to simplify human work.

What is the turning point that makes you decide to enter the tech investment industry?

After 13 years of working in the banking industry, mainly in the capital loan for MSMEs, my curiosity arose on how early-stage tech companies raise funding. I’ve searched for ways to learn about this but banks don’t do that. Also, there were not enough sources around Southeast Asia back in 2009-10. I realized that I can’t do this through banking, so I quit.

Prior to that, I started creating a small private fund for early-stage investment named Kinara. The business was based out of curiosity and craving for digging some more. From then on, funding becomes a necessary foundation, but that is not solely the problem. We need the whole ecosystem to work, one way to get closer to that is through the community. That time, I also had some talks with my fellow friends about coworking space. One thing led to another, since we haven’t settled on a building, we can use this opportunity to create a business, have an office and gather a bigger entrepreneur community.

We finally had an office, the coworking space named Comma. For a while, I was also involved in a crowdfunding platform for creative projects called Wujudkan.com. The cycle goes on with the entrepreneurship ecosystem, raising funds to invest, creating coworking space to tighten up communities, and crowdfunding for creative business. I’ve learned bit by bit how to run a tech startup.

How does it feel to build your own venture? What kind of lessons have you learned during that time?

I believe in the concept of learning by doing, that’s what I did with the first two ventures. In fact, running a company is hard, but it is harder when you have to run three.

At that point, I was starting to be a full-time partner on Patamar and decided to focus on that. With my knowledge and experience, I know that I would be better focusing on the investment side of the ecosystem.

When did you realize that you grow interest in this impact business and investment?

My last corporate job was with Bank Sampoerna, I was in charge of the micro-credit department. It is kind of heavy on impact. My biggest question at that time was “How to apply my experience in the financial industry for something impactful, but still under the same framework?”. Along the way, I was getting more invested in the idea.

Starting with Kinara, my network is expanding, then I met my current partners in Patamar. Back in 2014, they were raising a fund for Southeast Asia and I decided to join. Although I’m not a co-founder, part of me always feels that this is my own fund. Since I am also a partner, that counts as my skin in the game.

In Patamar Capital, how did you do fundraising? Considering the different angle with most mainstream VCs

This might not always be the highlight, but VCs, funds like us are all fundraising, just like startups. We did pitching to the investors, the process is practical as usual. First, we’ll provide them insights on the industry, startup, and the Southeast Asia region before detailed discussion about our fundraising objectives. Our investor base is global, some of them highly concerned about the impact, while some find it as a “nice to have”. However, of all our investors, there will always be a financial return target, some even very specific. Our biggest investors are impact-focused, therefore, they closely monitor the metrics, measurement, and reporting on the impact.

What was the hypothesis on the founder or business in terms of Impact Investment with Patamar?

Humans tend to look for black and white, but we are standing in the middle, like grey area. We don’t choose one over the other, our objectives are both financial returns AND impact. While we’re eye-ing for the company and building hypotheses around the attractive sector, we actually looking for a company in which the impact is embedded in the business. Therefore, as the business grows, the impact will follow.

Take one use case, there are some businesses that put impact after the business. Toms Shoes company uses this concept, when someone buys a pair of shoes, for instance, the company donates a pair of shoes to a child in a poor country. If we look closer to the financial model, this impact will create costs for the business. When the business goes under pressure, the cost could possibly be cut.

It is things like this that we’ve been trying to avoid, where the impact related to the business but in a way didn’t grow together. Some businesses have set aside revenue for impact, yet it is still cost-structured. It may be consistent today, but who knows what the future holds.

Take another example, Sayurbox. With the current business model, as the growth continues, they need to look for more farmers/suppliers. Instead of creating a cost, the impact to farmers grows along with the business. As a fund, it is only fair to say that we are after both impact and profit.

In Patamar, our impact thesis includes financial services, SME and agriculture, healthcare, and education. We invest in these sectors because it is closely involved with people in the aspiring middle-class level, which means most of the people in this country, including the grassroot.

Patamar Capital aside, do you have any particular interest in another impact sector?

Personally, there are two things I’ve always been interested in but they are outside of Patamar’s impact mandate at the moment: environmental impact and creative industry. Why do I think of creative industry as an impactful sector? It’s particularly job creation. There are lots of artists who rely on this sector. In the film industry, for example, lots of people can be employed through one movie. It is indeed impactful. Many impact investors are focused on culture preservation and arts. However, when it comes to business models, it is quite hard to define.

The key is scalability. Lots of art/culture-related businesses have issues with growth due to indefinite business models or limited scalability. In fact, I haven’t seen lots of art-related companies scale fast. I’m actually thrilled to see the wave of web3 and NFT reach the art industry first. Aside from helping the artists scale by reaching the global market, the smart contract ability can generate constant royalty to the artists. Again, as a tech geek, I have always been keen on this area.

What is your personal aim in this impact investment industry? How about the long-term gain?

Personally, the reason why I started this might be different with some of my partners with the western point of view. They have done it before, in the US-Europe and they look for new markets to implement the concept. I started as an Indonesian who sees great potential and opportunities to improve the life of 270 million people in Indonesia, 600 million in Southeast Asia.

In my definition, improving life is done by increasing income or improving the currently available product or services with higher quality and accessibility. For me, the personal aim is to see more Indonesian people and in SEA, to live a decent life. There is actually one thing that I’m still learning and exploring the solution, on how to improve the wealth distribution in SEA’s countries, especially Indonesia.

If we look closely, All the biggest companies are centralized in the capital cities. There is very few large corporations headquartered in cities outside of Java. In the US, for example, different states have their own giant company. I’m kind of afraid if everything revolves around Jakarta only, it won’t be healthy. I don’t know the solution yet, but that’s one of the big goals I’m still trying to discover.

We talked about all the potential and benefits of running the impact investment, but what is the worst-case scenario if it doesn’t work out?

In fact, the ‘Holy Grail’ is to invest in the impact companies and still generate financial returns. If the cycle completed, there will be more investors to enter this industry. Who didn’t want to grow money, plus make an impact? However, if it doesn’t work out, the impact investing industry alone will still be there, but probably the money will only come from philanthrophy sources. Only, the impact investing industry wouldn’t scale up. Once it stops scaling up, that’s my worst-case scenario.

To wrap this up, what can you say about the projection of impact investment in Indonesia? Also, to those who are building impact businesses in the country.

The impact industry is expanding and growing. I find it interesting when there is an intersection of impact-focused investors with more traditional tech VCs. A report by Angin in 2020 on Investing in Impact in Indonesia shows many tech VCs are starting to invest in the impact business and I think it’s very healthy for the ecosystem in order to grow.

We also saw many interesting and impactful projects that failed to attract investors due to inconsistent business models. Equitiy investors like us, will most certainly look for scalability. For equity investors, it is a high risk, a high return, therefore, entrepreneurs should also think about how to scale and expand their business  That is not easy, but it is possible. Note that this is not the only way to grow a business, but if you’re looking for equity investors, that is the reality. You can also choose to grow your business more slowly, but the consequence is that you may not be able to access the available equity-based capital.

Unraveling WLabku’s Scenario, Recycling Sugarcane Bagasse to Accelerate “Zero Carbon Emission” in Indonesia

“Many business leaders are seeing the relationship between long term success and sustainability, and that’s very heartening.” — Jacqueline Novogratz, entrepreneur

There are various perceptions about the hardship of environmental impact business. First, it is difficult for startup players to generate inclome–let alone profit–and it obviously takes a long time. Second, these beliefs have limited investors’ interest. However, that doesn’t mean it doesn’t exist.

Many startups are carrying a mission to save the earth instead of earning profit beforehand. In Indonesia, you can count it on the finger of one hand. It includes a renewable energy startup Xurya and waste management startup Duitin. The objective is to make the earth greener and friendly to humans.

WLabku, a waste management startup backed by Gayo Capital impact investor, is carrying the same mission, which is to recycle bagasse into a valuable product in order to achieve zero carbon emission acceleration in Indonesia.

DailySocial had a discussion with two important figures at Gayo Capital, Jefri R Sirait as Co-Founder & Managing Partner and Eldo Wana Kusuma as Investment Principal about recycling development, business metrics, and environmental impact in this business segment.

WLabku’s profile

Founded in 2019, WLabku is a waste management startup that recycles sugarcane waste as animal feed (bagasse). In additiont, this recycled product can be used as biofuel (plant and animal based) to produce heat, energy, electricity, as well as manufacture of pulp and building materials. The quantity obtained ranges from 22%-36%, depending on the portion of fiber and cleanliness of the sugarcane supply.

Why sugarcane? Citing information on the Gayo official website, bagasse is a fibrous residue left after milling, containing a moisture content of 45%-50% with a mixture of soft and fine fibers and parenchyma tissue with high hygroscopic properties. Bagasse also contains cellulose, hemi cellulose, pentosan, lignin, sugar, wax, and minerals.

In Indonesia, sugarcane has been planted on a 450,000 hectares land. The average yield in community plantations (about 266,000 hectares) is less than 80 tons per hectare with a yield level below 8%. The potential market capitalization of recycled sugarcane is around 5% of old bagasse equivalent to IDR 2.2 trillion.

In 2020, WLabku secured an investment from Gayo Capital through two funding rounds. Based on Crunchbase data, WLabku received seed funding in January 2020 of $1 million, and a second round in July 2020 through convertible notes at $90,000.

Co-Founder & Managing Partner, Jefri R Sirait revealed, WLabku is one of Gayo Capital’s investment portfolios that offers added value as a biomass waster. He said, there are lots of unused materials that can actually be reused (circular economic) in the agricultural sector, livestock, and even the society.

He considered the recycling of used materials to be one of the important keys to strengthening food and energy security in Indonesia, as well as being able to produce carbon farming.

“From the beginning, Edward [Ismawan Chamdani] and I, as Founders of Gayo Capital, saw the Sustainable Development Goals (SDGs) as well as farmers, ranchers, fishermen, and MSMEs must be the epicenter in Indonesia. This is a strong basis for how rural areas can support the cities’ development. It is also fundamental in our investment and we bring the tech to them. WLabku will complete our portfolio ecosystem in the fields of waste management and agriculture,” Jefri said.

What’s on the pipeline?

There are two big agendas on WLabku’s pipeline. First, exporting bagasse that has been recycled into valuable products. For example, recycling into raw materials (feedstock). WLabku takes on the role of recycling and processing it into cattle feed, then exporting it to several countries, including Japan and possibly New Zealand.

The Investment Principal, Eldo Wana Kusuma said that one of his supplier’s clients was confused about processing bagasse waste that had accumulated for years. This waste can cause odor pollution in the surrounding environment, and trigger new costs to accommodate waste. Once burned, the process takes a long time. It means, more production results than the process of destroying the waste.

Without a processing plant, bagasse will be wasted as it will end up burning and losing its value. This will have a bad impact on the environment because it triggers the carbon production. WLabku plays a role in solving the above problems by turning waste into valuable products.

Based on a report from the Ministry of Environment and Forestry (KLHK), the amount of national waste generation reaches 175,000 tons per day or equivalent to 64 million tons per year (assuming that each person produces 0.7 kg of waste per day).

Regarding its composition, the major waste by 50% comes from organic (food and plant waste), plastic (15%), and paper (10%). The rest comes from metal, rubber, cloth, glass, and others. Based on the category, households generate the most waste (48%), followed by traditional markets (24%), commercial areas (9%), and the rest from public facilities, schools, offices, and roads.

Second, to accelerate the zero emission program. “The remaining filtered bagasse is not 100% able to be used as feedstock. The remaining residue can be compacted and used for co-firing fuel in the form of pellets to reduce carbon emissions from fossil combustion. This is what I mean by accelerating the zero emission program,” he said.

In 2030, Japan issued a policy prohibiting all factories using fossil fuels. Bagasse can be used as fuel in the form of pellets or feed ingredients compacted in such a way from concentrate or forage materials to reduce the nutritional properties of feed. Meanwhile, the pellets produced by WLabku can reach 4,300 calories.

Business Acceleration

With the various plans, what are Gayo Capital’s efforts to accelerate WLabku’s business?

Gayo Capital plays a role as a venture builder. They also provide assistance and connect business networks to the WLabku’s founder. Gayo is not only involved in terms of capital. Moreover, he said, the three partners at Gayo Capital have strong backgrounds in finance, operations, networking, and business partnerships. It becomes Wlabku’s added value to the society.

Furthermore, Eldo said WLabku’s business scalability can be improved as long as the mature business model is maintained. He said, it will be difficult to achieve this when the founder only considerate the aspect of ‘for the sake of humanity and mother earth’.

One of the challenges is that investing in the environmental sector requires more than one source of capital, it combines private capital and development funding. The distribution must be right on target. For example, a grant from foundations or CSR programs can be used for research, while investments from Venture Capital (VC) will be used for operational costs (opex) and working capital.

Investment approach to build sustainable ecosystem / Source: Gayo Capital

For WLabku, the company has conducted its own research, while funding source is led by Gayo Capital. “As long as it is right on target, I think everything can run smoothly. Most of the founders in impact business are too concerned with research and not business wise. Therefore, this is a pretty difficult challenge,” he said.

In order to answer the above question, Eldo is aiming for a strategic collaboration between WLabku and the portfolio ecosystem at Gayo Capital. Especially collaboration across products/services in the corridor of sustainability. For example, waste-to-energy or clean energy. This means that business scale up is not only limited to owners of a business model similar to WLabku.

“We cannot depend solely on fossil fuels and this has actually been our agenda for a long time. We hope that there will be collaboration between the portfolio and the penta-helix approach at Gayo Capital, and this should be accelerated even faster.”

Impact vs profit

Which comes first, impact or profit? A difficult question to address the challenges of various investors when making impact investing in the environmental or sustainability sector.

Eldo said that his team is currently trying to prove WLabku’s business model to be acceptable in the market, converting waste into valuable products to solve problems in the accumulation of factory waste. Once the idea is proven, Gayo will then talk about financial returns.

Meanwhile, he said that the average VC investment in general is around 3-5 times in a 5-10 year fund lifetime (ranging from 27%-30% return per year).

“Profit has yet to become our main focus, although investors will eventually seek for a return. In the initial stage, we aim for impact. Actually, thanks to the stakeholders, we have [started] aiming for both, both impact and financial return,” he said.

WLabku uses a number of metrics to measure business growth as well as impact on the environment. From business growth, Gayo uses such metric as the number of suppliers and buyers.

In parallel, he observed that the more supplies are supplied, the less waste factory waste will be. The more people who buy, the faster the acceleration to realize the zero carbon emission program.

Meanwhile, WLabku measures the amount of bagasse that is recycled and the environmental impact of their solutions. It can be measured by the level of reduction in odor pollution or environmental pollution. “To [measure] the impact, we use tools with the ESG Report,” he added.

On a general note, ESG (Environmental, Social, Governance) Reports is a reference or formula for measuring the impact of environmental pollution. ESG reports operational data of various companies focusing on three areas, environmental, social, and corporate governance.

In Indonesia, the ESG has been implemented on the Indonesia Stock Exchange (IDX). In March 2021, IDX launched the new index IDX ESG to promote environmental, social and governance practices of issuers (listed companies on the capital market). In the long term, the implementation of ESG is expected to drive more capital flows to Indonesia.

One-for–all metric

DailySocial had a short discussion with Partner at Patamar Capital, Dondi Hananto, about the general metrics and scalability of impact investing in Indonesia. In terms of social impact, he said, currently there is no one-for-all metric that can be used to measure business growth, both equity and non-equity. It all depends on the business model and impact the startup is pursuing.

Meanwhile, in the environmental impact segment, Dondi said that his business development could not fully rely on commercial financing considering that the market in Southeast Asia is yet to mature. Therefore, it requires encouragement from other funding sources (blended finance), including foundations, CSR, or social funds.

It becomes one of the factors why business scalability at startups in environmental impact is difficult to accelerate. Not to mention the clash in the pursuit of ‘impact versus profit’ considering that both are hardly achieved at the same time. Dondi considers it difficult to withstand the impact in the long term if the business has been profit-oriented from the beginning.

“From a business model perspective, I haven’t seen [environmental startups] that can be quickly scalable. However, the trend is getting there,” said Dondi.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian