Xendit Papar Ekspansi Bisnis di Luar Gerbang Pembayaran

Diversifikasi bisnis merupakan ‘bensin’ bagi perusahaan untuk terus mendongkrak pendapatan agar dapat berkelanjutan. Xendit pun mulai mengembangkan bisnis di luar gerbang pembayaran, dengan berinvestasi di Bank Sahabat Sampoerna dan merilis aplikasi bank digital Nex, sebagai salah satu upayanya sejak tahun lalu.

Dalam wawancara eksklusif bersama DailySocial.id, Co-Founder dan COO Xendit Tessa Wijaya memaparkan latar belakang perusahaan mengambil dua aksi strategis tersebut. Ia merasa optimistis perkembangan produk finansial di Indonesia, apalagi terkait BPR yang selama ini seolah terasingkan dari hiruk-pikuk digitalisasi. Padahal, peranan mereka tak kalah penting bagi ekonomi negara.

“Mereka [BPR] punya opportunity yang sangat besar, nasabahnya banyak, tapi belum banyak disebut dan difokuskan oleh startup-startup lain untuk dapat dikerjasamakan dan dikembangkan produk digitalnya agar mereka lebih mapan lagi,” katanya.

Tessa menambahkan, di tengah hiruk-pikuk bank digital, mayoritas dari pemain yang ada bicara soal konsumen akhir (B2C). Namun, banyak yang melupakan bahwa bisnis (perusahaan) juga membutuhkan bank tak hanya untuk pembayaran saja. “Makanya kami berinvestasi ke Bank Sahabat Sampoerna, aplikasi Nex, karena alasan itu.”

Sebagai catatan, aplikasi Nex sudah dirilis sejak 7 November 2022 setelah melewati fase uji coba internal. Aplikasi ini dikembangkan oleh PT Nex Teknologi Digital (NTD) yang bekerja sama dengan PT BPR Xen. Keduanya merupakan bagian dari Xendit Group. Produk perdananya adalah Rekening Tabungan Milenial dengan penawaran bunga tabungan 6% per tahun, yang dibayarkan setiap hari.

Dijelaskan lebih jauh oleh Director Xendit Group Rifai Taberi yang turut menjabat sebagai Direktur Utama PT Nex Teknologi Digital (NTD), semangat Xendit Group untuk membuat aplikasi bank digital untuk memenuhi ekosistem B2B yang sejatinya tidak hanya butuh kemudahan sistem pembayaran semata. Sebab, ada kalanya bisnis, terutama yang masih dalam skala UKM butuh aspek pembiayaan dan tabungan dalam mendukung perkembangan bisnis mereka.

Oleh karenanya, eksperimen Xendit melalui aplikasi Nex ini adalah dalam rangka mendigitalkan BPR agar produknya lebih mudah diakses. Proposisi ini bisa dianggap sebagai angin segar di dunia BPR. Menurut Rifai, secara tampilan luar produk, Nex memang diarahkan untuk konsumen akhir, tapi ternyata segmentasi target penggunanya justru buat pebisnis existing (merchant) Xendit.

“Kami mau memfasilitas merchant-merchant kami dengan solusi perbankan yang end-to-end bersama Xendit. Harapannya ketika bisnis BPR meningkat, baik dari tabungan dan pinjaman tersalurkan, semuanya bisa tumbuh bersama Xendit. Jadi positioning Nex tetap B2B,” terangnya.

Perlu diketahui, agar dapat bertahan pada era digital seperti sekarang, inovasi layanan dan teknologi menjadi hal wajib jika BPR tidak ingin tersingkir dari peta bisnis perbankan. Sayangnya, tak semua BPR memiliki infrastruktur digital yang memadai. Apalagi, banyak BPR bermodal cekak sehingga sulit untuk membangun infrastruktur digital yang relatif membutuhkan biaya tinggi.

Sudah harus bersaing di dunia digital, jalan yang ditapaki BPR pun kian hari kian sulit. Segmen mikro yang selama ini jadi lahan bisnis utama mereka terus tergerus dengan hadirnya berbagai pesaing dari dunia finansial. Kendati persaingan sangat ketat, bank-bank rural ini memiliki keunggulan lantaran karakteristik bisnisnya yang berbeda.

Kelokalan dan keeratan hubungan emosionalnya dengan para nasabah menjadi nilai lebih bagi BPR. Namun untuk mengatasi kelemahannya—sekaligus mengandalkan kelebihannya-—akan membuat daya tarik BPR akan makin kinclong. Dengan begitu, fungsi BPR untuk memajukan daerah dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat akan makin besar.

Bank Sahabat Sampoerna

Tessa melanjutkan, cerita awal kerja sama bisnis antara Xendit dengan Bank Sahabat Sampoerna (BSS) sudah dimulai bahkan saat perusahaan masih kecil. Saat itu, pihaknya sangat mengapresiasi keterbukaan dari pihak bank untuk menjalin kerja sama dengan startup untuk masuk ke ranah digital dan meracik produk bersama.

“BSS itu sangat progresif sejak dulu selalu terbuka karena itu sangat masuk akal bagi kami untuk berinvestasi ke mereka. Dengan adanya investasi ini akan ada lebih banyak lagi sinergi yang bisa dilakukan,” terang Tessa.

Salah satu contoh yang sudah dilakukan kedua perusahaan adalah dari sisi penyelarasan produk remitansi. Melalui solusi yang dikembangkan bersama BSS, kini memungkinkan perusahaan remitansi dengan tingkat kepatuhan tinggi, mampu mendeteksi secara otomatis identitas pengirim sumber dana dan pemilik akun di aplikasi haruslah sama.

“Itu salah satu contoh bagaimana kami bisa serve partner yang highly compliance seperti itu. Jadi dari sisi kapabilitas, banyak banyak yang belum bisa seperti itu. Tapi di BSS sudah bisa,” tambah Director Xendit Group Mikiko Steven.

Mengenai rencana untuk menjadi pemegang mayoritas, menurut Tessa, tentunya ada wacana seperti itu, tetapi belum dalam waktu dekat. Semua perusahaan yang bergerak di bisnis pembayaran pasti punya keinginan untuk menyediakan produk-produk yang bank-alike. Bahkan, saat Xendit masih menjadi minoritas, pihak BSS malah semakin membuka diri untuk menggodok produk bersama. Dari sisi Xendit, turut membantu bank dari sisi backend untuk keperluan e-KYC agar semakin efisien, tidak ada proses manual lagi.

Mengutip dari situs BSS, Xendit Pte. Ltd. kini menguasai 24,2% saham di BSS. Pemegang mayoritas masih dikempit oleh PT Sampoerna Investama. Sebelumnya, pada April 2022, kepemilikan Xendit berada di angka 14,96%.

Baik BSS maupun BPR Xen akan menjadi kendaraan Xendit untuk meningkatkan bisnis non-pembayaran dalam menyasar para merchant-nya. Xendit akan membantu usaha para merchant yang membutuhkan pinjaman usaha melalui referral dan dukungan riwayat data agar prosesnya jauh lebih ringkas. Tak hanya itu, sebelumnya perusahaan juga mengakuisisi perusahaan pembiayaan PT Globalindo Multi Finance pada tahun lalu, melalui PT Indo Digital Raya (15,13%) per 2021.

“Kami lihat B2B dan B2C itu beda sekali cara dekati konsumennya, cara buat produk, dan sebagainya. DNA kami itu B2B banget. Jadi kalau kami buat produk B2C belum tentu ngerti konsumen maunya apa. Dari sisi teknis, kami paham mau buat produk apa dan bagaimana support bisnis meningkatkan pendapatan dan bertransaksi secara digital. Jadi sangat beda angle-nya,” pungkas Tessa.

Xendit Klarifikasi Tidak Terlibat dalam Pengelolaan Aplikasi Bank Digital “Nex”

Xendit mengeluarkan pernyataan resmi terkait keterlibatannya dalam pengembangan aplikasi digital banking Nex. Kepada DailySocial.id, perwakilan Xendit menyampaikan aplikasi Nex sepenuhnya dikelola oleh PT Nex Teknologi Digital. Dua pihak lainnya, PT Sumber Digital Teknologi maupun Xendit sendiri (PT Sinar Digital Terdepan) tidak terlibat dalam pengelolaan.

“Aplikasi Nex merupakan produk digital yang sedang berada dalam masa uji coba terbatas, dan saat ini hanya dipergunakan untuk kalangan internal, tanpa melibatkan Bank Sahabat Sampoerna,” tulis manajemen.

Pernyataan yang dikeluarkan Xendit ini untuk meluruskan pemberitaan sebelumnya yang ditayangkan DailySocial.id, menyebutkan bahwa aplikasi Nex dikelola oleh PT Nex Teknologi Digital, PT Sumber Digital Teknologi (iluma.ai), PT Sinar Digital Terdepan (Xendit), dan afiliasi-afiliasinya berdasarkan laman Kebijakan Privasi.

Dari pantauan DailySocial.id, fitur awal yang ditawarkan Nex adalah bunga tahunan 6% yang dibayar setiap hari untuk tabungan, bebas biaya admin dan transfer, dan kemudahan pengiriman dan penerimaan dana. Penawaran tersebut cukup lumrah seperti bank digital kekinian lainnya.

Sebelumnya Xendit mengonfirmasi telah melakukan investasi strategis di Bank Sahabat Sampoerna dan akan menjadi mitra teknologi bank untuk mengembangkan infrastruktur teknologi, serta meningkatkan proses internal dan produk.

Mengutip dari situs Bank Sampoerna, Xendit Pte. Ltd. menguasai 14,96% saham. Pemegang saham mayoritas, PT Sampoerna Investama terdilusi menjadi 64,24%. Kemudian, PT Cakrawala Mulia Prima (bagian dari Alfa Group) juga ikut tergerus menjadi 14,28%. Sisanya, dikuasai oleh Abakus Pte. Ltd. (2,55%), Sultan Agung Mulyani (2,49%), Ekadhamajanto Kasih (0,79%), dan Yan Peter Wangkar (0,69%).

Xendit menjadi startup fintech berikutnya yang serius menggarap bank digital. Di antaranya, ada induk Kredivo yang resmi menguasai 75% saham Bank Bisnis Internasional, Grab dan Singtel sebagai investor strategis Bank Fama, Modalku dan Carro berinvestasi di Bank Index, dan Ajaib Group genggam 40% saham Bank Bumi Artha. Selebihnya masih sekadar rumor, tinggal tunggu kabar peresmiannya, seperti Amartha yang dikabarkan akan akuisisi Bank Victoria Syariah.

Application Information Will Show Up Here

Xendit Dikabarkan Bidik Bank Sahabat Sampoerna

Xendit turut berpartisipasi dalam gemuruh persaingan bank digital di Indonesia. Startup yang memperoleh status unicorn tahun lalu ini dikabarkan membidik  saham mayoritas di Bank Sahabat Sampoerna. Sumber DailySocial.id menyebutkan, aksi korporasi akan dilakukan secara bertahap sampai akhirnya menguasai 51%.

DailySocial.id berusaha menghubungi perwakilan Xendit untuk meminta respons, tapi hingga berita ini diturunkan belum ada tanggapan yang diberikan.

Akuisisi tersebut disinyalir menjadi pemulus langkah perusahaan melalui aplikasi bank digitalnya, Nex. Saat ini perusahaan tengah melakukan uji coba untuk internal dan membuka daftar tunggu (waitlist) untuk umum. Fitur awal yang ditawarkan adalah bunga tahunan 6% yang dibayar setiap hari untuk tabungan, bebas biaya admin dan transfer, dan kemudahan pengiriman dan penerimaan dana. Hal yang umum ditawarkan bank digital kekinian.

Aplikasi Nex dikelola tiga pihak, yakni PT Nex Teknologi Digital, PT Sumber Digital Teknologi (iluma.ai), PT Sinar Digital Terdepan (Xendit), dan afiliasi-afiliasinya. Iluma bertugas melakukan e-KYC dan mengecekan skoring kredit yang lebih seamless. Kemungkinan besar iluma adalah bagian dari Xendit karena lokasi kantornya satu gedung dengan kantor pusat Xendit.

Sebelumnya, Xendit juga memiliki saham di BPR Xen. Mengacu di data OJK, BPR Xen (PT Bank Perkreditan Rakyat Xen) sebelumnya bernama BPR Arthakelola Cahayatama yang terletak di Depok, Jawa Barat.

Co-founder Xendit Theresa Sandra Wijaya (Tessa Wijaya) masuk sebagai pemegang saham di BPR Xen dengan kepemilikan 0,68% pada Juni 2021. Pemegang saham mayoritas dikuasai oleh PT Indo Digital Raya (99,32%). Theresa meningkatkan kepemilikannya menjadi 1% pada Desember 2021.

Tidak banyak informasi yang bisa didapat mengenai PT Indo Digital Raya ini. Namun bisa dipastikan terafiliasi perusahaan karena selokasi dengan kantor pusat Xendit. Sebelumnya, perusahaan sudah melayangkan penyangkalannya terlibat dengan BPR Xen.

“Xendit baru saja menjalin kemitraan strategis dengan PT BPR Xen, sebuah BPR yang berlokasi di Depok, Jawa Barat. PT BPR Xen dan PT Sinar Digital Terdepan merupakan dua entitas terpisah dan tidak terafiliasi secara kepemilikan,” ujar juru bicara Xendit. Mereka pun mengaku masih dalam tahap eksplorasi terkait kemitraan tersebut bagaimana dapat membawa dampak yang baik buat UMKM.

Bank Sahabat Sampoerna

Secara terpisah, dalam wawancara dengan CNBC Indonesia, Finance & Business Planning Director Bank Sahabat Sampoerna Henky Suryaputra menyampaikan bahwa perbankan tengah berusaha memenuhi ketentuan permodalan inti Rp3 triliun sampai akhir tahun ini. Opsi terdekat yang tengah dijajaki adalah menerima investor strategis baru.

“Kemungkinan besar ada beberapa investor strategis yang tertarik untuk join di Bank Sahabat Sampoerna,” ucapnya Henky pada 13 Januari 2022.

Aksi pemenuhan modal inti ini merupakan bagian dari dorongan regulator melalui POJK Nomor 12 Tahun 2020 tentang Konsolidasi Bank Umum menetapkan aturan modal inti minimal Rp3 triliun per Desember 2022.

Pada tahun lalu, Bank Sahabat Sampoerna telah memenuhi modal inti Rp2 triliun per November 2021. Penambahan ini dilakukan lewat injeksi modal secara langsung dari pemegang saham terdahulu, kehadiran investor baru, dan akumulasi dari perolehan laba. Tidak dirinci siapa investor baru tersebut karena Michael Joseph Sampoerna lewat PT Sampoerna Investama tetap menjadi pengendali bank.

Mengutip dari Kontan, mengacu pada laporan keuangan Bank Sahabat Sampoerna per September 2021 dibanding laporan per Maret 2021, ada satu investor baru, yakni Sutan Agung Mulyadi, pemiliki Serba Mulya Group, dengan kepemilikan saham 2,96%.

Pemilik mayoritas masih dikuasai PT Sampoerna Investama dengan kepemilikan 78%.

Bank Sahabat Sampoerna sendiri cukup aktif melakukan pengembangan produk digital. Sejumlah layanan fintech telah bermitra. Yang terbaru mereka bekerja sama dengan KoinWorks menghadirkan layanan KoinWorks NEO, Julo, Indodana, Kredivo (kartu kredit fisik paylater), Akulaku, dan lainnya.

Mereka juga berkolaborasi dengan berbagai perusahaan payment gateway, seperti Xendit, Instamoney, Safecash, dan Dhasatra untuk memfasilitasi berbagai transaksi digital.

Sebelumnya sejumlah platform fintech telah mengambil langkah serupa untuk menjadi pemilik bank, seperti Akulaku yang menjadi pengendali di Bank Neo Commerce, Kredivo yang menjadi pemegang saham mayoritas di Bank Bisnis Internasional, dan Ajaib yang memiliki saham terbesar di Bank Bumi Artha.

Vivo Belum Mau Masukkan NEX ke Indonesia

Pada tanggal 9 Januari 2019, Vivo mengundang para jurnalis untuk menghadiri sebuah acara. Acara yang bertajuk Vivo Gathering ini diselenggarakan di Vila Air Lembang. Pada acara tersebut, Vivo kembali mengingatkan para jurnalis mengenai Vivo NEX yang memiliki kamera yang muncul saat diperlukan.

Vivo Lembang - Launch

Pada acara yang dihadiri oleh sekitar 20-an orang ini, Vivo melalui manajer produk globalnya, Charles Ding, kembali mengingatkan teknologi kamera yang ia canangkan dengan teman-temannya. Charles mengatakan bahwa teknologi ini harus dibuat tahan debu sehingga tidak mudah rusak. Teknologi ini sendiri dinamakan dengan Elevating Camera. 

“Pengembangan fitur kamera membuat pengguna smartphone di seluruh dunia, semakin eksploratif memaksimalkan smartphone mereka. Sejak awal pengembangan efek bokeh untuk hasil foto layaknya kamera professional, hingga kini dengan night-photography atau low-light photography, serta wide-angle photography; membuka lebih banyak kemungkinan bagi kami dalam pengembangan software maupun hardware kamera pada tahun ini hingga kedepan”, pungkas Charles.

Vivo Lembang - Nex Camera

Charles memaparkan bahwa saat ini Vivo sudah memiliki teknologi Super HDR yang mampu membuat sebuah gambar menjadi lebih baik. Hal tersebut merupakan salah satu bukti bahwa Vivo berkomitmen untuk meningkatkan kualitas gambar dari kamera smartphone-nya.

Vivo sudah memiliki dua smartphone pada lini NEX. Yang kedua merupakan NEX Dual Display yang menghadirkan layar pada sisi belakang smartphone tersebut. Uniknya, teknologi elevating camera tidak digunakan pada Nex Dual Display. Padahal, Vivo sendiri selalu terlihat bangga terhadap teknologi yang satu ini.

Vivo Lembang - NEX

Charles mengatakan bahwa NEX Dual Display bukanlah sang penerus dari Vivo NEX. Keduanya merupakan dua lini smartphone yang berbeda. Pada NEX Dual Display, Vivo menginginkan agar para penggemar selfie langsung menggunakan kamera utama untuk mengambil swafoto. Hal ini yang membuat teknologi elevating camera absen pada Dual Display.

Lalu apakah seri NEX bakal dijual di Indonesia? Jawaban Vivo pun masih sama pada saat purwarupanya diperkenalkan di Indonesia. Vivo belum akan memasukkan smartphone terbaru mereka tersebut di Indonesia.

Vivo Lembang - Elevating Camera

Tyas K Rarasmurti selaku Public Relations Manager PT Vivo Mobile Indonesia mengatakan bahwa untuk memasukkan NEX ke Indonesia butuh banyak persiapan khusus, seperti kesiapan pabrik dan ijin TKDN. Oleh karena semua itu masih dikaji, Tyas mengatakan NEX belum akan masuk ke Indonesia.

Jadi, pengguna di Indonesia belum bisa merasakan teknologi yang disematkan pada lini NEX dalam waktu dekat ini.

Kamera melulu, Audio?

Secara terpisah, Saya melakukan wawancara dengan Charles Ding. Vivo selalu mengedepankan kamera dan audio. Akan tetapi, sampai saat ini sepertinya bagian audio tidak lagi menjadi pembicaraan Vivo pada setiap peluncurannya. Apakah Vivo mulai melupakan Audio yang mereka kedepankan tersebut?

Vivo Lembang - Charles Ding

Charles mengatakan bahwa Audio masih menjadi bagian yang paling penting dalam penjualan mereka, selain dari kamera. Vivo merupakan merek pertama yang menggunakan chipset Hi-Fi pada smartphone-nya, yaitu X11. Chipset Hi-Fi sendiri dikembangkan terus menerus.

Pada NEX, Vivo menggunakan teknologi SiP (System In Chip). Pada SiP terdapat coding dan komponen yang dapat menghasilkan suara yang baik. Apalagi pada NEX chipsetnya lebih baik dari semua smartphone Vivo yang pernah diluncurkan.

Lalu Vivo sendiri tidak menutup kemungkinan bekerja sama dengan produsen Audio lainnya, namun sampai saat ini belum ada yang cocok. Sebelumnya, Vivo pernah bekerjasama dengan Beyer Dynamic, namun saat ini sepertinya kerja sama tersebut tidak berlanjut.

Apex Concept Resmi Menyandang Nama Baru, Vivo NEX

Beberapa waktu lalu, saya berkesempatan mencicip kecanggihan smartphone Apex concept. Sesuai yang dijanjikan, Vivo akhirnya memproduksi secara massal dan kini Apex concept resmi menyandang nama baru yakni Vivo NEX.

Bila smartphone bezel-less macam Apple iPhone X, Samsung Galaxy S9, LG G7 ThinQ, Asus Zenfone 5Z, dan lainnya punya rasio screen-to-body sekitar 80 persen. Vivo NEX punya rasio screen-to-body lebih tinggi 91,24 persen, di mana layar hampir mengambil semua ruang di bagian muka.

Vivo-NEX-2

Vivo NEX ini mengusung Ultra FullView Display 6,59 inci, menggunakan panel Super AMOLED dengan resolusi Full HD+ (2316×1080 piksel), dan rasio layar 19.3:9. Tanpa notch di pucuk layar dan dagu yang tipis di bawah layar.

Seperti Apex concept, sensor proximity dan earpiece tertanam di bawah layar. Vivo menggantikan earpiece dengan vibrating screen menggunakan teknologi Screen SoundCasting yang diklaim menyuguhkan suara bass lebih baik dan treble yang lebih lembut.

Vivo-NEX-1

Pemindai sidik jari juga tetap di dalam layar. Di mana kita bisa menggunakan separuh layar sebagai autentikasi keamanan smartphone.

Selain itu, kamera depan 8-megapixel dengan bukaan f/2.0 disembunyikan dan akan muncul bila diperlukan. Sedangkan kamera utamanya menggunakan lensa 12-megapixel f/1.8 + 5-megapixel f/2.4

Vivo-NEX-4

Aplikasi kamera Vivo NEX telah dilengkapi fitur-fitur berbasis artificial intelligence. Sebut saja AI Scene Recogtintion, AI HDR, AI Filters, dan AI Photo Composition. Vivo NEX sendiri berjalan di sistem operasi Android 8.0 Oreo dengan dukungan antarmuka pengguna FunTouch versi 4.0 dan baterai berkapasitas 4.000 mAh.

Bagian yang tak kalah menarik ialah Vivo menyematkan smart assistant buatan sendiri yang dipanggil Jovi yang siap mendengarkan perintah suara Anda. Jovi bisa diakses melalui tombol khusus yang telah disediakan.

Vivo-NEX-5

Vivo-NEX-3

Menyoal kekuatan dapur pacunya, Vivo menyediakan dua pilihan. Pertama versi premium yang disebut Vivo NEX S dengan Snapdragon 845, RAM 8GB, dan ruang penyimpanan 128GB atau 256GB.

Vivo NEX S tersedia di pasar Tiongkok, pemesanan pre-order di buka tanggal 13 Juni dan tersedia di toko offline mulai tanggal 23 Juni. Dengan harga CNY 4.498 atau sekitar Rp9,7 jutaan untuk versi RAM 8GB dan ROM 128GB, sementara versi RAM 8GB dan ROM 256GB dibanderol seharga CNY 4.998 atau Rp10,8 jutaan.

Sementara, yang kedua ialah versi ekonomis disebut Vivo NEX A dengan Snapdragon 710 ditopang RAM 6GB dan memori internal 128GB. Perbedan lainnya dengan Vivo NEX S dan Vivo NEX A ialah letak pemindai sidik jari di punggung smartphone – bukan di bawah layar, sisa spesifikasinya hampir identik. Harga Vivo NEX A dibanderol CNY 3.898 atau sekitar Rp8,4 jutaan.

Belum ada informasi mengenai ketersediaan di pasar global maupun di Indonesia. Mengingat salah satu fokus Vivo Indonesia ialah membangun brand, menurut saya memasukkan Vivo NEX adalah langkah yang tepat agar masyarakat merasakan sendiri inovasi dan kehebatan Vivo, pengalaman penggunaan yang diberikan tentu akan melambungkan brand Vivo – bukan cuma Vivo V9 versi downgrade.

Sumber: PhoneArena dan GSMArena