MVP (Minimum Viable Product): Pengertian, Tujuan, dan Karakteristik

MVP adalah strategi yang digunakan oleh startup untuk menguji dan memvalidasi ide dan asumsi bisnis mereka dengan cepat. 

Dengan berfokus pada pengembangan serangkaian Minimum Viable Product, startup dapat menguji produk dengan pengguna nyata, mengumpulkan feedback, dan melakukan iterasi dengan cepat.

Pendekatan ini membantu mengurangi risiko, menghasilkan pengadopsi awal, dan membangun komunitas pengguna seputar produk.

Berikut ini adalah penjelasan selengkapnya mengenai MVP (Minimum Viable Product).

Pengertian MVP

Minimum Viable Product (MVP) adalah versi produk yang memiliki fitur yang cukup untuk memuaskan pelanggan awal dan memberikan feedback untuk pengembangan di masa mendatang.

Hal ini merupakan strategi yang digunakan oleh startup untuk menguji dan memvalidasi ide dan asumsi bisnis mereka dengan cepat, sambil meminimalkan investasi waktu dan sumber daya.

Pendekatan MVP melibatkan identifikasi fitur inti yang penting untuk fungsi produk dan proposisi nilai, dan berfokus pada pengembangan yang pertama yang membantu startup untuk menguji produk dengan pengguna dan mengumpulkan feedback tentang apa yang berhasil dan apa yang perlu ditingkatkan.

Berdasarkan feedback inilah, startup dapat menyempurnakan dan mengulang produk untuk memenuhi kebutuhan target pasarnya dengan lebih baik.

MVP membantu mengurangi risiko berinvestasi besar-besaran pada produk yang mungkin tidak berhasil. Dengan menguji produk lebih awal dan sering, startup dapat dengan cepat mengidentifikasi dan memperbaiki masalah apapun sebelum menjadi masalah besar. 

Tujuan MVP (Minimum Viable Product)

Berikut ini adalah beberapa fungsi MVP dan penjelasannya:

Asumsi Pengujian

MVP memungkinkan startup menguji asumsi mereka tentang produk atau layanan dengan pengguna nyata. 

Dengan membangun dan menguji rangkaian fitur inti secara cepat, startup dapat memvalidasi ide mereka dan mengidentifikasi masalah atau area apa pun untuk perbaikan.

Mengurangi Risiko

Dengan berfokus pada pengembangan serangkaian fitur inti minimum, startup dapat meminimalkan investasi waktu dan sumber daya pada produk yang mungkin tidak berhasil. 

Pendekatan ini membantu mengurangi risiko kegagalan dan memungkinkan startup berputar atau mengubah arah dengan cepat jika diperlukan.

Mengumpulkan Feedback

MVP memungkinkan startup mengumpulkan feedback dari pengguna tentang apa yang berhasil dan apa yang perlu ditingkatkan. 

Feedback ini dapat digunakan untuk menyempurnakan dan mengulangi produk, meningkatkan proposisi nilainya, dan meningkatkan peluang keberhasilannya.

Membangun Pengadopsi Awal

Dengan meluncurkan MVP dan mengumpulkan feedback dari pengguna, startup dapat menghasilkan pengadopsi awal dan membangun komunitas pengguna di sekitar produk. 

Pengadopsi awal ini dapat memberikan feedback yang berharga dan membantu menyebarkan berita tentang produk kepada orang lain.

Menghemat Waktu dan Sumber Daya

Pendekatan MVP membantu startup untuk fokus pada pengembangan fitur inti yang penting bagi fungsi produk dan proposisi nilai, daripada menghabiskan waktu dan sumber daya pada fitur yang tidak penting.

Pendekatan ini membantu menghemat waktu dan sumber daya serta memungkinkan startup meluncurkan produk mereka dengan cepat dan efisien.

Karakteristik MVP (Minimum Viable Product)

Berikut ini adalah beberapa karakteristik MVP dan penjelasannya:

  1. Serangkaian Fitur Minimum: MVP memiliki serangkaian fitur minimum yang penting untuk fungsi produk dan proposisi nilai. Fitur-fitur ini dirancang untuk memuaskan pelanggan awal dan memberikan feedback untuk pengembangan di masa mendatang.
  2. Kecepatan: MVP dikembangkan dengan cepat, seringkali dalam hitungan minggu atau bulan. Ini memungkinkan para pemula untuk menguji ide dan asumsi bisnis mereka dengan cepat dan efisien.
  3. Fokus pada Kebutuhan Pengguna: MVP dirancang dengan mempertimbangkan kebutuhan dan preferensi pengguna. Ini dikembangkan berdasarkan feedback pengguna, yang membantu memastikan bahwa produk memenuhi kebutuhan pasar sasarannya.
  4. Iteratif: Setelah peluncuran awal, startup mengumpulkan feedback dari pengguna dan menggunakannya untuk menyempurnakan dan meningkatkan produk. Pendekatan ini membantu memastikan bahwa produk terus berkembang dan memenuhi kebutuhan penggunanya.
  5. Hemat Biaya: MVP dikembangkan dengan tujuan meminimalkan investasi waktu dan sumber daya. Dengan berfokus pada pengembangan serangkaian fitur inti minimum, startup dapat menghemat uang dan waktu, serta mengurangi risiko berinvestasi besar-besaran pada produk yang mungkin tidak berhasil.

Demikianlah penjelasan mengenai MVP (Minimum Viable Product), semoga bermanfaat.

Mendengar Pengguna untuk Memvalidasi Ide

Masih dalam seri memvalidasi ide untuk startup, tulisan kali ini akan melengkapi seri sebelumnya yang mengelompokkan validasi ide dalam tiga tahapan utama: (1) menulis atau mengelompokkan ide, (2) mengevaluasi dengan mengajukan beberapa pertanyaan awal, dan (3) langsung terjun ke lapangan untuk mendapat gambaran nyata tentang respons dari ide.

Ide sendiri bisa datang dari mana saja, sehingga perlu dikelompokkan. Yang membedakan satu ide dengan ide lainnya adalah kesesuaiannya untuk menjadi solusi. Itu mengapa ide perlu divalidasi.

Validasi tahap awal

Ada banyak cara untuk memvalidasi ide yang ada, beberapa di antaranya dengan memecahkan pertanyaan-pertanyaan seperti yang sudah dijelaskan di seri sebelumnya atau menggunakan board atau canvas untuk membantu brainstroming dan menemukan apakah ide tersebut layak dieksekusi.

Menggunakan board atau canvas bisa membantu memetakan pola pikir terhadap ide. Keduanya bisa memperjelas posisi masalah, solusi dan kebutuhan pengguna. Termasuk memetakan risiko yang ada.

Jika di tahap awal, cara lain yang bisa dilakukan adalah dengan bertatap muka one-on-one dengan target pengguna untuk mengerti pain poin atau solusi yang mereka inginkan. Ini adalah bagian dari terjun langsung ke lapangan. Pendekatan ini bisa dilakukan secara personal, misalnya target pengguna Anda adalah pengusaha yang membutuhkan otomatisasi di bidang pengumpulan data, Anda bisa mendatangi salah satu pebisnis untuk mendengar apa yang butuhkan atau apa yang mereka keluhkan. Di titik ini lebih banyak mendengar akan menjadi lebih baik.

Cara lain untuk bisa mendapatkan umpan balik dari target pengguna adalah bergabung dengan komunitas baik di media sosial maupun secara offline. Cara pertama mungkin bisa jadi solusi untuk bisa menjangkau lebih banyak target pengguna.

Tanyakan tidak hanya soal solusi, tetapi juga bagaimana tanggapan mereka soal harga, metode pembayaran hingga jenis berlangganan yang setidaknya mereka harapkan. Pemahaman tentang kebutuhan target pengguna ini bisa menjadi bahan utama untuk menyusun MVP (Minimum Viable Product).

Sebelum membangun MVP

Ada banyak yang harus disiapkan sebelum melangkah ke MVP. Ide harus terlebih dulu “lulus” sebelum hanya jadi sesuatu yang mengecewakan. Fitur, harga, dan segala bentuk produk awal bisa didapat dari pembicaraan dan evaluasi di tahap awal, tetapi itu saja tidak cukup.

Sebelum benar-benar memutuskan untuk mengeksekusi ide usahakan untuk mendapat wawasan dari mereka yang expert di industri yang ingin disasar. Pembahasan mengenai tren, budaya dan tentu saja perkembangan industri tersebut dari tahun ke tahun bisa jadi modal yang sangat bangun. Startup sangat dengan inovasi, dan inovasi akan sangat berkaitan jika sangat dekat dengan perkembangan sebelum-sebelumnya.

Selanjutnya yang bisa dilakukan adalah mencari rekanan, jika Anda seorang yang memiliki keahlian untuk membuat program Anda bisa mencari rekan yang berasal dari industri yang ingin di sasar atau mereka yang paham tentang strategi pemasaran. Sebaliknya, jika Anda berangkat dari pakar di bidangnya yang sedang mencari solusi berbasis teknologi tapi terhambat dengan penguasaan teknologi itu sendiri maka mencari seorang rekan developer.

Perlu digarisbawahi rekan di sini bukan mereka yang diajak untuk mengembangkan ide bersama, tetapi sebatas rekan untuk memvalidasi ide yang ada. Tentu akan lebih enak jika mereka adalah orang-orang yang dikenal dengan baik.

Selanjutnya yang bisa melengkapi dalam tahap validasi ide adalah melengkapi dengan business plan, atau sederhananya menyiapkan sumber penghasilan dari bisnis. Hal itu tentu wajib, jika ide yang Anda siapkan memang bertujuan dikembangkan untuk bisnis.

Sumber : Medium Founder PlayBook, Entrepeneur

Cara Tepat Menerapkan MVP Saat Jalankan Startup secara Bootstrap

Menurut definisinya, Minimum Viable Product (MVP) adalah pengembangan teknis yang terjadi ketika startup memiliki produk baru atau situs dengan fitur yang dihadirkan untuk early adopter. Proses tersebut dilakukan demi mendapatkan feedback dari target pasar.

Menjadi penting bagi startup untuk menyelesaikan proses tersebut dengan mengumpulkan feedback dan respon (positif dan negatif) dari pengguna. Proses ini, jika dihiraukan, akan mengganggu jalannya bisnis ke depannya.

Hal tersebut ditegaskan Co-Founder Taptopick Puja Pramudya saat sesi #SelasaStartup yang mengambil tema Minimum Viable Product untuk startup bootstrap. Bersama Radya Labs, Puja telah menghasilkan beragam aplikasi untuk berbagai perusahaan multinasional. Berikut adalah kiat-kiat yang harus diperhatikan.

Jangan hanya fokus di teknologi

Kesalahan tebesar yang masih banyak dilakukan startup adalah masih fokus kepada teknologi. Untuk bisa menghasilkan produk yang baik dan diterima target pasar, prioritas utama adalah apa yang menjadi kesulitan pengguna dan bagaimana produk yang dibuat bisa membantu mereka.

“Yang menjadi fokus utama dari startup saat melakukan MVP adalah temukan value dari produk atau layanan yang akan dihadirkan,” kata Puja.

Puja memberikan contoh ketika ia mulai mengembangkan aplikasi TapTopick, layanan laundry on-demand, dengan fitur beragam.

“Pada akhirnya konsumen hanya ingin menggunakan aplikasi yang mudah dipahami dan berfungsi. Mereka tidak peduli teknologi apa yang digunakan atau berapa fitur yang dimiliki,” kata Puja.

Di sini peranan MVP memiliki andil cukup besar, yaitu menangkap minat konsumen melalui feedback yang diberikan. Dari feedback tersebut, startup bisa mulai menentukan fitur yang tidak berguna, kurang dipahami ,dan belum dibutuhkan konsumen. Perusahaan tinggal fokus kepada fitur yang bisa langsung membantu mereka.

“Di Taptopick sendiri kami banyak mengurangi fitur di awal pengembangan produk dan hanya fokus kepada kebutuhan konsumen yaitu jasa antar jemput laundry kiloan dan seberapa cepat dan mudah aplikasi tersebut digunakan,” kata Puja.

Pada akhirnya fokus kepada kebutuhan konsumen dan hadirkan fitur baru secara berkala. Dengan demikian konsumen bisa lebih menghargai update rutin yang dilakukan startup.

Kurang komunikasi dengan target pasar

Kesalahan lain yang masih banyak dilakukan startup adalah kurangnya komunikasi atau masih kerap menghiraukan feedback konsumen. Kebanyakan startup merasa cukup yakin dengan produk yang ada dan langsung meluncurkannya tanpa melakukan komunikasi dengan konsumen yang disasar.

“Dengan melakukan komunikasi kepada konsumen, Anda bisa menentukan langkah berikutnya, apakah membuat aplikasi versi Android terlebih dahulu atau iOS. Kemudian versi apa yang sesuai untuk konsumen dan mitra,” kata Puja.

Puja kembali mengambil contoh, di awal Taptopick fokus ke versi iOS karena ingin merangkul lebih banyak ekspatriat atau orang asing yang bekerja di Indonesia dan kebanyakan lebih familiar dengan iOS. Sementara untuk mitra, yaitu kurir, fokus ke versi Android.

Uji coba langsung

Agar produk yang dibuat berfungsi dengan baik, lakukan uji coba terkait dengan layanan atau produk yang akan dihadirkan. Jika startup Anda fokus ke layanan on-demand, coba cari tahu secara langsung berapa waktu yang dihabiskan untuk layanan yang akan ditawarkan. Proses tersebut membantu startup menentukan perkiraan waktu, tantangan di jalan, dan solusi yang ideal menghadapi kendala tersebut.

“Di Taptopick sendiri kita sempat melakukan uji coba antar jemput laundry kiloan dari rumah konsumen ke mitra laundry kiloan kami. Dari situ akhirnya kami bisa memberikan estimasi waktu yang tepat untuk konsumen,” kata Puja.

Puja menganjurkan untuk memanfaatkan analytics tools yang bisa membantu startup melihat kebiasaan konsumen. Dengan demikian startup bisa menentukan fitur baru seperti apa yang dibutuhkan hingga kolaborasi atau promo ideal apa yang bisa ditawarkan kepada konsumen.

“Yang penting satu hingga dua tahun pertama jangan patah semangat. Hindari telalu fokus kepada hanya teknologi dan jangan melupakan kebutuhan dari konsumen,” tutup Puja.

Cara Mudah untuk Memvalidasi Ide Produk atau Bisnis

Ada banyak cara yang dapat dilakukan untuk memvalidasi ide pengembangan produk. Selain mendiskusikan dengan ahli atau mentor bisnis, pengembangan MVP (Minimum Viable Product) dinilai menjadi cara yang lebih terukur. MVP menjadi sebuah mekanisme untuk memperkenalkan ide produk dan fungsionalitas intinya sedini mungkin kepada publik. Penting dilakukan untuk mengurangi risiko produk tersebut tidak ada penggunanya.

MVP dapat dirilis dalam berbagai macam metode, di antaranya A/B Testing (peluncuran versi Alpha atau Beta dari aplikasi), penjelasan melalui landing page, survei dan riset, hingga pembuatan video demo produk. Untuk startup di tahap awal yang biasanya memiliki anggota tim yang sedikit dan waktu yang sempit untuk melakukan pengujian –karena jika gagal harus secepat mungkin agar bisa beralih ke ide lainnya, tentu harus mencari cara yang paling cepat dan efisien.

Konten berbasis “Demand Validation Video” bisa dicoba, dipadukan dengan optimasi media sosial untuk publikasi. Hal yang perlu dilakukan ialah buat sebuah desain produk sesuai dengan ekspektasi ide, dan paparkan bagaimana fungsionalitas produk tersebut bekerja. Lebih baik lagi jika sebelumnya sudah dilakukan pengembangan tahap awal, sehingga video tersebut berisi demo produk yang dikembangkan.

Selanjutnya manfaatkan media sosial seperti Twitter atau Facebook untuk mempublikasikan video tersebut. Tambahkan sebuah keterangan yang bersifat “menjual” dalam mempublikasikan video tersebut. Untuk memastikan capaian yang besar, jika perlu gunakan layanan iklan dengan menargetkan pangsa pasar yang ingin dirangkul melalui inovasi tersebut.

Ini ada sebuah contoh menarik, dari sebuah pengembang yang menyampaikan MVP melalui video di Twitter.

Ia memaparkan melalui tulisan di Twitter, bahwa sebuah aksesoris harus multifungsi bisa digunakan untuk pembayaran. Dan video memberikan gambaran tentang contoh bagaimana sistem tersebut bekerja. Sangat jelas dan mudah dipahami. Maka selanjutnya serahkan kepada publik untuk menilai. Terkait apakah akan ada penerimaan atau tidak, itu adalah jawaban yang dibutuhkan dari sebuah MVP.

Dari studi kasus di atas, kebetulan produk mendapatkan penerimaan yang cukup baik. Komentar yang diberikan dalam Reply menunjukkan sentimen baik atas hipotesis yang diunggah. Kemudian jumlah Retweet juga memvalidasi bahwa ide tersebut cocok diaplikasikan, sehingga orang lain ingin berbagi tentang inovasi ini kepada rekannya. Ini sebenarnya serupa dengan video MVP yang cukup legendaris dari Dropbox.

Proposisi nilai telah divalidasi dengan umpan balik yang didapat dari media sosial. Sebenarnya di titik ini sudah bisa ditentukan, apakah pengembangan produk perlu diprioritaskan ke depan atau tidak. Jika masih butuh meyakinkan diri lagi, bisa langsung mewawancara narasumber yang terlibat dalam percakapan di media sosial, tanyakan mengapa mereka tertarik atau mengapa mereka menganggap solusi tersebut kurang penting.

Baca juga:

Tujuh Cara Membangun Bisnis untuk Startup Tahap Awal

Pemilik startup yang baru mulai untuk menjalankan bisnis biasanya mengalami keraguan dan kehilangan arah langkah mana yang baik diambil saat awal startup mulai dibangun. Untuk startup yang masih berada pada early stage, akan menjadi penting membangun bisnis sejak awal dengan tepat, untuk bisa menjadi acuan kemana arah bisnis startup akan dibawa nantinya. Artikel berikut akan membahas 7 langkah awal yang baiknya dicermati oleh pemilik startup tahap awal.

Minimum Viable Product

Istilah Minimum Viable Product sudah harus menjadi acuan di langkah awal berdirinya startup. Menjadi penting bagi startup untuk mendapatkan MVP yang sempurna sejak awal. Buatlah prototipe atau desain awal yang masih dalam format draft atau versi awal, coba tawarkan layanan atau produk tersebut ke target pasar dan dapatkan feedback dari orang-orang, untuk meningkatkan produk awal secara cepat sesuai dengan produk yang ingin diwujudkan.

“MVPs help entrepreneurs and corporate intrapreneurs outsmart the odds of failure by compartmentalizing big decisions—and big risks—into a series of smaller ones.” – Storyhackers co-founder Rita Puri.

Meluncurkan versi beta untuk kalangan terbatas

Langkah selanjutnya yang bisa dilakukan adalah ketika MVP sudah didapatkan segar untuk membuat produk tersebut dalam versi beta untuk kalangan terbatas. Dari sana nantinya Anda bisa melihat kekurangan, fitur terbaik dan koreksi yang harus dilakukan, berdasarkan feedback dari orang-orang terdekat yang telah mencoba versi beta sebelumnya.

“When in doubt always build a product that is a painkiller rather than a vitamin.” – Pakar Marketing Vinay Koshy

Merekrut tenaga kerja

Ketika Anda sudah mulai membuat produk sudah waktunya untuk mempekerjakan tenaga ahli yang bisa membantu proses lebih cepat. Dalam hal ini ada baiknya Anda mulai merekrut developer atau mengajak seorang Co-founder yang memiliki pengalaman berbeda dengan Anda. Carilah tenaga kerja baru dalam jumlah kecil terlebih dahulu di awal startup, agar bisa membantu Anda membawa startup ke level selanjutnya.

“For a startup, people are as important as the idea,” – Founder Devishobha Chandramouli

Desain ulang / koreksi produk

Setelah uji coba telah dilakukan langkah berikutnya yang harus dilakukan adalah mengoreksi kekurangan atau kesalahan dari produk hingga desain yang ada. Coba fokuskan prioritas Anda terkait aspek yang harus dikerjakan terlebih dahulu, lakukan proses ini usai versi beta untuk kalangan terbatas dilakukan.

“[Startups] learn from the results of each test, refine the hypothesis, and test again—all in search of a repeatable, scalable, and profitable business model.” – Stanford professor Steven Blank.

Peluncuran versi beta untuk publik

Setelah versi beta untuk kalangan terbatas dicoba, koreksi, dan perbaikan produk telah dilakukan, langkah selanjutnya adalah meluncurkan versi beta untuk publik. Saat proses ini dilakukan, bersiaplah untuk menerima keluhan dan feedback dari orang banyak usai versi beta diluncurkan. Cara terbaik untuk menangani proses ini adalah dengan menyiapkan tim humas atau agensi kehumasan untuk membantu startup menjalankan proses tersebut.

Pembuktian model bisnis

Usai versi beta diluncurkan kepada publik, secara organik startup akan mulai menunjukkan siapa target pengguna yang tertarik dan fitur seperti apa yang berfungsi dengan baik dan berpotensi untuk dijual. Matangkan konsep dan produk yang ada dengan melakukan koreksi dan penambahan fitur yang lebih sempurna. Tahap ini menjadi krusial bagi startup, sebelum meluncurkan eksistensi startup secara resmi kepada publik dan tentunya investor.

Pendanaan tahap pertama

Tahap yang satu ini merupakan akhir dari proses membangun startup saat tahap awal, yaitu meyakinkan kepada investor untuk memberikan investasi berdasarkan produk yang ada. Siapkan faktor pendukung untuk bisa meyakinkan investor, mulai dari data, testimoni pengguna, target dan rencana serta potensi bisnis yang dimiliki, berdasarkan proses sebelumnya yang telah dijalankan startup.

Pendanaan tahap awal, atau seed round, biasanya tidak didapatkan sebelum startup telah melalui proses tersebut dan memastikan semua aspek berjalan dengan lancar.

Seri Pengembangan Produk #3: tentang Minimum Viable Product

Arikel seri sebelumnya telah membahas tentang Product Management dan Product-Market Fit untuk menemukan sekaligus memvalidasi tipikal produk yang tepat. Sedikit mengulas kembali, bahwa simpulan definisi produk adalah solusi yang ditawarkan untuk memecahkan masalah. Pada seri ini, akan dibahas tentang bagaimana startup menguji solusi yang ditawarkan, sehingga mengetahui sejauh apa penerimaan masyarakat.

Teknik tersebut disebut dengan Minimum Viable Product (MVP). Sesuai namanya, MVP merupakan hasil pekerjaan paling minimalis yang dapat disajikan ke calon pengguna dengan tujuan mendapatkan banyak pelajaran ketertarikan dan masukan calon pengguna. Sederhananya seperti ini, sebut saja startup memiliki visi untuk mengembangkan produk ABC dengan fitur X, Y, Z. Startup hanya perlu meluncurkan X (dianggap sebagai fitur paling penting) untuk segera dikenalkan ke pasar.

Beberapa pertimbangan mendasar mengapa MVP diperlukan sebelum produk tersebut benar-benar dijadikan adalah untuk mengurangi risiko, meningkatkan kemungkinan untuk sukses, mendapatkan timbal balik lebih cepat, mengurangi kompleksitas hingga mengukur proses pengembangan.

Mulai mengembangkan MVP

MVP dibuat setelah startup benar-benar mengetahui visi produk yang akan dikembangkan, biasanya masih bersifat ide dan konseptual. Project Manager, membuat daftar fitur atau prioritas pengembangan sesuai dengan urgensinya. Hal pertama yang harus setelah ada daftar prioritas tersebut, lakukan penjajakan setiap fitur yang akan dikembangkan dengan mempertemukan antara asumsi dan risiko yang mungkin terjadi.

Sebagai contoh sebuah startup akan mengembangkan sebuah platform mobile untuk pembelajaran jarak jauh. Salah satu fitur di dalamnya ialah adanya konten interaktif untuk pembelajaran siswa secara mandiri. Asumsinya dengan adanya konten tersebut siswa tidak bergantung dengan guru dan memiliki semangat belajar yang tinggi. Dan risikonya adalah jika para siswa menanggap konten konvensional seperti buku lebih nyaman digunakan untuk belajar harian.

Namun itu masih sebatas estimasi, sehingga perlu dilakukan pengujian. Sebelum melakukan pengujian, pastikan startup telah mengidentifikasi variabel untuk memvalidasi keabsahan ide yang digagas. Paling mudah dengan menentukan faktor keberhasilan dengan angka numerik. Misalnya jika meneruskan contoh produk sebelumnya, validasinya bisa berupa: jika konten mendapatkan rating minimal 4 dari 80% pengguna maka dikatakan disukai.

Sehingga didapatkan formula sebagai berikut: Kami melihat <pengguna> memiliki <masalah yang <dihadapi>. Kami dapat membantu mereka dengan <solusi yang ditawarkan>. Kami tahu kami sedang mengerjakan hal yang benar jika <ukuran keberhasilan>.

Contoh penerapan formula yang sama dengan studi kasus Uber, oleh Frankie Le Nguyen
Contoh penerapan formula yang sama dengan studi kasus Uber, oleh Frankie Le Nguyen

Strategi implementasi MVP

Pada dasarnya MVP tidak harus berupa barang siap pakai atau aplikasi prototipe yang dapat dioperasikan –walaupun jika memungkinkan cenderung akan lebih baik dalam memberikan gambaran kepada konsumen. Dalam konsep pengembangan produk sejauh ini dikenal beberapa tipe implementasi populer penyampaian MVP, di antaranya:

  • Concierge
  • Wizard of Oz
  • Landing Pages
  • Videos
  • Crowdfunding
  • Single Feature MVP
  • Paper Prototypes
  • Customer Interviews

Dari beberapa bentuk implementasi MVP di atas, penggunaannya sangat bergantung dengan karakteristik produk yang ingin diperkenalkan dan disampaikan ke calon pengguna. Untuk format video misalnya, dapat digunakan untuk menjelaskan sebuah konsep yang cenderung sulit dipahami oleh pengguna, bisa jadi karena itu adalah hal yang baru. Video yang dibuat harus menggambarkan antarmuka yang mirip dengan konsep produk yang dikembangkan. Contoh startup populer yang menggunakan model ini dalam MVP adalah Dropbox.

Kemudian Landing Page atau sebuah halaman website tunggal untuk memberikan penjelasan dan gambaran dari proof-of-concept dari produk. Selain informasi produk secara umum, di sini pengembang juga dapat memberikan kanal respons untuk mengetahui ketertarikan calon pengguna. Contoh startup yang mengimplementasikan model ini adalah Buffer. Mereka melihat ketertarikan pengguna dengan menambahkan sebuah kolom email untuk pemberitahuan ke calon pengguna ketika produk benar-benar siap untuk dicoba.

Tren yang ada saat ini adalah dengan meluncurkan fitur terbatas pada aplikasi. Seperti yang dilakukan Foursquare pada awal pengembangan. Ia hanya mengaktifkan sebuah fitur utama untuk mengeliminasi kebingungan pengguna sekaligus memfokuskan pengguna pada layanan utama yang mereka miliki, yakni check-in di suatu tempat.

Hasil akhir yang diharapkan dari proses ini ialah memberikan perspektif yang benar-benar baru bagi tim produk dari sisi konsumen yang akan menjadi pangsa pasar. Dari sini tim pengembang dapat bergerak lebih cepat, mengetahui secara eksplisit mengenai apa yang harus disesuaikan dan apa yang harus ditambah sesuai dengan masukan pengguna. Product Manager akan berperan sentral dalam proses MVP, untuk menentukan iterasi dan mengatur komunikasi dengan pengguna untuk memastikan masukan yang diberikan terjaring dengan baik.

Esensi MVP dalam Pengembangan Produk

Ada banyak penafsiran saat membicarakan tentang definisi Minimum Viable Product (MVP). Salah satunya, MVP adalah sebuah produk yang memiliki set fitur paling minimalis, tujuannya untuk membuktikan hipotesis paling esensial dalam bisnis yang dikembangkan. Bentuknya pun beragam, meskipun jika dalam startup digital akan lebih memberikan experiences saat bentuknya aplikasi, namun tidak menutup kemungkinan dengan hal yang lebih sederhana.

Contoh yang paling sering dipaparkan ialah MVP dari pengembangan Dropbox, kala itu hanya berbentuk sebuah video. Video singkat yang memaparkan inti dari cara kerja layanan yang akan mereka kembangkan dan keuntungannya untuk pengguna. Ribuan, bahkan ratusan ribu calon pengguna mendaftar hanya dengan menonton video itu.

Jadi inti dari MVP bukan pada alpha/beta product dari aplikasi, namun lebih kepada cara  memberikan kesempatan konsumen untuk memvalidasi secara langsung versi awal produk yang dikembangkan. Karena ketika ide telah direalisasikan dalam sesuatu yang lebih riil dan terpublikasi, orang akan lebih mudah membayangkannya dan menentukan apakah produk tersebut yang ia butuhkan atau tidak.

Bahkan MVP bisa berbentuk sesimpel satu single-web page dengan penjelasan menarik, lalu dibubuhi sebuah kolom isian email jika ada pengunjung yang tertarik.

Menjadi tahapan paling penting, menentukan lanjut atau memikirkan ide lain

Dalam berbagai pembahasan tentang “Lean Startup”, MVP selalu ditempatkan pada teknik yang paling penting untuk dilakukan. Menurut Eric Ries, salah satu yang mempopulerkan konsep MVP, bahwa dengan adanya produk inisiasi seseorang dapat mengumpulkan sebanyak mungkin pembelajaran atau umpan balik dari konsumen.

Meluncurkan aplikasi MVP juga dikatakan sebagai sebuah bentuk seni. Karena di sini memerlukan presisi yang tepat antara apa yang ingin disuguhkan dan apa yang benar-benar konsumen butuhkan. Untuk itu sebelum meluncurkan MVP, perlu diketahui komponen apa saja yang perlu diperhatikan, sebagai karakteristik MVP.

Setidaknya ada tiga hal yang menjadi kunci dalam pengembangan MVP: (1) menitikberatkan pada kegunaan produk secara esensial, sehingga ketika produk benar-benar diluncurkan maka konsumen bersedia menggunakan; (2) memberikan gambaran umum kepada konsumen tentang fungsionalitas lengkap yang akan dihadirkan mendatang; dan (3) menyediakan kanal umpan balik untuk membantu pengembangan secara berkelanjutan.

Mengantarkan pada penilaian yang terukur dan realistis, bukan pada asumsi

Setelah MVP sampai kepada konsumen ada banyak hal yang dilakukan. Yang paling sederhana adalah berbicara dengan konsumen, untuk mengetahui apa yang mereka rasakan. Menariknya saat ini sudah ada banyak sekali tools pengukuran yang bisa diintegrasikan, contohnya Google Analytics. Dari situ akan ditemukan apa yang disebut Problem-Solution Fit.

Problem-Solution Fit ini sederhananya adalah ketika banyak pengguna merasa apa yang dilahirkan melalui layanan tersebut menjawab kebutuhannya. Namun ketika sudah mencapai ini pun bukan berarti cukup. Karena pada akhirnya semua akan dipertaruhkan untuk tujuan bisnis. Maka selanjutnya perlu memikirkan Product-Market Fit, yakni tentang bagaimana meraih revenue dari proses bisnis yang telah dikembangkan.

Dari sini apa yang didapat adalah pengukuran. Tentang apa yang paling diminati dari inisiasi produk, apa yang paling ditunggu, masukan apa yang diberikan dan sebagainya. Semua harus terdokumentasikan secara jelas sebagai bekal untuk mematangkan produk. Bahkan untuk menentukan penghentian pengembangan jika solusi yang ditawarkan ternyata tidak tepat guna.

Hal lain yang perlu diperhatikan, MVP juga harus disodorkan kepada pangsa pasar yang tepat. Dipasarkan kepada orang-orang yang ditargetkan sebagai pengguna. Sehingga marketing effort tetap berperan kunci dalam tahap ini.

Membutuhkan pengujian ketat dan fokus dalam pengembangannya

Selain melakukan pemantauan umpan balik dari pengguna secara aktif, pengujian juga diperlukan. Terdapat banyak metodologi yang bisa digunakan untuk pengujian produk di masa MVP (ini lebih cocok dilakukan ketika MVP berupa aplikasi atau produk yang bisa dicoba). Salah satu metodologi yang dapat digunakan adalah A/B Split Testing.

Salah satu yang dilakukan oleh metodologi pengujian tersebut adalah dengan membandingkan apa yang dihasilkan aplikasi ketika diuji dengan mengubah-ubah variabel yang ada pada aplikasi. Misalnya pada penempatan tombol atau fungsionalitas menu, lakukan perubahan dengan beberapa desain pada periode waktu tertentu. Lalu lakukan analisis, dari tindakan yang paling cepat dan umum dilakukan oleh penguji. Bahkan oleh calon konsumen sekalipun.

Kendati demikian fokus terhadap tujuan utama juga perlu menjadi perhatian. Sering kali dalam proses pengembangan produk, terlebih saat telah meluncurkan MVP, akan ada ide-ide baru yang bermunculan. Bisa saja dengan mudah seseorang langsung mencomot ide tersebut dan mengimplementasikannya ke dalam produk. Padahal belum tentu reliable dan bisa jadi menambah kompleksitas produk.

Padahal kesederhanaan proses sangat diutamakan dalam MVP untuk memusatkan perhatian pada esensi produk. Dampak dari ideas-overflow jika tidak terkelola dengan baik adalah gagalnya proses MVP dalam kaitannya dengan validasi konsumen dan pangsa pasar.

Ada cara untuk tetap memfokuskan pada tujuan dari pengembangan produk inisial

Pertama yang perlu dilakukan setelah memiliki ide spesifik tentang sebuah produk, kunci target pengembangannya. Turunkan ruang lingkup MVP (kaitannya dengan fungsionalitas dan fitur) lalu segera lakukan proses pra-produksi. Di sini proses perancangan dimulai, tapi bukan berarti tanpa adanya batu sandungan. Biasanya justru datang dari lingkup internal, yakni pengembangan ide yang tiada henti. Ingin menambahkan ini, menambahkan itu dan sebagainya. Yang diperlukan di sini adalah jangan mudah terlena. Fokus pada tujuan awal.

Dalam proses pengembangan lakukan secepat mungkin. MVP tidak membutuhkan fitur yang sangat lengkap, namun yang pasti harus mencakup tujuan utama dari ide. Jadi lakukan pengembangan seramping mungkin. Karena perlu untuk sesegera mungkin menghadirkan produk tersebut kepada konsumen. Karena pengembangan lanjutan atau penambahan fitur yang paling pas adalah ketika masukan tersebut berasal dari konsumen secara umum.

Jadi dapat disimpulkan, bahwa MVP itu pada dasarnya validasi tahap awal dalam pangsa pasar sebenarnya. Jika tervalidasi baik, pengembangan selanjutnya dapat bertumpu pada masukan yang diberikan, karena berasal langsung dari calon pengguna produk ke depan.

[Simply Business] Fail Early, Fail Often (Part 3)

Tulisan ini adalah bagian ketiga dari tulisan Dondi Hananto tentang prinsip Fail Early, Fail Often. Anda dapat membaca bagian pertama di sini dan bagian kedua di sini.

Bagian terakhir ini akan membahas tentang Problem-Solution Fit. Ingat, sebelum melangkah memikirkan solusi, Anda harus memvalidasi dulu masalah yang ada, seperti dibahas di bagian kedua. Setelah problemnya jelas, saatnya memvalidasi apakah solusi yang kita tawarkan memang cocok dengan apa yang diharapkan customer. Caranya adalah dengan menawarkan sebuah prototype atau Minimum Viable Product.

(null)