MDI Ventures Segera Luncurkan “Impact Fund” Tahun Ini

Menurut definisinya, investasi berdampak atau impact investing adalah strategi investasi yang memiliki tujuan secara spesifik menyasar kepada lingkungan dan sosial, selain keuntungan secara finansial.

Melihat potensi tersebut, MDI Ventures berencana meluncurkan pendanaan berdampak atau impact fund dalam waktu dekat untuk memberikan peluang ke startup yang menyasar kepada dampak sosial, lingkungan dan governance (ESG).

Sebelumnya MDI Ventures telah memperluas horizon investasi dengan membentuk Arise Fund bersama Finch Capital, eMerge untuk angel investor, dan Bio-Health Fund bersama Biofarma.

Kepada DailySocial, VP Business Development MDI Ventures Alvin Evander menegaskan, saat ini, meskipun masih dalam entitas yang sama, pendanaan berdampak tersebut akan dikelola secara terpisah.

Masih dalam persiapan, rencananya impact fund ini akan diluncurkan pada Q2 atau Q3 tahun ini.

“Nanti kami akan meluncurkan impact fund secara dedicated berfokus kepada startup yang bisa memberikan kontribusi di social impact, khususnya untuk startup Indonesia. Opsi pendanaan ini kami luncurkan sebagai bagian dari ekspansi MDI Ventures selaku CVC,” kata Alvin.

Ditambahkan Alvin, perusahaan juga ingin melakukan ekpansi limited partner (LP). Sebelumnya Indonesia Impact Fund, yang dikelola Mandiri Capital Indonesia (MCI) dan UNDP, telah mengumumkan penutupan pertama untuk dana kelolaannya sejak Q4 2021.

Beberapa VC dan jaringan investor lokal dan global yang menyasar segmen ini adalah ANGIN, Teja Ventures, dan Beacon Fund dari Patamar Capital.

Kategori startup

Saat ini dianggap jadi waktu yang tepat bagi MDI Ventures meluncurkan impact fund untuk mendukung ekosistem startup di Indonesia. Meskipun enggan  menyebutkan secara spesifik, Alvin menegaskan, startup agritech, healthtech, edtech, hingga fintech yang fokus kepada financial inclusion menjadi pilihan berdasarkan pemahaman dan pengalaman yang telah mereka miliki.

“Namun tidak menutup kemungkinan kami juga akan melakukan eskplorasi kepada startup yang menyasar kepada climate tech dan mereka yang fokus kepada pemanfaatan energi dan waste management. Kami masih belajar dan bersedia untuk melakukan eksplorasi lebih mendalam,” kata Alvin.

Disinggung berapa nilai investasi yang akan diberikan melalui impact fund ini, Alvin belum menyebutkan nominal fund dan ticket size per startup. Mereka membuka kesempatan bagi startup di level awal (seed), Seri A, dan Seri B untuk  menghubungi mereka lebih lanjut jika pendanaan ini telah diluncurkan.

Terdapat beberapa poin penting yang di-highlight sebagai pertimbangan pemilihan pendanaan, mulai dari potensial bisnis, revenue, dan kondisi cashflow positif.

“Kita percaya sebagai perusahaan atau startup mereka bisa memiliki social impact yang positif walaupun bisnis mereka berjalan secara cepat. Hal tersebut merupakan tesis kami untuk impact fund. Harapannya kita ingin berinvestasi kepada startup yang bisa mendukung keduanya. Bukan berarti startup yang fokus kepada sosial tidak bisa mendapatkan keuntungan. Itu menjadi poin kita melalui pendanaan ini,” kata Alvin.

Ke depannya Alvin melihat impact fund atau pendanaan yang berbasis pada nilai ESG (Environmental, Social, and Governance) akan memiliki masa depan yang positif.

ESG tidak selalu fokus ke sosial dan lingkungan saja, tetapi juga menyentuh governance, sehingga bisa meminimalisir terjadinya fraud dan mengawasi potensi startup yang menyalahi aturan.

“Saya percaya ESG akan memiliki masa depan yang menjanjikan di ekosistem startup Indonesia, karena menurut kami startup sudah mulai harus melihat ke arah sana.”

Masyarakat semakin peduli

Di artikel DailySocial sebelumnya tercatat, pergeseran perilaku masyarakat akan memengaruhi pelaku bisnis dalam isu berkelanjutan. Startup yang fokus ke lingkungan seperti Nafas hingga platform food waste management Surplus telah membuktikan kondisi saat ini telah menimbulkan kebiasaan baru dan  kesadaran masyarakat umum akan kesehatan dan penerapan waste management yang tepat.

“Masa depan kategori ini jelas. Sains sudah memastikan gentingnya sejumlah isu lingkungan yang dapat berakibat pada tumbuhnya model bisnis berorientasi profit yang akan fokus pada menghindari kerusakan terhadap planet kita,” jelas Co-Founder & Chief Growth Officer nafas Piotr Jakubowski dalam suatu kesempatan wawancara.

Managing Director PT Ekonomi Sirkular Indonesia Muhammad Agung Saputra secara terpisah mengatakan, “Berbeda dengan platform lainnya, secara khusus Surplus bukan hanya sebagai food marketplace yang menjual produk makanan seperti beberapa pemain lainnya, namun konsepnya hanya menjual produk makanan berlebih dan imperfect product kepada pelanggan, untuk mengatasi permasalahan food waste.”

Peran Instellar Mendukung Ekosistem Startup Berdampak di Indonesia

Investasi berdampak atau impact investment menjadi topik yang turut menonjol di samping sektor yang tumbuh hijau semenjak pandemi berlangsung. Menurut artikel yang dipublikasi oleh Schroders, Covid-19 telah memperbesar pentingnya investasi berdampak di negara berkembang.

“Saat dunia keluar dari pandemi, masalah lingkungan dan sosial kemungkinan akan mendapatkan fokus yang lebih besar. Alat yang lebih baik untuk menganalisis dan memantau perusahaan dan operasinya membutuhkan dorongan yang ada di tangan investor,” paparnya.

Di dunia, ukuran pasar investasi berdampak sekitar $715 miliar pada akhir 2019, berdasarkan perkiraan dari Global Impact Investing Network (GIIN). Potensi pertumbuhannya signifikan dan kemungkinan besar didorong oleh permintaan investor untuk menyelaraskan nilai mereka dengan tujuan investasi mereka.

Inti dari investasi berdampak adalah niat untuk menghasilkan manfaat sosial, dalam kombinasi dengan pengembalian finansial bagi pemegang saham dan untuk mengukur dampaknya.

Di Indonesia sendiri, segmen ini awalnya diisi oleh para filantropi, aktivis, dan lembaga nirlaba, hingga akhirnya belakangan mulai dilirik oleh investor mainstream. Salah satunya adalah Instellar Indonesia, perusahaan yang berfokus pada pengadaan kegiatan pengembangan kapasitas untuk wirausaha dan bisnis sosial, yang sudah beroperasi sejak 2014.

Kepada DailySocial.id, CEO Instellar Indonesia Romy Cahyadi menjelaskan dari tahun ke tahun semakin banyak wirausaha sosial atau social enterprise yang muncul dan berkembang. Menurut riset yang dipublikasi British Council pada 2018, ada sekitar 342 ribu wirausaha sosial di Indonesia dengan kontribusi terhadap PDB negara sebesar 1,9%.

Sementara itu, mengutip dari sumber lainnya, seperti yang dipublikasi oleh ANGIN bertajuk “Investing in Impact in Indonesia 2020”, terlihat adanya kenaikan dari sisi investasi, baik impact investor maupun mainstream investor, ke wirausaha sosial di Indonesia selama beberapa tahun terakhir. Jumlah social enterprise (SE) yang diinvestasi oleh impact investor meningkat hingga 31 investor sepanjang 2019-2020, dan jumlah SE yang diinvestasi oleh mainstream investor adalah 19 usaha di tahun yang sama.

Berangkat dari hasil temuan tersebut, ia meyakini bahwa bakal semakin banyak wirausaha sosial yang tumbuh dengan sokongan modal/investasi tidak hanya dari impact investor, tapi juga mainstream investor. “Selain itu startup secara umum juga akan semakin mempertimbangkan/berusaha menciptakan social impact melalui bisnis mereka, walaupun startup tersebut belum tentu merupakan social enterprise,” terang Romy.

Dia melanjutkan, “Jadi akan terjadi semacam mainstreaming mengenai social & environmental impact ke dalam praktik bisnis wirausaha sosial dan/atau startup pada umumnya. Mainstreaming ini juga terjadi di sisi investor. Semakin banyak investor akan menanamkan modalnya di wirausaha sosial atau bisnis komersial biasa yang menciptakan social atau environmental impact.”

Posisi Instellar

Sedari awal, Instellar memosisikan diri sebagai katalisator, konsultan, dan konektor dalam ekosistem wirausaha sosial. Terdapat tiga departemen yang menjalankan masing-masing peran tersebut. Pertama, Enterprise Development (ED) yang memiliki beberapa program utama yang bertujuan mengembangkan ekosistem berkelanjutan (sustainable ecosystem) di Indonesia. Sebagai katalisator, Instellar menyediakan modul untuk program inkubasi dan akselerasi.

“Dalam setiap programnya, kami berusaha memahami tujuan masing-masing enterprise untuk mendukung mereka dengan implementasi program yang sesuai kebutuhan. Melalui ED, Instellar membuat Enterprise Development Program bernama Rise Inc atau Rich and Impactful Social Enterprise Incubation, yang merupakan program inkubasi 6 bulan yang fokus pada social enterprise tahap awal.”

Selain itu, Instellar berkolaborasi dengan korporat untuk membuat program CSR yang impactful and sustainable, serta membuat sinergi yang horizontal. Serta, Instellar menjadi country implementing partner untuk beberapa organisasi internasional yang memiliki perhatian untuk mengembangkan enterprise di Indonesia.

Kedua, Instellar Impact Advisory (IIA) merupakan bagian jasa konsultasi one-on-one, baik untuk social enterprise atau investor yang tertarik dengan impact investing. IIA juga menyediakan jasa konsultasi kepada CSO seperti lembaga-lembaga non-profit yang perlu mengembangan strategi bisnis untuk kemandirian finansial.

Terakhir, Community and Partnership (CP) bertugas untuk membangun komunitas Instellar dengan bekerja sama dengan pihak-pihak yang memiliki tujuan yang sama dan memastikan para social entrepreneur mendapatkan program-program berkelanjutan sesuai dengan kebutuhan perkembangan bisnis mereka. CP bertujuan untuk membangun dan menjaga ekosistem wirausaha dan bisnis-bisnis berdampak sosial agar tetap maju dan berkembang.

Program I-SEA

Sumber: Instellar Indonesia

Lebih lanjut dijelaskan, dalam menjalankan perannya sebagai katalisator, Instellar mengadakan program inkubasi dan akselerasi. Ada kerangka kerja yang digunakan, disebut SEED Map, yang dikembangkan Instellar untuk mengukur perkembangan usaha sosial selama mengikuti program. Tak hanya itu, Instellar juga membekali usaha sosial dengan Business Development Plan (BPD) untuk mengukur dampak yang ditimbulkan kepada penerima manfaat.

“Kami juga menyediakan program yang dibuat khusus dengan menerapkan Teori Perubahan (Theory of Change/Impact Model) bagi wirausaha usaha sosial pemula. Sedangkan untuk yang sudah berkembang, diperkenalkan konsep pengukuran dengan Pengembalian Investasi Sosial (SROI/Social Return on Investment) atau sertifikasi bisnis sosial dengan model B Corp.”

Salah satu program akselerasi teranyar yang sedang digelar Instellar adalah Instellar and IKEA Social Entrepreneurship Indonesia Accelerator (I-SEA). IKEA Social Entrepreneurship sebagai inisiatif global oleh IKEA, usaha retail perabot rumah berbasis di Swedia, berfokus pada kegiatan-kegiatan pemberdayaan wirausaha sosial dari seluruh dunia. Objektif dari I-SEA adalah mengajak para wirausaha sosial untuk meningkatkan bisnis sosialnya demi mencapai visi dan misi membangun sebuah bisnis dalam lingkungan sosial yang setara dan inklusif, tidak lagi Jawa-sentris.

Kegiatan ini berfokus pada wirausaha sosial yang menargetkan dampak sosial dan dampak lingkungan di luar Jawa, atau yang saat ini beroperasi di Jawa namun memiliki rencana panjang untuk mengembangkan target area terdampak di luar Jawa.

Pendaftaran program ini sudah dibuka sejak 22 Oktober 2021 hingga 10 Desember 2021. I-SEA akan memilih 10 tim wirausaha sosial dengan profil terbaik yang berbasis di luar Jawa atau memiliki penerima manfaat di luar Jawa untuk diikutsertakan dalam program yang berlangsung selama dua tahun.

Setiap tim akan berkesempatan mendapatkan dana hibah untuk membantu meningkatkan kualitas bisnis mereka. Program ini sendiri terdiri dari beberapa tahapan, dimulai dengan rekrutmen, selanjutnya tahap akselerasi yang mana peserta didampingi konsultan, termasuk melakukan penilaian kebutuhan bisnis dan memfasilitasi mereka dengan sejumlah workshop.

Tahap akselerasi ini diakhiri dengan showcase event, peserta akan mempresentasikan hasil dari apa yang telah mereka pelajari dan praktikkan. Pada akhir program, peserta akan berada di tahap Growth and Impact Hack yang didampingi mentor untuk diberikan dukungan lebih jauh, termasuk perluasan jejaring yang akan menghubungkan mereka dengan berbagai pelaku di ekosistem.

Wirausaha sosial terbantukan

Romy melanjutkan, hingga saat ini, sudah lebih dari 174 usaha yang menjadi alumni program-program Instellar dan telah memberi dampak kepada lebih dari 7000 beneficiaries yang tersebar di 18 provinsi di seluruh Indonesia. Keseluruhan usaha ini terbagi menjadi sembilan sektor.

Persentase terbesar dipegang oleh creative, art, fashion & cultural (20,71%), agrikultur dan perikanan (15,71%), F&B (14,29%), edukasi (12,14%), environment & sustainable energy (11,43%), kesehatan (5,71%), pariwisata (5%), infrastruktur (3,57%), dan terakhir IoT, beauty & skincare (2,86%).

Sementara itu, bila melihat dari ketahanan bisnis, menariknya dari survei yang diselenggarakan Instellar mengungkapkan bahwa sebanyak 90% usaha dapat bertahan. Faktor utamanya adalah karena mereka berhasil menemukan model bisnis yang bagus dan sustainable, sehingga bisa memperluas pasar dan dampak sosial dan berhasil mengatasi masalah pendanaan.

“Sementara, sisanya yang 10% tidak bertahan karena dua penyebab utama, yaitu tidak berhasil menemukan model bisnis yang sustainable dan founder-nya melanjutkan studi atau bekerja.”

Menurut Romy, sejauh ini dana hibah yang sudah disalurkan Instellar adalah $340 ribu (sekitar 4,8 miliar Rupiah). “Instellar tidak mengelola fund khusus untuk disalurkan kepada wirausaha sosial, tetapi kadang-kadang ada beberapa partner yang memang dibantu untuk menyalurkan financial support melalui kami,” tutup Romy.

Duitin Perkenalkan Aplikasi Digital untuk Memfasilitasi Daur Ulang Sampah

Di awal bulan Juli 2021, Google for Startup Accelerator mengumumkan 8 lulusan program akselerator pertama di Indonesia. Salah satunya adalah Duitin, sebuah pengembang layanan digital yang memfasilitasi daur ulang, memungkinkan masyarakat dapat meminta pengambilan sampah di rumahnya dan mendapatkan reward.

Berdasarkan data McKinsey&Co dan Ocean Conservancy, Indonesia menempati peringkat kedua sebagai penghasil sampah plastik terbanyak di dunia, yaitu mencapai 63,9 juta ton per tahun. Dari jumlah tersebut, hanya kurang dari 10% yang dapat didaur ulang. Sisanya, berakhir di TPA atau lebih buruk lagi, terbawa arus ke laut. Tanpa aksi yang serius, jumlah sampah plastik yang mencemari laut akan semakin bertambah secara signifikan.

COO Duitin Adijoyo Prakoso mengungkapkan, startupnya berawal dari sebuah misi sosial ke kampung pemulung untuk mengetahui bagaimana cara mereka bertahan hidup serta seperti apa pain point-nya. Dalam kesempatan tersebut, para founder menemukan fakta bahwa pemulung ternyata banyak yang membeli sampah daur ulang dari warung untuk dijual kembali ke pelapak yang kemudian baru dikumpulkan untuk dijual kembali ke pabrik daur ulang

“Lalu kami menyadari bahwa ada banyak proses yang bisa disederhanakan melalui teknologi dalam industri daur ulang yang melibatkan pemulung, rumah tangga serta pabrik daur ulang. ”

Secara sederhana, aplikasi ini dibuat untuk memudahkan pengelolaan sampah daur ulang menggunakan fasilitas penjemputan oleh picker. Penggunaan aplikasi juga dinilai bisa membuat picker bisa lebih terarah dalam mengumpulkan sampah daur ulang. Di sisi lain, Duitin juga sebagai sebuah gerakan untuk memilah, mengumpulkan serta mengelola sampah sehingga bisa mendapatkan ‘kehidupan kedua’ melalui proses daur ulang.

Saat ini terdapat 6 klasifikasi sampah daur ulang yang dapat dikelola melalui Duitin, yaitu plastik, karton, kaca, minyak jelantah, kaleng aluminium, serta kotak multi-layer. “Kami ingin memberi kemudahan juga bagi masyarakat yang ingin mulai memilah sampahnya, maka dari itu, kami juga berusaha untuk tidak mempersulit mereka dengan kategori sampah yang terlalu banyak,” tambah Adijoyo.

Selain itu, dari sisi pemerintah juga terus berupaya untuk mengurangi jumlah sampah. Pemprov DKI Jakarta telah mengeluarkan Pergub No. 77 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Sampah pada Lingkup Rukun Warga. Melalui Pergub ini, rumah tangga diwajibkan untuk mengelola sampah. Sehingga, sampah tak langsung dibuang ke bank sampah.

Sampah daur ulang yang telah dijemput, akan dibersihkan serta dipilah berdasarkan jenis, warna dan bahannya, kemudian dikirimkan ke pabrik pencacah. Hasil pencacahan dapat diproses kembali menjadi barang baru seperti karung atau botol plastik. Selain itu, bisa juga diolah sebagai bahan untuk membuat biji plastik, benang, kain bahkan untuk diekspor.

Duitin kontributor yang berhasil menjual sampahnya akan mendapatkan reward dari picker berupa Duitin Coin yang bisa digunakan untuk membeli produk dalam platform.  Setiap transaksi yang terjadi dalam platform juga akan diberikan poin. Selain itu, kontributor juga bisa mencairkan Duitin Coin ke rekening bank. Saat ini Duitin telah bekerja sama dengan beberapa pihak seperti  LinkAja, serta sedang dalam proses integrasi dengan platform DANA.

Dukungan terhadap sektor informal

Selain berkontribusi untuk bumi dan alam yang lebih baik, Duitin juga ingin turut berpartisipasi dalam meningkatkan kesejahteraan dan ekonomi bagi sebagian lapisan masyarakat. Timnya mengaku berkomitmen memberi dampak positif bagi lingkungan sekaligus memiliki visi untuk menaikkan taraf hidup dan citra profesi bagi para picker di mata masyarakat.

Sektor informal, terkhusus dalam industri ini para pemulung, mayoritas adalah orang-orang yang unbanked yang tidak terjangkau produk perbankan. Duitin melihat hal ini sebagai salah satu yang juga menjadi pain points, sektor yang paling membutuhkan dukungan finansial, malah tidak mendapat akses ke produk finansial.

Salah satu objektif yang ingin dicapai oleh Duitin dengan mempekerjakan sektor informal dalam aplikasinya adalah untuk mereka bisa mulai membangun profil finansialnya. Hal ini diharapkan bisa digunakan sebagai credit scoring ketika mereka butuh akses terhadap institusi finansial untuk bisa bertahan dalam ketidakpastian ekonomi saat ini.

Dari sisi pendanaan, saat ini Duitin masih beroperasi secara bootstrap. Namun, Adijoyo turut menyampaikan bahwa timnya saat ini tengah dalam proses fundraising. Tidak disebutkan target pendanaan yang diincar, tapi mereka berharap proses penggalangan dana ini bisa tercapai pada Q4 2021.

Application Information Will Show Up Here

SIAP Kembali Dihadirkan, Sajikan Rangkaian “Bootcamp” untuk Startup di Bidang Sosial

Social Innovation Acceleration Program (SIAP) akan kembali diselenggarakan tahun ini. Bersinergi dengan British Council, program akselerasi ini siap membantu bisnis sosial (social enterprise) di Indonesia melalui serangkaian aktivitas bertajuk Social Enterprise Development (SED) Bootcamp dengan tema “Developing Inclusive and Creative Economics”.

SED Bootcamp adalah program edukasi intensif selama dua bulan bagi para founder social enterprise. Para founder akan mendapat kesempatan untuk mendapatkan hands-on mentoring dari para pakar, networking dengan investor, dan akses kerja sama dengan stakeholder di bidang sosial.

Bootcamp pertama tahun ini akan diselenggarakan pada tanggal 2 Maret – 13 April 2019, dengan 15 Mentor yang telah berpengalaman di industri startup. Para mentor tersebut adalah Vikra Ijaz (CPO Kitabisa.com), David Soukhasing (Managing Director ANGIN), Gibran Hufaizah (CEO eFishery), Yohanes Sugihtononugroho (CEO Crowde), dan lain-lain.

SIAP dan British Council akan menyelenggarakan bootcamp di empat kota, yaitu: Jakarta, Makassar, Yogyakarta, dan Malang. Ditargetkan 120 startup atau pengusaha sosial dapat berpartisipasi dalam acara ini.

Selain SED Bootcamp akan ada beberapa kegiatan lain, termasuk Design Sprint. Tahun lalu, program akselerasi SIAP sudah menginkubasi lebih dari 50 penguasa sosial di Jakarta, seperti SaveYourselves.id, Menjadi Manusia, ObabasBaca Pibo, dll.

“Dengan mengikuti SED Bootcamp, para founder dapat belajar berbagai kurikulum seperti Social Entrepreneurship 101 dan Change Theory, Product Development, Market Analysis, Business Model Innovation, Sustainability Scheme, Growth Planning, Impact Measurement dan Assessment, Finance, dan Investment dalam dua bulan. Setelah menyelesaikan program tersebut, terdapat program akselerasi untuk pengembangan produk dan sesi mentoring personal agar para founder bisa mendapatkan feedback mendalam mengenai social enterprise-nya dari para mentor,” ujar Managing Director SIAP, Aghnia Banat.

Segera daftar Social Enterprise Development Bootcamp Batch-4 ini di: http://bit.ly/bootcampbatch4 sebelum tanggal 21 Februari 2019! Mengenai informasi lebih lanjut, bisa didapatkan di situs resmi SIAP www.socialinnovation.id.

Social Innovation Acceleration Program 2019

Disclosure: DailySocial adalah media partner Social Innovation Acceleration Program 2019

Garda Pangan Hadirkan Inovasi Sosial untuk Selesaikan Masalah “Food Waste”

Garda Pangan adalah startup bidang sosial yang ingin menyelesaikan permasalahan “food waste” di wilayah Surabaya. Solusi yang dihadirkan memanfaatkan teknologi untuk dapat terhubung dengan industri terkait – seperti perhotelan, restoran dll—yang acap kali memiliki sisa makanan berlebih. Visi utama Garda Pangan ialah menghadirkan “sustainable and responsible food waste management”.

Founder Garda Pangan Eva Bachtiar menuturkan, Indonesia merupakan negara pembuang sampah makanan terbesar kedua di dunia. Rata-rata tiap orang bisa membuang 300kg makanan per tahunnya.

Dalam melakukan operasionalnya, Garda Pangan memanfaatkan situs sebagai one-stop service. Terdapat beberapa fitur di website, di antaranya permintaan penjemputan makanan, rekomendasi penerima, pendaftaran mitra hingga laporan lokasi distribusi. Untuk memaksimalkan proses bisnis, saat ini pihaknya tengah mengembangkan aplikasi mobile untuk para penjemput makanan.

Mulai beroperasi sejak Juni 2017, Garda Pangan telah berhasil bekerja sama berbagai restoran, tenant makanan, wedding organizer, distributor buah, bakery, dan pasar organik di wilayah Surabaya. Hingga kini Garda Pangan telah mengumpulkan 52.685 porsi makanan — setara menyelamatkan 7,9 ton potensi sampah terbuang. Mereka juga telah berhasil menyalurkan kepada 43.590 penerima.

Permasalahan “food waste” dan dampaknya

Ada tiga dampak dari food waste yang disoroti oleh Garda Pangan. Pertama dampak ekonomi, karena membuang sampah makanan berarti menyia-nyiakan sumber daya yang dibutuhkan untuk membuat makan tersebut. Dampak kedua adalah dampak lingkungan, hal ini tidak terlepas dari sampah makanan yang tertumpuk di tempat pembuangan akhir mengeluarkan gas metana yang merupakan salah satu gas penyumbang emisi rumah kaca.

Dan dampak berikutnya adalah sosial, karena akan menjadi sebuah ironi jika ada yang membuang makanan tapi di sisi lain masih ada yang kelaparan.

Berangkat dari itu semua pada akhirnya Garda ingin meminimalkan sampah makanan dan mengentaskan kelaparan melalui teknologi yang kembangkan. Garda Pangan menawarkan solusi yang disebut dengan “food rescue”, berusaha menyelamatkan makanan dari potensi terbuang.

“Makanan yang layak akan dikemas ulang, lalu dibagikan secara bermartabat kepada masyarakat pra-sejahtera yang membutuhkan, sementara makanan yang sudah tidak layak akan diolah menjadi pakan ternak dan kompos,” jelas Eva.

Dengan inovasi social enterprise yang dihadirkan, Garda Pangan beberapa kali mendapatkan penghargaan, di antaranya Go Startup Indonesia 2018 (Juara 1), Best of the Best Talent Scouting NextDev 2018, dan Startup with Best Social Impact oleh Tempo tahun 2017.

“Tahun 2019 Garda Pangan berencana untuk mengembangkan bisnis dengan menarik sebanyak-banyaknya klien baru dari industri hospitality dan industri makanan. Pendekatan inovatif yang ditawarkan Garda Pangan merupakan hal yang sangat baru, sehingga membutuhkan kanal-kanal promosi yang gencar untuk meningkatkan exposure dan minat dari industri tersebut untuk mulai beralih kepada pengelolaan sampah makanan yang lebih bertanggung jawab,” papar Eva.

Ia lebih jauh menjelaskan bahwa saat ini Garda Pangan terus berupaya untuk bisa melakukan advokasi kepada pemerintah kota Surabaya untuk ikut peduli dengan isu food waste. Eva dan tim Garda Pangan percaya bahwa keterlibatan pemerintah akan bisa mendorong iklim yang lebih kondusif bagi para bisnis akanan untuk ikut bergabung dalam gerakan ini.

Solusi dari Garda Pangan sangat mungkin bisa diterapkan di kota-kota besar lainnya di luar Surabaya. Hanya saja saat ini Eva dan tim tidak ingin terburu-buru melakukan ekspansi, meski ada mimpi untuk membawa manfaat Garda Pangan lebih luas lagi.

“Tentu saja kami punya mimpi bahwa gerakan Garda Pangan ini bisa berkembang di seluruh kota di Indonesia. Akan tetapi kami juga tidak ingin terburu-buru. Kami sadar Garda Pangan masih sangat muda, dan kami ingin memperkuat terlebih dahulu pondasi di Garda Pangan Surabaya sebelum membuka cabang di kota lain. Kami juga masih fokus mengumpulkan best practice yang nantinya bisa diterapkan di kota lain,” tutup Eva.

Teruntuk Perusahaan-Perusahaan Teknologi, Kalian Lebih Dari Sekedar Platform

Dalam beberapa dekade terakhir, teknologi telah mengalami pergeseran dari sebuah fitur untuk para kutu buku, menjadi bagian yang tak terpisahkan bagi masyarakat dan perilaku manusia pada umumnya. Mungkin memang manusia yang menciptakan teknologi, namun teknologi pula yang membentuk kehidupan kita dengan sedemikian rupa. Mulai dari internet, komunikasi, jejaring sosial, kecerdasan buatan, dan entah berapa banyak teknologi baru yang akan tercipta dalam dekade-dekade selanjutnya.

Untuk segala tindakan disruptif [disruptive force] yang diciptakan perusahaan teknologi serta inovasi baru dalam mengatasi berbagai masalah, sudah waktunya untuk meninggalkan cara-cara lama. Kegiatan-kegiatan yang tidak efisien, mahal, menguras waktu sudah seharusnya digantikan dengan platform teknologi.

Google mengubah dunia. Facebook mengubah dunia. Amazon mengubah dunia. Uber mengubah dunia.

Miris rasanya melihat perusahaan-perusahaan yang telah membawa pembaruan yang begitu besar dan kuat, tampaknya kurang peduli dengan tanggung jawab mereka kepada masyarakat dan lebih mementingkan tuntutan para pemilik saham.

Teringat pada saat perusahaan seperti OLX Indonesia difitnah menjual bayi online. Tentunya, bukan OLX yang melakukannya, tetapi salah satu merchant mereka (sebagai platform c2c). Siapapun bisa menjual apa saja di OLX, dan OLX hanya sekedar platfrom yang menghubungkan pembeli dan penjual. Teringat juga pada kejadian di India, bagaimana seorang pengemudi Uber melecehkan penumpangnya. Lalu, Uber masih bersembunyi di belakang alasan yang sama. Teringat pada Go-Jek yang kini berkuasa atas perekonomian Indonesia setelah jutaan pengemudi bergabung. Namun pada masa-masa awal pertumbuhannya, berapa banyak pengemudi taksi konvensional yang kehilangan sebagian besar penghasilannya.

Tentunya, tanpa melupakan Facebook yang tengah menjadi sorotan beberapa minggu belakangan.

Kenyataannya, ketika sebuah kesalahan terjadi, perusahaan akan bertanggung jawab dan bertindak dalam menyelesaikan masalah, akan tetapi, seringkali mereka gagal memanfaatkan kekuasaan yang ada dalam masyarakat. Kekuasaan yang dapat melampaui pemberdayaan ekonomi. Mendengar hasil interogasi para anggota dewan di Amerika Serikat pada Mark Zuckerberg mengindikasi bahwa Mark merasa gagal melindungi privasi individual para penggunanya. Namun sepertinya ia tidak menyadari bahwa dirinya dan Facebook telah mengecewakan masyarakat. Ia melihat bahwa solusi dari masalah ini adalah peningkatan kualitas produk, padahal lebih dari itu.

Facebook, Google, Uber, Amazon, dan Alibaba; perusahaan-perusahaan teknologi raksasa ini telah berkembang begitu pesat sehingga mereka memiliki kapabilitas dalam mengarahkan masyarakat pada banyak hal, baik sadar maupun tidak, sengaja atau tanpa disengaja. Perusahaan seharusnya juga mempertimbangkan dampak dari tindakan mereka terhadap masyarakat, bahkan sebelum mereka berbicara tentang produk dan model bisnis. Tentunya, konflik antara etika dan model bisnis itu ada, inilah waktu yang tepat bagi CEO memutuskan untuk menjadi seorang CEO yang seperti apa.

Ada sebuah kasus menarik dalam media digital. Sebagai salah satu pemain di media digital, salah satu yang meresahkan saya adalah
banyaknya perusahaan media melupakan bentuk dari sebuah masyarakat, yaitu hubungan dua arah. Perusahaan media mengacu pada statistik dan mempelajari konsumsi pengguna akan konten mereka, mulai dari melihat konten yang paling populer lalu mereplikanya demi mendapatkan atensi dari pengguna dan mengajak untuk melihat lebih banyak konten sehingga menghasilkan uang melalui iklan.

Lalu, bagaimana jika konten yang menarik bagi pengguna adalah konten yang disruptif? Atau kenyataannya salah? Apakah kalian akan mengikuti para pengguna yang tidak bijak? Apakah kalian akan tetap menyediakan konten negatif yang mereka sukai? Tentunya bisa dan akan menghasilkan banyak uang. Mungkin. Namun, kalian juga bisa angkat suara dan menentang, memaksa konten-konten edukatif yang lebih positif dan layak. Beberapa menyebutnya integritas. Lainnya menganggap ini adalah etika berbisnis. Apapun pengertian kalian, hal ini menjadi sangat penting dalam menjalankan bisnis.

Saya adalah seseorang yang percaya bahwa media digital telah mengacaukan dunia. Dengan berbagai tindak kebencian dan aura negatif di sekelilingnya, media digital telah menjadi sumber dari kekacauan tersebut. Adalah hal yang mudah untuk menguangkan kebencian dan konten negatif melalui iklan. Semakin banyak kebencian, semakin tinggi trafik, uang semakin mengalir. Tanpa ada pertimbangan akan dampaknya pada masyarakat secara keseluruhan.

Teknologi akan terus melanjutkan penetrasinya demi semakin tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Manusia pun akah tetap bertahan, apapun yang terjadi. Hadirnya kecerdasan buatan, bioteknologi, teknologi luar angkasa serta berbagai pengembangan yang terjadi dalam masyarakat akan memanfaatkan teknologi dalam segala sisi.

Sudah waktunya kita mulai memberdayakan teknologi sebagai alat yang positif, bukan sekedar untuk menghasilkan uang sebanyak-banyaknya, tapi juga berdampak pada masyarakat secara keseluruhan. Sudah waktunya bagi perusahaan-perusahaan teknologi, inovator dan disruptor untuk berhenti bersembunyi di balik alasan “hanya sebatas platform”, dan mulai menerapkan integritas dan etika berbisnis.

Dear Tech Companies, You’re More Than Just a Platform

For the past few decades, technology has turned from a nice to have feature for nerds, into an inseparable part of society and how humans behave in general. Humans might come up with technology, but technology also shapes our lives in a very-very significant way. From the internet, communications, social network, artificial intelligence and God knows what else the techies will come up in the next decade or so.

For every disruptive force that was brought up by these technology companies who brings in the new way of doing things, the old way must die. The old inefficient, expensive, time-consuming behavior must be replaced with technology platform.

Google changed the world. Facebook changed the world. Amazon changed the world. Uber changed the world.

And it pains me to see that although these companies bring an amazing new and more powerful way of doing things, they seem to be lacking in the knowledge that they also have a responsibility to society and not just to their shareholders.

I remember how companies like OLX Indonesia got vilified for selling babies online. Of course, it wasn’t OLX that did it, it was one of their merchant (it is a c2c platform). Anyone can sell anything on OLX, and that OLX is just a platform between buyers and sellers. I remember how, in India, an Uber driver raped his passenger. And sure enough, Uber hid behind the same argument. I remember how Go-Jek have so much power over the Indonesian economy now that they have more than a million drivers working for them. But their early days of Go-Jek’s growth were dark days for a lot of conventional taxi drivers as their income decline rapidly.

And of course, not to forget Facebook that has been the center of attention the past few weeks.

Granted, whenever something went wrong, these companies take responsibilities and act accordingly to solve the problem but it seems to me that they failed to grasp the power they have in our society. And it’s the kind of power that transcends economic empowerment. Listening to Zuckerberg’s interrogation by US Congress gave me the sense that Zuckerberg feels like he failed to protect individual’s privacy, their users. But it seems that Zuckerberg doesn’t realize that he and Facebook had failed us as a society. Zuckerberg sees a product improvement as a solution to his problem. It’s much much deeper than that.

Facebook, Google, Uber, Amazon, and Alibaba; all these giant tech companies have become so big that they have the muscle power to move society into any direction, whether they realize it or not, whether it’s intentional or not. And they should start thinking about how their movement impacts the society before even proceeding to talk about products and business model. Of course the conflict between ethics and business model exists. This is where tech CEOs will decide what kind of CEO she/he wants to be.

An also good case is digital media. As one of the players in digital media, it concerns me that a lot of media companies forget about how they shape the society. It’s a two-way road. Media companies look at their statistics and learn how users consume their content, go look for the most popular content and try to replicate that type content to get user engaged and consume more content, therefore make money from advertisers.

But what if the type of content that the users prefer is the type of content that is disruptive? Or straightforward false? Do you listen to the users even when the user is stupid? Do you give them negative content because they like it? Of course, you can, and you’ll make tons of money. Probably. But you also can make a stand and decline, pushing through educative content that is more proper and positive to society. Some people call this integrity. Others call it business ethics. But whatever you want to call it, it’s important that this proceeds business considerations.

I am one to believe digital media ruins the world. With so much hate and negative aura around the world, digital media has been the epicenter of the movement. It’s very easy to monetize hate and negative content through advertising. More hate, more traffic, more advertising money. No consideration whatsoever on how it impacts the society as a whole.

Technology will continue its stride to become an even more inseparable part of human lives. And humans will survive, one way or another. The rise of Artificial intelligence, biotechnology, space technology and all these exciting development in our society will have the role of technology all over it.

It’s time we reclaim technology as a positive tool, not just to make a ridiculous amount of money, but also to impact society as a whole. It’s time for technology companies, innovators and disruptors to stop hiding their existence as “just a platform”, and start taking business ethics and integrity into consideration.

Unitus Impact Siapkan Total Dana $45 Juta untuk Perusahaan Berdampak Sosial di Asia Tenggara dan India

Unitus Impact yang berbasis di Silicon Valley mengumumkan telah menutup penggalangan dana untuk Livelihood Impact Fund dengan total dana kelolaan mencapai $45 juta (sekitar 600 miliar Rupiah). Dana tersebut akan difokuskan untuk mendanai perusahaan berdampak sosial di Asia Tenggara dan India. Contoh startup Indonesia yang didanai oleh Unitus Impact adalah Ruma.

Tentu saja Unitus Impact tidak fokus hanya soal startup teknologi, tetapi juga perusahaan-perusahaan komersial yang memiliki dampak sosial untuk meningkatkan kualitas hidup warga kelas bawah di dua kawasan dengan total penduduk yang mencapai hampir dua miliar. Kucuran dana yang disiapkan per perusahaan adalah $500 ribu hingga $2 juta (6-26 miliar Rupiah) dan mereka membuka kesempatan kepada perusahaan Indonesia yang memiliki visi yang sama untuk mengajukan permintaan pendanaan. Mereka berharap bisa mendanai 15-20 perusahaan di awal masa pertumbuhannya.

Contoh perusahaan Indonesia lain yang baru saja didanai oleh Unitus Impact adalah Vasham yang mencoba meningkatkan taraf hidup petani. Di sini Unitus Impact bekerja sama dengan Kinara Indonesia.

Kepada DailySocial, Managing Partner Unitus Impact Beau Seil mengatakan mereka percaya banyak wirausahawan di Asia Tenggara yang mampu menyelesaikan masalah [yang berkaitan dengan rakyat kecil] tetapi tidak banyak investor yang mau mendanai perusahaan seperti ini. Hal yang sama sempat dihadapi oleh Ruma sampai akhirnya Unitus Impact masuk sebagai investor.

Putaran pendanaan kali ini didukung berbagai institusi investasi yang mapan, seperti sebuah dana pensiun Australia, Yayasan eBay, Yayasan Rockefeller, dan Oversears Private Investment Corporation (OPIC).

CEO Unitus Impact Geoff Woolley dalam pernyatannya mengungkapkan, “Kami menantikan untuk berinvestasi di perusahaan inovatif yang memiliki pertumbuhan tinggi di Asia Tenggara dan India untuk menciptakan perusahaan sosial dan memberikan imbal balik (yang terukur secara risiko) bagi para investor kami. Tujuan kami di Unitus Impact adalah mendemonstrasikan kemampuan komersial saat berinvestasi di perusahaan yang fokus untuk peningkatan kualitas hidup.”

Contoh perusahaan yang memiliki visi seperti ini adalah Ruma dan Kudo yang mencoba meningkatkan kemampuan ekonomi rakyat kecil dengan memodali mereka dengan bisnis mikro. Sementara di Filipina, Unitus Impact mendanai Kalibrr, sebuah marketplace bursa kerja.

Bisnis Digital Dinilai Punya Potensi Bantu Isu Sosial

Perkembangan bisnis digital di Indonesia saat ini memang sedang dalam sorotan. Banyak pihak menilai Indonesia bisa menjadi pemimpin di sektor bisnis digital beberapa tahun mendatang. Untuk itu bisnis digital di Indonesia selain menguntungkan dari segi finansial diharap juga mampu membantu menyelesaikan sejumlah isu sosial seperi kemiskinan dan penggangguran. Pesan itulah yang ingin disampaikan pemerintah dalam audiensi bisnis sosial beberapa waktu lalu. Continue reading Bisnis Digital Dinilai Punya Potensi Bantu Isu Sosial