Sennheiser Kembangkan Aksesori Berteknologi Spatial Audio untuk Magic Leap

Game Angry Birds FPS yang bakal dirilis untuk Magic Leap merupakan salah satu bukti pengalaman unik yang dapat ditawarkan AR headset tersebut. Gameplay-nya menarik, dan visualnya yang membaur dengan lingkungan di sekitar pemain pun sangat menggugah perhatian.

Namun di medium mixed reality (AR + VR), grafis barulah sebagian dari cerita lengkapnya. Audio turut memegang peranan penting dalam menumbuhkan kesan immersive. Dalam kasus Magic Leap, headset-nya memang dilengkapi speaker terintegrasi, akan tetapi ini masih jauh dari kata ideal.

Pengalamannya akan jauh lebih ideal apabila melibatkan perangkat yang kapabel untuk spatial audio, atau sederhananya audio yang ‘menyelimuti’ sekitar kita (360 derajat). Kabar baiknya, Magic Leap One dilengkapi colokan audio 3,5 mm standar, sehingga ia dapat dibantu oleh aksesori yang tepat.

Sennheiser Ambeo Smart Headset / Sennheiser
Sennheiser Ambeo Smart Headset / Sennheiser

Salah satu aksesori tersebut tengah dikerjakan oleh Sennheiser. Kita tahu pabrikan asal Jerman itu punya lini perangkat Ambeo yang menitikberatkan pada teknologi 3D audio, yang sejatinya merupakan istilah lain dari spatial audio. Sennheiser ingin inovasinya ini bisa dinikmati para konsumen Magic Leap.

Pastinya apa yang sedang digarap Sennheiser masih belum diketahui, tapi saya menduga antara headphone atau earphone baru dari lini Ambeo. Produk ini nantinya bakal mengusung label “Works with Magic Leap” sebagai pertanda bahwa perangkat sudah pasti kompatibel dengan headset Magic Leap One.

Balik ke game Angry Birds FPS tadi, kehadiran headphone atau earphone berteknologi spatial audio seperti besutan Sennheiser ini tentunya dapat menambah keseruan bermain. Suara burung yang kita lontarkan dengan katapel akan terdengar menjauh seiring ia meluncur menuju ke markas para babi. Ini baru satu contoh, dan tentu masih ada banyak skenario yang lain, dengan konten yang lain pula.

Sumber: Sennheiser.

Angry Birds FPS Adalah Bukti Keseruan yang Ditawarkan AR Headset Magic Leap

Magic Leap resmi memasarkan AR headset-nya ke kalangan developer bulan lalu. Seperti biasa untuk produk sejenis ini, versi developer dibutuhkan demi memberi mereka kesempatan mengembangkan konten sebelum produk siap dinikmati publik. Dalam konteks Magic Leap, mereka boleh berbangga sudah menggandeng studio setenar Rovio sebagai salah satu mitranya.

Rovio sendiri tampaknya sudah tidak sabar untuk memamerkan kreasinya buat Magic Leap One. Apa lagi kalau bukan dari franchise Angry Birds? Lebih tepatnya yang berjudul “Angry Birds FPS: First Person Slingshot” – pelesetan cerdas dari istilah genre FPS alias first-person shooter.

Rovio tidak sendirian dalam mengerjakan Angry Birds FPS. Mereka memercayakan tugas ini kepada Resolution Games, developer asal Swedia yang berfokus pada pengembangan game AR dan VR. Yang menarik, ini bukan pertama kalinya tim Resolution Games bereksperimen dengan teknologi mixed reality (MR).

Angry Birds FPS: First Person Slingshot

Sebelumnya, mereka sempat mencoba mengembangkan game untuk Microsoft HoloLens. Namun kita tahu perangkat tersebut punya sejumlah batasan, utamanya field of view yang cukup sempit. Lebih lanjut, tim Resolution Games juga bilang bahwa Angry Birds FPS dapat terwujud berkat kecanggihan teknologi positional tracking yang ditawarkan Magic Leap.

Klaim tersebut sepertinya dapat dipertanggungjawabkan. Dari video demonstrasi gameplay Angry Birds FPS di bawah, kita bisa melihat pergerakan katapel yang cukup presisi, yang diwakilkan oleh motion controller 6DoF milik Magic Leap. Bisa kita lihat juga bahwa cara bermainnya tidak berubah dari Angry Birds orisinal, masih mengharuskan kita membasmi para babi yang bersembunyi di atas struktur-struktur tinggi.

Angry Birds FPS: First Person Slingshot

Perbedaannya tentu saja bangunan-bangunan tersebut berdiri di atas meja tamu atau meja makan yang ada di hadapan pemain. Di sini sekali lagi kita juga bisa menyimak keakuratan kinerja tracking Magic Leap, tepatnya ketika bangunannya roboh dan hancur berkeping-keping saat jatuh ke permukaan meja.

Namun bagian terpentingnya, Angry Birds FPS bukanlah sebatas konten demo. Rovio dan Resolution Games siap merilisnya dalam waktu dekat walaupun hardware Magic Leap One sendiri belum bisa dibeli secara luas. Terlepas dari itu, setidaknya keraguan kita akan keseruan yang ditawarkan Magic Leap bisa berkurang setelah melihat game super-asyik ini.

Sumber: TechCrunch dan Rovio.

Acer Luncurkan Headset Windows Mixed Reality Baru, OJO 500

Salah satu headset Windows Mixed Reality yang pertama datang dari Acer tahun lalu. Di ajang IFA 2018 yang dihelat di Jerman, pabrikan asal Taiwan itu baru saja memamerkan headset generasi keduanya yang diberi nama Acer OJO 500.

Secara fisik, desainnya tampak lebih keren dari pendahulunya. Masih ada sepasang kamera di wajahnya, dan ini memungkinkan kapabilitas inside-out tracking maupun 6 degrees of freedom (6DoF) tanpa bantuan hardware ekstra.

Salah satu keunikan yang ditawarkan OJO 500 adalah desain yang detachable, di mana bagian-bagian seperti lensa dan strap kepalanya dapat dilepas agar bisa dibersihkan dengan mudah. Ini jelas sangat berguna apabila satu perangkat digunakan secara bergantian oleh banyak orang sekaligus, semisal dalam konteks keluarga atau di taman hiburan.

Acer OJO 500

Strap kepalanya sendiri tersedia dalam dua versi, satu keras dan satu empuk. Versi yang keras dilengkapi bantalan yang besar untuk membantu pemasangan headset yang benar-benar pas, sedangkan versi yang empuk diklaim dapat dibersihkan menggunakan mesin cuci.

Juga unik adalah bagian depan (yang menutupi mata) yang bisa dilipat ke atas, sehingga pengguna tak perlu melepas headset ketika hendak merespon orang di sekitarnya. OJO 500 turut dilengkapi speaker terintegrasi yang akan langsung mengarahkan suara ke telinga pengguna. Cara kerjanya mirip headphone, akan tetapi pengguna masih bisa mendengar suara dari sekitarnya demi alasan keamanan.

Soal display, OJO 500 menggunakan sepasang layar LCD 2,89 inci dengan resolusi 2880 x 1440 pixel dan sudut pandang seluas 100 derajat. Refresh rate-nya pun cukup tinggi di angka 90 Hz. Lebih lanjut, pengaturan ketajaman fokus tampilannya (interpupilary distance) dapat dilakukan via kenop pada headset, dibantu oleh aplikasi pendamping di smartphone agar lebih optimal.

Acer OJO 500

Namanya headset Windows Mixed Reality, OJO 500 sudah pasti perlu disambungkan ke PC atau laptop Windows 10 via HDMI 2.0 dan USB 3.0 menggunakan kabel bawaan yang panjangnya mencapai 4 meter. Soal konten, konsumen tak perlu meragukannya sebab OJO 500 juga kompatibel dengan platform SteamVR.

Di Amerika Serikat, perangkat ini bakal dipasarkan pada bulan November mendatang, dengan harga mulai $399. Acer rencananya juga akan menawarkan bundel yang lebih lengkap yang mencakup dua motion controller Bluetooth, touchpad, grab button dan Windows 10 button.

Sumber: VentureBeat dan PR Newswire.

Rumah Sakit di Inggris Bakal Gunakan HoloLens di Ruang Operasi

Sejak awal diperkenalkan, Microsoft HoloLens sudah dinilai sangat berpotensi untuk digunakan di ranah medis. Memang baru sebatas teori, namun itu tidak mencegah salah satu rumah sakit anak terbesar di Inggris, Alder Hey Children’s Hospital, untuk membuktikannya.

Baru-baru ini, Microsoft dengan bangga mengumumkan bahwa Alder Hey berencana untuk memanfaatkan mixed reality headset besutannya di ruang operasi. Para dokter bedah di rumah sakit tersebut berharap HoloLens dapat membantu memudahkan pekerjaan mereka, terutama selama operasi sedang berlangsung.

Menurut salah satu ahli bedah jantung di Alder Hey, Rafael Guerrero, HoloLens memungkinkannya untuk melihat hasil scan 3D organ pasien secara jelas. Tanpa HoloLens, dokter bedah perlu memvisualisasikannya sendiri, dan itu jelas bukan pekerjaan yang mudah dilakukan sembari berkonsentrasi di meja operasi.

Microsoft HoloLens for surgery in Alder Hey Children's Hospital

Sebelum sesi operasi jantung dimulai, tim di Alder Hey biasanya lebih dulu meninjau kembali hasil CT scan, ultrasound maupun angiogram pasien untuk menentukan prosedur yang tepat, dan ini krusial demi keberhasilan sesi operasi. Dengan HoloLens, informasi-informasi ini sejatinya bisa dipantau secara real-time selagi kedua tangan sang dokter disibukkan oleh bermacam peralatan.

Real-time” adalah kata kuncinya. Kalau informasi-informasi yang dibutuhkan dokter bedah dapat dipantau secara langsung, bahkan tanpa harus menengok ke arah lain sedikit pun, tingkat kesuksesan operasi jelas akan meningkat.

Untuk mewujudkannya, Alder Hey akan dibantu oleh tim developer dari Black Marble, yang dipercaya untuk mengembangkan aplikasi HoloLens yang diperlukan, serta mematangkan proses integrasinya ke sistem di rumah sakit secara aman.

Selain HoloLens, produk lain Microsoft yang juga akan dipakai Alder Hey adalah Surface Hub, yang sederhananya bisa memuluskan kolaborasi tim selama tahap pra-operasi itu tadi. Kalau sebelumnya berbagai hasil scan bisa tersebar di beberapa tempat, dengan Surface Hub semuanya bisa dijadikan satu di layar besar perangkat tersebut.

Sumber: VRFocus dan Microsoft.

AR Headset Magic Leap One Versi Developer Resmi Dipasarkan

Setelah bertahun-tahun lamanya, Magic Leap pada akhirnya menjawab keraguan banyak orang lewat AR headset-nya, One. Kini mereka sudah siap menyebarkannya ke kalangan developer lewat peluncuran resmi Magic Leap One Creator Edition.

Mengenai hardware, paket penjualannya mencakup semua yang disingkap menjelang akhir tahun lalu, mulai dari headset Lightwear, motion controller 6DoF, serta yang tidak kalah penting adalah unit komputer bernama Lightpack. Lightpack yang wujudnya mirip speaker Google Home Mini ini dimensinya kecil, tapi spesifikasinya termasuk luar biasa.

Utamanya, ada chipset Nvidia Parker yang mengemas prosesor 6-core dan GPU Nvidia Pascal dengan 256 CUDA core. RAM-nya berkapasitas 8 GB, sedangkan storage-nya 128 GB (yang bisa dipakai cuma 95 GB). Baterainya diperkirakan bisa bertahan sampai 3 jam penggunaan, dan charging-nya mengandalkan USB-C.

Magic Leap One Creator Edition

Magic Leap juga menyinggung lebih banyak soal LuminOS, sistem operasi yang dijalankan oleh One, beserta sejumlah konten hasil garapan mereka sendiri yang sudah tersedia. Berhubung Creator Edition ini ditujukan buat para developer, jumlah kontennya belum banyak dan hanya dimaksudkan sebagai preview atau inspirasi buat mereka.

Sejauh ini ada tiga konten preview yang bisa dijajal oleh para developer. Yang pertama adalah Tonandi, yang dideskripsikan sebagai pengalaman eksplorasi audio-visual yang interaktif. Tonandi ini merupakan hasil kolaborasi Magic Leap dengan band kondang asal Islandia, Sigur Ros.

Magic Leap One Creator Edition

Kedua, ada Create yang digambarkan sebagai pengalaman mixed reality tipe sandbox. Pada dasarnya kita bisa menciptakan apa saja di sini, betul-betul sesuai dengan namanya. Yang terakhir dan yang mungkin paling dinanti-nanti adalah game berjudul Dr. Grordbort’s Invaders, yang teaser versi demonya sudah ada sejak lama. Untuk proyek yang terakhir ini, Magic Leap menggandeng maestro CGI di industri perfilman, Weta Workshop.

Di Amerika Serikat, Magic Leap One Creator Edition saat ini sudah dipasarkan dalam jumlah terbatas seharga $2.295 – lebih terjangkau dari Microsoft HoloLens, tapi tetap saja masih sangat mahal. Semoga saja versi consumer-nya jauh lebih murah dari itu.

Sumber: Magic Leap.

Headset MR Magic Leap One Akan Mulai Didistribusikan Pertengahan Tahun ini

Kerja keras yang dilakukan Magic Leap sejak 2010 akhirnya dipamerkan di akhir tahun lalu. Melalui One, perusahaan asal Florida itu mencoba mengombinasikan teknologi augmented reality dengan computer vision, melalui pemanfaatan medan cahaya digital sebagai metode untuk ‘menempat-kan’ gambar komputer tiga dimensi di objek-objek dunia sesungguhnya.

Dan di acara presentasi live stream kemarin, Magic Leap mengabarkan agenda buat mulai mengapalkan perangkat Magic Leap One di tahun ini. Dalam menyuguhkannya, Magic Leap mengikuti langkah perusahaan-perusahaan pencipta HMD populer seperti Oculus VR dan HTC untuk melepas versi pengembangannya terlebih dulu sebelum memasarkan produk secara lebih luas.

Buat sekarang, Magic Leap masih belum mengabarkan kapan tepatnya One versi ‘Creator Edition’ dilepas. Produsen hanya bilang akan mendistribusikannya di ‘musim panas 2018’ yang artinya bisa jadi dilakukan di bulan ini. Magic Leap juga masih malu-malu untuk menyingkap spesifikasi HMD. Yang jelas, penampilan One dengan dua lensa bundarnya mirip seperti kacamata di kisah sci-fi cyberpunk.

Dalam live stream, perusahaan akhirnya mengungkap sejumlah hardware yang digunakan untuk meracik One. HMD mixed reality itu mengusung Nvidia Tegra X2 – versi lebih canggih dari prosesor yang mengotaki Nintendo Switch. Dan melalui demonstrasi tech ‘Dodge’, Magic Leap memperlihatkan bagaimana One mampu membaca posisi tangan dan mengenal gesture – misalnya melakukan gerakan mencubit atau menaruh/memindahkan suatu objek digital.

Premis tersebut cukup menarik, namun hingga kini Magic Leap One masih belum didemonstrasikan secara langsung, jadi sulit mengestimasi kapabiltas hardware serta bagian optiknya dalam pemakaian di dunia nyata.

Selain presentasi, Magic Leap juga mengumumkan bahwa mereka menunjuk perusahaan telekomunikasi Amerika AT&T sebagai mitra strategisnya. Dengan kerja sama tersebut, AT&T memperoleh kesempatan buat memasarkan Magic Leap One secara eksklusif serta mempersilakan calon konsumen untuk mencoba headset mixed reality tersebut di gerainya – di kota Atlanta, Boston, Los Angeles dan San Francisco.

Di rilis pers AT&T, CEO Magic Leap Rony Abovitz menyampaikan bahwa alasan yang mendorong mereka melakukan kolaborasi bersama AT&T ialah demi memperluas jaringan berkecepatan tinggi, pemanfaatan edge computing, dan memperdalam integrasi dengan konten-konten kreatif. AT&T dapat membantu dari segi jangkauan jaringan, lalu Magic Leap berperan menjadi penyedia platformspatial computing‘.

Walaupun harga produk juga belum dikonfirmasi, dalam konferensi Recode Code Media bulan Februari silam, produsen sempat bilang mereka akan membanderol Magic Leap One dengan harga setara tablet atau smartphone kelas high-end.

Via The Verge.

AR Headset AntVR Mix Janjikan Sudut Pandang yang Luas dan Tracking Terintegrasi

Sebelum kita melihat HoloLens 2 terealisasi, sepertinya kita bakal lebih dulu berjumpa dengan alternatifnya yang tak kalah menarik. Datang dari Negeri Tirai Bambu, AR headset bernama Mix ini dibuat oleh pabrikan yang sudah cukup berpengalaman di bidang pengembangan VR headset, yaitu AntVR.

Faktor pembeda AntVR Mix dari HoloLens yang paling utama adalah harganya. Di saat Microsoft menawarkan headset-nya ke para developer seharga $3.000, AntVR berencana memasarkan Mix dengan banderol mulai $500 saja, dimulai pada bulan depan melalui platform crowdfunding Kickstarter.

AntVR Mix

Meski berkali lipat lebih murah, Mix rupanya masih lebih superior ketimbang HoloLens di sejumlah aspek. Utamanya perihal field of view alias sudut pandang; HoloLens cuma terbatas di angka 35 derajat saja, sedangkan Mix menawarkan sudut pandang seluas 96 derajat, dan ini sempat mereka demonstrasikan langsung di hadapan pengunjung event Game Developers Conference bulan Maret lalu.

Mix menyajikan konten AR melalui display beresolusi 1200 x 1200 pada masing-masing mata, dengan refresh rate 90 Hz. Ia turut menjanjikan head tracking dengan dukungan six degrees-of-freedom (6DoF) dan tanpa bantuan hardware ekstra, demikian pula untuk hand tracking.

Andai diperlukan aksesori pendukung, Mix punya dua port USB yang bisa dimanfaatkan. Terkait konten, AntVR menjanjikan kompatibilitas penuh dengan platform SteamVR. Sejauh ini Mix terdengar begitu menarik, sayang barangnya baru akan merambah tangan konsumen pada akhir tahun nanti.

Sumber: VentureBeat.

Perkembangan dan Potensi Teknologi VR dan AR di Indonesia

Perlahan tapi pasti, kehadiran teknologi Virtual Reality (VR), Augmented Reality (AR), hingga Mixed Reality (MR) telah memberikan pilihan baru. Tidak hanya bagi industri game namun industri umum lainnya. Meskipun jumlah penggiat startup yang menyasar teknologi VR, AR dan MR masih tergolong sedikit, namun keberadaannya di Indonesia sudah makin familiar dan banyak digunakan masyarakat umum.

Di sesi #SelasaStartup kali ini, DailySocial menghadirkan Co-Founder Shinta VR Andes Rizky untuk mengupas tuntas apa itu teknologi VR dan AR dan bagaimana posisi Indonesia terhadap teknologi VR dan AR saat ini.

Perkembangan teknologi

Sejak tahun 1960-an, teknologi yang satu ini sudah dikembangkan segelintir orang. Meskipun belum bersifat komersil dan kebanyakan digunakan untuk pendidikan, konstruksi, dan kesehatan, teknologi VR sudah cukup familiar digunakan di Amerika Serikat. Pada tahun 1980-an teknologi VR ini kemudian kembali hadir dengan produk  yang lebih canggih, namun sekali lagi belum banyak digunakan masyarakat umum.

“Pada tahun 1987, melalui produk VR buatan visual artist Jaron Lanier, teknologi VR sudah mulai dikembangkan lagi. Namun karena harganya yang sangat mahal, hanya kalangan tertentu saja yang bisa menikmati teknologi ini,” kata Andes.

Meskipun belum memiliki tampilan yang seamless seperti saat ini, teknologi VR dan AR pada tahun 80-an, sudah mulai memanfaatkan sensor hingga gerakan tubuh untuk kemudian diimplementasikan ke dalam teknologi tersebut.

Berbeda dengan VR yang banyak digunakan kalangan umum, teknologi AR justru lebih banyak digunakan untuk keperluan militer hingga institusi privat. Kemampuannya yang bisa mencatat semua pergerakan juga banyak digunakan oleh konstruksi untuk menelaah takaran hingga kebutuhan yang tepat untuk membangun gedung atau rumah.

“Jika saat ini teknologi AR justru jauh lebih familiar digunakan untuk keperluan komersil, dulunya teknologi AR terbilang sangat eksklusif dan hanya kalangan tertentu yang bisa menggunakannya,” kata Andes.

Saat ini, berkat kepopuleran permainan Pokemon Go, teknologi AR tidak hanya banyak digunakan orang dewasa. Banyak anak-anak mulai familiar dengan teknologi ini. Tidak hanya untuk permainan, tetapi juga edukasi dan hiburan lainnya.

Perkembangan teknologi VR dan AR kemudian melahirkan teknologi baru yang merupakan peleburan dua teknologi tersebut, yaitu Mixed Reality (MR). Teknologi yang tergolong masih baru ini secara fleksibel mampu menghasilkan gerakan yang unik, berasal dari kecerdasan AR dan VR.

“Intinya adalah VR tergolong lebih personal dibandingkan dengan AR. VR sendiri saat ini lebih didominasi oleh game untuk hiburan masyarakat umum,” kata Andes.

Kesiapan Indonesia

Sedikitnya ada 13 perusahaan teknologi yang mengembangkan teknologi VR dan AR di Indonesia. Masing-masing dengan keunikan sendiri, menawarkan produk untuk korporasi, startup, dan layanan e-commerce.

Selain Shinta VR, perusahaan yang mengembangkan teknologi VR dan AR di Indonesia adalah Festivo, DCIMAJI, Magnate, ARnCO, Octagon Studio, Primetech, Avergo, Omni VR, Invoya, INVR, DAV, Varcode. Semua perusahaan tersebut saat ini tergabung dalam Indonesian VR/AR Association (INVRA).

“Bersama dengan Bekraf kita memiliki rencana untuk memberikan edukasi dan pelatihan kepada pengembang hingga masyarakat umum yang tertarik dengan teknologi VR dan AR,” kata Andes.

Meskipun masih didominasi negara Tiongkok dalam hal penyebaran produk dan pengembangan perangkat teknologi, namun Indonesia memiliki potensi yang besar untuk bisa mengembangkan teknologi VR dan AR. Dengan pilihan harga produk yang makin terjangkau, Andes optimis akan lebih banyak lagi pengembang VR dan AR di Indonesia.

“Shinta VR sendiri dalam waktu dekat akan meluncurkan permainan VR yang bisa digunakan oleh tim dalam jumlah yang banyak. Masih fokus kepada permainan, kita akan melanjutkan ke tahap scale up dengan permainan yang rencananya bakal dirilis bulan Juli mendatang,” tutup Andes.

Mozilla Luncurkan Aplikasi Augmented Reality untuk iOS

Oktober lalu, Mozilla mengajukan standar baru bernama WebXR. WebXR merupakan evolusi dari standar WebVR yang sudah ada sejak 2014, diramu secara spesifik agar konten AR sekaligus VR dapat disuguhkan secara konsisten di semua perangkat, mulai dari VR dan AR headset, sampai perangkat desktop sekaligus mobile.

Sejauh ini belum banyak developer yang mengadopsi standar WebXR. Maka dari itu, langkah Mozilla selanjutnya adalah merilis aplikasi WebXR Viewer untuk perangkat iOS. Tujuannya adalah supaya developer bisa bereksperimen dengan konten AR dan VR berbasis web, tanpa harus membangun aplikasinya sendiri.

Aplikasi ini turut menyediakan sejumlah contoh konten AR yang dapat dihasilkan menggunakan standar WebXR. Sebagian mungkin terkesan biasa saja, tapi perlu diingat, tujuan Mozilla di sini adalah membuka jalan bagi para developer, hingga akhirnya merekalah yang bisa menghasilkan konten yang berkesan.

Mozilla WebXR Viewer

Apa yang dilakukan Mozilla ini sebenarnya bisa dianggap sebagai ARKit atau ARCore versi web. Kalau ARKit ditujukan untuk platform iOS dan ARCore untuk Android, maka WebXR melibatkan teknologi web yang open-source dan tidak terbatas oleh platform tertentu.

Andai Anda seorang developer, pastinya Anda ingin kreasi Anda bisa dinikmati sebanyak mungkin konsumen, bukan? Di sinilah yang saya kira bisa menjadi nilai jual WebXR. Lebih lanjut, peluang developer baru untuk ikut berpartisipasi juga bisa lebih besar karena mereka tidak perlu terlalu mendalami platform tertentu.

Sumber: The Next Web dan Mozilla.

Microsoft Akuisisi AltspaceVR

Awal Agustus kemarin, AltspaceVR mengumumkan bahwa mereka akan menghentikan layanan virtual reality sosialnya. Namun selang beberapa minggu saja, AltspaceVR kembali membuat pengumuman yang mengejutkan bahwa layanannya tidak jadi ditutup berkat bantuan investor baru.

Pertanyaannya, siapakah investor baru itu? Well, sekarang kita sudah punya jawabannya, yaitu Microsoft. Ya, Microsoft baru saja mengakuisisi AltspaceVR secara resmi, dan ini semakin menunjukkan komitmen Microsoft dalam mengembangkan platform Windows Mixed Reality-nya.

Apa yang membuat Microsoft tertarik dengan AltspaceVR? Menurut penjelasan AltspaceVR sendiri, Microsoft punya visi untuk meleburkan teknologi komunikasi ke dalam ekosistem mixed reality. Timing-nya memang sangat pas dengan dimulainya pemasaran headset Windows Mixed Reality dari sejumlah pabrikan, termasuk Samsung.

Baik Microsoft maupun AltspaceVR tidak mengungkap nilai akuisisinya. Kendati demikian, AltspaceVR memastikan bahwa layanannya bakal tetap beroperasi dan akuisisi ini tidak akan berdampak buruk pada komunitas penggunanya.

AltspaceVR pun memastikan kalau layanannya bakal tetap tersedia secara cross-platform di HTC Vive, Oculus Rift, Samsung Gear VR, Google Daydream View maupun PC dan Mac dalam tampilan 2D. Ya, ini berarti pengguna headset Windows Mixed Reality nantinya dapat berjumpa dengan pengguna VR headset lain melalui AltspaceVR.

Sumber: TechCrunch dan AltspaceVR.