GMV Food Delivery di Asia Tenggara Hanya Naik 5% Sepanjang 2023

Laporan tahunan “Food Delivery Platforms in Southeast Asia” yang diterbitkan Momentum Works mengungkapkan total GMV layanan pesan-antar makanan di Asia Tenggara diperkirakan sebesar $17,1 miliar—hanya tumbuh 5% (yoy) sepanjang 2023. Angka pertumbuhan ini persis seperti yang terjadi di 2022.

Pertumbuhan terbesar datang dari Vietnam ($1,4 miliar atau 27%) dan diikuti Malaysia ($2,4 miliar atau 9%). Thailand dan Indonesia mencatat pertumbuhan satu digit, masing-masing GMV sebesar 2,7% ($3,7 miliar) dan 2,2% ($4,6 miliar). Sementara Singapura tetap terjaga di GMV yang sama, sebesar $2,5 miliar.

Bila melihat secara volume, Indonesia tetap jadi pasar terbesar, disusul Thailand. Singapura dan Filipina berada di urutan yang sama, lalu diikuti Malaysia, dan Vietnam.

Momentum Works

“Tingginya konsumsi makanan dan minuman, rendahnya penetrasi pesan-antar makanan, dan konsolidasi yang sedang berlangsung, menyisakan banyak ruang pertumbuhan bagi platform pesan-antar makanan di wilayah ini. Sambil berfokus pada kemampuan inti mereka, para pemain terkemuka juga perlu memperhatikan potensi perubahan pasar dan tantangan yang muncul,” kata Founder & CEO Momentum Works Jianggan Li dalam keterangan resmi, Senin (29/1).

Walau sebagian negara di kawasan ini hanya cetak pertumbuhan satu digit, ada catatan kecil yang menarik terjadi di Filipina. Di sana sebagian besar pasar pesan-antar makanannya dioperasikan oleh jaringan restoran cepat saji.

“Meskipun pasar tersebut tidak termasuk dalam cakupan laporan ini, kami memperkirakan ukurannya mendekati ⅓ dari total platform GMV di negara tersebut,” tulis laporan tersebut.

Lebih lanjut, berdasarkan kontribusi dari masing-masing pemain, Grab masih dinobatkan sebagai kontributor terbesar di kawasan ini, sebesar 55% atau $9,4 miliar dari total GMV. Foodpanda dan Gojek diperkirakan menyumbang 15,8% ($2,7 miliar) dan 10,5% ($1,8 miliar), atau masing-masing mengalami penurunan sebesar 12,9% dan 10,0% YoY.

Berikutnya, Shopee dan LINE MAN menunjukkan pertumbuhan yang signifikan. Keduanya diperkirakan berkontribusi masing-masing sebesar 8,8% ($1,5 miliar) dan 8,1% ($1,4 miliar).

Momentum Works

Pangsa pasar Grab mendominasi secara signifikan di Singapura, Malaysia, Filipina, dan Indonesia. ShopeeFood, yang hanya menerima sedikit perhatian dari luar karena persaingan e-commerce yang lebih besar yang diperjuangkan oleh Shopee, justru mengalami pertumbuhan paling besar (hampir ⅔); sedangkan LINE MAN di Thailand juga mencatatkan pertumbuhan dua digit.

Sorotan utama

Laporan ini juga menyoroti tren industri pada tahun 2023. Berikut rangkumannya:

  1. Merek F&B premium menghadapi tantangan meskipun belanja regional untuk F&B mulai pulih: belanja F&B di Asia Tenggara akhirnya pulih hingga melampaui tingkat sebelum pandemi ($125,2 miliar pada 2023 vs $115,7 miliar pada 2019). Namun, banyak merek premium (terutama di Singapura) mendapati tahun ini lebih sulit dibandingkan tahun 2022, dan banyak yang mengambil langkah pemotongan biaya di tengah ketidakpastian makro dan inflasi, yang mungkin meningkatkan sensitivitas harga di kalangan pengunjung kelas menengah.
  2. Masuknya merek-merek F&B asal Tiongkok secara massal meningkatkan persaingan: Pada tahun 2023 terjadi percepatan masuknya dan ekspansi merek-merek F&B Tiongkok ke Asia Tenggara. Tren ini terlihat dari 30 gerai Luckin Coffee di Singapura dan hampir 4.000 gerai Mixue di seluruh Asia Tenggara. Namun merek-merek dalam berbagai kategori dan ukuran juga telah hadir di wilayah tersebut. Mereka memanfaatkan pengetahuan mereka dalam pengoperasian toko, pemasaran, pengoperasian pengguna, dan manajemen waralaba. Harapkan lebih banyak lagi di tahun 2024.
  3. Pemain utama food delivery telah mencapai profitabilitas: Sebagian besar platform telah mencapai atau berada di jalur yang tepat untuk mencapai titik impas EBITDA yang disesuaikan (adjusted EBITDA), dengan beberapa target untuk mencapai arus kas bebas positif pada tahun 2024. Namun, seperti yang ditunjukkan oleh pengalaman Meituan dan Uber, profitabilitas mungkin tidak akan bertahan lama – platform harus terus menyeimbangkan pertumbuhan dengan profitabilitas yang berkelanjutan.

“Setelah satu hingga dua tahun melakukan pengurangan biaya, optimalisasi operasional, dan terkadang PHK, sebagian besar platform, menurut definisi mereka sendiri, telah mencapai tingkat profitabilitas tertentu. Konsolidasi yang sudah terjadi di sektor ini diperkirakan akan berlanjut pada tahun 2024,” tulis laporan tersebut.

  1. Para pemain pesan-antar makanan terus melakukan perbedaan strategi, memanfaatkan iklan untuk meningkatkan pendapatan: Para pemain pesan-antar makanan utama terus memanfaatkan produk iklan untuk mengunci lebih banyak investasi dari merchant. Kemudian, memperluas portofolio produk periklanannya untuk memenuhi berbagai kebutuhan dari semua merek, termasuk jaringan F&B besar, merchant UKM F&B, dan FMCG.
  2. Ruang untuk pertumbuhan basis pengguna dan optimalisasi operasional di kawasan ini: Grab hanya memiliki 5% dari 600 juta populasi di kawasan ini sebagai pelanggan transaksi bulanan. Di tengah tren topline sektor yang datar, populasi yang belum terlayani di kota-kota besar, ekspansi ke kota-kota kecil, dan melayani wisatawan memberikan peluang pertumbuhan lebih lanjut bagi platform pesan-antar makanan. Pemain didorong untuk terus mengoptimalkan operasi untuk mengurangi biaya dan meningkatkan keuntungan mereka.

Momentum Works: PDB Coffee-Chain di Asia Tenggara Ditaksir Capai Rp52,6 Triliun

Diestimasi Asia Tenggara menghabiskan $3,4 miliar atau sekitar 52,6 triliun Rupiah pada tahun ini untuk membeli segelas kopi modern, menurut sebuah studi baru yang dirilis Momentum Works.

Hasil penelitian dipublikasikan dalam laporan “Coffee in Southeast Asia 2023,” yang merangkum secara mendalam mengenai dinamika bisnis di balik modernisasi ritel minuman sehari-hari yang banyak dikonsumsi mayoritas masyarakat Asia Tenggara.

Dipaparkan, Indonesia dan Thailand adalah pasar coffee shop modern terbesar, masing-masing diperkirakan omzet tahunannya sebesar $947 juta dan $807 juta. Pertumbuhan besar ini sebagian besar didorong perluasan jaringan para pemain coffee shop lokal. Kemudian disusul Vietnam yang hanya memiliki sedikit pemain jaringan milik asing.

Berdasarkan jumlah gerai, terdapat dua coffee shop asal Thailand, Café Amazon dan Inthanin menjadi pemain dengan gerai terbanyak di Asia Tenggara dengan masing-masing sebanyak lebih dari 3.900 gerai dan 1.000 gerai.

Dari Indonesia, terdapat Janji Jiwa dan Kopi Kenangan dengan total masing-masing, 900 gerai dan 800 gerai. Kemudian dari Vietnam terdapat Highland Coffee dengan 700 gerai. Starbucks dan Dunkin menjadi dua pemain coffee shop asing dengan gerai terbanyak, masing-masing memiliki 2.000 gerai dan 1.300 gerai.

Laporan Momentum Works

“Konsumen di Asia Tenggara lebih terbiasa dengan kopi, dengan sebagian besar konsumsinya didorong oleh kopi instan dan seduh manual yang dijual oleh pedagang perorangan di pasar. Meningkatnya daya beli di kawasan ini telah mendorong permintaan akan kopi yang bernilai lebih tinggi dan berkualitas lebih baik, sehingga memicu pertumbuhan jaringan kopi modern milik lokal dan asing,” tulis Momentum Works.

Mengapa tetap ramai?

Momentum Works melihat industri coffee shop modern di kawasan ini sangat kompetitif, tapi mengapa masih banyak pemain di pasar? Alasannya karena industri ini terbagi dari dua target konsumen yang berbeda. Yakni, mass dan premium.

Konsumen mass ini membeli kopi dari pemain mass (berdasarkan harga dan brand positioning) karena harganya lebih murah. Mereka, penjual kopi formal dan informal, juga mudah ditemukan di berbagai titik dengan lalu lintas tinggi dilewati orang. Dari sisi penawaran produk, mereka lebih condong ke arah kopi instan dan tradisional dengan memfokuskan diri pada keunggulan harga.

Sementara konsumen premium ini, memilih untuk beli di coffee shop premium yang harganya lebih mahal bisa sampai 4x lipat dari merek mass. Akan tetapi, penawaran produk ini menggunakan biji kopi berkualitas tinggi dan teknik penyiapannya lebih canggih. Biasanya pemain premium ini cenderung berada di lokasi yang lebih premium dan mengutamakan pengalaman pelanggan dan suasana toko.

Laporan Momentum Works

Selain itu, karena permintaan pasti terus ada karena minum kopi sudah jadi bagian dari kebutuhan, maka secara industri pasar coffee shop modern ini menjadi tetap menarik bagi investor, pengusaha, pemilik perkebunan kopi, dan konglomerat yang memiliki usaha ritel F&B. Di Singapura saja, dengan pasar terkecil dari enam negara lainnya, memiliki lebih dari 30 jaringan coffee shop yang beroperasi. Fore Coffee adalah pemain teranyar asal Indonesia yang baru ekspansi ke Singapura.

Meskipun para pemain coffee shop sering kali berbeda dalam konsep, suasana, menu kopi -bahkan pasangan makanannya, pada dasarnya satu sama lain lebih banyak kemiripannya daripada yang tidak sama sekali.

Ruang pertumbuhan melambat

Akan tetapi, yang menjadi catatan besar dari laporan ini adalah estimasi PDB konsumsi kopi (CAGR: 0,8%) mulai melambat sepanjang 2018-2021, dibandingkan dengan pertumbuhan PDB secara per kapita (CAGR 2.65%). Kawasan ini berbeda dengan pasar yang secara tradisional didominasi oleh teh, seperti Tiongkok dengan pertumbuhan signifikan sama seperti Korea dan Jepang.

Walau demikian, ruang pertumbuhan akan tetap terjadi dan diperkirakan terjadi karena pergeseran konsumsi kopi, misalnya dari kopi instan ke kopi kafe, dari kopi tradisional ke kopi milik waralaba yang sedikit lebih premium.

“Kuncinya di sini adalah meningkatkan nilai setiap cangkir kopi yang dijual ke basis konsumen yang sama.”

Laporan Momentum Works

Pemain coffee shop dituntut untuk mengembangkan bisnisnya, selain menambahkan makanan dan item lainnya ke dalam menu, ada dua cara lain yang dapat dilakukan bersamaan:

  1. Mengambil pangsa pasar dari pemain lain atau bentuk konsumsi;
  2. Meyakinkan konsumen untuk meningkatkan dan membelanjakan lebih banyak pada setiap cangkir (disebut juga premiumisasi);

“Untuk mencapai masing-masing (atau keduanya), pemain harus memiliki strategi yang jelas dan valid, pemahaman yang baik tentang dinamika persaingan yang berkembang, dan tentu saja eksekusi yang baik.”

Oleh karena itu, Momentum Works menyarankan kepada para pelaku industri untuk melihat lebih dari sekedar meningkatkan produk, mulai mencari cara bagaimana model bisnisnya dapat naik sambil memanfaatkan teknologi dan data untuk meningkatkan efisiensi operasional di berbagai bidang.

Peningkatan tersebut harus didukung oleh tim kepemimpinan yang kuat, struktur organisasi yang kokoh, dan sumber daya manusia yang mampu. Pasar yang terus berkembang menawarkan banyak studi kasus, dengan pembelajaran tidak hanya untuk industri ini, namun juga untuk semua organisasi di berbagai sektor yang ingin berinovasi.

Transaksi TikTok Shop Diprediksi Tembus Rp230 Triliun, Siap Salip Lazada dan Tokopedia

Nilai transaksi bruto (Gross Merchandise Value/GMV) TikTok Shop di Asia Tenggara diprediksi bakal tembus $15 miliar (sekitar Rp230 triliun) pada tahun 2023. Angka tersebut akan membuatnya setara dengan Lazada dan Tokopedia yang sudah berdiri selama lebih dari satu dekade.

Menurut laporan Momentum Works dalam “The TikTok Shop Playbook”, merinci GMV yang dihasilkan TikTok Shop berturut-turut mencapai $600 juta pada 2021 dan $4,4 miliar pada 2022. Kenaikan didukung karena pada tahun tersebut platform social commerce tersebut ekspansi dari Indonesia hingga lima pasar utama di Asia Tenggara. Walau demikian, pangsa pasarnya tetap rendah, hanya satu digit di semua pasar tersebut.

Di Indonesia saja, TikTok Shop bertengger di urutan kelima (5%) berdasarkan pangsa pasarnya pada tahun lalu, sementara di lima negara lain, berada di kisaran 1%-4%. Shopee memiliki pangsa pasar sebesar 36%, diikuti Tokopedia (35%), Lazada (10%), Bukalapak (10%), dan Blibli (4%).

Secara regional, GMV yang disumbangkan Shopee masih jadi terbesar $47,9 miliar. Lalu disusul Lazada dengan GMV sebesar $20,1 miliar dan Tokopedia sebesar $18,4 miliar.

“Namun, penting untuk dicatat bahwa di sebagian besar pasar ini, TikTok Shop dimulai dari nol pada awal tahun – dan di Indonesia, TikTok Shop telah mencapai $10 juta setiap hari pada akhir tahun 2022. Pertumbuhan tersebut berlanjut pada tahun 2023, dengan indikasi terbaru bahwa di berbagai pasar, tingkat kinerja GMV Toko TikTok pada tahun 2023 mendekati tingkat kinerja Lazada,” tulis laporan tersebut.

Momentum Works

TikTok Shop kini hadir di sembilan negara, termasuk Asia Tenggara, Inggris, Arab Saudi, dan Amerika Serikat. Perusahaan tersebut menargetkan dapat mencapai GMV $20 miliar secara global pada tahun ini, sebanyak $15 miliar akan disumbangkan dari Asia Tenggara.

Momentum Works menyampaikan, banyak pakar yang skeptis dengan target tersebut. Namun jika dilihat di lapangan, setidaknya di Asia Tenggara saja, angka tersebut berada di jalur yang tepat untuk paruh pertama tahun ini. Tantangan dan beberapa masalah organisasi dalam prosesnya, namun upaya TikTok untuk mengonversinya terus berlanjut.

“Perkembangannya tampak kacau, dengan adanya keraguan dari ekosistem dan bahkan beberapa pemangku kepentingan utama (internal dan eksternal). Meskipun demikian, sejauh ini kepemimpinan dan organisasi dapat beradaptasi, dalam upaya mencapai e-commerce.”

Kategori produk

Adapun, produk yang paling banyak dibeli dari TikTok Shop adalah kategori kecantikan dan perawatan diri berdasarkan kinerja di kuartal I 2023. Dua merek yang paling laku terjual untuk pasar Indonesia saja adalah Skintific dan The Originote. Diestimasi GMV masing-masing sebesar $6 juta (volume penjualan di atas 200 ribu), dan $4,2 juta (volume penjualan di atas 360 ribu).

Kategori ini berdasarkan GMV memberikan kontribusi sebesar 70%, dibandingkan kategori lainnya seperti fesyen perempuan (9%), kuliner (5%), smartphone dan elektronik (4%), perabotan rumah tangga (5%), dan mainan dan hobi (7%).

Kategori ini juga paling mudah dan realistis untuk dipasarkan oleh penjual/key opinion leader (KOL), terutama dalam format video atau live streaming yang demonstrasinya dilakukan secara real time. Penjual dapat mendemonstrasikan produk dalam format yang menarik secara visual dan dapat dengan mudah direplikasi dalam skala besar, sehingga tingkat konversinya lebih baik.

Kesempatan monetisasi

Laporan ini juga menyampaikan, pada 2022, pengguna aktif bulanan (MAU) TikTok secara global melebihi 1 miliar, menghabiskan miliaran jam di platform tersebut. Cara monetisasi basis penggunanya jadi prioritas utama bagi TikTok dan induknya, ByteDance.

Berbeda dengan platform sosial & konten lainnya termasuk Meta (Facebook), ByteDance tampaknya sangat bertekad untuk menjadikan e-commerce sebagai pilar utama monetisasi, secara global.

Seperti diketahui, selama bertahun-tahun, platform e-commerce membangun ekosistem dan roda yang efisien. TikTok Shop memiliki keunggulan alami dalam lalu lintas pelanggan dan komitmen perusahaan untuk mengalokasikan sebagian besar kunjungan tersebut untuk belanja e-commerce.

“Seiring dengan berkembangnya TikTok Shop dan mulai mendapatkan lebih banyak pengaruh atas infrastruktur pembayaran/pemenuhan, TikTok Shop dapat dan harus mampu menjadi bisnis yang menguntungkan di pasar utama tempat ia beroperasi.”

Shopee telah menunjukkan bahwa bahkan di Asia Tenggara, dengan daya konsumsi yang relatif lebih rendah dibandingkan negara maju, keuntungan tetap bisa diraih.

Hanya saja, Momentum Works tidak dapat memprediksi seberapa besar volume atau pangsa pasar TikTok Shop di pasar-pasar utamanya, sebab sangat bergantung pada beberapa faktor, termasuk komitmen berkelanjutan dan evolusi organisasi TikTok Shop, serta faktor eksternal dalam politik, geopolitik, respons kompetitif dan tentu saja, kondisi ekonomi global.

Momentum Works: Shopee Pimpin Transaksi E-commerce di Asia Tenggara

Sektor e-commerce di Asia Tenggara terus menunjukkan pertumbuhan dan persaingan yang kuat walau industri digital diterpa berbagai tantangan. Shopee tercatat memimpin pasar regional dengan kontribusi Gross Merchandise Value (GMV) sebesar $47,9 miliar, melampaui pesaingnya, seperti Lazada, Tokopedia, dan TikTok Shop.

Menurut laporan termutakhir yang dirilis Momentum Works bertajuk “Ecommerce in Southeast Asia”, sembilan platform e-commerce terkemuka di Asia Tenggara menghasilkan total GMV sebesar $99,5 miliar pada 2022, naik 1,8 kali lipat dari 2020, tahun pertama pandemi.

Dari total GMV tersebut, sebanyak 52% atau senilai $51,9 miliar berasal dari Indonesia, dan disusul Thailand ($14,4 miliar). Sementara, Singapura dan Malaysia menduduki peringkat teratas berdasarkan GMV per kapita.

Dirinci dari platformnya, Lazada mencetak GMV sebesar $20,1 miliar, disusul Tokopedia ($18,4 miliar), Bukalapak ($5,3 miliar), TikTok Shop ($4,4 miliar), dan Blibli ($2,2 miliar). Setelah Shopee, posisi kedua ditempati oleh Lazada yang bertengger di urutan yang sama di lima negara, kecuali Indonesia.

Di Indonesia, Tokopedia menempati urutan kedua setelah Shopee, dengan pangsa pasar masing-masing 35% dan 36%, diikuti Lazada (10%), Bukalapak (10%), TikTok Shop (5%), dan Blibli (4%).

Sumber: Momentum Works

Momentum Works memproyeksikan total GMV Asia Tenggara mencapai $175 miliar pada 2028 mendatang dalam skenario normal, dengan potensi kenaikan hingga $232 miliar dalam skenario kasus terbaik.

Terkait laporan ini, Founder dan CEO Momentum Works Jianggan Li menuturkan, bisnis e-commerce di Asia Tenggara kemungkinan besar akan mengikuti pertumbuhan yang normal dan sehat selama beberapa tahun ke depan. Shopee dan Lazadda akan selalu ada berbagi pangsa pasar dengan satu atau dua pemain global lainnya.

“Pemain yang berfokus pada satu negara untuk bertahan hidup, akan lebih banyak beralih ke omnichannel, di mana dalam logistik 3PL hanya 2-3 pemain regional besar dan terdiversifikasi yang akan bertahan. Pemilik merek akan terus bekerja dengan gudang pendukung/distributor, dengan lebih menekankan untuk membangun loyalitas mereka sendiri,” ujarnya dalam keterangan resmi.

Li melanjutkan, “permainan akhir mungkin terjadi bukan dalam situasi yang stabil, melainkan hasil dari arus yang terus berubah, dan bagaimana platform dapat (atau tidak mampu) mengendarai arus tersebut.”

Sumber: Momentum Works

Geliat TikTok Shop

Dalam laporan tersebut juga membahas perkembangan pesat TikTok Shop di kawasan ini. Seperti diketahui, tahun lalu pengguna aktif bulanan (MAU) TikTok secara global melebihi 1 miliar, tidak seperti Meta (Facebook) yang membuat sejumlah pihak setengah hati taruhan di bisnis e-commerce sambil fokus pada periklanan.

ByteDance, induk TikTok, sangat bertekad untuk membuat keduanya bekerja secara global. Perlu juga dicatat, TikTok (versi Tiongkok disebut Douyin) sudah membuat terobosan besar di e-commerce.

Menyusul dorongan agresifnya di Indonesia, TikTok Shop berkembang masuk ke lima negara di Asia Tenggara pada 2022, yaitu Thailand, Vietnam, Malaysia, Filipina, dan Singapura. Dilaporkan, TikTok menargetkan pertumbuhan GMV lebih dari tiga kali lipat pada tahun ini atau sebesar $15 miliar.

Pendekatan e-commerce yang diusung TikTok untuk pengguna berbeda dengan pemain e-commerce tradisional di kawasan ini. Beberapa inisiatif besarnya, selain andalkan video/live commerce, TikTok memperkenalkan halaman marketplace khusus di bawah tab “Shop”.

TikTok Shop awalnya berfokus dorong penjualan produk ke tampilan utama konsumer melalui live streaming dan in-feed videos/ads. Lalu fitur tersebut ditingkatkan agar mampu mendukung dan mengintegrasikan beberapa saluran (seperti pencarian produk dan flash sales) untuk memenuhi kebutuhan belanja konsumen yang berbeda-beda.

Hal ini membuatnya jadi mirip dengan platform e-commerce pada umumnya dan mampu mendorong mendorong pembelian impulsif dan menanamkan kebiasaan pengguna mencari produk dan berbelanja di TikTok.

Di luar itu, TikTok Shop masih punya segudang pekerjaan rumah. Di antaranya, menambah kategori produk dengan ticket size yang lebih besar untuk mendongkrak average order value (AOV), dan yang terpenting bagaimana TikTok bisa memperkuat ekosistem e-commerce miliknya.

Pasalnya, sejauh ini TikTok masih mengandalkan kemitraan dengan perusahaan logistik, yang merupakan ekosistem yang paling melekat dengan e-commerce. Sementara, Shopee, Lazada, dan Tokopedia, sudah membangun ekosistemnya dari jauh-jauh hari. Misalnya, Shopee Xpress sudah tersebar jaringannya di 8000 titik dan mampu menerima 35%-40% pesanan.

Lazada Logistics malah lebih besar kapasitas pesanan yang dapat ditampung, sekitar 50%-60% dari total dan ditangani oleh lebih dari 400 fasilitas gudang, tempat penyortiran, dan titik pengiriman.

Momentum Works: GrabFood Pimpin Pasar “Food Delivery” di Asia Tenggara 3 Tahun Berturut-Turut

GrabFood, platform food delivery milik Grab, disebutkan memimpin pasar pesan-antar makanan di Asia Tenggara selama tiga tahun berturut-turut sejak 2020 hingga 2022, menurut laporan Momentum Works bertajuk “Food delivery platforms ind Southeast Asia (SEA) Jan 2023”.

“Dari pemain regional utama, Grab adalah satu-satunya yang mempertahankan pertumbuhan GMV berturut-turut untuk yang terakhir tiga tahun. Grab juga memiliki posisi kas bersih terbaik dibandingkan dengan rekan-rekannya untuk mempertahankan investasi,” tulis laporan tersebut.

“Pasca lonjakan investasi makanan pada 2021, Shopee telah diskalakan kembali untuk fokus membuat bisnis intinya e-commerce menguntungkan. Sedangkan, Gojek sudah stagnan selama tiga tahun, cerminan dari dinamika dan persaingan di pasar Indonesia,” sambungnya.

Diestimasi GMV dari GrabFood sebesar $8.8 miliar dari total GMV se-Asia Tenggara sebesar $16,3 miliar. Kemudian, disusul DeliveryHero ($3,1 miliar), GoFood ($2 miliar), dan ShopeeFood ($0,9 miliar). Sedangkan, untuk pangsa pasar GrabFood di Indonesia saja sebesar 49%. Kemudian disusul GoFood (44%) dan ShopeeFood (7%).

Sumber: Momentum Works

Adapun GMV di Indonesia mencapai $4,5 miliar, masih menempati posisi tertinggi setelah Thailand ($3,6 miliar) dan Singapura ($2.5 miliar). “Grab telah mengambil kepemimpinan pangsa pasar di Malaysia dan Vietnam dari Foodpanda dan ShopeeFood, dan sekarang GMV-nya menyumbang 54% dari total di kawasan.”

Dalam laporan dipaparkan bahwa pada 2022, semua platform pesan-antar makanan mengalami hambatan yang kuat dalam menciptakan pertumbuhan. Ini ada kaitannya dengan permintaan pasar modal untuk profitabilitas, mengingat sebagian besar pemain telah menjadi perusahaan terbuka, dan kembalinya mobilitas masyarakat selepas pandemi.

Akibatnya, secara GMV untuk year-on-year tercatat hanya tumbuh 5% mencapai $16,3 miliar. Pertumbuhan didorong oleh pasar Filipina, Malaysia, dan Vietnam yang secara ukuran relatif lebih kecil, sedangkan pasar yang lebih besar – Indonesia, Thailand dan Singapura – mencatatkan penurunan karena berbagai faktor yang signifikan dan bervariasi.

Misalnya, pembukaan kembali di Singapura telah mengubah permintaan layanan makanan menjadi offline, sementara di Thailand penarikan subsidi pemerintah setelah Oktober serta banjir pada paruh kedua tahun tersebut memainkan peran yang signifikan.

Sumber: Momentum Works

“Pertumbuhan pengiriman makanan menjadi normal ke tingkat pra-pandemi setelah dua tahun mengalami pertumbuhan yang signifikan. Pembukaan kembali pasca-covid (kembalinya makan di luar rumah, pengurangan subsidi untuk ongkos pengiriman), dan lanjutan dari rasionalisasi pasar, mengakibatkan pertumbuhan rendah.”

Tren makro pesan-antar makanan

Laporan ini juga menyoroti tantangan berikutnya di industri pesan-antar makanan berdasarkan tren makro, yakni fragmentasi digitalisasi F&B (serta upaya platform untuk mengontrol POS), dan perluasan platform ke pengiriman makanan secara keseluruhan. Upaya tersebut dimaksudkan karena platform ingin lebih memanfaatkan penawaran dan meningkatkan permintaan layanan makanan.

Bagi merchant kuliner, pandemi percepatan adopsi tidak hanya dalam hal pengiriman, tetapi juga solusi yang berfokus pada rantai ekosistemnya. Namun, terjadi digitalisasi yang terfragmentasi dan data, yang pada akhirnya membuat merchant frustrasi.

Oleh karenanya, sangat umum untuk melihat outlet F&B menggunakan terpisah sistem untuk Point-of-Sale (POS), menu pemesanan, pembayaran, shift/tenaga kerja manajemen, CRM / loyalitas, pemasaran, persediaan manajemen, dan interfacing platform pengiriman.

“Pertanyaannya adalah – apakah kita akan melihat konsolidasi lanskap POS di Asia Tenggara, seperti apa Meituan lakukan di Cina? Platform pengiriman makanan terkemuka Grab, Foodpanda, dan LINEMAN Wongnai adalah sudah bergerak ke arah ini, oleh mengakuisisi/bermitra dengan restoran perusahaan teknologi.”

Selanjutnya, Momentum Works juga melihat penajaman strategi platform yang lebih strategis untuk mencapai profitabilitas lebih cepat, termasuk penskalaan kembali, penutupan cloud kitchen, perluasan pendapatan (solusi iklan, berlangganan), serta optimalisasi biaya berkelanjutan (pengurangan insentif, peningkatan efisiensi operasional dan fokus pembayaran).

“Kami mengulangi argumen dalam laporan Food Delivery Platforms in Southeast Asia sebelumnya di Asia Tenggara: bahwa profitabilitas dapat dicapai dengan volume, kepadatan dan efisiensi operasional. Sebagian besar platform utama terdaftar secara publik sekarang, selain dari metrik operasi saat ini yang diperhatikan investor dengan cermat, Kepemimpinan, Orang, Organisasi, dan Produk merupakan faktor penting untuk kesuksesan (atau kegagalan),” tutup laporan.

Indonesia’s Food Delivery Service GMV Hits 52 Trillion Rupiah, Grab and Gojek Leading the Market

The food delivery sector has accelerated growth during the pandemic. According to research by Momentum Works, this service GMV in six Southeast Asian countries will reach $11.9 billion in 2020. In Indonesia alone, the total value has reached $ 3.7 billion or equivalent to 52 trillion Rupiah – dominated by two big players, Grab and Gojek, respectively holding 53% and 47% of the total market share.

In addition, this achievement actually contributed only 1% of the potential for food delivery in Indonesia, which value is projected to reach $61 billion by 2019. The main indication is that the players’ penetration is still focused on big cities, while the business in tier-2 and tier-3 has not been much optimized.

Momentum Works’ CEO Jianggan Li said, most of the growth in food delivery services that occurred in 2020 was permanent. Given the trend of digitalization and changes in consumer behavior towards digital.

“We are optimistic about the prospects for food delivery services in Indonesia, although it will likely take several years before this sector can be massively adopted. Food delivery service players need to have a long-term strategy to take advantage of opportunities in this enormous market optimal,” he said.

Gambar 1

Growth factors

The main factor that makes Indonesia the largest food delivery service market in the region is none other than the large population in this country. The 2020 census data states that Indonesia’s current population is around 270.20 million people. Of the total, 27.94% were Gen Z and 25.87% were millennials. In addition, it is also supported by several other factors such as economic growth, urbanization, and smartphone penetration.

The research also highlighted several steps taken by the players to achieve long-term profitability and sustainability. The platform needs to control acquisition/retention costs, maintain unit economics, and generate additional revenue which could include advertising, financing, and other B2B services. The option is based on a successful case study of Meituan, one of the major food delivery services in China. In Q2 2020, the company reached a net profit of up to $420 million.

Gambar 2

Meanwhile, from the consumer’s perspective, some things that are taken into consideration when choosing a food delivery service include the number of choices, speed, quality/reliability, and cost. According to Momentum Works, each player must (at least) excel on the two factors, because leading across all of these variables is said to be impossible.

Explore the potential

Apart from Indonesia, some of the major food delivery service markets in Southeast Asia are in Thailand ($2.8 billion), Singapore ($2.4 billion), the Philippines ($1.2 billion), Malaysia ($1.1 billion), and Vietnam ( $0.7 billion). Research also states several potential strategies that can be implemented to increase the value of these business transactions each year. First, focus on increasing the transaction volume of the upper middle-class consumer segment.

Second, reducing costs to compensate for low food prices and order values. Then it is also important to increase digital literacy, therefore, merchants (restaurants, food stalls, SMEs, etc.) can easily adapt with the delivery platform. Eventually, players should dare to invest in the infrastructure needed to drive service adoption in tier-2 and 3 cities.

Grab and Gojek have been seen executing this strategy in Indonesia, one of which is realized through the cloud kitchen initiative. The shared kitchen allows SME partners to find it easy to sell their products, as well as expand the market; because basically, various productive facilities are provided and integrated into the super app ecosystem of each service. On the consumer side, it also allows them to get more food choices with lower delivery costs.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian
Header: Depositphotos.com

Didominasi Grab dan Gojek, GMV Layanan Pesan-Antar Makanan di Indonesia Capai 52 Triliun Rupiah

Layanan pesan-antar makanan (food delivery) mengalami percepatan pertumbuhan selama masa pandemi. Menurut hasil riset yang dilakukan Momentum Works, GMV layanan ini di enam negara Asia Tenggara mencapai $11,9 miliar di tahun 2020. Di Indonesia sendiri, nilai total yang berhasil dibukukan mencapai $3,7 miliar atau setara 52 triliun Rupiah — didominasi dua pemain besar, yakni Grab dan Gojek, masing-masing memegang 53% dan 47% dari total pangsa pasar.

Turut disampaikan juga, capaian tersebut sebenarnya baru menyumbang 1% dari potensi food delivery di Indonesia yang nilainya diproyeksi bisa mencapai $61 miliar per 2019 lalu. Indikasi utamanya, sejauh ini penetrasi para pemain masih terfokus di kota-kota besar, sementara di wilayah tier-2 dan tier-3 belum banyak dioptimalkan bisnisnya.

CEO Momentum Works Jianggan Li menyampaikan, sebagian besar pertumbuhan layanan pesan-antar makanan yang terjadi di tahun 2020 bersifat permanen. Mengingat adanya tren digitalisasi dan perubahan perilaku konsumen ke arah digital.

“Kami optimis terhadap prospek layanan pesan-antar makanan di Indonesia, meskipun kemungkinan akan memakan waktu beberapa tahun sebelum sektor ini dapat diadopsi secara massal. Pemain layanan pesan-antar makanan harus memiliki strategi jangka panjang agar dapat memanfaatkan peluang di pasar yang sangat besar ini secara optimal,” ujarnya.

Gambar 1

Faktor pertumbuhan

Faktor utama yang menjadikan Indonesia sebagai pasar layanan pesan-antar makanan terbesar di regional tak lain karena besarnya populasi di negara ini. Data hasil sensus penduduk 2020 menyebutkan, penduduk Indonesia saat ini ada sekitar 270,20 juta jiwa. Dari total tersebut, 27,94% di antaranya adalah Gen Z dan 25,87%-nya milenial. Di samping itu, turut didukung beberapa faktor lain seperti pertumbuhan ekonomi, urbanisasi, dan penetrasi ponsel pintar.

Hasil riset juga menyoroti, beberapa langkah yang dilakukan oleh para pemain untuk mencapai profitabilitas dan keberlanjutan jangka panjang. Platform perlu mengendalikan biaya akuisisi/retensi, mempertahankan unit economics, dan menghasilkan pendapatan tambahan yang dapat mencakup iklan, pembiayaan, dan layanan B2B lainnya. Opsi tersebut didasarkan pada studi kasus kesuksesan Meituan, salah satu layanan pesan-antar makanan besar di Tiongkok. Pada Q2 2020, perusahaan mencatatkan net profit hingga $420 juta.

Gambar 2

Sementara dari perspektif konsumen, beberapa hal yang dijadikan konsiderasi untuk memilih layanan pesan-antar makanan meliputi: banyaknya pilihan, kecepatan, kualitas/keandalan, dan biaya. Menurut Momentum Works, masing-masing pemain harus (setidaknya) unggul di dua faktor yang ada, karena memimpin di semua variabel tersebut dikatakan tidak mungkin.

Potensi yang bisa digali

Selain di Indonesia, beberapa pasar besar layanan food delivery di Asia Tenggara berada di Thailand ($2,8 miliar), Singapura ($2,4 miliar), Filipina ($1,2 miliar), Malaysia ($1,1 miliar), dan Vietnam ($0,7 miliar). Riset turut menganalisis beberapa strategi potensial yang dapat dilakukan untuk meningkatkan nilai transaksi bisnis ini setiap tahunnya. Pertama, fokus meningkatkan volume transaksi segmen konsumen kelas menengah ke atas.

Kedua, menekan biaya untuk mengimbangi harga makanan dan nilai pesanan yang rendah. Kemudian penting juga untuk meningkatkan literasi digital supaya merchant (restoran, kedai makanan, UKM dll) dapat mengadopsi aplikasi pesan-antar. Dan terakhir, para pemain juga harus berani berinvestasi dalam infrastruktur yang diperlukan untuk mendorong adopsi layanan di kota tier-2 dan 3.

Grab dan Gojek di Indonesia juga sudah terlihat mengeksekusi strategi tersebut, salah satunya direalisasikan melalui inisiatif cloud kitchen. Dapur bersama tersebut memungkinkan mitra UKM mendapatkan kemudahan untuk menjajakan produknya, serta melakukan ekspansi pasar; karena pada dasarnya berbagai fasilitas produktifnya disediakan dan terintegrasi ke dalam ekosistem super app masing-masing layanan. Di sisi konsumen pun memungkinkan mereka untuk mendapatkan pilihan makanan lebih banyak dengan biaya antar yang lebih rendah.

Gambar Header: Depositphotos.com