Google Buka Batch Pertama Program Akselerator Khusus Ekonomi Sirkular

Program akselerator Google for Startups Accelerator (GfS Accelerator), kini spesifik mengangkat tema ekonomi sirkular untuk batch pertamanya. Google mencari startup dan organisasi nirlaba di Asia Pasifik dan Amerika Utara yang berupaya menciptakan ekonomi sirkular dan membangun masa depan yang berkelanjutan tanpa pemborosan.

Melalui program tersebut, Google akan memilih organisasi yang menggunakan teknologi untuk mengatasi tantangan sirkular, termasuk dalam aktivitas penggunaan kembali (reuse), isi ulang (refill), daur ulang (recycling), pengomposan, fesyen, makanan, bahan yang aman dan sirkular, dan lingkungan binaan (build environment).

Dalam konferensi pers virtual, Head of Startup Ecosystem, SEA, SAF and Greater China Region Google Thye Yeow Bok menyampaikan bahwa Google mencari 10 hingga 15 startup dalam cohort perdana ini. Tidak ada investasi ekuitas yang diberikan untuk tiap peserta, malah nantinya dalam demo day yang berlangsung pada akhir program, akan difasilitasi bertemu dengan investor potensial.

“Kita tidak mengambil ekuitas dari startup peserta. Justru saat demo day, kita akan beri mereka fasilitas untuk terhubung dengan investor potensial,” kata Bok.

Lebih lanjut, Google for Startups Accelerator menawarkan program virtual selama 10 minggu, mencakup pendampingan dan dukungan teknis dari insinyur Google dan pakar eksternal melalui campuran sesi pembelajaran 1-to-1 dan 1-to-many. Peserta juga akan didampingi Success Manager untuk mendapatkan lebih banyak dukungan khusus untuk organisasi mereka.

Pembukaan peserta berlangsung mulai hari ini (4/10) sampai 14 November mendatang. Sementara, program akan dimulai pada Februari 2023. Informasi lebih lanjut mengenai pendaftaran dapat diakses langsung melalui situs resmi.

Latar belakang Google

Dijelaskan lebih jauh, keputusan Google untuk membuka batch khusus ekonomi sirkular ini karena tiap tahunnya terdeteksi manusia mengonsumsi lebih banyak daripada yang dapat diisi ulang secara alami oleh bumi. Pada tahun ini diprediksi permintaan global akan sumber daya diproyeksikan menjadi 1,75 kali lipat dari yang dapat diregenerasi oleh ekosistem bumi dalam setahun.

Sebagian besar dari sumber daya yang diekstrak dan gunakan akhirnya menjadi limbah dan menambah lebih dari dua miliar ton limbah padat yang dihasilkan setiap tahun.

Model ekonomi linier terbukti membawa banyak kemajuan bagi umat manusia dalam waktu singkat. Namun, model ini juga telah menciptakan kerusakan lingkungan, ketidakadilan, dan kesenjangan khususnya bagi masyarakat berpenghasilan rendah dan kekurangan sumber daya yang berada di dekat kawasan industri di mana kadar polusi lebih tinggi.

Oleh karenanya, seluruh pihak perlu membangun kembali hubungan dengan sumber daya fisik dengan membuat, memroses, menggunakan, dan mendaur ulang untuk menciptakan ekonomi sirkular yang lebih aman, berkelanjutan, dan lebih adil bagi semua pihak.

Menurut Google, kawasan Asia-Pasifik adalah titik awal yang baik untuk berinovasi dan menciptakan solusi ekonomi sirkular. Kawasan ini adalah wilayah yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim. Sebanyak 90% dari semua plastik yang terbawa sungai di lautan hanya berasal dari sepuluh sungai, delapan di antaranya berada di APAC. Pada 2040, kawasan Asia diperkirakan akan mendorong 40% dari nilai konsumsi dunia.

Dengan latar belakang ini, banyak ekosistem startup dan inovasi di Asia-Pasifik yang berkembang mewakili peluang dan keinginan untuk menciptakan produk original dan bermanfaat di ruang ekonomi sirkular. Peningkatan minat dalam impact investing di beberapa tahun terakhir, menandakan bahwa para investor menyadari perlunya mendukung solusi keberlanjutan.

Di Google sendiri, dalam implementasi ekonomi sirkular ini telah memberlakukan sejumlah inisiatif yang tertuang dalam produk-produknya. Misalnya, memetakan lokasi drop-off daur ulang di Maps dan Search; membangun model ML untuk mengidentifikasi sampah di jalanan; sumber terbuka dan model ML untuk membantu pusat daur ulang meningkatkan analisis/pengelolaan limbah.

“Masih banyak ruang yang perlu dilakukan. Kami ingin mendukung startup dan non-profit yang yang merupakan inovator di ruang ini,” tutup Managing Director Tech Sustainability Google Estee Cheng.

Duitin Perkenalkan Aplikasi Digital untuk Memfasilitasi Daur Ulang Sampah

Di awal bulan Juli 2021, Google for Startup Accelerator mengumumkan 8 lulusan program akselerator pertama di Indonesia. Salah satunya adalah Duitin, sebuah pengembang layanan digital yang memfasilitasi daur ulang, memungkinkan masyarakat dapat meminta pengambilan sampah di rumahnya dan mendapatkan reward.

Berdasarkan data McKinsey&Co dan Ocean Conservancy, Indonesia menempati peringkat kedua sebagai penghasil sampah plastik terbanyak di dunia, yaitu mencapai 63,9 juta ton per tahun. Dari jumlah tersebut, hanya kurang dari 10% yang dapat didaur ulang. Sisanya, berakhir di TPA atau lebih buruk lagi, terbawa arus ke laut. Tanpa aksi yang serius, jumlah sampah plastik yang mencemari laut akan semakin bertambah secara signifikan.

COO Duitin Adijoyo Prakoso mengungkapkan, startupnya berawal dari sebuah misi sosial ke kampung pemulung untuk mengetahui bagaimana cara mereka bertahan hidup serta seperti apa pain point-nya. Dalam kesempatan tersebut, para founder menemukan fakta bahwa pemulung ternyata banyak yang membeli sampah daur ulang dari warung untuk dijual kembali ke pelapak yang kemudian baru dikumpulkan untuk dijual kembali ke pabrik daur ulang

“Lalu kami menyadari bahwa ada banyak proses yang bisa disederhanakan melalui teknologi dalam industri daur ulang yang melibatkan pemulung, rumah tangga serta pabrik daur ulang. ”

Secara sederhana, aplikasi ini dibuat untuk memudahkan pengelolaan sampah daur ulang menggunakan fasilitas penjemputan oleh picker. Penggunaan aplikasi juga dinilai bisa membuat picker bisa lebih terarah dalam mengumpulkan sampah daur ulang. Di sisi lain, Duitin juga sebagai sebuah gerakan untuk memilah, mengumpulkan serta mengelola sampah sehingga bisa mendapatkan ‘kehidupan kedua’ melalui proses daur ulang.

Saat ini terdapat 6 klasifikasi sampah daur ulang yang dapat dikelola melalui Duitin, yaitu plastik, karton, kaca, minyak jelantah, kaleng aluminium, serta kotak multi-layer. “Kami ingin memberi kemudahan juga bagi masyarakat yang ingin mulai memilah sampahnya, maka dari itu, kami juga berusaha untuk tidak mempersulit mereka dengan kategori sampah yang terlalu banyak,” tambah Adijoyo.

Selain itu, dari sisi pemerintah juga terus berupaya untuk mengurangi jumlah sampah. Pemprov DKI Jakarta telah mengeluarkan Pergub No. 77 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Sampah pada Lingkup Rukun Warga. Melalui Pergub ini, rumah tangga diwajibkan untuk mengelola sampah. Sehingga, sampah tak langsung dibuang ke bank sampah.

Sampah daur ulang yang telah dijemput, akan dibersihkan serta dipilah berdasarkan jenis, warna dan bahannya, kemudian dikirimkan ke pabrik pencacah. Hasil pencacahan dapat diproses kembali menjadi barang baru seperti karung atau botol plastik. Selain itu, bisa juga diolah sebagai bahan untuk membuat biji plastik, benang, kain bahkan untuk diekspor.

Duitin kontributor yang berhasil menjual sampahnya akan mendapatkan reward dari picker berupa Duitin Coin yang bisa digunakan untuk membeli produk dalam platform.  Setiap transaksi yang terjadi dalam platform juga akan diberikan poin. Selain itu, kontributor juga bisa mencairkan Duitin Coin ke rekening bank. Saat ini Duitin telah bekerja sama dengan beberapa pihak seperti  LinkAja, serta sedang dalam proses integrasi dengan platform DANA.

Dukungan terhadap sektor informal

Selain berkontribusi untuk bumi dan alam yang lebih baik, Duitin juga ingin turut berpartisipasi dalam meningkatkan kesejahteraan dan ekonomi bagi sebagian lapisan masyarakat. Timnya mengaku berkomitmen memberi dampak positif bagi lingkungan sekaligus memiliki visi untuk menaikkan taraf hidup dan citra profesi bagi para picker di mata masyarakat.

Sektor informal, terkhusus dalam industri ini para pemulung, mayoritas adalah orang-orang yang unbanked yang tidak terjangkau produk perbankan. Duitin melihat hal ini sebagai salah satu yang juga menjadi pain points, sektor yang paling membutuhkan dukungan finansial, malah tidak mendapat akses ke produk finansial.

Salah satu objektif yang ingin dicapai oleh Duitin dengan mempekerjakan sektor informal dalam aplikasinya adalah untuk mereka bisa mulai membangun profil finansialnya. Hal ini diharapkan bisa digunakan sebagai credit scoring ketika mereka butuh akses terhadap institusi finansial untuk bisa bertahan dalam ketidakpastian ekonomi saat ini.

Dari sisi pendanaan, saat ini Duitin masih beroperasi secara bootstrap. Namun, Adijoyo turut menyampaikan bahwa timnya saat ini tengah dalam proses fundraising. Tidak disebutkan target pendanaan yang diincar, tapi mereka berharap proses penggalangan dana ini bisa tercapai pada Q4 2021.

Application Information Will Show Up Here

Hacktiv8, Kata.ai, dan Riliv Terpilih Mengikuti Program Google for Startups Accelerator

Google hari ini (05/8) resmi mengumumkan startup yang menjadi peserta program Google for Startups Accelerator di Asia Tenggara. Dari 15 nama yang terpilih ada tiga dari Indonesia, yakni Hacktiv8, Riliv, dan Kata.ai. Ketiganya bakal mendapat kesempatan untuk mendapatkan mentoring dari tim Google, baik dari segi teknis maupun bisnis.

Dalam laman resminya, pihak Google juga menyebutkan bahwa mereka akan membantu para peserta untuk terhubung dengan mitra Google dan industri teknologi yang lebih luas. Dalam rangkaian kegiatan itu akan diadakan workshop yang berfokus pada perancangan produk, layanan pelanggan, dan pengembangan kepemimpinan bagi para founder.

Hacktiv8 merupakan startup edtech yang menyediakan solusi bootcamp dan pelatihan untuk developer, termasuk juga menghubungkan lulusannya dengan lapangan pekerjaan. Sementara itu Kata.ai merupakan penyedia solusi berbasis chatbot untuk bisnis. Sedangkan Riliv merupakan startup dengan solusi aplikasi konseling dan meditasi dengan tujuan membantu permasalahan kesehatan mental.

“Google for Startups Accelerator Asia Tenggara adalah program akselerator online selama tiga bulan untuk startup di tahap awal hingga seri A yang berpotensi besar untuk membantu menyelesaikan tantangan di wilayah ini,” tulis pihak Google.

Di periode pertama ini, Google menyeleksi lebih dari 600 startup untuk mendapatkan 15 peserta terpilih. Ada pun beberapa kategori yang dicari Google antara lain:

  • Startup yang berada di fase pendanaan awal dengan produk berbasis teknologi.
  • Sudah mendapatkan traksi dan sudah melewati “idea stage” dengan beberapa initial customer validation.
  • Startup yang mampu mengidentifikasi peluang pasar yang besar.
  • Startup yang berada di kategori kesehatan, pendidikan, finansial, atau logistik dan mengimplementasikan teknologi AI/ML atau data analitik.
  • Pendiri startup atau tim yang mampu mendemonstrasikan kemampuan teknis, bisnis, dan mindset untuk tumbuh dan mengembangkan bisnis regional.

Head of Corporate Communication Google Indonesia Jason Tedjasukmana kepada DailySocial menjelaskan bootcamp ini akan diselenggarakan intensif selama tiga bulan dan sepenuhnya akan diselenggarakan secara online. Para peserta akan mendapat pelatihan teknis terperinci dan peluang pengembangan strategi dengan machine learning, SDM, produk, dan growth lab yang dimiliki Google.

“Selama lebih dari lima tahun Google telah menjalankan program Launchpad Accelerators, yang menjangkau wirausahawan di lebih dari 40 negara dan memasukkannya dalam portofolio global beberapa startup paling sukses di dunia. Dalam upaya menyederhanakan program yang dilakukan Google untuk startup, mulai akhir 2019 semua Launchpad Accelerators telah berganti nama menjadi Google for Startups Accelerator,” imbuh Jason.

Beberapa startup Indonesia pernah turut serta dalam gelaran Google Launchpad antara lain, seperti Kulina untuk batch kelima; iGrow, Jurnal, Mapan, PicMix, Qlue dan Snapcart untuk batch ketiga; Jarvis Store, Talenta, Ruangguru, IDNtimes, Codapay, dan Hijup untuk batch kedua; dan Kerjabilitas, Setipe, Jojonomic, eFishery, Seekmi, HarukaEdu, dan Kakatu untuk batch pertama.

Update: tambahan kutipan dari Head of Corporate Communication Google Indonesia Jason Tedjasukmana.