Pemain Baru SCF Ekuid Bidik Industri Kreatif Permudah Raih Modal Usaha

Startup securities crowdfunding (SCF) Ekuid membidik sektor industri kreatif sebagai target pengguna yang ingin mendapatkan pendanaan melalui efek (obligasi) maupun SCF. Perusahaan telah resmi mengantongi izin dari OJK sebagai SCF melalui Surat Keputusan Nomor KEP-11/D.04/2022.

Dihubungi DailySocial.id, Direktur Ekuid Bayu Aji Prakoso menyampaikan alasan pihaknya mengincar sektor kreatif karena dinilai spesial, berpotensi tinggi, serta punya daya tahan yang baik dalam menghadapi berbagai dinamika — terbukti saat pandemi Covid-19. “Kendati memiliki kemampuan untuk bertahan, industri kreatif tetap dituntut untuk terus meningkatkan daya saingnya, sehingga mampu bersaing di era globalisasi,” ucapnya.

Indonesia sendiri memiliki populasi pelaku ekonomi kreatif yang besar dan mampu menghasilkan kekayaan intelektual untuk menjadi nilai tambah dalam memajukan kesejahteraan. Maka dari itu, perusahaan hadir untuk menciptakan dan mengembangkan ekosistem ekonomi kreatif. Tujuannya agar berkontribusi bagi ekonomi nasional dan meningkatkan daya saing global guna tercapainya tujuan pembangunan berkelanjutan.

“Selain itu, Ekuid ingin memberikan dampak positif bagi para pekerja kreatif untuk mendapatkan kesejahteraan bagi mereka layaknya pekerja-pekerja pada sektor/industri lain.”

Dalam menganalisis setiap proposal pendanaan, Bayu mengaku perusahaan mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2022. Di situ disampaikan bahwa kekayaan intelektual (IP) merupakan salah satu kekayaan bukan benda di Indonesia, sebagai bentuk objek jaminan ke lembaga pembiayaan untuk mendapatkan kredit.

Untuk mitigasi risikonya, Ekuid melakukan sejumlah proses sebelum memberikan pembiayaan berbasis IP, yakni:

  1. Verifikasi dan/atau uji tuntas terhadap usaha ekonomi kreatif;
  2. Verifikasi surat pencatatan atau sertifikat Kekayaan Intelektual yang dijadikan agunan yang dapat dieksekusi jika terjadi sengketa atau non sengketa;
  3. Verifikasi dan akses akun pada DSP (digital store platform) atas Kekayaan Intelektual;
  4. Penilaian Kekayaan Intelektual yang dijadikan agunan.

Tak hanya itu, perusahaan juga terus mempertajam dan memperdalam ekosistem. Hal ini ditandai dengan sejak setahun terakhir, perusahaan berkolaborasi dengan salah satu promotor musik, yakni Pesta Semalam Seminggu (PSM) dan platform online ticketing. Langkah tersebut dilakukan untuk mitigasi risiko dalam mengawasi dan memantau penjualan tiket konser sebagai sumber pengembalian pembiayaan.

Dalam situsnya, terhitung ada 14 proyek pembiayaan yang telah selesai didanai melalui Ekuid. Seluruh proyek tersebut didanai dalam bentuk efek bersifat utang (obligasi). Rinciannya, lima proyek konser musik, satu proyek film nasional, dua proyek klinik kecantikan, satu proyek untuk produksi daur ulang, satu proyek pembiayaan buah dan sayur hidroponik, dua proyek milik media online, dan satu proyek pembiayaan untuk perusahaan VR. Total dananya mencapai Rp7,6 miliar.

Tawarkan investasi yang minim

Berbeda dengan kebanyakan pemain SCF, Ekuid justru menarik investor ritel dengan nominal investasi yang terjangkau, mulai dari Rp100 ribu. Bayu beralasan, langkah ini diambil sebagai edukasi para investor pemula sebelum mengenal lebih jauh produk investasi yang tersedia di Indonesia.

“Yang menjadi masalah di sini adalah masih minimnya pengetahuan masyarakat Indonesia terkait investasi, khususnya mengenai investasi digital. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya kasus investasi bodong yang memakan banyak sekali korban. [..] Ekuid yang telah berizin dan diawasi oleh OJK, hadir untuk mendukung pemerintah dalam upaya memberikan edukasi kepada masyarakat, terutama investor pemula.”

Perusahaan juga mendukung program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (APU PPT) sesuai arahan OJK dengan melakukan KYC terhadap investor dan/atau penerbit. Serta, berkolaborasi dengan biro kredit yang telah berizin di OJK sebagai nilai tambah dalam menganalisis kelayakan kredit penerbit.

Ke depannya, pihaknya akan terus mempelajari kebutuhan pasar, mengembangkan produk dan model bisnis yang menghasilkan profit berkelanjutan, sehingga perusahaan tidak mengejar pertumbuhan secepat mungkin. Oleh karena itu, sejauh ini perusahaan belum merencanakan untuk menggalang pendanaan, melainkan fokus pada strategi untuk memastikan masa depan bisnis dan mengamankan kelanjutan usaha.

“Ekuid berharap dapat berperan sebagai fondasi yang telah tertanam dan akan terus menilik peluang ini lebih jauh dan tidak pernah puas dengan sistem yang biasa ada. Semua hal ini dilakukan pastinya dengan harapan pelaku ekonomi kreatif yang juga sebagai pemilik kekayaan intelektual dapat membuka lapangan pekerjaan lebih banyak dan berkontribusi lebih luas lagi terhadap pendapatan negara dari sektor ekonomi kreatif,” pungkas Bayu.

Aigis Pivot Jadi “Finnix”, Kembangkan Platform Manajemen Proyek dan Keuangan Industri Kreatif

Meluncur pada pertengahan tahun 2021 lalu, Aigis selaku platform insurtech yang didukung oleh Init6, Goodwater Capital, dan Y Combinator memutuskan untuk melakukan rebranding dan peralihan fokus bisnis (pivot) menjadi startup teknologi finansial dan manajemen proyek untuk industri kreatif. Kini mereka beroperasi dengan nama Finnix.

Perubahan arah bisnis ini diputuskan founder setelah mempertimbangkan perkembangan di bisnis insurtech di Indonesia. Bersama Finnix kini mereka lebih fokus untuk melayani kebutuhan di industri kreatif, khususnya di segmen B2B —  mereka yang memanfaatkan ekosistem industri kreatif untuk membantu bisnisnya.

Kepada DailySocial.id, Co-founder & CEO Finnix Reinhart Hermanus menyebutkan, saat ini menjadi waktu yang tidak tepat bagi startup untuk bersaing sebagai platform insurtech, karena sulitnya bagi mereka untuk melakukan scale-up dengan sustainable economics.

“Tim kami di Aigis menyadari tantangan yang dihadapi oleh banyak pelaku industri kreatif dalam mengelola cash flow untuk proyek mereka. Kami percaya bahwa penawaran baru kami di Finnix akan memberikan solusi yang dibutuhkan untuk mengatasi tantangan ini dan membantu keberhasilan para pengusaha kreatif.”

Layanan Finnix

Secara khusus Finnix menawarkan sistem teknologi keuangan dan manajemen proyek, seperti dasbor untuk kolaborasi proyek, manajemen anggaran, dan solusi pembayaran yang dirancang khusus untuk memenuhi kebutuhan agensi kreatif.

Finnix juga telah bekerja sama dengan startup p2p lending Cicil untuk memberikan layanan pembiayaan proyek kepada klien. Hanya dalam jangka waktu empat bulan operasional, Finnix telah membantu lebih dari 25 proyek dari klien berupa event organizer, rumah produksi, agensi iklan, dan promotor konser.

“Rencana jangka pendek Finnix menjalin kerja sama dengan beberapa asosiasi terkait (asosiasi EO dan lainnya) untuk proses akuisisi klien, sekaligus untuk risk management. Kita juga sedang mengembangkan produk teknologi (project management tools), supaya pembiayaan kita dibarengi dengan improvement di sisi operasional internal klien,” kata Reinhart.

Bulan Mei 2022 lalu Aigis telah mengantongi pendanaan dalam initial round senilai $1 juta atau setara 14,5 miliar Rupiah.

“Kami yakin tim Finnix bisa membawa perusahaan ke pertumbuhan yang eksponensial dalam waktu dekat. Mereka memiliki pengalaman yang solid dan memahami kebutuhan pasar dengan sangat baik. Kami berharap Finnix dapat membawa pengaruh positif dalam pengembangan industri kreatif di Indonesia,” kata Founding Partner dari Init6 Achmad Zaky.

Industri kreatif

Sejak tahun 2021 lalu sudah mulai banyak platform yang menyasar industri kreatif. Mulai dari platform yang menghadirkan layanan streaming untuk influencer, marketplace influencer, hingga mereka yang menawarkan manajemen atau monetisasi untuk semua kreator.

Sebagai layanan fintech, Finnix ingin memberikan solusi solusi teknologi keuangan dan manajemen proyek untuk bisnis. Finnix dirancang untuk membantu profesional dan tim kreatif mempermudah alur kerja, mengelola sumber daya, dan mengatur keuangan. Hal ini dilakukan agar konten kreator bisa fokus kepada karya mereka, tanpa harus memikirkan proses manajemen, pengelolaan dan lainnya.

Saat ini sudah ada beberapa platform yang menawarkan layanan serupa, di antaranya adalah TipTip, BintaGo, PartiPost,  Indonesia Creators Economy besutan IDN Media, hingga Lynk.id yang bertujuan memberikan tools terpadu kepada kreator. Sebagian dari mereka juga membantu di sisi kreatornya untuk melakukan manajemen proyek dan keuangan.

Dondi Hananto’s Hypothesis on Impact Investment: Scalability is the Key

This article is a part of DailySocial’s Mastermind Series, featuring innovators and leaders in Indonesia’s tech industry sharing their stories and point of view.

There is no doubt that impact investing as a concept has gained more popularity than before. Directing capital to ventures that are expected to yield social and environmental benefits as well as profits provides investors with a way to “do well by doing good.” Dondi Hananto has been trying to do similar work with Patamar for the past seven years.

For over 15 years, Dondi has built specialization in microfinancing, risk, portfolio, and credit management through the banking industry. Although he claimed the intention wasn’t purely passion, he came to find his niche in technology and impact through this industry. His very first private fund, Kinara, relied on curiosity but already used the impact-focus investment concept. It was also several venture experiences until he decided to be better focusing on the investment side of the ecosystem.

One of the biggest questions about impact investing is: “Can funds achieve both social impact and returns at scale?”

In fact, only a small proportion of funds has consistently generated market rate return and measurable social and environmental impact at a large scale, especially in equity. Through this piece, Dondi is to share some stories on the impact investment area and the key to its sustainability.

As a banker-turned-investor, Dondi Hananto has been actively taking part in building the Indonesian entrepreneurship ecosystem, investing in early-stage, scalable companies. DailySocial has an opportunity to have an exclusive interview on his extensive insights on the impact business and investment. Below is an excerpt of his story.

Let’s begin from when you were in the banking industry. How has technology affected your life and shaped your career?

I graduated amidst the financial crisis in 1998. It was very hard for most people to do basically anything. Banking was the first job offer I got, and I took it out of desperation. However, although my intention wasn’t purely passion, I came to find my niche through this industry. There are a few things about banking that I really fit into and support me along the journey. It’s all related to tech.

My educational background is in computer science, but I’m not really digging into coding. In the long run, I was encountered big projects in system implementation. I was quite invested in the retail lending team, such as credit cards or KTA, and I feel good. Not only that I was still working with the IT team on the technology, but it is indeed necessary to have someone being the bridge of tech and business matters. I kinda fit that position.

My second niche was before the term “big data”, but what we did was basically the origin of data science. One of the great projects I’ve worked on is creating a specific scorecard for Indonesia given that I was working in the global bank. We’ve learned so much from the headquarter team and the implementation projects. That’s when my passion grew, on how to utilize technology to simplify human work.

What is the turning point that makes you decide to enter the tech investment industry?

After 13 years of working in the banking industry, mainly in the capital loan for MSMEs, my curiosity arose on how early-stage tech companies raise funding. I’ve searched for ways to learn about this but banks don’t do that. Also, there were not enough sources around Southeast Asia back in 2009-10. I realized that I can’t do this through banking, so I quit.

Prior to that, I started creating a small private fund for early-stage investment named Kinara. The business was based out of curiosity and craving for digging some more. From then on, funding becomes a necessary foundation, but that is not solely the problem. We need the whole ecosystem to work, one way to get closer to that is through the community. That time, I also had some talks with my fellow friends about coworking space. One thing led to another, since we haven’t settled on a building, we can use this opportunity to create a business, have an office and gather a bigger entrepreneur community.

We finally had an office, the coworking space named Comma. For a while, I was also involved in a crowdfunding platform for creative projects called Wujudkan.com. The cycle goes on with the entrepreneurship ecosystem, raising funds to invest, creating coworking space to tighten up communities, and crowdfunding for creative business. I’ve learned bit by bit how to run a tech startup.

How does it feel to build your own venture? What kind of lessons have you learned during that time?

I believe in the concept of learning by doing, that’s what I did with the first two ventures. In fact, running a company is hard, but it is harder when you have to run three.

At that point, I was starting to be a full-time partner on Patamar and decided to focus on that. With my knowledge and experience, I know that I would be better focusing on the investment side of the ecosystem.

When did you realize that you grow interest in this impact business and investment?

My last corporate job was with Bank Sampoerna, I was in charge of the micro-credit department. It is kind of heavy on impact. My biggest question at that time was “How to apply my experience in the financial industry for something impactful, but still under the same framework?”. Along the way, I was getting more invested in the idea.

Starting with Kinara, my network is expanding, then I met my current partners in Patamar. Back in 2014, they were raising a fund for Southeast Asia and I decided to join. Although I’m not a co-founder, part of me always feels that this is my own fund. Since I am also a partner, that counts as my skin in the game.

In Patamar Capital, how did you do fundraising? Considering the different angle with most mainstream VCs

This might not always be the highlight, but VCs, funds like us are all fundraising, just like startups. We did pitching to the investors, the process is practical as usual. First, we’ll provide them insights on the industry, startup, and the Southeast Asia region before detailed discussion about our fundraising objectives. Our investor base is global, some of them highly concerned about the impact, while some find it as a “nice to have”. However, of all our investors, there will always be a financial return target, some even very specific. Our biggest investors are impact-focused, therefore, they closely monitor the metrics, measurement, and reporting on the impact.

What was the hypothesis on the founder or business in terms of Impact Investment with Patamar?

Humans tend to look for black and white, but we are standing in the middle, like grey area. We don’t choose one over the other, our objectives are both financial returns AND impact. While we’re eye-ing for the company and building hypotheses around the attractive sector, we actually looking for a company in which the impact is embedded in the business. Therefore, as the business grows, the impact will follow.

Take one use case, there are some businesses that put impact after the business. Toms Shoes company uses this concept, when someone buys a pair of shoes, for instance, the company donates a pair of shoes to a child in a poor country. If we look closer to the financial model, this impact will create costs for the business. When the business goes under pressure, the cost could possibly be cut.

It is things like this that we’ve been trying to avoid, where the impact related to the business but in a way didn’t grow together. Some businesses have set aside revenue for impact, yet it is still cost-structured. It may be consistent today, but who knows what the future holds.

Take another example, Sayurbox. With the current business model, as the growth continues, they need to look for more farmers/suppliers. Instead of creating a cost, the impact to farmers grows along with the business. As a fund, it is only fair to say that we are after both impact and profit.

In Patamar, our impact thesis includes financial services, SME and agriculture, healthcare, and education. We invest in these sectors because it is closely involved with people in the aspiring middle-class level, which means most of the people in this country, including the grassroot.

Patamar Capital aside, do you have any particular interest in another impact sector?

Personally, there are two things I’ve always been interested in but they are outside of Patamar’s impact mandate at the moment: environmental impact and creative industry. Why do I think of creative industry as an impactful sector? It’s particularly job creation. There are lots of artists who rely on this sector. In the film industry, for example, lots of people can be employed through one movie. It is indeed impactful. Many impact investors are focused on culture preservation and arts. However, when it comes to business models, it is quite hard to define.

The key is scalability. Lots of art/culture-related businesses have issues with growth due to indefinite business models or limited scalability. In fact, I haven’t seen lots of art-related companies scale fast. I’m actually thrilled to see the wave of web3 and NFT reach the art industry first. Aside from helping the artists scale by reaching the global market, the smart contract ability can generate constant royalty to the artists. Again, as a tech geek, I have always been keen on this area.

What is your personal aim in this impact investment industry? How about the long-term gain?

Personally, the reason why I started this might be different with some of my partners with the western point of view. They have done it before, in the US-Europe and they look for new markets to implement the concept. I started as an Indonesian who sees great potential and opportunities to improve the life of 270 million people in Indonesia, 600 million in Southeast Asia.

In my definition, improving life is done by increasing income or improving the currently available product or services with higher quality and accessibility. For me, the personal aim is to see more Indonesian people and in SEA, to live a decent life. There is actually one thing that I’m still learning and exploring the solution, on how to improve the wealth distribution in SEA’s countries, especially Indonesia.

If we look closely, All the biggest companies are centralized in the capital cities. There is very few large corporations headquartered in cities outside of Java. In the US, for example, different states have their own giant company. I’m kind of afraid if everything revolves around Jakarta only, it won’t be healthy. I don’t know the solution yet, but that’s one of the big goals I’m still trying to discover.

We talked about all the potential and benefits of running the impact investment, but what is the worst-case scenario if it doesn’t work out?

In fact, the ‘Holy Grail’ is to invest in the impact companies and still generate financial returns. If the cycle completed, there will be more investors to enter this industry. Who didn’t want to grow money, plus make an impact? However, if it doesn’t work out, the impact investing industry alone will still be there, but probably the money will only come from philanthrophy sources. Only, the impact investing industry wouldn’t scale up. Once it stops scaling up, that’s my worst-case scenario.

To wrap this up, what can you say about the projection of impact investment in Indonesia? Also, to those who are building impact businesses in the country.

The impact industry is expanding and growing. I find it interesting when there is an intersection of impact-focused investors with more traditional tech VCs. A report by Angin in 2020 on Investing in Impact in Indonesia shows many tech VCs are starting to invest in the impact business and I think it’s very healthy for the ecosystem in order to grow.

We also saw many interesting and impactful projects that failed to attract investors due to inconsistent business models. Equitiy investors like us, will most certainly look for scalability. For equity investors, it is a high risk, a high return, therefore, entrepreneurs should also think about how to scale and expand their business  That is not easy, but it is possible. Note that this is not the only way to grow a business, but if you’re looking for equity investors, that is the reality. You can also choose to grow your business more slowly, but the consequence is that you may not be able to access the available equity-based capital.

KreatifHub Jembatani Kebutuhan Pekerja Kreatif di Industri Film dan Media

Didirikan oleh Nicholas Aristia dan Heret Frasthio, KreatifHub hadir membantu para pekerja kreatif di Indonesia di bidang film dan media untuk berkarya, berkolaborasi, dan memperluas koneksi.

“KreatifHub merupakan platform pertama di Indonesia untuk casting online yang fokus pada bidang produksi di industri film dan media. Tidak seperti platform lainnya yang menerapkan fee untuk proyek yang dipasang di platformnya, kita sama sekali tidak mengambil fee dari proyek yang dijalankan oleh pengguna. Oleh karena itu, pengguna dapat memasang project yang sifatnya kolaborasi atau sama sekali tidak menerapkan budget,” kata CEO KreatifHub Nicholas Aristia.

Saat ini mulai banyak bermunculan platform lokal yang menawarkan wadah untuk mereka insan kreatif mempromosikan dan menawarkan langsung jasa mereka kepada publik. Mulai dari penulis, influencer, hingga komikus; termasuk membantu mereka melakukan monetisasi. Beberapa di antaranya adalah SociaBuzzTribe, KaryaKarsa, dan HAHO.

Fitur unggulan

Terdapat tiga fitur utama yang dimiliki oleh KreatifHub, yaitu Project Board, Talent Directory, dan Post a Project. Di halaman Project Board, pengguna dapat melihat proyek yang sedang dijalankan oleh pengguna lain dan bisa melamar untuk bergabung ke dalamnya.

“Selain itu, pengguna juga dapat memasang iklan proyek untuk menerima lamaran dari pengguna lain melalui fitur Post a Project. Setelah menerima lamaran, pengguna dapat mensortir kandidat yang ingin diajak bekerja sama. KreatifHub juga memiliki halaman Talent Directory yang merupakan daftar pengguna yang sudah mendaftar di KreatifHub. Di sini, pengguna dapat melihat semua profil pengguna lain dan mensortir melalui fitur filter yang tersedia,” kata Nicholas.

Bisnis model yang diterapkan oleh KreatifHub merupakan freemium. Penguna dapat menggunakan fitur-fitur di KreatifHub secara gratis, namun terbatas. Dengan membayar pro membership KreatifHub senilai Rp.75.000 per bulan, pengguna akan mendapatkan lebih banyak fitur dari akun mereka.

Di antaranya adalah mengirim lamaran project tidak terbatas, memasang project tidak terbatas, mengunggah portfolio lebih banyak di akun mereka, dan juga bisa langsung menghubungi pengguna lain yang ada di KreatifHub. Untuk pilihan pembayaran KreatifHub juga telah dilengkapi dengan berbagai pilihan, mulai dari transfer bank, kartu kredit, hingga GoPay.

Hingga saat ini, KreatifHub telah memiliki lebih dari 1300 pengguna dan lebih dari 1500 penggunjung aktif setiap bulannya. KreatifHub dapat dipakai di seluruh Indonesia.

Disinggung apakah ada rencana penggalangan dana dalam waktu dekat, saat ini perusahaan belum melancarkan kegiatan tersebut. Ke depannya perusahaan masih ingin fokus mengembangkan bisnis, sekaligus merangkul lebih banyak pengguna dan mitra dalam platform.

“KreatifHub berharap dengan adanya platform kami, semakin banyak orang dapat menunjukan hasil karya mereka dan mempermudah orang untuk memulai karirnya di industri kreatif,” kata Nicholas.

Komitmen Svara Gairahkan Digitalisasi Industri Radio Lokal

Menurut temuan PwC dalam “2018 Media & Entertainment Outlook”, diproyeksikan pendapatan industri media digital secara global akan tembus ke angka $792,3 miliar, naik dari 2017 sebesar $666,9 miliar. Kenaikan dipicu oleh pesatnya perkembangan teknologi yang menyamarkan cara konsumsi media cetak dan digital, video game dan olahraga, internet nirkabel dan kabel, TV berbayar dan OTT, media sosial dan tradisional.

Di sisi lain, fakta ini menjadi tantangan buat perusahaan untuk menyusun kembali strategi mereka dalam menjangkau konsumen, teknologi apa yang tepat dan produksi konten premium dengan cara yang hemat biaya. Salah satu bagian dari industri ini terdapat radio, perusahaan podcast dan layanan streaming yang saling berkompetisi menghadirkan kontennya masing-masing.

Perkembangan radio sendiri di kancah global selama beberapa tahun terakhir cenderung stagnan, beda halnya dengan internet radio yang tumbuh 40% per tahun, menurut laporan dari Nielsen dan Edison Research di 2018. Definisi internet radio tidak hanya radio live streaming saja, juga mencakup musik dan podcast.

Kondisi di atas mendorong Hemat Dwi Nuryanto dan Farid Fadhil Habibi untuk menginisiasi kehadiran Svara sejak 9 September 2017. Mereka tertarik untuk terjun ke industri ini karena peluang bisnisnya yang menggiurkan, target pasarnya tidak hanya di Indonesia tapi internasional.

“Karena industri media sedang mengalami disrupsi, jadi tidak hanya radio di Indonesia saja tapi juga di seluruh dunia. Selain itu, yang membuat kami tertarik adalah radio punya dampak sosial yang besar karena ada kearifan lokal,” ucap Farid selaku Co-Founder & CEO Svara kepada DailySocial.

“Jika radio dapat bertahan dan tumbuh bersama kami, konten lokal, wisdom lokal, budaya lokal, wisata lokal dan musik lokal dapat terangkat,” tambahnya.

Svara terdiri dari dua platform, on-air platform untuk broadcaster automation dan aplikasi Svara untuk pendengar. Mereka dapat menikmati berbagai konten audio dan non audio di aplikasi, di antaranya radio, playlist music, dan podcast.

Fitur lainnya adalah live visual radio, live chat dengan penyiar dan pendengar lain social audio, dan library. Farid mengklaim kehadiran Svara menjadi warna baru dalam pemain digital broadcasting. Pasalnya, jika hanya berbicara soal aplikasi radio streaming saja, sudah banyak pemainnya.

Jika hanya bicara soal podcast saja, sudah ada Inspigo dan SoundCloud, misalnya. Apabila hanya bicara streaming musik ada Spotify sebagai pemimpin pasar globalnya. Di antara semuanya ini tidak ada yang memiliki on-air platform.

“Kami sudah research sejak 2002, salah satu pemain besar di broadcaster automation adalah RCS (Radio Computing Services) dari Amerika Serikat. Baik online platform ataupun on-air platform terintergrasi satu sama lain, yang kami sebut dengan Svara.”

Pencapaian dan rencana Svara

Farid menjelaskan perusahaan punya delapan model bisnis, ada yang B2B dan B2C. Empat di antaranya sudah jalan, sisanya masih dalam proses pengembangan. Tapi dia enggan mendetailkan cara perusahaan memonetisasi.

Disebutkan pengguna dapat mendengarkan lebih dari 100 radio siaran AM/FM, lebih dari 10 radio komunitas percontohan seperti radio kampus/sekolah, dan radio toko. “Ada ribuan radio di seluruh dunia dapat didengarkan melalui Svara. Kami memiliki lebih dari 250 ribu pengguna.”

Di samping itu, perusahaan bekerja sama dengan PRSSNI (Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia) dengan anggota 585 radio, Lembaga Manajemen Kolektif (WAMI – Wahana Musik Indonesia) untuk lisensi musik, Telkomsel untuk bebas kuota internet, LPIK ITB, dan IDX Incubator.

Mengingat ruang bisnis yang masih sangat besar, perusahaan berencana untuk terus mengembangkan Svara. Pada tahun ini ditargetkan ada 250 radio lokal yang masuk dalam aplikasi dan menggaet hingga 1 juta pengguna. “Aplikasi Svara dapat segera digunakan untuk Smart Speaker, Connected Car, Smart Watch, hingga Smart TV.”

Untuk mencapai target tersebut, perusahaan mengumumkan perolehan pendanaan pra seri A dengan nominal dirahasiakan dari UMG Idealab, kemarin (6/1). Kendati dirahasiakan, diklaim valuasi Svara hampir sentuh angka $10 juta (Rp140 miliar).

Farid menjelaskan, selain pengembangan produk, dana segar akan dipakai untuk memperkuat tim produk dan pemasaran, memperluas kerja sama strategis dengan pihak lain dan mengedukasi para pemain radio untuk melakukan transformasi digital.

“Kami sangat yakin Svara akan menjadi next unicorn di Indonesia. Kami persembahkan untuk Indonesia, khususnya untuk membantu industri kreatif, yaitu radio, musik, dan podcast untuk tetap bertahan dan tumbuh di era disrupsi ini,” tutupnya.

Sebelum peroleh dana segar, Svara telah beberapa kali menerima dana hibah dari penghargaan nasional dan internasional. Di antaranya, Swiss Innovation Challenge 2017 (hibah $5.000) dan Government Research Grant on Blockchain in Music 2017 (hibah $30 ribu).

Application Information Will Show Up Here

Kondisi Terkini Industri Kreatif di Yogyakarta

Sebuah survei dilakukan terhadap pelaku industri kreatif di Yogyakarta oleh Dinas Komunikasi dan Informatika DIY, bekerja sama dengan Asosiasi Digital Kreatif (ADITIF) Yogyakarta dan JakPat yang melibatkan 84 responden pelaku usaha kreatif di berbagai bidang, termasuk startup digital. Dari data yang didapat, kategori usaha kreatif yang paling banyak di Yogyakarta ialah bidang agensi kreatif, pemasaran digital, dan media. Disusul kategori lain yakni e-commerce, pengembang aplikasi permainan dan animasi, jasa teknologi, dan pendidikan.

Ketegori pelaku usaha kreatif di Yogyakarta / ADITIF
Ketegori pelaku usaha kreatif di Yogyakarta / ADITIF

Menurut Ketua Umum ADITIF Saga Iqranegara, pertumbuhan industri kreatif di Yogyakarta sudah terlihat dalam satu dekade terakhir. Banyak faktor yang mendukung Yogyakarta dinilai nyaman bagi industri kreatif. Pertama ialah ketersediaan sumber daya manusia, ditopang banyaknya perguruan tinggi dengan berbagai jurusan. Di luar kampus, berbagai komunitas kreatif bisa ditemukan di kota ini sebagai sarana untuk berbagi informasi dan pengetahuan antar anggotanya.

Faktor kedua, menurut Saga, Yogyakarta terkenal dengan biaya hidup yang relatif murah. Dari segi infrastruktur yang dibutuhkan seperti internet dan sewa bangunan bisa dikatakan cukup terjangkau. Hal ini menjadikan Yogyakarta sebagai kota yang ramah untuk tumbuhnya perusahaan rintisan (startup) digital. Karena faktor-faktor itu, potensi industri kreatif digital di Yogyakarta sangat luar biasa besar.

Temuan menarik berikutnya soal pendanaan dari pelaku usaha kreatif di Yogyakarta. Data hasil survei menyebutkan, bahwa sebagian besar pendanaan untuk usaha didapat dari modal pribadi sang pemilik usaha (68%), sisanya dari pemodal ventura (7%), investor perorangan (7%), dan sumber lainnya. Kendati dari statistik tersebut bisa dikatakan bahwa pelaku usaha kreatif di Yogyakarta tidak banyak tersentuh investor, mereka bisa membuktikan proses bisnis yang relevan atas usahanya. Terbukti dari hasil survei yang menanyakan omset bisnis, jawaban terbanyak antara Rp300 juta – Rp2,4 miliar.

Kisaran omset usaha para pelaku kreatif di Yogyakarta / ADITIF
Kisaran omset usaha para pelaku kreatif di Yogyakarta / ADITIF

Sebelumnya banyak juga yang beranggapan, banyaknya usaha kreatif yang berdomisili Yogyakarta merupakan ekstensi atau cabang pembantu dari perusahaan yang berpusat di Jakarta. Beberapa startup seperti GO-JEK, Kitabisa, hingga Tiket.com memang memiliki kantor cabang di sini. Namun survei menemukan fakta bahwa 72% dari pelaku industri kreatif berdomisili asli (atau berkantor pusat) di Yogyakarta, sisanya memanfaatkan kantor di Yogyakarta sebagai cabang pembantu.

Didominasi startup tahap awal

Fokus lain yang coba dirangkum survei tersebut adalah seputar tahapan bisnis usaha kreatif di Yogyakarta. Dari pengakuan para responden, sebanyak 49% mengatakan bisnisnya tengah dalam tahap pertumbuhan (growth), 29% perluasan bisnis (expansion), 15% dalam tahap pengembangan (product development), 6% dalam tahap pematang (maturity), dan sisanya 1% dalam tahap bertahan (survival). Indikasinya karena sebagian bisnis kreatif di Yogyakarta masih dalam tahap usaha kecil menengah dengan anggota tim yang tidak banyak.

Rata-rata jumlah karyawan pelaku usaha kreatif di Yogyakarta / ADITIF
Rata-rata jumlah karyawan pelaku usaha kreatif di Yogyakarta / ADITIF

Lantas menjalankan bisnis di tempat yang relatif “ramah” ternyata tidak serta-merta membuat para pelakunya bebas dari masalah. Ada beberapa tantangan yang dikeluhkan oleh para pelaku bisnis di Yogyakarta. Dan menariknya tantangan yang dinilai paling memberatkan justru hal yang selama ini orang gadang-gadangkan banyak tersedia di Yogyakarta, yakni masalah SDM. Asumsi tersebut ternyata tidak sepenuhnya benar, banyaknya kampus yang melahirkan lulusan ternyata tidak membuat para pelaku usaha mendapatkan kemudahan dalam mendapatkan talenta yang membantu bisnisnya berkembang,

Tantangan utama bisnis yang dirasakan pelaku bisnis di Yogyakarta / ADITIF
Tantangan utama bisnis yang dirasakan pelaku bisnis di Yogyakarta / ADITIF

Sama seperti di kota-kota lain, talenta yang sulit dicari umumnya berkaitan dengan teknis pengembangan produk. Karena rata-rata perusahaan digital yang menjadi responden memang mencoba melakukan pengembangan produk dan layanan memanfaatkan medium teknologi. Sejauh ini hal yang dilakukan untuk mencari talenta terkait dilakukan dengan membuka lowongan pekerjaan di situs atau media sosial, dilanjutkan internship, talent development, job fair dan pemanfaatan layanan head hunter.

Talenta yang sulit didapatkan oleh pelaku usaha kreatif di Yogyakarta / ADITIF
Talenta yang sulit didapatkan oleh pelaku usaha kreatif di Yogyakarta / ADITIF

Terkait tantangan yang banyak dikeluhkan pelaku usaha Saga menuturkan, “Yang paling penting adalah menambah jumlah institusi pendidikan yang mampu menelurkan talenta yang dibutuhkan industri ini. Dari sisi infrastruktur, jangkauan koneksi internet broadband juga perlu diperluas. Angel investor sebagai pihak yang membantu mendanai tahap awal pendirian startup juga sangat dibutuhkan di Yogyakarta. Dan tidak kalah pentingnya adalah adanya dukungan dari pemerintah daerah, terutama dari sisi regulasi.”

Temuan lain terkait dengan legalitas bisnis, 55% pelaku usaha yang menjadi responden sudah berbadan hukum berbentuk PT, sebanyak 12% berbentuk CV dan sisanya yakni sebanyak 20% belum memiliki badan hukum untuk usahanya. Beberapa yang dikeluhkan dari yang belum berbadan hukum karena proses yang tidak mudah, aturan yang rumit, dan biaya yang mahal. Sementara itu bagi yang sudah berbadan hukum melakukannya karena kebanyakan klien atau investor membutuhkan legalitas, seperti untuk urusan perpajakan atau kepemilikan.

Pemerintah setempat akan terus bekerja sama dengan asosiasi untuk membentuk komunitas yang dapat mendampingi para pelaku usaha secara langsung. Pendekatan berbasis komunitas ini dirasa efektif dengan iklim bisnis di Yogyakarta.

Untuk informasi selengkapnya mengenai survei tersebut di atas, unduh melalui tautan berikut: klik di sini.

“ADITIF menampung aspirasi dari para anggotanya. Beberapa hal yang terkait dengan pemerintah daerah, kami bantu untuk menyuarakannya. ADITIF juga berperan aktif menyelenggarakan kegiatan bursa kerja khusus untuk industri kreatif digital di Jogja. Untuk tahun 2018 ini, ADITIF memiliki program untuk menumbuhkan investor baru di bidang kreatif digital. Kami berharap akan muncul angel investor baru dari kalangan pengusaha di daerah yang mulai melirik untuk berinvestasi di dunia startup digital,” pungkas Saga.

Komunitas bisnis kreatif yang ada di Yogyakarta / ADITIF
Komunitas bisnis kreatif yang ada di Yogyakarta / ADITIF

IDEAFEST 2016 Angkat Tema Berpikir Perubahan “SHIFT(THINK)”

IDEAFEST, sebuah festival kreatif tahunan yang fokus untuk memberikan inspirasi anak muda Indonesia untuk terjun dan merevolusi Indonesia lewat kreativitas, kini kembali hadir dengan tema SHIFT(THINK) bermakna Berpikir Perubahan.

Tema tersebut dipilih akibat dari kondisi perusahaan tradisional yang harus mengalami penurunan drastis akibat hadirnya perusahaan yang memberikan solusi kepada konsumen dengan bantuan teknologi. Perusahaan seperti Google, Uber, dan Airbnb dikenal sebagai perusahaan yang berkembang pesat dan mulai mengubah gaya hidup masyarakat.

Berdasarkan kondisi tersebut, muncul pertanyaan apa yang harus dipersiapkan Indonesia dengan adanya perubahan itu? IDEAFEST ingin mengajak pemerintah, pengusaha, dan anak muda untuk mempersiapkan diri dalam era perubahan tersebut.

Acara ini akan diselenggarakan pada 23-24 September 2016 dan menghadirkan lebih dari 200 pembicara inspiratif yang berasal dari berbagai bidang, baik itu pengusaha, inovator, pelaku seni, pengembang aplikasi, sampai kepala daerah. Seluruh pembicara akan berbagi pengalaman berdasarkan latar belakang masing-masing dan sesuai dengan tren yang berkembang saat ini ini.

“Sejak beberapa tahun, kita sudah lihat pesatnya industri kreatif di Indonesia. Bahkan, industri ini dipercaya akan menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia pada masa mendatang, terutama dengan penetrasi digitak yang luar biasa dan karakter konsumen Indonesia yang sangat terbuka. Maka, sudah saatnya pemain di industri ini untuk berpikir lebih dinamis agar bisa mengembangkan potensi yang lebih baik dan memiliki dampak yang bermanfaat untuk masyarakat,” terang Ben Soebiakto, Co-Founder IDEAFEST, Rabu (14/9).

Pada hari pertama (23/9), agenda akan diisi dengan 80 sesi Ideatalks oleh 150 pembicara, diantaranya Nia Dinata (Produser dan Sutradara Film), Achmad Zaky (CEO Bukalapak), Andy F Noya (Presenter dan Jurnalis), Hadi Wenas (CEO MatahariMall), Jason Lamuda (Co-Founder Berrybendka), dan lain-lain.

Kemudian, pada hari kedua akan dilanjutkan dengan sesi konferensi diisi oleh Presiden Joko Widodo sebagai keynote speaker, Gwendolyn Regina (Mashable), Hooi Ling Tan (Grab), HB Naveen (Falcon Pictures), Ridwan Kamil (Walikota Bandung), dan lainnya.

Adapun topik-topik diskusi yang akan diangkat dalam IDEAFEST 2016 merupakan turunan dari 16 subsektor ekonomi kreatif yang ditetapkan oleh Bekraf. Adapun topik tersebut antara lain inovasi sosial, kewirausahaan, teknologi, hiburan, dan life hack.

Sebelumnya diberitakan, IDEAFEST akan mengangkat topik mengenai peluang e-commerce di Indonesia. Andrew Gunawan, Head of Promotion IDEAFEST, mengatakan program tahunan ini akan terus memasukkan topik e-commerce dalam berbagai sesi diskusi dalam acara. Sebab, menurutnya, perjalanan e-commerce di Indonesia masih sangat panjang, mengingat tingkat penetrasi ritel online yang belum setingkat dengan Amerika maupun Tiongkok.

[Baca juga: IDEAFEST 2016 Kembali Angkat E-Commerce Sebagai Salah Satu Topik Utama]

“Ideafest melihat ekonomi kreatif yang dipercaya akan menjadi tonggak perekonomian Indonesia pada masa mendatang mendapat kesempatan yang lebih besar lagi dengan terjadinya transformasi digital. Transformasi digital tersebut adalah e-commerce yang dapat menjadi penghubung bagi para pelaku industri ekonomi kreatif untuk bertransaksi dan melakukan kegiatan monetisasi,” ujarnya.

Selain itu, dalam acara IDEAFEST akan diumumkan pemenang kompetisi “Ide untuk Indonesia.” Pemenang akan mendapatkan dukungan mentorship, funding, dan perjalanan edukasi dengan total nilai sebesar 500 juta Rupiah. Ada lima finalis yang akan bertarung, yakni Omah Yogurt Stevia, Gen Oil, Tele-TCG, Lingkaran, dan Mycotech.


Disclosure: DailySocial adalah media partner IDEAFEST 2016

Industri Kreatif Harus Dilindungi Hak Kekayaan Intelektual

Berbicara tentang industri startup erat kaitannya dengan proses kreatif di dalamnya. Rata-rata produk yang dihasilkan oleh startup adalah produk yang memerlukan proses pemikiran, perancangan, riset hingga implementasi. Produk kreatif erat kaitannya dengan bagaimana sebuah ide brilian direalisasikan dalam sebuah karya, menjadi produk yang bisa dipakai banyak orang.

Beberapa waktu lalu DailySocial berkesempatan berbincang dengan Deputi Bidang Infrastruktur Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) Hari Santosa Sungkari. Dalam kesempatan tersebut terdapat sebuah bahasan pokok yang menjadi perbincangan, yaitu terkait dengan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) yang seharusnya menjadi landasan penting dari sebuah pengembangan produk kreatif.

“Sebuah produk kreatif terdiri dari bentuk fisik dan non-fisik. Bentuk fisik sering kali menjadi satu-satunya hasil produk yang dibisniskan untuk mencapai keuntungan ekonomis. Padahal justru yang menjadi core dari sebuah produk kreatif adalah kekayaan intelektual yang ada di dalamnya. Kekayaan intelektual tersebut yang harusnya mampu memberikan nilai ekonomis lebih tinggi dibanding dengan barang fisik yang dihasilkan,” ujar Hari memulai perbincangan.

Hari melanjutkan, “Saya melihat proses kreatif produk startup di Indonesia sudah semakin bagus, tapi kesadaran tentang HKI masih rendah, padahal HKI akan melindungi karya dari pemalsu dan memberikan jaminan kualitas yang mahal untuk produk yang dihasilkan.”

Menurut Hari startup harus aware dengan upaya peningkatan merek dagang. Seiring dengan pengembangan produk menuju produk bagus, startup harus memiliki inisiatif untuk memikirkan hak cipta dan paten terhadap merek tersebut. Hari mencontohkan beberapa produk yang biasa saja, namun ketika produsen sudah memiliki brand yang kuat maka nilai jualnya juga tinggi. Keuntungan seperti ini yang diharapkan untuk pengembang produk kreatif di dalam negeri.

Mendukung awareness HKI untuk industri kreatif dalam negeri, Bekraf berinisiatif membantu proses pendaftaran HKI secara end-to-end, termasuk dari sisi pembiayaan (proses pendaftaran HKI akan gratis, biaya ditanggung Bekraf). Saat ini pihak Bekraf bersama Kementerian Hukum dan HAM (Menkumham) sedang menggodok mekanisme terbaik. Direncanakan akhir Februari 2016 ini industri kreatif sudah bisa menikmati kemudahan proses HKI dari Bekraf.

Dalam melakukan pendaftaran HKI nantinya Bekraf akan menyajikan dua prosedur, yakni sesi konsultasi dan sesi validasi kelayakan. Dari pengalaman terdahulu proses ini banyak yang menilai lama dan cukup rumit. Bekraf mengatakan bahwa bersama pihak Menkumham akan menyederhanakan proses HKI ini, sehingga memicu banyak karya kreatif yang dipatenkan di Indonesia. Tahun ini target Bekraf ada 1.000 lebih pendaftar HKI.

“Selain menekankan kepada HKI kami juga ingin membuka kanal selebar-lebarnya untuk industri kreatif dalam ngeri berkembang. Salah satu contohnya bersama pemerintah kami mengupayakan membuka investasi asing yang lebih luas untuk film. Kami ingin di Indonesia banyak bioskop alternatif yang akan lebih sering memutar film Indonesia,” pungkas Hari.