DBS Foundation Hibahkan Rp8,2 Miliar Bagi Empat Startup Cleantech Asal Indonesia

Bank DBS Indonesia melalui DBS Foundation mengumumkan empat startup asal Indonesia yang terpilih sebagai pemenang dari DBS Foundation (DBSF) Business for Impact Grant Award Programme 2023.

Keempat startup tersebut adalah Plana, Liberty Society, Nafas, dan Magalarva. Sebagai pemenang, mereka berhak mendapatkan dana hibah dengan total nilai 710 ribu dolar Singapura (setara Rp8,2 miliar), yang akan digunakan untuk mengatasi permasalahan lingkungan dan sosial.

Sedikit informasi mengenai masing-masing pemenang, Plana adalah startup yang berfokus pada pengolahan sampah plastik menjadi material baru, yaitu Plana Wood. Produk ini diproyeksikan sebagai alternatif kayu alami yang tahan lama dan dapat digunakan sebagai bahan bangunan.

Liberty Society di sisi lain berfokus pada daur ulang limbah perusahaan (plastik, tekstil, kardus) menjadi merchandise B2B, sekaligus membuka kesempatan bekerja bagi komunitas yang terpinggirkan.

Nafas adalah startup yang menyediakan data kualitas udara (air quality index/AQI) untuk meningkatkan kesadaran tentang polusi udara serta mendorong perubahan kebijakan.

Magalarva menghadirkan layanan pengumpulan limbah dan mengubahnya menjadi tepung lalat tentara hitam (black soldier fly) berkualitas tinggi sebagai bahan baku pakan hewan.

***

Untuk ulasan selengkapnya, kunjungi Solum.id. Solum.id adalah media online yang fokus menyajikan berbagai artikel tentang sektor keberlanjutan dan teknologi masa depan.

Disclosure: Solum.id adalah bagian dari grup DailySocial.id

15 Startup yang Mencoba Memberikan Solusi untuk Lingkungan

Isu lingkungan belakangan ini santer diperbincangkan oleh berbagai kalangan. Pasalnya, perubahan iklim telah nyata-nyata memberikan dampak buruk kepada kehidupan — mulai dari gagal panen akibat cuaca buruk berkepanjangan sampai dengan flora-fauna yang kehilangan habitatnya.

Melihat permasalahan yang ada, sejumlah inovator lokal mencoba menghadirkan cara baru yang dapat membantu masyarakat berpartisipasi untuk mengurangi potensi isu akibat perubahan iklim. Salah satunya, para startup ini hadir membantu masyarakat untuk bisa mengetahui kondisi kesehatan udara di daerah sekitar dan memberikan alternatif energi yang ramah lingkungan.

Berikut ini beberapa inovasi startup lokal terkait perubahan iklim yang layak diektahui.

BLUE

BLUE (Bina Usaha Lintas Ekonomi) adalah salah satu startup di bidang energi terbarukan yang didirikan pada 2018 Oleh Abu Bakar Abdul Karim Almukmin.

BLUE ini menyediakan solusi satu atap untuk barang dan jasa energi terbarukan melalui pasar Warung Energi. Selain itu, BLUE juga mengembangkan solusi energi surya B2B untuk sistem energi surya komersial, industri, dan terpusat untuk wilayah perkotaan dan pedesaan di Indonesia.

Debut pendanaan BLUE sendiri berasal dari New Energy Nexus yang telah mendanai 16 Startup climate change maupun renewable energy.

BuMoon.io

Salah satu startup social yang bergerak pada bidang IoT (Internet of Things), Blockchain, dan Artificial Intelegences yaitu BuMoon.io memiliki project juga untuk mengatasi climate change melalui token crypto.

BuMoon.io sendiri didirikan pada tahun 2021 oleh Dian Agustian Hadi dan Adya Kemara. Selain climate change, BuMoon.io juga mengatasi limbah sampah plastik yang ada. Hal ini bisa dijadikan salah satu hal yang baik untuk diikuti.

Konsep dari BuMoon.io ini sangat unik yaitu mereka memberlakukan “Eco Living Token”, pengguna dapat menyetor sampah ke BuMonn.io setelah itu kita akan mendapatkan benefit (uang, token, dan semacamnya). Model bisnis yang satu ini dilakukan secara periodik.

Tidak hanya Eco Living Token saja, BuMoon.io memliki proyek untuk pemasangan panel surya yang diambil dari data carbon trading, sehingga menjadi salah satu transaksi program yang cukup menarik.

Carboon Addons

Startup ini didirikan pada Agustus 2020. Carboon Addons menghadirkan solusi untuk menggerkakan dampak limbah serta startup untuk mengimbangi emisi karbon dari setiap pembelian seperti produk online dan tiket transportasi melalui add-on sebelum memeriksa produk.

Carbon Addons ini memungkinkan pengguna untuk mengimbangi jejak karbon dari pembelian produk/layanan mereka dengan menambahkan dana karbon tambahan sebelum checkout melalui plugin aplikasi perangkat lunak yang dapat diintegrasikan dengan platform seperti e-commerce.

Carboon Addons sendiri didirikan oleh Mohamad Naufal. Dengan adanya Carboon Addons sendiri, Mohama Naufal yakin bisa meminimalisir kerusakan lingkungan yang ada sehingga kita bisa menikmati keindahan alam terutama di Indonesia.

Duitin

Salah satu startup dengan waste management system yang aman adalah Duitin. Duitin adalah gerakan memilah, mengumpulkan, dan mengelola sampah agar bisa mendapatkan ‘kehidupan kedua’ melalui proses daur ulang.

Jadi Duitin, startup pengumpulan sampah, khususnya sampah anorganik. Apalagi, kampanye pengumpulan sampah anorganik – termasuk pemilahan sampah – terus berlanjut hingga saat ini.

Startup waste management yang satu ini didirikan oleh empat founder yaitu Agy (CEO), Adjiyo Prakoso (COO), Astriani L(CFO), dan Danni Fajariadi (CMO) yang pastinya akan membantu masyarakat Indonesia dalam mengelola limbah sampah dengan baik menggunakan Aplikasi Mobile yang terintegarasi yakni Duitin.

Gringgo

Salah satu startup waste management yang ada di Bali ini dapat menjadi salah satu perusahaan yang dapat berdampak pada lingkungan. Gringgo didirikan oleh Oliver Pouillon (CEO) dan Febriadi Pratama (CTO) pada tahun 2014.

Cara kerja dari Gringgo sendiri adalah memfasilitasi pengelolaan sampah dengan menggunakan website based application yang terintegrasi antara satu sama lain. Hal ini agar para user dapat mengangkut sampahnya melalui aplikasi Gringgo. Namun, pengangkutan sampah ini ada tujuannya yaitu Gringgo ingin membangun sebuah layanan network untuk waste collection.

Pastinya hal tersebut dapat menjadi hal yang baik untuk bank sampah dan kolektor sampah sehingga dapat dimanfaatkan dengan baik.

Pada tahun 2019, Gringgo sendiri mendapatkan pendanaan sekitar $500.000 dari Google untuk mengekspansi bisnisnya ke beberapa wilayah kota seperti Jakarta dan Bali tentunya.

Hijauku.com

Hijauku.com adalah green portal yang menyediakan informasi terkini tentang gaya hidup hijau dan sehat. Startup climate change yang satu ini berisi ide-ide konten untuk penghijauan yang dibagikan menggunakan lisensi Creative Commons untuk mengedukasi orang-orang dan lebih jauh lagi menghijaukan bisnis dan kehidupan sehari-hari mereka.

Selain itu Hijauku.id ini adalah salah satu startup  yang bisa digunakan untuk mengetahui emisi karbon di daerah sekitarnya. Hijauku sendiri berdiri pada Maret 2011 didirikan oleh Hizbullah Arief. 

Selain emisi karbon, Hijauku.com juga memprediksi perubahan cuaca dan Iklim di Indonesia. Hal ini untuk mengetahui gambaran dasar yang baik untuk kamu gunakan dalam kehidupan sehari-hari dan beraktivitas.

Jangjo

Jangjo adalah startup baru di Indonesia. Startup yang satu ini ingin menciptakan ekosistem sinergi yang dapat mengintegrasikan setiap pemangku kepentingan (stakeholder) yang terlibat dalam pengelolaan sampah. Mulai dari rumah tangga, pemulung, perusahaan operator hingga industri.

Stakeholder yang dimaksud antara lain penghasil sampah (masyarakat), pengangkut sampah (operator), tempat penampungan sementara (hub), dan pengelolaan sampah (industri).

Untuk mengatasi permasalahan di atas, kata dia, Jangjo mengembangkan solusi utama yaitu edukasi pemilahan dan pengangkutan sampah terpilah untuk wilayah Jakarta. Warga yang terdidik memilah sampah bisa menggunakan jasa angkut sampah untuk didaur ulang oleh industri

Edukasi pemilahan sampah dilakukan door to door untuk kawasan pemukiman. Kemudian, Jangjo Rangers akan merekam data sampah yang telah dipilah melalui aplikasi.

Platform waste management ini didirikan oleh 4 Co-Founder Joe Hansen (Co-founder dan Commisioner), Nyoman Kwanhok (Co-founder dan CEO), Eki Setijadi (COO), dan  Hendra Yubianto (CMO) pada tahun 2019.

Startup waste management yang satu ini mendapatkan seed funding dari Darmawan Capital dengan nominal yang dirahasiakan. Dengan Investasi yang satu ini Jangjo akan mengekspansi bisnisnya dan memodernisasi aplikasinya.

Jejak.in

Jejak.in merupakan salah satu startup climate change yang menggunakan teknologi IoT (Internet of Things) dan AI (Artificial Intelegences). Startup ini awalnya adalah berbentuk FMCG yang didirikan oleh Arfan Alandra pada tahun 2018.

Jejak.in memiliki misi untuk menginisiasi aksi iklim melalui solusi berbasis AI dan IoT. Salah satu produk andalan mereka adalah Tree and Carbon Storage Monitoring Platform, sebuah platform yang memanfaatkan teknologi seluler, drone, sensor IoT, LiDAR, dan satelit untuk mengumpulkan dan menganalisis data ekologi lingkungan. 

Jejak.in ini sangat bagus untuk dimanfaatkan dengan baik karena dengan adanya aplikasi ini masyarakat mampu mengetahui perkembangan climate change serta emisi karbon dengan real time.

Selain itu, ada fitur lain yang berfungsi untuk mengukur dampak penyerapan karbon, infiltrasi udara, kondisi tanah dan udara, serta keanekaragaman hayati.

Nafas

Didirikan oleh Ex-CMO Gojek Piotr Jakubowski dan Zulu Nathan Roestandy pada tahun 2018. Startup climate change yang satu ini memiliki perbedaan dibandingkan dengan startup climate change yang lain. Nafas bisa menghadirkan kondisi dan situasi iklim serta kadar emisi karbon yang tepat secara real time dan akurasinyas sangat jitu.

Nafas sudah memasang 46 sensor yang tersebar di Jabodetabek. Sensor mereka dapat memperbarui data kualitas udara setiap 20 menit. Adapun data yang disajikan dalam aplikasi nafas berupa kadar Air Quality Index (AQI) dan Particulate Matter (PM) 2,5. Mereka juga kini menjual produk pembersih udara Aria.

OCTOPUS

Octopus adalah  platform agregator yang bisa dimanfaatkan oleh industri terkait untuk mendapatkan sampah daur ulang dari pemulung dan pengepul. Layanan ini telah memulai operasionalnya di kota lapis 2 dan 3.

Octopus didirikan pada tahun 2020 oleh Dimas Ario Rubianto, Hamish Daud Wyllie, Niko Adi Nugroho, Moehammad Ichsan. Octopus juga sudah melayani ampir 200 ribu pengguna yang tersebar di lima kota besar di Indonesia, yaitu Jakarta, Tangerang Selatan, Bandung, Bali, dan Makassar. OCTOPUS juga telah bekerja sama dengan lebih dari 1.700 bank sampah dan 14.600 pemulung terlatih dan terverifikasi (mereka menyebutnya dengan “pelestari”).

Saat ini Octopus telah mendalami fokus bisnisnya untuk mengembangkan hal tersebut. Salah satunya melakukan membukukan pendanaan awal dari Openspace Ventures.

Plumelabs

Plume Labs, sebuah startup yang khusus untuk mengukur kualitas udara, baru-baru ini meluncurkan API Plume.io berbayar yang memungkinkan siapa saja untuk menambahkan kualitas udara ke layanan pembeli API mereka. Sebelumnya Plume Labs telah mengembangkan aplikasi mobile dan pengukur kualitas udara.

Plume Labs sendiri didirikan oleh Romain Lacombe pada tahun 2021. Pastinya Plume Labs ini akan menahadirkan startup climate change yang berbeda dengan yang lainnya. 

Rekosistem

Startup Zero Waste Management ini didirikan pada tahun 2018 oleh Ernest Layman dan Joshua Valentin. Rekosistem sendiri tumbuh dan berkembang menjadi perusahaan Zero Waste Management terkemuka dan termutakhir.

Produk dan layanan dari Rekosistem ini cukup banyak model bisnisnya sangat luas di B2B serta B2C dan layanan dan produk rekosistem ini komperhensif seperti edukasi pengelolaan sampah, Mengirim dan menerima sampah agar mudah diolah serta energi terbaharukan seperti Biogas dan sebagainya.

Produk utama yang ditawarkan Rekosistem antara lain Layanan Penjemputan (Repickup Service) dan Penyetoran Sampah ke Tempat Sampah (Redrop Service). Layanan penjemputan ulang meliputi layanan pengumpulan dan penjemputan sampah untuk rumah tangga atau perumahan, bisnis, perkantoran, sekolah, fasilitas umum, fasilitas olahraga, dan tempat komersial.

Rekosistem juga mendapatkan pendanaan dari  Bali Investment Club dan menjalin kerja sama strategis dengan Marubeni. Hal ini digunakan untuk melakukan eskpansi bisnis ke ranah yang lebih meluas lagi.

Sampangan

Salah satu startup waste management selanjutnya adalah Sampangan. Startup yang satu ini didirikan oleh Muhammad Fauzal Rizki (CEO) dengan Hana Punawarman (CPO) pada tahun 2019. Startup ini membantu para pengepul untuk mengelolaan sampah agar lebih berguna.

SamPangan ini memiliki magic box yaitu Carbonized Technlogy untuk pengolahan sampah menjadi sesuatu yang berharga, yaitu mengubah sampah menjadi karbon secara berkala.

Carbonized Technology ini merupakan kombinasi proses Pyrolis dan Gasifikasi. Ini adalah proses penguraian materi menggunakan radiasi panas tanpa adanya oksigen (sehingga tidak ada pembakaran dan tidak ada polusi).

Magic Box ini beroperasi pada 100-400 derajat celcius dibandingkan dengan 700 dan 1200 derajat celcius untuk masing-masing diproses secara tradisional. Sumber energi adalah input limbah yang energi potensialnya diubah menjadi energi panas dalam prosesnya.

Secara sederhana konsepnya mirip dengan rice cooker atau oven. Tidak ada api. Hanya radiasi panas. Limbah masuk, karbon aktif + produk organik dan aman lainnya keluar.

Jadi secara tidak langsung sampang juga dapat mempengaruhi dan memperbaiki kualitas udara melalui pembakaran sampah dan limbah.

Waste4Change

Waste4Change adalah perusahaan pengelola sampah yang bertanggung jawab yang didirikan oleh Mohamad Bijaksana Junerosano pada tahun 2014 di Bekasi, Jawa Barat.

Waste4Change memberikan solusi pengelolaan sampah dari hulu hingga hilir yang terdiri dari 4 jalur, yaitu: Konsultasi : Penelitian dan kajian terkait persampahan Kampanye : Peningkatan kapasitas, edukasi, dan pendampingan Kumpulkan : Pengangkutan dan pengolahan sampah harian untuk zero waste to landfill Create : Daur ulang sampah dan program EPR (Extended Producer Responsibility).

Hingga saat ini, Waste4Change telah berhasil mengelola 5.400 ton sampah dan mengurangi 52% sampah yang berakhir di TPA. Saat ini, layanan pengelolaan sampah Waste4Change mencakup wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Surabaya, Sidoarjo, Semarang, Bandung, dan Medan.

Zerowaste

Zero Waste Indonesia (ZWID) adalah komunitas berbasis online yang didirikan pada tahun 2018 oleh Maurilla Imron dan Kirana Agustina dengan tujuan mengajak masyarakat Indonesia untuk menjalani gaya hidup zero waste. Zero Waste Lifestyle merupakan gaya hidup untuk meminimalkan produksi sampah yang dihasilkan dari setiap individu yang akan berakhir di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) dalam upaya melestarikan lingkungan.

ZWID berperan aktif untuk terus menyebarkan kesadaran penerapan pola pikir bijak dalam pengelolaan sampah dengan menerapkan 6R (Rethink, Refuse, Reduce, Reuse, Recycle, dan Rot) dengan memberikan tips gaya zero waste yang bermanfaat dan informasi isu-isu pengelolaan sampah. dan kaitannya dengan kelestarian lingkungan.

Mengusung visi sebagai one-stop-solution platform dan payung informasi gaya hidup minim sampah di nusantara, ZWID juga menjadi wadah berkumpulnya individu, penggiat lingkungan, komunitas, dan semua pihak yang peduli terhadap kelestarian lingkungan.

The Momentum of Green Business Startup

Blue skies, fresher air, cooking back to the kitchen, exercising are just some of the signs that many people have experienced since the pandemic. Even though the situation is getting flexible as there have been relaxation in many sectors, a figure pops out that there is an awareness to start living a healthy life.

The opportunity arises for environmental enterprises to be recognized. Although there are not many startups practicing green or environmental, social and governance (ESG) approach, Managing Director of Angel Investor Network Indonesia (ANGIN), David Soukhasing said, there is currently a positive trend of having impactful businesses in the ecosystem. Impact investment has also emerged, which has been discussed in the DSInnovate report on Indonesian agritech.

Most of them are there to support entrepreneurship, providing more specific support for certain groups of social entrepreneurs, for example an energy focus accelerator program, an accelerator program waste management focus, or entrepreneurial support that focuses on a specific geographic area.

For Soukhasing, this factor was able to measure Indonesia’s readiness for impact investment. Indonesia needs a comprehensive ecosystem to be ready to welcome impact investors. Not only capital, basically a strong pipeline from companies/startups is necessary.

“A measure of maturity is the overall value of diversity in capital, diversity of investors, different stages, different types of money, and all supporting functions. In terms of supporting functions, such as incubators, accelerators, co-working spaces, Indonesia is actually quite developed. There are quite a lot of pipeline networks and investors here,” Soukhasing explained to DailySocial.

He continued, “However, we need more action, capital diversity is required to really talk about a mature ecosystem. Another aspect of maturity is the policy, how regulations are developed to have an impact on investment and entrepreneurship, and this is still lacking in Indonesia.”

Based on ANGIN’s report entitled Investing in Impact in Indonesia, in 2013, the concept of impact investing was quite rare in Indonesia. However, it is getting more familiar as some VCs has created special funds to invest in impact business.

There are several impact investors have invested in Indonesia, both local and foreign players. Some already have a representative team in Indonesia. It has reached 66 investors, including 61 from foreign funds and the five remaining from Indonesia.

Meanwhile, the mainstream investors that have disbursed its funds to impactful sectors will continue to increase, nearly two times as many as 107 investors. It includes 32 local investors and 75 investors from abroad.

Each impact investor actually has different focuses. ANGIN thematically recorded, there are 10 types of respective focus for impactful businesses, divided into financial inclusion, forestry, clean energy, poverty, gender lens, circular economy, fisheries, climate, agriculture, and the media. Each reflects the opportunities and challenges in Indonesia.

What the global non-profit organization New Energy Nexus has done may be a concrete example in the field. They know that the potential for renewable energy has not been fully explored in Indonesia, provoking them to be present in Indonesia since 2018 through the routinely held incubation and acceleration programs and hackhaton.

To date, New Energy Nexus has completed seven batches of incubation and acceleration programs, and guided more than 40 renewable startups in honing their business and innovation strategies. “We not only provide capacity building support but also provide funding to provide overall support,” New Energy Nexus Indonesia’s Program Director, Diyanto Imam said.

Total grants has reach IDR650 million until March 2021, while convertible notes funding has reached IDR 3.5 billion. One of its portfolios is PT Bina Usaha Lintas Ekonomi (BLUE), a renewable energy startup that provides a Warung Energi marketplace and B2B solar energy solutions for commercial, industrial, and centralized.

It’s different with philantrophy

Soukhasing explained that the basic similarity between philanthropy and impact investing is that both have “impact intention” and “impact measurement”. However, we can distinguish them based on two factors, priorities and expectations of financial returns.

Philanthropy has clear social and environmental objectives, placing investments that are given as grants and not to expect returns. Unlike philanthropy, impact investors prioritize impact and profit.

Thus, impact investors expect financial returns. However, there are investors adopting a second approach called venture philanthropy.

This hybrid approach takes the best of both ways. The gain is the creation of a social impact and an expected financial return. Impact investors value opportunities differently from philanthropists. “It is important to note that not every impact (which is often discussed by philanthropists) is always suitable for impact investing and vice versa.”

Monetization strategy and challenges of impact business

Interestingly, many impact businesses have currently positioned its businesses as startups, aka using a technological approach to reach their target users, monetize, and accept investments from third parties.

One example is Siklus, which focuses on reducing plastic waste. Siklus provides a mobile refill post for shampoo, detergent, and floor cleaning fluid. One jerry can of shampoo brought by the officers is claimed to save the cost of making 2,500 sachets. Consumers can buy few or many refills at a lower price.

The business model Siklus uses is B2C because they do capital expenditures and require a number of orders per station which is difficult to do when using B2B2C.

“Our selling point is that we offer cheaper price and deliver to consumers’ places, suitable for price sensitive customers. However, we also see that there is a growing consumer segment that cares about sustainability,” Siklus’ Founder and CEO, Jane von Rabenau said.

The same focus, but with a different approach, was used by Rekosistem. They focus on recycling inorganic waste by creating a collection point or approaching consumers with a logistics fleet provided and ordered through the application.

Any inorganic waste received will be reprocessed into recycled materials, energy, and environmentally friendly building materials. Meanwhile, organic waste is processed using a biodigester into liquid fertilizer and biogas which will be given to consumers.

In other sectors, nafas focuses on providing air quality data through applications. The Indonesian people awareness about the pros and cons of air quality has not become a common topic for many people’s daily lives. Currently, apart from the application, nafas is exploring a smart home based air purifier product called aria. Nafas’ Co-Founder & CEO, Nathan Roestandy explained, the biggest challenge for startups like nafas, apart from increasing awareness in the market, is access to good quality factories for ease of the manufacturing process.

“Manufacturing in Indonesia is still dominated by large electronics brands that are capable of setting up large factories. Resources [that big] are not accessible to startups. However, we have the experience to build a supply chain to overcome this,” Nathan said.

Aria is indeed no different from the products of other brands. Nathan claims, aria has a sensor connected to nafas for the most up-to-date indoor air quality monitor. These are the advantages offered to the market.

Soukhasing added that the challenges of impacts business  is quite vary and is not apple-to-apple with other types of businesses. He gave an example that the green energy sector has its own characteristics and stakeholder profiles that cannot be compared with other types of startups.

Talking about “attractiveness” also has a different meaning, as green energy startups also comprise multiple verticals – whether they work with urban households/settlements, rural residents, or B2B companies.

“Therefore, we’d say we can’t measure green energy startups using the same success metrics we usually have for a typical startup. This will bring another context to the problems faced by green energy startups, including finding the right investors and support systems who understand their sector well.”

Most investors who are unfamiliar with green energy startups may perceive their business model to be capital heavy (high capital expenditure), require a longer timeframe, and require more effort to penetrate and educate a market that is more familiar with existing solutions (e.g. energy-based fossil). Therefore, startups have a lot of homework to “educate” customers and investors, supported by programs or other ecosystem actors.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Momentum Startup Hijau Naik Panggung

Langit biru, udara yang lebih segar, kembali memasak di dapur, kembali berolahraga adalah sekian pertanda yang dialami banyak orang sejak pandemi. Meski sekarang kondisi tersebut tidak sepenuhnya valid karena sudah ada pelonggaran di banyak sektor, namun ada gambaran bahwa timbul kesadaran untuk mulai hidup sehat.

Muncul kesempatan bagi usaha-usaha yang peduli pada lingkungan dikenali banyak orang. Meski jumlah startup yang memakai pendekatan hijau atau environmental, social, and governance (ESG) masih terbatas, menurut Managing Director Angel Investor Network Indonesia (ANGIN) David Soukhasing, saat ini terjadi tren positif kehadiran usaha berdampak di ekosistem. Investasi berdampak (impact investment) pun bermunculan, sebagaimana yang juga dibahas di laporan DSInnovate tentang agritech di Indonesia.

Mayoritas mereka hadir untuk mendukung kewirausahaan, memberikan dukungan yang lebih spesifik untuk kelompok wirausaha sosial tertentu, misalnya program akselerator fokus energi, fokus pengelolaan limbah program akselerator, atau dukungan wirausaha yang berfokus pada area geografis tertentu.

Bagi Soukhasing, faktor tersebut mampu mengukur kesiapan Indonesia terhadap investasi berdampak. Indonesia butuh ekosistem menyeluruh untuk siap menyambut investor berdampak. Tidak hanya permodalan, pada dasarnya dibutuhkan pipeline yang kuat dari perusahaan/startup.

“Salah satu ukuran kematangan adalah keseluruhan nilai keanekaragaman permodalan, keragaman investor, tahapan yang berbeda, jenis uang yang berbeda, dan semua fungsi pendukung. Dari segi fungsi pendukung, seperti inkubator, akselerator, co-working space, Indonesia sebenarnya cukup berkembang. Ada cukup banyak jaringan pipeline dan investor ada di sini,” terang Soukhasing kepada DailySocial.

Ia melanjutkan, “Namun kita perlu lebih banyak tindakan, keragaman permodalan diperlukan untuk benar-benar berbicara tentang ekosistem yang matang. Aspek kedewasaan lainnya adalah aspek kebijakan, bagaimana regulasi dikembangkan untuk berdampak pada investasi dan kewirausahaan, dan hal ini masih kurang di Indonesia.”

Menurut laporan ANGIN bertajuk Investing in Impact in Indonesia, pada tahun 2013 konsep investasi berdampak masih sangat jarang di Indonesia. Namun sekarang makin familiar karena mulai ada VC yang membuat fund khusus untuk investasi di sektor berdampak.

Ada sejumlah investor berdampak yang telah berinvestasi di Indonesia, baik itu pemain lokal dan asing. Beberapa telah memiliki tim representatif di Indonesia. Totalnya mencapai 66 investor, dengan rincian 61 dari fund luar negeri dan lima sisanya dari Indonesia.

Sementara itu, investor mainstream yang telah mengucurkan sejumlah dananya untuk sektor berdampak jumlahnya jauh lebih banyak, hampir dua kali lipatnya sebanyak 107 investor. Dengan rincian 32 investor lokal dan 75 investor dari luar negeri.

Fokus dari tiap investor berdampak juga berbeda. ANGIN mencatat secara tematik, ada 10 jenis usaha berdampak yang menjadi fokus masing-masing, terbagi menjadi inklusi keuangan, kehutanan, energi bersih, kemiskinan, gender lens, circular economy, perikanan, iklim, agrikultur, dan media. Masing-masing tema ini mencerminkan peluang dan tantangan di Indonesia.

Apa yang dilakukan lembaga non-profit global New Energy Nexus mungkin bisa menjadi contoh konkret di lapangan. Mereka tahu potensi energi terbarukan belum tergali dengan maksimal di Indonesia, memancing mereka untuk hadir di Indonesia sejak 2018 melalui program inkubasi dan akselerasi dan hackhaton yang rutin diadakan.

Sampai saat ini, New Energy Nexus sudah menyelesaikan tujuh angkatan program inkubasi dan akselerasi, serta membimbing lebih dari 40 startup terbarukan dalam mengasah strategi bisnis dan inovasi mereka. “Kami tidak hanya berikan dukungan capacity building tapi juga ada pendanaan untuk memberikan dukungan secara menyeluruh,” ucap Program Director New Energy Nexus Indonesia Diyanto Imam.

Total hibah yang telah diberikan mencapai Rp650 juta sampai Maret 2021, sementara pendanaan berbentuk convertible notes mencapai Rp3,5 miliar. Salah satu portofolionya adalah PT Bina Usaha Lintas Ekonomi (BLUE), startup energi terbarukan yang menyediakan marketplace Warung Energi dan solusi B2B energi surya untuk komersial, industrial, maupun tersentralisasi.

Berbeda dengan filantropi

Soukhasing menerangkan, persamaan mendasar antara filantropi dan investasi berdampak adalah keduanya sama-sama memiliki “niat dampak (impact intention)” dan “pengukuran dampak (impact measurement)”. Namun kita dapat membedakannya berdasarkan dua faktor, yaitu prioritas dan ekspektasi keuntungan finansial.

Filantropi jelas memiliki tujuan sosial dan lingkungan, menempatkan investasi yang diberikan sebagai hibah sehingga tidak mengharap imbal hasil. Tidak seperti filantropi, investor berdampak memprioritaskan dampak dan keuntungan.

Dengan demikian, investor berdampak mengharapkan keuntungan finansial. Akan tetapi, ada investor yang mengadopsi pendekatan keduanya yang disebut venture philanthropy.

Pendekatan hibrida ini mengambil sisi terbaik dari kedua sisi. Keuntungan yang didapat adalah penciptaan dampak sosial dan ekspektasi keuntungan finansial. Investor dampak menilai peluang dengan cara yang berbeda dari filantropis. “Penting untuk diperhatikan bahwa tidak setiap dampak (yang sering dibahas oleh para filantropis) selalu cocok untuk investasi berdampak dan sebaliknya.”

Cara monetisasi dan tantangan usaha berdampak

Menariknya, saat ini usaha berdampak banyak yang menempatkan diri sebagai startup, alias memanfaatkan pendekatan teknologi untuk menjangkau para target penggunanya, melakukan monetisasi, dan menerima investasi dari pihak ketiga.

Salah satu contohnya adalah Siklus yang fokus mengurangi sampah plastik. Siklus menyediakan pos pengisian isi ulang mobile untuk sampo, deterjen, hingga cairan pembersih lantai. Satu jerigen sampo yang dibawa petugas diklaim mampu menghemat biaya pembuatan sebanyak 2.500 sachet. Konsumen dapat membeli sedikit atau banyak isi ulang dengan harga lebih murah.

Model bisnis yang dimanfaatkan Siklus adalah B2C karena mereka melakukan belanja modal dan membutuhkan sejumlah pesanan per stasiun yang sulit dilakukan jika memakai B2B2C.

“Nilai jual kami adalah bahwa kami lebih murah dan mengirimkan ke rumah konsumen, cocok untuk mereka yang sensitif terhadap harga. Namun, kami juga melihat bahwa ada segmen konsumen yang terus bertumbuh yang peduli dengan keberlanjutan,” terang Founder dan CEO Siklus Jane von Rabenau.

Fokus yang sama, tapi dengan pendekatan yang berbeda, diambil Rekosistem. Mereka fokus pada daur ulang sampah anorganik dengan membuat titik penampungan atau menghampiri konsumen dengan armada logistik yang disediakan dipesan melalui aplikasi.

Setiap sampah anorganik yang diterima akan diproses kembali menjadi material daur ulang, energi, dan material bahan bangunan ramah lingkungan. Sementara sampah organik diolah menggunakan biodigester menjadi pupuk cair dan biogas yang akan diberikan kepada konsumen.

Di sektor lainnya ada nafas yang fokus menyediakan data kualitas udara lewat aplikasi. Kesadaran masyarakat Indonesia terhadap baik buruknya kualitas udara belum menjadi topik umum bagi keseharian banyak orang. Kini selain bermain di bidang aplikasi, nafas merambah produk air purifier berbasis smart home bernama aria. Co-Founder & CEO nafas Nathan Roestandy menerangkan, tantangan terbesar bagi startup seperti nafas, selain meningkatkan awareness di pasar, adalah akses untuk mendapat pabrik berkualitas baik untuk kemudahan proses manufakturnya.

“Manufaktur di Indonesia masih didominasi brand elektronik besar yang mampu setup pabrik besar. Resources [sebesar itu] itu tidak accessible bagi startup. Akan tetapi kami punya pengalaman untuk bangun supply chain buat mengatasi hal tersebut,” kata Nathan.

Produk aria memang secara kasat mata tidak berbeda dengan produk keluaran brand lain. Nathan mengklaim, aria memiliki sensor terhubung dengan nafas untuk monitor kualitas udara di dalam ruangan yang paling aktual. Kelebihan tersebut yang ditawarkan ke pasar.

Soukhasing menambahkan, tantangan usaha berdampak cukup beragam dan tidak bisa dibandingkan secara apple-to-apple dengan jenis usaha lainnya. Ia mencontohkan sektor green energy memiliki karakteristik dan profil pemangku kepentingannya sendiri yang tidak dapat dibandingkan dengan jenis startup lainnya.

Membahas tentang “daya tarik” juga memiliki arti yang berbeda, karena startup energi hijau juga terdiri dari berbagai vertikal — apakah mereka bekerja dengan rumah tangga / pemukiman perkotaan, penduduk pedesaan, atau perusahaan B2B.

“Jadi, kami akan mengatakan bahwa kami tidak dapat mengukur startup energi hijau dengan metrik kesuksesan yang sama yang biasanya kami miliki untuk startup biasa. Sebab ini akan membawa konteks lain untuk masalah yang dihadapi oleh para startup energi hijau, yaitu menemukan investor yang tepat dan sistem pendukung yang memahami sektor mereka dengan baik.”

Sebagian besar investor yang tidak mengenal startup energi hijau mungkin menganggap model bisnisnya adalah modal berat (belanja modal tinggi), membutuhkan jangka waktu yang lebih lama, dan membutuhkan lebih banyak upaya untuk menembus dan mendidik pasar yang lebih akrab dengan solusi yang ada (misalnya energi berbasis fosil). Oleh karena itu, startup memiliki pekerjaan rumah “mengedukasi” pelanggan maupun investor, dengan didukung program atau pelaku ekosistem lainnya.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Optimisme nafas Rambah Produk Air Purifier “aria”

Baik buruknya kualitas udara akibat polusi dan hal-hal eksternal lainnya, belum menjadi topik umum bagi sebagian besar orang Indonesia. Perjalanan dalam meningkatkan kesadaran ini masih begitu panjang, yang sekarang dititahkan kepada nafas, sebagai aplikasi penyedia data kualitas udara.

Sementara itu di sisi yang lain, dibutuhkan solusi sebagai aksi nyata untuk meningkatkan kualitas udara di sekitar. nafas pun merambah produk air purifier berbasis smart home dinamai “aria” yang sudah dibeli secara online di platform marketplace.

Kepada DailySocial, Co-Founder & CEO nafas Nathan Roestandy menjelaskan bahwa aria menjadi tindakan langsung terhadap peningkatan kualitas udara. Meski segmen ini sudah dihuni oleh banyak merek elektronik multinasional, aria cukup percaya diri dapat bersaing di lapangan karena memiliki proposisi yang unik.

Selama ini produk yang ada di pasaran belum memberikan pengalaman pengguna maksimal karena tidak memberikan umpan balik dari data-data kualitas udara yang ditarik dari ruangan pengguna. Pertanyaan-pertanyaan seperti, apakah air purifier tersebut apakah mampu meningkatkan kualitas udara di sekitar atau tidak, belum mampu dijawab oleh perangkat yang ada saat ini.

Sementara, aria memiliki sensor terhubung dengan nafas yang dapat dimanfaatkan untuk monitor kualitas udara di dalam ruangan adalah yang paling aktual. Sensor kualitas udara mendefinisikan AQI dan kadar PM2.5 yang dapat menjadi panduan aman buat aktivitas pengguna setiap hari.

“Secara product journey, kita bangun nafas dulu baru kurang lebih setahun kemudian aria kami rintis. Sebagian proses manufakturnya kami lakukan di Indonesia dan ada di luar negeri,” terang Nathan.

Aria memiliki dua produk, yakni AirTest untuk memonitor kualitas udara dan memastikan data kualitas udara di dalam ruangan adalah yang paling aktual karena terhubung dengan aplikasi nafas. Lalu, Pure40 yang mampu membersihkan polusi udara di ruangan dengan jangkauan 40 meter persegi (terluas di kategorinya). Pengguna dapat mengatur waktu kapan Pure40 akan dinyalakan serta dimatikan, atur hari dan juga kecepatan yang diinginkan untuk mendapatkan AQI melalui aplikasi nafas.

Kompetisi di pasar

Dalam menciptakan skala ekonomi, terjadi dilema bagi skala startup untuk bersaing dengan korporasi besar, agar dapat bersaing dari segi harga yang lebih terjangkau untuk konsumen. Oleh karenanya, meski saat ini harga aria terhitung lebih di atas harga pasaran, namun ada proposisi lainnya yang ditawarkan ke konsumen.

Nathan menjelaskan, nafas mengedepankan pengalaman akses data kualitas udara kepada lebih banyak pengguna. Ke depannya, perusahaan akan perbanyak lokasi sensor nafas ke kota-kota besar, seperti Bandung, Semarang, dan Medan dari posisi saat ini lebih dari 100 sensor tersebar di Jabodetabek dan Yogyakarta.

Peletakan sensor tersebut ke depannya juga tidak hanya di lokasi privat saja, juga akan masuk ke lokasi publik yang lebih terbuka. Dengan demikian, semakin banyak sensor yang tersebar, maka akan akurat data kualitas udara yang didapat. Lebih banyak pula inisiatif berikutnya yang dapat dilakukan berbekal data tersebut.

Salah satunya adalah lebih intensifnya interaksi antara kualitas udara di indoor dan outdoor dalam membaca kualitas udara. Pasalnya, buruknya kualitas udara terbesar datang dari luar ruangan. “Dengan nafas kita bisa coverage interaksi tersebut dengan analisa-analisa yang bisa lebih berguna untuk pengguna.”

Produksi aria juga ditargetkan lebih masif agar perusahaan dapat menciptakan skala ekonomis, sehingga lebih banyak orang yang mendapat akses dan awareness terhadap kualitas udara kian meningkat. “Tentunya kami ada rencana mengembangkan aria menjadi lebih mass karena dalam skala ekonomi pricing yang lebih ekonomis itu bisa didapat dari produksi skala besar. Itu salah satu dilema dari startup di bidang consumer electronic di awalnya bersaing dari segi harga.”

Meski enggan merinci, Nathan menerangkan saat ini nafas telah mengantongi investasi untuk pengembangan berikutnya dari sejumlah investor yang fokus pada ekonomi berkelanjutan.

Application Information Will Show Up Here

The Future of Impact Investment in Indonesia

How many startups and investors in Indonesia are using an environmental, social, and governance (ESG) approach or better known as impact investment in running their business? The answer is indeed limited. There are many factors to cause this. However, the digital economic entities are recently paying attention to this aspect.

In fact, Indonesia is not as mature as developed countries with regulations that “force” more players to make impactful investments. Apart from the current digital ecosystem which is yet to mature, there are a number of factors that hold the rise of impactful investment.

Piotr Jakubowski founded nafas with a focus on raising public awareness of the importance of clean air. Nafas allows an individual or corporation to participate as a sponsor in providing air quality sensors.

What becomes a challenge, says Piotr, is that often environmental impact initiatives such as the one he built through nafas are associated with company’s charity or CSR program. It is yet to be the main objective of an entity.

“The future of this category is clear. Science has confirmed the urgency of a number of environmental issues that can result in the growth of a for-profit business model that will focus on avoiding harm to our planet,” Piotr explained.

Crowde also nurtured the importance of green business. Head of Impact Investment, Afifa Urfani said that the urgency of holding the value of sustainability is not only for the purposes of company branding which is temporary but also for long-term interests.

Afifa takes an example of how Crowde, which focuses on credit in the agricultural sector, also implements reasonable restrictions on the use of chemicals, analyzes the impact of climate change on agriculture, mitigates risks related to climate change, such as the impact of prolonged drought on capital, and the formation of green scoring to assess the capital of a sustainable plan.

“For example, we invest a certain amount of money for a conventional business. Indeed, the income will be large and quite instant, but investing in a sustainable business looks heavy in the future, it can get low maintenance costs afterward,” Afifa said.

From an investor’s point of view, belief in the importance of impact investing can determine the sustainability of a company both resource and financially. This is held what ANGIN believes in.

ANGIN’s Impact Investment Lead, Benedikta Atika, noticed that impact investment growth in Indonesia maybe around 5-10 years behind other countries with more mature markets, however, there’s still some space for impact investment to grow in Indonesia.

In the early stages of private investment, Atika sees that many digital economy players in the country are starting to look at the environmental impact on the business they are in. The growth of the sustainable agricultural sector, waste management, and circular economy represent a positive movement of impactful investment.

“Apart from that, we also observed that several VCs who previously did not pay special attention to environmental impacts are now starting to have exposure, either having a special team related to impact investment or ESG (Environment, Social, and Governance) investment. They even launching a new fund for this approach,” Atika added.

Bagan di laporan ANGIN yang menemukan investasi berdampak di Indonesia makin bergairah setiap tahun.
ANGIN’s report shows that impact investing in Indonesia gets more excited every year.

Overall awareness

Even though it is called impact investment, the awareness of its importance must start from the business players. Crowde and nafas represent this by implementing sustainability values ​​into its business model.

Atika said, aligning perceptions of investment opportunities with the business entity’s mission of sustainability is a challenge. Based on the Investing in Impact in Indonesia 2020 report, there is indeed a gap in the perceptions of the two parties. One is very focused on how big the impact of the solution they can provide, the other prioritizes the scalability of solutions that can reach a wider market in the hope of bringing greater financial benefits.

Atika believes, as long as the business model and strategy to be implemented by startups are sustainable, investors’ trust will follow.

“In fact, commitment to the environment must come from the startup and be embedded in its business model, not as a “mandate” from investors. This commitment will then be reflected in the business strategy and implementation,” Atika said.

Crowde has applied that. They have won the trust of a number of investors. Trusts earned because their entire team has equal awareness of the importance of the impact of their business on the agricultural environment

Crowde is one of the few startups that has compiled an environmental impact report on the business they run. The distribution of knowledge and awareness is not only held by company officials, but also by all employees.

“For example, the approval of a draft budget for farmers’ costs for capital by using certain chemicals that have passed the dose will not reach the CEO’s ears. It takes awareness not only from agents in the field but also from supervisors at HQ,” Afifa added.

Pandemic accelerates process

The market’s flavor can determine investment appetite. Shifts in community behavior will affect business people in sustainable issues. We can take an example of the increasing public enthusiasm for clean energy products which is finally captured by new energy startups. However, it usually takes a long time to shift human behavior into a new habit.

Pandemic accelerates this process. Piotr said public awareness of clean air began to increase rapidly since the Covid-19 outbreak took place. A study from Harvard University showed there was a higher death rate from Covid-19 in areas with more concentrated PM2.5 pollution.

Afifa also sees the same thing in the agricultural sector. When the pandemic hits the global economy, investment in the food sector comes into the spotlight. Increasing productivity has always been the main focus of the food sector, almost without intersect on the sustainable aspect. In fact, Afifa mentioned, there are quite a lot of incentives from the government and the private sector to encourage investment in startups that hold sustainable issues as stated in the SDGs.

“Before the pandemic, investment in the agricultural sector was considered a ‘futuristic’ concept for future generations – which is clearly a misconception. However, with a huge hit during the pandemic, finally, investment in the food sector has become the main focus for economic growth, not just inclusively but massively,” Afifa said.

Growing awareness in the digital economy ecosystem also requires a long-term approach. Atika noticed that people often only rely on financial reports as a reference for operating expenses. Whereas health, welfare, and access can also be counted as non-financial burdens.

These indicators should be used to measure whether their business can contribute better to their environment. In addition, pursuing sustainability values, according to him, can still go hand in hand with the financial targets of a business entity.

“Again, reflecting on the mission and vision of the organization about what approach is the most feasible to do, both in terms of solutions, value chains, and business processes,” Atika said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Masa Depan “Impact Investment” di Indonesia

Ada berapa banyak startup dan investor di Indonesia yang memakai pendekatan lingkungan, social, dan governance (ESG) atau investasi berdampak (impact investment) dalam menjalankan bisnisnya? Jawabannya tentu belum banyak. Ada banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut. Meskipun demikian, belakangan ini keberadaan entitas ekonomi digital yang memerhatikan aspek itu mulai bermunculan.

Tentu keadaan di Indonesia belum sejauh negara-negara maju yang sudah memiliki regulasi yang “memaksa” lebih banyak pemain membuat investasi berdampak. Selain ekosistem digital di sini yang masih di tahap awal, ada sejumlah faktor yang membuat investasi berdampak masih terbatas.

Piotr Jakubowski mendirikan nafas dengan fokus mengangkat kesadaran masyarakat akan pentingnya udara bersih. nafas memungkinkan individu atau korporasi berpartisipasi sebagai sponsor dalam menyediakan sensor kualitas udara.

Yang jadi tantangan, menurut Piotr, adalah seringkali inisiatif berdampak lingkungan seperti yang ia bangun lewat nafas diasosiasikan sebagai program amal atau CSR suatu perusahaan. Belum sebagai tujuan utama suatu entitas.

“Masa depan kategori ini jelas. Sains sudah memastikan gentingnya sejumlah isu lingkungan yang dapat berakibat pada tumbuhnya model bisnis berorientasi profit yang akan fokus pada menghindari kerusakan terhadap planet kita,” jelas Piotr.

Pentingnya bisnis berwawasan lingkungan juga dipelihara Crowde. Head of Impact Investment Afifa Urfani mengungkapkan, urgensi memegang nilai keberlanjutan tak hanya untuk keperluan branding perusahaan yang sifatnya sesaat, tapi juga untuk kepentingan jangka panjang.

Afifa mencontohkan bagaimana Crowde yang fokus pada kredit sektor pertanian turut melakukan pembatasan secara wajar terhadap pemakaian bahan kimia, analisis dampak perubahan iklim terhadap pertanian, mitigasi risiko terkait perubahan iklim seperti dampak kekeringan berkepanjangan terhadap permodalan, hingga pembentukan green scoring untuk menilai suatu permodalan dari rencana yang berkelanjutan.

“Semisal kita investasikan sejumlah uang untuk bisnis konvensional. Memang pendapatannya akan besar dan hampir selalu instan, tapi investasi pada bisnis berkelanjutan terlihat berat di depan justru dapat memperoleh biaya maintenance yang rendah setelahnya,” ungkap Afifa.

Dari sudut pandang investor, kepercayaan akan pentingnya investasi berdampak dapat menentukan keberlanjutan suatu perusahaan secara sumber daya maupun finansial. Kepercayaan ini dipegang oleh ANGIN.

Benedikta Atika, Impact Investment Lead ANGIN, mengakui pertumbuhan investasi berdampak di Indonesia mungkin tertinggal sekitar 5-10 tahun dari negara-negara dengan pasar yang lebih matang. Namun, karena hal itu pula, tampak ruang pertumbuhan bagi investasi berdampak sangat besar di Indonesia.

Di cakupan private investment tahap awal, Atika melihat mulai banyak pelaku ekonomi digital di Tanah Air yang mulai melirik dampak lingkungan terhadap bisnis yang mereka jalani. Tumbuhnya sektor agrikultur berkelanjutan, pengelolaan limbah, ekonomi sirkular, menjadi representasi pergerakan positif investasi berdampak.

“Selain itu, kami juga mengobservasi beberapa VC yang sebelumnya tidak khusus memperhatikan dampak lingkungan, sekarang mulai memiliki exposure antara dengan memiliki team khusus terkait impact investment atau ESG (Environment, Social, and Governance) investment. Bahkan juga launching fund baru untuk pendekatan ini,” imbuh Atika.

Bagan di laporan ANGIN yang menemukan investasi berdampak di Indonesia makin bergairah setiap tahun.
Bagan di laporan ANGIN yang menemukan investasi berdampak di Indonesia makin bergairah setiap tahun.

Kesadaran menyeluruh

Meskipun bernama investasi berdampak, kesadaran pentingnya hal ini justru harus dimulai dari pelaku bisnisnya. Crowde dan nafas mewakili hal tersebut dengan mengimplementasikan nilai-nilai keberlanjutan ke dalam model bisnisnya.

Menurut Atika, menyelaraskan persepsi tentang peluang investasi dengan misi keberlanjutan dari entitas bisnis merupakan tantangan yang mereka hadapi. Berdasarkan laporan Investing in Impact in Indonesia 2020, memang ada jurang perbedaan persepsi kedua belah pihak. Yang satu sangat memfokuskan seberapa besar dampak dari solusi yang mereka bisa berikan, yang satu lagi lebih memprioritaskan skalabilitas solusi yang bisa menyentuh pasar lebih luas dengan harapan membawa keuntungan finansial lebih besar.

Atika meyakini, selama model bisnis dan strategi yang akan diterapkan oleh startup berwawasan berkelanjutan, kepercayaan dari investor akan datang.

“Justru komitmen terhadap lingkungan harus datang dari startup ini sendiri dan embedded di model bisnisnya, bukan sebagai “mandat” dari investor. Komitmen tersebut kemudian akan tercermin dalam strategi bisnis dan implementasinya,” tukas Atika.

Crowde setidaknya sudah mempraktikkan hal itu. Mereka telah mendapat kepercayaan dari sejumlah investor. Kepercayaan itu diperoleh karena seluruh tim mereka memiliki kesadaran yang setara akan pentingnya dampak usaha mereka terhadap lingkungan pertanian.`

Crowde adalah satu dari sedikit startup yang menyusun laporan dampak lingkungan atas bisnis yang mereka jalankan. Distribusi pengetahuan dan kesadaran pun tak hanya dipegang oleh petinggi perusahaan, tapi juga semua karyawan.

“Seperti penyetujuan rancangan anggaran biaya petani untuk permodalan dengan memakai bahan kimia tertentu yang melewati dosis, tidak akan sampai ke telinga CEO. Butuh kesadaran tidak dari agen di lapangan saja, tapi juga supervisor di HQ,” terang Afifa.

Pandemi mempercepat proses

Selera pasar dapat menentukan selera investasi. Pergeseran perilaku masyarakat akan memengaruhi pelaku bisnis dalam isu berkelanjutan. Kita bisa ambil contoh meningkatnya gairah publik atas produk energi bersih yang akhirnya ditangkap oleh startup new energy. Namun biasanya waktu panjang untuk menggeser perilaku manusia hingga menjadi kebiasaan baru.

Pandemi mempercepat proses ini. Piotr bercerita kesadaran publik akan udara bersih mulai meningkat pesat sejak wabah Covid-19 berlangsung. Sebuah studi dari Universitas Harvard menunjukkan terdapat tingkat kematian lebih tinggi akibat Covid-19 di area dengan polusi PM2,5 lebih pekat.

Afifa juga melihat hal serupa di sektor pertanian. Saat pandemi menghantam ekonomi global, investasi pada sektor pangan tampil sebagai sorotan utama. Peningkatan produktivitas selalu menjadi fokus utama sektor pangan tanpa, nyaris tanpa menyinggung aspek berkelanjutan. Padahal, menurut Afifa, ada cukup banyak insentif dari pemerintah maupun swasta yang mendorong investasi pada startup yang memegang isu berkelanjutan seperti tertuang dalam SDGs.

“Sebelum pandemi, investasi pada sektor pertanian dianggap konsep ‘futuristik’ yang diperuntukkan kepada generasi masa depan — yang mana ini jelas sebuah konsepsi yang salah. Namun dengan pukulan keras selama pandemi, akhirnya investasi pada sektor pangan menjadi sorotan utama untuk kenaikan ekonomi bukan hanya secara inklusif tapi secara masif,” lengkap Afifa.

Menumbuhkan kesadaran di ekosistem ekonomi digital pun butuh pendekatan jangka panjang. Atika menilai orang kerap hanya mengandalkan laporan keuangan sebagai acuan beban usaha. Padahal kesehatan, kesejahteraan, dan akses dapat juga bisa dihitung sebagai beban non-keuangan.

Indikator-indikator inilah yang semestinya bisa dipakai untuk mengukur apakah bisnis mereka dapat barkontribusi lebih baik ke lingkungannya. Tak kalah penting, mengejar nilai-nilai keberlanjutan pun menurutnya tetap bisa berjalan beriringan dengan target finansial suatu entitas bisnis.

“Kembali lagi, berefleksi ke misi dan visi organisasi tentang pendekatan apa yang paling feasible untuk dilakukan, baik dari segi solusi, value chain, maupun proses bisnis,” pungkas Atika.

Introducing nafas, Air Quality Monitoring Application in Jabodetabek

The 2018 Asian Games in Jakarta & Palembang creates a moment of air quality as a talk among citizens and the media on a national scale. The cases of forest and land fires that have occurred several times are also categorized as incidents that have triggered this issue to become a national issue. However, the air quality issue is still insufficient for the daily conversation of the community.

Piotr Jakubowski, former CMO of Gojek, tries to bring this conversation to life through a platform. Together with Nathan Roestandy, he founded “nafas”. Piotr serves as chief growth officer, while Nathan serves as chief executive officer. According to Piotr, Nathan, who was previously known as the founder of Zulu, has been researching this topic since 2016. In short, they both established nafas as a platform to help Jakarta residents and its surroundings in accessing data and educational sources regarding hyperlocal air quality.

Piotr said that this idea originated from the worsening air quality and the lack of local initiatives to describe the situation based on data. It was very bad, DKI Jakarta Governor Anies Baswedan even said that air pollution has cost Rp60 trillion loss.

Therefore, what nafas actually offers to the public? Air quality data is the answer. There are a number of basics according to Piotr that differentiate breath from other air quality platforms. First in terms of accuracy. Nafas uses its own sensors to display captured data instantly and in real-time.

Piotr said, there are several other platforms that collect data from second hand via API or use satellite data only. There are also those whose data recording is not in real-time.

“It can be misleading and not beneficial to users because good data recording yesterday does not mean the current air quality is good either. Breath only displays the latest data,” Piotr said.

Nafas has installed 46 sensors spread across Jabodetabek. Their sensors can update air quality data every 20 minutes. The data presented in the application are levels of Air Quality Index (AQI) and Particulate Matter (PM) 2.5.

The application also displays recommendations of activities according to the latest air conditions. With this number of sensors, Piotr claims nafas as the largest air quality data provider in Jakarta.

Bank Mandiri menjadi salah satu sponsor di nafas.
Bank Mandiri as one of the sponsor

Piotr didn’t say nafas as a non-profit organization. The method they take to run nafas is through a sponsorship program. Specifically, nafas embraces individuals or companies with concern to ESG (environmental, social, governance) to sponsor the installation of censorship. One of the companies already become nafas’ sponsor is Bank Mandiri.

Apart from helping the public to access better air quality data, nafas also offers a number of advantages. One of them is by displaying the sponsor’s logo in the application as part of sponsorship branding.

“In the sponsorship plan, we have some initiatives with partners including branding sponsorship in the application, collaborative marketing activities, and access to more detailed data,” Piotr added.

However, the goal that Piotr and Nathan coveted through nafas faced some challenges. Education to the community is the biggest homework. In fact, bringing the issue of air pollution dangers is like scaring people because the threat is not visible. Also, the resulting consequences shorten a person’s life expectancy by up to 4.8 years.

However, since the pandemic began, Piotr assessed that people’s views on air quality have changed. In addition, nafas intends to work with various types of organizations and individuals to improve education to the Indonesian people about air quality.

“The key to success is educating as many people as possible that bad air quality can affect health and how to reduce exposure to bad air as much as possible,” Piotr said.

Currently, nafas is available in the Greater Jakarta area. Piotr said the plan is yet to expand the scope of his work area because he still wanted to strengthen its presence in Jabodetabek. Nafas is now accessible on the Play Store and AppStore.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Mengenal nafas, Aplikasi Pemantau Kualitas Udara di Jabodetabek

Asian Games 2018 di Jakarta & Palembang mungkin menjadi momen di mana kualitas udara menjadi perbincangan warga dan media dalam skala nasional. Kasus kebakaran hutan dan lahan yang terjadi beberapa kali tentu juga menjadi masuk sebagai kategori kejadian yang memicu isu itu menjadi isu nasional. Namun sepakat atau tidak, pembicaraan mengenai kualitas udara masih jauh dari cukup dalam perbincangan sehari-hari masyarakat.

Piotr Jakubowski, eks CMO Gojek, mencoba menghidupkan perbincangan ini melalui sebuah platform. Bersama Nathan Roestandy, ia mendirikan “nafas”. Piotr berperan sebagai chief growth officer, sementara Nathan menduduki posisi chief executive officer. Menurut penuturan Piotr, Nathan yang sebelumnya dikenal sebagai pendiri Zulu, telah meneliti topik ini sejak 2016. Singkatnya mereka berdua mendirikan nafas sebagai platform yang dapat membantu warga Jakarta dan sekitarnya dalam mengakses data dan sumber edukasi mengenai kualitas udara yang bersifat hiperlokal.

Piotr bercerita, ide ini berawal dari kian buruknya kualitas udara dan minimnya inisiatif lokal untuk menggambarkan situasi berbasis data. Saking buruknya, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan bahkan menyebut kerugian yang ditimbulkan akibat polusi udara mencapai Rp60 triliun.

Lalu apa yang sebenarnya nafas tawarkan kepada publik? Data kualitas udara adalah jawabannya. Ada sejumlah sejumlah mendasar menurut Piotr yang membedakan nafas dengan platform kualitas udara lainnya. Pertama dari segi akurasinya. Nafas menggunakan sensor sendiri yang menampilkan data yang diambil langsung dan real time.

Menurut Piotr, beberapa platform lain ada yang hanya mengambil data dari tangan kedua melalui API atau memakai data satelit saja. Ada juga yang perekaman datanya tidak secara real time.

“Itu bisa menyesatkan dan tidak menguntungkan pengguna karena perekaman data yang baik kemarin tidak berarti kualitas udara saat ini baik juga. Nafas hanya menampilkan data terkini,” papar Piotr.

Nafas sudah memasang 46 sensor yang tersebar di Jabodetabek. Sensor mereka dapat memperbarui data kualitas udara setiap 20 menit. Adapun data yang disajikan dalam aplikasi nafas berupa kadar Air Quality Index (AQI) dan Particulate Matter (PM) 2,5.

Aplikasi juga menampilkan rekomendasi yang perlu dilakukan sesuai keadaan udara terkini. Dengan jumlah sensor tersebut, Piotr mengklaim nafas sebagai penyedia data kualitas udara terbesar di Jakarta.

Bank Mandiri menjadi salah satu sponsor di nafas.
Bank Mandiri menjadi salah satu sponsor di nafas

Piotr tidak mengatakan nafas sebagai organisasi non-profit. Metode yang mereka tempuh untuk menjalankan nafas adalah melalui program sponsor. Lebih jelasnya, nafas merangkul individu atau perusahaan yang menaruh perhatian pada ESG (environmental, social, governance) untuk menjadi sponsor pemasangan sensor. Salah satu perusahaan yang sudah menjadi sponsor di nafas adalah Bank Mandiri.

Selain membantu publik mengakses data kualitas udara yang lebih baik, nafas menawarkan sejumlah keuntungan bagi mereka. Salah satunya dengan menampilkan logo sponsor ke dalam aplikasi sebagai bagian dari sponsorship branding.

“Dalam rencana pensponsoran, kami punya sejumlah inisiatif bersama para mitra termasuk sponsorship branding di dalam aplikasi, kerja sama kegiatan pemasaran, dan akses ke data yang lebih mendetail,” cetus Piotr.

Kendati demikian, tujuan yang diidamkan Piotr dan Nathan melalui nafas punya tantangan tidak kecil. Edukasi kepada masyarakat menjadi pekerjaan rumah terbesar. Pasalnya mengangkat isu tentang bahaya polusi udara itu seperti pekerjaan menakut-nakuti sebab faktor pengancamnya tak terlihat. Padahal akibat yang ditimbulkan memperpendek harapan usia seseorang hingga 4,8 tahun.

Namun semenjak pandemi berlangsung, Piotr menilai pandangan orang mengenai kualitas udara sudah berubah. Selain itu nafas juga berniat bekerja sama dengan berbagai jenis organisasi dan individu untuk menggenjot edukasi kepada masyarakat Indonesia mengenai kualitas udara.

“Kunci suksesnya adalah edukasi ke sebanyak mungkin orang bahwa udara yang buruk bisa memengaruhi kesehatan dan bagaimana sebisa mungkin mengurangi paparan udara yang buruk,” pungkas Piotr.

Sejauh ini nafas baru tersedia di wilayah Jabodetabek. Piotr mengatakan belum ada rencana nafas memperluas cakupan wilayah kerjanya karena masih ingin memperkuat keberadaannya di Jabodetabek. Nafas sudah bisa diakses di Play Store maupun AppStore.

Application Information Will Show Up Here