Bertemu Developer Game Indonesia Lulusan Google IGA 2019 di Singapura (+ Video)

Google kembali menggelar acara kelulusan program Indie Games Accelerator 2019 pada awal Desember kemarin bagi pengembang game terpilih yang telah masuk program akselerator tersebut. Setelah mendapatkan bimbingan dengan total durasi 6 bulan, kini para game developer tersebut bisa membagikan ilmu mereka secara internal atau pun bersama komunitas di negara masing-masing. 

Program IGA merupakan inisiatif Google untuk memberikan ruang bagi para pengembang indie di wilayah Asia, Middle East & Africa serta Amerika Latin untuk mendapatkan mentorship dalam mengembangkan perusahaan dan game mereka. IGA merupakan bagian dari program Launchpad Accelerator yang bekerja sama secara intens dengan Google Play. 

Tahun 2019 ini ada 1700 developer game yang mendaftar dan hanya 30 yang terpilih dari 27 negara untuk ikut program IGA 2019. IGA ditujukan untuk memberikan pengetahuan bagi para pengembang game, baik itu dari mentorship dari mentor-mentor terpilih maupun dari pengetahuan akan tools atau perangkat yang disediakan Google agar bisa dimaksimalkan oleh pengembang game. Google ingin pengembang game bisa mencapai sukses jangka pendek maupun panjang dengan program ini. DIharapkan para pengembang developer yang ikut juga bisa ikut andil dalam ekosistem game developer di negara mereka berada. 

 

IGA 2019

Indonesia termasuk yang ‘mengirimkan’ wakil terpilih mereka untuk program IGA tahun 2019. Ada dua pengembang game asal Indonesia yang ikut yaitu Nightspade dan Maentrus Digital Lab. IGA 2019 juga menjadi tahun spesial bagi pengembang wilayah LATAM karena tahun ini adalah tahun pertama pintu bagi pengembang asal negara ini bisa ikut mendaftarkan diri dan terpilih untuk ikut program. 

Fasilitas yang didapatkan peserta antara lain adalah undangan untuk ikut bootcamp selama 2 hari penuh di kantor Google Singapura, mentorship yang terpersonalisasi, peluang untuk di-showcase di Google Play, dukungan credit $20.000 di Google Cloud Platform dan Firebase + dukungan training dan support, 1 smartphone Google Pixel, undangan ke acara Google Play Time 2019 di Singapura, delegate pass untuk Google I/O 2019 dan undangan
training Unity.

Acara kelulusan sendiri tahun ini diadakan kembali di kantor Google Singapura yang juga merupakan kantor pusat untuk wilayah Asia Pasifik. DailySocial juga turut diundang untuk menghadiri acara IGA 2019. Kami tidak hanya ikut menyaksikan acara kelulusan tetapi juga berbincang dengan perwakilan dari pengembang game asal Indonesia plus mentor yang juga berasal dari Indonesia. Tidak hanya itu, saya dan perwakilan media yang ikut juga diberikan beberapa penjelasan tentang program IGA dan mengapa Google ‘ngotot’ untuk turun langsung membantu para pengembang game dalam mengembangkan karya mereka. 

Tentang IGA 2019, apa yang menarik?

Ini kali pertama saya mengikuti acara IGA yang diselenggarakan oleh Google. Waktu angkatan pertama, tim saya yang mengikuti acaranya. Tapi ini bukan kali pertama saya mengikuti atau menghadiri acara Google yang terkait developer aplikasi. Google memang memiliki beberapa program untuk para pengembang aplikasi, dan IGA sendiri masuk dalam program Launchpad Accelerator yang biasanya ditujukan untuk para pengembang aplikasi non games. Keputusan Google untuk mengadakan mentorship untuk para pengembang aplikasi memang cukup menarik. 

Yang pertama adalah niatan Google untuk turun langsung mengembangkan toko aplikasi mereka terutama yang berhubungan dengan aplikasi. Dukungan tim dari Google Play tentunya memberikan harapan bagi para pengembang aplikasi game, terutama yang masih indie dan masih butuh bantuan untuk mendapatkan mentorship yang bisa jadi tidak bisa mereka dapatkan dengan usaha sendiri. 

IGA 2019

Vineet Tanwar, Manager, Business Development Google Play menyebutkan dalam salah satu presentasi di IGA 2019, di toko aplikasi mereka alias Google Play bahkan kini ada sudut atau corner khusus untuk para pengembang indie, namanya Indie COrner (g.co/playindie). Area ini berisi judul-judul game dari pengembang indie, di-update oleh Google secara berkala. 

Yang kedua adalah ditambahnya wilayah LATAM ke dalam program IGA untuk tahun kedua ini. Wilayah LATAM sendiri memang dikenal sebagai market game yang cukup menarik untuk pasar mobile gaming. Bahkan untuk pengembang game dari Indonesia. Saya ingat beberapa tahun lalu ada pengembang aplikasi lokal yang pengguna game mereka lebih banyak dari pasar LATAM alih-laih dari ranah lokal. Jumlah pengembang game yang ikut dalam program IGA 2019 kali ini juga cukup banyak, jauh lebih banyak dari negara lain. 

Pihak Google mengatakan saat sesi tanya jawab, hal ini dikarenakan program baru pertama kali terbuka untuk pengembang wilayah ini jadi pengembang aplikasi yang ikut serta cukup membludak. 

IGA 2019

Data statistik dari Newzoo dan McKinsey yang dikutip dalam presentasi di acara menampilkan perbandingan populasi dan pangsa pasar game, LATAM memiliki populasi 656 juta dengan gamers sebanyak 252 juta orang sedangkan SEA 626 juta orang dengan gamers sebanyak 181 juta. Ini adalah gambaran kasar pangsa pasar game, tentu saja pengembang kemudian harus menelaah pasar gaming mobile jika ingin berkembang di Play Store. 

Di waktu presentasi berbeda, Kunal Soni, Director, Business Development Google Play Apps & Games – SEA, India & AU menampilkan beberapa data tentang pasar gaming, terutama untuk mobile gaming

IGA 2019

Penetrasi smartphone di SEA diprediksikan terus meningkat dari 353 juta pengguna di tahun 2019 menjadi 372 juta dan untuk LATAM dari 273 juta di tahun 2019 menjadi 287 juta di tahun 2020 (data dari Canalyst dan eMarketer). 

Kunil juga mengutip data dari Newzoo yang menyebutkan bahwa pasar  gaming mobile saat ini sebesar 54,9 miliar dollar dan akan bertumbuh menjadi 79.7 miliar dollar pada tahun 2020. 

IGA 2019

Sedangkan untuk mobile gaming revenue, Kunil mengutip laporan Newzoo menyebutkan bahwa pendapatan dari game di SEA meningkat dari $3.2 miliar di tahun 2019 diprediksi menjadi $6.1 miliar di tahun 2020. Sedangkan untuk pasar LATAM, $2.2 miliar di tahun 2019 diprediksi menjadi $3.5 miliar di tahun 2020. 

IGA 2019

IGA2019

Google sendiri menyebutkan saat ini ada 2.5 miliar perangkat aktif Android dan 2 miliar lebih pengguna aktif Google Play. Untuk unduhan, Google Play melihat ada 115 miliar lebih unduhan dalam 12 bulan terakhir. 

Beberapa tools yang dipersiapkan Google untuk mendukung perkembangan game di platform mereka antara lain custom listing pages, pre-reg rewards dan Google Play Instant, juga dukungan pengembangan seperti Android Bundles. 

Kunil juga tidak lupa menyingung tentang perihal cara pembayaran, baik itu dengan operator, gift cards ataupun mobile wallet. Termasuk tentang bagaimana fasilitas pembayaran ini tersedia untuk wilayah SEA ataupun LATAM. Lengkapnya bisa dilihat di foto berikut:

IGA 2019

Pendapat developer lokal

Dari kehadiran saya di acara, bisa terdengar jelas bahwa salah satu hal yang paling membantu para developer game yang ikut program adalah mentor. Anda bisa melihat daftar mentor lengkap di sini.

IGA 2019

Saya mendengar ‘curhatan’ para perwakilan developer dari berbagai negara, termasuk juga mengobrol santai dengan dua perwakilan developer lokal yang ikut acara ini, Garibaldi Mukti CEO dari Nightspade dan Reza Febri Nanda, CTO Maentrus Digital Lab. Dan dari sini saya bisa melihat bagaimana para pengembang ini sangat antusias dengan para fasilitas mentorship yang diberikan. Tidak hanya orangnya (beberapa diantaranya adalah orang dengan nama besar studio game terkenal) tetapi juga dari materinya. 

Sami Kizilbash – Developer Relations Google menjelaskan dalam presentasi di acara tentang desain kurukuilum dari IGA 2019. Mulai dari mengembangkan game dan mendesainnya, mengembangkan bisnis, monetisasi dan user economics, melakukan test game yang telah dikembangkan sampai dengan membangun perusahaan sebagai studio game yang bisa berkembang terus. Dari kurikulum ini pengembang bisa mendapatkan cakupan yang cukup luas untuk mulai mengenbangkan game atau memperbaiki game yang telah/tengah dilkembangkan. 

IGA 2019

Google juga mendesain bahwa para mentor yang ada sesuai dengan tantangan yang dihadapi oleh para peserta, bahkan para game studio juga bisa request untuk mentornya sehingga bisa mendapatkan masukan atau ilmu yang benar-benar dibutuhkan. 

Selain kurikulum yang didesain untuk fokus pada keberhasilan peserta, ada satu hal yang cukup disebut oleh banyak peserta sebagai salah satu manfaat yang berkesan bagi peserta, yaitu OKR atau Objectives and Key Results. Semacam sebuah panduan untuk para peserta agar bisa menentukan objective dan key results dari produk/usaha yang dikembangkan, berfokus pada pengembangan tim serta mampu memprioritaskan hasil dengan timeline tertentu. 

IGA 2019

OKR ini juga disebut saat saya berbincang dengan peserta asal Indonesia. Dengan diarahkan dalam workshop mereka jadi bisa menjalankan proses mengembangkan game dengan lebih baik karena jelas proses dan timeline-nya termasuk objective dan hasil yang ingin dicapai. 

IGA 2019

Contoh yang paling menarik adalah dari Garibaldi – Nightspade yang menceritakan bahwa saat mengikuti program ini mereka tengah mengerjakan sebuah game. Namun ketika workshop berlangsung ternyata proses yang mereka jalankan tidak sepenuhnya benar. Maka Nightspade mencoba untuk tetap mengembangkan game yang telah dijalankan tetapi di sisi lain mengembangkan game lain dengan hasil pelajaran yang mereka dapatkan di IGA. Hasilnya, ternyata game baru yang dikembangkan dengan materi dari workshop lebih berhasil. 

Materi tentang leadership juga mendapatkan feedback dari peserta dengan cukup signifikan. Mereka diajarkan untuk membangun sebuah perusahaan yang bisa berkelanjutan. Apalagi game developer terdiri dari berbagai tim dengan keahlian yang berbeda-beda, butuh kepemimpinan yang baik untuk menyatukannya menjadi satu game yang baik. 

Google juga mengatakan bahwa leadership ini penting karena para peserta diajakuntuk membangun perusahaan bukan hanya sebuah produk (game). product.

IGA 2019

Key takeaways

Indie Games Accelerator bisa jadi salah satu pilihan bagi pengembang game indie yang ingin mencari program akselerator. Diselenggarakan oleh ‘empunya’ toko aplikasi alias Play Store yang ada di Android. Memang jumlah peserta dan yang lolos seleksi cukup jauh perbandingannya. Dengan kata lain persaingannya akan cukup ketat. Namun Google membagi pengembang ini adalah berbagai wilayah, jadi kalau memang kualitasnya baik dan memang pengembang game-nya memiliki peluang untuk berkembang dan tentu saja masuk persyaratan yang telah ditentukan Google, para pengembang developer punya peluang untuk ikut program ini. 

Saya melihat bahwa tidak hanya nama besar Google yang menarik dari program ini tetapi para mentor yang bisa membagi pengalaman pengembangan game mereka baik bisnis atau produk, dan satu lagi yang juga penting adalah tools dari Google. Bukan hanya tools yang bersifat teknis seperti cloud platform atau firebase tetapi juga tentunya tools yang berhubungan dengan Play Store. Proses A/B test, bagaimana caranya mengumpulkan data, optimasi ukuran file (APK), penggunaan baterai secara optimal adalah beberapa hal yang penting untuk diperhatikan bagi game developer mobile

Tools lain seperti OKR dan leadership membantu para game developer indie untuk tidak hanya fokus membuat game yang baik tetapi juga belajar proses yang benar serta mengembangkan perusahaannya untuk menjadi studio yang berkembang. 

IGA 2019

Sayang memang saya tidak menanyakan secara spesifik bagaimana kualifikasi indie yang dijalankan Google. Karena dari peserta IGA 2019 ini memang cukup beragam dan tidak hanya berisi game developer kecil beranggotakan di bawah 5 orang atau mereka yang belum pernah atau sedang mengembangkan game. Ada juga studio yang gamenya telah diunduh oleh jutaan pengguna, ada pula game developer yang telah mengembangkan game untuk waktu yang cukup lama. 

Dalam laman resmi mereka juga tidak disebutkan batasan ukuran besarnya studio game atau game developer yang bisa ikut. Namun lebih pada game studio atau developer yang memang membutuhkan bantuan untuk mengembangkan game dengan lebih baik. Toh kalau memang sudah bukan ‘indie’ lagi, game developer biasanya sudah bisa jalan mandiri dalam mengembangkan perusahaan mereka. 

Sebagai pelengkap, berikut video suasana acara kelulusan IGA 2019 dan wanacara singkat saya dengan perwakilan Nightspade dan Maentrus Digital Lab, serta salah satu mentor dari Indonesia.

Kata Developer Lokal tentang Pengembangan Game Premium vs Free-to-Play

Beberapa tahun terakhir, kita telah melihat semakin banyak developer Indonesia yang berhasil menerbitkan game di console. Sebut saja Mintsphere dengan Fallen Legion, Mojiken dengan Ultra Space Battle Brawl, Agate dengan Valthirian Arc: Hero School Story, dan yang belum lama ini muncul, Rage in Peace karya Rolling Glory Jam. Masing-masing game punya karakter tersendiri yang menunjukkan bahwa Indonesia punya dunia gamedev yang sangat kaya warna.

Menciptakan game premium berkelas seperti yang banyak kita mainkan ketika tumbuh besar dulu adalah impian banyak developer. Akan tetapi untuk mewujudkan hal tersebut jelas tak mudah. Ada berbagai tantangan yang harus dihadapi, apalagi industri game kita masih tergolong baru. Hybrid berbincang-bincang dengan beberapa developer lokal untuk menggali pengalaman mereka menciptakan game premium, serta apa perbedaannya dengan mengembangkan game free-to-play. Simak di bawah.

Game sebagai brand ambassador

Pengembangan game di console memang butuh usaha besar. Akan tetapi, untuk sebuah perusahaan, game itu nantinya tidak hanya berfungsi sebagai produk untuk mendapatkan profit saja. Lebih dari itu, game juga bisa menjadi cara untuk branding dan menjadi portofolio perusahaan. Hal ini diungkapkan oleh Azizah Assattari, CEO dari Lentera Nusantara yang kini tengah mengembangkan game berjudul Ghost Parade untuk PS4.

Sebagai sebuah perusahaan kita harus punya satu produk ambassador yang mandiri. Yang mana si produk tersebut bisa menunjukkan secara keseluruhan kapabilitas kerja serta visi misi ideal dari perusahaannya. Dan si proyek mandiri ini juga sebenarnya proses belajar kita di internal secara SOP. Kalau ke klien kita bisa tinggal jelasin parsial prosesnya dari si proyek ambassador itu sendiri,” demikian tutur wanita yang akrab dipanggil Astri ini.

Lentera Nusantara sendiri bukan perusahaan developer game murni, melainkan perusahaan developer konten digital yang merambah berbagai macam media. Selain menciptakan properti intelektual (IP) seperti Ghost Parade, mereka juga menangani pembuatan konten sesuai keinginan klien. Adanya brand ambassador dapat membantu meyakinkan klien akan kemampuan serta alur kerja perusahaan ini. Karena itulah Lentera Nusantara memilih menciptakan game premium untuk console sebagai game pertama mereka.

Tentu tidak semua perusahaan punya visi yang sama dengan Lentera Nusantara. Akan tetapi banyak studio game di Indonesia yang juga mengambil pekerjaan proyek dari klien, baik berupa pembuatan game utuh ataupun outsourcing pembuatan aset. Kepemilikan brand ambassador bisa menjadi aset jangka panjang yang menguntungkan. “Si proyek jangka panjangnya juga dibuat dengan target proyeksi profit mandiri yang lebih terukur,” ujar Astri.

Lentera Nusantara juga punya rencana untuk mengembangkan game dengan skema free-to-play di masa depan. Salah satu alasannya adalah agar mereka bisa melakukan komparasi produk. Jadi kemungkinan besar game free-to-play tersebut nantinya tetap akan memiliki latar belakang dunia yang sama dengan Ghost Parade. “Cuma kalau kita tipenya memang one at a time biar fokus hehe…” kata Astri.

Besar komitmen sebanding dengan keuntungan

Contoh lain perusahaan game yang banyak menangani pesanan klien adalah Nightspade. Sepak terjang mereka telah dimulai sejak 2010, dan mereka menyebut diri sebagai studio spesialis outsourcing. Namun di tahun 2019 ini Nightspade juga tengah mengembangkan IP sendiri dalam wujud dua game, satu premium dan satu lagi free-to-play, yang sayangnya belum bisa diumumkan ke publik.

“Dari pengalaman sih, dan ngobrol-ngobrol sama developer lain juga, premium itu lebih ‘predictable’ buat yang indie. Market emang nggak akan gede banget, dan maintenance-nya lebih ‘murah’ karena seolah-olah jualan sekali bayar,” kata Garibaldy Wibawa Mukti alias Gerry, CEO Nightspade, kepada Hybrid.

Free-to-play, butuh biaya lebih besar, lebih gede risikonya juga. Tapi return-nya juga bisa jadi lebih besar. Apalagi kalau udah dapet user base-nya, di-maintain terus, bisa jadi cash cow. Mereka yang udah purchase, gede kemungkinan untuk melakukannya lagi. Tapi ya itu, dari sisi game-nya, itu ga bisa game yang sederhana. Perlu yang memang memiliki potensi untuk di-scale,” lanjutnya.

Definisi “indie” di sini sebenarnya masih agak rancu. Karena bila dibandingkan dengan developer luar negeri, sebuah game dengan anggaran 1 juta dolar saja masih bisa disebut indie. Secara harfiah sendiri indie berarti independen. Tapi apakah game sekelas Read Dead Redemption 2 bisa disebut indie karena game tersebut self-published? Tentu tidak. Jadi indie yang dimaksud di sini adalah game dengan skala relatif kecil.

Rachmad Imron dari Digital Happiness punya pandangan yang cukup mirip dengan Gerry. Kreator DreadOut ini merasa bahwa untuk short term income, premium lebih cepat untung karena uang lebih cepat masuk. Free-to-play atau freemium lebih menguntungkan di jangka panjang, namun butuh komitmen, maintenance, serta strategi monetisasi yang baik, dengan anggaran besar pula.

“Bukan berarti sebaliknya dengan premium game yah… namun untuk skala tertentu, maintenance, security, dan update akan lebih berat untuk freemium game. Sebagai gambaran untuk judul-judul AAA free-to-play beberapa banyak yang langsung ditutup servernya dikarenakan user terlalu sedikit, misal seperti LawBreakers-nya Cliff Bleszinski, bahkan Paragon-nya Epic Games,” kata Imron.

“Nah kalau kita ngomongin gamedev lokal, menurut saya pribadi sih saya lebih pede premium game yah… karena bujetnya sudah jelas. Dan pengalaman Digital Happiness untuk masuk ke ranah freemium belum ada,” lanjutnya. Digital Happiness sendiri memiliki strategi unik untuk DreadOut. Mereka merilis bagian awal (Act 0) secara gratis, kemudian Act 1 berbayar, dan Act 2 gratis kembali.

Memperlakukan game seperti sebuah startup

Baik premium ataupun freemium sama-sama punya risiko. Selain masalah persaingan dengan game lain, dan kualitas game itu sendiri, hal yang tak kalah penting adalah menciptakan game yang memang ada pasarnya. Karena sebagus apa pun sebuah produk, bila tidak ada orang yang butuh produk itu tentu tidak akan ada yang membeli.

Karena faktor risiko itulah, Agate merasa lebih nyaman mengembangkan game dengan skema free-to-play. Hal ini diungkapkan oleh Shieny Aprilia yang merupakan CMO dari studio asal Bandung tersebut. Agate sendiri hingga saat ini terus konsisten menyandang predikat studio game terbesar di Indonesia, dengan jumlah kru hingga 170 orang dan fokus di ranah mobile game free-to-play.

“Kita merasa lebih baik yang free-to-play, karena kita bisa lebih mengontrol kesuksesan produknya, karena kita bisa tes retention dulu, lalu monetization. Kalau metriknya OK, baru kita promote,” kata Shieny, “Kalau premium product kan harus nunggu produknya rilis dulu baru kita tahu sukses atau nggaknya, jadi lebih risky juga in a way.”

Alur pengembangan yang dilakukan oleh Agate ini mirip dengan strategi validasi produk sebuah startup. Bahkan Shieny berkata bahwa di Agate, jabatan seorang product manager sudah seperti seorang “CEO mini”. Ia menerima sejumlah anggaran, kemudian dituntut untuk mencapai target revenue tertentu. Ketika sebuah produk di iterasi awal sudah menunjukkan metrik yang jelek, Agate tidak akan ragu untuk membatalkan game tersebut, sebelum menunggu terlalu lama dan sebelum berkomitmen mengeluarkan anggaran untuk promosi.

“Kita invest di rekrut dan retain product manager yang bisa mencari opportunity di market, doing market validation and then develop the product. Kita juga selalu berusaha make decision di produk based on data, selain tentunya creativity juga. Decision itu maksudnya mau develop game apa, menarget segmen user apa, etc.,” tutur Shieny.

Faktor keberuntungan dan keseimbangan

Strategi pengembangan produk seperti ini memang cukup rumit dan mungkin terasa tak lazim untuk sebuah game. Akan tetapi menurut Shieny, Agate bukan satu-satunya studio yang menerapkannya. Ada beberapa studio lain yang memiliki strategi serupa, di mana segala keputusan diterapkan dengan dasar data, dan mereka melakukan berbagai tes sebelum memasukkan anggaran marketing.

Uniknya, meski sudah memiliki strategi sedemikian rupa, sebetulnya ada faktor X yang bisa membuat sebuah game sukses secara tak terduga. “Karena ini adalah produk karya seni, bisa aja jackpot juga. Coba bayangin, Minecraft, yang gambarnya kayak gitu, effort relatif ‘kecil’, ternyata jadi gede kayak sekarang,” kata Gerry. Ada juga beberapa contoh game indie lain di dunia yang sukses besar dengan sumber daya kecil, seperti Undertale atau Stardew Valley.

Ini menunjukkan bahwa produk yang didasari dengan visi kuat akan bisa merebut hati banyak penggemar. Tapi tentu berbahaya bila kita menjalankan perusahaan dengan berharap pada faktor X semata, di mana faktor X itu tidak bisa diukur dengan jelas. Imron menyarankan para developer untuk menjaga produk agar tetap memiliki keseimbangan.

“Kita sendiri juga masih belajar sih Mas, namun kalau boleh saya share tipsnya: mencoba untuk tetap menjaga produk yang dibuat sesuai dengan kapasitas produksinya, balance antara ego dan kapasitas produksi, serta jangan lupakan branding dan marketing dari produk itu sendiri, serta peka terhadap perkembangan industrinya.” Kapasitas produksi yang dimaksud Imron meliputi jumlah anggaran, SDM, serta skill yang dimiliki.

One small step at a time,” pungkasnya.

Dunia Mobile Game Indonesia: Kondisi Sekarang Dan Tantangannya

Bagi yang memperhatikan, industri mobile game di Indonesia belakangan ini cenderung marak menjadi perhatian bagi pemain-pemain besar baik itu investor, perusahaan asing dan bahkan penyedia platform mobile dan perusahaan telko. Dengan makin banyaknya pemain-pemain baru yang bermunculan, pergerakan industri mobile game-pun kian menarik untuk diikuti. DailySocial berbincang dengan beberapa pemain lama di dunia mobile game untuk melihat bagaimana mereka melihat perkembangan dunia mobile game belakangan ini. Continue reading Dunia Mobile Game Indonesia: Kondisi Sekarang Dan Tantangannya

Agate dan Nightspade Ikuti Event Game Connection di Perancis

Setelah Jepang, Prancis menjadi negara di luar Indonesia selanjutnya di mana Agate Studio akan menjelajah. Bersama Nightspade studio game lain asal Bandung, Agate diundang oleh Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Parekraf) untuk hadir dalam acara Game Connection. Continue reading Agate dan Nightspade Ikuti Event Game Connection di Perancis

Berita dari NightSpade: Gyropet di mig33, RajaMusik dan Persiapan Stack The Stuff Edisi Natal

Ada beberapa kabar dari Nightspade, sebuah studio game mobile asal Bandug yang juga beberapa kali di bahas di DailySocial, baik studio dan para developer-nya maupun rilis game mereka.

Kali ini ada beberapa kabar yang saya terima dari Garibaldy Wibowo Mukti (Gerry), CMO Nightspade lewat email setelah sebelumnya bertemu di HackerSpaceBDG. Berikut beberapa info menarik dari Nightspade.

Yang pertama adalah ketersediaan game mereka di platform mig33, selain Tempa Labs, Nightspade juga ternyata telah bekerja sama dengan mig33 untuk menghadirkan game buatan studio asal Bandung ini di platform mig33. Seperti yang disebutkan Amir pada artikel ini, mig33 bulan Juli lalu meluncurkan Developer Program yang didalamnya juga termasuk para pengembang game Indonesia, salah satunya adalah Nightspade.

Continue reading Berita dari NightSpade: Gyropet di mig33, RajaMusik dan Persiapan Stack The Stuff Edisi Natal

Review: Mad Warrior from Nightspade

Simultaneously with the launching of Stack The Stuff for Android, Nightspade also released a new game entitled Mad Warior. Mad Warior is created for iOS platform and has version for iPhone/iPod touch and iPad. The price is $0.99. At a glance, this game takes the local (Indonesian) nuance with music background and with the fighter’s costumes who are familiar for Indonesian.

How is the game? This game is the one that aimed only to kill the time. Different from Stack the Stuff which has levels, this game is endless. As a fighter, we can fight and kill the enemies as much as possible and avoid the obstacle and hope the jar we got will give good effects.

The only thing makes this game over is the death because of the lack of energy bar. The different approach done by Nightspade on this game is the tilt -shake the device left and right- to move the character instead of using hand touch. The only touch function on the game is the usage of “berserk” power after some combo to kill the enemies quickly.

Continue reading Review: Mad Warrior from Nightspade

Nightspade Released Stack The Stuff for Android Users

Two days ago, Nightspade, a company from Bandung that develops games for mobile devices in various platforms announced via Twitter about the availability of their game for Android.

Stack The Stuff is the name of the game application that now is available for Android users. The 1.0 version from this game can be downloaded for free and needs at least Android 2.2 version. Stack The Stuff has been discussed on DailySocial for several times. One of them is related to the game/application about education.

DailySocial ever visited to Nightspade studio in Bandung and recorded the informal interview with them. Nightspade is also one of the East Ventures portfolio in game besides SoybeanSoft that recently gets investment from EV.

Stack The Stuff gets good response when it was launched. I tried to contact Garibaldy Wibowo Mukti, Nightspade Chief Marketing Officer, and he stated that Stack The Stuff game has been downloaded for about 30.000 times on iOS platform, although he didn’t mention which version it is because this game is available for free and paid version.

Continue reading Nightspade Released Stack The Stuff for Android Users

Review: Mad Warrior dari Nightspade

Bersamaan dengan diluncurkannya Stack The Stuff untuk Android, Nightspade juga merilis sebuah permainan baru berjudul Mad Warrior. Mad Warrior dibuat untuk platform iOS dan memiliki versi iPhone/iPod touch dan iPad. Harganya adalah $0.99. Permainan ini sepintas mengambil nuansa lokal (Indonesia) dengan latar belakang musik dan jenis pakaian jawara yang familiar di telinga dan mata kita.

Seperti apakah permainan Mad Warrior ini? Ini tipe permainan yang tidak memiliki tujuan, simply hanya untuk menghabiskan waktu luang. Tidak seperti Stack the Stuff yang ada level per level setiap kali misi terselesaikan, tidak akan ada akhir dalam permainan ini. Sebagai jawara, kita bisa menebas lawan semudah mungkin dan sebanyak-banyaknya, serta menghindari rintangan yang ada sambil berharap jar yang kita dapatkan memberikan efek yang baik.

Continue reading Review: Mad Warrior dari Nightspade

Nightspade Rilis Stack The Stuff Untuk Pengguna Android

Hari kemarin Nightspade, perusahaan pengembang game untuk perangkat bergerak di berbagai platform asal Bandung mengumumkan lewat Twitter tentang ketersediaan game mereka untuk perangkat Android.

Stack The Stuff nama dari aplikasi game tersebut kini tersedia bagi para pengguna Android. Versi 1.0 dari permainan ini bisa diunduh secara gratis dan membutuhkan versi Android 2.2 ke atas.

Stack The Stuff beberapa kali pernah dibahas di DailySocial, salah satunya adalah yang berhubungan dengan peluang game atau aplikasi di bidang edukasi.

DailySocial juga pernah berkunjung ke studio Nightspade di kota Bandung dan merekam video wawancara santai dengan mereka. Nightspade juga merupakan salah satu portfolio dari East Ventures di bidang game selain Soybeansoft yang baru-baru ini juga mendapatkan investasi dari EV.

Stack The Stuff pada awal peluncurannya mendapatkan animo yang cukup baik, saya mencoba mengontak Garibaldy Wibowo Mukti, Chief Marketing Officer Nightspade dan ia mengatakan bahwa untuk platform iOS, saat ini game Stack The Stuff telah mendapatkan 30.000 unduhan, meski tidak dijelaskan untuk versi mana, karena game ini tersedia versi free dan berbayar.

Continue reading Nightspade Rilis Stack The Stuff Untuk Pengguna Android

The Winners of Blaast App Competition

Last Friday, September 9th 201, Blaast held meetup in Jakarta and announced the winner of Blaast application competition which the registration opened since last May 2011. The competition is divided into two registration stages, the first on is closed in June and the second one is closed last July.

Blaast is a cloud computing platform on mobile device. Its head office is in Finlandia. Blaast chooses Indonesia as the first place to launch their service because the chance of feature phone in Indonesia is quite big. They also said that they will collaborate with the telecommunication operator to offer application store with subscription concept.

Continue reading The Winners of Blaast App Competition